Anda di halaman 1dari 41

Borang Portofolio Internship RSUD Cilegon Periode November 2015- 2016

Nama Peserta : dr. Thedi Darma Wijaya


Nama Wahana : RSUD Cilegon
Topik
: Luka Bakar
Tanggal (kasus): 4 Januari 2016
Nama Pasien: Tn. M.
Tanggal Presentasi:

No. RM: 421533


Nama Pendamping :
dr. Dian Arissanthy
dr. Kamal Sumardin

Tempat Presentasi: RSUD Cilegon


Obyektif Presentasi:
Keilmuan
Keterampilan
Diagnostik
Manajemen
Neonatus
Bayi
Dewasa
Lansia
Deskripsi
Laki-laki, 25 tahun, terkena
Tujuan :
Bahan bahasan :
Cara membahas :

Penyegaran
Masalah
Anak
Bumil
sengatan listrik dan

Tinjauan Pustaka

Istimewa

Remaja
mengalami luka bakar

seluas 21,5% area tubuh. Luka bakar derajat II-III.


Penatalaksanaan luka bakar luas
Tinjauan Pustaka
Riset
Kasus
Diskusi Presentasi dan Diskusi
Email

Data Pasien :
Nama : Tn. M
Nama Klinik : RSUD Cilegon

Usia : 25 tahun
Telepon :

Audit
Pos

No Registrasi : 421533
Terdaftar Sejak :

Data Utama untuk bahan diskusi :


1. Riwayat Penyakit Sekarang (alloanamnesis):
Pasien mengalami kecelakaan tersengat listrik sekitar 15 menit sebelum masuk rumah
sakit. Saat kejadian, pasien sedang memasang atap baja ringan tanpa alat pelindung diri dan
terdapat kabel listrik di atas kepala pasien. Pasien tersengat listrik tepat di atas kepala dan
tidak sadarkan diri. Terdapat luka bakar di wajah, kepala, leher, dada bagian atas, dan
kedua kaki. Pasien segera dibawa ke IGD RSUD Cilegon. Saat tiba di IGD, pasien sadar
namun mengamuk dan tidak merespon pertanyaan, tampak sangat kesakitan, muntah (-),
sesak (-), lemah (+).
2. Riwayat Pengobatan :
Tidak ada pengobatan rutin.
3. Riwayat Kesehatan :
Pasien mengaku dirinya sehat dan tidak pernah dirawat di Rumah Sakit sebelum ini.
4. Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada

5. Riwayat Pekerjaan :
Buruh bangunan
6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik (Rumah, Lingkungan, Pekerjaan)
Pasien tinggal bersama orang tua dan saudaranya
7. Riwayat Imunisasi (disesuaikan dengan pasien dan kasus)
Pasien tidak mengingat apakah sudah pernah di imunisasi Tetanus atau belum
8. Lain-lain (Pemeriksaan fisik dan Penunjang)
PRIMARY SURVEY (IGD RSUD Cilegon 4/01/2016 pk 11.45) :
AIRWAY & BREATHING: Jalan nafas bebas, sesak (-), trakea di tengah, suara nafas
+/+, RR: 20 x/menit
CIRCULATION:
TD : 120/90 mmHg
Nadi : 104x/ menit, reguler, kuat, isi cukup
Suhu : 37 0C
Temperatur & Gambaran kulit: hangat & basah
GCS : E4M5V4 (13) Delirium
SECONDARY SURVEY:
Kepala: Luka masuk aliran listrik (+), normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/ Wajah (Maxillofacial): Combustio gr. II
Leher : Combustio gr. II, JVP tidak distensi, dalam batas normal
Dada: Combustio gr. II, pergerakan dada simetris (+)
Paru : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/ Jantung : S1-S2 reguler, irama sinus, murmur -/-, gallop -/ Abdomen : Datar lembut. Bising usus (+). Hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : CRT < 2 detik, Edema -/-,
Regio pedis dextra & sinistra:
Inspeksi: combustio grade III (kulit berwarna putih keabuan,

kontraktur (+), terdapat luka keluar aliran listrik regio pedis sinistra)
Palpasi: arteri dorsalis pedis tidak teraba
Status Lokalis : Penyebaran luka bakar seperti gambar di bawah. Dasar luka
sebagian eritem, sebagian lainnya pucat.

= luka bakar gr II

= luka bakar gr III

Kesimpulan : Wajah (4,5%) + Leher depan & Dada depan bagian atas (8%) +
Tungkai bawah kiri (4,5%) + Tungkai bawah kanan (4,5%) = 21,5% luas tubuh

Hasil Laboratorium (4/01/2016)


Hb : 17,6 g/dl
Ht : 52,1%
Leukosit : 24.390/ uL
Trombosit : 490.000/uL
SGOT/ SGPT: 275/55 U/L
GDS: 126 mg/dL
Ureum/ Creatinin: 30/ 0,7 mg/dL
Na/ K/ Cl: 140,8/ 3,6/ 113,4 mmol/L
Daftar Pustaka:
1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005: 73.
2. Moenadjat RY. Luka bakar pengetahuan klinis praktis. Jakarta: Farmedia; 2000:
15-87.
3. Tim Bantuan Medis 110. Manajeman Luka Bakar. Diunduh pada tanggal 31

Oktober 2013. Available at http://www.tbm110.org/2011/03/manajeman-lukabakar.


4. Holmes JH, Heimbach DM. Schwartz Manual of Surgery. 8th Ed. New York:
McGraw-Hill; 2006: 139-64.
5. Jenkins A. Emergent Management of Thermal Burns. Diunduh pada tanggal 31
Oktober 2013. Available at http://emedicine.medscape.com/article/769193overview#showall.
6. Hettiaratchy S, Papini R, Dzickwulski P. ABC of Burns. Oxford: Blackwell
Publishing; 2005: 1-22.
7. Hudak, Gallo. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedoketran EGC; 1997: 24.
8. Thorne CH, Beasley RW, Aston SJ. Grabb and Smiths Plastic Surgery. 6th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007: 132-49.
9. Blahd WH, Connor HM. First Aid and Emergency of Burns. Diunduh pada
tanggal

31

Oktober

2013.

Available

at

http://www.webmd.com/first-

aid/tc/burns-topic-overview.
10.Barret JP. Principles and Practice of Burn Surgery. New York: Marcel-Dekker;
2005: 1-31.
11.Mozingo DW, Ahrenholz DH, Jos JC. Adanced Burn Life Support Course. Chicago:
American Burn Association; 2007: 14-39.
12.Haberal M, Abali ES, Karakayali H. Fluid management in major burn injuries.
Indian Journal of Plastic Surgery. 2010.
13.Hahn RG, Prough DS, Svensen CH. Perioiperative Fluid Therapy. New York:
Informa Health Care; 2007: 137-58.
14.Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL. Schwartz Principles of
Surgery. 9th Ed. New York: McGraw-Hill; 2010: 840-64.

