Anda di halaman 1dari 49

LAPORAN KASUS

Dengue Shock Syndrome dengan komplikasi DIC

Pembimbing : dr. H. Rivai Usman, Sp. A


Disusun Oleh : Angelika (030.09.020)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


PERIODE 25 MEI 1 AGUSTUS 2015
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat,
Presentasi kasus pada kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode 27 Mei 2015 1 Agustus 2015 dengan judul Dengue Shock Syndrome dengan komplikasi DIC disusun oleh :
Nama : Angelika
NIM

: 030.09.020

Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth :


Pembimbing :
dr. H. Rivai Usman, Sp. A

Menyetujui,

(dr. H. Rivai Usman, Sp. A)

BAB I

PENDAHULUAN
Penyakit virus dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue tipe I,II III
dan IV golongan arthropod borne virus group B (arbovirus) yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti dan Aedes albocpitus. Sejak tahun 1968 penyakit ini ditemukan di Surabaya
dan Jakarta, selanjutnya sering terjadi kejadian luar biasa dan meluas ke seluruh wilayah
Indonesia. Oleh karena itu penyakit ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang awalnya
banyak menyerang anak tetapi akhir-akhir ini menunjukkan pergeseran menyerang dewasa.1
Perjalanan penyakit infeksi dengue sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong
(Dengue Shock Syndrome / DSS). Sampai saat ini masih sering dijumpai penderita Demam
Berdarah Dengue (DBD) yang semula tidak tampak berat secara klinis dan laboratoris,
namun mendadak syok sampai meninggal dunia. Sebaliknya banyak pula penderita DBD
yang klinis maupun laboratoris nampak berat namun ternyata selamat dan sembuh dari
penyakitnya. Kenyataan di atas membuktikan bahwa sesungguhnya masih banyak misteri di
dalam imunopatogenesis infeksi dengue yang belum terungkap.1
Angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia cenderung
meningkat, mulai 0,05 insiden per 100.000 penduduk di tahun 1968 menjadi 35,19 insiden
per 100.000 penduduk di tahun 1998, dan pada saat ini DBD di banyak negara kawasan Asia
Tenggara merupakan penyebab utama perawatan anak di rumah sakit. Mengingat infeksi
dengue termasuk dalam 10 jenis penyakit infeksi akut endemis di Indonesia maka seharusnya
tidak boleh lagi dijumpai misdiagnosis atau kegagalan pengobatan. Menegakkan diagnosis
DBD pada stadium dini sangatlah sulit karena tidak adanya satupun pemeriksaan diagnostik
yang dapat memastikan diagnosis DBD dengan sekali periksa, oleh sebab itu perlu dilakukan
pengawasan berkala baik klinis maupun laboratoris.3.

BAB II

ILUSTRASI KASUS

IDENTITAS
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan

Pasien
An. TR
11 tahun / 52 kg
Laki laki
Islam
Jawa
Hubungan dengan

Ayah
Ibu
Tn. G
Ny. R
40 tahun
36 tahun
Laki-laki
Perempuan
SOS blok C 22 No. 4, Bekasi Utara
Islam
Islam
Jawa
Jawa
D3
D3
Pegawai
Ibu Rumah Tangga
-

orang tua : Anak


kandung

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu pasien pada tanggal 4 Juni 2015.
Keluhan Utama :
Demam sejak 5 hari SMRS.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 5 hari SMRS, demam timbul mendadak. Demam
dikatakan tinggi menetap dengan raba tangan. Demam tidak disertai mimisan ataupun perdarahan
lainnya. Pasien juga mengeluh mual dan muntah. Muntah sebanyak > 5x / hari. Kaki dan tangan
dingin sejak kemarin.
Pasien sudah berobat ke klinik dan diberi obat namun keluhan tidak berkurang. Pasien juga
mengatakan bahwa telah melakukan pemeriksaan laboratorium, dan hasil trombositosit rendah.
Namun pasien tidak ingin dirawat dan orang tua pasien mengikuti kemauan pasien. BAK dan BAB
diakui pasien tidak ada masalah.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit
Alergi
Cacingan
DBD

Umur
-

Penyakit
Difteria
Diare
Kejang

Umur
-

Penyakit
Jantung
Ginjal
Darah

Umur
-

Thypoid
Otitis
Parotis
Riwayat Penyakit Keluarga :

Maag
Varicela
Operasi

Radang paru
Tuberkulosis
Morbili

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang serupa.


Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat alergi.
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :
KEHAMILAN

Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
Tempat kelahiran
Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi

KELAHIRAN

Tidak ditemukan kelainan


Setiap bulan periksa ke dokter
Rumah sakit
Dokter
Spontan
9 bulan
Berat lahir 3000 g
Panjang badan 45 cm

Keadaan bayi

Lingkar kepala 35 cm
Langsung menangis
Nilai apgar 8/9
Tidak ada kelainan bawaan

Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan pasien baik


Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan gigi I

: 5 bulan

(normal: 5-9 bulan)

Tengkurap

: 3 bulan

(normal: 3-4 bulan)

Duduk

: 7 bulan

(normal: 6 bulan)

Berdiri

: 10 bulan

(normal: 9-12 bulan)

Berjalan

: 13 bulan

(normal: 13 bulan)

Bicara

: 10 bulan

(normal: 9-12 bulan)

Baca dan Tulis

:-

Psikomotor

Kesan :

Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien sesuai usia


Riwayat Makanan
Umur (bulan)
ASI/PASI
Buah/biskuit
0-2
+
2-4
+
4-6
+
+
6-8
+
+
8-10
+
+
Kesan : kebutuhan gizi pasien terpenuhi cukup baik

Bubur susu

Nasi tim

+
+

+
+

Riwayat Imunisasi :
Vaksin
Dasar (umur)
BCG
Lahir
DPT
2 bln
4 bln
6 bln
POLIO
Lahir
2 bln
4 bln
CAMPAK
9 bln
HEPATITIS B
Lahir
1 bln
6 bln
Kesan : Riwayat Imunisasi lengkap.

Ulangan (umur)
6 bln

Riwayat Keluarga :
Ayah
Ibu
Nama
Tn. G
Ny. R
Perkawinan ke
Pertama
Pertama
Umur
32 tahun
28 tahun
Keadaan kesehatan
Baik
Baik
Kesan : Keadaan kesehatan kedua orang tua dalam keadaan baik.

Anak pertama
An. A
2 tahun
Baik

Riwayat Perumahan dan Sanitasi :


Tinggal dirumah sendiri. Terdapat tiga kamar. Ventilasi baik, cahaya matahari cukup, air minum dan
air mandi berasal dari air tanah.
Kesan :
Kesehatan lingkungan tempat tinggal pasien cukup baik.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis

Keadaan umum : tampak sakit ringan.

Kesadaran

: AVPU : alert

Vital Sign

Nadi

: 130x/reguler, cukup

Nafas

: 42x/ireguler

Suhu

: 38 oC

Antropometri
BB 52 kg

TB 155cm

Kulit

: Pucat (-), sianosis (-), ikterik (-)

Kepala

: normosefal.

Rambut

: Hitam, lurus, tidak mudah dicabut.

Mata
-

Konjungtiva

: Anemis (+/+)

Sclera

: Tidak ikterik

Pupil

: Bulat, isokhor 3 mm/ 3 mm

Reflek cahaya

: +/+

Telinga

Hidung

: Sekret -/-, tidak ada tanda-tanda perdarahan

Pemeriksaan leher

: Sekret -/-

pembesaran KGB tidak ada

Kaku kuduk tidak ditemukan.

Pemeriksaan Thoraks
-

Paru

: Inspeksi gerakan dada simetris kiri dan kanan,retraksi(-)


Perkusi sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi bronkhovesikuler, ronki +/+, wheezing -/-

Jantung

: Inspeksi ictus cordis tidak terlihat


Auskultasi bunyi jantung normal, bising jantung (-).

Pemeriksaan Abdomen :
-

Inspeksi buncit

Palpasi supel, organomegali (-), distensi (+)

Perkusi tympani

Auskultasi bising usus (+), normal.

Pemeriksaan alat kelamin : laki - laki, dalam batas normal

Pemeriksaan Ekstremitas : CRT < 3 detik, akral dingin.

Hasil pemeriksaan laboratorium (26 Mei 2015)


Serial DHF
Hb

6,5

Ht

21

Leukosit

26.400

Trombosit

13.000

Hal-hal Penting dari Anamnesis

Demam tinggi sejak 5 hari yang lalu timbul mendadak, tanpa disertai mimisan ataupun
perdarahan lainnya.

Berobat ke klinik dan melakukan pemeriksaan lab dengan hasil trombosit yang menurun.

