Anda di halaman 1dari 12

1.

Formasi Dahor, litologinya terdiri dari batupasir kuarsa berbutir sedang terpilah
buruk, konglomerat lepas dengan komponen kuarsa berdiameter 1-3 cm,
batulempung lunak, setempat dijumpai lignit dan limonit, terendapkan sekitar
lingkungan fluviatil dengan tebal sekitar 250 meter, dan berumur Plio-Plistosen.
2. Formasi Warukin, batupasir kuarsa dan batulempung sisipan batubara,
terendapkan di lingkungan fluviatil dengan ketebalan sekitar 400 meter, berumur
Miocene Tengah sampai dengan Miocene Akhir.
3. Formasi Berai, litologinya terdiri dari batugamping mengandung fosil foraminifera
besar seperti Spiroclypeus orbitodeus, Spiroclypeus sp, dll yang menunjukkan
umur Oligosen-Miocene Awal dan bersisipan napal, terendapkan dalam
lingkungan neritik, dan mempunyai ketebalan sekitar 1000 meter.
4. Formasi Tanjung terdiri dari beberapa facies diantaranya :
a. Facies Konglomerat terdiri dari Konglomerat alas, dengan komponen sebagian
besar terdiri komponen seperti batuan malihan, batuan beku, batuan klastika,
batugamping dan kuarsa asap. Komponennya berukuran dari 1 cm sampai 8
cm, berbentuk bulat sampai membulat tanggung, terpilah buruk, bermassa
dasar batupasir kuarsa berbutir kasar. Facies ini merupakan bagian paling
bawah dari Formasi Tanjung yang diendapkan tidak selaras diatas batuan alas
Pra-Tersier, tebalnya berkisar antara 8 meter dan 15 meter. Di tepi barat
Pegunungan Meratus, Facies Konglomerat lebih tebal dari yang di tepi
timurnya. Di beberapa tempat di tepi timur ditemukan sisipan batupasir berbutir
kasar dengan ketebalan antara 75 cm dan 100 cm, yang memperlihatkan
structure sedimen lapisan silang-siur berskala menengah. Adanya perbedaan
ketebalan pada Facies Konglomerat dan structure perlapisan silang-siur pada
batupasir menunjukkan arah arus purba dari barat.
b. Facies Batupasir Bawah terdiri dari batupasir berbutir sedang sampai kasar
setempat konglomeratan. Batupasir ini disusun terutama oleh butiran kuarsa
dengan sedikit kepingan batuan vulkanik, rijang, dan feldspar. Facies ini
berlapis tebal yaitu antara 50 cm dan 200 cm. Structure sedimennya adalah
lapisan sejajar, lapisan silang-siur dan lapisan tersusun. Tebal facies ini terukur

di tepi barat Pegunungan Meratus antara 46 meter dan 48 meter, sedangkan di


bagian tengah dan tepi timurnya antara 30 meter dan 35 meter.
c. Facies Batulempung Bawah terdiri dari batulempung berwarna kelabu
(kecoklatan sampai kehitaman), dengan sisipan batubara dan batupasir.
Ketebalan facies ini berkisar dari 28 meter sampai 68 meter. Structure sedimen
di dalam batulempung, yang terlihat berupa lapisan pejal, laminasi sejajar,
setempat berlaminasi silang-siur dengan ketebalan berkisar antara 3 cm

sampai 5 cm. Batubara berwarna hitam mengkilap terdapat sebagai sisipan


dengan ketebalan berkisar antara 30 cm dan 200 cm. Setempat lapisan
batubara berasosiasi dengan batulempung berwarna kehitaman. Sisipan
batupasir berbutir halus sampai sedang dengan ketebalan perlapisan antara 5
cm dan 25 cm, menyendiri atau berkelompok memiliki ketebalan mencapai 10
meter. Structure sedimennya adalah laminasi sejajar dan setempat laminasi
silang-siur. Setempat ditemukan pula sisipan tufa berwarna putih dengan
ketebalan perlapisan antara 5 cm dan 15 cm, sebagian terubah menjadi kaolin.
d. Facies Batupasir Atas terdiri dari batupasir berbutir halus sampai sedang,
berlapis baik, dengan ketebalan perlapisan antara 3 cm dan 25 cm. Tebal
facies ini berkisar dari 12 meter sampai 26 meter. Structure sedimennya
lapisan sejajar serta lapisan silang-siur pada batupasir berbutir sedang dan
laminasi sejajar serta silang-siur pada batupasir berbutir halus dan yang
terakhir adalah Facies Batulempung Atas terdiri dari batulempung berwarna
kelabu kehijauan dan masif.