Hasil Pembelajaran
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Temuan pemeriksaan Luka bakar


Diagnosis Luka bakar
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan
Resusitasi luka bakar
Tatalaksana lanjutan luka bakar
Tatalaksana bedah
Komplikasi yang dapat terjadi
Edukasi kepatuhan perawatan di rumah dan kontrol kesehatan

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio:


1. Subyektif:
Pasien mengalami luka bakar akibat tersengat listrik. Kecelakaan langsung

mengakibatkan gangguan kesadaran berupa mengamuk dan tidak merespon


pertanyaan yang diajukan. Selain itu terdapat hilangnya fungsi kulit dan iritasi pada
ujung saraf sensoris sehingga pasien sangat merasa nyeri pada bagian kepala, leher
dan dada; sementara pada kedua kaki pasien tampak tidak dapat digerakkan. Luka
bakar pada wajah dan leher tidak menyebabkan kerusakan jalan napas dan tidak
mengakibatkan sesak.

2. Obyektif:
Tanda vital : TD = 120/90 mmHg, Nadi = 104 x/menit RR : 20 x/menit
menandakan suatu tanda-tanda kompensasi tubuh atas kekurangan cairan yang

hilang melalui luka bakar


Status Lokalis : Luka bakar meliputi 21,5% luas permukaan tubuh. Pada
daerah wajah, leher, dada didapatkan warna kulit merah namun sudah mulai
tampak pucat, didapatkan nyeri (+), bula (-), bulu-bulu terbakar (+),
ekskuamasi kulit (+); hal tersebut menandakan adanya luka bakar derajat II.
Pada daerah kedua kaki didapatkan kulit berwarna putih keabuan, kontraktur
(+), pulsasi arteri dorsalis pedis tidak teraba; hal ini menunjukkan adanya luka

bakar derajat III.


Hasil laboratorium : menunjukkan adanya peningkatan hematokrit (52,1%)
menandakan suatu hemokonsentrasi akibat kekurangan cairan plasma.
Peningkatan leukosit menandakan adanya respon inflamasi tubuh terhadap
stress yang terjadi. Peningkatan SGOT dan SGPT menandakan kemungkinan
adanya gangguan pada fungsi hati.

3. Assessment :
Lapisan kulit terdiri dari epidermis, dermis, dan subdermis. Bagian epidermis
memiliki beberapa lapisan yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum
granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale. Fungsi utama epidermis adalah
untuk melindungi kulit dari faktor kimia dan fisika. Bagian dermis memiliki struktur
yang kompleks karena terdiri dari banyak syaraf, pembuluh darah, rambut, otot
rambut, kelenjar keringat, kelenjar minyak dan lain sebagainya. Bagian subdermis
atau hipodermis terletak di bawah dermis. Fungsinya untuk menempelkan kulit ke
tulang dan otot yang mendasarinya. Bagian ini terdiri dari jaringan ikat longgar dan

elastin. Jenis sel utama adalah fibroblast, makrofag dan sel lemak (hipodermis
mengandung 50% lemak tubuh). Lemak berfungsi sebagai bantalan dan isolasi untuk
tubuh. Kulit juga banyak mengandung flora normal yang fungsinya untuk mencegah
kolonisasi kuman pathogen.
Luka bakar diklasifikasikan berdasarkan kedalaman kerusakan kulitnya,
dimana dibagi 3 derajat yaitu derajat 1, 2 (2A dan 2B), dan 3. Derajat 1 hanya
mengenai epidermis, gambaran klinis berupa eritema saja tanpa kehilangan struktur
kulit. Derajat 2A mengenai epidermis dan 1/3 bagian dermis, gambaran klinis berupa
eritema, nyeri, terdapat bulla. Sedangkan derajat 2B mengenai 2/3 bagian dermis
sehingga terjadi kerusakan pembuluh darah. Masih dapat dijumpai bulla, tidak terlalu
nyeri, dan kulit sudah tampak pucat. Derajat 3 luka bakar mengenai seluruh tekstur
kulit, kulit tampak pucat dan kering, tidak ada lagi sensasi nyeri, kadang terbentuk
gumpalan protein yang disebut eskar.
Pasien dengan luka bakar yang luas dapat dengan mudah terjadi komplikasi
mulai dari dehidrasi, syok, kerusakan paru, hipermetabolisme, emboli, gagal ginjal
akut, infeksi sepsis, hingga sampai komplikasi psikososial dan estetika. Penanganan
yang cepat dan tepat merupakan kunci dalam tatalaksana luka bakar.
Berdasarkan hasil alloanamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium; dapat disimpulkan bahwa diagnosis kerja pada pasien ini: Combustio
grade II dan grade III et causa electrical injury.
4. Planning :
O2 nasal canul 5 lpm
Terapi resusitasi 24 jam pertama:
Infus RL sebanyak 4cc x 21,5% x 65 kg = 5.600cc/24jam 2.800 cc habis

dalam 8 jam dan 2.800 cc habis dalam 16 jam berikutnya.


Pasang kateter urin untuk pantau UO 0,5cc/kgBB/jam setelah dilakukan

pemasangan kateter terdapat hematuri (+)


Antibiotika : Cefotaxim 2x 1 gram, metronidazole 3x 500mg infus
Suportif : Inj. Tetagam 250 IU, Drip Antrain 1 amp, Diazepam extra 1 ampul,
Omeprazole 2x1 amp, Ketorolac 3x 1 amp, Inj. Vit. K 3x1, Inj. Asam

tranexamat 1 amp.
Terapi lanjutan: Anjurkan pasien untuk rehidrasi per-oral dan berikan IVFD RL

2.800cc /24jam. Pantau balance cairan. Diet tinggi protein.


Terapi bedah : debridement jaringan nekrotik. Skin graft dapat dilakukan saat

jaringan kulit sudah granulasi.


Perawatan luka :

Bila luka sudah bersih, oleskan salep antibiotic garamycin secara tipis dan

menyeluruh.
Tutup luka menggunakan kassa steril. Basahi kassa agar mencegah dehidrasi.
Ganti verban minimal 2 kali sehari.
Beberapa salep seperti zibro/mebo/bioplacenton dapat digunakan untuk

membantu reepitelisasi dan mengurangi nyeri.


Saat mandi, gosok permukaan kulit secara lembut untuk membantu

mengangkat kulit yang mati.


Jaga kebersihan lingkungan dan pakaian.
Kontrol rutin ke puskesmas/ poliklinik bedah.

FOLLOW UP

4 Januari 2016 pukul 22.00 WIB


S:

Nyeri (+), terasa panas (+) di wajah, leher, dan dada, sesak (-)

O:

Kesadaran: GCS: E4M6V5 = 15


TD: 110/70 mmHg

t: 37,2oC

HR: 98 x/menit

RR: 24 x/menit

A:

Combustio grade II & III e.c. electrical injury

P:

Konsul SpB, instruksi:


- IVFD RL 40 tpm
- Lasix 2 x 1 amp.
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gram
- Inj. Gentamicin 3 x 80 mg
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg
- Inj. Vit. K 3 x 1 amp.
- Inj. Dexamethason 3 x 1 amp.
- Metronidazole stop
- Rawat ruang biasa, tidak perlu isolasi

6 Januari 2016
S:

Keluar darah dari bagian kepala

O:

Ku/ Kes: TSS/ CM


TD: 110/80 mmHg

t: 37oC

HR: 88 x/menit

RR: 20 x/menit

DC: darah (-), produksi urin (+)


Status lokalis:
Regio parietal dextra: Entry wound (+), ukuran 2 x 3 cm, tertutup kassa (+),
rembesan darah (+), perdarahan aktif (-)

Regio pedis dextra et sinistra: nekrosis (+), kontraktur (+)


