Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun 1829 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti seperti
typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini
dipakai pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Lalu pada
tahun 1837 William Word Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus.
Pada tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal
dari kelenjar limfe mesentarial dan limpa. Pada Tahun 1884 Gaffky berhasil membiakan
Salmonella typhi, dan memastikan bahwa penularan nya melalui air dan bukan udara.1
Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metode untuk diagnosis penyakit
demam tifoid. Pada tahun yang sama Wright dari inggris dan Pfeirfer dari jerman mencoba
vaksinasi terhadap demam tifoid. Pada era 1970 dan 1780 mulai dicoba vaksin oral yang
berisi kuman hidup yang dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida.
Pada tahun 1948 Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa Kloramfenikol adalah
efektif untuk pengobatan penyakit demam tifoid.1
B. Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara sedang
berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan,
sebab penyakit ini terkenal mempunyai gejala dan spektrum klinisnya sangat luas. Insidens
tertinggi demam tifoid pada anak terutama didaerah endemis di banyak negara berkembang
terutama Asia, Afrika, Amerika, ttinggi di india, Pakistan dan Bangladesh. Diperkirakan
angka kejadian 150 dari 100.000 per tahun di Amerika Selatan dan 900 dari 100.000 per
tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara
3-19 tahun memcapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari
Amerika Selatan.1,2
Salmonella typhi dapat hidup dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengeksresikannya melalui sekret
saluran nafas, urin dan tinja dalam waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang
berada diluar tubuh manusia dapat hidup dalam beberapa minggu apabila berada didalam air,
es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.typhi hanya dapat

Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 1

hidup kurang dari 1 minggu pada air limbah dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan
pasteurisasi (temp 36C).1,2
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman / makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).1,2
Dapat juga terjadi transmisi transplasenta dari seorang ibu hamil yang ada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal
dari laboratorium penelitian.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 2

A. Defenisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi, dan merupakan kuman patogen pada manusia yang menyebabkan infeksi
invasi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa
keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke
dalam sel fagosit mononuklear dari hati limpa kelenja limfe usus dan Peyers patch.1,2
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan deman
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis
sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.
Terdapat 3 bioserotipe salmonella enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B
(S.Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S.Hirschfeldii).1
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di
seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Demam
tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa.
Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami
anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid
banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun.3
Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas (kematian)
demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya
komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak besar dengan gejala klinis berat, yang
menyerupai kasus dewasa. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau
lebih dan mempunyai gejala klinis ringan.3
B. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonela typhi. Sedangkan demam paratipfoid disebabkan
oleh organisme yang termaksud dalam spesies Salmonella enteritidis, yaitu Salmonella
enteritidis bioserotipe Paratifi A, Salmonella enteritidis bioserotipe Paratyphi B, Salmonella
enteriditis bioserotipe C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama Salmonella paratyphi
A, Salmonella schottmuelleri, dan Salmonella hirschfeldii.3,4
Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari olisakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri dali polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dinamakan
Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 3

endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multipel antibiotik.1
C. Patogenesis
Empat proses kompleks patogenesis demam tifoid mengikuti ingesti organisme, yaitu : (1)
Penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch, (2) Bakteri bertahan hidup dan bermultifikasi
di makrofag Payers patch, nodus limfatikus mesentrikus, dan organ-organ ektra intestinal
sistem retikuloendotelial (3) Bakteri bertahan hidup didalam aliran darah dan, (4) produksi
enterotoksin yang meningkat kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebakan keluarnya
elektrolit dan air kedalam lumen intestinal.1
1. Jalur masuknya bakteri kedalam tubuh
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan / minuman masuk kedalam tubuh melalui
mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.
Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor
histamin H2 , inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi
dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Diusus halus, bakteri
melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus,
tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyers patch
merupakan tempat internilisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus,
mengikuti aliran kelenjar limfe mesentrika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai kejaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella thypi mengalami multiplikasi
didalam sel fagosit mononuklear di dalam foliker limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan
limfe (bakteremia primer).1,2
Setelah melalui periode waktu tertentu periode inkubasi yang lamanya di tentukan
oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu maka Salmonella typhi akan
keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi organ yang sangat
disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan
Peyers patch dari ileum teminal. Sedangkan kuman yang tidak difagosit kembali masuk ke
aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia sekunder). Sebagian kuman invasi
ke kandung empedu. Eksresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus
menyebabkan reinfaksi usus dan dikeluarkan melalui tinja.1,2
2. Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, diduga endotoksin dari
Salmonella typi menstimulasi makrofag didalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan
Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 4

kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag
inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.1
3. Respon imunologik
Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun selular baik ditingkat lokal
(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi mekanisme imunologik dalam menimbulkan
kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi belum diketahui dengan pasti.
Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih berperan. Penurunan jumlah lomfosit T ditentukan
pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktifitas
selular terhadap antigen Salmonella typi pada uji hambatan migrasi lekosit. Pada karier,
sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja, tanpa
memasuki epitel penjamu.1
D. Manifestasi klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-40 hari.
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan
faktor jalur Salmonella, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.1
Semua pasien tifoid selalu menderita demam pada awal penyakitnya, demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step-ledder temperature chart yang ditandai dengan demam
timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan
lunak maka demam akan menetap. Demam lebih tingggi saat sore hari dan malam hari di
bandingkan pagi harinya. Pada saat demam tinggi pada demam tifoid ini dapat disertai gejala
sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delerium atau obtundasi, atau penurunan
kesadaran mulai apatis sampai koma.1,2,5
Gejala sistemik lain yang menyertai demam tifoid ini adalah nyeri kepala, malaise,
nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berat, pada saat
demam tinggi akan tampak toksik / sakit berat. Bahkan, penderita demam tifoid datang
dengan syok hipovolemik akibat kurang masukan cairan dan makanan.1,2,5
Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid pasien akan mengeluh diare,
obstipasi, atau obstipasi yang disusul dengan episode diare. Sebagian pasien tampak lidah
kotor dengan putih ditengah sedang tepi ujungnya kemerahan. Juga dijumpai gejala
meteorismus (seperti; mual, muntah, kembung). Dapat juga dijumpai hepatomegali, dan
Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 5

splenomegali. Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5
mm, yang sering dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada
orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan pada anak Indonesia. Ruam ini timbul pada hari
yang ke 7-10 bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis juga ditemukan pada demam tifoid,
bradikardi relatif yang jarang dijumpai pada anak.1,2,5
E. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah:
Perdarahan usus perforasi dan peritonitis
Perdarahan usus dan perforasi merupakan komplikasi serius dan perlu
diwaspadai dari demam tifoid yang muncul pada minggu ke-3. Sekitar 5
persen penderita demam tifoid mengalami komplikasi ini. Perdarahan usus
umumnya ditandai keluhan nyeri perut, perut membesar, nyeri pada perabaan,
seringkali disertai dengan penurunan tekanan darah dan terjadinya shock,
diikuti dengan perdarahan saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman
yang keluar bersama tinja. Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus
halus, sehingga membuat gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi
infeksi pada selaput perut (peritonitis). Jika hal ini terjadi, diperlukan
perawatan medis yang segera.1,2,6
Komplikasi lain yang lebih jarang
Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung (miokarditis).
Pneumonia.
Peradangan pankreas (pankreatitis).
Infeksi ginjal atau kandung kemih.
Infeksi dan pembengkakan selaput otak (meningitis).
Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis
Komplikasi di luar usus
Anak dengan panas tinggi umumnya tidak mau makan karena ada diare.
Sehingga dapat terjadi kekurangan cairan (dehidrasi) dan elektrolit. Usahakan
cairan yang masuk harus banyak, baik air putih, teh manis, jus buah atau susu.
Panas yang tinggi juga dapat mengakibatkan anak kejang (kejang karena
demam).
Komplikasi di dalam usus
Luka di dalam usus dapat menimbulkan perdarahan sehingga tinja berdarah.
Usus yang luka ini dapat pecah. Gejala lainnya berupa perut kembung dan panas
tinggi sampai tidak sadar.
F. Diagnosis
Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 6