Gambar 1. Formasi-formasi, paleofacies, dan periode tektonik pada


Cekungan Barito.

Gambar 2. Penampang cekungan Barito yang berarah


Barat laut - Tenggara

TEKTONIK DAN STRUCTURE GEOLOGY


Berdasarkan konsep tektonik lempeng, hampir semua kepulauan di Indonesia
terletak pada zona subduksi, yaitu tumbukan antara Paparan Sunda dengan lempeng
benua. Dalam konteks ini, Pulau Kalimantan sendiri merupakan daerah tektonik yang
stabil dimana merupakan bagian dari Lempeng Mikro Sunda yang mempunyai
karakteristik dan tatanan structure yang cukup berbeda dengan pulau-pulau lainnya di
Indonesia.
Lempeng Mikro Sunda merupakan pecahan atau fragmental Lempeng Eurasia
yang terpisah ke bagian tenggara akibat tumbukan dengan kerak Benua Asia. Dengan
demikian perkembangan dan pola tektonik yang berkembang pada Cekungan Barito di
Kalimantan ini mengikuti pola tektonik pada Lempeng Mikro. Pada dasarnya pola
tektonik yang terjadi pada Lempeng Mikro Sunda merupakan proses pemisahan akibat
tekanan yang terjadi pada lempeng itu sendiri. Faktor eksternal yang ikut berperan
dalam perkembangan tatanan tektonik di Pulau Kalimantan adalah interaksi antara
Lempeng Sunda dengan Lempeng Pasifik di sebelah timur, Lempeng Hindia Australia
di selatan, dan Lempeng Laut Cina Selatan.
Berdasarkan teori-teori yang telah berkembang saat ini, unsur-unsur tektonik
yang berkembang di Pulau Kalimantan dapat dikelompokkan menjadi beberapa satuan
tektonik, yaitu Blok Schwaner, Blok Patenoister, Graben Meratus, dan Tinggian
Kuching.
a. Blok Schwaner
Blok ini oleh Van Bemmelen dianggap sebagai bagian dari daratan Sunda yang
mengalami pengangkatan sejak Zaman Kapur Akhir, dimana batuannya terdiri dari
batuan beku dan malihan berumur Pra-Tersier. Bagian utara dari blok ini mengalami
gerak penurunan pada Paleogen dan tertutup oleh sedimen Tersier yang tidak
terlipat. Bagian ini dikenal sebagai Pelataran Barito (Barito Platform).
b. Blok Patenoister
Blok ini dianggap suatu daerah tektonik yang mantap, terdiri dari pelataran
patenoister yang terletak di lepas pantai Kalimantan Tenggara dan sebagian daerah
di daratan Kalimantan. Blok ini hanya sebagian yang mengalami pengangkatan.
c. Graben Meratus
Daerah ini terletak diantara Blok Schwaner dan Blok Patenoister, yang merupakan
daerah dengan pengendapan yang cukup tebal. Daerah ini mengalami perlipatan
dan tersesarkan serta terangkat dengan kuat. Daerah ini dikenal sebagai bagian dari
Cekungan Kutai.
d. Tinggian Kuching
Tinggian Kuching atau Kuching high terbentuk akibat dari pengangkatan yang terjadi
pada busur kepulauan dengan daerah perairan dangkal di sekitarnya, yang
merupakan bagian yang tinggi pada Zaman Paleogen di Kalimantan Utara. Daerah
ini terpisah dari Kalimantan Baratlaut yang mengalami suatu penurunan dengan

cepat. Tinggian Kuching merupakan sumber (source) untuk pengendapan di daerah


baratlaut dan tenggara selama Neogen.
Pada cekungan barito, jika diurutkan sejarah structure ditandai oleh perbedaan
yang jelas pada zaman Paleogen dan Neogen. Pemekaran basement adalah awal mula
pembentukan structure cekungan pada kala Paleo Eosen. Kondisi ini terus terjadi
hingga kala Oligosen Miocene dengan terjadi subsidence secara lokal dan regional
serta proses peregangan lithosfer yang mempengaruhi cekungan pada pertengahan
miocene, structure yang terjadi berubah menjadi pengkerutan. Pengangkatan secara
regional dan patahan yang bersifat kompresional muncul pada kala miocene tengah
hingga plio-plistosen. Proses inversi dan pengaktifan kembali sesar tua secara
extensional menghasilkan kenampakan yang sekarang terbentuk pada cekungan barito.

