Anda di halaman 1dari 38

ILMU PERUNDANG UNDANGAN

1. Pengertian Peraturan Perundang-undangan


Menurut Bagir Manan,1 Peraturan perundang-undangan adalah setiap
putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau
Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan
tata cara yang berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengertian peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum
mengikat secara umum dan dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang
undangan.
Nomenklatur perundang-undangan dapat

di

dahului

dengan

kata

lain. Peraturan misalnya, sehingga menjadi peraturan perundang-undangan,


yang

tediri

dari

kata

peraturandan

kata

perundang-undangan.

Nomenklatur peraturan2 adalah aturan-aturan yang dibuat oleh yang berkuasa


untuk mengatur sesuatu; misal peraturan gaji pegawai, peraturan pemeritah,
aturan-aturan (petunjuk, ketentuan dan sebagainya) yang dibuat oleh pemerintah,
yang salah satu bentuknya adalah undang-undang. Sedangkan aturan3 adalah
cara (ketentuan, patokan, petunjuk, perintah, dan sebagainya) yang telah
ditetapkan supaya diturut; misalnya, kita harus menurut aturan lalu-lintas,
bagaimana aturan minum obat ini, seuanya dikerjakan dengan aturan. Sedangkan
nomenklatur aturan dalam bahasa Arab disebut kaidah dan dalam bahasa
Latin disebut dengan norma.4 Dengan demikian

nomenklatur peraturan

perundang-undangan mempunyai arti yang lebih terfokus yakni aturan (kaidah,


1

Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan hukum


Nasional,Armico, Bandung, 1987, hlm. 13.
2
Ibid, hlm. 65
3
Ibid
4
Maria Farida Indrati Soeprapto, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Kanisius,
Yogyakarta, 1998 ,hlm. 11.

norma) yang dibuat oleh yang berkuasa untuk mengatur sesuatu. Dengan
demikian dapat ditemukan unsur-unsur peraturan perundang-undangan yaitu:
a. peraturan tertulis
Apa yang dimaksud dengan peraturan tertulis sampai saat ini belum ada
definisi yang pasti. Peraturan yang tertulis tidak sama dengan peraturan yang
ditulis. Yurisprudensi misalnya, adalah bukan peraturan tertulis, walaupun bentuk
fisiknya ditulis. Peraturan tertulis mengndung ciri-ciri sebagai berikut:
1) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan adalah segala peraturan yang tercantum di
dalam Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki perundang-undangan
yakni Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesiua Tahun 1945, TAP
MPR, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
2) Peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara yang
berwenang;
3) Pembuatan peraturannya melalui prosedur tentu;
4) Apabila dicermati maka baik Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesiua Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, maupun Peraturan Presiden tersebut
ditempatkan di dalam lembaran negara, dan Peraturan Daerah ditempatkan
dalam lembaran daerah. Dengan demikian peraturan tersebut ditempatkan di
lembaran resmi.
b. dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat negara
Peraturan perundang-undang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
negara. Hal ini berbeda dengan norma agama Islam misalnya, yang merupakan
wahyu dari Allah swt. Disamping dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
negara, peraturan perundang-undangan juga dapat memuat sanksi bagi
pelanggarnya, dan sanksi tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh alat
negara. Dengan demikian kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
datangnya dari luar, yakni dipaksakan dengan sanksi. Sedangkan kepatuhan
2

terhadap norma agama datangnya dari dalam, yakni kesadaran diri sendiri untuk
mematuhinya.
c. mengikat secara umum
Dari segi adressat atau alamat yang dituju maka peraturan perundangundangan adalah norma hukum umum, yakni yang ditujukan untuk orang banyak.
Disamping bersifat umum, peraturan perundang-undangan juga bersifat abstrak
dan

berlaku terus

menerus.

Untuk itu

merupakan Regelings dan harus dibedakan

peraturan

perundang-undangan

daribeschikking yang

bersifat

individual, konkrit dan sekali selesai. Peraturan perundang-undangan merupakan


objek judicial review sedangkan beschikking merupakan objek peradilan tata
usaha negara. Peraturan perundang-undangan juga mengikuti prinsip hirarkhi
norma sesuai dengan tata urutannya.
2. Sifat Peraturan Perundang-undangan
Peraturan perundang-undangan bersifat umum, abstrak dan terus menerus.
Hal ini berbeda dengan keputusan yang bersifat konkrik, individual dan
final. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 mengenai jenis dan
tata urutan perundang-undangan, dapat diketahui bahwa peratura perundangundangan terdiri dari:
a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesiua Tahun 1945;
b. Ketetapan MPR;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Sebelum dikeluarkannya Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004,
nomenklatur Peraturandan Keputusan sering

menimbulkan

kesalah

pengertian. Selain dari pada itu juga sering dicampuradukkan. Padahal antara
nomenklatur Peraturan dan nomenklatur Keputusanmempunyai pengertian

yang berbeda. Nomenklatur Peraturan berasal dari kata atur,mengatur,


aturan dan peraturan,5 yang bersifat mengatur (regeling).
Untuk itu maka peraturan perundang-undangan di bawah Undang Undang
yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau Pejabat Negara
yang

mempunyai

(menjalankan)

fungsi

legislatif

yang

bersifat

mengatur (regeling) harus memakai nomenklaturPeraturan. Mengapa hanya


putusan tertulis yang berada di bawah Undang Undang saja yang memakai
nomenklatur peraturan? Beberapa alasan yang mendasarinya mengapa hanya
putusan tertulis yang berada di bawah undang-undang saja yang diseragamkan
nomenklaturnya adalah sebagai berikut:
1) peraturan perundang-undangan berupa UUD dan UU merupakan produk
kompromi

dengan

rakyat,

artinya

rakyat

dilibatkan

dalam

proses

pembuatannya,
2) nomenklatur UUD dan UU, sudah sangat dikenal atau sudah sangat lazim
sebagai putusan tertulis berupa peraturan yang bersifat regeling, dan
3) daya berlaku UUD dan UU bersifat nasional, sehingga menyentuh seluruh
rakyat, bangsa dan negara Indonesia.
3. Peraturan Perundang-undangan Yang baik
Peraturan perundang-undangan merupakan hasil karya atau produk
hukum dari Lembaga dan atau Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan)
fungsi legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku. Moh. Mahfud
MD membedakan secara tajam karakter produk hukum antara produk hukum
yang responsive/populistik dengan

produk

hukumkonserfatif/ortodoks/elitis,

bahwa:6
Produk

hukum responsive/populistik adalah

produk

hukum

yang

mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan mayarakat. Dalam proses


5

Jimly Assiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat

UUD Tahun 1945, Makalah disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VII,
Denpasar, 14 18 Juli 2003, hlm 28.
6