Regio plantar pedis dextra : exit wound (+), ukuran 4 x 2 cm, tepi tidak rata
A:

Combustio grade II & III e.c. electrical injury

P:

- IVFD RL 35 tpm
- Lasix 1 x 1 amp.
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gram
- Inj. Gentamicin 3 x 80 mg
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg
- Inj. Vit. K 3 x 1 amp.
- Inj. Dexamethason 3 x 1 amp.
Instruksi Sp.B: Rencana amputasi alih rawat Sp.OT

7 Januari 2016
S:

Nyeri (+) di daerah luka bakar, ujung-ujung kaki tidak terasa

O:

Kesadaran: GCS: E4M6V5 = 15


TD: 110/60 mmHg

t: 36oC

HR: 88 x/menit

RR: 24 x/menit

Regio parietal dextra: Entry wound (+) tertutup kassa (+), rembesan darah (+),
perdarahan aktif (-)
Regio pedis dextra et sinistra: pus (+), nekrosis (+), kontraktur (+)
Regio plantar pedis dextra : exit wound (+), ukuran 4 x 2 cm, tepi tidak rata, dasar
tendon
A:

Combustio grade II & III e.c. electrical injury

P:

- IVFD RL 25 tpm
- Lasix 1 x 1 amp.

- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gram


- Inj. Gentamicin 3 x 80 mg
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg
- Inj. Vit. K 3 x 1 amp.
- Inj. Dexamethason 3 x 1 amp.
Instruksi Sp.OT: Rawat luka, rencana amputasi + debridement tanggal 12-1-2016

11 Januari 2016
S:

Nyeri (+)

O:

Kesadaran: GCS: E4M6V5 = 15


TD: 110/60 mmHg

t: 36oC

HR: 88 x/menit

RR: 24 x/menit

Regio parietal dextra: entry wound (+) ukuran 7 x 5cm, dasar periosteal, darah (-),
pus (-), serous (+)
Regio pedis dextra et sinistra: pus (+), nekrosis (+), kontraktur (+)
Regio plantar pedis dextra : warna kehitaman, exit wound (+), ukuran 4 x 2 cm, tepi
tidak rata, dasar tendon

Gambar combustio gr. III area pedis sinistra

Gambar combustio gr. III area pedis dextra

10

Gambar entry wound area parietal dextra, luka tampak depresi ke dalam, dasar
periosteal
A:

Combustio grade II & III e.c. electrical injury

P:

- IVFD RL 20 tpm + drip antrain 2 ampul


- Lasix 1 x 1 amp.
- Inj. Cefotaxim 2 x 1 gram
- Inj. Gentamicin 3 x 80 mg
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg
- Inj. Vit. K 3 x 1 amp.
- Inj. Dexamethason 3 x 1 amp.
- GV 2x, kompress NS, tutup kassa pada luka bakar
- Persiapan operasi tanggal 12 Januari 2016

12 Januari 2016
Dilakukan operasi berupa amputasi pada pedis dextra dan debridement pada pedis sinistra
Instruksi dr. Sp.OT. terapi post operasi:
- Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp.
13 Januari 2016
S:

Nyeri (+)

O:

Kesadaran: GCS: E4M6V5 = 15

11

TD: 110/60 mmHg

t: 36oC

HR: 88 x/menit

RR: 24 x/menit

Regio parietal dextra: entry wound (+) ukuran 7 x 5cm, dasar periosteal, belatung
(+), serous (+), darah (-), pus (-)
Regio maxilofacial, coli anterior, deltoid dexta, dan thorax anterosuperior: kulit
berwarna pink dengan jaringan granulasi (+), nyeri (+), bula (-)
Regio pedis sinistra: pus (+), nekrosis (+), kontraktur (+)
Regio pedis dextra : luka post amputasi terbalut verban, rembesan darah (+), pus (-)
A:

Combustio grade II & III e.c. electrical injury


Post amputasi pedis dextra e.c. combustio gr III (electrical injury)

P:

- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Cefotaxim 3 x 1 gram
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp.
- GV 2x, kompress NS, tutup kassa pada luka bakar

Gambar combustio gr II pada area wajah, leher, dada dan bahu

12

Gambar post amputasi pedis dextra

Gambar entry wound regio parietal dextra

14 Januari 2016
S:

Nyeri (+)

O:

Kesadaran: GCS: E4M6V5 = 15


TD: 120/70 mmHg

t: 37oC

HR: 80 x/menit

RR: 22 x/menit

Regio parietal dextra: entry wound (+) ukuran 7 x 5cm, dasar periosteal, belatung
(+), serous (+), darah (-), pus (-)
Regio maxilofacial, coli anterior, deltoid dexta, dan thorax anterosuperior: kulit
berwarna pink dengan jaringan granulasi (+), nyeri (+), bula (-)
Regio pedis sinistra: pus (+), nekrosis (+), kontraktur (+)
Regio pedis dextra : luka post amputasi terbalut verban, rembesan darah (+), pus (-)
A:

Combustio grade II & III e.c. electrical injury


Post amputasi pedis dextra e.c. combustio gr III (electrical injury)

P:

- IVFD RL 20 tpm

13

- Inj. Cefotaxim 3 x 1 gram


- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp.
- GV 2x, kompress NS, tutup kassa pada luka bakar
Instruksi Sp.OT: rencana amputasi lagi pada kaki kiri + debridement pada kepala
tanggal 21 Januari 2016

Gambar pedis sinistra post debridement

Gambar entry wound parietal dextra

21 Januari 2016
Dilakukan operasi berupa amputasi pada pedis sinistra dan debridement pada parietal dextra
Instruksi dr. Sp.OT. terapi post operasi:
- Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
- Inj. Ketorolac 3 x 30 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 1 amp.
26 Januari 2016
S:

O:

Ku/ Kes: TSR/ CM


TD: 110/60 mmHg

t: 36oC

HR: 88 x/menit

RR: 24 x/menit

Regio parietal dextra: luka tertutup kassa, darah (-), pus (-)
Regio maxilofacial, coli anterior, deltoid dexta, dan thorax anterosuperior: kulit
berwarna pink dengan jaringan granulasi (+), nyeri (-), bula (-)

14

Regio pedis dextra et sinistra: luka post amputasi terbalut verban, rembesan darah (-),
pus (-)
A:

Post debridement parietal dextra e.c. entry wound


Combustio gr II regio maxilofacial, coli anterior, deltoid dexta, dan thorax
anterosuperior (Perbaikan)
Post amputasi pedis dextra et sinistra e.c. combustio gr III (electrical injury)

P:

Boleh pulang, obat pulang:


Cefixime 2 x 200 mg
Meloxicam 2 x 7,5 mg
Ranitidin 2 x 1
Hemafort 3 x 1
Paracetamol 3 x 500 mg
Kontrol poli ortopedi