Pasien tidak ingin berobat ke rumah sakit dan orangtua pun menuruti kehendak pasien.

Hal-hal Penting dari Pemeriksaan Fisik


Kesadaran composmentis, suhu: 380C, nadi 130 x/mnt, RR 42x/mnt, ronchi +/+,
Hal- hal yang penting lab rutin.
Serial DHF
Hb

6,5

Ht

21

Leukosit

26.400

Trombosit

13.000

SERIAL DHF
1

LEKOSIT

5,6

2,1

HEMOGLOBIN

6,4

7,2
22,

HEMATOKRIT

19,7

TROMBOSIT

11

Tgl 5 Juni 2015


SGOT

363

SGPT

200

GDS

110

Na

156

Cl

102

Tgl 6 Juni 2015


Urin lengkap
Warna

kuning tua

Kejernihan

agak keruh

pH

BJ

1010

Albumin

+1

Bilirubin

+1

Darah samar

+3

Eritrosit

10-15

Leukosit

0-5

Kristal

amorf

2 16.00

1,5
10,2

0,2
7,6

31

3 16.00

0,1
6,4

0,2
6,7

20,2
23

10

10

5 - 1.00

5 - 9.30

5 17.27

6 - 1.00

6 - 10.30

0,1

0,4

0,2

0,5

0,6

5,7

5,8

6,2

5,7

17,6

20,9

17,7

18,8

17,7

11

12

11

20

10

19,4
10

10

Diagnosis Kerja:
DSS dengan komplikasi DIC
Diagnosis Banding :
demam chikungunya
Rencana Pemeriksaan Lanjutan
Seri DHF / 8 jam
Penatalaksanaan
Terlampir pada halaman follow up
Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad malam
Quo ad fungsionam : dubia ad malam
Follow up
1 Juni 2015
S

Demam (+) H-5, Muntah > 5 x, Mual (+), Pusing (+), Nyeri dada

Tekanan Darah : 115/66 mmHg


Nadi : 98x/mnt
Nafas : 30x/mnt
Suhu : 38,3 0C
Mata

: CA(+/+), SI (- /-)

Thorax

: ves +/+, rh +/+, wh -/S1-S2 reguler, m -, g

Abdomen

: buncit, LP 80 cm, distensi +

Extremitas

: hangat pada ke4 extremitas, oedem -

Foto thorax AP = efusi pleura


A

DSS

RL 30 cc/jam
Gelofusin 15 cc/jam
Tranfusi PRC 500 cc
Tranfusi TC 500 cc
Ceftriaxon 2x1 gram
Omeprazole 2x1 amp
Paracetamol 3 x 1 tablet

2 Juni 2015
S

Demam (+) hari 6

Tekanan Darah : 118/55


Nadi : 105x/mnt

intake : 1770 cc

Nafas : 30x/mnt

output : 2540 cc

Suhu : 37,7 C

diuresis : 2

balance : -770 cc

Mata

: CA(+/+), SI (- /-)

Thorax

: ves +/+, rh +/+, wh -/S1-S2 reguler, m -, g

Abdomen

: buncit, distensi +

Extremitas

: hangat pada ke4 extremitas, oedem -

DSS

RL 30 cc/jam
Gelofusin 15 cc/jam
Tranfusi plasma 250 cc
Tranfusi TC 6 unit
Ceftriaxon 2x1 gram
Omeprazole 2x1 amp
Paracetamol 3 x 1 tablet

3 Juni 2015
S

Demam (+) hari 7, perdarahan / mimisan (+)

KU : delirium
Tekanan Darah : 123/78 mmHg
Nadi : 108 x/mnt

intake

Nafas : 35 x/mnt

output : 5460

Suhu : 36,00C

balance : - 1915 cc

Mata

: 3545 cc

: CA(+/+), SI (- /-)

dieresis : 3,4

Thorax

: ves +/+, rh +/+, wh -/S1-S2 reguler, m -, g

Abdomen

: buncit, distensi +

Extremitas

: hangat pada ke4 extremitas, oedem -

DSS + efusi pleura

Tranfusi Tc 10 unit
Tranfusi PRC 200 cc
Tranfusi plasma 250 cc
RL 100 cc/jam
Hamemacel 50 cc/jam
Omeprazole 2x1 amp
Ceftriaxon 2x1 gram
Paracetamol 3 x 1 tab
Sanmol drip 1 gram ( extra )
Tampon dengan kassa untuk mengurangi mimisan + 5 menit
Cek seri DHF per 8 jam
Edukasi keluarga pasien gelisah oleh karena penyakitnya
* tranfusi bila suhu < 38,60C

4 Juni 2015
S

pusing

KU : Delirium
Tekanan Darah : 110/60 mmHg
Nadi : 192x/mnt

intake : 3300 cc

Nafas : 38 x/mnt

output : 5100 cc

Suhu : 37,8 C

dieresis : 3,2

balance: -1800 cc

Mata

: CA(+/+), SI (- /-)

Thorax

: ves +/+, rh +/+, wh -/S1-S2 reguler, m -, g

Abdomen

: buncit, LP 78 cm, distensi +

Extremitas

: hangat pada ke4 extremitas, oedem

* Melena
A

DSS

RL loading 250 cc/jam (2)


RL 150 cc/jam
D5% 30 cc/jam
Tranfusi TC 10 unit

Tranfusi plasma 500 cc


Tranfusi PRC 500 cc
Ceftriaxone 1 x 1 gram
Paracetamol 3 x 1 tab
Sucralfat 3 x 10 cc
5 Juni 2015
S

Keluhan (-)

KU : Delirium
Tekanan Darah : 106/45 mmHg
Nadi : 129 x/mnt

intake : 3600

Nafas : 36 x/mnt

output : 5090

Suhu : 380C

balance : -1490

Mata

: CA(+/+), SI (- /-)

Thorax

: ves +/+, rh +/+, wh -/-

diuresis : 3,1

S1-S2 reguler, m -, g
Abdomen

: buncit, LP 82 cm, distensi +

Extremitas

: hangat pada ke4 extremitas, oedem

* Melena
A

DSS

RL 150 cc/jam
RL 150 cc/jam
Tranfusi TC 10 unit
Tranfusi plasma 500 cc
Tranfusi PRC 750 cc
Ceftriaxone 1 x 1 gram
Paracetamol 3 x 1 tab
Sucralfat 3 x 10 cc

Pasien meninggal sekitar pukul 18.00 WIB

Jam

TD

RR

HR

LP

Dieresi
s

Trombo

Ht

Hb

Ket.

10.000

22

6,4

Melena

/3jam
14.00

115/66

38

207

77

15.00

115/66

43

206

78

16.00

118/55

43

207

78

17.00

116/55

45

207

78

18.00

114/53

47

204

78

19.00

107/58

45

201

78

20.00

121/65

39

120

78

21.00

113/59

39

120

78

22.00

96/71

33

121

78

23.00

128/64

27

120

79

24.00

123/67

31

120

79

01.00

123/62

33

120

80

2,5

2,4

3,4

3,3

02.00

119/59

30

121

80

03.00

118/55

38

123

80

04.00

123/78

30

120

80

05.00

140/78

37

120

80

06.00

112/69

39

123

80

07.00

121/62

38

112

80

08.00

126/67

30

121

80

09.00

132/48

28

130

81

10.00

123/57

33

123

81

11.00

110/60

34

127

81

12.00

122/70

29

124

81

13.00

132/76

27

112

81

14.00

112/57

34

121

82

15.00

106/45

31

123

82

16.00

104/49

29

112

82

17.00

109/50

33

128

82

3,4
11.000

17,6

5,7

12.000

20,9

7,0

4,1

4,4

4,6

5,1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Demam Berdarah Dengue/DBD (dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot
dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diatesis

hemoragik. Pada DBD

terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh

hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.


Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.2
Epidemiologi
Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan
daerah tingkat II yang melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian
menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi <3%
pada tahun 1991.3
Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur memperlihatkan
proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur <15 tahun (86-95%). Namun
pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia dewasa muda meningkat. Di Indonesia
pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus
meningkat antara September sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan
Januari.3

Gambar 1.1 Negara dengan resiko transmisi dengue (WHO, 2011)


Selama 5 tahun terakhir, insiden DBD meningkat setiap tahun. Insiden tertinggi pada
tahun 2007 yakni 71,78 per 100.000 pddk, namun pada tahun 2008 menurun menjadi 59,02
per 100.000 penduduk. Walaupun angka kesakitan sudah dapat ditekan namun belum
mencapai target yang diinginkan yakni <20 per 100.000 penduduk.

