Penyegaran
Masalah
Anak
Bumil
sengatan listrik dan
Tinjauan Pustaka
Istimewa
Remaja
mengalami luka bakar
Data Pasien :
Nama : Tn. M
Nama Klinik : RSUD Cilegon
Usia : 25 tahun
Telepon :
Audit
Pos
No Registrasi : 421533
Terdaftar Sejak :
5. Riwayat Pekerjaan :
Buruh bangunan
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (Rumah, Lingkungan, Pekerjaan)
Pasien tinggal bersama orang tua dan saudaranya
7. Riwayat Imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus)
Pasien tidak mengingat apakah sudah pernah di imunisasi Tetanus atau belum
8. Lain-lain (Pemeriksaan fisik dan Penunjang)
PRIMARY SURVEY (IGD RSUD Cilegon 4/01/2016 pk 11.45) :
AIRWAY & BREATHING: Jalan nafas bebas, sesak (-), trakea di tengah, suara nafas
+/+, RR: 20 x/menit
CIRCULATION:
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 104x/ menit, reguler, kuat, isi cukup
Suhu : 37 0C
Temperatur & Gambaran kulit: hangat & basah
GCS : E4M5V4 (13) Delirium
SECONDARY SURVEY:
Kepala: Luka masuk aliran listrik (+), normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/ Wajah (Maxillofacial): Combustio gr. II
Leher : Combustio gr. II, JVP tidak distensi, dalam batas normal
Dada: Combustio gr. II, pergerakan dada simetris (+)
Paru : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/ Jantung : S1-S2 reguler, irama sinus, murmur -/-, gallop -/ Abdomen : Datar lembut. Bising usus (+). Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : CRT < 2 detik, Edema -/-,
Regio pedis dextra & sinistra:
Inspeksi: combustio grade III (kulit berwarna putih keabuan,
kontraktur (+), terdapat luka keluar aliran listrik regio pedis sinistra)
Palpasi: arteri dorsalis pedis tidak teraba
Status Lokalis : Penyebaran luka bakar seperti gambar di bawah. Dasar luka
sebagian eritem, sebagian lainnya pucat.
= luka bakar gr II
Kesimpulan : Wajah (4,5%) + Leher depan & Dada depan bagian atas (8%) +
Tungkai bawah kiri (4,5%) + Tungkai bawah kanan (4,5%) = 21,5% luas tubuh
31
Oktober
2013.
Available
at
http://www.webmd.com/first-
aid/tc/burns-topic-overview.
10.Barret JP. Principles and Practice of Burn Surgery. New York: Marcel-Dekker;
2005: 1-31.
11.Mozingo DW, Ahrenholz DH, Jos JC. Adanced Burn Life Support Course. Chicago:
American Burn Association; 2007: 14-39.
12.Haberal M, Abali ES, Karakayali H. Fluid management in major burn injuries.
Indian Journal of Plastic Surgery. 2010.
13.Hahn RG, Prough DS, Svensen CH. Perioiperative Fluid Therapy. New York:
Informa Health Care; 2007: 137-58.
14.Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL. Schwartz Principles of
Surgery. 9th Ed. New York: McGraw-Hill; 2010: 840-64.
Hasil Pembelajaran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
2. Obyektif:
Tanda vital : TD = 120/90 mmHg, Nadi = 104 x/menit RR : 20 x/menit
menandakan suatu tanda-tanda kompensasi tubuh atas kekurangan cairan yang
3. Assessment :
Lapisan kulit terdiri dari epidermis, dermis, dan subdermis. Bagian epidermis
memiliki beberapa lapisan yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Fungsi utama epidermis adalah
untuk melindungi kulit dari faktor kimia dan fisika. Bagian dermis memiliki struktur
yang kompleks karena terdiri dari banyak syaraf, pembuluh darah, rambut, otot
rambut, kelenjar keringat, kelenjar minyak dan lain sebagainya. Bagian subdermis
atau hipodermis terletak di bawah dermis. Fungsinya untuk menempelkan kulit ke
tulang dan otot yang mendasarinya. Bagian ini terdiri dari jaringan ikat longgar dan
elastin. Jenis sel utama adalah fibroblast, makrofag dan sel lemak (hipodermis
mengandung 50% lemak tubuh). Lemak berfungsi sebagai bantalan dan isolasi untuk
tubuh. Kulit juga banyak mengandung flora normal yang fungsinya untuk mencegah
kolonisasi kuman pathogen.