15

TINJAUAN PUSTAKA
LUKA BAKAR

PENDAHULUAN
Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi para dokter. Jenis yang berat
memperlihatkan morbiditas dan derajat cacat yang relatif tinggi dibanding dengan cedera
oleh sebab lain. Biaya yang dibutuhkan untuk penanganannya pun tinggi. Penyebab luka
bakar selain terbakar api langsung atau tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dari
matahari, listrik, maupun bahan kimia. Luka bakar karena api atau akibat tidak langsung dari
api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga.1
Luka bakar pada dasarnya merupakan fenomena pemindahan panas, meskipun sumber
panasnya dapat bervariasi, akibat akhir yang timbul selalu berupa kerusakan jaringan, paling
nyata pada kulit, tetapi pada cedera multisistemik yang nyata dapat menyebabkan gangguan
yang serius pada paru-paru, ginjal dan hati. Efek-efek sistemik dan mortalitas akibat cedera
luka bakar berhubungan langsung dengan luas dan dalamnya kulit yang terkena.2
Pada umumnya pasien luka bakar datang akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan
napas), breathing (mekanisme bernapas), dan gangguan circulation (sirkulasi). Gangguan
airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah terjadi trauma, namun
masih dapat terjadi obstruksi saluran napas akibat cedera inhalasi dalam 4872 jam pasca
trauma. Cedera inhalasi merupakan penyebab kematian utama penderita pada fase akut.
Kematian umumnya terjadi pada 7 hari pertama masa perawatan (masalah jangka pendek).
Sementara sisa kasus yang bertahan hidup menghadapi masalah tersendiri, antara lain
lamanya masa perawatan yang berkisar antara 414 hari rawat dan dengan penyulit yang
timbul (masalah jangka panjang), antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS (Systemic
Inflammatory Response Syndrome), infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan
kontraktur.2,3
Hampir semua kasus luka bakar disebabkan oleh api atau tersiram air panas. Dengan
menentukan sumber panas (misalnya, agen yang menyebabkan luka bakar) akan membantu
kita dalam memperkirakan luas dan dalamnya cedera. Perkiraan ini sangat penting dalam

16

merencanakan terapi cairan intravena yang tepat. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip


dasar resusitasi pada trauma dan penerapannya pada saat yang tepat, diharapkan akan dapat
menurunkan sekecil mungkin angka morbiditas dan mortalitas tersebut. Prinsip-prinsip
dasarnya meliputi kewaspadaan akan terjadinya gangguan jalan nafas pada penderita yang
mengalami trauma inhalasi, mempertahankan hemodinamik dalam batas normal dengan
resusitasi cairan, mengetahui dan mengobati penyulit-penyulit yang mungkin terjadi akibat
luka bakar tersebut.2

DEFINISI LUKA BAKAR


Luka bakar atau combustio adalah suatu bentuk kerusakan dan kehilangan jaringan
disebabkan kontak dengan sumber suhu yang sangat tinggi seperti terkena air panas (scald),
kobaran api di tubuh (flame), jilatan api ke tubuh (flash), tersentuh benda panas (contact),
akibat serangan listrik, akibat bahan- bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn) dan
suhu yang sangat rendah.1

EPIDEMIOLOGI
Penanganan dan perawatan luka bakar (khususnya luka bakar berat) memerlukan perawatan
yang kompleks dan masih merupakan tantangan tersendiri karena angka morbiditas dan
mortalitas yang cukup tinggi. Di Amerika dilaporkan sekitar 2 3 juta penderita setiap
tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5 6 ribu kematian per tahun. Di Indonesia sampai
saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar dan jumlah angka
kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSCM Jakarta, pada tahun 1998
dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat dengan angka kematian 37,38%.3
Dari unit luka bakar RSU Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data bahwa kematian umumnya
terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau pada luka bakar yang disertai cedera
pada saluran napas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan. Statistik menunjukkan
bahwa 60% luka bakar terjadi karena kecelakaan rumah tangga, 20% karena kecelakaan
kerja, dan 20% sisanya karena sebab-sebab lain, misalnya bus terbakar, ledakan bom, dan
gunung meletus.3

17

ETIOLOGI
Luka bakar pada kulit bisa disebabkan karena panas, dingin, ataupun zat kimia. Ketika kulit
terkena panas, maka kedalaman luka dipengaruhi oleh derajat panas, durasi kontak panas
pada kulit dan ketebalan kulit.2
1. Luka Bakar Termal (Thermal Burns)
Luka bakar termal disebabkan oleh air panas (scald), jilatan api ke tubuh (flash),
kobaran api ke tubuh (flame) dan akibat terpapar atau kontak dengan objek-objek
panas lainnya (misalnya plastik, logam panas dan lain-lain).2,4
Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka, dan
menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat membakar pakaian
terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat alami memiliki kecenderungan untuk
terbakar, sedangkan serat sintetik cenderung meleleh atau menyala dan

menimbulkan cedera tambahan berupa cedera kontak.


Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan benda panas. Luka
bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh yang mengalami kontak.
Contohnya antara lain adalah luka bakar akibat rokok dan alat-alat seperti solder

besi atau peralatan masak.


Scalds (air panas): Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan
dan semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan
ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan
berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya
menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit sehat.
Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan keseluruhan
ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan
cairan.

Uap panas: Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator
mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang tinggi
dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap
panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas distal di paru.

2. Luka Bakar Zat Kimia (Chemical Burns)

18

Luka bakar kimia biasanya disebabkan oleh asam kuat atau alkali yang biasa
digunakan bidang industri, militer, ataupun bahan pembersih yang sering digunakan
untuk keperluan rumah tangga. 2,4
3. Luka Bakar Listrik (Electrical Burns)
Listrik menyebabkan kerusakan yang dibedakan karena arus, api, dan ledakan. Aliran
listrik menjalar disepanjang bagian tubuh yang memiliki resistensi paling rendah;
dalam hal ini cairan. Kerusakan terutama pada pembuluh darah, khususnya tunika
intima, sehingga menyebabkan gangguan sirkulasi ke distal. Seringkali kerusakan
berada jauh dari lokasi kontak, baik kontak dengan sumber arus maupun ground. 2,4
4. Luka Bakar Radiasi (Radiation Exposure)
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe luka
bakar ini sering disebabkan oleh penggunaaan radioaktif untuk keperluan terapeutik
dalam kedokteran dan industri. Akibat terpapar sinar matahari yang terlalu lama juga
dapat menyebabkan luka bakar radiasi. 2,4

Gambar 1. Tipe luka bakar (dikutip dari daftar pustaka no. 5)

PATOFISIOLOGI

19

Respon Lokal
Terdapat 3 zona luka bakar menurut Jackson 1947 yaitu:6
1. Zona Koagulasi
Merupakan daerah yang langsung mengalami kontak dengan sumber panas dan terjadi
nekrosis dan kerusakan jaringan yang irevisibel disebabkan oleh koagulasi protein.
2. Zona Stasis
Zona stasis berada sekitar zona koagulasi, dimana zona ini mengalami kerusakan
endotel pembuluh darah, trombosit, leukosit sehingga penurunan perfusi jaringan
diikuti perubahan permeabilitas kapiler (kebocoran vaskuler) dan respon inflamasi
lokal. Proses ini berlangsung selam 12-24 jam pasca cedera, dan mungkin berkakhir
dengan nekrosis jaringan bila tidak mendapat resusitasi luka bakar yang adekuat.
3. Zona Hiperemia
Pada zona hiperemia terjadi vasodilatasi karena inflamasi, jaringannya masih viable.
Proses penyembuhan berawal dari zona ini kecuali jika terjadi sepsis berat dan
hipoperfusi yang berkepanjangan.

