Anda di halaman 1dari 15

1

LAPORAN KASUS ANESTESI

Amputasi Cruris Sinistra et causa Gangren Diabetes


Melitus dengan Anestesi Regional
Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesi
Rumah Sakit Islam Sultan Agung

Pembimbing:
dr. Dian Ayu L. , Sp.An
Disusun oleh:
Desy Lila Nurdiana (012116362)
Fatya Nur Aninda (012116391)
Hifna Handria Ningsih (012116409)
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SUKTAN AGUNG
SEMARANG
2016
LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Berat badan
Agama
Alamat
No. RM

: Ny. S
: Perempuan
: 50 tahun
: 65 kg
: Islam
: Kalisih Karang Tengah, Demak
: 1242565

B. Pemeriksaan Pra Anestesi


1. Anamnesa
a. Keluhan utama
: Gangren cruris sinistra
b. Riwayat Penyakit Sekarang
:
Pasien datang ke poli bedah RSI Sultan Agung pada tanggal 27
september 2016 dengan keluhan nyeri kaki kiri bawah, berwarna
hitam, dan berbau busuk. Keluhan dirasakan sudah 5 tahun terakhir.
Pasien merupakan penderita DM tidak terkontrol, dan sudah menderita
DM sejak 10 tahun yang lalu.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
:
Riwayat alergi obat (-)
Riwayat asma (-)
Riwayat DM (+)
Riwayat hipertensi (+)
Riwayat Operasi sebelumnya (-)
2. Pemeriksaan Fisik :
Keadaan Umum
: Compos mentis
Tensi
: 120/70mmHg
Nadi
: 83 x / menit
Suhu Axiler
: 36,5 C
Respirasi
: 16 x / menit
Berat badan
: 65 kg
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung
: nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut
: sianosis (-), gigi goyah/palsu (-)
Telinga
: sekret (-), pendengaran baik
Leher
: glandula thyroid tidak membesar, pembesaran
limponodi (-)
Thorax
: retraksi (-),
Cor : I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis tidak kuat angkat
P : Batas jantung kesan tidak melebar
A: BJ I II intensitas N, reguler, bising (-)
Pulmo : I : Pengembangan dada kanan = kiri
P: Fremitus raba kanan = kiri
P: Sonor-sonor
A: Suara dasar +/+, Suara tambahan -/Abdomen : I

: caput medusa (-) tanda inflamasi (-)

A : Bising usus (+) Normal, DJJ (+) 12/12/11


P

: tympani (+)

: supel, NT (-) , Hepar dan Lien tidak teraba

Ekstremitas
: akral dingin(-), oedem (-), gangren (cruris sinistra +
3. Pemeriksaan laboratorium :
Laboratorium Darah :
25/09/2016

Satuan

Hb

9,5

g/dl

Ht

27,7

GD

PT

9,4

Detik

APTT

31,2

Detik

HbsAg

GDS

167

Mg/dL

Ur

20

Mg/dl

Cr

0,45

Mg/dl

C. Rencana Anestesi
1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi tertulis (+)
b. Oksigenasi 2 L / menit
c. Puasa > 6 jam
d. Infus RL loading
2. Jenis Anestesi
: Regional anestesi
3. Teknik anestesi
: Anestesi spinal
4. Premedikasi
: Ondansentron 4 mg
5. Obat anestesi regional : Bupivakain 20 mg
6. Maintenance
: O2 2 L/menit
7. Monitoring
: tanda vital selama operasi tiap 5 menit, cairan,
perdarahan
8. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan
D. Tata Laksana Anestesi
1. Di ruang persiapan
- Periksa persetujuan operasi dan identitas penderita.
- Pemeriksaan tanda-tanda vital :
T : 120/70 mmHg
N : 83 X/menit
R : 18 X/menit
t : 36,5C
- Cek obat dan alat anestesi.
- Infus RL loading
2. Di Ruang Operasi
- Jam 08:40 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang.