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan kedalaman kerusakan kulitnya,
dimana dibagi 3 derajat yaitu derajat 1, 2 (2A dan 2B), dan 3. Derajat 1 hanya
mengenai epidermis, gambaran klinis berupa eritema saja tanpa kehilangan struktur
kulit. Derajat 2A mengenai epidermis dan 1/3 bagian dermis, gambaran klinis berupa
eritema, nyeri, terdapat bulla. Sedangkan derajat 2B mengenai 2/3 bagian dermis
sehingga terjadi kerusakan pembuluh darah. Masih dapat dijumpai bulla, tidak terlalu
nyeri, dan kulit sudah tampak pucat. Derajat 3 luka bakar mengenai seluruh tekstur
kulit, kulit tampak pucat dan kering, tidak ada lagi sensasi nyeri, kadang terbentuk
gumpalan protein yang disebut eskar.
Pasien dengan luka bakar yang luas dapat dengan mudah terjadi komplikasi
mulai dari dehidrasi, syok, kerusakan paru, hipermetabolisme, emboli, gagal ginjal
akut, infeksi sepsis, hingga sampai komplikasi psikososial dan estetika. Penanganan
yang cepat dan tepat merupakan kunci dalam tatalaksana luka bakar.
Berdasarkan hasil alloanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium; dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja pada pasien ini: Combustio
grade II dan grade III et causa electrical injury.
4. Planning :
O2 nasal canul 5 lpm
Terapi resusitasi 24 jam pertama:
Infus RL sebanyak 4cc x 21,5% x 65 kg = 5.600cc/24jam 2.800 cc habis
tranexamat 1 amp.
Terapi lanjutan: Anjurkan pasien untuk rehidrasi per-oral dan berikan IVFD RL
Bila luka sudah bersih, oleskan salep antibiotic garamycin secara tipis dan
menyeluruh.
Tutup luka menggunakan kassa steril. Basahi kassa agar mencegah dehidrasi.
Ganti verban minimal 2 kali sehari.
Beberapa salep seperti zibro/mebo/bioplacenton dapat digunakan untuk
FOLLOW UP
Nyeri (+), terasa panas (+) di wajah, leher, dan dada, sesak (-)
O:
t: 37,2oC
HR: 98 x/menit
RR: 24 x/menit
A:
P:
6 Januari 2016
S:
O:
t: 37oC
HR: 88 x/menit
RR: 20 x/menit
P:
- IVFD RL 35 tpm
- Lasix 1 x 1 amp.
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gram
- Inj. Gentamicin 3 x 80 mg
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg
- Inj. Vit. K 3 x 1 amp.
- Inj. Dexamethason 3 x 1 amp.
Instruksi Sp.B: Rencana amputasi alih rawat Sp.OT
7 Januari 2016
S:
O:
t: 36oC
HR: 88 x/menit
RR: 24 x/menit
Regio parietal dextra: Entry wound (+) tertutup kassa (+), rembesan darah (+),
perdarahan aktif (-)
Regio pedis dextra et sinistra: pus (+), nekrosis (+), kontraktur (+)
Regio plantar pedis dextra : exit wound (+), ukuran 4 x 2 cm, tepi tidak rata, dasar
tendon
A:
P:
- IVFD RL 25 tpm
- Lasix 1 x 1 amp.
11 Januari 2016
S:
Nyeri (+)
O:
t: 36oC
HR: 88 x/menit
RR: 24 x/menit
Regio parietal dextra: entry wound (+) ukuran 7 x 5cm, dasar periosteal, darah (-),
pus (-), serous (+)
Regio pedis dextra et sinistra: pus (+), nekrosis (+), kontraktur (+)
Regio plantar pedis dextra : warna kehitaman, exit wound (+), ukuran 4 x 2 cm, tepi
tidak rata, dasar tendon
10
Gambar entry wound area parietal dextra, luka tampak depresi ke dalam, dasar
periosteal
A:
P:
12 Januari 2016
Dilakukan operasi berupa amputasi pada pedis dextra dan debridement pada pedis sinistra
Instruksi dr. Sp.OT. terapi post operasi:
- Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp.