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2001, hlm. 25

pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompkkelompok sosial atau individu di dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsive
terhadap tuntutan-tuntutan kelompok sosial atau individu dalam masyarakat.
Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang
isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan
keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat
pelaksana ideology dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsive,
hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun
individu-individu di dalam masyarakat. Dalam pembuatannya peranan dn
partisipasi masyarakat relatif kecil.
Untuk mengkualifikasi apakah suatu produk hukum responsive atau
konserfatif, indikator yang dipakai adalah proses pembuatan hukum, sifat fungsi
hukum, dan kemungkinan penafsiran atas sebuah produk hukum.
Produk hukum yang berkarakter responsive, proses pembuatannya
bersifat

parisipatif,

yakni

mengundang

sebanyak-banyaknya

partisipasi

masyarakat melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam


masyarakat. Sedangkan proses pembuaan hukum yang berkarakter ortodoks
bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh lembaga negara terutama
pemegang kekuasaan eksekutif.
Dilihat dari fungsinya maka hukum yang berkarakter responsive bersifat
aspiratif. Arinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dngan aspirasi
atau kehendak masyarakat yang dilayaninya. Sehingga produk hukum itu dapat
dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat. Sedangkan hukum yang
berkarakter ortodoks bersifat positivis-instrumentalis. Artinya memuat materi
yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau
memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan
kepentingan program pemerintah.
Jika dilihat dari segi penafsiran maka produk hukum yang berkarakter
responsif/populistik biasanya memberi sedikit peluang bagi pemerintah untuk
membuat penafsiran sendiri melalui berbagai peraturan pelaksanaan dan peluang
yang sempit itupun hanya berlaku untuk hal-hal yang betul-betul bersifat teknis.

Sedangkan produk hukum yang berkarakter ortodoks/ konserfatif/ elitis memberi


peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan
berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan
tidak sekedar masalah teknis. Oleh sebab itu, produk hukum yang berkarakter
responsive biasanya memuat hal-hal penting secara cukup rinci sehingga sulit
bagi pemerintah untuk membuat penafsiran sendiri. Sedangkan produk hukum
yang berkarakter ortodoks biasanya cenderung memuat materi singkat dan
pokok-pokoknya saja untuk kemudian memberi peluang yang luas bagi
pemerintah untuk mengatur berdasarkan visi dan kekuatan politiknya
Menurut Bagir Manan, suatu peraturan perundang-undangan yang baik
setidaknya didasari pada 3 (tiga) hal,7 yakni:
1) Dasar Yuridis (juridishe

gelding), yakni pertama,

keharusan

adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan. Setiap


peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang
berwenang. Kalau tidak, peraturan perundang-undangan itu batal demi
hukum (van rechtswegenietig). Dianggap tidak pernah ada dan segala
akibatnya batal secara hukum. Misalny, undang-undang dalam arti
formal (wet in formelezin) dibuat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Setiap undang-undang yang tidak merupakan produk besama antara Presiden
dan DPR adalah batal demi hukum. Begitu pula Keputusan Menteri,
Peraturan Daserhdan sebagainya harus pula menunjukkan kewenangan
pembuatnya. Kedua, keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan
perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi atau sederajat.
Ketidak sesuaian bentuk ini dapat menjadi alasan untuk membatalkan
peraturan perundang-undangan tersebut. Misalnya kalau UUD 1945 atau
undang-undang terdahulu menyatakan bahwa sesuatu diatur dengan undangundang, maka hanya dalam bentuk undang-undan ha itu diatur. Kalau diatur
dalam bentuk lain misalnya Keputusan Presiden, maka Keputusan Presiden
7

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill. Co, Jakarta,


1992, hlm. 13 - 18.

tersebut dapat dibatalkan (vernietigbaar). Ketiga, keharusan mengikuti tata


cara tertentu. Apabila tata cara tersebut tidak diikuti, peraturan perundangundangan mungkin batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Peraturan Daerah dibuat oleh Kepala Daerah dengan
persetujuan DPRD. Kalau ada Peraturan Daerah tanpa (mencantumkan)
persetujuan DPRD maka batal demi hukum. Dalam undang-undang tentang
pengundangan

(pengumuman)

bahwa

setiap

undang-undang

harus

diundangkan dalam Lembaran Negara sebagai satu-satunya cara untuk


mempunyai kekuatan mengikat. Selama pengundangan belum dilakukan,
maka undang-undang tersebut belum mengikat. Keempat, keharusan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Suatu undang-undang tidak boleh mengandung kaidah yang
bertentangan dengan UUD. Demikian pula seterusnya sampai pada peraturan
perndang-undangan tingkat lebih bawah.
2) Dasar Sosiologis (sociologische gelding), yakni mencerminkan kenyataan
yang hidup dalam masyarakat. Dalam satu masyarakat industri, hukumnya
(baca: peraturan perundang-undangannya) harus sesuai dengan kenyataankenyataan yang ada dalam masyarakat industri tersebut. Kenyataan itu dapat
berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi seperti
masalah perburuhan, hubungan majikan-buruh, dan lain sebagainya.
3) Dasar Filosofis, bahwa setiap masyarakat selalu mempunyai ciata hukum
(rechtsidee) yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum (baca: peraturan
perundang-undangan), misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban,
kesejahteraan dan sebagainya. Rechtidee tersebut tumbuh dari sistem nilai
mereka mengenai baik dan buruk, pandangan mereka mengenai hubungan
individual dan kemasyarakatan,
tentang kebendaan, tentang kedudukan wanita, tentang dunia gaib dan lain
sebagainya Semuanya ini bersifat filosofis, artinya menyangkut pandangan
mengenai inti atau hakekat sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem
nilai tersebut baik sebagai sarana yan melindungi nilai-nilai maupun sebagai

sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada


yang dibiarkan dalam masyarakat, sehingga setiap pembentukan hukum atau
peraturan perundang-undangan harus dapat menangkapnya setiap kali akan
membentuk hukum atau peraturan perundang-undangan. Tetapi ada kalanya
sistem nilai tersebut telah terangkum secara sistematik dalam satu rangkuman
baik berupa teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin filsafat resmi
seperti Pancasila. Dengan demikian, setiap pembentukan hukum atau
peraturan perundang-undangan sudah semestinya memperhatikan sungguhsungguh rechtsidee yang terkandung dalam Pancasila.
4. Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
Materi muatan yang harus diatur dengan UUD meliputi:
a. hak asasi manusia,
b. hak dan kewajiban warga negara,
c.

pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara, pembagian kekuasaan


negara,

d. wilayah negara dan pembagian daerah,


e. kewarganegaraan dan kependudukan,
f. keuangan negara
Materi yang diatur oleh UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut
ketentuuan UUD, dan berisi ketentuan yang diperintahkan oleh suatu UU untuk
diatur dengan UU. Materi muatan Peraturan Pemerrintah Pengganti Undangundang sama degan materi muatan UU.
Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Uu
sebagaimana mestinya. Yang dimaksud dengan sebagimana mestinya adalah
materi muatan yang diatur dalam Peraturan pemerintah tidak boleh menyimpang
dari materi yang diatur dalam UU yang bersangkutan.
Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh
UU atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sesuai dengan
kedudukan Presiden menurut UUD 1945, Peraturan Presiden adalah peraturan
yang dibuat oleh Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai

atribusi dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Peraturan Presiden dibentuk untuk
menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UU atau PP baik secara tegas
maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.
Materi muatan Peraturan daerah adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung
kondisi

khusus

daerah

serta

penjabaran

lebih

lanjut

Peraturan

Perundangundangan yang lebih tinggi.