Gambar 2. Zona luka bakar Jackson 1947 dan efeknya terhadap resusitasi adekuat dan
inadekuat (dikutip dari daftar pustaka no. 6)

20

Gambar 3. Gambaran klinis zona luka bakar (dikutip dari daftar pustaka no. 6)
Respon Sistemik
Perlepasan sitokin dan mediator inflamasi lainnya di tempat terjadinya luka bakar memiliki
efek sistemik jika luka bakar mencapai 30% luas permukaan tubuh. Perubahan- perubahan
yang terjadi sebagai efek sistemik tersebut berupa:
1. Gangguan Kardiovaskuler, berupa peningkatan permeabilitas vaskuler yang
menyebabkan keluarnya protein dan cairan dari intravaskuler ke interstitial. Terjadi
vasokontriksi di pembuluh darah splangnik dan perifer. Kontraktilitas miokardium
menurun, kemungkinan oleh karena adanya Tumor Necrosis Factor- (TNF-).
Perubahan ini disertai dengan kehilangan cairan dari luka bakar menyebabkan
hipotensi sistemik dan hipoperfusi organ.
2. Gangguan respirasi, mediator inflamasi menyebabkan bronkokontriksi, dan pada luka
bakar yang berat dapat timbul Respiratory Distress Syndrome (RDS).
3. Gangguan metabolik, terjadi peningkatan basal metabolic rate hingga tiga kali lipat.
Hal ini disertai dengan dengan adanya hipoperfusi splangnik yang menyebabkan
dibutuhkannya pemberian makanan enteral secara agresif untuk menurunkan
katabolisme dan mempertahankan integritas saluran pencernaan.
4. Gangguan imunologis, terdapat penurunan sistem imun yang mempengaruhi sistem
imun humoral dan seluler.

21

Gambar 4. Respon sistemik pada luka bakar (dikutip dari daftar pustaka no. 6)

22

Gambar 5. Patofisiologi luka bakar (dikutip dari daftar pustaka no. 7)

23

KLASIFIKASI
Berdasarkan American Burn Association luka bakar diklasifikasikan berdasarkan kedalaman,
luas permukaan, dan derajat ringan luka bakar.1, 2, 8
1. Berdasarkan kedalamannya1, 2, 8

a. Luka bakar derajat I (superficial burns)


Luka bakar derajat ini terbatas hanya sampai lapisan epidermis. Gejalanya berupa
kemerahan pada kulit akibat vasodilatasi dari dermis, nyeri, hangat pada perabaan
dan pengisian kapilernya cepat. Pada derajat ini, fungsi kulit masih utuh. Contoh
luka bakar derajat I adalah bila kulit terpapar oleh sinar matahari terlalu lama, atau
tersiram air panas. Proses penyembuhan terjadi sekitar 5-7 hari. Luka bakar
derajat ini tidak menghasilkan jaringan parut, dan pengobatannya bertujuan agar
pasien merasa nyaman dengan mengoleskan soothing salves dengan atau tanpa gel
lidah buaya.

Gambar 6. Luka bakar derajat I (dikutip dari daftar pustaka no. 9)


b. Luka bakar derajat II (partial thickness burns)
Luka bakar derajat II merupakan luka bakar yang kedalamanya mencapai dermis.
Bila luka bakar ini mengenai sebagian permukaan dermis, luka bakar ini dikenal
sebagai superficial partial thickeness burns atau luka bakar derajat IIA. Luka
bakar derajat IIA ini tampak eritema, nyeri, pucat jika ditekan, dan ditandai
adanya bulla berisi cairan eksudat yang keluar dari pembuluh darah karena
permeabilitas dindingya meningkat. Luka ini mendapat epitelisasi dari struktur
epidermis yang tersisa pada rete ridge, folikel rambut dan kelenjar keringat dalam
7-14 hari secara spontan. Setelah penyembuhan, luka bakar ini dapat memiliki
sedikit perubahan warna kulit dalam jangka waktu yang lama.

24

Gambar 7. Luka bakar derajat IIA (dikutip dari daftar pustaka no. 9)
Luka bakar derajat II yang mengenai sebagian retikular dermis, luka bakar ini
dikenali sebagai deep partial thickeness burns atau luka bakar derajat IIB. Luka
bakar derajat IIB ini tampak lebih pucat, tetapi masih nyeri jika ditusuk degan
jarum (pin prick test). Luka ini sembuh dalam 14-35 hari dengan reepiteliasasi
dari folikel rambut, keratinosit dan kelenjar keringat, seringkali parut muncul
sebagai akibat dari hilangnya dermis.

Gambar 8. Luka bakar derajat IIB (dikutip dari daftar pustaka no. 9)
c. Luka bakar derajat III (full-thickess burns)
Kedalaman luka bakar ini mencapai seluruh dermis dan epidermis sampai ke
lemak subkutan maupun jaringan lebih dalam di bawahnya. Luka bakar ini
ditandai dengan eskar yang keras, tidak nyeri, dan warnanya hitam, putih, atau
merah ceri. Tidak ada sisa epidermis maupun dermis sehingga luka harus sembuh
dengan reepitelisasi dari tepi luka. Full-thickness burns memerlukan eksisi dengan
skin grafting.

25

Gambar 9. Luka bakar derajat III (dikutip dari daftar pustaka no. 9)

Tabel 1. Perbedaan kedalaman luka bakar (dikutip dari daftar pustaka no. 6)

2. Berdasarkan luas permukaan luka bakar 6


Ada 3 metode yang umum digunakan dari perkiraan luas daerah luka bakar, dan
masing-masing metode memiliki peran dalam keadaan yang berbeda. Eritema tidak
boleh disertakan ketika menghitung luas daerah yang terbakar.
Adapun metode tersebut yaitu :
a. Luas permukaan palmar (Palmar surface)
Permukaan tangan pasien (termasuk jari) kira-kira 0,8% dari total luas permukaan
tubuh. Permukaan palmar dapat digunakan untuk memperkirakan luka bakar yang
relatif kecil (<15% dari total luas permukaan) atau luka bakar yang sangat luas
(>85%). Untuk luka bakar berukuran sedang, metode ini tidak akurat.6
b. Rumus 9 (Wallace rule of nine) untuk orang dewasa
Metode ini sangat baik, dan umumnnya dipakai dalam memperkirakan persentase
luas permukaan luka bakar (total body surface area - TBSA). Cara perkiraan
sangat cepat untuk perkiraan luka bakar sedang sampai berat pada orang dewasa.
Wallace membagi tubuh atas bagian-bagian 9% atau kelipatan dari 9 yang dikenal
dengan rule of nine atau rule of Wallace. Luas kepala dan leher, dada, punggung,
pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan,
paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%.
Sisanya 1% adalah daerah genitalia.6

26

Gambar 10. Wallaces rule of nines (dikutip dari daftar pustaka no. 6)
c. Metode Lund dan Browder
Metode ini jika digunakan dengan benar, merupakan metode paling akurat.
Metode ini mengkompensasi variasi bentuk tubuh dengan usia sehingga dapat
memberikan penilaian yang daerah luka bakar yang akurat pada anak-anak.
Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak
dapat menggunakan Rumus 9 dan disesuaikan dengan usia : anak di bawah usia
1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai 14%. Torso dan lengan persentasenya sama
dengan dewasa. Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai nilai dewasa.6