Jam 08:50 mulai dilakukan anestesi spinal dengan prosedur sebagai


berikut:
a. Pasien diminta duduk dengan punggung fleksi maksimal.
b. Dilakukan tindakan antiseptis pada daerah kulit punggung bawah
pasien dengan menggunakan larutan Iodin
c. Menggunakan sarung tangan steril, pungsi lumbal dilakukan
dengan menyuntikkan jarum spinal pada ruang antar vertebra
lumbal 4-5.
d. Setelah jarum sampai di ruang subarachnoid yang ditandai dengan
menetesnya cairan LCS, stilet dicabut dan disuntikkan bupivakain 20
mg.
e. Lokasi penyuntikan ditutup dengan plester
f. Pasien dikembalikan pada posisi telentang. Oksigen 2 liter/menit.

E. Instruksi Pasca Anestesi


a. Rawat pasien posisi head up, kontrol vital sign, oksigen 2 L/menit. Bila
tensi turun di bawah 90/60 mmHg, berikan RL loading 250 cc evaluasi,
bila sudah berikan efedrin 10 mg. Bila muntah, berikan Ondansentron 4
mg/8 jam. Bila kesakitan, berikan Ketorolac 30 mg per 8 jam mulai
pukul 16:00.
b. Lain-lain
-

Bila mual muntah diberikan ondansentron 4 mg IV


Bila kesakitan diberikan ketorolac 30 mg IV
Lain-lain sesuai dokter operator

TINJAUAN PUSTAKA
A. PERSIAPAN ANESTESI REGIONAL

Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan GA karena untuk


mengantisipasi terjadinya toksik sistemik reaction yg bisa berakibat fatal,
perlu persiapan resusitasi. Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke
pembuluh darah dan menimbulkan kolaps kardiovaskular sampai cardiac
arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan, sehingga operasi bisa
dilanjutkan dengan anestesi umum
Daerah disekitar tempat tusukan diteliti apakah akan menimbulkan
kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau pasien
gemuk sekali sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus. Selain itu
harus puladilakukan :
1. Informed consent
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium anjuran
B. PREMEDIKASI
Premedikasi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Dengan
kemajuan teknik anestesi sekarang ini, tujuan utama pemberian premedikasi
tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obatobatan yang digunakan, akan tetapi sebagai persiapan anestesi terutama untuk
menenangkan pasien, menimbulkan rasa nyaman bagi pasien, menghilangkan
rasa khawatir atau cemas. Premedikasi dengan pemberian obat sedatif
menyebabkan penurunan aktivitas mental. Banyak ahli anestesiologi
berpendapat bahwa kantuk membebaskan rasa takut dan ketegangan emosi.
Dengan demikian hemodinamik pasien akan stabil.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis
pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan
demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu
dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat
kecemasan,

riwayat

pemakaian

obat

anestesi

sebelumnya,

riwayat

hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh

terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan


rencana anestesi yang akan digunakan.
Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai
obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini:
1.

Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin.


2. Transquillizer yaitu dari golongan Benzodiazepin, misal diazepam dan
midazolam
3. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital.
4. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin.
5. Antihistamin, misal prometazine.
6. Antasida, misal gelusil
7. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine
Karena khasiat obat premedikasi yang berlainan tersebut, dalam
pemakaian sehari-hari dipakai kombinasi beberapa obat untuk mendapatkan
hasil yang diinginkan, misalnya kombinasi narkotik, benzodiazepin, dan
antikolinergik. Sebaiknya obat-obat premedikasi dilakukan 30 menit sampai
60 menit sebelum induksi.
C. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subarakhnoid) ialah
anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam
ruang subarakhnoid.Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang
subarachnoid akan memblok konduksi impuls syaraf. Terdapat tiga bagian
syarat yaitu motor, sensori dan autonom. Pada umumnya, serabut otonom dan
nyeri yang pertama kali diblok dan serabut motor yang terakhir. hal ini akan
memiliki timbal balik yang penting. Contohnya, vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah yang mendadak mungkin akan terjadi ketika serabut otonom
diblok dan pasien merasakan sentuhan dan masih merasakan sakit ketika
tindakan pembedahan dimulai.

Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus


kutis subkutis lig. Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum
ruang epidural durameter ruang subarachnoid.

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan


serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus
venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3.
Kelebihan pemakaian anestesi spinal, diantaranya biaya minimal,
kepuasan pasien, tidak ada efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga,
dapat dilakukan pada pasien diabetes mellitus, perdarahan minimal, aliran
darah splancnic meningkat, terdapat tonus visceral, jarang terjadi gangguan
koagulasi.
Sedangkan kekurangan pemakaian anestesi spinal akan menimbulkan
hipotensi, hanya dapat digunakan pada operasi dengan durasi tidak lebih dari
dua jam, bila tidak aseptik akan menimbulkan infeksi dalam ruang
subarachnoid dan meningitis, serta kemungkinan terjadi postural headache.6,13.
Indikasi dilakukannya anestesi spinal adalahbedah ekstremitas bawah,
bedah panggul, tindakan sekitar rektum-perineum,bedah obstetri ginekologi,
bedah urologi, bedah abdomen bawah3.
Kontraindikasi dilakukannya anestesi spinal dibagi menjadi kontra
indikasi absolut dan relatif:
1. Kontra indikasi absolut :
a. Pasien menolak untuk dilakukan anestesi spinal

b. Terdapat infeksi pada tempat suntikan


c. Hipovolemia berat sampai syok
d. Menderita

koagulopati

dan

sedang

mendapat

terapi

antikoagulan
e. Tekanan intrakranial yang meningkat
f. Fasilitas untuk melakukan resusitasi minim
g. Kurang berpengalaman atau tanpa konsultan anestesi
2. Kontra indikasi relatif :
a. Menderita infeksi sistemik ( sepsis, bakteremi )
b. Terdapat infeksi disekitar tempat suntikan
c. Kelainan neurologis
d.

Kelainan psikis

e. Bedah lama
f. Menderita penyakit jantung
g. Hipovolemia
h. Nyeri punggung kronis.
Peralatan anestesi spinal:
1. Peralatan monitor, untuk memonitor tekanan darah, nadi, oksimeter denyut
dan EKG
2. Peralatan resusitasi /anestesia umum
3. Jarum spinal

Jarum pinsil (whitecare)

Jarum tajam (QuinckeBabcock)

Teknik analgesia spinal


Posisi duduk atau posisi tidur lateral decubitus dengan tusukan pada garis
tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan diatas
meja operasi tanpa dipindahkan lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan
posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan
menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi dekubitus lateral atau
duduk dan buat pasien membungkuk maksimal agar procesus spinosus
mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-L5, tentukan tempat tusukan misalnya
L2-L3, L3-L4 atau L4-L5. Tusukan pada L1-L2 atau atasnya berisiko
trauma terhadap medulla spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alcohol
4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan misalnya lidokain 1% 2-3ml.
5. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar
22G, 23G, atau 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk jarum
kecil 27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer),
yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc. Jarum akan menembus kutis,
subkutis,

ligamentum

supraspinosum,

ligamentum

interspinosum,

ligamentum flavum, ruang epidural, duramater dan ruang subarachnoid.


Setelah mandrin jarum spinal dicabutcairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal kedalam ruang
subarachnoid tersebut.