13 Januari 2016
S:
Nyeri (+)
O:
11
t: 36oC
HR: 88 x/menit
RR: 24 x/menit
Regio parietal dextra: entry wound (+) ukuran 7 x 5cm, dasar periosteal, belatung
(+), serous (+), darah (-), pus (-)
Regio maxilofacial, coli anterior, deltoid dexta, dan thorax anterosuperior: kulit
berwarna pink dengan jaringan granulasi (+), nyeri (+), bula (-)
Regio pedis sinistra: pus (+), nekrosis (+), kontraktur (+)
Regio pedis dextra : luka post amputasi terbalut verban, rembesan darah (+), pus (-)
A:
P:
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Cefotaxim 3 x 1 gram
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp.
- GV 2x, kompress NS, tutup kassa pada luka bakar
12
14 Januari 2016
S:
Nyeri (+)
O:
t: 37oC
HR: 80 x/menit
RR: 22 x/menit
Regio parietal dextra: entry wound (+) ukuran 7 x 5cm, dasar periosteal, belatung
(+), serous (+), darah (-), pus (-)
Regio maxilofacial, coli anterior, deltoid dexta, dan thorax anterosuperior: kulit
berwarna pink dengan jaringan granulasi (+), nyeri (+), bula (-)
Regio pedis sinistra: pus (+), nekrosis (+), kontraktur (+)
Regio pedis dextra : luka post amputasi terbalut verban, rembesan darah (+), pus (-)
A:
P:
- IVFD RL 20 tpm
13
21 Januari 2016
Dilakukan operasi berupa amputasi pada pedis sinistra dan debridement pada parietal dextra
Instruksi dr. Sp.OT. terapi post operasi:
- Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp.
26 Januari 2016
S:
O:
t: 36oC
HR: 88 x/menit
RR: 24 x/menit
Regio parietal dextra: luka tertutup kassa, darah (-), pus (-)
Regio maxilofacial, coli anterior, deltoid dexta, dan thorax anterosuperior: kulit
berwarna pink dengan jaringan granulasi (+), nyeri (-), bula (-)
14
Regio pedis dextra et sinistra: luka post amputasi terbalut verban, rembesan darah (-),
pus (-)
A:
P:
15
TINJAUAN PUSTAKA
LUKA BAKAR
PENDAHULUAN
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Jenis yang berat
memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibanding dengan cedera
oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi. Penyebab luka
bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari
matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari
api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.1
Luka bakar pada dasarnya merupakan fenomena pemindahan panas, meskipun sumber
panasnya dapat bervariasi, akibat akhir yang timbul selalu berupa kerusakan jaringan, paling
nyata pada kulit, tetapi pada cedera multisistemik yang nyata dapat menyebabkan gangguan
yang serius pada paru-paru, ginjal dan hati. Efek-efek sistemik dan mortalitas akibat cedera
luka bakar berhubungan langsung dengan luas dan dalamnya kulit yang terkena.2
Pada umumnya pasien luka bakar datang akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan
napas), breathing (mekanisme bernapas), dan gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan
airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terjadi trauma, namun
masih dapat terjadi obstruksi saluran napas akibat cedera inhalasi dalam 4872 jam pasca
trauma. Cedera inhalasi merupakan penyebab kematian utama penderita pada fase akut.
Kematian umumnya terjadi pada 7 hari pertama masa perawatan (masalah jangka pendek).
