NITA HERAWATI
H1A 007 061
PEMBIMBING :
dr. Abdul Razak, Sp.A
BAB I
PENDAHULUAN
Thalassemia adalah kelainan bawaan dari sintesis hemoglobin. Presentasi klinisnya
bervariasi dari asimtomatik sampai berat hingga mengancam jiwa. Dahulu dinamakan
sebagai Mediterannian anemia, diusulkan oleh Whipple, namun kurang tepat karena
sebenarnya kondisi ini dapat ditemukan di mana saja di seluruh dunia. Seperti yang akan
dijelaskan selanjutnya, beberapa tipe berbeda dari thalassemia lebih endemik pada area
geografis tertentu (Yunanda 2008).
Pada tahun 1925, Thomas Cooley, seorang spesialis anak dari Detroit,
mendeskripsikan suatu tipe anemia berat pada anak-anak yang berasal dari Italia. Beliau
menemukan adanya nukleasi sel darah merah yang masif pada hapusan darah tepi, yang
mana awalnya beliau pikir sebagai anemia eritroblastik, suatu keadaan yang disebutkan
oleh von Jaksh sebelumnya. Namun ak lama kemudian, Cooley menyadari bahwa
eritroblastemia tidak spesifik dan esensial pada temuan ini sehingga istilah anemia
eritroblastik tidak dapat dipakai. Meskipun Cooley curiga akan adanya pengaruh genetik
dari kelainan ini, namun beliau gagal dalam menginvestigasi orangtua sehat pada anakanak yang mengidap kelainan ini (Yunanda 2008, Hasan et al 1985).
Di Eropa, Riette mendeskripsikan mengenai adanya anemia mikrositik hipokromik
ringan yang tak terjelaskan pada anak-anak keturunan Italia pada tahun yang sama saat
Cooley melaporan adanya bentuk anemia berat yang akhirnya dinamakan mengikutinya
namanya. Sebagi tambahan, Wintrobe di Amerika Serikat melaporkan adanya anemia
ringan pada kedua orangtua dari anak yang mengidap anemia Cooley. Anemia ini sangat
mirip dengan kelainan yang ditemukan Riette. Baru setelah itu anemia Cooley dinyatakan
sebagai bentuk homozigot dari anemia hipokromik mikrositik ringan yang dideskripsikan
oleh Riette dan Wintrobe. Bentuk anemia berat ini kemudian dilabelisasi sebagai
thalassemia mayor dan bentuk ringannya dinamakan sebagai thalassemia minor. Kata
thalassemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalassa yang berarti laut (mengarah ke
Mediterania), dan emia, yang berarti berhubungan dengan darah (Yunanda 2008, Sutaryo
et al 2010).
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalassemia. Fakta
ini mendukung thalassemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak yang
menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat pada hampir seluruh negara di dunia
(Yunanda, 2008).
Beberapa penelitian khususnya thalassemia melaporkan data terbaru yang cukup
representative yang mewakili 17 populasi di Indonesia menunjukkan prevalensi carrier
yang bervariasi yaitu 0-10% (Genie at al, 2004).
Sementara itu keberadaan carrier thalasemia di Indonesia masih kurang
dicermati, walaupun telah dilaporkan bahwa prevalensinya cukup tinggi pada berbagai
populasi di daratan Asia. WHO (1987) memperkirakan ada 13.000-16.000 bayi thalassemia
lahir setia tahun di dunia. Jika mereka mencapai usia dewasa, diperkirakan ada sekitar
680.000 penderita thalasspeia di asia tenggara. Estimasi Wong (1983) memperkirakan
hanya ada sekitra 0,5% dari total penduduk Indonesia yang membawa sifat kelainan darah
dan angka ini jauh lebih rendah dari prevalensi carrier thalassemia yang diperkirakan
mencapai 3,5%. Namun banyak peneliti percaya bahwa prevalensi carrier thalassemia
di Indonesia jauh diatas yang diperkirakan Wong (Genie at al, 2004).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Thalasemia merupakan sindrom kelainan yang diwariskan (inherited) dan
Epidemiologi
Di seluruh dunia, 15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalassemia.
Fakta ini mendukung thalassemia sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak yang
menyerang hampir semua golongan etnik dan terdapat pada hampir seluruh negara di
dunia.1 Di dunia, diperkirakan ada sekitar 270 juta karier yang berpotensi menjadi
thalasemia berat. Dari hasil pendataan didapatkan sekitar 300.000 400.000 kasus pada
bayi baru lahir setiap tahunnya, lebih dari 95% terjadi di Asia, India, dan Timur Tengah.
Perkiraan persentase thalasemia di berbagai wilayah di dunia, yaitu Eropa 4-12%, Timur
Tengah dan Asia Barat 12-25%, Asia Tenggara 6-75%, Afrika 11-50%, Amerika Selatan
dan Karibia 7% (Sutaryo et al, 2010).
Pada thalasemia frekuensi penyakit tergantung dari populasi etnik. Thalasemia
dilaporkan lebih banyak angka kejadiannya pada populasi Mediterania, Afrika, dan Asia
Tenggara. Insidensi kejadiannya dapat mencapai 10% pada daerah tersebut. Namun kini,
adanya imigrasi dan emigrasi penduduk menyebabkan perubahan demografi dan pasien
dengan sindrom thalasemia dan carier heterozigot dapat ditemukan di seluruh bagian dunia
(Sutaryo et al, 2010).
Mortalitas dan Morbiditas
Thalassemia- mayor adalah penyakit yang mematikan, dan semua janin yang
terkena akan lahir dalam keadaan hydrops fetalis akibat anemia berat. Beberapa laporan
pernah mendeskripsikan adanya neonatus dengan thalassemia- mayor yang bertahan
setelah mendapat transfusi intrauterin. Penderita seperti ini membutuhkan perawatan medis
4
yang ekstensif setelahnya, termasuk transfusi darah teratur dan terapi khelasi, sama dengan
penderita thalassemia- mayor. Terdapat juga laporan kasus yang lebih jarang mengenai
neonatus dengan thalassemia- mayor yang lahir tanpa hydrops fetalis yang bertahan tanpa
transfusi intrauterin. Pada kasus ini, tingginya level Hb Portland, yang merupakan Hb
fungsional embrionik, diperkirakan sebagai penyebab kondisi klinis yang jarang tersebut.1
Pada pasien dengan berbagai tipe thalassemia-, mortalitas dan morbiditas
bervariasi sesuai tingkat keparahan dan kualitas perawatan. Thalassemia- mayor yang
berat akan berakibat fatal bila tidak diterapi. Gagal jantung akibat anemia berat atau iron
overload adalah penyebab tersering kematian pada penderita. Penyakit hati, infeksi
fulminan, atau komplikasi lainnya yang dicetuskan oleh penyakit ini atau terapinya
termasuk merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas pada bentuk thalassemia yang
berat (Sutaryo et al 2010, Hasan et al 1985).
Mortalitas dan morbiditas tidak terbatas hanya pada penderita yang tidak diterapi;
mereka yang mendapat terapi yang dirancang dengan baik tetap berisiko mengalami
bermacam-macam komplikasi. Kerusakan organ akibat iron overload, infeksi berat yang
kronis yang dicetuskan transfusi darah, atau komplikasi dari terapi khelasi, seperti katarak,
tuli, atau infeksi, merupakan komplikasi yang potensial (Yunanda, 2008).
