Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

TUBERKULOSIS PARU PADA ANAK

Pembimbing : dr. H. Rivai Usman, Sp. A


Disusun Oleh : Angelika (030.09.020)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 27 MEI 1 AGUSTUS 2015
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat,
Presentasi kasus pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode 27 Mei 2015 1 Agustus 2015 dengan judul Tuberkulosis Paru pada Anak disusun oleh :
Nama : Angelika
NIM

: 030.09.020

Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :


Pembimbing :
dr. H. Rivai Usman, Sp. A

Menyetujui,

(dr. H. Rivai Usman, Sp. A)

BAB I

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan

Pasien
An. PA
1 thn / 8,2 kg
Perempuan

Ayah
Ibu
Tn. R
Ny. L
32 tahun
26 tahun
Laki-laki
Perempuan
Kebantenan Koja 2 RT 01/12 No.7 Jatiasih
Islam
Islam
Islam
Jawa
Jawa
Jawa
SMA
SMA
Pegawai
Ibu Rumah Tangga
Hubungan dengan
orang tua : Anak
kandung

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 22 Juni 2015.
Keluhan Utama :
Batuk sejak 1 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan batuk sejak 1 bulan yang lalu,. Batuk berdahak, namun susah
keluar. Selain batuk. Batuk disertai demam selama 1 bulan ini. nafsu makan anak berkurang. Riwayat
kontak TB adalah nenek pasien , yang sedang dalam pengobatan flek paru selama 1 bulan ini.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Penyakit
Alergi
Cacingan
DBD
Thypoid

Umur
-

Penyakit
Difteria
Diare
Kejang
Maag

Umur
-

Penyakit
Jantung
Ginjal
Darah
Radang paru

Umur
-

Otitis
Parotis
Riwayat Penyakit Keluarga :

Varicela
Operasi

Tuberkulosis
Morbili

Nenek pasien dalam pengobatan TB paru


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat alergi.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :
KEHAMILAN

Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tempat kelahiran
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi

KELAHIRAN

Tidak ditemukan kelainan


Setiap bulan periksa ke dokter
Rumah sakit
Dokter
Spontan
9 bulan
Berat lahir 3000 g
Panjang badan 45 cm

Keadaan bayi

Lingkar kepala 35 cm
Langsung menangis
Nilai apgar 8/9
Tidak ada kelainan bawaan

Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan pasien baik


Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Pertumbuhan gigi I

: 6 bulan

(normal: 5-9 bulan)

Tengkurap

: 3 bulan

(normal: 3-4 bulan)

Duduk

: 6 bulan

(normal: 6 bulan)

Berdiri

: 10 bulan

(normal: 9-12 bulan)

Berjalan

:belum bisa

(normal: 13 bulan)

Bicara

: 10 bulan

(normal: 9-12 bulan)

Baca dan Tulis

:-

Psikomotor

Kesan :
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai usia

Riwayat Makanan
Umur (bulan)
ASI/PASI
Buah/biskuit
0-2
+
2-4
+
4-6
+
+
6-8
+
+
8-10
+
+
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik

Bubur susu

Nasi tim

+
+

+
+

Riwayat Imunisasi :
Vaksin
Dasar (umur)
BCG
Lahir
DPT
2 bln
4 bln
6 bln
POLIO
Lahir
2 bln
4 bln
CAMPAK
9 bln
HEPATITIS B
Lahir
1 bln
6 bln
Kesan : Riwayat Imunisasi lengkap.

Ulangan (umur)
6 bln

Riwayat Keluarga :
Ayah
Ibu
Nama
Tn. R
Ny. L
Perkawinan ke
Pertama
Pertama
Umur
32 tahun
26 tahun
Keadaan kesehatan
Baik
Baik
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik.
Riwayat Perumahan dan Sanitasi :
Tinggal dirumah sendiri. Terdapat tiga kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air minum dan
air mandi berasal dari air tanah.
Kesan :Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

Keadaan umum : tampak sakit ringan.