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh
pemeriksaan laboratorium penunjang. Diagnosa pasti ditegakkan melalui isolasi Salmonella
typhi darah, pada dua minggu pertama sakit kemungkinan mengisolasi Salmonella typhi dari
dalam darah pasien lebih besar dari minggu berikutnya. Biakan dari urin dan feses,
kemungkinan keberhasilannya lebih kecil. Biakan dari sum-sum tulang mempunyai
sensitivitas tertinggi. Akan tetapi prosedur ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.1,7
Uji serologi widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi
terhadap antigen somatik (O). Flagela (H) hanya dipakai untuk mendiagnosis demam tifoid.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan
interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid
akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita
demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh
dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal
seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada
anak-anak sehat.1
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O yang
benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat
akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit. Tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.8
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu
diikuti dengan uji Widal positif.2,8
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi
IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd)
dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi
Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 7

adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.
Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan
tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah
panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan
Brucellosis.8
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat
mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan
membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan
komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan
di

tempat

yang

tidak

mempunyai

fasilitas

laboratorium

yang

lengkap.

Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih
besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia
perangkat pemeriksaan kultur secara luas.8
G. Diagnosa Banding
Beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat menjadi diagnosis banding demam
typoid yaitu influenza, gastrointeritis, bronkitis, bronkopnemonia. Penyakit yang disebabkan
oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, campak,
rubeola, demam dengue, malaria infeksi saluran kemih. Pada demam typoid berat seperti
sepsis, meningitis / ensefalitis: apati, delirium, koma, konvulsi.1
H. Penatalaksanaan
Penderita demam tifoid dengan gejala klinik jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit untuk
pemenuhan cairan, elektrolit dan nutrisi. Di samping untuk optimalisasi pengobatan hal ini
bertujuan untuk meminimalisasi komplikasi dan mencegahan pencemaran dan atau
kontaminasi.1
Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring (bed rest) dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila gejala klinis berat,
penderita harus istirahat total.1,4
Terapi simptomatik
Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan
keadaan umum penderita, yakni vitamin, antipiretik (penurun panas) untuk
Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 8

kenyamanan penderita terutama anak, dan antiemetik bila penderita muntah


hebat.1,8
Antibiotik
Obat antibiotik

yang

merupakan

pilihan

pertama

adalah

kloramfenikol,

ampisilin/amoksisilin dan kotrimoksasol. Obat pilihan kedua adalah sefalosporin


generasi III. Obat-obat pilihan ketiga adalah meropenem, azithromisin dan
fluorokuinolon. Kloramfenikol dosis yang diberikan adalah 100mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4x pemberian dalam 10-14 hari atau 5-7 hari setelah demam turun.
Kelemahannya kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada
anak hal ini jarang dilaporkan. Ampisilin memberikan respon perbaikan klinis yang
kurang apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan
200mg/kgBb/hari dibagi dalam 4x pemberian per oral, memberikan hasil yang setara
dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam lama.1,3,5

Ampisilin dosis 40

mg/kgBB/hari dalam 3 dosis per oral ditambah dengan probenecid 30 mg/kgBB/hari


dalam 3 hari dosis per oral memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa
penyakit empedu.1
Pada demam typoid kasus berat seperti delirium, stupor, koma dan syok

pemberian

dexametason intravena (3mg/kg dalam 3 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan
1mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam).1
Demam typoid dengan perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfusi
darah, sedangkan apabila terjadi perforasi, adanya cairan pada peritonium dan
udara bebas pada abdomen laparotomi harus segerah dilakukan disertai
penambahan antibiotik metronidazol. Kasus tifoid yang mengalami relaps diberikan
pengobatan sebagai kasus demam tifoid serangan pertama.1,3
I. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan sebelumnya, dan ada
tidaknya komplikasi. Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan
Salmonella typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis.1,4
J. Pencegahan
Secara umum, pencegahan kemungkinan infeksi Salmonella typhi dapat dilakukan dengan
penerapan pola hidup yang bersih dan sehat kepada setiap individu. Berbagai hal sederhana
namun efektif dapat mulai dibiasakan sejak dini oleh setiap orang untuk menjaga higientias
pribadi dan lingkungan, seperti membiasakan cuci tangan dengan sabun sebelum makan atau
Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 9

menyentuh alat makan/minum, mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi yang sudah
dimasak matang, menyimpan makanan dengan benar agar tidak dihinggapi lalat atau terkena
debu, memilih tempat makan yang bersih dan memiliki sarana air memadai, membiasakan
buang air di kamar mandi, serta mengatur pembuangan sampah agar tidak mencemari
lingkungan. 1-3,7
Salmonella typhi didalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57