Usia
Meskipun thalassemia merupakan penyakit turunan (genetik), usia saat timbulnya
gejala bervariasi secara signifikan. Dalam talasemia, kelainan klinis pada pasien dengan
kasus-kasus yang parah dan temuan hematologik pada pembawa (carrier) tampak jelas
pada saat lahir. Ditemukannya hipokromia dan mikrositosis yang tidak jelas penyebabnya
pada neonatus. Namun, pada thalassemia- berat, gejala mungkin tidak jelas sampai paruh
kedua tahun pertama kehidupan, sampai waktu itu, produksi rantai globin dan
penggabungannya ke Hb Fetal dapat menutupi gejala untuk sementara. Bentuk thalassemia
ringan sering ditemukan secara kebetulan pada berbagai usia (Yunanda 2008, Hasan et al
1985).
Banyak pasien dengan kondisi thalassemia- homozigot yang jelas (yaitu,
hipokromasia, mikrositosis, elektroforesis negatif untuk Hb A, bukti bahwa kedua orang
tua terpengaruh) mungkin tidak menunjukkan gejala atau anemia yang signifikan selama
beberapa tahun. Hampir semua pasien dengan kondisi tersebut dikategorikan sebagai
thalassemia- intermedia. Situasi ini biasanya terjadi jika pasien mengalami mutasi yang
lebih ringan (Yunanda 2008, Hasan et al 1985).
2.3
Patofisiologi
Thalassemia adalah kelainan herediter dari sintesis Hb akibat dari gangguan
produksi rantai globin. Penurunan produksi dari satu atau lebih rantai globin tertentu
(,,,) akan menghentikan sintesis Hb dan menghasilkan ketidakseimbangan dengan
terjadinya produksi rantai globin lain yang normal (Hay & Levin 2007).
Karena dua tipe rantai globin ( dan non-) berpasangan antara satu sama lain
dengan rasio hampir 1:1 untuk membentuk Hb normal, maka akan terjadi produksi
berlebihan dari rantai globin yang normal dan terjadi akumulasi rantai tersebut di dalam sel
menyebabkan sel menjadi tidak stabil dan memudahkan terjadinya destruksi sel.
Ketidakseimbangan ini merupakan suatu tanda khas pada semua bentuk thalassemia.
Karena alasan ini, pada sebagian besar thalassemia kurang sesuai disebut sebagai
hemoglobinopati karena pada tipe-tipe thalassemia tersebut didapatkan rantai globin
normal secara struktural dan juga karena defeknya terbatas pada menurunnya produksi dari
rantai globin tertentu (Sutaryo et al, 2010).
Tipe thalassemia biasanya membawa nama dari rantai yang tereduksi. Reduksi
bervariasi dari mulai sedikit penurunan hingga tidak diproduksi sama sekali (complete
absence). Sebagai contoh, apabila rantai hanya sedikit diproduksi, tipe thalassemia-nya
dinamakan sebagai thalassemia-+, sedangkan tipe thalassemia- menandakan bahwa
pada tipe tersebut rantai tidak diproduksi sama sekali. Konsekuensi dari gangguan
produksi rantai globin mengakibatkan berkurangnya deposisi Hb pada sel darah merah
(hipokromatik) (Sutaryo et al, 2010).
Defisiensi Hb menyebabkan sel darah merah menjadi lebih kecil, yang mengarah
ke gambaran klasik thalassemia yaitu anemia hipokromik mikrositik. Hal ini berlaku
hampir pada semua bentuk anemia yang disebabkan oleh adanya gangguan produksi dari
salah satu atau kedua komponen Hb : heme atau globin. Namun hal ini tidak terjadi pada
silent carrier, karena pada penderita ini jumlah Hb dan indeks sel darah merah berada
dalam batas normal (Sutaryo et al, 2010).
Pada tipe trait thalassemia- yang paling umum, level Hb A2 (2/2) biasanya
meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan rantai oleh rantai bebas
yang eksesif, akibat kekurangan rantai adekuat untuk dijadikan pasangan. Gen , tidak
seperti gen dan , diketahui memiliki keterbatasan fisiologis dalam kemampuannya
untuk memproduksi rantai yang stabil, dengan berpasangan dengan rantai , rantai
memproduksi Hb A2 (kira-kira 2,5-3% dari total Hb). Sebagian dari rantai yang
berlebihan digunakan untuk membentuk Hb A2, dimana sisanya (rantai ) akan
terpresipitasi di dalam sel, bereaksi dengan membran sel, mengintervensi divisi sel normal,
dan bertindak sebagai benda asing sehingga terjadinya destruksi dari sel darah merah.
Tingkat toksisitas yang disebabkan oleh rantai yang berlebihan bervariasi berdasarkan tipe
dari rantai itu sendiri (misalnya toksisitas dari rantai pada thalassemia- lebih nyata
dibandingkan toksisitas rantai pada thalassemia-). Dalam bentuk yang berat, seperti
thalassemia- mayor atau anemia Cooley, berlaku patofisiologi yang sama dimana terdapat
adanya substansial yang berlebihan. Kelebihan rantai bebas yang signifikan akibat
kurangnya rantai akan menyebabkan terjadinya pemecahan prekursor sel darah merah di
sumsum tulang (eritropoesis inefektif)
Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan produksi dari rantai
, yang mampu untuk berpasangan dengan sebagian rantai yang berlebihan untuk
membentuk Hb F, adalah suatu hal yang menguntungkan. Ikatan dengan sebagian rantai
berlebih tidak diragukan lagi dapat mengurangi gejala dari penyakit dan menghasilkan Hb
tambahan yang memiliki kemampuan untuk membawa oksigen. Selanjutnya, peningkatan
produksi Hb F sebagai respon terhadap anemia berat, menimbulkan mekanisme lain untuk
9
melindungi sel darah merah pada penderita dengan thalassemia-. Peningkatan level Hb F
akan meningkatkan afinitas oksigen, menyebabkan terjadinya hipoksia, dimana, bersamasama dengan anemia berat akan menstimulasi produksi dari eritropoetin. Akibatnya,
ekspansi luas dari massa eritroid yang inefektif akan menyebabkan ekspansi tulang berat
dan deformitas. Baik penyerapan besi dan laju metabolisme akan meningkat, berkontribusi
untuk menambah gejala klinis dan manifestasi laboratorium dari penyakit ini. Sel darah
merah abnormal dalam jumlah besar akan diproses di limpa, yang bersama-sama dengan
adanya hematopoesis sebagai respon dari anemia yang tidak diterapi, akan menyebabkan
splenomegali masif yang akhirnya akan menimbulkan terjadinya hipersplenisme. Apabila
anemia kronik pada penderita dikoreksi dengan transfusi darah secara teratur, maka
ekspansi luas dari sumsum tulang akibat eritropoesis inefektif dapat dicegah atau
dikembalikan seperti semula. Memberikan sumber besi tambahan secara teori hanya akan
lebih merugikan pasien. Namun, hal ini bukanlah masalah yang sebenarnya, karena
penyerapan besi diregulasi oleh dua faktor utama : eritropoesis inefektif dan jumlah besi
pada penderita yang bersangkutan. Eritropoesis yang inefektif akan menyebabkan
peningkatan absorpsi besi karena adanya downregulation dari gen HAMP, yang
memproduksi hormone hepar yang dinamakan hepcidin, regulator utama pada absorpsi
besi di usus dan resirkulasi besi oleh makrofag. Hal ini terjadi pada penderita dengan
thalassemia intermedia (Rachmilewitz, 2005).
Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat diperbaiki, dan
terjadi peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan besi akan
berkurang dan makrofag akan mempertahankan kadar besi. Pada pasien dengan iron
overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi besi menurun akibat meningkatnya jumlah
hepsidin. Namun, hal ini tidak terjadi pada penderita thalassemia- berat karena diduga
faktor plasma menggantikan mekanisme tersebut dan mencegah terjadinya produksi
hepsidin sehingga absorpsi besi terus berlangsung meskipun penderita dalam keadaan iron
overload. Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain bernama
ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag menuju plasma dan
menghantarkan besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin diregulasi oleh jumlah
penyimpanan besi dan jumlah hepsidin. Hubungan ini juga menjelaskan mengapa
penderita dengan thalassemia- yang memiliki jumlah besi yang sama memiliki jumlah
10
ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah mereka mendapat transfusi darah teratur atau
tidak. Sebagai contoh, penderita thalassemia- intermedia yang tidak mendapatkan
transfusi darah memiliki jumlah ferritin yang lebih rendah dibandingkan dengan penderita
yang mendapatkan transfuse darah secara teratur, meskipun keduanya memiliki jumlah
besi yang sama (Rachmilewitz, 2005, Sutaryo et all 2010).
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan protein
pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada thalassemia
berat, transferrin tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma. Besi ini cukup berbahaya
karena memiliki material untuk memproduksi hidroksil radikal dan akhirnya akan
terakumulasi
pada
organ-organ,
seperti
jantung,
kelenjar
endokrin,
dan
hati,
penurunan produksi satu atau lebih rantai globin, yang membentuk bermacam-macam jenis
Hb yang ditemukan pada sel darah merah. Jenis yang paling penting dalam praktek klinis
adalah sindrom yang mempengaruhi baik atau sintesis rantai maupun (Bleibel et al
2007).
Thalassemia-
Anemia mikrositik yang disebabkan oleh defisiensi sintesis globin- banyak ditemukan di
Afrika, negara di daerah Mediterania, dan sebagian besar Asia. Delesi gen globin-
menyebabkan sebagian besar kelainan ini. Terdapat empat gen globin- pada individu
normal, dan empat bentuk thalassemia- yang berbeda telah diketahui sesuai dengan delesi
satu, dua, tiga, dan semua empat gen ini (Bleibel et al, 2007).
Tabel 1. Thalassemia
11
12
Penyakit Hb H
Kelainan disebabkan oleh hilangnya 3 gen globin , merepresentasikan
thalassemia- intermedia, dengan anemia sedang sampai berat, splenomegali, ikterus, dan
jumlah sel darah merah yang abnormal. Pada sediaan apus darah tepi yang diwarnai
dengan pewarnaan supravital akan tampak sel-sel darah merah yang diinklusi oleh rantai
tetramer (Hb H) yang tidak stabil dan terpresipitasi di dalam eritrosit, sehingga
menampilkan gambaran golf ball. Badan inklusi ini dinamakan sebagai Heinz bodies
(Rachmilewitz, 2005).
Thalassemia- mayor
Bentuk thalassemia yang paling berat, disebabkan oleh delesi semua gen globin-,
disertai dengan tidak ada sintesis rantai sama sekali. Karena Hb F, Hb A, dan Hb A2
semuanya mengandung rantai , maka tidak satupun dari Hb ini terbentuk. Hb Barts (4)
mendominasi pada bayi yang menderita, dan karena 4 memiliki afinitas oksigen yang
tinggi, maka bayi-bayi itu mengalami hipoksia berat. Eritrositnya juga mengandung
sejumlah kecil Hb embrional normal (Hb Portland = 22), yang berfungsi sebagai
pengangkut oksigen. Kebanyakan dari bayi-bayi ini lahir mati, dan kebanyakan dari bayi
yang lahir hidup meninggal dalam waktu beberapa jam. Bayi ini sangat hidropik, dengan
13
gagal jantung kongestif dan edema anasarka berat. Yang dapat hidup dengan manajemen
neonatus agresif juga nantinya akan sangat bergantung dengan transfuse (Bleibel et al
2007, , Hasan et al 1985, Sutaryo et al 2010).
Thalassemia-
Trait thalassemia-
14
16
2.5 Terapi
Pasien thalasemia minor tidak membutuhkan pengobatan secara spesifik sedangkan
penatalaksanaan untuk pasien thalasemia mayor meliputi terapi transfusi darah, iron
chelating therapy, splenektomi, dan transplantasi sumsum tulang (hay & Levin 2007,
Sutaryo 2010).
Transfusi Sel Darah Merah
Transfusi darah secara regular bertujuan untuk mempertahankan level hemoglobin
sekitar 9-10 g/dl yang memungkinkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak serta
mengurangi komplikasi akibat hepatosplenomegali ataupun deformitas tulang akibat
hematopoesis ekstramedular. Keputusan untuk memulai program transfusi didasarkan pada
kadar hemoglobin < 6 g/dl dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut, yang
berhubungan dengan pertumbuhan yang terganggu, pembesaran limpa, dan atau ekspansi
sumsum tulang. Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus
diukur, vaksin hepatitis B diberikan, dan fenotip sel darah merah secara lengkap
ditentukan, sehingga alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi. Untuk pasien thalasemia,
transfusi darah yang diberikan ialah packed red cell (Sutaryo 2010, Hegar et al 2010).
Komplikasi utama dari transfusi adalah yang berkaitan dengan transmisi bahan
infeksius ataupun terjadinya iron overload. Penderita thalassemia mayor biasanya lebih
mudah untuk terkena infeksi dibanding anak normal, bahkan tanpa diberikan transfusi.
Beberapa tahun lalu, 25% pasien yang menerima transfusi terekspose virus hepatitis B.
Saat ini, dengan adanya imunisasi, insidens tersebut sudah jauh berkurang. Virus Hepatitis
C (HCV) merupakan penyebab utama hepatitis pada remaja usia di atas 15 tahun dengan
17
thalassemia. Infeksi oleh organisme opurtunistik dapat menyebabkan demam dan enteriris
pada penderita dengan iron overload, khususnya mereka yang mendapat terapi khelasi
dengan Deferoksamin (DFO). Demam yang tidak jelas penyebabnya, sebaiknya diterapi
dengan Gentamisin dan Trimetoprim-Sulfametoksazol (Cunningham, 2008).
Chelating Therapy
Tujuan utama terapi pengikat besi (chelating therapy) adalah untuk mengontrol
jumlah besi tubuh secara optimal, sedangkan tujuan konservatif pemberian terapi pengikat
besi pada pasien thalasemia mayor adalah untuk mempertahankan konsentrasi simpanan
besi hati sekitar 3,2-7 mg/g berat jaringan hati. Selain untuk menurunkan simpanan besi
jaringan, tujuan lain dari terapi pengikat besi ini ialah penurunan fraksi besi plasma yang
18
tidak terikat transferin (non-transferin bound plasma iron) (Sutaryo 2010, Hasan et al
1985, Takeshita 2007).
Splenektomi
Splenektomi dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30% pada
pasien yang indeks transfusinya (dihitung dari penambahan PRC yang diberikan selama
setahun dibagi berat badan dalam kg pada pertengahan tahun) melebihi 200 ml/kg/tahun.
Karena adanya risiko infeksi, splenektomi sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun.