Sementara sisa kasus yang bertahan hidup menghadapi masalah tersendiri, antara lain
lamanya masa perawatan yang berkisar antara 414 hari rawat dan dengan penyulit yang
timbul (masalah jangka panjang), antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS (Systemic
Inflammatory Response Syndrome), infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan
kontraktur.2,3
Hampir semua kasus luka bakar disebabkan oleh api atau tersiram air panas. Dengan
menentukan sumber panas (misalnya, agen yang menyebabkan luka bakar) akan membantu
kita dalam memperkirakan luas dan dalamnya cedera. Perkiraan ini sangat penting dalam
16
EPIDEMIOLOGI
Penanganan dan perawatan luka bakar (khususnya luka bakar berat) memerlukan perawatan
yang kompleks dan masih merupakan tantangan tersendiri karena angka morbiditas dan
mortalitas yang cukup tinggi. Di Amerika dilaporkan sekitar 2 3 juta penderita setiap
tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai
saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka
kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada tahun 1998
dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat dengan angka kematian 37,38%.3
Dari unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data bahwa kematian umumnya
terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera
pada saluran napas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan. Statistik menunjukkan
bahwa 60% luka bakar terjadi karena kecelakaan rumah tangga, 20% karena kecelakaan
kerja, dan 20% sisanya karena sebab-sebab lain, misalnya bus terbakar, ledakan bom, dan
gunung meletus.3
17
ETIOLOGI
Luka bakar pada kulit bisa disebabkan karena panas, dingin, ataupun zat kimia. Ketika kulit
terkena panas, maka kedalaman luka dipengaruhi oleh derajat panas, durasi kontak panas
pada kulit dan ketebalan kulit.2
1. Luka Bakar Termal (Thermal Burns)
Luka bakar termal disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api ke tubuh (flash),
kobaran api ke tubuh (flame) dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek
panas lainnya (misalnya plastik, logam panas dan lain-lain).2,4
Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian
terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk
terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan
Uap panas: Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator
mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi
dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap
panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
18
Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan bidang industri, militer, ataupun bahan pembersih yang sering digunakan
untuk keperluan rumah tangga. 2,4
3. Luka Bakar Listrik (Electrical Burns)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran
listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah;
dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika
intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan
berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun ground. 2,4
4. Luka Bakar Radiasi (Radiation Exposure)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe luka
bakar ini sering disebabkan oleh penggunaaan radioaktif untuk keperluan terapeutik
dalam kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga
dapat menyebabkan luka bakar radiasi. 2,4
PATOFISIOLOGI
19
Respon Lokal
Terdapat 3 zona luka bakar menurut Jackson 1947 yaitu:6
1. Zona Koagulasi
Merupakan daerah yang langsung mengalami kontak dengan sumber panas dan terjadi
nekrosis dan kerusakan jaringan yang irevisibel disebabkan oleh koagulasi protein.
2. Zona Stasis
Zona stasis berada sekitar zona koagulasi, dimana zona ini mengalami kerusakan
endotel pembuluh darah, trombosit, leukosit sehingga penurunan perfusi jaringan
diikuti perubahan permeabilitas kapiler (kebocoran vaskuler) dan respon inflamasi
lokal. Proses ini berlangsung selam 12-24 jam pasca cedera, dan mungkin berkakhir
dengan nekrosis jaringan bila tidak mendapat resusitasi luka bakar yang adekuat.
3. Zona Hiperemia
Pada zona hiperemia terjadi vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya masih viable.
Proses penyembuhan berawal dari zona ini kecuali jika terjadi sepsis berat dan
hipoperfusi yang berkepanjangan.
Gambar 2. Zona luka bakar Jackson 1947 dan efeknya terhadap resusitasi adekuat dan
inadekuat (dikutip dari daftar pustaka no. 6)
20
Gambar 3. Gambaran klinis zona luka bakar (dikutip dari daftar pustaka no. 6)
Respon Sistemik
Perlepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka bakar memiliki
efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh. Perubahan- perubahan
yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut berupa:
1. Gangguan Kardiovaskuler, berupa peningkatan permeabilitas vaskuler yang
menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskuler ke interstitial. Terjadi
vasokontriksi di pembuluh darah splangnik dan perifer. Kontraktilitas miokardium
menurun, kemungkinan oleh karena adanya Tumor Necrosis Factor- (TNF-).
Perubahan ini disertai dengan kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan
hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ.
2. Gangguan respirasi, mediator inflamasi menyebabkan bronkokontriksi, dan pada luka
bakar yang berat dapat timbul Respiratory Distress Syndrome (RDS).
3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga tiga kali lipat.
Hal ini disertai dengan dengan adanya hipoperfusi splangnik yang menyebabkan
dibutuhkannya pemberian makanan enteral secara agresif untuk menurunkan
katabolisme dan mempertahankan integritas saluran pencernaan.
4. Gangguan imunologis, terdapat penurunan sistem imun yang mempengaruhi sistem
imun humoral dan seluler.