27

Tabel 2. Lund and Browder chart (dikutip dari daftar pustaka no. 5)

3. Berdasarkan derajat ringan beratnya luka bakar menurut American Burn Association:1, 2,
10

a. Luka bakar ringan


Luka bakar derajat II < 15% pada orang dewasa
Luka bakar derajat II < 10% pada anak-anak
Luka bakar derajat III < 2%
b. Luka bakar sedang
Luka bakar derajat II 15% 25% pada orang dewasa
Luka bakar derajat II 10% 20% pada anak-anak
Luka bakar derajat III < 10%
c. Luka bakar berat (mayor burn)
Luka bakar derajat II 25% atau lebih pada orang dewasa
Luka bakar derajat II 20% atau lebih pada anak-anak
Luka bakar derajat III 10% atau lebih
Luka bakar mengenai wajah, telinga, mata, dan genitalia atau perineum
Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain

28

FASE LUKA BAKAR


Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka bakar, yaitu:10
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada saluran nafas
yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan adanya eskar melingkar di
dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti
keseimbangan cairan elektrolit, syok hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome
(SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini
merupakan dampak dan atau perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama
dan masalah yang bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka).
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi jaringan.
Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti parut hipertrofik,
kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur
tertentu akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama.

INDIKASI RAWAT INAP

Luka bakar derajat II lebih dari 15% pada dewasa dan lebih dari 10% pada anak.

Luka bakar derajat II pada muka, leher, genitalia, perineum, dan ekstremitas.

Luka bakar derajat III lebih dari 2% pada orang dewasa dan setiap derajat III pada anak.

Luka bakar yang disertai trauma visera, tulang dan jalan nafas.10

PENATALAKSANAAN
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama adalah mempertahankan
jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi
endotrakea dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya
jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas atas.11

29

Penalataksanaan dan penanganan awal luka bakar berjalan simultan mengikuti kaidah standar
Advanced Trauma Life Support dari Komite Trauma American College of Surgeons dan
Advanced Burn Life Support dari Komite American Burn Association. Pada survei primer
dinilai dan ditangani A, B, C, D, dan E penderita.11

A (Airway) : Jalan nafas, masalah yang dilihat berupa sumbatan jalan nafas atas
(laring, faring) akibat cedera inhalasi yang ditandai kesulitan bernafas atau suara
nafas yang berbunyi (stridor hoarness). Kecurigaan dibuat bila ditemukan oedem
mukosa mulut dan jalan nafas, ditemukan sisa-sisa pembakaran di hidung atau
mulut dan luka bakar mengenai muka atau leher. Cedera ini harus segera ditangani
karena angka kematiannya sangat tinggi.
Penanganan awal jalan napas berupa:

o Chin lift
o Jaw thrust
o Memasukkan oral pharyngeal airway pada pasien yang tidak sadar
o Intubasi endotrakea
o Proteksi cervical spine
B (Breathing) : Kemampuan bernafas, ekspansi rongga dada dapat terhambat
karena nyeri atau eskar melingkar di dada.
o Aliran oksigen yang tinggi dimulai pada pasien sebanyak 15 L (100%),
menggunakan masker nonrebreathing.
o Luka bakar derajat III yang melingkari tubuh dapat mengganggu ventilasi

dan harus dipantau secara ketat.


C (Circulation) : Status volume pembuluh darah. Keluarnya cairan dari
pembuluh darah terjadi karena meningkatnya permeabilitas pembuluh darah (jarak
antara sel endotel dinding pembuluh darah). Bila disertai syok (suplai darah ke
jaringan kurang), tindakannya adalah atasi syok lalu lanjutkan resusitasi cairan.
Penilaian sirkulasi yang adekuat meliputi evaluasi tekanan darah, denyut nadi, dan
warna kulit (pada kulit yang tidak terbakar). Penanganan berupa memasukkan dua
jalur intravena dengan kateter intravena ukuran besar (pada kulit yang tidak

terbakar) untuk memasukkan cairan.


D (Disability) : Status neurologis pasien.

E (Exposure/ Environmental Control) : Pakaian pasien dibuka semua, semua

30

permukaan tubuh dinilai. Tujuan utama adalah mempertahankan suhu tubuh


pasien dengan menutupi tubuh pasien dengan selimut yang kering untuk
mencegah hipotermia.
Setelah mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah mendiagnosis dan menatalaksana
jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka
bermanfaat untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi
riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.11
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya
area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer pasien adalah
mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan, melepas bagian tubuh dari eskar
mengkonstriksi.11

RESUSITASI PASIEN LUKA BAKAR


1. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:11
a. Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan manifestasi
obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas dan sebagai fasilitas
pemelliharaan jalan nafas.
b. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif dan menimbulkan
morbiditas lebih besar dibanding intubasi. Krikotiroidotomi memperkecil dead space,
memperbesar tidal volume, lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan
pasien dapat berbicara jika dibanding dengan intubasi.
c. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat patologi jalan nafas
yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati dalam pemberian oksigen dosis besar
karena dapat menimbulkan stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas
yang bersifat vasodilator dan modulator sepsis.
d. Perawatan jalan nafas
e. Penghisapan sekret (secara berkala)
f. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam lumen jalan nafas
dan mencairkan sekret kental sehingga mudah dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya

31

menggunakan cairan dasar natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila
perlu. Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat
(menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis seluler) dan
steroid (masih kontroversial)
g. Bilasan bronkoalveolar
h. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
i. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki kompliansi paru
2. Resusitasi nutrisi11
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya dilakukan sejak dini
dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat
melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15%
protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat
meningkatkan fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah terjadinya
SIRS dan MODS.
3. Tatalaksana resusitasi cairan11, 12
Tujuan resusitasi cairan pada syok luka bakar adalah:

Preservasi reperfusi yang adekuat dan seimbang diseluruh pembuluh vaskuler

regional sehingga tidak terjadi iskemia jaringan


Minimalisasi dan eliminasi pemberian cairan bebas yang tidak diperlukan.
Optimalisasi status volume dan komposisi intravaskuler untuk menjamin survival

seluruh sel
Minimalisasi respon inflamasi dan hipermetabolik dan mengupayakan stabilisasi
pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologis.

Idealnya sedikit cairan dibutuhkan untuk menjaga perfusi jaringan perlu diberikan.
Pemberian volume cairan seharusnya secara terus menerus dititrasi untuk menghindari
terjadinya resusitasi yang kurang atau yang berlebihan. Ketika resusitasi cairan pada
pasien luka bakar ditingkatkan, volume cairan yang besar ditunjukkan untuk menjaga
perfusi jaringan. Akan tetapi resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya edema dan terjadinya sindroma kompartemen pada daerah abdomen dan