Sedikitnya 2-3 minggu sebelum dilakukan splenektomi, pasien sebaiknya divaksinasi
dengan vaksin Pneumococcal dan Haemophylus influenzae type B dan sehari setelah
operasi diberi penisilin profilaksis. Bila anak alergi penisilin, dapat diganti dengan
eritromisin (Sutaryo 2010, Hegar et al 2010, Hasan et al 1985).
Transplantasi Sumsum Tulang
Keberhasilan transplantasi allogenik pada pasien thalasemia, membebaskan pasien
dari transfusi kronis, namun tidak menghilangkan kebutuhan terapi pengikat besi pada
semua kasus. Baik flebotomi maupun pemberian desferioksamin jangka pendek aman dan
efektif untuk menurunkan besi jaringan pada pasien eks-thalasemia dan dapat dimulai 1
jam setelah transplantasi sumsum tulang jika konsentrasi besi > 7 mg/kg berat kering
jaringan hati pada saat itu (Sutaryo 2010, Tkeshita 2007)
BAB III
LAPORAN KASUS
19
3.1
Identitas
Identitas Pasien
Nama pasien
: An. S
Jenis kelamin
: Laki laki
Umur
: 8 tahun 10 bulan
Alamat
: Anak kandung
Tanggal Masuk RS
: 21-12-2015
Identitas Keluarga
Nama
Umur
Pendidikan / berapa tahun
Pekerjaan
3.2
Ibu
Ny. Nurfitriani
27 tahun
SMA
Ibu Rumah Tangga
Ayah
Tn. Safrizal Azwar
35 tahun
Strata 1
Pegawai Negeri Sipil
Ibu pasien menyangkal adanya keluhan batuk pilek maupun nyeri tenggorokan
sebelumnya pada anaknya. Ibu pasien juga mengatakan sejak masuk sekolah anaknya
sering mengalami demam dan makanan tidak terkontrol.
Ibu pasien juga mengeluhkan pasien terlihat pucat. Pucat pada pasien mulai terlihat
pada usia satu tahun dan pasien juga terlihat agak kuning pada mata dan kulitnya sejak
umur satu tahun.
Pasien tidak mengeluhkan mual dan muntah. Nafsu makan pasien menurun sejak
sakit. BAK 3-4 kali sehari, warna kekuningan, tidak terdapat darah maupun nyeri saat
BAK. BAB terakhir satu hari sebelum masuk rumah sakit 1 kali, konsistensi lunak warna
kuning, tidak ada darah, lender, maupun busa.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien sering mengalami demam sebelumnya namun sembuh dengan obat yang
didapatkan dari puskesmas. Batuk pilek dan demam sering dialami pasien namun dapat
sembuh dengan obat yang didapatkan dari puskesmas. Pasien rutin menjalani transfusi
setiap bulan di rumah sakit. Keluhan serupa sudah sering dialami pasien. Keluhan tersebut
mulai dirasakan pasien pada usia satu tahun. Saat itu pasien dikeluhkan demam dan pernah
mengalami kejang sebanyak dua kali. Riwayat asma (-), riwayat alergi (-), malaria (-),
cacingan (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Keluhan serupa dirasakan oleh kakak pasien. Kakak pasien dinyatakan mengalami
penyakit yang sama dengan adiknya dan rutin menjalani transfusi setiap bulan. Riwayat
keluarga atau tetangga dengan batuk lama (-), keluarga yang terkena TB (-), malaria (-),
asma (-). Riwayat keluarga yang sering terlihat pucat (+) yaitu pada kakak pasien dan rutin
mendapatkan transfusi darah.
Riwayat Pengobatan :
Selama sakit pasien pernah dibawa ke puskesmas dan mendapatkan obat penurun
panas. Namun keluhan demam tidak membaik.
Riwayat Pribadi
21
Riwayat kehamilan dan persalinan : Selama kehamilan ibu pasien rutin melakukan
pemeriksaan kehamilan (ANC) pada saat posyandu, ibu pasien melakukan ANC
sebanyak 8 kali, selama hamil ibu pasien tidak pernah mengalami penyakit berat/
diopname, riwayat rontgen selama hamil (-), riwayat minum obat atau jamu-jamuan
selama hamil (-). Pasien merupakan anak kedua, lahir secara normal, cukup bulan
dan langsung menangis, berat badan lahir 3.000 gram. Riwayat kuning/biru setelah
lahir disangkal.
Riwayat Nutrisi : Pasien diberikan ASI sampai umur 2 tahun. Selama usia 0-6 bulan
pasien hanya diberi ASI saja, sedangkan PASI diberikan setelah berusia lebih dari 6
bulan. Pada usianya saat ini, pasien makan nasi dan lauk pauk sebanyak 3-4 kali
sehari, ibu pasien mengatakan pasien tidak menyukai sayur dan sangat jarang makan
sayur. Sejak sakit nafsu makan pasien menurun menjadi hanya 1-2 kali sehari.
Perkembangan dan Kepandaian :
Orang tua pasien menyatakan perkembangan anaknya cukup baik. Pasien bisa
merangkak saat berusia 7 bulan dan mulai bisa berjalan sekitar umur 1,5 tahun.
Pasien bisa berbicara sejak usia 1 tahun. Saat ini pasien telah mengikuti pendidikan
sekolah dasar dan dapat mengikuti pelajaran yang diberikan. Pasien termasuk anak
yang aktif dan sering bergaul dengan teman-teman seumurannya.
Riwayat Imunisasi : Ibu pasien mengaku anaknya sudah mendapat imunisasi
lengkap sesuai dengan umur dan jadwal imunisasi.
Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan: Pasien merupakan anak kedua dari pernikahan
kedua orang tuanya. Pasien tinggal serumah berempat dengan kedua orang tua dan
kakaknya. Bapak pasien bekerja sebagai pegawai negeri sipil dengan penghasilan
3.000.000 per bulannya.
3.3
: Compos Mentis
GCS
: E4V5M6
Vital Sign
Nadi
Pernapasan
: 26 x/menit
Temperature : 37,3 oC
Status Gizi
Berat Badan : 22 kg
Tinggi Badan : 103 cm
Lingkar Kepala : 50 cm +2SD ~ (-2SD) normochepali
Umur
: 8 tahun 10 bulan
x 100%
17 kg
BB/U
x 100%
22 kg
TB/U
x 100%
23
Status General :
Kepala dan Leher :
1. Bentuk : Normocephalic, facies Cooley (tengkorak menonjol, tulang frontal dan
parietal menonjol dan maksila membesar.
2.
3.
THT
Telinga
Hidung
Mulut : Bibir sianosis (-), lidah dan mukosa mulut normal, struktur
gigi atas dan bawah normal, palatum normal
5.
Thorax :
Inspeksi : Retraksi subcostal (-), pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Gerakan dinding dada simetris, fremitus vokal sama antara kiri dan kanan
Perkusi :
Pulmo : Sonor pada kedua lapang paru
Cor
Auskultasi:
Pulmo : Vesikuler (+/+) , Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor
Abdomen :
Inspeksi
: Timpani
24
Palpasi
: Supel, nyeri tekan (-), hepar teraba 2 jari di bawah arcus costa, Lien
shufner II
Anggota Gerak:
Tungkai Atas
Kanan
+
+
-
Kiri
+
+
-
Tungkai Bawah
Kanan
Kiri
+
+
+
+
-
Aksiler
Axilla
Inguinal
Akral hangat
Edema
Pucat
Kelainan bentuk
Pembengkakan Sendi
Pembesaran KGB
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Darah Lengkap Tanggal (21 12 2015)
WBC
: 6,80 x 103/L
(N = 4x103 11x103/L)
RBC
: 3,18 x 106/L
(N = 3,5x106 5,0x106/L)
HGB
: 8,5 g/dl
(N = 12 16 g/dl)
HCT
: 24,5%
(N = 37 48%)
MCV
: 77 fL
(N = 82 95 fL)
MCH
: 26,7 pg
(N = 27 - 31 pg)
MCHC
: 34,7 g/dl
(N = 31,0 36 g/dl)
PLT
: 224 x 103/L
(N = 150x103 400x103/L)
Retikulosit
: 6,9 %
(N = 0,5 1,5 % )
Eritrosit: Hipokrom anisopoikilositosis. Dijumpai mikrosit (++), target cell (++), ovalosit
(+), fragmentosit (++), sperosit (+), teardrop cell (+), stomatosit (+), sel polikromatofilik
(+), normoblast (+).