Kesadaran
: AVPU : alert
Vital Sign
o Tekanan Darah : - mmHg
o Nadi
: 120 x/reguler, cukup
o Nafas
: 24x/ireguler
o Suhu
: 37,5 oC
antropometri
o tinggi 74 cm
BB : 8,2 kg

Kulit
: Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-)
Kepala
: Normosefal.
Rambut
: Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.
Mata
- Konjungtiva
: Anemis (+/+)
- Sclera
: Tidak ikterik
- Pupil
: Bulat, isokhor 3 mm/ 3 mm
- Reflek cahaya
: +/+
Telinga
: Sekret +/+
Hidung
: Sekret -/-, tidak ada tanda-tanda perdarahan
Pemeriksaan leher
:
- pembesaran KGB tidak ada
- Kaku kuduk tidak ditemukan.
Pemeriksaan Thoraks :
- Paru
: Inspeksi gerakan dada simetris kiri dan kanan,retraksi(-)
Perkusi sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi bronkhovesikuler, ronki +/+, wheezing -/- Jantung
: Inspeksi ictus cordis tidak terlihat
Auskultasi bunyi jantung normal, bising jantung (-).
Pemeriksaan Abdomen :
- Inspeksi datar
- Palpasi supel, organomegali (-)

- Perkusi tympani
- Auskultasi bising usus (+), normal.
Pemeriksaan alat kelamin : perempuan, dalam batas normal
Pemeriksaan Ekstremitas : CRT < 3 detik, akral hangat

Hasil pemeriksaan laboratorium (18 Juni 2015)


Nama test
Darah lengkap
LED
Lekosit
Hitung Jenis
Basofil
Eusinofil
Batang
Segment
Limfosit
Monosit

Hasil

Nilai Normal

15mm
13,3 ribu/ul

0-10
5-10

0%
3%
2%
23%
64%
8%

<1
1-3
2-6
52-70
20-40
2-8

Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
Trombosit
Index Eritrosit
MCV
MCH
MCHC

4,63 juta/ul
11,1 g/dl
33,2%
432ribu/ul

4-5
11 14,4
37-47
150-400

71,6 Fl
24 pg
33,5 %

75-87
24-30
31-37

*mantoux test : tgl 20 Juni 2015 = (+) indurasi 15mm

Hal-hal Penting dari Anamnesis

batuk sejak 1 bulan yang lalu,. Batuk berdahak, namun susah keluar.
Batuk disertai demam selama 1 bulan ini.
nafsu makan anak berkurang.
Riwayat kontak TB adalah nenek pasien , yang sedang dalam pengobatan flek paru selama 1
bulan ini.

Hal-hal Penting dari Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum

: tampak sakit ringan

Kesadaran

: composmentis

Tanda vital :
Frekuensi nadi

: 120 x/menit

Tekanan darah

: - mmHg

Frekuensi nafas

suhu tubuh

: 24 x/menit
: 37,5 C

Pada pemeriksaan thorax kedua lapang paru didapatkan rhonki +/+, cor dalam batas normal,
pada pemeriksaan abdomen dalam batas normal dan pada Extremitas tampak edema (-),
akral dingin (-).

Hal- hal yang penting dalam pemeriksaan penunjang.

LED
Lekosit
Test mantoux (+) indurasi 15mm
rontgen

Diagnosis Kerja:
TB paru aktif kasus baru
Diagnosis Banding :
pneumonia
Penatalaksanaan

Rawat jalan
OAT : REGIMEN 2RHZ+4RH
Rifampisin 125 mg
INH 85 mg
Pirazinamid 125 mg
Vitamin B6 10 mg

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium tuberculosis). TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14
tahun. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB. Faktor risiko penularan TB pada anak
tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan
BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar daripada pasien TB
dengan BTA negatif. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA
negatif dengan hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur
negatif dan foto Toraks positif adalah 17%. Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di
negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 4050%
dari jumlah seluruh populasi.1
Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun. Beban kasus TB anak
di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat diagnostik yang child-friendly dan tidak
adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak.Diperkirakan banyak anak
menderita TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai dengan
ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan peningkatan dampak negatif pada
morbiditas dan mortalitas anak. 1
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua
kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2%
pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8%
sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada
level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14
tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari kelompok
umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus
TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.1

Paru merupakan port dentree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam

percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 m), akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan
tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus
primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 212 minggu,
biasanya berlangsung selama 48 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan
sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam

alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity,
CMI). 1
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB. 1
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis
atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). 1
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi. 1
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 1
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman

TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,
dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru
saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran Hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar
kuman TB masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 26 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima
tahun (balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk
penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan menyebar ke
seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah.
Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute
generalized hematogenic spread.
Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada :
1. Anak yang kontak erat dengan pasien TB menular. Yang dimaksud dengan kontak erat
adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB
menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan sputumnya BTA positif dan
umumnya terjadi pada pasien TB dewasa.
2. Anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai dengan TB anak. Tuberkulosis
merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena adalah paru.
Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ terkait. Perlu
ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:


1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat
atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
2. Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
3. Batuk lama 3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan.
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
5. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6. Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku
diare
7. Gejala klinis pada organ yang terkena TB, tergantung jenis organ yang terkena,
misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat (SSP), tulang, dan kulit, adalah sebagai
berikut: Tuberkulosis kelenjar (terbanyak di daerah leher atau regio

colli).

