Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari), hipoalbuminemia
(kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas. Berdasarkan
etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer (idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan
primer glomerulus dengan sebab tidak diketahui dan SN sekunder yang disebabkan oleh penyakit
tertentu.1
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)
dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 23 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik
sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.2
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan, obatobatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik, penyakit
herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis arteri renalis,
obesitas massif. Di klinik (75%-80%) kasus SN masih merupakan SN primer (idiopatik).

STATUS PASIEN
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
Nama Mahasiswa : Yasmine Salida Dokter Pembimbing : dr.Mas Wishnuwardhana, Sp.A
NIM

: 030.10.279

Tanda tangan

BAB II
ILUSTRASI KASUS
I.

IDENTITAS
Data
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Suku bangsa
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Keterangan

Pasien
Ayah
Ibu
An. S
Tn. M
Almh. Ny. S
8 tahun
45 tahun
39 tahun
Laki-laki
Laki-laki
Perempuan
KP BOLONG TUA RT 008 RW 006 Tambelang
Islam
Islam
Islam
Sunda
Sunda
Sunda
SMA
SMA
Pedagang
Ibu
Rumah
Hubungan dengan

Tangga
-

orang tua : Anak


Tanggal

kandung
29 Juni 2015

Kontrol RS

II. ANAMNESIS
Dilakukan sacara alloanamnesis kepada ibu tiri pasien pada hari Senin, 29 Juni 2015.
a.

Keluhan Utama :
Pasien datang kontrol rutin ke Poli Anak RSUD Kota Bekasi.
2

b. Keluhan Tambahan :
Bengkak pada wajah dan perut.
c.

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke Poliklinik Anak RSUD kota Bekasi untuk melakukan kontrol rutin
penyakit sindrom nefrotik. Ibu tiri pasien mengatakan bahwa pasien mengalami bengkak
pada wajah dan perutnya. Pasien rutin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter
namun bengkak tersebut masih terus menetap, hanya berkurang sedikit yaitu pada kedua
lengan dan kaki pasien. Riwayat sesak nafas, demam, batuk, pilek, dan cepat lelah
disangkal ibu tiri pasien. Ibu tiri pasien mengaku bahwa pasien jarang berkemih, dan
kencingnya sedikit, berwarna kuning bening, dan tidak pernah berwarna merah. Pasien
BAB 1 kali dalam sehari. Pasien tidak mengeluhkan sakit pinggang maupun perut.
Sebelumnya, 3 bulan yang lalu pasien telah diantar ibu tiri nya untuk berobat ke
poliklinik RSUD Kota Bekasi, dengan keluhan bengkak seluruh tubuh, bengkak di mulai
dari kelopak mata, pipi, kemudian menjalar ke kedua lengan, tungkai dan seluruh badan,
kemudian pasien melakukan pemeriksaan laboratorium, dan kemudian diagnosis
memiliki penyakit sindroma nefrotik.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit
Alergi
Cacingan

Umur
-

Penyakit
Difteria
Diare

Umur
-

Penyakit
Jantung
Ginjal

Umur
+
sejak 3 bulan
yang lalu
didiagnosis
memiliki
penyakit
sindrom

DBD
Thypoid
Otitis

Kejang
Gastritis
Varicela

Darah
Radang paru
Tuberkulosis

nefrotik
-

Saat berusia
Parotis

Operasi

3 tahun.
-

Morbili

e.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Ibu pasien telah meninggal dunia 1 tahun yang lalu dikarenakan kelainan ginjal,
namun keluarga tidak mengetahui diagnosis pasti ibu pasien. Ayah dan kakak kandung
pasien sehat.
f. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :
Morbiditas kehamilan
Perawatan antenatal
KEHAMILAN

KELAHIRAN

Tidak ditemukan kelainan


Melakukan pemeriksaan ke
bidan rutin tiap 1 bulan sekali.

Tempat kelahiran

Rumah bersalin

Penolong persalinan
Cara persalinan
Masa gestasi

Bidan
Spontan
9 bulan 10 hari
Lansung mengangis.
Apgar score tidak diketahui.

Keadaan bayi

Tidak ada kelainan bawaan

g. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :


Pertumbuhan gigi I

: Usia 6 bulan (normal: 5-9 bulan)

Psikomotor
Tengkurap

: Usia 4 bulan (normal: 3-4 bulan)

Duduk

: Usia 6 bulan (normal: 6 bulan)

Kesan

: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan pasien baik

Berat badan

: 27,5 kg

Tinggi badan

: 119 cm

h. Riwayat Makanan
Umur (bulan)
ASI/PASI
0-2
+/2-4
+/4-6
-/+
6-7
-/+
8-10
-/+
10-12
-/+
Kesan : Pasien selalu minum ASI

Buah/biscuit

Bubur susu

+
+
+
+
+
sampai umur 4 bulan ini, dan pasien

Nasi tim

+
mulai mengkonsumsi

susu formula sejak berumur 4 bulan lebih.

i. Riwayat Imunisasi :
Vaksin
BCG
DPT
POLIO
CAMPAK
HEPATITIS B

Dasar
1 bln
2 bln
lahir
9 bln
lahir

4 bln
2 bln

6 bln
4 bln

1 bln

6 bln

Ulangan
6 bln

Kesan : Riwayat imunisasi pasien menurut PPI lengkap

j.

Riwayat Keluarga :
Nama
Perkawinan ke
Umur
Keadaan
kesehatan

Ayah
Tn. M
1
45 tahun
Sehat

Ibu
Almh. Ny. S
1
39 tahun
Ibu
pasien
meninggal
tahun

Kakak
An. K
12 tahun
telah Sehat

dunia

yang

dikarenakan

Pasien
An. A
8 tahun
Sedang dalam
pengobatan

lalu

sindrom

kelainan

nefrotik.

ginjal, namun keluarga


tidak

mengetahui

diagnosis

pasti

ibu

pasien.

k.