Leukosit : kesan jumlah normal.
Trombosit: kesan jumlah dalam batas normal, giant trombosit (-)
Kesimpulan:
Kesan: mencurigakan suatu thalasemia tanpa disertai leukositosis dan tidak ada curiga ke
arah proses infeksi
Serum iron (SI) : 48 (N: 2-12 tahun laki-laki 22-135)
Total iron binding capacity (TIBC): 225 (N:260-420)
Elektrofooresis Hb:
3.5
dengan keluhan lemas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, Lemas diraskan ketika
bermain dan ketika belajar disekolah. Ibu pasien mengatakan pasien cepat merasa
kelelahan dan tidak bertenaga terutama ketika belajar disekolah dan bermain dengan
teman-temannya, ibu pasien juga mengakui pasien cepat merasa ngantuk, keluhan tersebut
dirasakan tidak seperti biasanya. Kemerahan pada kulit (-), perdarahan spontan pada kulit,
gusi, hidung ataupun telinga (-). Pasien juga mengeluh sesak nafas sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, tidak disertai dengan bunyi ngik-ngik, tidak ada tarikan pada dinding
dada pasien. Cuping hidung pasien tidak terlihat kembang kempis. Sebelum sesak muncul
pasien mengalami batuk 2 hari sebelumnya. Batuk berdahak berwarna putih kental dan
sulit untuk dikeluarkan. Batuk tidak disertai dahak bercampur darah. Pasien terlihat pucat
yang dialami ketika keluhan lemas muncul. Pucat pada pasien mulai terlihat pada usia 1
tahun dan pasien juga kadang terlihat agak kuning pada mata dan kulitnya sejak umur 1
26
tahun, mual dan muntah (-). Nafsu makan pasien menurun sejak sakit. BAK 3-4 kali sehari,
warna kekuningan, darah (-), nyeri saat BAK (-). BAB terakhir satu hari sebelum masuk
rumah sakit 1 kali, konsistensi lunak warna kuning, darah (-), lendir (-).
Didapatkan keadaan umum sedang, kesadaran kompos mentis, N :115x/menit, RR:
26 x/menit, T: 37,3 C. Pada pemeriksaan fisik fasien cooley, konjungtiva anemis +/+,
ikterik -/-, Rhonki -/-, abdomen distensi, L-SII.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan WBC : 19,13 x 103/L, HGB : 4,5 g/dl,
PLT : 202 x 103/L, retikulosit : 6,9 %, hapusan darah tepi : Anemia hipokrom
anisopoikilositosis, serum iron (SI) : 48, total iron binding capacity (TIBC): 225 (N:260420), elektrofooresis Hb:%HbF: 18,9 (N: 0-0,8), %A2: 75,4 (N: 2,2-3,7), ICT Malaria : (-),
Mantoux test (-). Hasil Pemeriksaan Rotgen AP/lateral: pneumonia berat DD TB paru.
III.6 Diagnosis Kerja
III.7
28
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus diatas, pasien laki-laki berusia 8 tahun 10 bulan didiagnosis dengan
anemia hipokromik anisopoikilositosis ec. Thalasemia. Thalasemia merupakan sindrom
kelainan yang diwariskan (inherited) akibat mutasi di dalam atau di dekat gen sehingga
menyebabkan berkurangnya kecepatan sintesis rantai alfa ataupun beta. Di seluruh dunia,
15 juta orang memiliki presentasi klinis dari thalassemia. Fakta ini mendukung thalassemia
sebagai salah satu penyakit turunan yang terbanyak yang menyerang hampir semua
golongan etnik dan terdapat pada hampir seluruh negara di dunia.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengalami pucat dan lemas yang disertai
dengan sesak. lemas yang dialami pasien berlangsung selama 1 minggu. Lemas disertai
dengan sesak. Sesak yang dirasakan pasien kemungkinan akibat Hb pasien yang rendah
dan termasuk anemia sedang, sehingga oksigen yang sampai ke jaringan juga berkurang
yang menyebabkan pasien mengalami sesak. Pasien juga dikeluhkan terlihat pucat sejak
kecil dan kadang terlihat kuning, keluhan pucat mengarahkan pada diagnosis anemia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien mengalami pucat yaitu didapatkan
konjungtiva anemis memperkuat diagnosis anemia, dibutuhkan pemeriksaan penunjang
untuk mengetahui kadar HB, jenis anemia, dan penyebab anemia pada pasien. Pada
pemeriksaan abdomen dari inspeksi perut distensi, dan dari palpasi didapatkan adanya
pembesaran lien yaitu S2. Beberapa diagnosis yang memiliki gejala splenomegali yaitu
thalassemia, malaria, dan leukemia.
Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan HB pasien 8,5 g/dl sehingga diagnosis
anemia tegak. Terdapat penurunan nilai MCV MCH yang menunjukkan pasien mengalami
anemia mikrositik hipokromik. Kemungkinan penyebab anemia hipokromik mikrositik
bisa karena defisiensi besi, penyakit kronis atau thalassemia. Anemia defisiensi besi pada
pasien dapat disingkirkan karena didapatkan hasil yang normal pada pemeriksaan serum
iron dan TIBC. Diagnosis thallasemia dapat ditegakkan pada pasien karena dari hasil
pemeriksaan HB elektroforesis didapatkan adanya peningkatan kadar HBF serta HB A2
yang menunjukkan terjadinya thalassemia beta pada pasien.
Pasien dengan thalasemia mayor mulai menunjukkan gejala dari periode fetal
atau neonatal, sedangkan pasien thalasemia biasanya menunjukkan gejala pada late
infancy di saat hemoglobin fetal menurun dan ketiadaan HbA terlihat secara nyata.
29
Anemia berat dan sedang pada anak yang lebih besar mungkin disebabkan oleh thalasemia
intermedia. Pada pasien keluhan pucat mulai terlihat pada usia 1 tahun sehingga anemia
pada pasien disebabkan oleh oleh thalasemia intermedia. Thalasemia termasuk kelainan
resesif autosomal sehingga merupakan penyakit herediter. Pada pasien ini, ibu pasien
mengaku sering pucat dan rutin mendapat transfusi setiap bulan.
Pada pemeriksaan fisik thalassemia, didapatkan tanda-tanda anemia (pallor,
takikardi dan takipneu) dan eritropoiesis ekstramedular (hepatosplenomegali). Pembesaran
hati dan limpa terjadi akibat destruksi eritrosit yang berlebihan, hemopoiesis ekstramedula,
dan lebih lanjut akibat penimbunan besi. Limpa yang besar meningkatkan kebutuhan darah
dengan meningkatkan volume plasma. Pasien dengan thalasemia mayor dan intermedia
yang mengalami insufisiensi transfusi menunjukkan deformitas tulang yang khas karena
hiperplasia sumsum tulang, dapat ditemukan facies Cooley, yaitu tengkorak menonjol
dengan tulang frontal dan parietal menonjol dan maksila membesar. Anak yang menderita
thalasemia rentan terhadap infeksi bakteri (infeksi Pneumococcus, Haemophilus,
Meningococcus).