Gambar 1.2 Angka kesakitan dan kematian demam berdarah dengue di Indonesia (Depkes,
2008)

Gambar 2. Distribusi Dengue di Dunia. CDC 2009.7


Keterangan : Biru : area infestasi Aedes aegypti.Merah : area infestasi Aedes aegyptidan
epidemic dengue

DHF/ DSS lebih sering terjadi pada daerah endemis virus dengue dengan beberapa
serotype. Penyakit ini biasanya menjadi epidemic tiap 2-5 tahun. DHF/DSS paling banyak
terjadi pada anak di bawah 15 tahun, biasanya pada umur 4-6 tahun. Frekuensi kejadian DSS
paling tinggi pada dua kelompok penderita : a. anak-anak yang sebelumnya terkena infeksi
virus dengue, b. bayi yang darah ibunya mengandung anti dengue antibody. Transmisi
penyakit biasanya meningkat pada musim hujan.Suhu yang dingin memungkinkan waktu
survival nyamuk dewasa lebih panjang sehingga derajat tranmisi meningkat.2

Case Fatality Rate yang dilaporkan adalah 1%, tetapi di India, Indonesia dan
Myanmar, telah dilaporkan adanya outbreak lokal di daerah perkotaan dengan laporan Case
Fatality Rate sebesar 3-5%. Di Indonesia, dengan 35% populasi yang bertempat tinggal di
daerah perkotaan, 150.000 kasus dilaporkan pada tahun 2007 (kasus tertinggi diantara semua
negara) dengan lebih dari 25.000 kasus dilaporkan berasal dari Jakarta dan Jawa Barat
dengan Case Fatality Rate sebesar 1%.4
Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat
kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana
dan tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,
dan (4) Peningkatan sarana transportasi.1

Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam group B arthropod borne virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm
terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.

Gambar 1.3 Virus Dengue (Smith, 2002)

Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya
dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Infeksi dengan salah

satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan
tetapi tidak ada perlindungnan terhadap serotipe yang lain. Seseorang yang tinggal di daerah
endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama hidupnya. Keempat
jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia.5
Virus Dengue dapat ditularkan oleh Nyamuk Aedes aegypti dan nyamuk Aedes
albopictus. Nyamuk Aedes aegypti merupakan nyamuk yang paling sering ditemukan.
Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis, terutama hidup dan berkembang biak di
dalam rumah, yaitu tempat penampungan air jernih atau tempat penampungan air sekitar
rumah. Nyamuk ini sepintas lalu tampak berlurik, berbintik bintik putih, biasanya
menggigit pada siang hari, terutama pada pagi dan sore hari. Jarak terbang nyamuk ini 100
meter. Sedangkan nyamuk Aedes albopictus memiliki tempat habitat di tempat air jernih.

Patogenesis
Virus merupakan mikrooganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka
demi kelangsungan hidupnya, virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host)
terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Persaingan tersebut sangat tergantung
pada daya tahan pejamu, bila daya tahan baik maka akan terjadi penyembuhan dan timbul
antibodi, namun bila daya tahan rendah maka perjalanan penyakit menjadi makin berat dan
bahkan dapat menimbulkan kematian.2
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom Syok Dengue) masih merupakan masalah yang
kontroversial.Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi
sekunder

(teori

secondary

heterologous

infection)

atau

hipotesis

immune

enhancement.Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami
infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko
berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat. Antibodi heterolog yang telah ada
sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk
kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel
leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan
oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan
juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan
meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai

tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan
hipovolemia dan syok.2
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous
infection dapat dilihat pada Gambar 1 yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai
akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons
antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi
dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue.
Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan
terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya
akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3
dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.Pada pasien dengan syok berat,
volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam.
Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan
kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok
yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat
berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.2
Secondary heterologous dengue infection
Replikasi virus

Anamnestic antibody response


Kompleks virus-antibody
Aktivasi komplemen
Anafilatoksin (C3a, C5a)

Komplemen
Histamin dalam urin
meningkat

Permeabilitas kapiler
> 30% pada
kasus syok 24-48 jam

Perembesan plasma

Ht
Natrium

Hipovolemia

Cairan dalam rongga


serosa

Syok
Anoksia

Asidosis
Meninggal

Gambar 1. Patogenesis terjadinya syok pada DBD2


Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah (gambar 2). Kedua faktor
tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat
dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan
pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini
akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga
terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet
faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular
deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga
terjadi penurunan faktor pembekuan.2

Secondary heterologous dengue infection


Replikasi virus

Anamnestic antibody

Kompleks virus antibody

Agregasi trombosit

Penghancuran
trombosit oleh RES

Aktivasi koagulasi Aktivasi komplemen

Pengeluaran
platelet faktor III

Aktivasi faktor Hageman

Anafilatoksin
Trombositopenia

Koagulopati

Sistem kinin

konsumtif
Gangguan

Kinin

fungsi trombosit

penurunan faktor

Peningkatan
permeabilitas

pembekuan

kapiler
FDP meningkat

Perdarahan massif

syok

Gambar 2. Patogenesis Perdarahan pada DBD2


Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga
walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi
koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin
sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya
syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositpenia, penurunan faktor
pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler.
Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.1
Diagnosis
Perubahan patofisiologis pada DBD adalah kelainan hemostasis dan perembesan
plasma. Kedua kelainan tersebut dapat diketahui dengan adanya trombositopenia dan
peningkatan hematokrit.2
Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai
dengan muka kemerahan. Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi,
mual, dan muntah sering ditemukan. Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan
faring hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek.
Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga.
Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.2

Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede) positif,
kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas
pengambilan darah. Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah
ekstremitas, aksila, wajah, dan palatum mole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari
demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna
ringan dapat ditemukan pada fase demam. Hati biasanya membesar dengan variasi dari just
palpable sampai 2-4 cm di bawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak
berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesaran hati lebih sering
ditemukan pada penderita dengan syok.2
Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi
penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi
dalam berat-ringannya. Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi
minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.2
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah
ini dipenuhi:2

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:


o

Uji bendung positif

Petekie, ekimosis, atau purpura

Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)

Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)


sebagai berikut:
o

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan


umur dan jenis kelamin

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,


dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

Tanda

kebocoran

plasma

seperti

efusi

pleura,

hipoproteinemi.

WHO (1997) membagi DBD menjadi 4 (Vasanwala dkk, 2011):

asites

atau

a. Derajat 1
Demam tinggi mendadak (terus menerus 2-7 hari) disertai tanda dan gejala
klinis (nyeri ulu hati, mual, muntah, hepatomegali), tanpa perdarahan
spontan, trombositopenia dan hemokonsentrasi, uji tourniquet positif.
b. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain
seperti mimisan, muntah darah dan berak darah.
c. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah
rendah (hipotensi), kulit dingin, lembab dan gelisah, sianosis disekitar
mulut, hidung dan jari (tanda-tand adini renjatan).
d. Renjatan berat (DSS) / Derajat 4

Syok berat dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur

Manifestasi Klinis
a. Demam5
Demam berdarah dengue biasanya ditandai dengan demam yang
mendadak

tanpa

sebab

yang

jelas,

continue,

bifasik.

Biasanya

berlangsung 2-7 hari (Bagian Patologi Klinik, 2009). Naik turun dan tidak
berhasil dengan pengobatan antipiretik. Demam biasanya menurun pada
hari ke-3 dan ke-7 dengan tanda-tanda anak menjadi lemah, ujung jari,
telinga dan hidung teraba dingin dan lembab. Masa kritis pda hari ke 3-5.
Demam akut (38-40 C) dengan gejala yang tidak spesifik atau terdapat
gejala penyerta seperti , anoreksi, lemah, nyeri punggung, nyeri tulang
sendi dan kepala.