Riwayat Perumahan dan Sanitasi :

Pasien tinggal dirumah kontrakan. Dinding terbuat dari tembok, atap terbuat dari genteng,
dan ventilasi cukup. Menurut pengakuan ibu tiri pasien, keadaan lingkungan rumah padat,
ventilasi, dan pencahayaan baik. Sumber air bersih berasal dari PAM.

III.PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum/ kesadaran

: tampak sakit sedang/ compos mentis, tampak bengkak

pada wajah, perut, dan ke-empat ekstremitas.


b. Tanda Vital
- Frekuensi nadi
: 120x/menit, regular
- Frekuensi pernapasan
: 24x/menit, regular
- Suhu tubuh
: 36,5oC
c. Data antropometri
- Berat badan
- Tinggi badan

: 27,5 kg
: 119 cm

Kesan gizi : TB/U : 119/127 x 100% = 93 (mild stunting)


BB/U : 27,5/25 x 100% = 110 (overweight)

Kesan gizi : BB/TB : 27,5 x 100% / 21,5 = 127 (obesitas)


(Namun pasien mengalami oedema, sehingga yang dipergunakan ialah pengukuran lingkar
lengan atas)
8

d. Kepala
- Bentuk
- Rambut

: normocephali, ubun-ubun rata


: rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi
merata
- Mata

Telinga
Hidung

e. Leher

: palpebra edema +/+, konjungtiva anemis-/-, sklera

ikterik -/-,
pupil isokor, RCL +/+, RCTL +/+
: normotia, membran timpani intak, serumen -/: bentuk normal, sekret (-/-), nafas cuping hidung -/- Mulut
: sianosis (-), lidah kotor (-), faring hiperemis (-/-),
tonsil
T1/T1 tenang
: KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak
membesar.

f. Thorax
Paru
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Jantung
Inspeksi
- Palpasi

: pergerakan dinding dada simetris, retraksi (-)


: vocal fremitus simetris
: sonor di kedua lapang paru
: suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/: ictus cordis tidak nampak
: ictus cordis teraba pada ICS V garis midclavicula
9

kiri
-

Perkusi

: batas atas : ICS II garis parasternal kiri


batas kanan: ICS IV garis parasternal kanan
batas kiri : ICS IV garis midclavicula kiri
- Auskultasi

: BJ I-II reguler, murmur (-), gallop

(-)

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi

Perkusi
Genitalia

Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah
Kulit

: cembung
: bising usus (+)
- Palpasi
: distensi (+), nyeri tekan (-), hepar, lien, serta ginjal
tidak
teraba, tes undulasi (+)
: timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok (-)
: oedema pada scrotum.

: akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)


: akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)
: sianosis (-), kelembapan cukup, pucat (-), turgor cepat
kembali.

10

Refleks Fisiologis
Pemeriksaan
Sup dan Inf
Bisep
Trisep
Patela
Achiles

Kanan

Kiri

+
+
+
+

+
+
+
+

Kanan

Kiri

Refleks Patologis
Pemeriksaan
Sup dan Inf
Hoffman Trommer
Babinski
Chaddock
Gordon
Schaeffer
Klonus patella
Klonus achilles

Tanda Rangsang Meningeal


Kaku kuduk
Brudzinski I
Brudzinski II
Kernig
Laseq

:::::-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium (4 April 2015, pukul 18:17 wib)
JENIS

HASIL

SATUAN

NILAI RUJUKAN
11

PEMERIKSAAN
Urinalisa
Warna
Kejernihan
Reduksi/glukosa urin
Bilirubin Urin
Keton
Berat Jenis
Darah/Darah Samar
PH Urin
Protein Urin
Urobilinogen
Nitrit/Bakteri
Leukosit Urin
SEDIMENT
Leukosit Sediment
Eritrosit Sediment
Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Jamur

Kuning tua
Keruh
Negatif
Negatif
Negatif
1,025
Positif 3
6,0
Positif 3
0,2
Negatif
Positif 1
7-8
30 - 35
Positif
6-7
Negatif
Negatif
Negatif

mg/dl

Jernih
Negatif
Negatif
Negatif
1005 - 1030
Negatif
5,0 8,0
Negatif
0,0 0,2
Negatif
Negatif

/lpb
/lpb
/lpb

2 -5
1-2
Negatif
Positif 1
Negatif
Negatif
Negatif

SATUAN

NILAI RUJUKAN

Laboratorium (25 Mei 2015, pukul 08:06 wib)


JENIS
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna
Kejernihan
pH
Berat Jenis
Albumin urine
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Darah Samar
Leukosit esterase
Nitrit
Mikroskopis Urine
Eritrosit
Leukosit
Silinder
Epitel
Kristal

HASIL

Kuning
Agak keruh
5,5
1020
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
0,2
Negatif
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
10 15
0-5
Granular (+)
Hyalin (+)
Gepeng (+)
Negatif

UE

/lpb
lpb

Kuning
Jernih
5,0 8,0
1005 1030
Negatif
Negatif
Negatif
0,1 - 1
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
<2
<5
Negatif
Gepeng (+)
Negatif
12

Bakteri
Lain-lain

Positif 1 (+)
Negatif

Negatif
Negatif

Laboratorium (27 Juni 2015, pukul 09:23 wib)


JENIS
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna
Kejernihan
pH
Berat Jenis
Albumin urine
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Darah Samar
Leukosit esterase
Nitrit
Mikroskopis Urine
Eritrosit
Leukosit
Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Lain-lain

HASIL

Kuning
Keruh
6,0
1025
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
0,2
Negatif
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
10 20
0-5
Granular (+)
Gepeng (+)
Negatif
Positif 1 (+)
Negatif

SATUAN

UE

/lpb
lpb

NILAI RUJUKAN

Kuning
Jernih
5,0 8,0
1005 1030
Negatif
Negatif
Negatif
0,1 - 1
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
<2
<5
Negatif
Gepeng (+)
Negatif
Negatif
Negatif