Pada sediaan HDT terdapat anemia mikrositik hipokromik berat dengan
presentasi retikulosit yang tinggi disertai dengan normoblas, sel target, dan titik basofilik
(basophilic stippling). Pada pemeriksaan elektroforesis hemoglobin, dapat ditemukan :
1. Pada thalasemia dan mayor menunjukkan absennya atau hampir tidak adanya
HbA.
2. Pada thalasemia mayor dan penyakit HbH, defisiensi globin menyebabkan
menurunnya atau ketiadaan pembentukan HbF (22) dan HbA (22). Kelebihan
rantai globin dan rantai globin menyebabkan terjadinya pembentukan Hb
Barts (4) dan HbH (4). Pada neonatus, thalasemia minor dapat diidentifikasi
dengan keberadaan Hb Barts, tetapi pada anak yang lebih besar analisis Hb
biasanya normal.
3. Pada thalasemia mayor, hemoglobin fetal meningkat > 90%. Sedangkan temuan
di thalasemia intermedia, hemoglobin fetal dan HbA2 juga meningkat
sedangkan HbA menurun sedang. Pada thalasemia minor, dikarakteristikkan
dengan peningkatan HbA2 sekitar 3,5-6%. Level HbF bervariasi dan terkadang
meningkat.
Pasien diterapi dengan pemberian transfuse PRC untuk mengatasi anemia.
Paracetamol diberikan jika pasien demam.
30
RESUME TALASEMIA
Definisi
Thalassemia adalah suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang
diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh kekurangan sintesis rantai polipeptid yang
menyusun molekul globin dalam hemoglobin.
Patofisiologi
Thalassemia adalah kelainan herediter dari sintesis Hb akibat dari gangguan
produksi rantai globin. Penurunan produksi dari satu atau lebih rantai globin tertentu
(,,,) akan menghentikan sintesis Hb dan menghasilkan ketidakseimbangan dengan
terjadinya produksi rantai globin lain yang normal.
31
Karena dua tipe rantai globin ( dan non-) berpasangan antara satu sama lain
dengan rasio hampir 1:1 untuk membentuk Hb normal, maka akan terjadi produksi
berlebihan dari rantai globin yang normal dan terjadi akumulasi rantai tersebut di dalam sel
menyebabkan sel menjadi tidak stabil dan memudahkan terjadinya destruksi sel.
Ketidakseimbangan ini merupakan suatu tanda khas pada semua bentuk thalassemia.
Karena alasan ini, pada sebagian besar thalassemia kurang sesuai disebut sebagai
hemoglobinopati karena pada tipe-tipe thalassemia tersebut didapatkan rantai globin
normal secara struktural dan juga karena defeknya terbatas pada menurunnya produksi
dari rantai globin tertentu.
Tipe thalassemia biasanya membawa nama dari rantai yang tereduksi. Reduksi
bervariasi dari mulai sedikit penurunan hingga tidak diproduksi sama sekali (complete
absence). Sebagai contoh, apabila rantai hanya sedikit diproduksi, tipe thalassemia-nya
dinamakan sebagai thalassemia-+, sedangkan tipe thalassemia- menandakan bahwa
pada tipe tersebut rantai tidak diproduksi sama sekali. Konsekuensi dari gangguan
produksi rantai globin mengakibatkan berkurangnya deposisi Hb pada sel darah merah
(hipokromatik). Defisiensi Hb menyebabkan sel darah merah menjadi lebih kecil, yang
mengarah ke gambaran klasik thalassemia yaitu anemia hipokromik mikrositik. Hal ini
berlaku hampir pada semua bentuk anemia yang disebabkan oleh adanya gangguan
produksi dari salah satu atau kedua komponen Hb : heme atau globin. Namun hal ini tidak
terjadi pada silent carrier, karena pada penderita ini jumlah Hb dan indeks sel darah merah
berada dalam batas normal.
Pada tipe trait thalassemia- yang paling umum, level Hb A2 ( 2/2) biasanya
meningkat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan rantai oleh rantai bebas
yang eksesif, yang mengakibatkan terjadinya kekurangan rantai adekuat untuk dijadikan
pasangan. Gen , tidak seperti gen dan , diketahui memiliki keterbatasan fisiologis
dalam kemampuannya untuk memproduksi rantai yang stabil; dengan berpasangan
dengan rantai , rantai memproduksi Hb A2 (kira-kira 2,5-3% dari total Hb). Sebagian
dari rantai yang berlebihan digunakan untuk membentuk Hb A2, dimana sisanya (rantai
) akan terpresipitasi di dalam sel, bereaksi dengan membran sel, mengintervensi divisi sel
normal, dan bertindak sebagai benda asing sehingga terjadinya destruksi dari sel darah
merah. Tingkat toksisitas yang disebabkan oleh rantai yang berlebihan bervariasi
berdasarkan tipe dari rantai itu sendiri (misalnya toksisitas dari rantai pada thalassemia-
lebih nyata dibandingkan toksisitas rantai pada thalassemia-).
32
Dalam bentuk yang berat, seperti thalassemia- mayor atau anemia Cooley, berlaku
patofisiologi yang sama dimana terdapat adanya substansial yang berlebihan. Kelebihan
rantai bebas yang signifikan akibat kurangnya rantai akan menyebabkan terjadinya
pemecahan prekursor sel darah merah di sumsum tulang (eritropoesis inefektif).
Patofisiologi seluler
Kelainan dasar dari semua tipe thalassemia adalah ketidakseimbangan sintesis
rantai globin. Namun, konsekuensi akumulasi dari produksi rantai globin yang berlebihan
berbeda-beda pada tiap tipe thalassemia. Pada thalassemia-, rantai yang berlebihan,
tidak mampu membentuk Hb tetramer, terpresipitasi di dalam prekursor sel darah merah
dan, dengan berbagai cara, menimbulkan hampir semua gejala yang bermanifestasi pada
sindroma thalassemia-; situasi ini tidak terjadi pada thalassemia-.
Rantai globin yang berlebihan pada thalassemia- adalah rantai pada tahun-tahun
pertama kehidupan, dan rantai pada usia yang lebih dewasa. Rantai-rantai tipe ini relatif
bersifat larut sehingga mampu membentuk homotetramer yang, meskipun relatif tidak
stabil, mampu tetap bertahan (viable) dan dapat memproduksi molekul Hb seperti Hb Bart
(4) dan Hb H (4). Perbedaan dasar pada dua tipe utama ini mempengaruhi perbedaan
besar pada manifestasi klinis dan tingkat keparahan dari penyakit ini.
Rantai yang terakumulasi di dalam prekursor sel darah merah bersifat tidak larut
(insoluble), terpresipitasi di dalam sel, berinteraksi dengan membran sel (mengakibatkan
kerusakan yang signifikan), dan mengganggu divisi sel. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya destruksi intramedular dari prekursor sel darah merah. Sebagai tambahan, sel-sel
yang bertahan yang sampai ke sirkulasi darah perifer dengan intracellular inclusion bodies
(rantai yang berlebih) akan mengalami hemolisis; hal ini berarti bahwa baik hemolisis
maupun eritropoesis inefektif menyebabkan anemia pada penderita dengan thalassemia-.