Gambar: Kurva suhu pada DHF


b. Perdarahan
Manifestasi perdarahan pada umumnya muncul pada hari ke 2-3 demam.
Bentuk perdarahan dapat berupa: uji tourniquet positif yang menandakan
fraglita kapiler meingkat (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kondisi seperti ini
juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll.
Perdarahan tanda lainnya ptekie, purpura, ekomosis, epitaksis dan
perdarahan gusi, hematemesisi melena. Uji tourniquet positif jika terdapat
lebih dari 20 ptekie dalam diameter 2,8 cm di lengan bawah bagian volar
termasuk fossa cubiti.
c. Hepatomegali
Ditemukan pada permulaan demam, sifatnya nyeri tekan dan tanpa
disertai ikterus. Umumnya bervariasi, dimulai dengan hanya dapat diraba
hingga 2-4 cm di bawah lengkungan iga kanan (Bagian Patologi Klinik,
2009). Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit
namun nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya
perdarahan.
d. Renjatan (Syok)
Syok biasanya terjadi pada saat demam mulai menurun pada hari ke-3
dan ke-7 sakit. Syok yang terjadi lebih awal atau periode demam biasanya
mempunyai prognosa buruk (Bagian Patologi Klinik, 2009). Kegagalan
sirkulasi ini ditandai dengan denyut nadi terasa cepat dan lemah disertai
penurunan tekanan nadi kurang dari 20 mmHg. Terjadi hipotensi dengan

tekanan darah kurang dari 80 mmHg, akral dingin, kulit lembab, dan
pasien terlihat gelisah.
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah5
1) Kadar trombosit darah menurun (trombositopenia) ( 100000/I)
2) Hematokrit meningkat 20%, merupakan indikator akan timbulnya
renjatan. Kadar trombosit dan hematokrit dapat menjadi diagnosis
pasti pada DBD dengan dua kriteria tersebut ditambah terjadinya
trombositopenia,

hemokonsentrasi

serta

dikonfirmasi

secara

uji

serologi hemaglutnasi (Brasier, Ju, Garcia, Spratt, Forshey, Helsey,


2012).

Gambar: Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan DHF

3) Hemoglobin meningkat lebih dari 20%.


4) Lekosit menurun (lekopenia) pada hari kedua atau ketiga
5) Masa perdarahan memanjang
6) Protein rendah (hipoproteinemia)
7) Natrium rendah (hiponatremia)
8) SGOT/SGPT beisa meningkat
9) Asidosis metabolic
10)

Eritrosit dalam tinja hampir sering ditemukan

b. Urine
Kadar albumine urine positif (albuminuria) (Vasanwala, Puvanendran,
Chong, Ng, Suhail, Lee, 2011).
c. Foto thorax
Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan efusi pleura. Umumnya
posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan) lebih baik dalam
mendeteksi cairan dibandingkan dengan posisi berdiri apalagi berbaring.
d. USG
Pemeriksaan USG biasanya lebih disukai pada anak dan dijadikan sebagai
pertimbangan karena tidak menggunakan system pengion (Sinar X) dan
dapat diperiksa sekaligus berbagai organ pada abdomen. Adanya acites
dan cairan pleura pada pemeriksaan USG dapat digunakan sebagai alat
menentukan diagnose penyakit yang mungkin muncul lebh berat misalnya
dengan melihat ketebalan dinding kandung empedu dan penebalan
pancreas.
e. Diagnosis Serologis
1) Uji hemaglutinasi inhibisi (Uji HI)
Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya
sensitive namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe
virus yang menginfeksi. Antibody HI bertahan dalam tubuh lama sekali
(>48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada studi serologiepidemioligi. Untuk diagnosis pasien, Kenaikan titer konvalesen 4x lipat
dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut
atau konvalesen daianggap sebagai presumtif (+) atau di dugan keras
positif infeksu dengue yang baru terjadi (Vasanwala dkk, 2011).
2) Uji komplemen fiksasi (uji CF)
Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit
dan

butuh

tenaga

berpengalaman.

Antibodi

komplemen

fiksasi

bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun).


3) Uji neutralisasi
Uji ini paling sensitif dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya
memamkai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu
berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Anti body
neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dengan antibody

HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan


lama (>4-8 tahun).

Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama

sehingga tidak rutin digunakan (Vasanwala dkk, 2011).


4) IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA)
Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus
dengue karena IgM sudah timbul kamudian akan diikuti IgG. Bila IgM
negative uji ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM msih negative
maka dilaporkan sebagai negative. IgM dapat bertahan dalam darah
samapi 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Sensitivitas uji Mac Elisa
sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya
memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama
dengan uji HI (Vasanwala dkk, 2011).
5) Identifikasi Virus
Cara diagnostic baru dengan reverse transcriptase polymerase chain
reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap
serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan
mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari specimen yang
berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitifitas
PCR sama dengan isolasi virus namun PCR tidak begitu dipengaruhi
oleh penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody
dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR (Vasanwala dkk,
2011).
Diagnosis Banding
a. Pada awal perjalanan penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi
bakteri virus, atau infeksi parasit seperti demam tifoid,campak, influenza
hepatitis, demam, chikungunya, leptospirosis, dan malaria. Adanya
trombositopenia yang jelas disertai hemokonsentrasi dapat membedakan
antara DBD dengan penyakit lain.6
b. Demam berdarah dengue harus dibedakan dengan demam chikungunya
(DC). Pada DC biasanya seluruh anggota keluarga dapat terserang dan
penularannya mirip dengan influenza. Bila dibandingkan dengan DBD, DC
memperlihatkan serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek,
suhu lebih tinggi, hamper selalu disertai ruam makulopapular,injeksi
konjungtiva, dan lebih sering dijumpai nyeri sendi. Proporsi uji tourniquet

positif, petekie epistaksis hampir sama dengan DBD. Pada DC tidak


ditemukan perdarahan gastrointestinal dan syok.
c. Perdarahan seperti petekie dan ekimosis ditemukan pada beberapa
penyakit infeksi, misalnya sepsis, meningitis meningokokus. Pada sepsis,
sejak semula pasien tampak sakit berat, demam naik turun, dan
ditemukan tanda-tanda infeksi. Disamping itu jelas terdapat leukositosis
disertai dominasi sel polimorfonuklear (pergeseran kekiri pada hitung
jenis) pemeriksaan LED dapat dipergunakan untuk membedakan infeksi
bakteri dengan virus. Pada meningitis meningokokus, jelas terdapat gejala
rangsangan

meningeal

dan

kelainan

pada

pemeriksaan

cairan

serebrospinal
d. Idiophatic Thrombocytopenic Purpura (ITP) sulit dibedakan dengan DBD
derajat II, oleh karena didapatkan demamdisertai perdarahan dibawah
kulit. Pada hari-hari pertama, diagnosis ITP sulit dibedakan dengan
penyakit DBD, tetapi pada ITP demam cepat menghilang, tidak dijumpai
leukopeni, tidak dijumpai hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran
kekanan pada hitung jenis. Pada fase penyembuhan DBD jumlah
trombositlebih cepat kembali normal daripada ITP
e. Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada
leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba dan anak
sangat anemis. Pemeriksaan darah tepi dan sumsum tulang akan
memperjelasdiagnosis leukemia. Pada anemia aplastik akan sangat
anemic, demam timbul karena infeksi sekunder. Pada pemeriksaan
darahditemukan pansitopenia (leukosit, hemoglobin, trombosit menurun).
Pada pasien dengan perdarahan hebat pemeriksaan foto toraks dan atau
kadar protein dapat membantu menegakkan diagnosis. Pada DBD
ditemukan efusi pleura dan hipoproteinemia sebagai tanda perembesan
plasma
Penatalaksanaan
a. Pre Hospital7

Penatalaksanaan prehospital DBD bisa dilakukan melalui 2 cara yaitu


pencegahan dan penanganan pertama pada penderita demam berdarah.
DinasKesehatan Kota Denpasar menjelaskan pencegahan yang dilakukan meliputi
kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN), yaitu kegiatan memberantas jentik
ditempat perkembangbiakan dengan cara 3M:

1) Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi /


WC, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1).
2) Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong
air/tempayan, dan lain-lain (M2).
3) Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat
menampung air hujan (M3).

Pada orang yang menderita demam berdarah pada awalnya mengalami demam
tinggi. Kondisi demam dapat mengakibatkan tubuh kekurangan cairan karena
penguapan, apalagi bila gejala yang menyertai adalah muntah atau intake tidak
adekuat (tidak mau minum), akhirnya jatuh dalam kondisi dehidarasi. Pertolongan
pertama yang dapat diberikan adalah mengembalikan cairan tubuh yaitu
meberikan minum 2 liter/hari (kira kira 8 gelas) atau 3 sendok makan tiap 15
menit. Minuman yang diberikan sesuai selera misalnya air putih, air teh manis,
sirup, sari buah, susu, oralit, shoft drink, dapat juga diberikan nutricious diet yang
banyak beredar saat ini. Untuk mengetahui pemberian cairan cukup atau masih
kurang, perhatikan jumlah atau frakuensi kencing. Frekuansi buang air kecil
minimal 6 kali sehari menunjukkan pemberian cairan mencukupi
Ada cara yang bisa ditempuh tanpa harus diopname di rumah sakit, tapi butuh
kemauan yang kuat untuk melakukannya. Cara itu adalah sebagai berikut (WHO,
1999):
1) Minumlah air putih minimal 20 gelas berukuran sedang setiap hari (lebih
banyak lebih baik)
2)

Cobalah menurunkan panas dengan minum obat penurun panas.