10

PEMBAHASAN

Pemberian Obat-obat anestesi:


1. Premedikasi : Ondancentron 4 mg

11

2. Anestesi spinal : Bupivakain 20 mg


3. Maintenance : Oksigen 2 liter/menit.
4. Lain-lain: Oxytocin, metergin, efedrin, dan ketorolac
Ondancentron adalah suatu antagonis 5-HT3, diberikan dengan tujuan
mencegah mual dan muntah pasca operasi agar tidak terjadi aspirasi dan rasa tidak
nyaman. Menurut penelitian obat ini tidak teratogenik, dapat digunakan pada
kehamilan jika ada indikasi.
Penggunaan bupivakain dengan dosis 20 mg dikarenakan potensi
bupivakain sebagai analgetik lokal yang lebih kuat daripada lidokain, namun
tingkat toksisitasnya lebih tinggi. ED50 dan ED95 bupivakain adalah sebesar 7,6
mg dan 11 mg. Efek samping yang paling penting dan sering terjadi terutama
adalah hipotensi dan bradikardi. Beberapa peneliti menurunkan dosis bupivakain
dan menambahkan opioid lipofilik intratekal untuk mengurangi hipotensi dan
mempertahankan kualitas anestesia yang baik. Fentanil merupakan opioid lipofilik
yang banyak digunakan dan mudah didapat. Hunt dkk. menyebutkan bahwa
penambahan 6,25-50 mcg fentanil intratekal akan meningkatkan periode analgesia
perioperatif pada anestesia spinal dengan bupivakain hiperbarik, tetapi tidak
mempengaruhi onset hambatan sensorik dan motorik.
Pemberian vasopresor efedrin bertujuan menaikkan kontraksi miokard,
curah jantung, tekanan darah sampai 50%. Ini dapat mengurangi insidensi
hipotensi sampai 24%. Tetapi sering menimbulkan hipertensi postpartum karena
efedrin bekerja sinergestik dengan obat oksitoksik.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot
pernapasan, abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami
kesulitan bernapas. Untuk mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang
adekuat. Karenanya pada kasus ini diberikan oksigen 2 liter per menit durante dan
post operasi.
Pada kasus ini, yang dilakukan anestesi spinal, saat operasi tidak terjadi
penurunan tekanan darah. Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal
biasanya sering terjadi. Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 75 mmHg atau
terdapat gejala-gejala penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk
menghindari timbulnya syok yang menyebabkan gangguan perfusi transplasental,
cedera ginjal, jantung dan otak. Cara yang digunakan untuk mengatasi keadaan ini

12

di antaranya dengan memberikan oksigen, menaikkan kecepatan tetesan infuse,


dan pemberian obat-obatan.
Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi
spinal. Hipotensi terjadi karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac out put.
Penurunan venous return juga dapat menyebabkan bradikardi. Untuk
mengatasi bradikardi yang terjadi diberikan sulfas atropin 0,25 mg IV.
2. Penurunan resistensi perifer.
Empat alternatif cara pencegahan hipotensi pada anestesia spinal adalah
pemberian vasopresor, modifikasi teknik regional anestesia, modifikasi posisi dan
kompresi tungkai pasien, serta pemberian cairan intravena. Usaha meningkatkan
volume cairan sentral dengan pemberian cairan intravena merupakan cara yang
mudah dilakukan untuk mencegah hipotensi pada anestesia spinal. Cairan yang
diberikan dapat berupa kristaloid atau koloid.Teknik pemberian cairan dapat
dilakukan dengan preloading atau coloading. Preloading adalah pemberian cairan
20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal, sedangkan coloading adalah
pemberian cairan selama 10 menit saat dilakukan anestesia spinal. Pemberian
cairan kristaloid sebagai preloading tidak memperlihatkan manfaat untuk
mencegah hipotensi.
Coloading kristaloid dapat menjadi pilihan untuk mencegah efek samping
hipotensi pada anestesia spinal namun tidak menurunkan angka kejadian
hipotensi. Hal ini ditunjukkan pada penelitian Mojika dkk. yang membandingkan
pemberian RL sebagai preloading dan coloading pada operasi non-obstetrik.
Koloid memiliki keunggulan dibanding kristaloid karena bertahan lebih lama
intravaskular. Keuntungan lain adalah jumlah volume koloid yang diperlukan
untuk mencegah hipotensi lebih sedikit dibanding kristaloid.