Kemampuan sebagian sel darah merah untuk mempertahankan produksi dari rantai
, yang mampu untuk berpasangan dengan sebagian rantai yang berlebihan untuk
membentuk Hb F, adalah suatu hal yang menguntungkan. Ikatan dengan sebagian rantai
berlebih tidak diragukan lagi dapat mengurangi gejala dari penyakit dan menghasilkan Hb
tambahan yang memiliki kemampuan untuk membawa oksigen.
Selanjutnya, peningkatan produksi Hb F sebagai respon terhadap anemia berat,
menimbulkan mekanisme lain untuk melindungi sel darah merah pada penderita dengan
thalassemia-. Peningkatan level Hb F akan meningkatkan afinitas oksigen, menyebabkan
terjadinya hipoksia, dimana, bersama-sama dengan anemia berat akan menstimulasi
33
produksi dari eritropoetin. Akibatnya, ekspansi luas dari massa eritroid yang inefektif akan
menyebabkan ekspansi tulang berat dan deformitas. Baik penyerapan besi dan laju
metabolisme akan meningkat, berkontribusi untuk menambah gejala klinis dan manifestasi
laboratorium dari penyakit ini. Sel darah merah abnormal dalam jumlah besar akan
diproses di limpa, yang bersama-sama dengan adanya hematopoesis sebagai respon dari
anemia yang tidak diterapi, akan menyebabkan splenomegali masif yang akhirnya akan
menimbulkan terjadinya hipersplenisme.
Apabila anemia kronik pada penderita dikoreksi dengan transfusi darah secara
teratur, maka ekspansi luas dari sumsum tulang akibat eritropoesis inefektif dapat dicegah
atau dikembalikan seperti semula. Memberikan sumber besi tambahan secara teori hanya
akan lebih merugikan pasien. Namun, hal ini bukanlah masalah yang sebenarnya, karena
penyerapan besi diregulasi oleh dua faktor utama : eritropoesis inefektif dan jumlah besi
pada penderita yang bersangkutan. Eritropoesis yang inefektif akan menyebabkan
peningkatan absorpsi besi karena adanya downregulation dari gen HAMP, yang
memproduksi hormon hepar yang dinamakan hepcidin, regulator utama pada absorpsi besi
di usus dan resirkulasi besi oleh makrofag. Hal ini terjadi pada penderita dengan
thalassemia intermedia.
Dengan pemberian transfusi darah, eritropoesis yang inefektif dapat diperbaiki, dan
terjadi peningkatan jumlah hormon hepcidin; sehingga penyerapan besi akan berkurang
dan makrofag akan mempertahankan kadar besi.
Pada pasien dengan iron overload (misalnya hemokromatosis), absorpsi besi
menurun akibat meningkatnya jumlah hepsidin. Namun, hal ini tidak terjadi pada penderita
thalassemia- berat karena diduga faktor plasma menggantikan mekanisme tersebut dan
mencegah terjadinya produksi hepsidin sehingga absorpsi besi terus berlangsung meskipun
penderita dalam keadaan iron overload.
Efek hepsidin terhadap siklus besi dilakukan melalui kerja hormon lain bernama
ferroportin, yang mentransportasikan besi dari enterosit dan makrofag menuju plasma dan
menghantarkan besi dari plasenta menuju fetus. Ferroportin diregulasi oleh jumlah
penyimpanan besi dan jumlah hepsidin. Hubungan ini juga menjelaskan mengapa
penderita dengan thalassemia- yang memiliki jumlah besi yang sama memiliki jumlah
ferritin yang berbeda sesuai dengan apakah mereka mendapat transfusi darah teratur atau
tidak. Sebagai contoh, penderita thalassemia- intermedia yang tidak mendapatkan
transfusi darah memiliki jumlah ferritin yang lebih rendah dibandngkan dengan penderita
34
yang mendapatkan transfusi darah secara teratur, meskipun keduanya memiliki jumlah besi
yang sama.
Kebanyakan besi non-heme pada individu yang sehat berikatan kuat dengan protein
pembawanya, transferrin. Pada keadaan iron overload, seperti pada thalassemia berat,
transferrin tersaturasi, dan besi bebas ditemukan di plasma. Besi ini cukup berbahaya
karena memiliki material untuk memproduksi hidroksil radikal dan akhirnya akan
terakumulasi
pada
organ-organ,
seperti
jantung,
kelenjar
endokrin,
dan
hati,
Anamnesa
Riwayat pucat
Gangguan pertumbuhan
Riwayat keluarga
Perut membesar karena pembesaran hepar dan lien (pada umumnya keluhan ini
muncul mulai usia 6 bulan)
2.
Pemeriksaan Fisik
Pucat
Facies Cooley pada anak yang lebih besar
Gangguan pertumbuhan
Ikterik ringan
Hepatosplenomegali tanpa limfadenopati
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pada
Talasemia
mayor
terdapat
tanda-tanda
berikut
pada
pemeriksaan
laboratoriumnya ;
Darah tepi :
hipokrom mikrositer
anisositosis
poikilositosis
sel target
retikulosit meninggi
35
sel normoblas
nilai MCV, MCH, dan MCHC menurun
Untuk memastikan diagnosis dilakukan :
-
Elektroforesis Hb
rasio M : E terbalik
HBsAg dan anti HBsAg bisa positif pada kasus yang mendapat transfusi darah
berulang-ulang, disebabkan karena transmisi HBsAg melalui produk-produk darah
transfusi
4. Pemeriksaan radiologi
Dukungan imaging seperti foto polos, Ultrasonografi,Ct-Scan, MRI memegang
peranan dalam mendapatkan diagnosis yang akurat. Respon skeletal terhadap proliferasi
sumsum tulang memberi berbagai gambaran radiografi pada tulang, seperti pelebaran
medulla, penipisan korteks tulang serta resorbsi tulang mengakibatkan hilangnya densitas
tulang secara keseluruhan. Dapat pula terlihat area lusen sebagai akibat dari proliferasi
fokal sumsum tulang yang kadang ditandai area kasar tapi sedikit mengandung trabekula.
a. Pemeriksaan foto polos
Pada tulang-tulang pendek tangan dan kaki terbentuk trabekulasi kasar, tulang
menjadi berbetuk pipa serta tampak adanya abnormalitas kistik. Pelebaran kavitas medull
pada metacarpal, metatarsal dan phalanges memberi gambaran bentuk rectangular dengan
konkavitas normal menghilang. Pada tulang panjang dan ekstremitas memperlihatkan
korteks yang menipis dan dilatasi kavitas medulla sehingga mengakibatkan tulang-tulang
tersebut sangat rapuh dan mudah mengalami fraktur patologik. Pada kranium ditandai
dengan pelebaran ruang diploe dan garis-garis vertikal trabekula akan memberi gambaran
hair on end. Abnormalitas gambaran radiologik lainnya pada kranium yaitu sinus
paranasalis tampak tidak berekmbang sempurna, terutama sinus maksilaris. Hal ini
36
disebabkan karena penebalan dari tulang sinus akibat hyperplasia yang akan memberi
gambaran thalassemia facies dengan maloklusi. Korpus vertebra mengalami
deminerlisasi yang ditandai dengan trabekulasi yang kasar disekelilingnya. Pada stadium
lanjut, tepi superior dan inferior corpus vertebra berbentuk bikonkaf atau dapat terjadi
fraktur kompresi. Kadang pula massa hemopoesis ekstramedulla tampak pada mediastinum
memberi gambaran bayangan jaringan lunak di antara kosta depan dan belakang pada
posisi posteroanterior. Jantung tampak pula mengalami pembesaran. Pada kosta tampak
bayangan densitas radiopak didalam kosta (a rib within a rib appearance).
b. Pemeriksaan Ultrasonografi
Sonografi, dalam hal ini sonografi transabdominal memperilhatkan adanya
perubahan pada organ retikuloendotelial sel berupa hepatomegali atau hepatosplenomegali.