32

ekstremitas.12
Luka bakar kurang dari 20% luas permukaan tubuh total berhubungan dengan pergeseran
cairan yang minimal dari intravaskular ke interstisial dan secara umum dapat diresusitasi
dengan hidrasi oral, kecuali dalam kasus luka bakar pada wajah, tangan dan genital, luka
bakar pada anak-anak dan orang tua. Pada saat luas luka bakar mencapai 15-20% dari
luas permukaan tubuh total, respon inflamasi sistemik terinisiasi dan terjadi pergesaran
cairan yang masif, sehingga menghasilkan oedem dan shock luka bakar. Pada kasus ini,
pengelolaan pemberian cairan sangat dibutuhkan. Rekomendasi saat ini untuk memulai
resusitasi cairan intravaskular adalah pada saat luka bakar mencapai lebih dari 20% dari
luas permukaan tubuh total atau dengan kata lain merupakan luka bakar berat (mayor
burn).12
a. Jenis cairan
Sampai saat ini, belum ada kesepakatan tentang jenis cairan yang harus digunakan
untuk resusitasi luka bakar. Pada kenyataannya setiap jenis cairan mempunyai
keuntungan dan kerugian masing masing pada berbagai macam kondisi. Akan tetapi
yang paling penting adalah apapun jenis cairan yang diberikan, volume cairan dan
garam yang adekuat harus diberikan untuk menjaga perfusi jaringan dan memperbaiki
homeostatis.12
Terdapat tiga jenis cairan secara umum yaitu kristaloid, cairan hipertonik dan
koloid:12, 13
1) Larutan kristaloid
Kristaloid merupakan cairan dengan partikel kecil (MW < 30,000 D). Larutan ini
terdiri atas cairan dan elektrolit. Contoh larutan ini adalah Ringer Laktat dan NaCl
0,9%. Komposisi elektrolit mendekati kadarnya dalam plasma atau memiliki
osmolalitas hampir sama dengan plasma. Pada keadaan normal, cairan ini tidak
hanya dipertahankan di ruang intravaskular karena cairan ini banyak keluar ke
ruang interstisial. Pemberian 1 L Ringer Laktat (RL) akan meningkatkan volume
intravaskuler 300 ml. Kekurangan dari cairan ini adalah dapat terjadinya asidosi
hiperkloremik pada pemberian NaCl 0,9% yang berlebih, sementara Ringer Lakat
meningkatkan aktivasi neutrofil dan produksi Reactive Oxygen Species.

33

Tabel 3. Komposisi berbagai kristaloid (dikutip dari daftar pustaka no. 13)

2) Larutan hipertonik
Larutan ini dapat meningkatkan volume intravaskuler 2,5 kali dan penggunaannya
dapat mengurangi kebutuhan cairan kristaloid. Larutan garam hiperonik tersedia
dalam beberapa konsentrasi, yaitu NaCl 1,8%, 3%, 5 %, 7,5% dan 10%.
Osmolalitas cairan ini melebihi cairan intraseluler sehingga cairan akan berpindah
dari intraseluler ke ekstraseluler. Larutan garam hipertonik meningkatkan volume
intravaskuler melalui mekanisme penarikan cairan dari intraseluler. Kekurangan
dari larutan ini adalah dapat terjadinya hipernatremi yang mengakibatkan
peningkatan insiden gagal ginjal.
3) Larutan koloid
Contoh larutan koloid adalah Hydroxy-ethyl starch (HES) dan Dextran. Molekul
koloid cukup besar sehingga tidak dapat melintasi membran kapiler, oleh karena
itu sebagian akan tetap dipertahankan di dalam ruang intravaskuler. Pada luka
bakar dan sepsis, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga molekul akan
berpindah ke ruang interstisium. Hal ini akan memperburuk edema interstisium
yang ada.

34

HES merupakan suatu bentuk hydroxy-substitued amilopectin sintetik, HES


berbentuk larutan 6% dan 10% dalam larutan fisiologik. T 12 dalam plasma
selama 5 hari, tidak bersifat toksik, memiliki efek samping koagulopati namun
umumnya tidak menyebabkan masalah klinis. HES dapat memperbaiki
permeabilitas kapiler dengan cara menutup celah interseluler pada lapisan endotel
sehingga menghentikan kebocoran cairan, elektrolit dan protein. Penelitian
terakhir mengemukakan bahwa HES memiliki efek antiinflamasi dengan
menurunkan lipid protein complex yang dihasilkan oleh endotel, hal ini diikuti
oleh perbaikan permeabilitas kapiler. Efek anti inflamasi diharapkan dapat
mencegah terjadinya SIRS.

Tabel 4. Komposisi berbagai koloid (dikutip dari daftar pustaka no. 13)
b. Dasar pemilihan12, 13
CairanBeberapa faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan cairan adalah efek
hemodinamik, distribusi cairan dihubungkan dengan permeabilitas kapiler, oksigen,
PH buffering, efek hemostasis, modulasi respon inflamasi, faktor keamanan, eliminasi
praktis dan efisien. Jenis cairan terbaik untuk resusitasi dalam berbagai kondisi klinis
masih menjadi perdebatan terus diteliti. Sebagian orang berpendapat bahwa kristaloid
adalah cairan yang paling aman digunakan untuk tujuan resusitasi awal pada kondisi
klinis tertentu. Sebagian pendapat koloid bermanfaat untuk entitas klinik lain. Hal ini
dihubungkan dengan karakteristik masing-masing cairan yang memiliki kelebihan dan
kekurangan. Pada kasus luka bakar, terjadi kehilangan ciran di kompartemen
interstisial secara masif dan bermakna sehingga dalam 24 jam pertama resusitasi
dilakukan dengan pemberian cairan kristaloid.

35

Gambar 11. Kelebihan Kristaloid dan Koloid (dikutip dari daftar pustaka no. 13)

Gambar 12. Kekurangan Kristaloid dan Koloid (dikutip dari daftar pustaka no. 13)
Kristaloid saat ini merupakan cairan terpilih dan paling sering digunakan dalam
resusitasi cairan awal pada penderita luka bakar. Sebagian besar studi tidak
memperlihatkan peningkatan insiden edema paru pada pasien yang mendapatkan
cairan kristaloid. Holm dkk dalam penelitiannya mengemukakan bahwa sebagian
besar pasien luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas kapiler paru
setelah trauma dan insiden edema paru jarang terjadi sepanjang tekanan pengisian
intravaskuler dipertahankan dalam batas normal.13
Cairan koloid dan atau cairan hipertonik sebaiknya dihindari 24 jam pertama setelah
trauma luka bakar. Koloid tidak memperlihatkan keuntungan dibanding kristaloid

36

pada awal terapi cairan pada penderita luka bakar dan bahkan memperburuk edema
formasi pada awal terjadinya luka bakar. Hal ini oleh karena 8 24 jam setelah
terjadinya luka bakar, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler sehingga koloid
mengalami influks masuk ke dalam interstitium sehingga memperburuk edema.13
c. Penentuan jumlah cairan12

Cara Parkland:
o 24 jam pertama: Ringer Laktat (RL) 4 ml/kg/% luka bakar untuk dewasa dan 3
ml/kg/% luka bakar untuk anak-anak. Tambahan cairan RL untuk
pemeliharaan pada anak-anak:
- 4 ml/kg/jam untuk anak dengan berat 010 kg
- 40 ml/jam + 2 ml/kg/jam untuk anak dengan berat 1020 kg
- 60 ml/jam + 1 ml/kg/jam untuk anak dengan berat 20 kg/ lebih
Pada saat 24 jam pertama, tidak ada cairan koloid yang dimasukkan
o 24 jam berikutnya: koloid diberikan 20-60% dari volume plasme yang
dihitung. Tidak ada kristaloid yang diberikan. Glukosa dalam air ditambahkan
untuk mempertahankan keluaran urin 0,5-1 ml/jam pada dewasa dan 1 ml/ jam
pada anak.

