Anda di halaman 1dari 15

Nama : xxxxxxxxxxxxx

Nim : 2009 10 226


Kelas : F ( Semester I )
Jur/Fak : Management

ALIRAN JABARIYAH

A. Pendahuluan

Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam

yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad. Pentingnnya masalah aqidah ini dalam

ajaran Islam tampak jelas pada misi pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah.

Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah memperoleh perhatian yang cukup kuat

dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari ayat-ayat al-Quran yang

turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada masalah

keimanan.

Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu

Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan

kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog

disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam

juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-

ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan

yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat

Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi

melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan

perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.

1
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat

mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu

demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang

berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih

sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para

rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada

peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak

manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian

memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah

dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.

B. Latar Belakang Lahirnya Jabariyah

Secara bahasa Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung pengertian

memaksa. Di dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa nama Jabariyah berasal dari kata

jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.

Salah satu sifat dari Allah adalah al-Jabbar yang berarti Allah Maha Memaksa.

Sedangkan secara istilah Jabariyah adalah menolak adanya perbuatan dari manusia

dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah. Dengan kata lain adalah manusia

mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).

Menurut Harun Nasution Jabariyah adalah paham yang menyebutkan bahwa

segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah.

Maksudnya adalah bahwa setiap perbuatan yang dikerjakan manusia tidak

2
berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan dan dengan kehendak-

Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat, karena tidak

memiliki kemampuan. Ada yang mengistilahlkan bahwa Jabariyah adalah aliran

manusia menjadi wayang dan Tuhan sebagai dalangnya.

Adapun mengenai latar belakang lahirnya aliran Jabariyah tidak adanya

penjelelasan yang sarih. Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak

zaman sahabat dan masa Bani Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan

tentang masalah Qadar dan kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan

mutlak Tuhan. Adapaun tokoh yang mendirikan aliran ini menurut Abu Zaharah dan

al-Qasimi adalah Jahm bin Safwan, yang bersamaan dengan munculnya aliran

Qadariayah.

Pendapat yang lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak

sebelum agama Islam datang ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang

diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup

mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit

dan udara yang panas ternyata dapat tidak memberikan kesempatan bagi tumbuhnya

pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan

beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.

Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian masyatalkat arab

tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan disekeliling mereka sesuai dengan

kehidupan yang diinginkan. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-

3
kesukaran hidup. Artinya mereka banyak tergantung dengan Alam, sehingga

menyebabakan mereka kepada paham fatalisme.

Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam masyarakat Islam yang

melepaskan diri dari seluruh tanggung jawab. Maka Manusia itu disamakan dengan

makluk lain yang sepi dan bebas dari tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dengan kata lain, manusia itu diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan

digerakkan oleh Allah Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal

ini manusia itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut

arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar untuk

memilih apa yang diinginkannya sendiri. Ini dapat diartikan pula bahwa manusia itu

akhirnya tidak bersalah dan tidak berdosa, sebab ia hanya digerakkan oleh kekuatan

atasan dimana ia tidak lain laksana robot yang mati, tidak berarti.

Pendapat jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyade (660-750 M).

Yakni di masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara

Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi menghadapi

kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk memperkuat

kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin memasukkan di dalam

pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai kepala negara dan memimpin

ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan Qadar/ketentuan dan keputusan Allah

semata" dan tidak ada unsur manusia yang terlibat di dalamnya.

4
C. Awal Kemunculan Jabariyah

Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat

munculnya golongan Qodariyah, yaitu kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini

dipelopori oleh Jahm bin Shafwan, aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin

Shafwan-lah yang mula-mula mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak

mempunyai kebebasan apapun, semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata,

tidak ada campur tangan manusia.

Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena itu kaum

Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain mengatakan bahwa

orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah al-Ja'ad bin Dirham, dia

juga disebut sebagai orang yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Quran itu

makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah. Disamping itu kaum Jahmiyah juga

mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah dengan mata kepala di akhirat). Meskipun

kaum Qadariyah dan Jahmiyah sudah musnah namun ajarannya masih tetap

dilestarikan. Karena kaum Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut

dan mengadopsi pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan

Mu'tazilah paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i

menyebutnya Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide

itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan Jahmiyah.

5
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka tentang

penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua perbuatan manusia

kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah.

Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka

yang meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan mereka

mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari kiamat.

Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa sebagai pengikut

Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah adalah Mu'tazilah, karena

kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum Jahmiyah dalam masalah Jabr

(hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum Mu'tazilah menafikanya maka kaum

Jahmiyah meyakininya.

D. Pemimpin Penganut Jabariyah

1. Ja'd Bin Dirham

Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh

pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.

Pendapat-pendapatnya :

Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh

Alqur'an surat An-Nisa ayat 164. Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah

kesayangan Nya menurut ayat 125 dari surat An-Nisa.

6
2. Jahm bin Shafwan

Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di

Marwa dengan Bani Ummayad.

Pendapat-pendapatnya:

Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal

sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga

mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti.

Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum

terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.

Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu

iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan karya. Maka

tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang lainnya dalam bidang ini,

sebab ia adalah semata pengetahuan belaka sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda

tingkatnya.

Tidak memberi sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula

kepada manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka Allah

tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidpu atau alim/mengetahui atau

mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi

boleh Allah disifatkan dengan Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan,

Mematikan sebab sifat-sifat itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat

dimiliki oleh manusia.

7
E. Penolakan Terhadap Paham Jabariyah

Kelompok jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam

menetapkan takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia

dan mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab

(usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka berpendapat

bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan manusia tidak

mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan, bahkan manusia seperti

bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka tidak berbuat apa-apa karena berhujjah

kepada takdir. Jika mereka mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan

syariat, mereka merasa tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa

takdir telah terjadi.

Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada penolakan terhadap

kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan penyerahan total kepada

syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan karena

menganggap bahwa semua itu telah ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka

mereka menyenanginya dan rela terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah

ditakdirkan pada manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk

melakukan usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.

Keyakinan semacam ini telah menyebabkan mereka meninggalkan amal

shalih dan melakukan usaha yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti

shalat, puasa dan berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya

8
karena segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha tidak

berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak memperhatikan

penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang pasti akan terjadi.

Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman orang-orang dzalim dan

kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa yang dilakukan mereka telah

ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.

Para ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang

sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka. Menjelaskan

bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa manusia

mempunyai keinginan dan pilihan dalam perbuatannya serta kemampuannya untuk

melaksanakannya. Hal ini ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.

F. Dalil-Dalil Al Qur'an

Allah SWT berfirman, "Ítulah hari yang pasti terjadi. Maka barangsiapa yang

menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya." (QS. An

Naba : 29)

Firman Allah SWT : "Istri-istrimu adalah seperti tanah tempat kamu bercocok tanam,

maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu sebagaimana saja kamu

kehendaki. (QS. Al Baqarah : 223)

Fokus pengambilan dalil dari kedua ayat di atas, bahwa Allah SWT

memberikan kebebasan kepada manusia untuk menempuh jalan yang dapat

9
mengantarkannya menuju keridhaanNya. Allah juga memberikan mereka kebebasan

untuk mendatangi istri-istri mereka pada tempat yang ditetapkan sekehendak mereka.