Parasetamol sebagai pilihan, dengan dosis 10 mg/BB/kali tidak lebih
dari 4 kali sehari. Jangan memberikan aspirin dan brufen/ibuprofen,
sebab dapat menimbulkan gastritis dan atau perdarahan.

3) Beberapa

dokter menyarankan untuk minum minuman ion

tambahan (pocari sweet)


4) Minuman

lain

yang

meningkatkan trombosit

disarankan:

Jus

jambu

merah

untuk

5) Makanlah makanan yang bergizi dan usahakan makan dalam


kuantitas yang banyak
6) Cara penghitung kebutuhan cairan dapat berdasarkan rumus
berikut ini :
a) Dewasa: 50 cc/kg BB/hari
b) Anak:Untuk 10 kg BB pertama: 100cc/kg BB/ hari
Untuk 10 kg BB kedua: 50 cc/kg BB/ hari
Untuk 10 kg BB ketiga dan seterusnya: 20 cc/kg BB/hari

Pada pasien anak yang rentan mempunyai riwayat kejang demam maka perlu
diwaspadai gejala kejang demam. Seiring dengan kehilangan cairan akibat demam
tinggi, kondisi demam tinggi juga dapat mencetuskan kejang pada anak sehingga
harus diberikan obat penurun panas. Untuk menurunkan demam, berilah obat
penurun panas. Untuk jenis obat penurun panas ini harus dipilih obat yang berasal
dari golongan parasetamol atau asetaminophen, jangan diberikan jenis asetosal
atau aspirin oleh karena dapat merangsang lambung sehingga akan memperberat
bila terdapat perdarahan lambung. Kompres dapat membantu bila anak menderita
demam terlalu tinggi sebaiknya diberikan kompres hangat dan bukan kompres
dingin, oleh karena kompres dingin dapat menyebabkan anak menggigil. Sebagai
tambahan untuk anak yang mempunyai riwayat kejang demam disamping obat
penurun panas dapat diberikan obat anti kejang.
IDAI (2009) menjelaskan tanda-tanda syok harus dikenali dengan baik karena
sangat berbahaya. Apabila syok tidak tertangani dengan baik maka akan menyusul
gejala berikutnya yaitu perdarahan. Pada saat terjadi perdarahan hebat penderita
akan tampak sangat kesakitan, tapi bila syok terjadi dalam waktu yang lama,
penderita sudah tidak sadar lagi. Dampak syok dapat menyebabkan semua organ
tubuh akan kekurangan oksigen dan akhirnya menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Oleh karena itu penderita harus segera dibawa kerumah sakit bila
terdapat tanda gejala dibawah ini:
1) Demam tinggi (lebih 39oc atau lebih)
2) Muntah terus menerus
3) Tidak dapat atau tidak mauminum sesuai anjuran
4) Kejang
5) Perdarahan hebat, muntah atau berak darah

6) Nyeri perut hebat


7) Timbul gejala syok, gelisah atau tidak sadarkan diri, nafas cepat,
seluruh badan teraba lembab, bibir dan kuku kebiruan, merasa
haus, kencing berkurang atau tidak ada sama sekali
8) Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan kekentalan darah
atau penurunan jumlah trombosit

Peran serta keluarga dan masyarakat sangat penting untuk membantu dalam
menangani penyakit demam berdarah. Dinas Kesehatan Kota Denpasar
mengarahkan apabila ada penderita yang terkena demam berdarah maka harus
segera melaporkan Kadus/Kaling/Kades/Lurah atau sarana pelayanan kesehatan
terdekat bila ada anggota masyarakat yang terkena DBD.
b. Intra Hospital di Unit Gawat Darurat 7
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi
kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas
kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat jalan
sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit
lain

adalah

adanya

menyebabkan

peningkatan

perembesan

permeabilitas

plasma

dangangguan

kapiler

yang

hemostasis.

Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak,


diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara
dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang
merupakan

ease

awal

terjadinya

kegagalan

sirkulasi,

dengan

melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma


dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan
awal terjadinya perembesan plasma, yang dapat diketahui dari
peningkatan kadar hematokrit
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum
peningkatan

hematokrit

dansebelum

terjadi

penurunan

suhu.

Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan

plasma dan merupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan


garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti
volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit.
Perhatian khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang
terus menerus dan penurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara
umum pasien DBD derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah
sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B
dan A

1) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD,
bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah
dehidrasi. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau
minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena
rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi perlu
diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada
DBD. Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di
sederhanakan seperti tertera pada Tabel 1. Rasa haus dan keadaan dehidrasi
dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia danmuntah. Jenis
minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam
pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan
rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum
asi, tetap harus diberikan disamping larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam,
disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam 8
Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi.
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari
ke 3-5 fase demam. Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan
pemeriksaan laboratorium yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian
cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma danpedoman
kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus
diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal
kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan

hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu


sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat
dipertimbangkan dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3
x kadar Hb
a) Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada
fase penurunan suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar
pengobatannya adalah penggantian volume plasma yang hilang. Walaupun
demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan bijaksana dan
berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama,
sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda
vital, kadar hematokrit, danjumlah volume urin.
Penggantian volume cairan harus adekuat, seminimal mungkin
mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena
diperlukan, apabila (1) Anak terus menerus smuntah, tidak mau minum,
demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2)
Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah
cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan
elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%.
Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB
intravena bolus perlahan-lahan8
Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi
jenis cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume
dankomposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada
diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai
8%), seperti tertera pada tabel 2 dibawah ini.
Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan
diagnosis DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalaksana awal dapat dibagi
dalam 3 bagian, yaitu:2

1. Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD derajat II
tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 1 dan 2)
2. Tatalaksana kasus DBD, termasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar
hematokrit. (Bagan 3)
3. Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV. (Bagan 4)

Bagan 1. Tatalaksana kasus tersangka DBD[2]


Tersangka
Tersangka DBD
DBD

Ada kedaruratan
Tanda syok
Muntah terus menerus
Kejang
Kesadaran menurun
Muntah darah
Berak darah
Jumlah trombosit
<100.000/l

Demam tinggi, mendadak


terus menerus <7 hari
tidak disertai infeksi saluran nafas bagian atas,
badan lemah/lesu
Tidak ada kedaruratan
Periksa uji torniquet
Uji torniquet (+)
(Rumple Leede)

Jumlah trombosit
>100.000/l

Tatalaksana
disesuaikan,
(Lihat bagan 3,4,5)

Uji torniquet (-)


(Rumple Leede)

Rawat Jalan
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam hilang

Rawat Inap
(lihat bagan 3)
Rawat Jalan
Minum banyak 1,5 liter/hari
Parasetamol

Nilai tanda klinis &


jumlah trombosit, Ht
bila masih demam

Kontrol tiap hari


hari sakit ke-3
sampai demam turun
periksa Hb, Ht, trombosit tiap
kali
Perhatian untuk orang tua
Pesan bila timbul tanda syok:
gelisah, lemah, kaki/tangan
dingin, sakit perut, BAB hitam,
BAK kurang
Lab : Hb & Ht naik
Trombosit turun
Segera bawa ke rumah sakit

Bagan 2. Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II


tanpa peningkatan hematokrit[2]
DBD derajat I atau II tanpa peningkatan
hematokrit

Pasien masih dapat minum


Beri minum banyak 1-2 liter/hari
Atau 1 sendok makan tiap 5 menit
Jenis minuman; air putih, teh manis,
Sirup, jus buah, susu, oralit
Bila suhu >39oC beri parasetamol
Bila kejang beri obat antikonvulsi
Sesuai berat badan

Monitor gejala klinis dan laboratorium


Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan

Gejala klinis:
Demam 2-7 hari
Uji torniquet (+) atau
perdarahan spontan
Laboratorium:
Hematokrit tidak meningkat
Trombositopenia (ringan)
Pasien tidak dapat minum
Pasien muntah terus menerus

Pasang infus NaCl 0,9%:


dekstrosa 5% (1:3)
tetesan rumatan sesuai berat badan
Periksa Ht, Hb tiap 6 jam,trombosit
Tiap 6-12 jam

Ht naik dan atau trombosit turun

Periksa Ht, Hb tiap 6-12 jam


Perbaikan klinis dan laboratoris
Bagan 4)

Infus ganti RL
(tetesan

disesuaikan,

lihat

Pulang (Kriteria memulangkan pasien)

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik


Nafsu makan membaik
Secara klinis tampak perbaikan
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit >50.000/l
Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