13

V. RESUME
a) Anamnesis
Pasien datang ke Poliklinik Anak RSUD kota Bekasi untuk melakukan kontrol rutin
penyakit sindrom nefrotik. Ibu tiri pasien mengatakan bahwa pasien mengalami bengkak
pada wajah dan perutnya. Pasien rutin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter
namun bengkak tersebut masih terus menetap, hanya berkurang sedikit yaitu pada kedua
lengan dan kaki pasien. Ibu tiri pasien mengaku bahwa pasien jarang berkemih, dan
kencingnya sedikit, berwarna kuning bening, dan tidak pernah berwarna merah.
Sebelumnya, 3 bulan yang lalu pasien telah diantar ibu tiri nya untuk berobat ke
poliklinik RSUD Kota Bekasi, dengan keluhan bengkak seluruh tubuh, bengkak di mulai
dari kelopak mata, pipi, kemudian menjalar ke kedua lengan, tungkai dan seluruh badan,
kemudian pasien melakukan pemeriksaan laboratorium, dan kemudian diagnosis
memiliki penyakit sindroma nefrotik.
b) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum/ kesadaran

: tampak sakit sedang/ compos mentis, tampak bengkak

pada wajah, perut, dan ke-empat ekstremitas.


Antropometri

Berat badan
Tinggi badan
Kesan gizi : TB/U

: 27,5 kg
: 119 cm
: 119/127 x 100% = 93 (mild stunting)

BB/U

: 27,5/25 x 100% = 110 (overweight)

BB/TB

: 27,5 x 100% / 21,5 = 127 (obesitas)

(Namun pasien mengalami oedema, sehingga yang dipergunakan ialah pengukuran


lingkar lengan atas)

Mata
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi

: palpebra edema +/+


: cembung
: bising usus (+)

14

- Palpasi

Perkusi
Genitalia
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah

: distensi (+), nyeri tekan (-), hepar,

lien, serta ginjal tidak


teraba, tes undulasi (+)
: timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok (-)
: oedema pada scrotum.
: akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)
: akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)

c) Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (4 April 2015, pukul 18:17 wib)
JENIS
PEMERIKSAAN
Urinalisa
Warna
Kejernihan
Reduksi/glukosa urin
Bilirubin Urin
Keton
Berat Jenis
Darah/Darah Samar
PH Urin
Protein Urin
Urobilinogen
Nitrit/Bakteri
Leukosit Urin
SEDIMENT
Leukosit Sediment
Eritrosit Sediment
Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Jamur

HASIL

Kuning tua
Keruh
Negatif
Negatif
Negatif
1,025
Positif 3
6,0
Positif 3
0,2
Negatif
Positif 1
7-8
30 - 35
Positif
6-7
Negatif
Negatif
Negatif

SATUAN

mg/dl

NILAI RUJUKAN

Jernih
Negatif
Negatif
Negatif
1005 - 1030
Negatif
5,0 8,0
Negatif
0,0 0,2
Negatif
Negatif

/lpb
/lpb
/lpb

2 -5
1-2
Negatif
Positif 1
Negatif
Negatif
Negatif

SATUAN

NILAI RUJUKAN

Laboratorium (25 Mei 2015, pukul 08:06 wib)


JENIS
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna
Kejernihan
pH
Berat Jenis

HASIL

Kuning
Agak keruh
5,5
1020

Kuning
Jernih
5,0 8,0
1005 1030
15

Albumin urine
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Darah Samar
Leukosit esterase
Nitrit
Mikroskopis Urine
Eritrosit
Leukosit
Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Lain-lain

Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
0,2
Negatif
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
10 15
0-5
Granular (+)

UE

/lpb
lpb

Hyalin (+)
Gepeng (+)
Negatif
Positif 1 (+)
Negatif

Negatif
Negatif
Negatif
0,1 - 1
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
<2
<5
Negatif
Gepeng (+)
Negatif
Negatif
Negatif

Laboratorium (27 Juni 2015, pukul 09:23 wib)


JENIS
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna
Kejernihan
pH
Berat Jenis
Albumin urine
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Darah Samar
Leukosit esterase
Nitrit
Mikroskopis Urine
Eritrosit
Leukosit

HASIL

Kuning
Keruh
6,0
1025
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
0,2
Negatif
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
10 20
0-5

SATUAN

UE

/lpb
lpb

NILAI RUJUKAN

Kuning
Jernih
5,0 8,0
1005 1030
Negatif
Negatif
Negatif
0,1 - 1
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
<2
<5
16

Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Lain-lain

Granular (+)
Gepeng (+)
Negatif
Positif 1 (+)
Negatif

VI.

DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Nefrotik

VII.

DIAGNOSIS BANDING
Glomerulonefritis Akut

Negatif
Gepeng (+)
Negatif
Negatif
Negatif

VIII. PENATALAKSANAAN
a. Non medikamentosa
Edukasi kepada orang tua/orang tua asuh (keluarga terdekat) tentang
penyakit yang diderita
b. Medikamentosa
Siklofosfamid 3 x 20mg
IX. PROGNOSIS
Ad vitam
Ad functionam
Ad sanationam

: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad malam

17

BAB III
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis diketahui bahwa pasien mengalami bengkak pada wajah dan perutnya.
Pasien rutin mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter namun bengkak tersebut masih terus
menetap, hanya berkurang sedikit yaitu pada kedua lengan dan kaki pasien. Pasien jarang
berkemih, dan kencingnya sedikit, berwarna kuning bening, dan tidak pernah berwarna merah.
Sebelumnya, 3 bulan yang lalu pasien telah diantar ibu tiri nya untuk berobat ke poliklinik
RSUD Kota Bekasi, dengan keluhan bengkak seluruh tubuh, bengkak di mulai dari kelopak
mata, pipi, kemudian menjalar ke kedua lengan, tungkai dan seluruh badan, kemudian pasien
melakukan pemeriksaan laboratorium, dan kemudian diagnosis memiliki penyakit sindroma
nefrotik.
Pasien didiagnosis sindroma nefrotik berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil
pemeriksaan penunjang.
Pada Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum/ kesadaran

: tampak sakit sedang/ compos mentis, tampak bengkak

pada wajah, perut, dan ke-empat ekstremitas.