21
Gambar 4. Respon sistemik pada luka bakar (dikutip dari daftar pustaka no. 6)
22
23
KLASIFIKASI
Berdasarkan American Burn Association luka bakar diklasifikasikan berdasarkan kedalaman,
luas permukaan, dan derajat ringan luka bakar.1, 2, 8
1. Berdasarkan kedalamannya1, 2, 8
24
Gambar 7. Luka bakar derajat IIA (dikutip dari daftar pustaka no. 9)
Luka bakar derajat II yang mengenai sebagian retikular dermis, luka bakar ini
dikenali sebagai deep partial thickeness burns atau luka bakar derajat IIB. Luka
bakar derajat IIB ini tampak lebih pucat, tetapi masih nyeri jika ditusuk degan
jarum (pin prick test). Luka ini sembuh dalam 14-35 hari dengan reepiteliasasi
dari folikel rambut, keratinosit dan kelenjar keringat, seringkali parut muncul
sebagai akibat dari hilangnya dermis.
Gambar 8. Luka bakar derajat IIB (dikutip dari daftar pustaka no. 9)
c. Luka bakar derajat III (full-thickess burns)
Kedalaman luka bakar ini mencapai seluruh dermis dan epidermis sampai ke
lemak subkutan maupun jaringan lebih dalam di bawahnya. Luka bakar ini
ditandai dengan eskar yang keras, tidak nyeri, dan warnanya hitam, putih, atau
merah ceri. Tidak ada sisa epidermis maupun dermis sehingga luka harus sembuh
dengan reepitelisasi dari tepi luka. Full-thickness burns memerlukan eksisi dengan
skin grafting.
25
Gambar 9. Luka bakar derajat III (dikutip dari daftar pustaka no. 9)
Tabel 1. Perbedaan kedalaman luka bakar (dikutip dari daftar pustaka no. 6)
26
Gambar 10. Wallaces rule of nines (dikutip dari daftar pustaka no. 6)
c. Metode Lund dan Browder
Metode ini jika digunakan dengan benar, merupakan metode paling akurat.
Metode ini mengkompensasi variasi bentuk tubuh dengan usia sehingga dapat
memberikan penilaian yang daerah luka bakar yang akurat pada anak-anak.
Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak
dapat menggunakan Rumus 9 dan disesuaikan dengan usia : anak di bawah usia
1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan persentasenya sama
dengan dewasa. Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.6
27
Tabel 2. Lund and Browder chart (dikutip dari daftar pustaka no. 5)
3. Berdasarkan derajat ringan beratnya luka bakar menurut American Burn Association:1, 2,
10
28
Luka bakar derajat II lebih dari 15% pada dewasa dan lebih dari 10% pada anak.
Luka bakar derajat II pada muka, leher, genitalia, perineum, dan ekstremitas.
Luka bakar derajat III lebih dari 2% pada orang dewasa dan setiap derajat III pada anak.
Luka bakar yang disertai trauma visera, tulang dan jalan nafas.10
PENATALAKSANAAN
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah mempertahankan
jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi
endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya
jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas.11
29
Penalataksanaan dan penanganan awal luka bakar berjalan simultan mengikuti kaidah standar
Advanced Trauma Life Support dari Komite Trauma American College of Surgeons dan
Advanced Burn Life Support dari Komite American Burn Association. Pada survei primer
dinilai dan ditangani A, B, C, D, dan E penderita.11
A (Airway) : Jalan nafas, masalah yang dilihat berupa sumbatan jalan nafas atas
(laring, faring) akibat cedera inhalasi yang ditandai kesulitan bernafas atau suara
nafas yang berbunyi (stridor hoarness). Kecurigaan dibuat bila ditemukan oedem
mukosa mulut dan jalan nafas, ditemukan sisa-sisa pembakaran di hidung atau
mulut dan luka bakar mengenai muka atau leher. Cedera ini harus segera ditangani
karena angka kematiannya sangat tinggi.
