Anda di halaman 1dari 4

BAB III

ANALISIS
Dalam kasus bioenergetika antara spesies udang penaeid dengan teripang
terlihat berbeda dalam kedua penelitian. Penelitian di udang penaeid membahas
energi yang habis untuk moulting, konsumsi pakan, pencernaan dan biosintesis,
metabolisme energi, oksidasi dan pertumbuhan, sedangkan dalam penelitian di
teripang hanya membahas energi yang dihabiskan untuk proses sekresi dan
respirasi (metabolisme energi) serta pertumbuhan teripang itu sendiri. Udang
mengalami moulting karena termasuk kedalam filum crustacea yang mempunyai
zat kitin untuk membentuk karapas yang melindungi tubuhnya. Sedangkan teripang
tidak

mengalami

moulting

karena

berbeda

filum

dengan

udang,

yaitu

Echinodermata. Moulting memiliki peran penting dalam penggunaan energi yang


ada pada udang, karena moulting adalah pelepasan exuvia (kulit luar yang
mengandung protein) oleh udang yang menandakan dirinya tumbuh.
Dalam jurnal tentang udang, membuktikan sebagai makhluk hidup bahwa
ikan non fin fish juga menggunakan energi dalam setiap alur hidupnya. Di modul
pertama,

energy

dipakai

didalam

pembuatan

exuvia,

setelah

itu

udang

memaksimalkan energi nya karena tidak makan selama 3 hari yaitu 2 hari sebelum
dan 1 hari setelah moulting, selain tidak makan udang juga mengurangi konsumsi
oksigen dalam metabolisme rutinnya. Sementara di modul kedua, konsumsi pakan
yang dihitung berdasarkan tingkah laku udang yang nokturnal mempengaruhi %
pakan yang diberikan kepada udang. Sebagian besar spesies krustasea yang
dibudidayakan aktif pada malam hari dan menggali pada substrat di siang harinya.
Sesuai dengan kebiasaan makan itu, sebagian besar pakan buatan di tambak udang
diberikan pada malam hari dengan frekuensi pakan 3 jam sekali. Krustasea
menunjukkan pola pertumbuhan terputus yang khas karena moulting.
Modul

menjelaskan,

dalam

pencernaan

dan

biosintesisnya

udang

menggunakan energi untuk sintesis protein, pencernaan lemak, glukogenesis, serta


pencernaan karbohidrat. Protein digunakan udang untuk tumbuh, untuk itu yang
dipertimbangkan adalah % protein pakan, kecernaan pakan, tingkat pencernaan
protein, serta menghitung fraksi asam amino untuk gluconeogenesis. Sedangkan
untuk lemak sendiri membutuhkan pertimbangan pada dosis pakannya, % lemak

pakan, serta kecernaan lemaknya. Diketahui setelah melakukan percobaan,


kecernaan protein dalam udang tinggi sebesar 92%, sedangkan kecernaan lemak
sebesar 63% dan kecil diantara yang lainnya kecernaan karbohidrat sebesar 40 %.
Kemudian di modul ke 4 tentang metabolisme energi, energi digunakan untuk
metabolisme makan, pembentukan ATP, dan metabolisme moulting. Dalam
pembentukan ATP dibagi lagi menjadi pembentukan lemak, gluconeogenesis dan
sintesis protein.

Di modul 5 dijelaskan udang juga membutuhkan energy untuk

melakukan oksidasi asam amino maupun oksidasi lemak. Modul terakhir yaitu
modul 6 membahas tentang pertumbuhan udang itu sendiri ditilik dari total protein
keseluruhan dan tingkat protein nya dalam tubuh.
Peningkatan konsumsi oksigen yang dilakukan oleh udang banyak digunakan
pada moulting tahap moulting/postmoulting yaitu sebesar 86.21 %, di intermoulting
konsumsi oksigen 0, lalu awal sebelum moulting sebesar 7.16 % dan konsumsi
oksigen saat akan moulting meningkat kembali menjadi 12.23 %. Dalam post
moulting yang dominan digunakan adalah lemak dengan durasi tahapannya 12%
dari siklus, sementara saat intermoulting sampai akan moulting yang dominan
digunakan adalah protein dengan durasi tahapannya 88% dari siklus.
Dalam modul pertumbuhan kembali lagi dijelaskan karena tidak adanya
informasi pada referensi antatra berat badan segar dan kandungan protein, modul
menghitung berat badan segar berdasarkan rata-rata tingkat protein tubuh yaitu 20
%. Sintesis protein digunakan selain untuk pembangkit energy, banyak digunakan
pula dalam pertumbuhan. Hasil terbaik antara nilai yang diamati dengan
pertumbuhan dengan parameter protein sebesar 14% yang dikonversikan ke
glukosa dan lemak. Protein untuk sumber energy adalah 0.819. dengan persamaan
R2 kemudian Y= 0.87X + 1.38 dan 0,706. Pada percobaan, 42% protein dalam
pakan menunjukkan pertumbuhan maksimum sampai 25 hari simulasi tetapi
kemudian