Materi muatan peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam
rangka penyelenggaraan urrusan desa atau yang setingkat serta pejabaran lebih
lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
5. Peranan Peraturan Perundang-undangan
Secara garis besar, didunia ini terdapat dua sistem hukum yaitu sistem
hukum kontinental dan sistem hukum anglo sakson.8 Sistem hukum kontnental
mengutamakan hukum tertulis sebagai sendi utamanya, sedangkan pada sistem
hukum anglo sakson yang diutamakan adalah yurisprudensi. Namun pada
perkembangan selanjutnya, antara hukum tertulis dan yurisprudensi menduduki
peranan penting di kedua sistem hukum tersebut. Hukum tertulis diwujudkan di
dalam peraturan perundang-undangan berupa aturan-aturan yang dibuat oleh
yang berkuasa sedangkan yurisprudensi diwujudkan di dalam keputusan hakim.
Peranan peraturan perundang-undangan di Indonesia dari hari ke hari
semakin besar. Sebab-sebab peranan peraturan perundang-undangan makin besar,
menurut Bagir Manan9 dikarenakan:
a) Peraturan perundang-undangan merupakan kaidah hukum yang mudah
dikenal (diidenifikasi), mudah diketemukan kembali, mudah ditelusuri.
Sebagai kaidah hukum tertulis, bentuk/ jenis dan tempatnya jelas.

Rene David (et. Al), Major Legal Sysem In The World To Day, Steven & Son, London,

1985, hlm 26.

Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia,Op. Cit., hlm. 8

b) Peraturan per UU memberikan kepastian hukum yang lebih nyata karena


kaidah-kaidahnya mudah diidentifikasi dan mudah diketemuan kembali.
c) Sruktur dan sistematika peraturan perundang-undangan lebih jelas

sehingga

memungkinkan untuk diperiksa kembli dan diuji baik segi-segi formal


maupun materi muatannya.
d) Pembentukan dan pengembanan peraturan perundang-undangan dapat
direncanakan. Faktor ini sangat penting bagi negara-negara yang sedang
membangun termasuk membangun sistem hukum baru yang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Peranan peraturan perundang-undangan ditunjukan bahwa dari tahun ke
tahun jumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia semakn bertambah.
Hal ini di buktikan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang
tidak sedikit setiap tahun apalagi jika dihitung sejak tahun 1945. Pada tahun 1945
hanya satu UU yang dikeluarkan yakni UU No. 1 Tahun 1945 yang ditetapkan
pada tanggal 23 Nopember 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah.
Kemudian pada tahun 1946 dikeluarkan UU sebanyak 24, pada tahun 1947
dikeluarkan UU sebanyak 41 dan untuk tahun-tahun berikutnya hingga sekarang
secara fluktuatif terus diproduksi berbagai undang-undang. Untuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang Undang baru dikeluarkan pada tahun 1946, dan
saat itu dikeluarkan sebanyak 10 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang, antara lain PRP No.1 Tahun 1946 yang ditetapkan pada tanggal 7 Juni
1946 tentang Susunan Dewan Pertahanan Daerah dalam Daerah Istimewa. Untuk
Undang Undang Darurat, dikeluarkan sejak tahun 1959 sampai dengan tahun
1950 yakni dalam masa KRIS dan UUDS 1950. Undang Undang Darurat untuk
pertama kali dikeluarkan pada tahun 1949 adalah Nomor 1/Drt/1949 tentang
Penerbitan Lembaran Negara RIS dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan
dan Mulai Berlakunya Undang Undang Federal dan Peraturan Pemerintah, yang
dikeluarkan pada tanggal 27 Desember 1949.
6. Model Tatanan Perundang-undangan

10

Peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari hukum.Dengan


demikian maka perubahan tatanan peraturan perundang-undangan mengikuti
perubahan tatanan hukum. Tatanan hukum itu sendiri mengalami perkebangan
secara perlahan (evolution).Philippe Nonet dan Philip Selznick menggambarkan
perkembangan tatanan hukum sebagai berikut:10
a. Tatanan Hukum Represif, yakni hukum dipandang sebagai abdi kekuasaan
represif dan perintah dari yang berdaulat. Ciri Tatanan Hukum Represif
adalah:
1) Kekuasaan politik memiliki akses langsung pada institusi hukum,
sehingga tata hukum praktis menjadi identik dengan negara, dan hukum
disubordinasi padaraison detat.
2) Konservasi otoritas menjadi preokupasi berlebihan para pejabat hukum
yang

memunculkan

perspektif

pejabat,

yakni

perspektif

yang

memandang keraguan harus menguntungkan sistem, dan sangat


mementingkan kemudahan administratif.
3) Badan kontrol khusus menjadi pusat kekuasaan independen yang
terisolasi dari konteks sosial yang memoderatkan dan kapabel melawan
otoritas politik.
4) Resim hukum-ganda menginstitusionalisasi keadilan kelas yang
mengkonsolidasi dan melegitimasi pola-pola subordinasi sosial.
5) Perundang-undangan

Pidana

mencerminkan dominant

mores yang

sangat menonjolkan legal moralism


b. Tatanan Hukum Otonomus, yakni hukum dipandang sebagai institusi mandiri
yang mampu mengendalikan represi dan melindungi integritasnya sendiri.
Tatanan hukum ini berintikan pemerintahan Rule of Law, subordinasi
putusan pejabat pada hukum, integritas hukum, dan dalam kerangka itu,

10

Phillippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition, New York:
Phillippe and Philip Selznick, Harper & Row, 1978, hlm 14 dst. Lihat jugaBernard Arief
Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian tentang Fundasi Kefilsafatan
dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Nasional, Bandung: Mandiri Maju, 1999, hlm 50 52.

11

institusi hukum serta eara berpikir mandiri memiliki batas-batas yang jelas.
Ciri tatanan Hukum Otonomus adalah:
1) Hukum terpisah dari politik yang mengimplikasikan kewenangan
kehakiman yang bebas dan separasi fungsi legislatif dan fungsi judisial.
2) Tata hukum mengacu model aturan. Dalam kerangka ini, maka aturan
membantu penegakan penilaian terhadap pertanggungjawaban pejabat.
Selain itu, aturan membatasi kreatifitas institusi-institusi hukum dan
peresapan hukum ke dalam wilayah politik.
3) Prosedur dipandang sebagai inti hukum, dan dengan demikian maka
tujuan pertama dan kompetensi utama Tata Hukum adalah regulsai dan
kelayakan.
4) Loyalitas pada hukum yang mengharuskan kepatuhan semua pihak pada
aturan hukum positif. Kritik terhadap aturan hukum positif harus
dilaksanakan melalui proses politik.
c. Tatanan Hukum Responsif, hukum dipandang sebagai fasilitator respons atau
sarana tanggapan terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Pandangan ini
mengimplikasikan dua hal. Pertama, hukum itu harus fungsional, pragmatik,
bertujuan, dan rasional. Kedua, tujuan menetapkan standar bagi kritik
terhadap apa yang berjalan. Ini berarti bahwa tujuan berfungsi sebagai norma
kritik dan dengan demikian mengendalikan diskresi administratif serta
melunakkan resiko institutional surrender. Dalam tipe ini, aspek ekspresi
dari hukum lebih mengemuka ketimbang dalam dua tipe lainnya, dan
keadilan substantif juga dipentingkan di samping keadilan proseduran.
Teori perkembangan tatanan hukum dari Philippe Nonet dan Philip
Selznick perlu mendapat pengkajian yang lebih mendalam lagi. Apakah
perkembangan hukum di Indonesia juga seperti apa yang digambarkan oleh
kedua pakar itu.
7. Code of Law, Code of Conduct, dan Code of Ethics