Penanganan awal jalan napas berupa:
o Chin lift
o Jaw thrust
o Memasukkan oral pharyngeal airway pada pasien yang tidak sadar
o Intubasi endotrakea
o Proteksi cervical spine
B (Breathing) : Kemampuan bernafas, ekspansi rongga dada dapat terhambat
karena nyeri atau eskar melingkar di dada.
o Aliran oksigen yang tinggi dimulai pada pasien sebanyak 15 L (100%),
menggunakan masker nonrebreathing.
o Luka bakar derajat III yang melingkari tubuh dapat mengganggu ventilasi
30
31
menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila
perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat
(menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan
steroid (masih kontroversial)
g. Bilasan bronkoalveolar
h. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
i. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru
2. Resusitasi nutrisi11
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini
dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat
melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15%
protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya
SIRS dan MODS.
3. Tatalaksana resusitasi cairan11, 12
Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:
seluruh sel
Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan stabilisasi
pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.
Idealnya sedikit cairan dibutuhkan untuk menjaga perfusi jaringan perlu diberikan.
Pemberian volume cairan seharusnya secara terus menerus dititrasi untuk menghindari
terjadinya resusitasi yang kurang atau yang berlebihan. Ketika resusitasi cairan pada
pasien luka bakar ditingkatkan, volume cairan yang besar ditunjukkan untuk menjaga
perfusi jaringan. Akan tetapi resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya edema dan terjadinya sindroma kompartemen pada daerah abdomen dan
32
ekstremitas.12
Luka bakar kurang dari 20% luas permukaan tubuh total berhubungan dengan pergeseran
cairan yang minimal dari intravaskular ke interstisial dan secara umum dapat diresusitasi
dengan hidrasi oral, kecuali dalam kasus luka bakar pada wajah, tangan dan genital, luka
bakar pada anak-anak dan orang tua. Pada saat luas luka bakar mencapai 15-20% dari
luas permukaan tubuh total, respon inflamasi sistemik terinisiasi dan terjadi pergesaran
cairan yang masif, sehingga menghasilkan oedem dan shock luka bakar. Pada kasus ini,
pengelolaan pemberian cairan sangat dibutuhkan. Rekomendasi saat ini untuk memulai
resusitasi cairan intravaskular adalah pada saat luka bakar mencapai lebih dari 20% dari
luas permukaan tubuh total atau dengan kata lain merupakan luka bakar berat (mayor
burn).12
a. Jenis cairan
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tentang jenis cairan yang harus digunakan
untuk resusitasi luka bakar. Pada kenyataannya setiap jenis cairan mempunyai
keuntungan dan kerugian masing masing pada berbagai macam kondisi. Akan tetapi
yang paling penting adalah apapun jenis cairan yang diberikan, volume cairan dan
garam yang adekuat harus diberikan untuk menjaga perfusi jaringan dan memperbaiki
homeostatis.12
Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid, cairan hipertonik dan
koloid:12, 13
1) Larutan kristaloid
Kristaloid merupakan cairan dengan partikel kecil (MW < 30,000 D). Larutan ini
terdiri atas cairan dan elektrolit. Contoh larutan ini adalah Ringer Laktat dan NaCl
0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya dalam plasma atau memiliki
osmolalitas hampir sama dengan plasma. Pada keadaan normal, cairan ini tidak
hanya dipertahankan di ruang intravaskular karena cairan ini banyak keluar ke
ruang interstisial. Pemberian 1 L Ringer Laktat (RL) akan meningkatkan volume
intravaskuler 300 ml. Kekurangan dari cairan ini adalah dapat terjadinya asidosi
hiperkloremik pada pemberian NaCl 0,9% yang berlebih, sementara Ringer Lakat
meningkatkan aktivasi neutrofil dan produksi Reactive Oxygen Species.
33
Tabel 3. Komposisi berbagai kristaloid (dikutip dari daftar pustaka no. 13)
2) Larutan hipertonik
Larutan ini dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan penggunaannya
dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid. Larutan garam hiperonik tersedia
dalam beberapa konsentrasi, yaitu NaCl 1,8%, 3%, 5 %, 7,5% dan 10%.
Osmolalitas cairan ini melebihi cairan intraseluler sehingga cairan akan berpindah
dari intraseluler ke ekstraseluler. Larutan garam hipertonik meningkatkan volume
intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari intraseluler. Kekurangan
dari larutan ini adalah dapat terjadinya hipernatremi yang mengakibatkan
peningkatan insiden gagal ginjal.