C untuk

beberapa menit atau dengan proses iodinasi / klorinasi. Imunisasi aktif dapat membantu
menekan angka kejadian demam tifoid.1,5
K. Vaksin Demam Tifoid
Vaksin untuk demam tifoid ada 3 macam yaitu
1. Vaksin dengan kuman Salmonella typhi S, Salmonella paratyphi A, Salmonella
paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) digunakan dengan cara pemberian
suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan yang
terbatas.
2. Vaksin dengan kuman Salmonella typhi

hidup

yang dilemahkan (Ty-21a)

diberikan peroral 3x dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya


perlindungan 6 tahun. Dan diberikan pada anak usia >2 tahun. Penyimpanan pada
suhu 2C-8C, vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik,
sulfonamid, atau antimalaria yang aktif terhadap salmonella.
3. Komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular
memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.1,2

Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 10

BAB III
KESIMPULAN
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Salmonella typhi dapat hidup dalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengeksresikannya
melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam waktu yang sangat bervariasi. Salmonella
typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup dalam beberapa minggu apabila berada
didalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian.
Periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-40 hari.
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi. Semua pasien tifoid selalu menderita demam
pada awal penyakitnya, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik
tertinggi pada akhir minggu pertama. Demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4
demam turun perlahan secara lisis. Demam lebih tingggi saat sore hari dan malam hari di
bandingkan pagi harinya. Gejala sistemik lain yang menyertai demam tifoid ini adalah nyeri
kepala, malaise, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan.
Gejala gastrointestinal pasien akan mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi yang
disusul dengan episode diare. Sebagian pasien tampak lidah kotor dengan putih ditengah
sedang tepi ujungnya kemerahan. Juga dijumpai gejala meteorismus (seperti; mual, muntah,
kembung). Dapat juga dijumpai hepatomegali, dan splenomegali, Rose spot.
Penderita demam tifoid dengan gejala klinik jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit
untuk pemenuhan cairan, elektrolit dan nutrisi. Di samping untuk optimalisasi pengobatan hal
ini bertujuan untuk meminimalisasi komplikasi dan mencegahan pencemaran dan atau
kontaminasi.

Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 11

DAFTAR PUSTAKA

1. P Sumarno S S, G Herry, S H S R, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. 2 th ed.
Jakarta; FKUI; 2002.P.338-46
2. Ranuh I G N, Suyityno H,, Hadinegaro S R S, Kartasasmita C B, Ismoedijanto,
Soedjatmiko. Pedoman Imunisasi di Indonesia. 4 th ed.Jakarta; IDAI;2011.p.362-66
3. H Sri Rezeki S. Demam Tifoid pada Anak.[Online].2011[cited 2014 Januari 25].Avaible
from.http://www.medicastore.com
4. Bhutta Z A. Typhoid
from:http://www.tropika.net

Fever.[Online].;2011[cited

2014

Januari

25].Available

5. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak.; 15 th ed; Editor: W Samik. vol 2.
Jakarta:EGC;2000.p.419
6. D Patrick. At a Glance Medicine. Editor: S Amalia. Jakarta:Erlangga;2003.p.298.
7. H Dimas S. Demam Tifoid.[Online].;2012[Cited
from:http://www.medicine.uii.ac.id

2014

Januari

22].Available

8. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med.[Online].: 2002[Cited 2014 Januari 22].Available
from:http://www.medicine.uchs.edu

Demam Tifoid
Narthi Lubis
Pembimbing : dr. Nelly Saurma Simarmata Sp.A
dr. Theodora Hutagalung

Page 12

Anda mungkin juga menyukai