Bagan 3. Tatalaksana kasus DBD derajat II dengan peningkatan


hematokrit >20%[2]
DBDderajat
derajatI atau
I atauII IIdengan
denganpeningkatan
peningkatanhematokrit
hematokrit>20%
DBD
>20%
Cairan awal
RL/RA/NaCl 0,9% atau RLD5/NaCl 0,9%+D5
6-7 ml/kgBB/jam
Monitor tanda vital/Nilai Ht & Trombosit tiap 6 jam
Perbaikan
Tidak gelisah
Nadi kuat
Tek.darah stabil
naik
Diuresis cukup
tetap tinggi/naik
(12 ml/kgBB/jam)
mmHg
Ht turun
(2x pemeriksaan)

Tidak ada perbaikan


Gelisah
Distress pernafasan
Frek.nadi
Tanda vital memburuk
Ht meningkat

Ht
Tek.nadi

<20

Diuresis </tidak ada

Tetesan dikurangi

Tetesan dinaikkan
10-15 ml/kgBB/jam
Perbaikan

5 ml/kgBB/jam

Evaluasi 12-24 jam


Tanda vital tidak stabil

Perbaikan
Sesuaikan tetesan
Distress pernafasan
3 ml/kgBB/jam

Ht turun
Ht naik

Tek.nadi < 20 mmHg


IVFD stop setelah 24-48 jam
Apabila tanda vital/Ht stabil dan Koloid
Transfusi
darah segar
diuresis cukup
20-30 ml/kgBB
10 ml/kgBB
Indikasi Transfusi pd
Anak
- Syok yang belum teratasi
Perbaikan
- Perdarahan masif

Bagan 4. Tatalaksana kasus DBD derajat III dan IV


(Sindrom Syok Dengue/SSD)[6,2]

DBD
derajat
DBD
derajat
III III
&&
IVIV

1. Oksigenasi (berikan O2 2-4 liter/menit


2. Penggantian volume plasma segera (cairan kristaloid isotonis)
Ringer laktat/NaCl 0,9%
20ml/kgBB secepatnya (bolus dalam 15 menit)
Evaluasi 30 menit, apakah syok teratasi ?
Pantau tanda vital tiap 10 menit
Catat balance cairan selama pemberian cairan intravena
Syok teratasi
teratasi
Kesadaran membaik
Nadi teraba kuat
Tekanan nadi >20 mmHg
Tidak sesak nafas/sianosis
Ekstrimitas hangat
Diuresis cukup 1 ml/kgBB/jam

Syok

tidak

Kesadaran menurun
Nadi lembut/tidak teraba
Tekanan nadi <20 mmHg
Distress pernafasan/sianosis
Kulit dingin dan lembab
Ekstrimitas dingin
Periksa kadar gula darah

Cairan dan tetesan disesuaikan


10 ml/kgBB/jam
Evaluasi ketat
Tanda vital
Tanda perdarahan
Diuresis
Pantau Hb, Ht, Trombosit
Stabil dalam 24 jam
Tetesan 5 ml/kgBB/jam
teratasi
Ht stabil dalam 2x
Pemeriksaan
tinggi/naik
Tetesan 3 ml/kgBB/jam

1. Lanjutkan cairan
15-20 ml/kgBB/jam
2. Tambahkan koloid/plasma
Dekstran/FFP
3. Koreksi asidosis
Evaluasi 1 jam
Syok belum

Syok teratasi
Ht turun

Ht tetap

Transfusi darah segar


10 ml/kgBB
Koloid 20

ml/kgBB
Infus stop tidak melebihi 48 jam
setelah syok teratasi

dapat diulang sesuai


kebutuhan

Komplikasi Neurologis
Frekuensi perubahan neurologis sebagai tanda yang muncul saat infeksi dengue tidak
diketahui jumlahnya, namun komplikasi neurologis terkait dengan infeksi dengue telah
diketahui sejak permulaan abad ke-20 dan dilaporkan terjadi pada hampir setiap Negara di
Asia dan banyak Negara di Amerika. Pada suatu studi di Vietnam diketahui bahwa sekitar 4%
dari pasien yang dirawat pada unit neurologi dengan kecurigaan infeksi susunan saraf pusat
mengalami infeksi akibat virus dengue dan di Thailand, 18% anak-anak yang dirawat di
rumah sakit dengan penyakit seperti encephalitis dikonfirmasi mempunyai infeksi dengue.9
Keterlibatan susunan saraf pusat diperkirakan terjadi akibat Dengue Hemorrhagic
Fever yang berkepanjangan, vaskulitis dan leaky capillary syndrome yang mengakibatkan
eksavasasi cairan, edema serebri, hipoperfusi, hiponatremia, gagal hati dan/atau gagal ginjal.
Hal ini biasa disebut sebagai dengue encephalopathy. Laporan mengenai isolasi virus pada
otak dan cairan serebrospinal menunjukkan adanya invasi virus secara langsung pada susunan
saraf pusat menembus sawar darah-otak. Semua serotype virus dapat terlibat, namun DEN-2
dan DEN-3 adalah yang paling sering dilaporkan sebagai penyebab penyakit neurologis berat.
Ada tiga tipe manifestasi neurologis yang berkaitan dengan infeksi dengue, yaitu:
1. Tanda klasik dengan infeksi akut : sakit kepala, pusing, delirium, restlessness, iritabilitas
mental dan depresi

2. Encephalitis dengan infeksi akut : penekanan saraf sensoris, lethargy, confusion, somnolens,
koma, kejang, leher kaku dan paresis
3. Kelainan post-infeksi : epilepsi, tremor, amnesia, demensia, manik psikosis, Bells palsy,
Reyes syndrome, meningoencephalitis, Guilain-Barre Syndrome
Mortalitas akibat komplikasi neurologis ini termasuk rendah, sekitar 22%, dengan bukti
pemulihan total kesadaran dan gejala neurologis pada pasien yang dapat bertahan hidup
terjadi dalam waktu maksimum 7 hari.
Waktu dari onset penyakit sampai timbulnya komplikasi neurologis diperkirakan
sekitar 3-9 hari, umumnya 6 hari setelah onset. Dengan pemeriksaan penunjang
menggunakan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada 18 pasien ditemukan adanya edema
cerebri pada 12 orang, perubahan seperti encephalitis pada 2 orang, dan tidak adanya
kelainan pada 4 orang. Pada anak-anak usia < 1 tahun, pemindaian ultrasonografi serebri
terlihat normal tanpa kelainan. Data yang didapat dari lumbar pungsi menunjukkan tidak
adanya kelainan pada protein, glukosa, dan sel di cairan serebrospinal, namun semua enzim
hati (AST, ALT, dan alkaline phosphatase) dan level bilirubin meningkat secara signifikan
mengindikasikan adanya disfungsi hati. Selain itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
pada platelet, serum kalium, serum kalsium yang terionisasi, kreatinin, dan ammonia. Pada
pasien ditemukan adanya bukti infeksi virus dengue, yaitu hasil hemagglutination inhibition
test yang positif dan IgM spesifik dengue atau peningkatan IgG spesifik sebanyak 4 kali lipat.
Ditemukannya IgM pada cairan serebrospinal menunjukkan adanya replikasi virus pada
susunan saraf pusat, tapi titernya lebih rendah daripada di serum. RNA virus dapat ditemukan
pada beberapa pasien dengan menggunakan pemeriksaan PCR assay.10,11
Komplikasi Kardiovaskuler
Komplikasi jantung pada pasien DHF jarang terjadi, namun beberapa laporan
mengatakan bahwa selama episode penyakit dapat terjadi gangguan irama jantung seperti
Atrioventricular Block (AV Block), Atrial Fibrilation (AF), disfungsi sinus node, dan denyut
ventrikel ektopik. Kebanyakan tidak terdapat gejala pada pasien atau asimptomatik dan dapat
sembuh spontan apabila infeksinya ditangani dan mengalami resolusi. Aritmia ini berkaitan
dengan viral myocarditis, namun mekanismenya belum dapat dipastikan. Pada kebanyakan
kasus yang dilaporkan tidak terdapat gangguan elektrolit atau temuan radiologis yang
signifikan. Keterlibatan perikardiun juga dapat terjadi bersama dengan myokarditis pada
infeksi dengue. Perikarditis dapat menyebabkan nyeri dada yang menusuk oleh karena
adanya peradangan pada membran di sekitar jantung. Perikarditis yang berat akan dapat

mengancam nyawa penderitanya, namun apabila ringan akan dapat sembuh dengan
sendirinya.12
Anak-anak yang berusia lebih tua memiliki kecenderungan untuk mengalami infeksi
sekunder dan keadaan syok dibandingkan pasien yang lebih muda. Jumlah platelet pada balita
secara signifikan lebih rendah daripada anak-anak lainnya. Petichiae lebih sering terjadi pada
anak-anak dengan usia lebih muda. Diketahui bahwa komplikasi seperti DIC lebih sering
ditemukan pada pasien dengan syok berat. Anak-anak yang terlambat dirujuk akan lebih
susah untuk diresusitasi hemodinamikanya dan hal ini dapat menimbulkan kematian.
Salah satu komplikasi hematologi yang sering terjadi adalah syok persisten meskipun
pasien telah dirujuk ke Ruang Gawat Darurat dan ditangani sesuai regimen WHO. Hal ini
dibuktikan dengan hasil penelitian yang dilakukan di India Selatan pada 109 pasien pediatri
yang mengalami DHF berat.