GEOLOGI
SEJARAH
CEKUNGAN BARITO

Cekungan barito dibentuk mulai dari adanya proses rifting


( pemekaran ) yang membentuk basement yang merupakan pencampuran basement
continental sebelah barat dan batuan zona akresi pada masa Mesozoikum dan awal
Paleogen disebelah timur. Distribusi tipe batuan di bawah permukaan tidak jelas
terlihat. Hal tersebut dapat dimaklumi, bagaimanapun basement lebih jelas
menunjukkan tipe batuan Meratus dibandingkan batuan kirstalin-asam di Barito
platform. Ini membawa pada hal-hal yang diperkirakan terjadi kontak pada batuan
tersebut yang mungkin disebabkan oleh patahan (Gaffney-Cline, 1971).
Pada Paleogen akhir hingga Eosen tengah diendapkan formasi Tanjung
Pengendapan Formasi Tanjung yang terdiri dari beberapa facies, dimulai dalam
lingkungan fluviatil (Facies Konglomerat dan Facies Batupasir Bawah), kemudian
Gambar 3. Proses tektonik yang terjadi di bagian timur Cekungan Barito

berubah menjadi dataran banjir yang sebagian berawa (Facies Batulempung Bawah),
kemudian berubah menjadi lingkungan fluviatil dengan saluran sekunder (Facies
Batupasir Atas), dan terakhir menjadi lingkungan Laguna (Facies Batulempung Atas).
Setelah terjadi penurunan ( subsidence ) akibat pemekaran yang mempengaruhi
cekungan mulai dari Eosen tengah sampai awal tengah miocene, selama itu pula
sedimen dari formasi Tanjung, Upper Tanjung dan Berai diendapkan.
Pada pertengahan miocene lempeng laut cina selatan mengalami collision dengan
Kalimantan Utara mengakibatkan Tinggian Kuching. Di saat yang bersamaan,
tumbukan ke timur Sulawesi mengakhiri pemekaran selat Makasar dan pengangkatan
Pegunungan Proto-Meratus. Kedua masa tektonik memulai proses structure inversi di
cekungan Barito disertai dengan diendapkannya formasi warukin. Pengangkatan
Daratan tinggi Kuching memberikan kontribusi sedimen ke cekungan yang lebih rendah,
kemudian terjadi pengangkatan Proto-Meratus yang terjadi pada kala plio-pistosen yang
memisahkan Cekungan Barito terhadap laut terbuka di daerah timur sehingga terjadi
perubahan karakteristik sedimen dari proses transgresi menjadi regresi berupa
endapan formasi dahor.
PETROLEUM SYSTEM
Pada area Tanjung raya hidrokarbon terbentuk dari source rock lower Tanjung dan
lower Warukin. Hidrokarbon terjebak pada struktural trap yang mengandung lower
Tanjung dan Upper Warukin sand.
Source Rock
Tahap pertama, Sedimen diendapkan di graben paleogen berupa alluvial channel dan
fan mengalami progradasi hingga ke lingkungan lacustrine. Sejumlah lapisan tipis
batubara diduga diendapkan sepanjang tepi danau. Lingkung lacustrine dalam
terbentuk pada bagian sumbu graben. Lingkungan ini menghasilkan lingkungan reduksi
yang baik bagi akumulasi algae. Lapisan source rock berupa Lacustrine alga dapat
membentuk prolific oil.
Carbonaceous clay/ shale dan lapisan tebal batubara lebih dari 10 meter di temukan
sedimentasi tahap 2. Kebnyakan hidrokarbon di Tanjung raya field diduga terbentuk

dari tahap 2 ini.