menurun

dan

45%

protein

dalam

pakan

menunjukkan

kinerja

pertumbuhan yang lebih tinggi daripada protein pakan 42%. Dosis pakan juga
diputuskan sebanyak 3,6 % dari biomassa untuk pertumbuhan yang tertinggi.
Kecernaan bahan pakan (protein, lipid, dan karbohidrat) tergantung pada
ukuran, jenis dan makanan sebelumnya yang dimakan oleh udang. Kecernaan
bahan pakan merupakan salah satu tolak ukur dalam menentukan mutu bahan

pakan buatan untuk perikanan, disamping komposisi kimianya. Kecernaan adalah


suatu nilai yang menunjukkan persentase bahan makanan yang dapat diserap
dalam saluran pencernaan.
Dalam jurnal selanjutnya membahas tentang spesies teripang (A. japonicus) ,
suhu sangan berperan penting sebagai batas penyebaran biota di wilayah selatan
cina. Dampak potensial dari pemanasan global dilautan terhadap A. japonicus
kemungkinan dapat merubah penyebaran secara geografis ke sebelah utara. Secara
teori suhu optimal untuk asupan energy dan laju pertumbuhan (SFG) dari A.
japonicus pra-dewasa masing-masing pada kisaran 15,6 sampai 16 0C.
Dipilih teripang dengan berat yang sama untuk meminimalkan efek yang
berhubungan dengan ukuran, kemudian dimasukkan ke dalam akuairum 35 liter,
sebelumnya teripang dipuasakan selama 48 jam. Percobaan dilakukan selama 28
hari. Kemudian, kandungan energy dalam pakan, feses dan sampel hewan diukur
menggunakan calorimeter. Perkiraan komposisi dari pakan dianalisis menggunakan
oven dengan suhu 1050C.
Pengeluaran energy dibentuk dalam C= G+f+U+R, dimana C adalah
konsumsi energy, G adalah energy untuk pertumbuhan, F adalah energy yang tak
terpakai menjadi feses, U adalah energy yang terbuang sebagai ekskresi ammonia
dan R adalah energy yang hilang akibat respirasi. Hasil tertinggi dari semua
parameter energy (3793.2, 2641.8, 322.5, 702.2, dan 126.7 J g 1 d-1 masing-masing
untuk C, F, G, R, dan U) yaitu pada suhu 15 oC celcius.
8.56% energy dari teripang digunakan untuk pertumbuhan, digunakan energi
yang sedikit pada ekskresi (3.33%) dan respirasi (18.50%) dibandungkan suhu
lainnya. Pada percobaan dengan suhu 300C teripang berhenti makan, hal ini
dikarenakan hilangnya konsumsi energy pada tingkat 0. Energi yang hilang
dikeluarkan melalui fese >50% dari total energy konsumsi untuk semua kelompok
suhu.
Dalam kehidupan teripang, dikenal dengan fase istirahat (dorman) yang
dinamakan aestivasi. Aestivasi terjadi karena suhu dan keadaan lingkungan yang
terlalu ekstrim di perairan. Pada juvenile teripang, ia akan menggali ke dalam
substrat dan kembali lagi ke permukaan apabila kondisi stabil, selama fase istirahat,

teripang tidak melakukan aktivitas makan yang menyebabkan berkurangnya energy


yang dikeluarkan. Adaptasi fungsional untuk menghadapi suhu lingkungan yang
tinggi ini juga dengan menurunkan laju metabolisme, serta meningkatkan
penguapan.

Dengan

pemasukan

panas

melakukan
dari

estivasi

lingkungan

dan

(tidur),

hewan

sekaligus

dapat

dapat

mengurangi

menurunkan

laju

metabolismenya. Hewan endotermal seperti teripang mengatasi suhu lingkungan


yang tinggi dengan mengeluarkan ekskresi dan sekresi. Kesimpulannya, kekeringan
atau kenaikan suhu air dapat mengganggu kehidupan teripang.

Anda mungkin juga menyukai