Anda di halaman 1dari 15

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Dispepsia

2.1.1. Definisi
Dispepsia berasal dari Bahasa Yunani yaitu

(Dys-) dan

(Pepse)

yang secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai pencernaan yang buruk


(bad digestion) (Schmidt-Martin dan Quigley, 2011). Dispepsia adalah
gejala dan bukan diagnosis. Hal ini dapat didefinisikan secara luas sebagai
rasa sakit atau ketidaknyamanan yang berpusat di perut bagian atas.
"Berpusat" mengacu pada gejala utama berada di dalam atau sekitar garis
tengah

dan

bukan

terletak

di

kuadran

atas

kiri

atau

kanan.

"Ketidaknyamanan" mengacu pada perasaan tidak menyenangkan yang


singkat dan menyakitkan, termasuk rasa penuh di perut bagian atas, cepat
kenyang, kembung, mual, dan muntah (Jones, 2005). Dispepsia juga
dikaitkan dengan berbagai faktor risiko pribadi dan lingkungan seperti
alkohol, tembakau, dan penggunaan obat-obatan anti inflamasi non-steroid
dan dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap kualitas
hidup.
2.1.2. Klasifikasi
Dispepsia adalah gejala yang umum dengan diagnosis banding
yang luas dan patofisiologi yang beragam. Prevalensinya sendiri
menyiratkan masalah kesehatan yang besar, meskipun sebagian besar
penderita tidak mencari perawatan medis (Tepe, 2011).
Dispepsia sendiri dapat digolongkan menjadi dispepsia organik dan
dispepsia fungsional. Kategorisasi dispepsia ini diperkenalkan dengan
tujuan target pengobatan yang lebih baik sesuai gejala (Talley dan
Holtmann, 2007). Pada pasien dengan dispepsia organik atau struktural,
ada tiga penyebab utama dispepsia: penyakit refluks gastroesofageal

Universitas Sumatera Utara

(dengan atau tanpa esofagitis), penyakit ulkus peptikum kronis, dan


keganasan (Tepe, 2011).
Talley dan Holtmann (2007) menyatakan bahwa Konsensus Roma
III telah merumuskan dispepsia fungsional menjadi dua kategori untuk
tujuan penelitian, yaitu postprandial distress syndrome (PDS, ditandai
dengan cepat kenyang atau rasa penuh setelah makan dalam jumlah besar)
dan epigastric pain syndrome (EPS, didefinisikan sebagai nyeri yang
sering terjadi atau rasa terbakar di epigastrium).

Gambar 2.1 Klasifikasi Dispepsia menurut Konsensus Roma III


Dikutip sesuai aslinya dari: Dyspepsia in Clinical Practice (2011)

2.1.3. Etiologi
Penyebab dispepsia cukup beragam dan bergantung pada
klasifikasinya, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Untuk penyebab
organik dispepsia sangat banyak seperti yang dijelaskan dalam Tabel 2.1,
namun sebagian besar kasus disebabkan oleh penyakit ulkus peptikum,
refluks gastroesofageal dan keganasan (Talley dan Segal, 2008). Lain
halnya dengan dispepsia fungsional yang memiliki penyebab tersendiri,
ditampilkan dalam Tabel 2.2 (Jones, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Penyebab Dispepsia secara Struktural atau Biokimia

Dikutip sesuai aslinya dari: Dyspepsia in Clinical Practice (2011)

Tabel 2.2 Etiologi Potensial dalam Dispepsia Fungsional


Visceral hypersensitivity
Impaired gastric emptying
Impaired postprandial fundic relaxation
Antral hypomotility
Gastric dysrhythmias
Small bowel dysmotility
Vagal neuropathy
Duodenal acid hypersensitivity
Psychosocial disturbances
Dikutip sesuai aslinya dari: Advanced Therapy in Gastroenterology
and Liver Disease (2005)