Cara Parkland yang dimodifikasi


o 24 jam pertama: RL 4 ml/kg/% luka bakar (dewasa)
o 24 jam berikutnya: Mulai pemberian infus koloid 5% albumin 0,3-1 ml/kg/%
luka bakar/ 16 per jam

Cara Brooke
o 24 jam pertama: RL 1,5 ml/kg/% luka bakar + koloid 0,5 ml/kg/% luka bakar +
2000 ml glukosa dalam air
o 24 jam berikutnya: RL 0,5 ml/kg/% luka bakar + koloid 0,25 ml/kg/% luka
bakar + 2000 ml glukosa dalam air

Cara Brooke yang dimodifikasi


o 24 jam pertama: tidak ada koloid. RL 2 ml/kg/% luka bakar pada dewasa dan
3 ml/kg/% luka bakar pada anak
o 24 jam berikutnya: koloid 0,3-0,5 ml/kg/% luka bakar dan tanpa pemberian
kristaloid

37

Cara Evans (1952)


o 24 jam pertama: kristaloid 1 ml/kg/% luka bakar + koloid 1 ml/kg/% luka
bakar + 2000 ml glukosa dalam air
o 24 jam berikutnya: kristaloid 0,5 ml/kg/% luka bakar + koloid 0,5 ml/kg/%
luka bakar + 2000 ml glukosa dalam air

Cara Monafo
o Monafo merekomendasikan penggunaan cairan yang mengandung Na 250
mEq, laktat 150 mEq dan Cl 100 mEq. Jumlah tersebut disesuaikan
berdasarkan keluaran urin. Pada 24 jam berikutnya, cairan tersebut dititrasi
dengan 1/3 normal salin, tergantung dari keluaran urin.

Formula yang dikembangkan untuk anak-anak:

Shriners cincinnati
o 24 jam pertama:
untuk anak yang lebih tua: RL 4 ml/kg/% luka bakar + 1500 ml/m 2 luka
bakar (1/2 dari jumlahnya diberikan dalam 8 jam, sisanya dalam 16 jam

berikutnya)
untuk anak yang lebih muda: RL 4 ml/kg/% luka bakar + 1500 ml/m2 luka
bakar, dalam 8 jam pertama RL + 50 mEq NaHCO3, 8 jam kedua hanya

RL, 8 jam ketiga RL + 5% albumin


Galveston
24 jam pertama: RL 5000 ml/m 2 luka bakar + 2000 ml/m 2 luka bakar (1/2
dari jumlahnya diberikan dalam 8 jam, sisanya dalam 16 jam berikutnya)

38

Tabel 5. Cara penentuan jumlah cairan (dikutip dari daftar pustaka no. 14)

Tabel 6. Cara penentuan jumlah cairan (dikutip dari daftar pustaka no. 14)

MONITOR TERAPI CAIRAN


Manajemen cairan harus dimonitor baik secara klinis maupun laboratorium. Pada luka bakar
yang berat luka bakar yang berat, bila akses intravena perifer tidak bisa didapat, kateterasi
vena sentral harus dilakukan. Setelah jalur vena didapatkan, kateter urin dan selang
nasogastrik harus dimasukkan untuk kontrol dan monitor keseimbangan cairan. Hipotensi
merupakan perubahan lanjut pada shock, jadi denyut nadi lebih sensitif pada monitor awal. 12,
13

Pergeseran cairan terjadi secara cepat pada periode awal dari shock luka bakar, jadi beberapa
pemeriksaan laboratorium secara serial diperlukan untuk menentukan terapi cairan yang
tepat, yaitu dengan memeriksa hematokrit, serum elektrolit, osmolalitas, kalsium, glukosam
dan albumin. Indikator yang paling baik adalah monitor keluaran urin per jam. Sebagai

39

tambahan, pasien juga harus dimonitor secara kontinyu dengan elektrokardiografi, jalur
tekanan vena sentral, dan temperatur. 12, 13
Secara sederhana, keluaran urin (0,5-1 mL/kg/hari) dan normalisasi dari tekanan darah (MAP
>70 mmHg) dapat mengindikasikan bahwa terapi cairan telah adekuat. Namun indikator yang
lain juga penting seperti kadar laktat dalam darah, defisit basa, dan pH intramukosa lambung.

Tabel 7. Kriteria resusitasi cairan yang adekuat (dikutip dari daftar pustaka no. 13)

KESIMPULAN
Manajemen cairan merupakan bagian paling penting dalam mengelola penderita luka bakar
berat. Pada periode beberapa saat setelah terjadinya luka bakar, pengelolaan shock merupakan
prioritas utama. Kristaloid isotonik merupakan cairan yang paling sering digunakan pada
awal terapi cairan. Tujuan utama dari terapi cairan adalah untuk mempertahankan perfusi ke
organ dengan jumlah cairan yang cukup. Sindrom kompartemen merupakan komplikasi yang
sering dijumpai pada terapi cairan berlebih. Terapi cairan berlebih tersebut dapat dihindari
dengan adanya pengawasan yang ketat. Target awal dari terapi cairan meliputi normalisasi
tekanan darah sistemik dan mempertahankan keluaran urin yang adekuat. Indikator terapi
cairan adekuat yang lain juga penting seperti kadar laktat dalam darah, defisit basa, dan pH
intramukosa lambung

40

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005: 73.
2. Moenadjat RY. Luka bakar pengetahuan klinis praktis. Jakarta: Farmedia; 2000: 15-87.
3. Tim Bantuan Medis 110. Manajeman Luka Bakar. Diunduh pada tanggal 31 Oktober
2013. Available at http://www.tbm110.org/2011/03/manajeman-luka-bakar.
4. Holmes JH, Heimbach DM. Schwartz Manual of Surgery. 8th Ed. New York: McGrawHill; 2006: 139-64.
5. Jenkins A. Emergent Management of Thermal Burns. Diunduh pada tanggal 31 Oktober
2013. Available at http://emedicine.medscape.com/article/769193-overview#showall.
6. Hettiaratchy S, Papini R, Dzickwulski P. ABC of Burns. Oxford: Blackwell Publishing;
2005: 1-22.
7. Hudak, Gallo. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Jakarta: Penerbit Buku
Kedoketran EGC; 1997: 24.
8. Thorne CH, Beasley RW, Aston SJ. Grabb and Smiths Plastic Surgery. 6th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007: 132-49.
9. Blahd WH, Connor HM. First Aid and Emergency of Burns. Diunduh pada tanggal 31
Oktober 2013. Available at http://www.webmd.com/first-aid/tc/burns-topic-overview.
10. Barret JP. Principles and Practice of Burn Surgery. New York: Marcel-Dekker; 2005: 131.
11. Mozingo DW, Ahrenholz DH, Jos JC. Adanced Burn Life Support Course. Chicago:
American Burn Association; 2007: 14-39.
12. Haberal M, Abali ES, Karakayali H. Fluid management in major burn injuries. Indian
Journal of Plastic Surgery. 2010.
13. Hahn RG, Prough DS, Svensen CH. Perioiperative Fluid Therapy. New York: Informa
Health Care; 2007: 137-58.
14. Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL. Schwartz Principles of Surgery. 9th
Ed. New York: McGraw-Hill; 2010: 840-64.

41

Anda mungkin juga menyukai