12

Code of law dapat diartikan sebagai kode hukum negara,

11

berupa

peraturan perundang-undangan. Hakekat dari negara hukum pada dasarnya


adalah bahwa segala kehidupan, ---baik kehidupan berbangsa, kehidupan
bernegara maupun kehidupan bermasyarakat-- harus berjalan di atas hukum. Hal
tersebut diungkapkan oleh Bagir Manan danSudargo Gautama walaupun dalam
redaksional yang berbeda.
Menurut Bagir Manan bahwa negara berdasar atas hukum secara esensial
bermakna

bahwa

hukum

adalah supreme dan

kerwjiban

bagi

setiap

penyelenggara negara atau pemerintahan untuk tunduk pada hukum (subject to


the law) tidak ada kekuasaan di atas hukum(above the law) semuanya ada di
bawah hukum (under the law). Dengan kedudukan ini tidak boleh ada kekuasaan
yang

sewenang-wenang (arbitrary

power) atau

penyalahgunaan

kekuasaan(misuse of power).12
Menurut Sudargo Gautama bahwa negara hukum ialah suatu negara,
dimana perseorangan mempunyai hak terhadap negara, dimana hak-hak asasi
manusia diakui oleh undang-undang, di mana untuk merealisasikan perlindungan
hak-hak ini kekuasaan negara dipisah-pisahkan hingga badan penyelenggara,
badan pembuat undang-undang dan badan peradilan berada pada pelbagai tangan
dan dengan susunan badan peradilan bebas kedudukannya, untuk dapat memberi
perlindungan semestinya kepada setiap orang yang merasa hak-haknya dirugikan,
walaupun andaikata hal ini terjadi oleh alat negara sendiri.13
Dengan demikian di dalam negara yang berdasarkan atas hukum, peranan
huukum menjadi sangat penting, yakni sebagai dasar atau landasan segala
kehidupan. Hukum sebagai pemimpin yang utama atau sebagai the rule of
law bukan sebagai the rule by law. Jika di dalamthe rule of law huukum sebagai

11

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi,


Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 370.
12
Bagir Manan, Lembaga Krepresidenan, Kerjasama Pusat Studi Hukum FH UII
Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 11.
13

Sudargo Gautama, Pengertian tentang Negara hukum, Alumni, Bandung, 1983,

hal. 21.

13

landasan maka di dalam the rule by law hukum hanya sebagai alat legalitas saja,
suatu tindakan dilegalkan oleh hukum.
Disamping sebagai warga dari negara yang diatur dengan code of
law, warga yang mengikuti organisasi tertentu juga diatur oleh Code of
conduct yakni kode perilaku berupa ketentuan-ketentuan yang dimaksudkan
untuk mengatur perilaku warga atau para anggota suatu organisasi, bisa
berbentuk anggaran dasar atau anggaran rumah tangga organisasi.14
Code of ethics adalah kode etik yang merupakan code of professional
responsibilityyang

berbeda

dengan code

of

law maupun Code

of

conduct. Pengertian Code of Professional Responsibility Berdasarkan Blacks


Law Dictionary[18] adalah: The Model code of professional responsibility of the
American Bar Association consisted of basic canons of professional conduct for
attorneys together with ethical considerations and disciplinary rules for each
cannon covering specific attorney conduct. Most states adopted similar
professional responsibility codes as based on ABA model. In 1983 the ABA
replaced the code of professional responsibility with the model rules of
professional conduct.
Hampir setiap profesi memiliki kode etik sendiri-sendiri. Kode etik
kedokteran, kode etik insinyur, kode etik kejaksaan, kode etik psikologi dan
sebagainya. Etika kehidupan berbangsa di Indonesia pernah dituangkan dalam
Ketetapan MPR RI Nomor : VI/MPR/2001 tanggal 9 november 2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa.
8. Asas Peraturan Perundang-undangan
Asas-asas

peraturan

perundang-undangan

pada

dasarnya

dikelompokkan ke dalam dua bagian yakni:


1. Asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan
2. Asas-asas dalam materi muatan peraturan perundang-undangan.

14

Jimly Asshiddiqie, Op. Cit., hlm. 370.

14

dapat

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan


pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang
meliputi:15
kejelasan tujuan;
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan;
dapat dilaksanakan;
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
kejelasan rumusan; dan
keterbukaan.
Yang dimaksud dengan asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas
yang hendak dicapai. Yang dimaksud dengan asas kelembagaan atau organ
pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap jenis peraturan perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan
yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum, bila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Yang dimaksud dengan asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan
adalah bahwa dalam pembenetukan peraturan perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan
peerundang-undangan. Yang dimaksud dengan asas dapat dilaksanakan adalah
bahwa

setiap

pembentukan

peraturan

perundang-undangan

harus

memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam


masyarakat, baik secarra filosofis, yuridis mauupun sosiologis. Yang dimaksud
dengan asas kedayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Yang dimaksud degan asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiiap
peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
15

Pasal 5 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

15

peraturan perundang-uundangan, sistematika dan pilihan kata atau termonologi,


serta bahasa hukuumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Yang
dimaksud dengan asas keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan
peraturran perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan,
dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh
lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya

untuk

memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perrundang-undangan.


Materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas sebagai
berikut:16
a. Pengyoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhineka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan atau
j. keseimbangan , keserasian, dan keselarasan.
Yang dimaksud dengan asas pengayoman adalah bahwa setiap peraturan
perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat. Yang dimaksud dengan asas kemanuusiaan
adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus
mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia seerta
harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara
proporsional.
Yang dimaksud dengan asas kebangsaan adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak
16

Pasal 5 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

16

bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan)dengan tetap menjaga prinsip


negara kesatuan Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan asas kekeluargaan
adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-uundangan harus
menceerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keeputusan.
Yang dimaksud dengan asas kenusantaraan adalah bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan
seluruh wilayah Indonesia dan materi muatanperaturan perundang-undangan
yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasrkan Pancasila. Yang dimaksud dengan asas bhineka tunggal ika adalah
bahwa materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan
budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Yang dimaksud dengan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan adalah materi muatan peeraturan perundang-undangan tidak boleh
berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Yang dimaksud dengan
asas ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Yang dimaksud dengan
asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan adalah bahwa materi muatan
setiap peraturan perundangundangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat degan
kepentingan dan negara.
Yang dimaksud dengan asa sesuai dengan bidang hukum masing-masing
antara lain:
a) dalam hukum pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukum tanpa
kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
b) dalam hukum perrdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain asas
kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

17

9. Jenis Peraturan Perundang-undangan


Jenis

perturan

perundang-undangan

dari

masa

ke

masa

tidak

sama. Berdasarkan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 disebutkan bahwa jenis-jenis peraturan
perundang-undangan adalah: Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945; Ketetapan MPR; Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; dan Peraturan
Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Jenis-jenis

peraturan

perundang-undangan

pada

masa

sebelum

kemerdekaan diproklamirkan adalah:


10. Stufenbau Des Rechts Theorie
Dalam kehidupan bermasyarakat diatur oleh beberapa norma. Norma
hukum tertulis tersusun dalam suatu susunan yang bertingkat seperti piramida,
yang merupakan sokoguru sistem hukum nasional. Hal ini ditegaskan oleh
Padmo Wahjono bahwa 17
ketertiban hidup bermasyarakat dan bernegara dicerminkan ataupun
dipedomani oleh suatu pertingkatan hukum, baik mengenai bentuk
maupun isi, di mana yang lebih tinggi kedudukannya dalam pertingkatan
menentukan arahnya dan yang didukung oleh yang lebih rendah
kedudukannya dalam pertingkatan tersebut. Ini merupakan sokoguru
suatu sistem hukum nasional dalam zaman modern ini
Untuk mengetahui teori umum tentang piramida perundang-undangan,
Hans Kelsen mengemukakan teori stufenbau (stufenbau des rechts theorie) dalam

17

Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional Dalam Negara Hukum Pancasila, Pidato
Ilmiah pada Peringatan Dies Natalis Universitas Indonesia ke-33, cetakan ke-2, CV. Rajawali,
Jakarta, 1992, hlm. 2 3.

18

bukunya yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dengan judul General


Theory of Law and State olehAnders Wedberg. Menurut Hans Kelsen bahwa
The creation of one norm the lower one is determined by another
the higher the creation of which is determined by a still higher norm,
and that this regresses is terminated by a highest, the basic norm which,
being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes
in unity.
(norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi,
demikian seterusnya dan bahwa ini regressus diakhiri oleh suatu paling
tinggi, norma dasar, menjadi pertimbangan bagi kebenaran keseluruhan
tata hukum).
Norma Dasar (basic norm/ Grundnorm) yang merupakan norma tertinggi
dalam sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih
tinggi lagi, tetapi Norma Dasar(basic norm/ Grundnorm) itu ditetapkan terlebih
dahulu oleh masyarakat sebagai norma Dasar(basic norm/ Grundnorm) yang
merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya sehingga
suatu Norma Dasar (basic norm/ Grundnorm) itu dikatakah pre-supposed.
Teori jenjang norma hukum dari Hans Kelsen ini diilhami oleh muridnya
yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu
selalu mempunyai dua wajah(das Doppelte Rechsantlitz). Menurut Adolf Merkl,
suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma yang di
atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma
hukum di bawahnya sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa
berlaku (rechtskraht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma
hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya sehingga
apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka normanorma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus.

19

Teori tersebut dikembangkan oleh Hans Nawiasky18 murid Hans


Kelsen, bahwa norma hukum dalam negara selalu berjenjang, yakni sebagai
berikut:
1. Norma fundamental negara (Staats fundamentalnorm);
2. Aturan-aturan dasar Negara/ aturan pokok Negara (staatsgrundgesetz);
3. Undang-undang (formell gesetz); dan
4. Peraturan pelaksana serta peraturan otonom (verordnung & autonome satzung)
.
Menurut

Nawiasky, isi Staatsfundamentalnorm ialah

norma

yang

merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar suatu


negara (Staatsverfassung), termasuk

norma

pengubahnya.

Hakekat

hukum

suatu Staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau


undang-undang dasar. Ia ada terlebih dahulu sebelum adanya konstitusi. Di
bawah norma fundamental negara (Staatsfundamentalnorm) terdapat aturan
pokok negara (Staatsgrundgesetz), yang biasanya dituangkan ke dalam batang
tubuh

suatu

undang-undang

bawah staatsgrundgesetz terdapat

dasar

atau

norma

konstitusi
yang

lebih

tertulis.

Di

konkrit,

yakni formellegesetz (undang-undang formal), sedangkan norma yang berada di


bawahformellegesetz adalah verordnung

&

autonome

satzung (peraturan

pelaksanaan atau peraturan otonom)

18

A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam


Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden
Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I IV, Disertasi Fakultas Pascasarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.

20

21

Secara konseptual, istilah wewenang atau kewenangan yang dalam


bahasa Belanda disebut bevoegdheid yang berarti wewenang atau berkuasa.
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam literasi politikkekuasaan dan Hukum Tata Pemerintahan atau Hukum Administrasi, karena
suatu pemerintahan atau organisasi pemerintah dapat menjalankan fungsinya atas
dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan tindakan pemerintahan diukur
berdasarkan wewenang yang diatur dalam konstitusi maupun regulasi
turunannya, seperti peraturan perundang-undangan.
Jika mengacu pada pandangan SF. Marbun, Perihal kewenangan dapat
dilihat dari Konstitusi Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik
dan Lembaga Negara, seperti halnya desa dalam menjalankan fungsinya. Dengan
kata lain, wewenang desa adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.19
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai
dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap
negara

hukum,

seperti

halnya

bagi

desa.

Dengan

kata

lain,

setiap

penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan harus memiliki legitimasi, yaitu


kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substansi
asas legalitas adalah wewenang, yaitu suatu kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan-tindakan hukum tertentu.
19

22

Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan


sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau
kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan
orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan 20. Lebih lanjut
Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu
pengertian tentang pemberian wewenang (delegation of authority). Delegation of
authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager)
kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggungjawab untuk
melakukan tugas tertentu, Dengan demikian kewenangan yang dimiliki desa
merupakan proses delegation of authority dan proses decentralization of power
dilaksanakan melalui langkah-langkah konstitusional.
Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan bahwa kewenangan adalah apa yang
disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang berasal dari Kekuasaan Legislatif
(diberi oleh Undang-Undang) atau dari Kekuasaan Eksekutif/Administratif.
Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau
kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu
yang bulat, sedangkan wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja.
Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah
kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.21
Jika merujuk pada defenisi Undang Undang Nomor 6 tahun 2014 Tentang
Desa, maka kewenangan berdasarkan hak asal usul adalah hak yang merupakan
warisan yang masih hidup dan prakarsa desa atau prakarsa masyarakat desa
sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Artinya bahwa kewenangan
tersebut merupakan kewenangan yang dimiliki desa, bukan karena pemberian
20

Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar


Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989 h. 1170
21
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981