3) Larutan koloid
Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES) dan Dextran. Molekul
koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi membran kapiler, oleh karena
itu sebagian akan tetap dipertahankan di dalam ruang intravaskuler. Pada luka
bakar dan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga molekul akan
berpindah ke ruang interstisium. Hal ini akan memperburuk edema interstisium
yang ada.
34
Tabel 4. Komposisi berbagai koloid (dikutip dari daftar pustaka no. 13)
b. Dasar pemilihan12, 13
CairanBeberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan adalah efek
hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan permeabilitas kapiler, oksigen,
PH buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi, faktor keamanan, eliminasi
praktis dan efisien. Jenis cairan terbaik untuk resusitasi dalam berbagai kondisi klinis
masih menjadi perdebatan terus diteliti. Sebagian orang berpendapat bahwa kristaloid
adalah cairan yang paling aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi
klinis tertentu. Sebagian pendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal ini
dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang memiliki kelebihan dan
kekurangan. Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan ciran di kompartemen
interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi
dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.
35
Gambar 11. Kelebihan Kristaloid dan Koloid (dikutip dari daftar pustaka no. 13)
Gambar 12. Kekurangan Kristaloid dan Koloid (dikutip dari daftar pustaka no. 13)
Kristaloid saat ini merupakan cairan terpilih dan paling sering digunakan dalam
resusitasi cairan awal pada penderita luka bakar. Sebagian besar studi tidak
memperlihatkan peningkatan insiden edema paru pada pasien yang mendapatkan
cairan kristaloid. Holm dkk dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sebagian
besar pasien luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas kapiler paru
setelah trauma dan insiden edema paru jarang terjadi sepanjang tekanan pengisian
intravaskuler dipertahankan dalam batas normal.13
Cairan koloid dan atau cairan hipertonik sebaiknya dihindari 24 jam pertama setelah
trauma luka bakar. Koloid tidak memperlihatkan keuntungan dibanding kristaloid
36
pada awal terapi cairan pada penderita luka bakar dan bahkan memperburuk edema
formasi pada awal terjadinya luka bakar. Hal ini oleh karena 8 24 jam setelah
terjadinya luka bakar, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga koloid
mengalami influks masuk ke dalam interstitium sehingga memperburuk edema.13
c. Penentuan jumlah cairan12
Cara Parkland:
o 24 jam pertama: Ringer Laktat (RL) 4 ml/kg/% luka bakar untuk dewasa dan 3
ml/kg/% luka bakar untuk anak-anak. Tambahan cairan RL untuk
pemeliharaan pada anak-anak:
- 4 ml/kg/jam untuk anak dengan berat 010 kg
- 40 ml/jam + 2 ml/kg/jam untuk anak dengan berat 1020 kg
- 60 ml/jam + 1 ml/kg/jam untuk anak dengan berat 20 kg/ lebih
Pada saat 24 jam pertama, tidak ada cairan koloid yang dimasukkan
o 24 jam berikutnya: koloid diberikan 20-60% dari volume plasme yang
dihitung. Tidak ada kristaloid yang diberikan. Glukosa dalam air ditambahkan
untuk mempertahankan keluaran urin 0,5-1 ml/jam pada dewasa dan 1 ml/ jam
pada anak.
Cara Brooke
o 24 jam pertama: RL 1,5 ml/kg/% luka bakar + koloid 0,5 ml/kg/% luka bakar +
2000 ml glukosa dalam air
o 24 jam berikutnya: RL 0,5 ml/kg/% luka bakar + koloid 0,25 ml/kg/% luka
bakar + 2000 ml glukosa dalam air
37
Cara Monafo
o Monafo merekomendasikan penggunaan cairan yang mengandung Na 250
mEq, laktat 150 mEq dan Cl 100 mEq. Jumlah tersebut disesuaikan
berdasarkan keluaran urin. Pada 24 jam berikutnya, cairan tersebut dititrasi
dengan 1/3 normal salin, tergantung dari keluaran urin.