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter 1 cm, konsistensi kenyal, tidak
nyeri, dan kadang saling melekat atau konfluens.
8. Tuberkulosis otak dan selaput otak:
Meningitis TB: Gejala-gejala meningitis dengan seringkali disertai gejala akibat
keterlibatan saraf-saraf otak yang terkena.
Tuberkuloma otak: Gejala-gejala adanya lesi desak ruang.
9. Tuberkulosis sistem skeletal:
Tulang belakang (spondilitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).

Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau tanda peradangan di

daerah panggul.
Tulang lutut (gonitis): Pincang dan/atau bengkak pada lutut tanpa sebab yang jelas.
Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).

10. Skrofuloderma:Ditandai adanya ulkus disertai dengan jembatan kulit antar tepi ulkus
(skin bridge).
11. Tuberkulosis mata:
Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis).
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
12. Tuberkulosis organ-organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal dicurigai bila

ditemukan gejala gangguan pada organ-organ tersebut tanpa sebab yang jelas dan
disertai kecurigaan adanya infeksi TB. 1
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang terdiri
dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusanangsung atau biopsi jaringan untuk
menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pemeriksaan sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan dapat dilakukan untuk mencari
kuman TB. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau
kuman TB. 1
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan
ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat yaitu
penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe Assay) dan NAAT=Nucleic Acid
Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF). Metode ini masih terbatas digunakan di
semua negara karena membutuhkan biaya mahal dan persyaratan laboratorium tertentu. 1
Cara Mendapatkan sampel pada Anak
1. Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang mampu mengeluarkan dahak.
Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun.
2. Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat
mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada
pagi hari.
3. Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan
hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1
sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan
peralatan yang memadai untuk melaksanakan metode ini. 1

Upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak melalui pemeriksaan


sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah kuman dan sulitnya pengambilan
spesimen sputum. Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak dapat
dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan
penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular
merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan.
Selanjutnya, perlu dibuktikan apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan
uji tuberkulin. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas
terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak langsung
menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah
tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin positif ) belum tentu menderita TB oleh
karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan
kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan
tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila daya
tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi
menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan
radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat
penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada pasien
maupun hasil foto toraks. 1
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum
Institute Denmark produksi dari Biofarma.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan foto toraks.
Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas kecuali gambaran TB milier. Secara umum,
gambaran radiologis yang menunjang TB adalah sebagai berikut:
a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat (visualisasinya selain
dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura

d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrate
h. Tuberkuloma1
Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat dikerjakan,
namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan
suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring. 1
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai nilai
tertinggi yaitu 3.Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.Pasien dengan jumlah skor 6
harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.Setelah dinyatakan sebagai pasien
TB anak dan diberikan pengobatan. 1
Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier atau kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya: Kejang, kaku kuduk, penurunan kesadaran, kegawatan lain, misalnya
sesak napas 1
Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang (moment opname).
Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi untuk anak usia <5
tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan untuk anak usia >5 tahun merujuk pada
kurva CDC 2000. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1
bulan. Demam (2 minggu) dan batuk (3 minggu) yang tidak membaik setelah diberikan
pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas. Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran
mendukung TB berupa: pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat,

atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma. TB


jika jumlah skor 6 (skor maksimal 13). 1
Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH
profilaksis tergantung dari umur anak tersebut. Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik
utama pada TB anak. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang
meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. Anak dengan
skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada fasyankes yang tidak
tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau sebagai TB anak.
Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan klinis, maka
terapi OAT dilanjutkan sampai selesai. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat
imunisasi BCG dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB
anak. Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB. 1
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin dan
atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan
dapat didiagnosis TB dengan syarat skor 6 dari total skor 13. Pada anak yang pada evaluasi
bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya
kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta,
gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila
fasilitas tidak memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis
adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis. 1
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB
diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa
sakit TB (profilaksis sekunder).

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.

Pemberian gizi yang adekuat.

Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan. 1

OAT diberikan

dalam bentuk

kombinasi minimal
macam obat untuk

3
mencegah

terjadinya
resistensi
obat dan
untuk

membunuh
intraseluler

kuman
dan

ekstraseluler. Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang
selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan. Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya
penyakit.
o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasilpemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT
pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang

lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. 1

Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid dalam 3 dosis.
Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4
minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan
pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan
jaringan. 1
Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR.
Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk
OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk
kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan. Apabila ada kenaikan BB maka
dosis/jumlah tablet yang diberikan, menyesuaikan berat badan saat itu. Untuk anak obesitas,
dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai umur). OAT KDT harus diberikan secara
utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh digerus). Obat dapat diberikan dengan cara ditelan
utuh, dikunyah/dikulum (chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable). Obat
diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan. Apabila OAT lepas
diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus bersama dan dicampur
dalam satu puyer.
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat kepatuhan,
toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan pasien kontrol tiap
bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien harus dievaluasi.
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat,
berat badan meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon
pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan
apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan

tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan
untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan
evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks. Pemeriksaan
tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena
uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan
klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA
positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang
sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA pos.
Efek Samping pengobatan TB Anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan asupan piridoksin
(vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka dapat diberikan vitamin B6 10 mg
tiap 100 mg INH. Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/ hari
direkomendasikan diberikan pada bayi yang mendapat ASI eksklusif, pasien gizi buruk, dan
anak dengan HIV positif.
Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur
Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi.

Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di fase lanjutan

DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali mulai dari awal.
Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan
DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.

Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan risiko terjadinya TB
kebal obat.
Pengobatan ulang TB anak
Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan keluhan
gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-benar menderita TB. Evaluasi dapat

dilakukan dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem
skoring harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan
dahak menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus Kambuh. Pada
pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji
tuberkulin ulang.

BAB III
ANALISIS KASUS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pada pasien anak, penegakkan diagnosis tuberkulosis paru dapat
dilakukan skoring TB. Sesuai dengan literatur, kita dapat screening pasien TB anak dengan
melakukan pemeriksaan pada anak yang kontak erat (tinggal serumah) dengan pasien TB
menular, yaitu pasien dengan sputum BTA positif yang umumnya pada pasien TB dewasa.
Dapat juga kita curigai TB dari anak yang mempunyai tanda dan gejala klinis yang sesuai
dengan TB anak. Gejala sistemik TB yang ditemukan pada pasien ini adalah demam lama (>2
mg) tanpa sebab yang jelas. Keringat malam. Batuk lama >3 minggu dan tidak mereda

walaupun mendapatkan obat batuk,nafsu makan pasien pun berkurang.


Pada skoring TB pasien ini, kontak TB mendapat skor 2 karena nenek pasien
mendapat pengobatan TB. Uji tuberkulin (Mantoux) positif dengan indurasi 15 mm mendapat
skor 3. Berat badan pasien masih normal, skor 0. Pasien juga mengalami demam yang tidak
diketahui penyebabnya selama 3 minggu, mendapatkan skor 1. Pasien juga batuk lebih dari 3
minggu, pasien mendapatkan skor 1. Tidak didapatkan pembesaran kelenjar di leher, ketiak
ataupun di inguinal pasien, skor 0. Tidak didapatkan pembengkakan tulang, skor 0. Foto
thorax pasien didapatkan gambaran sugestif TB yaitu tampaknya infiltrat parahiler dan
parakardial, skor 1. Total skoring pasien adalah 2+3+0+1+1+0+0+1=8. Dikarenakan skoring
pasien lebih dari 6, sesuai dengan literatur, ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat
OAT selama 2 bulan, lalu dilihat respon pasien. Apabila responnya baik yaitu perbaikan
gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis, terapi dilanjutkan. Pada
anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya diperiksa
lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya
penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari
pasien.
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB
diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa
sakit TB (profilaksis sekunder). Pasien ini walaupun nenek pasien dalam pengobatan TB,
pasien belum pernah diperiksakan sebelumnya dan belum pernah mendapatkan profilaksis
primer.
Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah obat TB diberikan dalam
paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi dan didukung dengan pemberian gizi
yang adekuat. Pada pasien ini diberikan rifampisin
Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:

Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3
macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya

penyakit.
Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan
bakteriologis dan berat ringannya penyakit.Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT

pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang
lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
Pada pasien ini diberikan Rifampicin 125mg, INH 85mg, Pirazinamid 125mg, B6 10
mg. Terapi nonmedikamentosanya adalah memonitor ketaatan obat TB pasien dan
meningkatkan status gizi pasien.

Daftar Pustaka
1. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. 2013

Anda mungkin juga menyukai