18

Antropometri

Berat badan
Tinggi badan
Kesan gizi : TB/U

: 27,5 kg
: 119 cm
: 119/127 x 100% = 93 (mild stunting)

BB/U

: 27,5/25 x 100% = 110 (overweight)

BB/TB

: 27,5 x 100% / 21,5 = 127 (obesitas)

(Namun pasien mengalami oedema, sehingga yang dipergunakan ialah pengukuran


lingkar lengan atas)

Mata
Abdomen
Inspeksi
Auskultasi

: palpebra edema +/+,


: cembung
: bising usus (+)
- Palpasi

Perkusi
Genitalia
Ekstremitas atas
Ekstremitas bawah

: distensi (+), nyeri tekan (-),

hepar, lien, serta ginjal


tidak teraba, tes undulasi (+)
: timpani, shifting dullness (+), nyeri ketok (-)
: oedema pada scrotum.
: akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)
: akral hangat (+/+), sianosis (-), oedem (+/+)

Seperti pada anamnesis episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti
bengkak periorbital, dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi
edema anasarka.1
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (4 April 2015, pukul 18:17 wib)
JENIS

HASIL

PEMERIKSAAN
Urinalisa
Warna
Kejernihan
Reduksi/glukosa urin
Bilirubin Urin
Keton
Berat Jenis
Darah/Darah Samar
PH Urin
Protein Urin

Kuning tua
Keruh
Negatif
Negatif
Negatif
1,025
Positif 3
6,0
Positif 3

SATUAN

NILAI RUJUKAN

Jernih
Negatif
Negatif
Negatif
1005 - 1030
Negatif
5,0 8,0
Negatif
19

Urobilinogen
Nitrit/Bakteri
Leukosit Urin
SEDIMENT
Leukosit Sediment
Eritrosit Sediment
Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Jamur

0,2
Negatif
Positif 1

mg/dl

0,0 0,2
Negatif
Negatif

7-8
30 - 35
Positif
6-7
Negatif
Negatif
Negatif

/lpb
/lpb
/lpb

2 -5
1-2
Negatif
Positif 1
Negatif
Negatif
Negatif

SATUAN

NILAI RUJUKAN

Laboratorium (25 Mei 2015, pukul 08:06 wib)


JENIS
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna
Kejernihan
pH
Berat Jenis
Albumin urine
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Darah Samar
Leukosit esterase
Nitrit
Mikroskopis Urine
Eritrosit
Leukosit
Silinder

HASIL

Kuning
Agak keruh
5,5
1020
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
0,2
Negatif
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
10 15
0-5
Granular (+)

UE

/lpb
lpb

Hyalin (+)
Epitel
Gepeng (+)
Kristal
Negatif
Bakteri
Positif 1 (+)
Lain-lain
Negatif
Laboratorium (27 Juni 2015, pukul 09:23 wib)
JENIS
PEMERIKSAAN
Urine lengkap
Kimia urine
Warna

HASIL

Kuning

Kuning
Jernih
5,0 8,0
1005 1030
Negatif
Negatif
Negatif
0,1 - 1
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
<2
<5
Negatif
Gepeng (+)
Negatif
Negatif
Negatif

SATUAN

NILAI RUJUKAN

Kuning
20

Kejernihan
pH
Berat Jenis
Albumin urine
Glukosa
Keton
Urobilinogen
Bilirubin
Darah Samar
Leukosit esterase
Nitrit
Mikroskopis Urine
Eritrosit
Leukosit
Silinder
Epitel
Kristal
Bakteri
Lain-lain

Keruh
6,0
1025
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
0,2
Negatif
Positif 3 (+++)
Negatif
Negatif
10 20
0-5
Granular (+)
Gepeng (+)
Negatif
Positif 1 (+)
Negatif

UE

/lpb
lpb

Jernih
5,0 8,0
1005 1030
Negatif
Negatif
Negatif
0,1 - 1
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
<2
<5
Negatif
Gepeng (+)
Negatif
Negatif
Negatif

Pada awal pengobatan pasien diberikan prednison 3-3-3, namun gejala bengkak tetap ada.
Sehingga dosis prednison dinaikan menjadi 4-3-3. Namun hasil labaratorium pada albumin
masih meunjukan positif 3 +++, sehingga dosis dinaikan menjadi 5-4-3. 4 minggu kemudian
gejala tetap masih ada dan hasil albumin masih meunjukan positif 3 +++, dosis kembali dinaikan
menjadi 5-4-4. Ketika pasien melakukan kontrol rutin bengkak pada wajah dan perut tetap ada,
hanya berkurang sedikit yaitu pada kedua lengan dan kaki pasien. Hal ini dapat dicurigai bahwa
pasien memiliki penyakit sindrom nefrotik dengan klasifikasi resisten steroid, dimana tidak
terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4
minggu. Sehingga pengobatan diganti menjadi menggunakan siklofosfamid.2
Pengukuran status gizi dengan menggunakan lingkar lengan atas (LLA). Menggambarkan
tumbuh kembang jaringan lemak dibawah kulit dan otot yang tidak banyak terpengaruh oleh
keadaan cairan tubuh dibandingkan dengan berat badan (BB). LLA lebih sesuai untuk dipakai
menilai keadaan gizi/tumbuh kembang pada anak kelompok umur prasekolah. Pengukuran LLA
ini mudah, alat bisa dibuat sendiri dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Alat yang digunakan
biasanya adalah pita ukur elastis. Namun, penggunaan LLA ini lebih tepat untuk
21

mengidentifikasi anak dengan gangguan gizi/pertumbuhan fisik yang berat. Selain itu terkadang
pengukurannya juga dengan menekan pertengahan LLA yang dirasakan tidak nyaman bagi anakanak.3
Interpretasi hasil dapat berupa:
1. LLA (cm) :

< 12.5 cm = gizi buruk

12.513.5 cm = gizi kurang

>13.5cm = gizi baik

2. Bila umur tidak diketahui, status gizi dinilai dengan indeks LLA/TB : <75% = gizi buruk, 7580% = gizi kurang, 80-85% = borderline, dan >85% = gizi baik (normal).