23

dari pemerintah pusat, melainkan kewenangan yang bersifat otonom hasil dari
rahim riwayat desa tersebut.
Hal ini tentu saja berbeda dengan kewenangan lokal berskala desa, yaitu
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat desa yang
telah dijalankan oleh desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh desa atau yang
muncul karena perkembangan desa dan prakarsa masyarakat desa, konsep
kewenangan ini didasari pada prinsip desentralisasi, dan delegasi, dekonsentrasi.
Dengan dua azas utama rekognisi dan subdidiaritas Undang Undang Desa
mempunyai semangat revolusioner, berbeda dengan azas desentralisasi dan
residualitas. Dengan mendasarkan pada azas desentralisasi dan residualitas desa
hanya menjadi bagian dari daerah, sebab desentralisasi hanya berhenti di
kabupaten/kota. Disamping itu, desa hanya menerima pelimpahan sebagian
kewenangan dari kabupaten/kota. Sehingga desa hanya menerima sisa-sisa
lebihan daerah, baik sisa kewenangan maupun sisa keuangan dalam bentuk
Alokasi Dana Desa.
Kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas Undang Undang
Desa menghasilkan definisi dengan definisi-definisi sebelum sebagai kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur
dan

mengurus

urusan

pemerintahan,

kepentingan

masyarakat

setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan NKRI.
Dengan definisi dan makna itu menempatkan desa sebagai organisasi
campuran

(hybrid)

antara

masyarakat

24

berpemerintahan

(self

governing

community)22 dengan pemerintahan lokal (local self government). Dengan


begitu, sistem pemerintahan di desa berbentuk pemerintahan masyarakat atau
pemerintahan berbasis masyarakat dengan segala kewenangannya (authority).
Desa juga tidak lagi identik dengan pemerintah desa dan kepala desa,
melainkan pemerintahan desa yang sekaligus pemerintahan masyarakat yang
membentuk kesatuan entitas hukum. Artinya, masyarakat juga mempunyai
kewenangan dalam mengatur desa sebagaimana pemerintahan desa.
Kewenangan merupakan elemen penting sebagai hak yang dimiliki oleh
sebuah desa untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri. Dari pemahaman ini
jelas

bahwa

dalam

membahas

kewenangan

tidak

hanya

semata-mata

memperhatikan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa namun harus juga


memperhatikan subjek yang menjalankan dan yang menerima kekuasaan.
Kewenangan harus memperhatikan apakah kewenangan itu bisa diterima oleh
subjek yang menjalankan atau tidak.
Dalam pengelompokannya, kewenangan yang dimiliki desa meliputi :
kewenangan dibidang penyelenggaraan pemerintahan desa, kewenangan dibidang
pelaksanaan

pembangunan

desa,

kewenangan

dibidang

pembinaan

kemasyarakatan desa, dan kewenangan dibidang pemberdayaan masyarakat desa


yang berdasarkan prakarsa masyarakat, atau yang berdasarkan hak asal usul dan
yang berdasarkan adat istiadat desa.
Dalam Pasal 19 dan 103 Undang Undang Desa disebutkan, desa dan desa
Adat mempunyai empat kewenangan, meliputi :

22

Sadu Wasito, Prospek Pengembangan Desa, Fokus Media, Bandung, 2007, hal. 122

25

a) kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan perundangundangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan
yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa.
b) kewenangan lokal berskala Desa dimana desa mempunyai kewenangan
penuh untuk

mengatur dan mengurus desanya. Berbeda dengan

perundang-undangan

sebelumnya

yang

menyebutkan,

urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan


pengaturannya kepada desa.
c) kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota.
d) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari empat kewenangan tersebut, pada dua kewenangan pertama yaitu
kewenangan asal usul dan kewenangan lokal berskala desa, terdapat beberapa
prinsip penting yang dimiliki desa. Dimana kewenangan yang dimiliki oleh desa
tersebut bukan-lah kewenangan sisa (residu) yang dilimpahkan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota sebagaimana pernah diatur dalam Undang Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa. Melainkan, sesuai dengan asas rekognisi
dan subsidiaritas. Dan kedua jenis kewenangan tersebut diakui dan ditetapkan
langsung oleh undang-undang dan dijabarkan oleh peraturan pemerintah.

26

Kewenangan berdasarkan hak asal usul merupakan kewenangan warisan


yang masih hidup dan atas prakarsa Desa atau prakarsa masyarakat Desa sesuai
dengan perkembangan kehidupan masyarakat. Sedangkan kewenangan lokal
berskala Desa merupakan kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan
efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan
prakasa masyarakat Desa. Kedua kewenangan ini merupakan harapan menjadikan
desa berdaulat, mandiri, dan berkepribadian.
Dengan kedua kewenangan ini Desa mempunyai hak mengatur dan
mengurus, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang Undang Desa, Desa
maupun Desa Adat mempunyai kewenangan mengeluarkan dan menjalankan
aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan menjalankan
aturan tersebut. Atau bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan
menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan
masalah yang muncul.
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
menentukan bahwa: Kewenangan desa berdasarkan hak asal usul sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 a paling sedikit terdiri atas:
a. sistem organisasi masyarakat adat;
b. pembinaan kelembagaan masyarakat;
c. pembinaan lembaga dan hukum adat;
d. pengelolaan tanah kas desa; dan
e. pengembangan peran masyarakat desa.
Berdasarkan pasal tersebut, maka salah satunya adalah pengelolaan tanah
kas desa yang mana desa diberi wewenang untuk mengatur dan mengurus dalam
hal pengelolaaannya yang meliputi: perencanaan, pengadaan, penggunaan,

27

pemanfaatan, pengamanan, pemeliharaan, penghapusan, pemindahtanganan,


penatausahaan, pelaporan, penilaian, pembinaan, pengawasan dan pengendalian
dan pemeliharaan untuk kemakmuran rakyat. Negara yang memberi kewenangan
untuk mengatur dan dalam pelaksanaanya dikuasakan pada desa dengan tetap
berpegang pada tujuan utama yaitu sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.
Salah satu sasaran pokok dari peningkatan kesejahteraan masyarakat desa
ialah bagaimana kemudian meningkatkan mutu sebuah desa, ada begitu banyak
Potensi desa yang dapat diberdayakan dan pengelolaanya harus dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat desa serta meningkatkan
pendapatan desa. Salah satu asset desa yang dapat dikuasai adalah tanah kas desa.
Berdasarkan

uraian

tersebut

di

atas,

maka

penulis

bermaksud

menuangkanya dalam bentuk penelitian dan penulisan dalam rangka penyusunan


tesis dengan judul Kewenangan Desa Dalam Pengelolaan Tanah Kas Desa
Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah sebagaimana di atas,
maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah kewenangan desa dalam pengelolaan tanah kas desa dengan
adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 ?
2. Bagaimana

pengelolaan

tanah

kas

desa dalam mewujudkan

kesejahteraan masyarakat desa ?