Maturasi
Dari analisismaturasi Lower Tanjung source rock diketahui :
Pada bagian baratlaut matursi hidrokarbonnya immature early mature, dan pada
bagian tengahnya mature, sedangkan dibagian tenggaranya maturasinya overmature
( bagian paling dalam basin ini).
Reservoar
Reservoar utama berupa synrift sand tahap 1, post rift sag fill tahap 2 dan 3. batu pasir
synrift pada tahap 1 ( disebut batupasir A dan B atau Z 1015 dan Z 950 ) diendapkan
dilingkungan alluvial fan dan lingkungan delta front lacustrine. Memiliki ketebalan 30
50 meter.
Batupasir pada tahap 2 ( batupasir c dan d atau Z.860 dan Z.825 ) mewakili batupair
alluvial fan. Reservoar properties pada batupasir Z.860 ini lebih baik di bandingkan
batupasir pada formasi Lower Tanjung, Batupasir ini memiliki sorting yang bagus dan
mineralogy maturity yang bagus, ketbalan 25 30 meter, dengan nilai porisitas dan
permeabilitas rata-rata yang bagus. Tidak seperti Z.860, batupasir Z.825 tipis dan
diskontinyu ( melensa ) dengan ketebalan 3 5 meter.
Tahap 3 reservoarnya terdiri dari Batupasir e ( Z.710 dan Z. 670 ). Batupasir-E di
endapakn pada pantai/ barrier bar pada lingkungan garis pantau yang terus mengalami
regresi.Ketebalan maksimum dari batupasir- E ini 30 meter.

SEALING ROCK.
Pase postrifting dari transgresi regional/ subsidence setelah pengendapan dari sag-fill
sedimen menghasilikan shallow marine mudstone pada tahao 4 formasi Upper Tanjung.
Batuan mudstone marine ini menyediakan sealing yang efektif bagi reservoir Lower
Tanjung. Tersusun atas 800 meter dengan dominasi neritic shale dan silty shale.
TRAPPING MECHANISM
Hydrocarbon terbentuk, bermigrasi dari Lower-middle tanjung coals, carbonaceous

shales, dan lower warukin carbonaceous shales. Kitchen utama terletak pada
depocentre basin sekarang.
Sealing rocks dihasilkan dari intra-formational shales. Generation, migration, dan
pemerangkapan hydrocarbon terjadi sejak middle early miocene (20 Ma). Barito basin
merupakan contoh dari efek interaksi tektonik terhadap tempat pembentukan
hydrocarbon (petroleum system).
Extensional tectonics pada early tertiary membentuk rifted basin, dan grabennya diisi
oleh lacustrine tanjung shales dan coals. Lingkungan lacustrine inilah yang akan
membentuk tanjung source rocks. Karena subsidence yang terus berlangsung dan
rifted structure makin turun, shale diendapkan semakin melebar, dan akan membentuk
seal untuk reservoir yang ada dibawahnya. Kondisi ini juga yang menyebabkan
penyebaran pengendapan reservoir rocks. Extensional faults merupakan media untuk
migrasinya hydrocarbon yang terbentuk dibagian terbawah dari graben

Selama late miocene, basin mengalami permbalikan akibat naiknya Meratus,


membentuk asymmetric basin, Barito basin mengalami dipping kearah NW dan makin
ke SE semakin curam. Akibatnya bagian tengah dari mengalami subsidence, sehingga
tanjung source rocks semakin terkubur, dan menghasilkan kedalaman yang cukup bagi
source rock untuk menjadi hydrocarbon.
Hydrocarbon mengisi jebakan melalui patahan dan melalui permeable sands. Pada
awal Pliocene, Tanjung source rocks kehabisan liquid hydrocarbon, sehingga
membentuk gas dan bermigrasi mengisi jebakan yang telah ada.
Lower Warukin shales pada depocentre basin mencapai kedalaman dari oil window
selama plio-pleistocene. Minyak terbentuk dan bermigrasi ke structural traps dibawah
warukin sand
METODE EKSPLORASI
Penelitian geologi pertama di Cekungan Barito dilakukan pada 1854. pada akhir
abad 19-an, B.P.M (Badan Eksplorasi Kerajaan Belanda) melakukan penelitian
sistematik eksplorasi pertama di Cekungan Barito. Ditemukan sejumlah kecil minyak di
pengeboran sekitar permukaan Formasi Warkin, tapi tidak ada yang komersial. B.P.M
memulai pencarian lebih ekstensif di cekungan itu pada 1930-an yang meliputi
pemetaan permukaan secara mendetail, eksplorasi permukaan besar-besaran,
pengeboran shallow hand auger, dan survey gravimetri.
Walupun banyak rembesan minyak di permukaan daerah Tanjung Raya, B.P.M
memfokuskan pencarian ke bagian barat dari cekungan tersebut dimana telah
ditemukan anomali gravitasi, tapi hanya satu dari empat puluh lubang bor yang
mengandung sedikit gas. Pada 1937, N.K.P.M (Badan Eksplorasi STANVAC) juga ikut
melakukan pemboran di beberapa tempat di daerah barat, disekitar S.Kahajan tanpa
menghasilkan tanda-tanda adanya hidrokarbon.
B.P.M kembali mengalihkan fokus eksplorasinya ke arah barat, dimana banyak
ditemukan daerah rembesan di daerah Tanjung Raya pada tahun 1930-an, dengan
pencarian ekstensif melalui survey geologi permukaan. Beberapa kolom stratigrafi yang
dibor sepanjang Antiklin Tanjung yang terpatahkan, menghasilkan minyak. Penemuan