2.1.4. Patofisiologi
Karena gejala-gejalanya yang kompleks, baik sistem saraf pusat
(stres, kecemasan, dll) maupun gangguan pada lambung (infeksi atau
motorik)

seharusnya

terlibat,

tetapi

kepentingan

relatif

mereka

Universitas Sumatera Utara

kontroversial. Banyak pasien yang berkonsultasi dengan dokter untuk


dispepsia memiliki masalah psikologis yang cukup besar, dan kecemasan
sering menjadi alasan utama untuk konsultasi. Sementara itu beberapa
orang berpikir bahwa sindroma dispepsia terutama berhubungan dengan
gangguan psikologis, yang lain berpikir bahwa yang terpenting adalah
gangguan sensorik-motorik lambung (Berstad dan Gilja, 2005).
Bagaimanapun,

faktor

psikologis

dianggap

penting

dalam

membangkitkan suatu gejala. Dalam sebuah penelitian multi-faktorial,


faktor psikologis dan mekanisme perifer (lambung) tampaknya saling
terlibat dalam membangkitkan gejala, menyiratkan interaksi antara saraf
pusat dan sistem saraf enterik. Konsep kami untuk patogenesis sindroma
dispepsia diilustrasikan pada Gambar 2.2 (Berstad dan Gilja, 2005).

Gambar 2.2 Patogenesis Sindroma Dispepsia


Dikutip sesuai aslinya dari: Basic and New Aspects of Gastrointestinal
Ultrasonography (2005)

Gangguan di suatu tempat sepanjang sumbu otak-pencernaan


dianggap penting dalam patogenesis sindroma dispepsia. Interaksi antara
sistem saraf pusat (CNS) dan sistem saraf enterik (ENS) melibatkan kedua
sinyal eferen viseral dan aferen, beberapa di antaranya diperantarai oleh
nervus vagus. Normalnya, sinyal eferen dan aferen seimbang. Ketika
ketidakseimbangan diinduksi, seperti yang terjadi pada sindroma

Universitas Sumatera Utara

dispepsia, mustahil untuk mengetahui di mana penyakit dimulai atau di


mana ia berada, sentral atau perifer. Akibatnya, kita tidak tahu di mana
harus memutus lingkaran setan tersebut dengan pengobatan. Namun, hal
yang baik dengan ilustrasi seperti di atas adalah bahwa tidak peduli di
mana penyakit dimulai atau di mana kita menerapkan pengobatan. Seluruh
mekanisme patogenesis terhubung dalam jaringan sebab-akibat, yang
berarti bahwa mengoreksi satu abnormalitas, pusat atau perifer, dapat
memutus

lingkaran

setan

dan

memberikan

hasil

akhir

yang

menguntungkan (Berstad dan Gilja, 2005).


2.1.5. Diagnosis
Semua pasien dengan dispepsia yang persisten memerlukan
pengambilan riwayat pasien menyeluruh (anamnesis) dan pemeriksaan
fisik untuk menentukan penyebabnya. Bagi banyak pasien, diet, gaya
hidup, atau pengubahan dalam hal pengobatan dapat meringankan gejala
mereka. Karena penyebab yang mendasari keluhan dispepsia berkisar dari
kelebihan gas sampai ulkus peptikum atau pun keganasan, gejala alarm
harus dicari dan diselidiki ketika muncul. Anemia, penurunan berat badan,
tanda-tanda perdarahan gastrointestinal, cepat kenyang, atau disfagia harus
dievaluasi. Keluhan awal, terutama pada pasien yang lebih tua dari usia 45
tahun, atau dengan keluhan kronis yang jelas memburuk harus dievaluasi.
Tes paling akurat untuk dispepsia adalah upper endoscopy yang
memvisualisasi mukosa untuk ulkus, radang yang lain, esofagitis erosif,
atau keganasan dan pada saat yang sama juga memungkinkan dilakukan
biopsi untuk diagnosis histologis dan/ dokumentasi dari infeksi
Helicobacter pylori. Radiografi dengan pewarnaan kontras (barium)
kurang sensitif dan spesifik dibandingkan dengan upper endoscopy tetapi
dapat digunakan sebagai alternatif. Ultrasonografi pada kuadran kanan
atas dapat dilakukan jika ada kecurigaan penyakit di daerah pankreas atau
empedu sebagaimana dibuktikan oleh riwayat pasien atau melalui enzim
hati yang abnormal (Leppert dan Peipert, 2004).