C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yang hendak dicapai sebagai berikut :

28

1. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis serta mengkaji guna


menemukan jawaban atas pengaturan kewenangan berdasarkan hak asal
usul dan kewenangan lokal berskala desa dalam pengelolaan tanah kas
desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
2. Untuk mengetahui, menganalisis dan mengkaji guna menemukan jawaban
atas implikasi yuridis pengelolaan tanah kas desa dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan manfaat baik
secara teoritis

maupun secara praktis. Dimensi teoritis penelitian ini dapat

memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan kewenangan desa dalam


pengelolaan tanah kas desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014,
dalam rangka peningkatan wawasan dan kemampuan akademik. Pada tataran
praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi desa yang melakukan
pengelolaan tanah kas desa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa.
E. Kerangka Konseptual
Agar lebih mudah untuk memahami maksud penulis, maka perlu kiranya
penulis memberikan defenisi atau batasan terhadap konsep-konsep yang akan
penulis teliti, hal ini dimaksudkan agar lebih mudah memahami dan
mengambarkan objek yang akan diteliti dan dibahas, maka perlu pengertian dan
batasan-batasan serta istilah yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:

29

1. Kewenangan menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan


kewenangan, yaitu : hal berwenang, hak dan kekuasaaan yang dipunyai
untuk melakukan sesuatu".23
2. Desa
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan desa adalah desa dan desa adat
atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan
masyarakat hukun yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat
setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pengelolaan
Menurut literature ilmu hokum istilah Pengelolaan dapat disamakan dengan
manajemen hukum, yang berarti pula pengaturan dan pengurusan.24
Banyak orang mengartikan manajemen sebagai pengaturan, pengelolaan, dan
pengadministrasian, dan memang itulah pengertian yang popular saat ini.
Pengelolaan diartikan sebagai suatu rangakaian pekerjaan atau usaha yang
dilakukan oleh sekelompok orang untuk melakukan serangkaian kerja dalam
mencapai tujuan tertentu.
Griffin mendefenisikan manajemen sebagai berikut: Pengeloaan adalah
perencanaan dan pengambilan keputusan, pengorganisasian, memimpin dan
pengendalian organisasi manusia, keuangan, fisik dan informasi sumber daya
untuk mencapai tujuan organisasi secra efisien dan efektif.25
23

Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008,

hal. 1560.
24

Suharsimi Arikunto, Fungsi Managemen dalam Pemerintahan, Litera antar Nusa,


Jakarta, 2003, hal. 31.
25
Griffin dalam Handoko, Ilmu Kepemimpinan, Tirana Akasara, Semarang, 2000, hal. 29

30

4. Tanah Kas Desa


Pengertian Tanah Kas Desa secara khusus tidak ditemukan dalam UU No . 6
Tahun 2014, kecuali hanya menentukan Tanah Kas Desa merupakan salah satu
aset desa yang dimiliki desa yang berupa tanah disertifikatkan atas nama
pemerintahan desa.
F. Landasan Teori
Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah pemberian wewenang
kepada unit-unit atau satuan pemerintahan yang lebih rendah dan lebih kecil
merupakan suatu kebutuhan yang mutlak dan tidak dapat dihindari. Mengingat
tingginya tingkat fragmenetasi sosial dalam sebuah negara, maka ada hal-hal
tertentu yang harus diselenggarakan secara lokal dimana pemerintah daerah
akan lebih baik menyelenggarakanya, ketimbang dilakukan secara nasional
dan sentralistik. Disamping itu, dengan diberikanya kewenangan kepada
pemerintah daerah maka tugas-tugas pemerintahan akan dijalankan dengan
lebik baik karena masyarakat sudah sangat memahami konteks sosial, ekonomi
dan politik yang ada disekitarnya. Masyarakat lebih memahami apa yang
menjadi kebutuhanya serta mobilisasi semua sumber daya dalam rangka
mendukung

fungsi

dalam

pelaksanaan

tugas

pemerintahan.

Konsep

desentralisasi dikembangkan dan berkembang bermacam-macam diantaranya


adalah disentralisasi politik, fungsional dan kebudayaan.
Pada sisi lain bahkan ada yang membagikan disentaralisasi kedalam
dekonsentrasi dan disentralisasi ketatanegaraan yang terbagi disentralisasi
territorial yang melahirkan otonomi dan medebewind atau zelbestuur dan
desentralisasi fungsional menyangkut kewenangan.26
26

Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah (Pasang Surut Hubungan Kewenangan antara

DPRD dan Kepala Daerah), Alumni, Bandung, 2008, hal 22.

31

Sehubungan dengan itu penyelenggaraan pemerintahan yang efesien dan


pembangunan yang terarah pada perwujudan kesejahteraan social yang
berkeadilan bagi seluruh rakyat di seluruh wilayah tanah air mensyaratkan
berkembanganya otonomi. Siswanto Sunarno yang menerangkan bahwa :
Pemikiran pertama, bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan
prinsip otonomi seluas-luasya ini mengandungung makna bahwa daerah
diberikan kewenangan membuat kebijakan daerah, untuk member pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang
bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemikiran kedua, bahwa
prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.27
Ada beberapa sumber kewenangan di antaranya yaitu:
1.
Atribusi adalah pemeberian wewenang, pemerintahan oleh pembuat
2.

undang-undang kepada orang pemerintahan.


Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari suatu

3.

organ pemerintahan lainya.


Mandat terjadi ketika

organ

pemerintahan

mengizinkan

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.28


Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa, pelaksanan kewenangan desa sangat diperhatikan terutama
kewenangan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala desa.
G. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian ini adalah yuridis normatif. Maka normatif yang
dimaksudkan adalah untuk menggali dan mengkaji peraturan perundangundangan sebagi dasar berpijak dalam meneliti persoalan. Seperti yang
diungkapkan Bahder Johan Nasution

27

Karekteristik utama penelitian ilmu

Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah, Sinar Grafika, Makasar, 2005, hal.

8
28

Ridwan HR, Hukum administrasi Negara, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2013, hal. 102.

32

hokum normatif dalam melakukan pengkajian hukum, sumber utamanya


adalah bahan hokum bukan data atau fakta social. 29 Begitupun menurut Mukti
Fajar ND dan Yulianto Ahmad, penelitian normatif adalah Penelitian hokum
yang meletakan hukum sebagai norma. Sistim norma yang dimaksud adalah
mengenai asas-asas norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan,
putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran)30
Sebagai konsekuensi penelitian normatif maka meneliti peraturan
perundang-undangan yang berlaku mengatur tentang kewenangan desa yaitu
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan diartikan sebagai usaha dalam rangka aktivitas penelitian
untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti atau metode-metode
untuk mencapai pengertian tentang masalah penelitian. Adapun pendekatan
(approach) yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah :
a. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach).
Dalam suatu penelitian normatif merupakan salah satu unsur penting yang
berfungsi meramalkan, menjelaskan dan membimbing peneliti kearah suatu
penalaran atau analisis permasalahan secara lebih sistematis dan logis. Untuk
itu harus diakui keberadaan konseptual yang berisikan tentang teori dan
pendapat ahli sebagai suatu kerangka pemikiran baku yang sudah mengandung
nilai abstraksi yang tinggi. Oleh karena itu , pemilihan suatu kerangka