Gambar 2. Komplikasi infeksi dengue pada hemostasis


Dikatakan bahwa 39 anak-anak (37,5%) tetap dalam kondisi syok meskipun telah
diberikan minimal 40 ml/kg cairan dan produk darah (whole blood, packed red blood cells
dengan atau tanpa fresh frozen plasma). Penelitian ini juga membuktikan bahwa 32 dari 39
anak tersebut membaik dengan diberikannya perawatan suportif secara terus menerus, seperti
cairan yang lebih, produk darah, agen vasoaktif, dan positive pressure ventilation kalau
diindikasikan. Namun, 6 anak meninggal akibat refractory shock yang diperparah dengan
adanya ARDS dan DIC.12,13

DIC adalah gangguan yang menunjukkan adanya proses deposisi fibrin dan
pendarahan yang terjadi secara bersamaan. Kerusakan sel endotel adalah kejadian yang sering
terjadi akibat infeksi dengue dan dapat mengubah hemostasis secara langsung maupun tidak
langsung. Infeksi ini dapat mengakibatkan keadaan prokoagulan dengan menginduksi faktor
pembekuan pada permukaan endotel yang dimediasi oleh sitokin. Kerusakan pada dinding
endotel juga dapat menyebabkan meningkatnya konsumsi platelet sehingga pasien akan
mengalami trombositopenia. Selain itu, fibrinolisis juga diaktifkan sehingga menyebabkan
pendarahan. Namun, aktivasi ini relatif lebih rendah dibandingkan aktivitas prokoagulan.
Ketidakseimbangan inilah yang akan menyebabkan DIC. DIC dapat menyebabkan kegagalan
fungsi organ dan angka kematian yang tinggi.,

Gambar 3. Patogenesis DIC

Komplikasi Respirasi
Demam berdarah dapat mengakibatkan Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya antigen virus dengue pada sel-sel lapisan
alveolar paru-paru. Pada saat stadium akut atau febris terjadi pelepasan mediator C3a dan
C5a yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler sehingga cairan plasma dapat
bocor ke ruang interstitial dan mengakibatkan edema serta disfungsi paru.14
Dengue Shock Syndrome (DSS) dilaporkan menjadi penyebab ketiga ARDS yang
terjadi pada perawatan intensif anak di daerah endemik demam berdarah. Pemulihan perfusi

jaringan yang adekuat sangatlah penting untuk mencegah progresi DSS menjadi ARDS,
namun perlu diperhatikan agar tidak terjadi kelebihan cairan karena hal itu dapat juga
memicu timbulnya ARDS. Komplikasi ini memerlukan pengenalan dan perawatan yang dini
untuk mendapatkan hasil yang baik.12
Komplikasi Hepatobilier
Walaupun hati bukan termasuk target organ dari virus dengue, beberapa penemuan
patologis pada hati telah dilaporkan seperti fatty liver, nekrosis sentrilobular, dan infiltrasi
monosit pada jalur porta hepatis. Pada suatu penelitian yang dilakukan di Thailand pada 191
pasien pediatri, ditemukan angka kejadian disfungsi hati sekitar 34,6% (66/191). Angka ini
termasuk tinggi, mirip dengan yang dilaporkan terjadi pada Negara berkembang Asia lainnya
dengan angka kejadian berkisar dari 30% sampai 90%. Diketahui juga bahwa angka kejadian
disfungsi hati pada kasus dengan syok (37,8%) hanya sedikit lebih tinggi dan tidak signifikan
dibandingkan dengan kasus tanpa syok (30,7%). Selain itu, sekitar 8% pasien dengan
disfungsi hati mengalami hepatic encephalopathy.
Tanda yang paling jelas menunjukkan keterlibatan hati pada infeksi dengue adalah
adanya pembesaran hati (hepatomegaly). Studi-studi terkini menunjukkan heoatomegali
terlihat pada 50-100% kasus infeksi dengue dan pembesaran hati sedang dapat merupakan
bagian respon patologis normal terhadap infeksi dengue. Data yang didapat cenderung
mengindikasikan adanya hepatomegali pada kasus-kasus dengue, dengan angka kejadian
yang sedikit lebih tinggi pada kasus-kasus berat.
Pada pasien dengue, enzim Aspartate Aminotrasferase (AST) dan Alanine
Aminotransferase (ALT) sering kali meningkat. Hal ini merupakan indikator sensitif adanya
kerusakan pada hati. Studi yang dilakukan di Taiwan pada 240 pasien dengue akibat wabah
tahun 1987-1988 menunjukkan peningkatan AST terjadi pada 93,3% kasus dan peningkatan
ALT terjadi pada 82,2% kasus. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan transaminase
yang sedikit atau sedang, hanya 10% saja yang mengalami peningkatan sampai dengan 10
kali lipat. Rata-rata level AST dan ALT pada pasien DHF lebih tinggi secara signifikan jika
dibandingkan dengan pasien DF (Dengue Fever). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
level serum AST lebih tinggi dibandingkan dengan serum ALT, berbeda dengan temuan
normal pada pasien viral hepatitis. Selain itu, keterlibatan hati lebih berat terjadi pada infeksi
virus dengue serotype DENV-3 dan DENV-4. Secara umum, peningkatan level enzim hati
adalah karakteristik yang umum terjadi pada infeksi dengue dan dapat menjadi faktor
pembanding dalam membedakan dengue dari penyakit febris lainnya.9,15

Komplikasi Limforetikuler
Antigen virus dengue dapat ditemukan pada sel-sel limfa, kelenjar timus dan kelenjar
getah bening. Limfadenopati pada pasien DHF ditemukan pada setengah kasus dan
splenomegali jarang ditemukan pada balita. Ruptur limfa dan infark kelenjar limfa pada
pasien DHF jarang terjadi. Dokter harus memperhatikan adanya komplikasi yang fatal ini di
daerah endemik DHF. Kasus ruptur limfa dapat salah diagnosis oleh karena keliru
menginterpretasikan sindroma syoknya. Splenektomi dapat dilakukan sebagai terapi kuratif.
Telah dilaporkan adanya kasus infark limfo nodi yang berhubungan dengan disseminated
intravascular infarction pada kasus demam berdarah yang telah terbukti secara serologis.
Infark diperkirakan disebabkan oleh adanya sumbatan trombotik pada pembuluh-pembuluh di
daerah parahilus. Limfoma maligna sebagai penyebab paling umum dari infark kelenjar limfa
harus dieksklusi dengan menggunakan proses imunohistokima.12
Komplikasi Ginjal
Gagal ginjal akut relatif jarang terjadi pada pasien dengan DHF. Suatu penelitian di
Thailand mengatakan bahwa hanya sekitar 0,9% atau 25 orang dari total 2893 pasien anakanak mengalami DHF yang menyebabkan gagal ginjal akut. Walaupun angka kejadiannya
sedikit, namun mortalitas yang dimbulkan oleh kelainan ini cukup tinggi yaitu mencapai
64%. Angka kematian yang tinggi ini diakibatkan oleh syok berkepanjangan yang berujung
pada gagal hati, gagal napas, dan pendarahan masif. Semua hal ini merupakan penyebab
utama kematian pada pasien DHF.
Rhabdomyolisis, hemolisis akut, hipotensi dan kerusakan ginjal langsung akan dapat
menyebabkan gagal ginjal akut pada pasien dengan infeksi dengue. DSS adalah penyebab
utama dari gagal ginjal akut pada anak-anak. Adapun faktor resikonya adalah obesitas dan
DHF grade IV dikarenakan anak-anak dengan obesitas lebih rentan terhadap penyakit DHF
yang serius dibandingkan dengan anak-anak dengan berat badan normal.
Gagal ginjal akut tanpa syok berkepanjangan mempunyai prognosis yang bagus
dengan angka kematian yang rendah. Resiko fatal meningkat apabila pasien menunjukan
tanda DHF grade IV, oliguric AKI, gagal napas, atau pemanjangan PT atau APTT lebih dari
dua kali lipat referensinya. Diantara pasien yang selamat, tidak ada yang dilaporkan
mengalami penyakit ginjal kronis. Selain itu, fungsi ginjal dapat kembali normal dalam waktu
1 bulan.12,16