Universitas Sumatera Utara

10

Komite Roma III telah merumuskan sindroma dispepsia dan


membatasi istilah untuk merujuk pada empat gejala berikut: rasa penuh
yang mengganggu setelah makan, cepat kenyang, nyeri epigastrium, atau
rasa terbakar di epigastrium. Selain itu, seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 2.3, ada dua kategori diagnostik baru dalam sindroma dispepsia;
disebut postprandial distress syndrome (PDS) dan epigastric pain
syndrome (EPS) (Talley dan Segal, 2008).

Tabel 2.3 Kriteria Diagnostik Sindroma Dispepsia

Dikutip sesuai aslinya dari: Gastroenterology and Hepatology:


A Clinical Handbook (2008)

Universitas Sumatera Utara

11

2.1.6.

Penatalaksanaan

Gambar 2.3 menunjukkan suatu algoritma untuk pendekatan pada


pasien dengan dispepsia uninvestigated (UD). Pengambilan riwayat
menyeluruh dengan pemeriksaan fisik yang tepat dilakukan untuk
mengklarifikasi apakah gejala berasal dari pankreas, empedu atau kolon.
Setelah diagnosis spesifik telah dibuat, pengobatan harus diarahkan pada
kondisi tertentu. Jika pertimbangannya adalah dispepsia yang sederhana,
penggunaan aspirin/ NSAIDs dihentikan, jika ada, dan pengobatan gejala
Gastro-oesophageal Reflux Disease (GORD) dengan pompa proton
inhibitor (PPI) harus diberikan. Sangat penting untuk membuat penilaian
dari hadirnya gejala alarm yang mengindikasikan kebutuhan endoskopi
dini, sedangkan selebihnya dapat dikelola dengan strategi test and treat
(mengacu untuk menetapkan ada/ tidaknya H.pylori) (Talley dan Segal,
2008).
Pemeriksaan non-invasif untuk H.pylori baik menggunakan urea
breath test atau immunoassay antigen pada tinja adalah pemeriksaan yang
tepat untuk kebanyakan pasien. Pemeriksaan serologi kurang akurat dan
umumnya tidak dianjurkan kecuali tidak ada alternatif lain. Bagi mereka
yang sudah menjalani endoskopi harus melakukan biopsi rutin yang
direkomendasikan oleh pedoman saat ini. Pada pasien ini, pengujian rapid
urease dengan atau tanpa pemeriksaan histologi biasanya dilakukan
(Talley dan Segal, 2008).
Pengobatan lini pertama untuk H.pylori adalah terapi triple dengan
kombinasi dua antibiotik dan satu agen adjuvan selama 7-14 hari;
Penelitian secara meta-analisis telah menunjukkan sedikit keunggulan
dengan masa pengobatan selama dua minggu. Regimen yang paling umum
termasuk PPI (misalnya omeprazole 20 mg dua kali sehari) dengan
amoxicillin 1 g dua kali sehari dan clarithromycin 500 mg dua kali sehari.
Amoxicillin dapat diganti dengan metronidazole pada pasien yang sensitif
terhadap penisilin, meskipun tingkat resistensi metronidazole semakin

Universitas Sumatera Utara

12

meningkat secara signifikan. Tingkat keberhasilan lebih dari 80% telah


dicapai di sebagian besar uji coba (Talley dan Segal, 2008).

Gambar 2.3 Penatalaksanaan Dispepsia


Dikutip sesuai aslinya dari: Gastroenterology and Hepatology:
A Clinical Handbook (2008)

Universitas Sumatera Utara

13

Respon terhadap terapi dapat dinilai paling efektif dengan urea


breath test yang dilakukan minimal empat minggu setelah terapi
antibiotik, dan setidaknya satu minggu setelah menghentikan terapi PPI.
Kegagalan pengobatan paling sering diatasi dengan rejimen lini kedua
yaitu PPI dan antibiotik alternatif seperti metronidazole dan tetrasiklin
selama dua minggu. Terapi penyelamatan untuk kegagalan pengobatan
selanjutnya melibatkan penggantian antibiotik dengan levofloxacin atau
rifabutin bersama dengan PPI. Diagnosis alternatif harus dipertimbangkan
jika ada kekurangan respon lanjutan dan pertimbangkan juga studi
pengosongan lambung dan penilaian psikologis pasien (Gambar 2.3)
(Talley dan Segal, 2008).