29

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung
2008, hal. 86.
30
Mukti Fajar ND dan Yulianto Ahmad, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis
dan Disertasi, Raja Grafindo Persada , Jakarta, 2013, hal. 13

33

pemikiran harus berdasarkan suatu teori yang sedikit banyak ada elevansinya
dengan situasi problematika/kondisi empirik yang dihadapi.
Pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan melakukan kajian baik
terhadap konsep hukum maupun non hokum secara teoritis. Selanjutnya
dipergunakan untuk melakukan kajian yang berusaha menggambarkan tentang
akibat hokum dan dampak dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.

b. Pendekatan Perundang-Undangan (Statua Approach)


Pendekatan Perundang-Undangan (Statua Approach) ini dilakukan dengan
meneliti konsep perundang-undangan. Bahder Johan Nasution menagatakan
pendekatan perundang-undangan adalah penelitian terhadap norma-norma
hukum (peraturan perundang-undangan).31 Pendekatan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dilakukan guna mendapatkan landasan atau
dasar dalam melakukan pembahasan terhadap permaslahan, antara lain
perundang-undangan

seperti

Undang-Undang Dasar

Negara

Republik

Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.


c. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Penelitan atau pengkajian terhadap perkembangan produk-produk hokum
berdasarkan urutan-urutan periodesasi atau kenyataan sejarah yang melatar
belakanginya.32 Dan dilakukan dengan mengkaji latar belakang apa yang
dipelajari, serta perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi. Pada
31
32

Bahder Johan Nasution, Op. Cit., hal. 92


Bahder Johan Nasution, Loc. Cit.

34

pendekatan sejarah penelitian ini diawali dengan melakukan kajian terhadap


pengaturan lebih lanjut tentang Kewenangan Desa oleh Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014.
3. Pengumpulan Bahan Hukum
Tehnik pengumpulan bahan hokum yang akan digunakan dalam mengungkap
masalah penelitian ini bertujuan mengungkapkan gambaran nyata mengenai
variable yang diteliti digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Bahan Hukum Primer


Bahan hokum primer yaitu, bahan hokum yang terkait dengan penelitian,
meliputi :
1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
3) Peraturan Pemerintah dan perturan lainya tentang desa.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang menunjang bahan
hukum primer, yang meliputi: buku-buku kalangan hukum, kalah hukum,
jurnal, dan literature-literatur lain yang berkaitan dengan permaslahan yang
diteliti.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yaitu, bahan hukum yang member kejelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekuder, diantaranya adalah Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kamus Hukum, Ensiklopedia dan lain-lain.
4. Analisa Bahan Hukum
Adapun analis bahan hukum yang telah dikumpulkan, kemudian
dianalisis dengan langkah-langkah meliputi deskripsi, sistematisasi dan
ekplanasi. Deskripsi meliputi isi maupun struktur hokum positif,33 sedangkan
33

Philipus M. Hadjon, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (normatif), dalam Yuridika


Nomor 6 Tahun IX, November-Desember 1994, hal.6

35

langkah sistematisasi dilakukan untuk memaparkan isi dan struktur atau


hubungan hirarkis antara aturan-aturan hukum. Dalam kegiatan sistematisasi ini,
dilakukan analisis korelasi antara aturan aturan hukum yang berhubungan agar
dapat dipahami dengan baik. Pada tahap imi juga dilakukan rasionalisasi dan
penyederhanaan system hokum dengan mengkonstruksi aturan-aturan umum
dan pengertian-pengertian umum agar bahan hukum menjadi tertata lebih baik,
lebih masuk akal dan logikanya menjadi jelas dan lebih dapat dipahami.34
Pada tahap eksplanasi dilakukan penjelasan dan analisis terhadap makna
yang terkandung dalam aturan-aturan hukum sehubungan dengan isu hukum
dalam penelitian ini sehingga keseluruhanya membentuk satu kesatuan yang
saling berhubungan secara logis. Analis hukum merupakan suatu open sistem,
yang berarti bahwa aturan hokum dan keputusan harus dipikirkan dalam suatu
hubungan dan juga bahwa norma hukum bertumpu pada asas hukum dan dibalik
asas hukum dapat disistematisasikan gejala-gejala hukum lainya. 35 Dengan
pola analisis bahan hokum yang demikian ini, dalam kaitanya dalam konteks
permasalahan tema tesis yang dipilih, akan mudah diamati atau dianalisis
tentang badan usaha milik desa berdasarkan perundang-undangan.
H. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam pembahasan, penulisan tesis ini disusun
secara teratur dan sistematis yang dimuat dalam suatu sistematika sebagai
berikut:

34

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, cet. Pertama. Mandar
Maju, Bandung, 1990, hal. 150
35
Philipus M Hadjon, Loc. Cit.

36

BAB I.

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang menguraikan


mengenai etntang latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual,
landasan teori, metode penelitian dan sistimatika penulisan. Bab
ini merupakan pokok dari permasalahan yang akan dikaji pada bab
ketiga dengan mengunakan landasan teoritis yang digunaan pada
bab kedua dan ketiga, bab pertama ini juga merupakan refleksi
atau pencerminan dari bab pembahasan.

BAB II.

Bab ini berisi tentang tinjauan pustaka, pada bab ini tentang teoriteori yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan,
pada dasarnya tinjauan pustaka ini merupakan pembahasan yang
lebih rinci dari kerangka teori pada bab pendahuluan. Sehingga
akan tampak arah dan tujuan dari penelitian ini. Disamping itu
pada bab ini juga dapat disajikan mengenai berbagai asas atau
pendapat dari para tokoh yang berhubungan dengan penelitian ini
sehingga dapat bermanfaat sebagai bahan analisi pada penelitian
ini.

BAB III.

Bab

ini

merupakan

pembahasan

yang

khusus

mengkaji

permasalahan-permasalahan yang terdapat pada bab pertama sub


perumusan masalah pertama dengan mengunakan teori-teori yang
ada pada bab kedua. Bab ketiga mengkaji dan

menanalisis

pengaturan kewenangan desa dalam pengelolaan tanah kas desa


dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014.

37

BAB IV

Bab ini merupakan pembahasan pokok permaslahan kedua yaitu


bagaimana kewenangan desa dalam pengelolaan tanah kas desa
dengan adanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang
desa terhadap pengelolaan tanah kas desa dalam mewujudkan
kesejahteraan masyarakat desa. Bab ini merupakan pembahasan
khusus mengkaji permaslahan yang kedua yang terdapat pada bab
pertama dengan mengunakan teori-teori yang ada pada bab kedua
dan bab ketiga guna mendapatkan atau memperoleh kesimpulan
pada bab kelima.

BAB V.

Bab ini berisi tentang kesimpulan yang akan diuraikan


berdasarkan pada pembahasanan pada bab pembahasan. Selain
kesimpulan, dalam bab penutup ini juga akan dimuat sebuah
masukan atau saran guna memberikan idea tau gagasan bagi para
pembaca sehingga penelitian ini dapat bermanfaat.

38

Anda mungkin juga menyukai