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan organ pada tubuh manusia yang menjalankan banyak fungsi untuk
homeostasis, yang terutama adalah sebagai organ ekskresi dan pengatur keseimbangan cairan
dan asam basa dalam tubuh. Terdapat sepasang ginjal pada manusia, masing-masing di sisi kiri
dan kanan (lateral) tulang vertebra dan terletak retroperitoneal (di belakang peritoneum). Selain
itu sepasang ginjal tersebut dilengkapi juga dengan sepasang ureter, sebuah vesika urinaria (bulibuli/kandung kemih) dan uretra yang membawa urine ke lingkungan luar tubuh.4,5
22

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang, terdapat sepasang (masingmasing satu di sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan
terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri karena disebabkan adanya
hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra
T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub
bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka)
sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut
dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.

Anterior

Ginjal kiri
Dinding dorsal gaster
Pankreas
Limpa
Vasa lienalis
Usus halus
Fleksura lienalis

Ginjal kanan
Lobus kanan hati
Duodenum pars descendens
Fleksura hepatica
Usus halus

Posterior

Diafragma, m.psoas major, m. quadratus lumborum, m.


transversus abdominis(aponeurosis), n.subcostalis,
n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales 1-2(3), iga 12
(ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri).
Tabel 1. Anatomi Ginjal

23

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian:

Korteks: bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi


(glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus
distalis.

Medula: terdiri dari 9-14 pyramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung
Henle dan tubulus pengumpul (ductus collectivus).

Columna renalis: bagian korteks di antara pyramid ginjal

Processus renalis: bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks

Hilus renalis: suatu bagian di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus
memasuki/meninggalkan ginjal.

Papilla renalis: bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor.

Calix minor: percabangan dari calix major.

Calix major: percabangan dari pelvis renalis.

Pelvis renalis: disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix
major dan ureter.

Ureter: saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria.

24

Gambar 2. Anatomi Ginjal

Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu
glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle dan tubulus
kontortus distal yang bermuara pada tubulus kolektivus. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut
terdapat pembuluh darah kapiler,yaitu arteriol yang membawa darah dari dan menuju glomerulus
serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal). Berdasarkan letakya nefron dapat
dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks
yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada
medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi
medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluhpembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta.5
25

Ginjal diperdarahi oleh arteri dan vena renalis. A. renalis merupakan percabangan dari
aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki
ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobarisa. arcuata
a.interlobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen
superior, anterior-superior, anterior-inferior, inferior serta posterior.
Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal
melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan
n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan
simpatis melalui n.vagus.5
FISIOLOGI GINJAL5
Ginjal ikut mengatur keseimbangan biokimia tubuh manusia dengan cara mengatur
keseimbangan air, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur asam basa darah,
pengaturan ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam dan memproduksi hormon yaitu :
a. Prostaglandin yang berfungsi untuk pengaturan garam dan air serta mempengaruhi
tekanan vaskuler.
b. Eritropoietin yang berfungsi untuk merangsang produksi sel darah merah.
c. 1,25 dihidroksikolekalsiferol yang berfungsi memperkuat absorpsi kalsium dari usus
dan reabsorbsi fosfat oleh tubulus renalis.
d. Renin yang berfungsi bekerja pada jalur angiotensin untuk meningkatkan tekanan
vaskuler dan produksi aldosteron.
Tiga tahap pembentukan urine:
1) Filtrasi glomerular
Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler
tubuh lainnya, kapiler glomerulus secara relatif bersifat impermeabel terhadap protein plasma
yang besar dan cukup permeabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam
amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar
25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar
125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsul Bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi

26

glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowmans disebut
filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus
dan kapsula bowmans, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah
filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowmans serta
tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan
koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler.
2) Reabsorpsi
Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan
air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat
yang sudah difiltrasi.
3) Sekresi
Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui
tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh
(misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan
kalium serta ion-ion hidrogen.
Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi
hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium
keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular
perjalanannya kembali jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium
harus disekresi dan sebaliknya. Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi
cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang
pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang
dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker
aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi
penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

27

DEFINISI SINDROM NEFROTIK


Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang
ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24jam/1.73 m 3 disertai hipoalbuminemia, edema
anasarka, hiperlipidemia, lipiduria dan hiperkoagulabilitas.6,7
EPIDEMIOLOGI
Pada anak-anak (< 16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal (75%-85%)
dengan umur rata-rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih
banyak daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Kejadian SN idiopatik 23 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa 3/1000.000/tahun. Sindrom nefrotik
sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan oleh diabetes mellitus.2

ETIOLOGI1
Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat
infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,
dan akibat penyakit sistemik seperti berikut:
A. Glomerulonefritis (GN) primer:
-

GN lesi minimal (GNLM)

Glomerulosklerosis fokal (GSF)

GN membranosa (GNMN)

GN membranoproliferatif (GNMP)

GN proliferatif lain

B. GN sekunder akibat:
i. infeksi: - HIV, hepatitis virus B dan C
- sifilis, malaria, skistosoma
- tbc, lepra
28

ii. keganasan: - adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma hodgki, mieloma


multiple, dan karsinoma ginjal
iii. penyakit jaringan penghubung: - SLE, artritis reumatoid
iv. efek obat dan toksin: obat NSAID, preparat emas, penisilinamin, probenesid, captopril
v. lain-lain: diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsi, sengatan lebah

GN primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok
GN primer, GN lesi minimal (GNLM), Glomerulosklerosis fokal (GSF), GN membranosa
(GNMN), GN membranoproliperatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering
ditemukan.
Penyebab sekunder akibat infeksi yang paling sering ditemukan misalnya pada GN pasca
infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat mislnya obat NSAID atau preperat
emas, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes melitus.

KLASIFIKASI8,9,10
Sindrom nefrotik secara klinis dibagi menjadi 3 kelompok:
I.