2.2

Faktor-faktor yang Memengaruhi Sindroma Dispepsia

2.2.1. Usia
Semua survei yang dilakukan telah memeriksa orang dewasa
dengan usia 18 tahun atau lebih. Sementara sebagian besar survei
menunjukkan bahwa dispepsia tampaknya tidak terkait dengan kelompok
usia tertentu, beberapa studi telah mencatat beberapa kecenderungan.
Dalam studi terakhir, sub-tipe

dispepsia tampaknya dikaitkan dengan

kelompok usia yang berbeda: reflux-like lebih umum pada orang dewasa
paruh baya, dysmotility-like lebih sering pada mereka yang berusia di
bawah 59 tahun dan gejala ulcer-like predominant lebih sering pada orang
dewasa dengan usia kurang dari 39 tahun (Mahadeva dan Goh, 2006).
Berbeda dengan Li et al. (2014), menurutnya prevalensi dispepsia
yang tertinggi ada pada siswa perempuan dan mahasiswa senior pada
tahun ke-empat program sarjana. Pengamatan klinis umum mengenai
gejala gastrointestinal yang meningkat seiring dengan usia telah

Universitas Sumatera Utara

14

dikonfirmasi oleh studi berbasis populasi dan terkait pula dengan


berkurangnya respon sensorik dari jaringan usus.
Gejala refluks juga sangat terkait dengan usia. Hasil penelitian
menunjukkan risiko yang lebih tinggi pada kelompok usia menengah dan
risiko menurun setelah itu. Risiko gejala sedang atau berat tapi bukan
dari gejala ringan nyata terlihat lebih tinggi pada subyek dengan usia
antara 50 dan 69 tahun. Karena kebanyakan orang hanya melaporkan
gejala ringan, efek usia ini dapat diabaikan jika keparahan gejala tidak
diperhitungkan (Nocon et al, 2006).
2.2.2. Jenis Kelamin
Kebanyakan studi populasi telah mampu memperoleh rasio relatif
antara laki-laki berbanding perempuan dan mayoritas dari mereka telah
menunjukkan tidak ada perbedaan dalam prevalensi dispepsia antara jenis
kelamin. Beberapa studi dalam populasi yang berbeda telah mencatat
dominansi konsisten terletak pada perempuan dengan dispepsia. Jenis
kelamin perempuan ditemukan menjadi satu-satunya faktor risiko
independen untuk dispepsia fungsional antara 2.018 orang Taiwan yang
menjadi peserta pemeriksaan kesehatan (Mahadeva dan Goh, 2006).
Yu et al. (2013) dalam penelitiannya juga menunjukkan hubungan
antara jenis kelamin dengan sindroma dispepsia. Diperlihatkan bahwa
perempuan memiliki skor gejala dispepsia yang lebih tinggi pada tahun
pertama follow-up dibandingkan laki-laki, konsisten dengan hasil studi
cross-sectional di Taiwan.
Pada penelitian Lydiard (2005) dalam Li et al. (2014) dikatakan
bahwa secara umum, gangguan pencernaan fungsional memiliki prevalensi
lebih tinggi pada wanita. Drossman et al. (1993) dalam Li et al. (2014)
juga mengatakan hal tersebut dikarenakan perempuan lebih mampu untuk
menyampaikan keluhannya dan memperlihatkan gangguan fungsional