13

PENUTUP
A. SIMPULAN
Pemilihan jenis dan teknik anestesi didasarkan atas kondisi pasien,
waktu perencanaan yang tersedia, keinginan pasien, serta kemampuan ahli
anestesi. Anestesi spinal masih menjadi pilihan anestesia untuk bedah
amputasi. Anestesia spinal membuat pasien tetapdalam keadaan sadar
sehingga masa pulih lebih cepat dandapat dimobilisasi lebih cepat.

14

Pemberian cairan masih dianjurkan untuk mencegahperubahan


hemodinamik dan efek sampingnya pada anestesia spinal untuk bedah sesar.
Kombinasi dengan teknik laindibutuhkan untuk mendapatkan hasil yang lebih
baik. Anestesia spinal menggunakan bupivakainditambah fentanil lebih
efektifkarena

menghasilkan

analgesia

intraoperatif

yangadekuat

dan

hemodinamik yang lebih stabil. Dapat diberikan vasopresor untuk mencegah


hipotensi.

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Sarwono. Ilmu Kebidanan. Ed II. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka. 1999
2. Atkison, R.S., et al.A synopsis of Anasthaesia, 10 th edition. PG
Publishing Ltd. Singapore. 1998.
3. Morgan, GE et al. Obstetric Anestesia Dalam: Clinical Anesthesiology 3 rd
ed. New York: Mc Graw Hill, 2005: 819-48
4. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF; Terjemahan: Suyono J,
Hartono A. Obstetri Williams. Edisi 21 vol 2. Jakarta : EGC; 2005 ; p. 206,
375-91, 511-34, 595
5. Norris MC. Handbook of Obstetri Anaesthesia. Philadelphia : Wolters
Kluwer Company; 2000; p. 247-91
6. Chestnut DH. Obstetric Anesthesia Principles and Practice. 3rd Ed.
Mosby. Philadelphia. 2004.
7. Leksana E. Belajar Ilmu Anestesia. Edisi I. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. 2004, hal:13-20.
8. Boulton TB, Blogg CE, Hewer CL. Anaesthethic for Medical Students.
Churchill Livingstone. London. 1989.
9. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI. Jakarta. 2001.
10. Cuningham FG, et al. Obstetri Williams. 21nd ed. Jakarta: EGC. 2005
11. Winkjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi III. Jakarta: YBP-SP. 2007
12. Wee MYK, Brown H, Reynolds F. The National Institute of Clinical
Excellence (NICE) guidelinesfor caesarean sections: implications for the
anaesthetist. International Journal of Obstetric Anesthesia 2005; 14: p.
147-58.
13. Mojica JL, Melendez HJ, Bautista LE. The Timing of Intravenous
Crystaloid Administration and Incidence ofCardiovascular Side Eff ect
During Spinal Anesthesia:The Results from a Randomized Controlled
Trial. AnesthAnalg 2002; 94: 432-7.
14. Morgan PJ. The Eff ect of Increasing Central Blood Volume to Decrease
the Incidence of Hypotension Following Spinal Anesthesia for Cesarean
Section. In HalpernSH, Douglas MJ. Evidence Based Obstetric
Anesthesia.Massacuse+ s: Blackwell Publishing, Inc; 2005, 89-100.
15. Mcllroy DR, Karasch ED. Acute Intravascular Volume Expansion with
Rapidly Administered Crystalloid or Colloid in the Setting of Moderate
Hypovolemia. AnesthAnalg 2003; 96: 1572-7.
16. Ginosar Y, Mirikatani E, Drover DR, Cohen SE, Riley ET. ED50 and
ED95 of intrathecal hyperbaric bupivacaine coadministered with opioid in
cesarean delivery. Anesthesiology 2004;100:676-82.
17.
Hunt CO, et al. Perioperative analgesia with subarachnoid
fentanyl-bupivacaine for cesarean section. Anesthesiology 1999;71:53540.

Anda mungkin juga menyukai