Sindrom Nefrotik Bawaan


Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Gejalanya adalah
edema pada masa neonatus. Sindrom nefrotik jenis ini resisten terhadap semua pengobatan.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah pencangkokan ginjal pada masa neonatus namun
tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya penderita meninggal dalam bulan-bulan
pertama kehidupannya.

II.

Sindrom Nefrotik Sekunder disebabkan oleh:

Malaria kuartana atau parasit lain.

Penyakit kolagen seperti lupus eritematosus diseminata, purpura anafilaktoid.

Glumeronefritis akut atau glumeronefritis kronis, trombosis vena renalis.

29

Bahan kimia seperti trimetadion, paradion, penisilamin, garam emas, sengatan lebah, racun
oak, air raksa.

Amiloidosis, penyakit anemia sel sabit, hiperprolinemia, nefritis membranoproliferatif


hipokomplementemik.

III.

Sindrom Nefrotik Idiopatik, dibagi kedalam 4 golongan, yaitu :


a. Kelainan minimal
Glomerolus tampak normal (mikroskop biasa) atau tampak foot processus sel epitel berpadu
(mikroskop elektron)
Dengan imonufluoresensi tidak ada IgG atau imunoglobulin beta-IC pada dinding kapiler
glomerolus
Lebih banyak terdapat pada anak
Prognosis baik
b. Nefropati membranosa
Glomerolus menunjukan penebalan dinding kapiler yang tersebar tanpa proliferasi sel
Prognosis kurang baik
c. Glomerulonefritis proliferatif
Eksudatif difus
Terdapat prolifarasi sel mesangial dan infiltrasi polimorfonukleus.
Pembengkakan sitoplasma endotel yang menyebabkan kapiler tersumbat.
Penebalan batang lobular (lobular stalk thickening)
Terdapat proliferasi sel mesangial yang tersebar dan penebalan batang lobular.
Dengan bulan sabit (crescent)
Prolifersi sel mesangial dan proliferasi sel epitel sampai kapsular dan viseral.
Glomelurosklerosis membranoproliferatif
Proliferasi sel mesangial dan penempatan fibrin yang menyerupai membrana basalis de
mesengium. Titer imunoglobulin beta-IC atau beta-IA rendah.
30

d. Glomelurosklerosis Fokal Segmental


Sklerosis glomelorus dan atrofi tubulus
Prognosis buruk
PEMBAGIAN PATOLOGI ANATOMI8,9,10
a). Kelainan minimal
o Merupakan bentuk utama dari glomerulonefritis dimana mekanisme patogenetik imun
tampak tidak ikut berperan (tidak ada bukti patogenesis kompleks imun atau anti-MBG).
o Glomerolus tampak foot processus sel terpadu, maka disebut juga nefrosis lipid atau
penyakit podosit.
o Kelainan yang relatif jinak adalah penyebab sindrom nefrotik yang paling sering pada
anak-anak usia 1-5 tahun.
o Glomeruli tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan dengan
mikroskop elektron terlihat adanya penyatuan podosit; hanya bentuk glomerolunefritis
mayor yang tidak memperlihatkan imunopatologi.
b). Nefropati membranosa (glomerulonefritis membranosa)
o Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara morfologi khas oleh
kelainan berbatas jelas pada MBG.
o Jarang ditemukan pada anak-anak.
o Mengenai beberapa lobus glomerolus, sedangkan yang lain masih normal.
o Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrana basalis yang dapat terlihat baik
dengan mikroskop cahaya maupun elektron.
c). Glomerulosklerosis fokal segmental
o Lesi ini punya insidens hematuria yang lebih tinggi dan hipertensi, proteinuria nonselektif
dan responnya terhadap kortikosteroid buruk.
o Penyakit ini mula-mula hanya mengenai beberapa glomeruli (istilah fokal) dan pada
permulaan hanya glomeroli jukstameduler. Jika penyakit ini berlanjut maka semua bagian
terkena.

31

o Secara histologik ditandai sklerosis dan hialinisasi beberapa anyaman didalam satu
glomerolus, menyisihkan bagian-bagian lain. Jadi keterlibatannya baik fokal dan
segmental.
o Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik.
d). Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)
o Ditandai dengan penebalan membran basalis dan proliferasi seluler (hiperselularitas), serta
infiltrasi sel PMN.
o Dengan mikroskop cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial
dan suatu penambahan matriks mesangial.
o Perluasan mesangium berlanjut ke dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan
reduplikasi membrana basalis (jejak-trem atau kontur lengkap)
o Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif
dan pada sindrom nefrotik.
o Ada MPGN tipe I dan tipe II.
e). Glomerulonefritis proliferatif fokal
o Proliferatif glomeruler dan atau kerusakan yang terbatas pada segmen glomerulus
individual (segmental) dan mengenai hanya beberapa glomerulus (fokal).
o Lebih sering ada dengan sindrom nefritik.

PATOFISIOLOGI8,9,10

32

Gambar 3. Patofisilogi Sindrom Nefrotik


Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom
nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori
yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di
sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif
tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar
kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari proteinuria yang
hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin serum yang menyebabkan
turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma
ke ruang interstitial.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler.
Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang
intravaskuler ke ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau
volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi
natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan
tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya
mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas
sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik
hormon) dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang,
pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini
33

dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena
hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena
tersebut. Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume
plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep
baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena
mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi
natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial.
Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma
dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan
mungkin saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan
suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu.1
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai pula oleh penurunan
aktivitas degradasi lemak karena hilangnya -glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila
kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status nefrosis, hampir semua kadar
lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat. Peningkatan kadar kolesterol
disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut
kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL ( very low density
lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase ) diduga merupakan penyebab berkurangnya
katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik
plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya
aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
34

untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN.2

BATASAN

Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut
turut dalam 1 minggu.

Relaps : proteinuria 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1


minggu.

Relaps jarang : relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau
kurang dari 4 x per tahun pengamatan.

Relaps sering (frequent relaps) : relaps 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal
atau 4 x dalam periode 1 tahun.

Dependen steroid: relaps 2 x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating)
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.

Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose)
2 mg/kgbb/hari selama 4 minggu.

Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu.2

GEJALA KLINIS2,8,9
Episode pertama penyakit sering mengikuti sindrom seperti influenza, bengkak periorbital,
dan oliguria. Dalam beberapa hari, edema semakin jelas dan menjadi edema anasarka. Keluhan
jarang selain malaise ringan dan nyeri perut. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin
mengakibatkan malnutrisi berat. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia umbilikalis dan
prolaps ani. Bila edema berat dapat timbul dispnoe akibat efusi pleura. Hepatomegali dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis albumin yang meningkat.
Kelainan Urin dan Darah Pada Pasien Sindrom Nefrotik1
35

Status klinis Sindrom Nefrotik disebabkan oleh injuri glomerulus ditandai dengan
peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan
kehilangan protein urinaria yang massif proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam atau
3,5 g/hari), hipoproteinuria, hipoalbuminemia (kurang dari 3,5 g/dl), hiperlipidemia, dan tanpa
ataupun disertai edema dan hiperkolesterolemia. Biasanya sedimen urin normal namun bila
didapati hematuria mikroskopik (>20eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (misal :
sklerosis glomerulus fokal).

Gambaran laboratorium1

Darah :

- Hipoalbuminemia (< 3,5 g/dl)


- Kolesterol meningkat (>200 mg% , TG > 300mg%)
- Kalsium menurun
- Ureum Normal
- Hb menurun, LED meningkat

Urin

- Volumenya : normal sampai kurang


- Berat jenis : normal sampai meningkat
- Proteinuria masif (>29gr / 24 jam)
- Glikosuria akibat disfungsi tubulus proksimal
- Sedimen : silinder hialin, silinder berbutir, silinder lemak, oval fat bodies, leukosit normal
sampai meningkat.
Pemeriksaan urin yang didapatkan1 :
Penilaian berdasarkan tingkat kekeruhan urin (tes asam sulfosalisilat atau tes asam acetat)
didapatkan hasil kekeruhan urin mencapai +4 yang berarti: urin sangat keruh dan
kekeruhan berkeping-keping besar atau bergumpal-gumpal atau memadat (> 0,5%).
Penetapan jumlah protein dengan cara Esbach (modifikasi Tsuchiya) didapatkan hasil
proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15 gram/hari.
Proteinuria berat, ekskresi lebih dari 3,5 gram/l/24jam.
36

Pemeriksaan jumlah urin didapatkan produksi urin berkurang, hal ini berlangsung selama
edema masih ada.
Berat jenis urin meningkat.
Sedimen urin dapat normal atau berupa torak hialin,granula, lipoid
ditemukan oval fat bodies merupakan patognomonik sindrom nefrotik (dengan pewarnaan
Sudan III).
Terdapat leukosit

Pemeriksaan darah yang didapatkan1 :


Hipoalbuminemia sehingga ditemukan perbandingan albumin-globulin terbalik.
Hiperkolesterolemia

PENTALAKSANAAN SINDROM NEFROTIK1


Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar
dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati
komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol
edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,
metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan
mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg
BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II
receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek
aditif dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun
pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti
memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya
mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL.
37

Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)

Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam
urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB
ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.

Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 2 gram/hari. Menggunakan garam


secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan.

Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari

Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap 900 sampai 1200 ml/ hari.

Medikamentosa1:

Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga
kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali
tekanan osmotik plasma.

Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam,
sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton,
atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau
butematid.

Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan

komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler


berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar
albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan
diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan
warna urin serta muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.

Pemberian ACE-inhibitors misalnya enalpril, captopril atau lisinopril untuk menurunkan


pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah.
Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat
tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita
dengan gangguan fungsi ginjal.

38

Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien


yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan
dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 3 mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat
tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal
(terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan
produksi sel sumsum tulang.

Suatu uji klinik melibatkan 73 pasien dengan minimal change nephritic syndrome
secara acak mendapatkan cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 8 atau 12 minggu
masing masing dalam kombinasi dengan prednisone. Tidak ada perbedaan antara dua
kelompok dalam usia, onset neprosis, rasio jenis kelamin, lamanya neprosis atau jumlah
pasien yang relap pada saat masuk penelitian. Diperoleh hasil angka bebas dari relap
selama 5 tahun pada pasien yang mendapat terapi selama 8 minggu adalah 25 % serupa
dengan yang mendapat terapi 12 minggu 24 %. Dari uji klinik tersebut dapat disimpulkan
cyclophosphamide tidak perlu digunakan lebih lama dari 8 minggu dengan dosis 2
mg/kg/hari pada anak anak dalam kombinasi dengan steroid pada minimal change
nephotic syndrome.
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi
steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m2 LPB/hari
atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap
tinggi badan). Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis
40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari),
1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh,
tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

39

Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi
dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgbb secara
alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgbb setiap 2
minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak
menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating. Dosis ini disebut dosis
threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan, kemudian dicoba dihentikan.
Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb,
sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgbb secara alternating. Bila relaps terjadi
pada dosis prednison antara 0,1 0,5 mg/kgbb alternating, maka relaps tersebut diterapi
dengan prednison 1 mg/kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi
remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara
alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps
yang terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternatingtanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau
langsung diberikan siklofosfamid (CPA).
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan
dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau pulv. CPA
pulv diberikan dengan dosis 500 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping
CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu
perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung
trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah
leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL. Efek toksisitas CPA
pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai 200-300 mg/kgbb.
40

Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini
aman bagi anak.11

KOMPLIKASI SINDROM NEFROTIK1


1.

Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan hemostasis pada
sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:

a) Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein didalam urin seperti AT III, protein S
bebas, plasminogen dan antiplasmin.
b) Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2, meningkatnya
sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya fibrinolisis.
Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan
oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang selanjutnya mengakibatkan
pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
2.

Infeksi

sekunder

terutama

infeksi

kulit

oleh

streptococcus,

staphylococcus,

bronkopneumonia, TBC. Erupsi erisipelas pada kulit perut atau paha sering ditemukan.
Pinggiran kelainan kulit ini batasnya tegas, tapi kurang menonjol seperti erisipelas dan
biasanya tidak ditemukan organisme apabila kelainan kulit dibiakan.
3.