minyak di sumur Tanjung-1 pada batupasir Formasi Tanjung bagian Bawah terjadi pada
tahun 1938. Jumlah kecil juga ditemukan pada struktur Kambitin di bagian barat. Tes
pada kedua endapan delta Miosen Warukin dan Paringin, yang berstruktur ke timur,
tidak menghasilkan hidrokarbon yang signifikan. Hanya karena terjadinya perang
beberapa sumur yang ada di lapangan Tanjung beserta hasil penelitian foto udara dan
foto geologi diambil alih.
Setelah perang, B.P.M berkonsentrasi untuk pengembangan pencarian di
lapangan Tanjung, dan pembangunan jalur pipa ke Balikpapan, dan pada tahun 1965
telah berhasil melakukan 89 kali pemboran di lapangan tersebut. Empat sumur
tambahan yang mengikuti penemuan sejumlah kecil minyak di sumur Kambitin-1,
struktur Kambitin pada tahun 1959-1964, juga hanya menghasilkan sedikit minyak.
Region Menunggul dan Hayub pada Formasi Tanjung Bawah juga tidak menghasilkan.
Pada tahun 1965, minyak yang ditemukan melalui offset pada struktur Warukin
yang berumur Miosen Bawah, sangat komersil. Dan pada akhir tahun 1965,
PERTAMINA mengambil alih tanggung jawab eksplorasi di Cekungan Barito dari
SHELL.
PERTAMINA melanjutkan pengembangan lapangan Tanjung dan Warukin, dan
berhasil melakukan pemetaan bawah permukaan regional menggunakan metode
seismik pantul. Tes Miosen yang dilakukan selanjutnya dengan mengebor sepanjang
lipatan antiklinal di Lapangan Warukin, melihat dari penenmuan minyak di Lapangan
Tapian Timur tahun 1967. Formasi Tanjung Bawah yang juga di tes di struktur
Bongkang tidak menghasilkan hidrokarbon. Pengujian di Dahor Selatan-1 yang terletak
sebelah selatan struktur Lapangan Tanjung, dibatalkan karena adanya semburan
minyak di Formasi Warukin Bawah, sayangnya, sumur offset yang dibuat tidak
mengarah ke reservoirnya. Tahun 1972, PERTAMINA melakukan pemboran besarbesaran yang melibatkan struktur-struktur yang mudah dikenali dari permukaan, juga
melakukan penyelidikan seismik untuk mendapatkan gambaran lebih jelas tentang
struktur bawah permukaan. Secara umum Formasi Tanjung Bawah tidak memiliki
banyak potensi hidrokarbon, ini dibuktikan dengan sedikitnya keberhasilan dalam
pemboran yang dilakukan. Tantau-1 yang di bor di atas basemen tinggi Antiklin Tanjung
bagian selatan, beberapa titik minyak yang cukup menjanjikan didapat dari
batugamping Formasi Berai yang berumur Oligosen. Lapisan pasir Formasi Tanjung

Bawah dengan kedalaman rendah juga menghasilkan gas alam dalam jumlah kecil di
sumur Bongkang-2. Dua dari tiga sumur yang ditambahkan kemudian juga
menyemburkan minyak dalam jumlah kecil. Tahun 1986, Bagok-1 dibor pada struktur
Kambitin yang merupakan bagian dari Formasi Tanjung Bawah, hanya menghasilkan
air tanah. Pembentukan karbonat berhenti pada Awal Miosen dengan dimulainya
komponen cebakan stratigrafi yang signifikan pada batupasir Tanjung Bawah.Tahun
1983, penolakan akan produksi di lapangan Tanjung, telah membuat 2 bagian yang
terpisah dari proyek pilot waterflood, tetapi miskin akan pemahaman dari kompleksnya

stratigrafi Tanjung Bawah yang membuat hasil yang mengecewakan.