Dapat pula mendeteksi adanya batu kandung empedu sebagai salah satu akibat komplikasi
thalassemia. Deteksi dini intrauterine juga dapat dilakukan dengan menggunakan
sonografi, dimana gambaran peningkatan ketebalan plasenta pda fetus muncul di awal
gestasi. Peningkatn ketebalan plasenta lebih dari 2 SD (standar Deviasi) di atas normal
mempunyai nilai prediktif untuk penyakit ini dengan sensitifitasnya 72 % sebelum 12
minggu masa gestasi dan 97 % sesudah 12 minggu masa gestasi.
c. CT - Scan
Modalitas
ini
dapat
memperlihatkan
kandungan
besi
yang
berlebihan
Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi, terapi khelasi dapat menunda
onset dari kelainan jantung dan, pada beberapa pasien, bahkan dapat mencegah kelainan
jantung tersebut.
Chelating agent
hidroksilamin dengan afinitas tinggi terhadap besi. Rute pemberiannya sangat penting
untuk mencapai tujuan terapi, yaitu untuk mencapai keseimbangan besi negatif (lebih
banyak diekskresi dibanding yang diserap). Karena DFO tidak diserap di usus, maka rute
pemberiannya harus melalui parenteral (intravena, intramuskular, atau subkutan).
Dosis total yang diberikan adalah 30-40mg/kg/hari diinfuskan selama 8-12 jam saat
pasien tidur selama 5 hari/minggu.
Transplantasi Sel Stem Hematopoetik (TSSH)
TSSH merupakan satu-satunya yang terapi kuratif untuk thalassemia yang saat ini
diketahui. Prognosis yang buruk pasca TSSH berhubungan dengan adanya hepatomegali,
fibrosis portal, dan terapi khelasi yang inefektif sebelum transplantasi dilakukan. Prognosis
bagi penderita yang memiliki ketiga karakteristik ini adalah 59%, sedangkan pada
38
penderita yang tidak memiliki ketiganya adalah 90%. Meskipun transfusi darah tidak
diperlukan setelah transplantasi sukses dilakukan, individu tertentu perlu terus mendapat
terapi khelasi untuk menghilangkan zat besi yang berlebihan. Waktu yang optimal untuk
memulai pengobatan tersebut adalah setahun setelah TSSH. Prognosis jangka panjang
pasca transplantasi , termasuk fertilitas, tidak diketahui. Biaya jangka panjang terapi
standar diketahui lebih tinggi daripada biaya transplantasi. Kemungkinan kanker setelah
TSSH juga harus dipertimbangkan.
Terapi Bedah
Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang digunakan pada pasien
dengan thalassemia. Limpa diketahui mengandung sejumlah besar besi nontoksik (yaitu,
fungsi penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan sel darah merah dan distribusi
besi. Fakta-fakta ini harus selalu dipertimbangkan sebelum memutuskan melakukan
splenektomi.. Limpa berfungsi sebagai penyimpanan untuk besi nontoksik, sehingga
melindungi seluruh tubuh dari besi tersebut. Pengangkatan limpa yang terlalu dini dapat
membahayakan.
Sebaliknya,
splenektomi
dibenarkan
apabila
limpa
menjadi
hiperaktif,
menyebabkan penghancuran sel darah merah yang berlebihan dan dengan demikian
meningkatkan kebutuhan transfusi darah, menghasilkan lebih banyak akumulasi besi.
Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan lebih dari 200-250
mL / kg PRC per tahun untuk mempertahankan tingkat Hb 10 gr / dL karena dapat
menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30%.
Risiko yang terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak prosedur sekarang
dilakukan dengan laparoskopi. Biasanya, prosedur ditunda bila memungkinkan sampai
anak berusia 4-5 tahun atau lebih. Pengobatan agresif dengan antibiotik harus selalu
diberikan untuk setiap keluhan demam sambil menunggu hasil kultur. Dosis rendah
Aspirin setiap hari juga bermanfaat jika platelet meningkat menjadi lebih dari 600.000 /
L pasca splenektomi.
Diet
Pasien dianjurkan menjalani diet normal, dengan suplemen sebagai berikut : asam
folat, asam askorbat dosis rendah, dan alfa-tokoferol. Sebaiknya zat besi tidak diberikan,
dan makanan yang kaya akan zat besi juga dihindari. Kopi dan teh diketahui dapat
membantu mengurangi penyerapan zat besi di usus.
39
40
FOLLOW UP PASIEN
22 Desember 2015
Subyektif:
-
lemas (+)
Nafsu makan berkurang
Pucat (+)
BAK dan BAB (+)
23 Desember 2015
Subyektif:
- Demam (-)
- Pucat (-)
- BAK (+) BAB (+)
- Obyektif:
- KU: Sedang
- Vital Sign
RR: 26x/menit
N: 115x/menit
T: 37,3oC
Obyektif:
- KU: Sedang
RR: 23x/menit
N: 110x/menit
T: 36,2oC
- WBC: 12,74 x 103/L
- HGB:13 g/dl
- PLT:108 x 103/L
Assesment:
- Anemia
hipokromik
Planning:
mikrositer
ec
Thalasemia
Assesment:
- Anemia
hipokromik
Thalasemia
Planning:
mikrositer
ec
41
DAFTAR PUSTAKA
Hegar et al. 2010. Pedoman Pelayanan Medis: Thalasemia. Ikatan Dokter Indonesia. Jilid 1.
Infomedika Jakarta: Jakarta
Hasan et al. 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak: Thalasemia. Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universita Inonesia. Jilid 1. Infomedika: Jakarta
Permono B, Sutaryo, dkk. Buku Ajar Hemotologi-Onkologi Anak Cetakan Ketiga. Jakarta:Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2010
Yunanda. 2008. Thalassemia. FK-USU. Available at : http://repository.usu.ac.id (Accessed 2015
Oktober 26).
Genie dkk 2004 kajian DNA thalassemia di medan. Medan usu press
Hay WW, Levin MJ. Current Diagnosis and Treatment in Pediatrics. 18th Edition. New York:
Lange Medical Books/ McGraw Hill Publishing Division ; 2007
Bleibel SA, Leonard RJ, Jones-Crawford JL. 2007. Thalassemia Alpha : Overview. Emedicine
Medscape. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/overview (Accessed 2015
Oktober 26).
Rund D, Rachmilewitz E. 2005. -Thalassemia. N Engl J Med. Massachusetts Medical Society;
Sep 2005; 353:1135-46. Available at : http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056 (Accessed
2015 Oktober 26).
Cunningham JM. 2008. Update on Thalassemia : Clinical Care and Complications. Elsevier Inc :
Pediatric Clinics Of North America
Takeshita K. 2007. Thalassemia Beta : Treatment & Medication. Emedicine Medscape. Available at
: http://emedicine.medscape.com/article/206490-treatment (Accessed 2015 Oktober 26).
42