Gangguan tubulus renalis


Gangguan klirens air bebas pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan kurangnya
reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya hantaran natrium dan air ke

41

ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin ditandai dengan ketidakmampuan


menurunkan pH urin sesudah pemberian beban asam.
4.

Gagal ginjal akut.


Terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi berkurang, tapi karena edema
interstisial

dengan

akibatnya

meningkatnya

tekanan

tubulus

proksimalis

yang

menyebabkan penurunan LFG.

5.

Anemia
Anemia hipokrom mikrositik, karena defisiensi Fe yang tipikal, namun resisten terhadap
pengobatan preparat Fe.Hal ini disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum
yang menurun akibat proteinuria.

6.

Peritonitis
Adanya edema di mukosa usus membentuk media yang baik untuk perkembangan kumankuman komensal usus. Biasanya akibat infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.

7.

Gangguan keseimbangan hormon dan mineral


Karena protein pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid
(TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik dan laju ekskresi globulin
umumnya berkaitan dengan beratnya proteinuria.
Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunkan kalsium

terikat, tetapi fraksi yang terionisasi normal dan menetap. Disamping itu pasien sering
mengalami hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya proteinuria.
Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi kalsium dalam feses lebih besar daripada
pemasukan. Hubungan antara hipokalsemia, hipokalsiuria, dan menurunnya absorpsi kalsium

42

dalam GIT menunjukan kemungkinan adanya kelainan metabolisme vitamin D namun penyakit
tulang yang nyata pada penderita SN jarang ditemukan.
Penatalaksanaan Komplikasi Sindroma Nefrotik1
Pengobatan komplikasi sindrom nefrotik ini secara simptomatik.
1. Pengobatan kelainan koagulasi dengan pemberian zat anti koagulan dan trombosis
diberikan
trombolitik.
2. Cegah infeksi. Jika terjadi infeksi sekunder maupun peritonitis diberikan antibiotik
terutama
yang berspektrum luas .
3. Pemberian furosemid untuk meningkatkan hantaran ke tubulus distal. Selain itu, furosemid
juga diberikan bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam. Dosis furosemid 1
mg/kgBB/kali, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Bila refrakter,
dapat digunakan hidroklortiazid (25-50 mg/hari). Selama pengobatan diuretik perlu dipantau
kemungkinan hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravascular berat.
4. Jika terjadi gagal ginjal, hal ini membutuhkan proses dialisis, atau cangkok ginjal.
5. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mengurangi inflamasi infeksi kulit. Prednison dosis
penuh : 60 mg/m2 luas permukaan badan/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80
mg/kgBB/hari) selama 4 minggu dilanjutkan pemberian prednison dosis 40 mg/m2 luas
permukaan badan/hari atau 2/3 dosis penuh, yang diberikan 3 hari berturut-turut dalam
seminngu atau selang sehari selama 4 minggu, kemudian dihentikan tanpa tapering off. Bila
relaps, berikan prednison dosis penuh seperti terapi awal sampai terjadi remisi, kemudian
dosis diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh. Bila relaps sering atau resisten steroid, lakukan
biopsi ginjal.
6. 1,25mg kalsiferol sehari (50.000 unit) untuk atasi hipokalsemia, tapi masih dalam tahap
percobaan.

PROGNOSIS1

43

Prognosis makin baik jika dapat di diagnosis segera. Pengobatan segera dapat
mengurangi kerusakan glomerolus lebih lanjut akibat mekanisme kompensasi ginjal maupun
proses autoimun. Prognosis juga baik bila penyakit memberikan respons yang baik terhadap
kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Terapi antibakteri dapat mengurangi kematian akibat
infeksi, tetapi tidak berdaya terhadap kelainan ginjal sehingga akhirnya dapat terjadi gagal ginjal.
Penyembuhan klinis kadang-kadang terdapat setelah pengobatan bertahun-tahun dengan
kortikosteroid.
Kelainan minimal (minimal lesion):
Prognosis lebih baik daripada golongan lainnya; sangat baik untuk anak-anak dan orang dewasa,
bahkan bagi mereka yang tergantung steroid.
Nefropati membranosa (glomrolunefritis membranosa)
Prognosis kurang baik 95% pasien mengalami azotemia dan meninggal akibat uremia dalam
waktu 10-20 tahun.
Glomerulosklerosis fokal segmental
Lebih jarang menyebabkan sindroma nefrotik. Prognosis buruk
Glomerolunefritis proliferatif membranosa (MPGN)
Kelainan ini sering ditemukan pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada
sindrom nefrotik.

44

DAFTAR PUSTAKA

1. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th ed. Jakarta:
IPD FKUI. 2007. Hal: 547-9.
2. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia
Kedokteran No. 150, 2006 53. [cited 2015, June 29]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/18_150_Sin
dromaNefrotikPatogenesis.html.
3. Latief, A. 2000. Diagnosis fisik pada Anak. Jakarta: Sagung Seto.
4. Hanno PM et al. Clinical manual of Urology 3rd edition. New York: Mcgraw-hill.2001.
5. Scanlon VC, Sanders T. Essential of anatomy and physiology. 5 th ed. US: FA Davis
Company;
2007.
45

6. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia Kidney


Care Club. [cited 2015, June 29]. Available: http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170
7. A.Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan
Medik
PAPDI. 3rd ed. Jakarta: PB. PAPDI. 2009.
8. Eric P Cohen.Nephrotic Syndrome. Website: emedicine nephrology. Mar 17, 2010. [cited June
29, 2015]. Available: http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview
9. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2015 June, 29]
10. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrisons Manual Of Medicine. 17th
ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-6.
11.Latta K, von Schnakenburg C, Ehrich JH. A meta-analysis of cytotoxic treatment for
frequently relapsing nephrotic syndrome in children. Pediatr Nephrol 2001;16:271-82.

46

Anda mungkin juga menyukai