Shriners cincinnati
o 24 jam pertama:
untuk anak yang lebih tua: RL 4 ml/kg/% luka bakar + 1500 ml/m 2 luka
bakar (1/2 dari jumlahnya diberikan dalam 8 jam, sisanya dalam 16 jam
berikutnya)
untuk anak yang lebih muda: RL 4 ml/kg/% luka bakar + 1500 ml/m2 luka
bakar, dalam 8 jam pertama RL + 50 mEq NaHCO3, 8 jam kedua hanya
38
Tabel 5. Cara penentuan jumlah cairan (dikutip dari daftar pustaka no. 14)
Tabel 6. Cara penentuan jumlah cairan (dikutip dari daftar pustaka no. 14)
Pergeseran cairan terjadi secara cepat pada periode awal dari shock luka bakar, jadi beberapa
pemeriksaan laboratorium secara serial diperlukan untuk menentukan terapi cairan yang
tepat, yaitu dengan memeriksa hematokrit, serum elektrolit, osmolalitas, kalsium, glukosam
dan albumin. Indikator yang paling baik adalah monitor keluaran urin per jam. Sebagai
39
tambahan, pasien juga harus dimonitor secara kontinyu dengan elektrokardiografi, jalur
tekanan vena sentral, dan temperatur. 12, 13
Secara sederhana, keluaran urin (0,5-1 mL/kg/hari) dan normalisasi dari tekanan darah (MAP
>70 mmHg) dapat mengindikasikan bahwa terapi cairan telah adekuat. Namun indikator yang
lain juga penting seperti kadar laktat dalam darah, defisit basa, dan pH intramukosa lambung.
Tabel 7. Kriteria resusitasi cairan yang adekuat (dikutip dari daftar pustaka no. 13)
KESIMPULAN
Manajemen cairan merupakan bagian paling penting dalam mengelola penderita luka bakar
berat. Pada periode beberapa saat setelah terjadinya luka bakar, pengelolaan shock merupakan
prioritas utama. Kristaloid isotonik merupakan cairan yang paling sering digunakan pada
awal terapi cairan. Tujuan utama dari terapi cairan adalah untuk mempertahankan perfusi ke
organ dengan jumlah cairan yang cukup. Sindrom kompartemen merupakan komplikasi yang
sering dijumpai pada terapi cairan berlebih. Terapi cairan berlebih tersebut dapat dihindari
dengan adanya pengawasan yang ketat. Target awal dari terapi cairan meliputi normalisasi
tekanan darah sistemik dan mempertahankan keluaran urin yang adekuat. Indikator terapi
cairan adekuat yang lain juga penting seperti kadar laktat dalam darah, defisit basa, dan pH
intramukosa lambung
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005: 73.
2. Moenadjat RY. Luka bakar pengetahuan klinis praktis. Jakarta: Farmedia; 2000: 15-87.
3. Tim Bantuan Medis 110. Manajeman Luka Bakar. Diunduh pada tanggal 31 Oktober
2013. Available at http://www.tbm110.org/2011/03/manajeman-luka-bakar.
4. Holmes JH, Heimbach DM. Schwartz Manual of Surgery. 8th Ed. New York: McGrawHill; 2006: 139-64.
5. Jenkins A. Emergent Management of Thermal Burns. Diunduh pada tanggal 31 Oktober
2013. Available at http://emedicine.medscape.com/article/769193-overview#showall.
6. Hettiaratchy S, Papini R, Dzickwulski P. ABC of Burns. Oxford: Blackwell Publishing;
2005: 1-22.
7. Hudak, Gallo. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedoketran EGC; 1997: 24.
8. Thorne CH, Beasley RW, Aston SJ. Grabb and Smiths Plastic Surgery. 6th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007: 132-49.
9. Blahd WH, Connor HM. First Aid and Emergency of Burns. Diunduh pada tanggal 31
Oktober 2013. Available at http://www.webmd.com/first-aid/tc/burns-topic-overview.
10. Barret JP. Principles and Practice of Burn Surgery. New York: Marcel-Dekker; 2005: 131.
11. Mozingo DW, Ahrenholz DH, Jos JC. Adanced Burn Life Support Course. Chicago:
American Burn Association; 2007: 14-39.
12. Haberal M, Abali ES, Karakayali H. Fluid management in major burn injuries. Indian
Journal of Plastic Surgery. 2010.
13. Hahn RG, Prough DS, Svensen CH. Perioiperative Fluid Therapy. New York: Informa
Health Care; 2007: 137-58.
14. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL. Schwartz Principles of Surgery. 9th
Ed. New York: McGraw-Hill; 2010: 840-64.
41