Pada tahun 1968, CONOCO memperoleh hak eksplorasi untuk bagian yang luas
dari cekungan arah utara dan memfokuskan usaha mereka pada pada Berai reef plays.
Lima sumur dalam area laut dangkal gagal untuk mendapatkan biohermal build-up yang
signifikan atau hidrokarbon. pada tahun 1972, CONOCO menggarapkan ke PHILIPS
yang berkonstrasi pada tipe pegunungan di depa struktur dari sesar mendatar. Bagian
dari struktural sub-thrust (Martapura-1x) menemui kenampakan minor dari minyak pada
Tanjung bawah yang pengembangan batupasirnya, dan PHILIPS PSC merugi
beberapa hektar.
PEXAMIN mendapatkan hak untuk eksplorasi pada suatu area sekitar sumur
Kamtibin sebelah utara pada tahun 1970. Dua sumur dipisahkan untuk mengecek
kenampakan dari antiklin, tetapi perkembangan dari Tanjung Bawah kurang
memuaskan dan tidak ada indikasi kedapatan dari hidrokarbon.
Pada tahun 1981, AMOCO mendapatkan Blok C mencakup daerah bagian
barat shelfal dari cekungan dimana CONOCO telah kerja di situ terlebih dahulu.
Keterdapatan seismik dari 25 lipatan menuitupi daerah jauh lebih menghasilkan dari
CONOCO dahulu yang hanya 6 lipatan. Pemboran pertama yang bertujuan untuk pada
Tanjung Bawah menyilang dari sistem seismik meneyebar secara lateral pada dasar
atas, namun, target batupasir tidak ada dan sumet telah sidetracked untuk mengecek
dari interpretasi dari Berai yang reefal build-up-nya dekat. Beberapa Karbonat
Biohermal post-Berai yang terbatas didapatkan, tetapi yang dicek hanya berupa air
biasa. Dan AMOCO mengalami kerugian pada blok tersebut pada tahun 1984.
Juga pada tahun 1981, TREND mendapatkan hak eksplorasi Blok B
mengkover bagian selatan dan porsi utama dari Cekungan. Trend memfokuskan pada
pegunungan depan (dimana indikasi sejumlah minyak telah ditemukan). Sepanjang
1196 km dari 24 lipatan seismik ditemukan. Pemboran pertama yang bernama Miyawa
1 mengecek Tanjung Bawah pada sub-thrust fault trap, dan mendapatkan lebih dari
600 indikasi bagus dari kenampakkan minyak. Bagamanapun, sumur tersebut telah
memasuki zona yang kompleks dari patahan dan interval dari tests gagal untuk
menemukan sumber zat cair. Sumur kedua, Birik-1 telah dibor untuk mengecek secara
seismik penjabaran dari dalamnya sub-thrust rool-over pada Formasi Minosen Warukin.
Sejumlah kenampakan dari minyak telah ditemukan, tetapi kualitas dari reservoir lagilagi sangat miskin. Hasilnya juga menunjukkan bahwa interpretasi struktur telh
memungkinkan artifak dari velocity untuk ketebalan lapisan dari konglomerat Darok.
Lalu TREND memfokuskan pada pusat dari daerah cekungan dengan didapatkannya
sejauh 1687 km dari seismik dan 1900 km gravitasi. Bangkau-1 diuji patahan yang sulit
untuk dipisahkan dekat dengan rool-over dalam Formasi Warukin dan memperoleh
sejumlah indikasi minyak yang baik didapt pada kenampakkan reservoir batupasir yang
jelek. Sumur telah disuspensi pada beberapa jenis tekanan dengan sejumlah besar
perolehan minyak dari borehole pada lapisan tipis silt lamina pada Warukin Bawah
yang pro-deltaics. Semuda-1 telah dibor untuk menguji penjabarans eismik dari
basemen yang tinggi, dan mendapatkan hanya veneer tipis dari shaley Tanjung Bawah
batupasir dengan kenampakan bagus dari minyak sebelum penetrasi volkanik andesit
Paleosen dimana sumur telah terendapkan.
TREND lalu memasuki kedalam joint technical (kerjasama) selama 9 bulan untuk
studi dengan PERTAMINA memanfaatkan kombinasi dari database dan lebih detail

kerja lapangan dalam usaha untuk deskripsi yang lebih baik dari perkembangan dan
distribusi dari Formasi Tanjung Bawah. Konsep Awal Tersier pencelahan (rifting)
didapatkan sepanjang 300 km dari seismik oleh TREND pada tahun 1988.

Anda mungkin juga menyukai