Komplikasi Muskuloskeletal
Demam berdarah dapat menyebabkan kerusakan pada otot, sendi dan nyeri tulang.
Komplikasinya termasuk myositis dan Rhabdomyolisis, namun hal ini bukan termasuk
karakteristik dari DHF. Invasi virus dengue secara langsung ke otot belum terbukti dan
penyebab yang paling mungkin untuk saat ini diperkirakan adalah myotoxic cytokines,
terutama Tumor Necrosis Factor (TNF).12
Studi mengenai spesimen biopsi otot pasien mengemukakan penemuan dari infiltrate
limfosit yang sedikit sampai dengan adanya myonekrosis berat dengan focal lesions.
Rhabdomyolisis menunjukkan manifestasi klinis myalgia, kelemahan, dan warna urin yang
gelap. Peningkatan level kreatinin kinase merupakan indikator spesifik terhadap
rhabdomyolisis. Biopsi otot konsisten dengan myositis. Rhabdomyolisis dapat menyebabkan
gagal ginjal akut dan gangguan elektrolit kalau tidak diketahui dan ditangani dengan cepat.
Oleh karena itu disarankan bagi semua pasien DHF untuk melakukan dipstick
urinalysis intuk memantau komplikasi dan apabila positif dapat dilanjutkan dengan
pengecekan level serum kreatinin kinase.12,17
Komplikasi Genitalia
Acute Idiopathic Scrotal Edema (AISE) adalah manifestasi yang jarang terjadi pada
demam berdarah. AISE biasanya mempengaruhi anak-anak yang berusia sekitar 4-12 tahun
dan didefinisikan sebagai edema terbatas dan eritema di skrotum yang sembuh tanpa sekuel
dalam waktu 1-3 hari. Pasien dengan AISE biasanya asimptomatik atau menunjukkan sedikit
gangguan pada skrotumnya. Kondisi ini ditandai dengan onset yang mendadak, subcutaneous
scrotal edema, eritema, dan nyeri skrotum ringan. Biasanya pasien mengalami febris atau
demam yang ringan. Pasien dapat sembuh spontan dalam waktu 6-72 jam dengan
dilakukannya bedrest dan elevasi skrotum. Penyebab AISE pada pasien dengan DHF
kemungkinan disebabkan oleh adanya kebocoran plasma sebagai akibat dari peningkatan
permeabilitas vaskuler yang ditimbulkan oleh karena infeksi virus dengue18.

BAB III
ANALISIS KASUS
Pasien di diagnosis Dengue Shock Syndrome dengan komplikasi DIC, diagnosis
ditegakkan berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Seorang anak datang dengan keluhan demam sejak 5 hari. Demam timbul mendadak dan
tinggi dirasakan terus menerus siang dan malam. Selain itu pasien juga mual dan muntah.
Muntah 5 kali berisi makanan bercampur cairan. Kaki dan tangan dingin sejak kemarin
Pasien sudah berobat ke klinik dan diberi obat namun keluhan tidak berkurang. Pasien juga
mengatakan bahwa telah melakukan pemeriksaan laboratorium, dan hasil trombositosit rendah.
Namun pasien tidak ingin dirawat dan orang tua pasien mengikuti kemauan pasien.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum delirium, TD 110/60 mmHg, nadi
134x/m, RR 42x/m, suhu 38,4C. distensi abdomen (+). Feses melena (+). Mimisan (+)
Pemeriksaan lab terlampir, dimana terjadi trombositopenia yang selalu terjadi meski telah
dikoreksi.
Pada penatalaksanaan pasien ini diberikan cairan awal RL 30 cc/jam dan gelofusin 15
cc/jam. Berdasarkan teori untuk pemberian cairan pada DSS yaitu 10-20 ml/kgBB atau 500 1000 cc dalam 30 menit untuk mengganti kan kebocoran plasma dengan segera. Pada pasien
juga dilakukan tranfusi PRC 1175 cc, TC 34 Unit, plasma 1490 cc. Pasien meninggal
dikarenakan terjadinya komplikasi DIC, dimana lingkar perut pasien yang semakin
membesar.
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah
ini dipenuhi:2

Demam atau riwayat demam akut, antara 2 7 hari, biasanya bifasik

Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:


o

Uji bendung positif

Petekie, ekimosis, atau purpura

Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi)

Hematemesis atau melena

Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)

Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)


sebagai berikut:
o

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai


dengan umur dan jenis kelamin

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,


dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau


hipoproteinemi.

Tabel 1. Kriteria diagnosis demam dengue (WHO 2009)


Probable
dengue

Tanda Bahaya

Dengue Berat

Bertempat tinggal di
daerah
endemik.Demam dan
dengan gejala:

Nyeri Perut

Severe
plasma leakage:

Syok (DSS)

Akumulasi Cairan
dengan distress nafas

Mual, Muntah

Muntah yang persisten

Perdarahan berat

Rash

Klinis fluid
accumulation

Pembesaran organ yang berat :

Nyeri Kepala

Perdarahan mukosa

Uji bendung positif

Pembesaran hepar >

Hepar : SGOT atau


SGPT > 1000

Penurunan Kesadaran

Jantung dan organ lain

2cm
Leukopenia

Peningkatan Hct diikuti


penurunan trombosit
yang cepat

Salah satu dari tanda


bahaya

Daftar Pustaka

1) Hadinegoro S.R.H, Soegijanto S, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah


Dengue

di

Indonesia

Departemen

Kesehatan

Republik

Indonesia.

Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan


Lingkungan.. Edisi 3. Jakarta. 2004.
2) Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid III. Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, Juni 2006. Hal. 1731-5.
3) Sungkar

S.

Demam

Berdarah

Dengue.

Pendidikan

Kedokteran

Berkelanjutan Ikatan Dokter Indonesia. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter


Indonesia. Jakarta, Agustus 2002.
4) Asih

Y.

S.Kp.

Demam

Berdarah

Dengue,

Diagnosis,

Pengobatan,

Pencegahan, dan Pengendalian. World Health Organization. Edisi 2.


Jakarta. 1998.
5) Gubler D.J. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. PubMed Central
Journal

List.

Terdapat

http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=1508601.
Diakses pada: 2009, Desember 29.

di:

6) Gubler DJ, Clark GG. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever: The Emergence


of a Global Health Problem. National Center for Infectious Diseases
Centers

for

Disease

Control

and

Prevention

Fort Collins, Colorado, and San Juan, Puerto Rico, USA. 1996. Terdapat di:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/8903160.

Diakses

pada:

2009,

Desember 29.
7) Fernandes MDF. Dengue/Dengue Hemorrhagic Fever. Infectious disease.
Terdapat di: http://www.medstudents.com.br/dip/dip1.htm. Diakses pada:
2009, Desember 29.
8) World Health Organization. Dengue and dengue haemorrhagic fever.
Terdapat

di:

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/htm.

Diakses pada: 2009, Desember 29.


9) Wiwanitkit, V. Liver Dysfunction in Dengue Infection, an Analysis of The Previously

Published Thai Cases. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2007;19(1):10-12


10)

Kanade, T and Shah, I. Dengue Encephalopathy. J Vector Borne Dis 48.

2011;180-181
11)

B V Cam, L et al. Prospective Case-Control Study of Encephalopathy in

Children with Dengue Hemorrhagic Fever. Am J Trop Med Hyg. 2001;65(6):848-851


12)

Gulati, S and Maheswari, A. Atypical Manifestations of Dengue. Tropical

Medicine and International Health 2007; 12 (9): 1087-1095


13)

Kamath S R and Ranjit S. Clinical Features, Complications and Atypical

Manifestations of Children with Severe forms of Dengue Hemorrhagic Fever In South


India. Indian Journal of Pediatric. 2006;3:889-895
14)

Chuansumrit, A et al. Pathophysiology and Management of Dengue

Hemorrhagic Fever. Journal comp. 2006:3-11


15)

Smith, D R and Khakpoor, A. Involvement of The Liver in Dengue Infections.

Dengue Bulletin. 2009; 33:75-86


16)

Laoprasopwattana, K et al. Outcome of Dengue Hemorrhagic Fever-Caused

Acuke Kidney Injury in Thai Children. The Journal of Pediatric. 2010; 157:303-9
17)

Lim, M and Goh, H K. Rhabdomyolysis Following Dengue Virus Infection.

Singapore Med J 2005; 46(11): 645-646


18) Chen, T et al. Dengue Hemorrhagic Fever Complicated with Acute Idiopathic Scrotal
Edema and Polyneuropathy. Am J Trop Med. Hyg. 2008; 78(1): 8-10.

Anda mungkin juga menyukai