G. Dalil-Dalil Dari As Sunnah

Rasulullah SAW bersabda : "Setiap orang diantara kalian telah ditetapkan

tempat duduknya di surga atau di neraka." Lalu mereka bertanya, "Ya Rasulullah,

mengapa kita tidak bersandar kepada Kitab kita dan meninggalkan usaha?" Beliau

menjawab, "Berusahalah karena semua itu akan memudahkan untuk menuju apa yang

telah ditakdirkan kepadanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

H. Dalil-Dalil Dari Akal

Setiap orang tahu bahwa dirinya mempunyai kehendak dan kemampuan untuk

mengerjakan keduanya sesuai dengan keinginannya dan meninggalkan apa yang

diinginkannya. Dia bisa membedakan sesuatu yang terjadi karena keinginannya

sendiri karena merasa bertanggungjawab terhadapnya dan sesuatu yang tanpa

disengaja sehingga dia merasa lepas tanggung jawab terhadapnya. Seperti orang yang

mimpi basah di siang bulan ramadhan, maka puasanya tidak batal karena hal itu

terjadi karena bukan pilihan orang itu. Tetapi jika orang itu dengan sengaja

melakukan onani sehingga keluar air mani, maka batallah puasanya karena hal itu

terjadi akibat kehendak dan pilihannya.

"(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan

kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki

Allah, Tuhan semesta alam." (QS. At-Takwir : 28-29)

10
Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia mempunyai kehendak yang masuk

dalam kehendak Allah SWT. Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang yang

berkata bahwa Allah memaksa manusia atas semua perbuatan mereka. Beliau

menjawab, "Kita tidak berpendapat demikian dan kami mengingkarinya." Beliau

berkata, "Allah menyesatkan siapa yang berkehendak dan memberikan petunjuk

kepada siapa yang berkehendak.." Lalu datanglah kepadanya seorang lelaki seraya

berkata, "Seorang laki-laki berkata, "Allah memaksa manusia untuk taat." Beliau

menjawab, "Alangkah buruknya apa yang dikatakannya."

I. Ciri - Ciri Ajaran Jabariyah

Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :

1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap

perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang

menentukannya. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum

terjadi.

2. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)

3. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.

4. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.

5. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama

penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.

6. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga.

7. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.

11
8. Qadha dan Qadar Serta Makna Takdir Allah Menurut Jabariyah

Aliran Jabariyah berpendapat mengatakan segala sesuatu yang terjadi pada

manusia atau jagad raya ini meupakan kehendak Allah semata tanpa peran serta

sesuatu pun termasuk di dalamnya adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang

dilakukan oleh manusia. Aliran Jabariyah mengibaratkan bahwa perbuatan manusia

tak ubah seperti dedanunan yang bergerak diterpa angin atau dalam ilustrasi yang

sangat sederhana bisa dicontohkan bahwa aliran Jabariyah menggambarkan manusia

bagaikan robot yang disetir oleh remote kontrol.

Perbuatan, Kehendak Manusia Dengan Qudrat Iradat Allah Menurut

Jabariyah. Para Ulama Pengikut aliran Jabariyah, berpendapat bahwa semua

perbuatan yang dilakukan oleh manusia merupakan kehendak dan ketetapan Allah.

Manusia tidak mempunai peran atas segala perbuatannya. Perbuatan baik dan

kejahatan yang dilakukan oleh manusia merupakan Qudrat dan Iradat (kekuasaan atau

kehendak) Allah.

Ulama aliran Jabariyah mengesampingkan usaha dan ikhtiar manusia. Dengan

kata lain manusia tidak mempunyai peran apa-apa atas kehendak dan perbuatannya,

semuanya berdasarkan Qadha dan Qadar Allah, Kalau semua perbuatan manusia

merupakan ketetapan dan kehendakan Allah mengapa manusia harus diberi pahala

jika menjalani suatu kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran:

Artinya: " Barangsiapa ta'at kepada Allah dan Rasul-Nya, Niscaya Allah

memasukannya ke dalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang

mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang besar". (QS: 4: An-Nisa': 13)

12
Allah juga akan memberikan siksa kepada hambaNya yang selalu berbuat dosa

artinya tidak mau ta'at kepada Allah dan rasul-Nya. Yakni tidak mau meninggalkan

semua larangan-Nya dan tidak mau menjalankan semua perintah-Nya. Sebagaimana

firman Allah:

Artinya: "Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan

melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, Niscaya Allah memasukkannya ke dalam api

neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan". (QS: 4:

An-Nisaa':14)

Dilihat dari sisi lain pendapat 'Ulama Jabariyah kurang kuat karena: Untuk apa

pula Allah memberi petunjuk, kabar gembira dan memberikan peringatan melalui

para Rasul-Nya agar manusia dapat mengerti antara haq dan yang bathil sebagaimana

firman Allah:

Artinya: "Dan tidaklah Kami mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa

berita gembira dan sebagai pemberi peringatan" (QS:18: Al-Kahfi: 56)

Dari beberapa Kutipan Ayat suci Al-Quran diatas maka pendapat ulama

Jabariyah menjadi lemah. Sementara itu Yusuf Al Qardhawi memandang bahwa

aliran Jabariyah hanya memandang satu sifat kekuasaan Allah dan tidak memandang

keadilan dan kebijaksanaan-Nya; sehingga semua perbuatan yang dilakukan

disandarkan pada takdir Allah. Dengan kata lain aliran Jabariyah menafikan fungsi

dan peran Rasul Allah serta ancaman yang akan diberikan kepada pelanggar

(durhaka) tatanan nilai Ilahiyah (syari'ah agama) dan pahala bagi para pelaksana

(bertaqwa) tatanan nilai Ilahiyah (sayri'ah agama). Hal ini menurut Jalaluddin Ar-

13
Rumi bahwa: Sekiranya manusia dalam keadaan terkekang seperti pendapat aliran

Jabariyah, maka tidak mungkin jika dia dibebani perintah dan larangan, atau disuruh

untuk menjalankan syari'at dan hukum Islam. Karena sesungguhnya Al-Qur'an itu

berisikan perintah dan larangan.

Jabariah sebagai penolakan terhadap pandangan kaum qadariyah, munculnya

kaum Jabariyah yang berpendapat bahwa perbuatan manusia itu baik dan buruk,

semuannya berasal dari Allah. Jika perbuatan tersebut disebut sebagai perbuatan

manusia, maka hal ini hanya kiasan saja. Seperti saat kita menyatakan bahwa sungai

itu mengalir, padahal pada hakikatnya Tuhanlah yang mengalirkannya. Manusia

menurut pandangan kaum Jabariyah tak ubahnya seperti bulu ayam yang bertebangan

ditiup angin (karena itulah maka kaum Jabariyah dan kaum qadariyah dikatakan dua

golongan yang satu sama lainnya saling bertolak belakang.

Berdasarkan keyakinan seperti ini maka kaum Jabariyah memiliki pandangan

yang meniadakan sifat dan nama Allah, sementara Al-kalam (firman Allah) yang

merupakan sifat Allah menurut pendapat mereka adalah hadis (sesuatu yang baru).

14
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung: Puskata Setia, 2006), cet ke-2

Asmuni, Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam


dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996)

Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997)

Hadariansyah, AB, Pemikiran-pemikiran Teologi dalam Sejarah Pemikiran Islam,


(Banjarmasin: Antasari Press, 2008)

Maghfur, Muhammad, Koreksi atas Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam, (Bangil: al-
Izzah, 2002)

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,


(Jakarta: UI-Press, 1986), cet ke-5

an-Nasyar, Ali Syami, Nasy'at al-Fikr al-Falsafi fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma'arif,
1977)

Nata, Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1998)

al-Qaththan, Manna Khalil, Studi Ilmu-ilmu Alqur'an, diterjemahkan dari "Mabahits


fi Ulum al-Qur'an. (Jakarta: Litera AntarNusa, 2004)

asy-Syahrastani, Muhammad ibn Abd al-Karim, al-Milal wa an-Nihal, (Beirut-


Libanon: Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, t.th)

Tim, Enseklopedi Islam, "Jabariyah" (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1997)

15

Anda mungkin juga menyukai