Universitas Sumatera Utara

15

tersebut secara klinis. Namun, dalam penelitian yang sama ditunjukkan


kalau tidak ada perbedaan dalam prevalensi sindroma dispepsia antara pria
dan wanita.
2.2.3. Suku
Peran suku dalam dispepsia belum diteliti oleh sebagian besar studi
populasi. Sebagian besar survei telah dilakukan pada populasi tunggal/
serupa dari kelompok suku, kebanyakan berasal dari latar belakang
Kaukasia atau Oriental. Namun, dalam salah satu penelitian yang
melibatkan subyek dengan beberapa latar belakang suku dari sebuah
institusi tunggal di Amerika Serikat, ras Afrika-Amerika ditemukan
menjadi salah satu dari beberapa faktor risiko epidemiologi untuk
dispepsia. Dalam sebuah survei terhadap populasi multi-rasial di
Singapura, Asia Tenggara, prevalensi dispepsia dari suku yang sesuai
ditunjukkan sebagai berikut: Cina 8,1%, Melayu 7,3%, dan India 7,5%.
Meskipun kelompok suku mayoritas di Singapura adalah Cina, penulis
dapat memperoleh prevalensi berdasarkan representasi yang sama dari tiga
kelompok etnis yang berbeda (Mahadeva dan Goh, 2006).
Dalam sebuah survei door to door pada 2.000 subyek dari populasi
multi-etnis Malaysia yang terdiri dari Cina, India, dan Melayu, 14,6%
memiliki dispepsia (kriteria Roma II). Frekuensi dispepsia adalah 14,6%,
19,7%, dan 11,2% untuk masing-masing kelompok suku Melayu, Cina,
dan India. Dispepsia lebih umum di kalangan Cina daripada non-Cina
(Ghoshal et al, 2011).
2.2.4. Gangguan Pola Makan
Sangat menarik untuk melihat bahwa banyak jenis makanan atau
minuman telah dikaitkan dengan pembentukan gejala gastrointestinal pada
studi sebelumnya yang menilai pasien dengan sindroma dispepsia,
sindroma iritasi usus, atau gangguan motilitas lainnya. Mekanisme

Universitas Sumatera Utara

16

mengenai faktor makanan yang menginduksi gejala dispepsia masih


memerlukan klarifikasi. Dalam sebuah tinjauan terbaru, Feinle-Bisset dkk.
membahas peran potensial dari beberapa faktor dalam hubungannya antara
diet dan dispepsia, termasuk kelainan pada pengosongan lambung dan
distribusi makanan intragastrik, hipersensitivitas lambung atau usus kecil,
hipersekresi asam lambung, dan perubahan sekresi hormon gastrointestinal
(Carvalho et al, 2009).
Lebih dari sepertiga pasien sindroma dispepsia melaporkan
mengalami gejala dispepsia setelah mengkonsumsi makanan yang
mengandung gandum, seperti roti, kue, dan pasta (makaroni dan lasagna).
44% dari keseluruhan pasien juga melaporkan gejala dispepsia dengan
konsumsi susu. Satu penjelasan yang mungkin untuk asosiasi ini ialah
adanya malabsorpsi laktosa pada pasien ini. Dalam studi tersebut peneliti
tidak menyelidiki adanya malabsorpsi laktosa untuk menilai kemungkinan
perubahan ini dalam menginduksi gejala yang berhubungan dengan susu.
Namun, harus diperhatikan bahwa gejala yang berhubungan dengan
konsumsi susu pada pasien ini adalah rasa penuh dan terbakar di
epigastrium, berbeda dari gejala klasik malabsorpsi laktosa, yaitu nyeri
perut, perut kembung, dan diare. Ada kemungkinan bahwa keluhan
dispepsia pasien tersebut terkait dengan komponen lain dari susu, seperti
lemak (Carvalho et al, 2009).
Carvalho et al. (2009) juga menyampaikan temuannya yang
berkaitan dengan hubungan dispepsia dan nyeri ulu hati yang dapat dipicu
oleh konsumsi kopi. DiBaise dkk. menunjukkan bahwa 43% dari pasien
dispepsia merasakan gejala rasa terbakar di epigastrium dan 90%
melaporkan nyeri ulu hati setelah minum kopi. Mekanisme yang terlibat
dalam perangsangan kopi terhadap gejala dispepsia tidak sepenuhnya
dipahami.

Ada

sangkaan

bahwa

kopi

dapat

memicu

refluks

gastroesofageal dan merangsang sekresi asam lambung serta pelepasan


gastrin.

Universitas Sumatera Utara

17

2.2.5. Kebiasaan Merokok


Merokok tidak hanya memiliki efek merusak yang sangat besar
pada organ kardiovaskular , otak , dan bronkus tetapi juga secara
mendalam mengubah fungsi semua bagian dari saluran pencernaan melalui
berbagai mekanisme. Salah satu efeknya berhubungan dengan mekanisme
pada sindroma dispepsia. Pentingnya peran rokok dalam mempotensiasi
efek dari NSAID mungkin muncul, tetapi hasil studi epidemiologi ini
masih

kontroversial.

Dalam

salah

satu

studi

berbasis

populasi

epidemiologi, perokok dengan konsumsi harian lebih dari dua puluh


batang

memiliki

risiko

1,55

kali

dari

bukan

perokok

untuk

mengembangkan dispepsia (Massarrat, 2008).


Menurut Nandurkar (1998) dalam Massarrat (2008), dua penelitian
berbasis masyarakat sebelumnya gagal untuk menunjukkan hubungan
antara merokok dengan dispepsia, meskipun merokok telah terbukti
menyebabkan efek berbahaya pada mukosa lambung. Nikotin, komponen
beracun yang utama dalam tembakau, mempotensiasi cedera mukosa
dengan menambah asam dan sekresi pepsin, duodenogastric reflux, dan
produksi radikal bebas. Merokok juga merusak pertahanan mukosa dengan
mengurangi sintesis prostaglandin, sekresi lendir, dan sekresi faktor
pertumbuhan epidermal. Guslandi dkk. mempelajari aliran darah mukosa
lambung dan produksi mukosa bikarbonat dalam tiga kelompok pasien
dengan dispepsia: bukan perokok, perokok ringan (<10 batang per hari),
dan perokok berat (10 batang per hari). Mereka menunjukkan bahwa
terjadi penurunan secara statistik yang cukup signifikan pada aliran darah
mukosa lambung dan sekresi alkali pada perokok berat, tapi tidak terjadi di
kelompok lain. Oleh karena itu, masuk akal bahwa merokok dapat
menyebabkan dispepsia melalui dampaknya pada mukosa lambung.

Universitas Sumatera Utara

18

2.2.6. Riwayat Penggunaan NSAID


Pada periode 1999-2003, 6.576 artikel mengenai reaksi obat yang
merugikan diterbitkan. Sebuah pencarian di PubMed dengan judul
'dispepsia' dan 'perangasangan kimiawi' menghasilkan sekitar 272 kutipan.
128 dari hasil tersebut diterbitkan dalam 10 tahun terakhir dan lebih dari
setengah (66/128) yang berkaitan dengan NSAID atau penggunaan aspirin
(Bytzer, 2009).
NSAID digunakan lebih dari 20 juta orang di Amerika Serikat dan
prevalensi penggunaan resep untuk NSAID adalah sekitar 10-15% pada
orang tua dengan usia lebih dari 65 tahun. Kerusakan mukosa lambung
karena NSAID merupakan masalah kesehatan utama. Rata-rata satu
sampai dua dari seratus pasien yang memakai NSAID selama satu tahun,
dirawat di rumah sakit karena masalah saluran cerna, paling sering ulkus.
Ofman dan rekan kerja melakukan meta-analisis dari dispepsia dan
NSAID. Pada kelompok yang diobati dengan NSAID 4,8% dari pasien
mengalami dispepsia sedangkan pada pasien yang mengkonsumsi plasebo
hanya 2,3%. Penggunaan dosis tinggi NSAID dan obat-obatan seperti
indometasin,

meclofenamate,

dan

piroksikam

dikaitkan

dengan

peningkatan risiko dispepsia (Bytzer, 2009).


Mekanisme NSAID itu sendiri yaitu dengan menghambat enzim
cyclooxygenase (COX), yang pada gilirannya mengurangi sintesis endogen
sitoprotektif dari prostaglandin dan membuat mukosa rentan terhadap agen
berbahaya. Cedera mukosa saluran cerna yang disebabkan oleh NSAID
bervariasi dari mikroskopik halus sampai cedera makroskopik. Perubahan
halus terjadi dalam bentuk disfungsi permeabilitas dengan difusi ion
hidrogen

dan

pergeseran

ion

natrium

intraluminal.

Komplikasi

makroskopik, khususnya erosi dan ulkus, dapat mempersulit gangguan


mukosa yang tidak diobati. Luka mukosa lambung akut yang diinduksi

Universitas Sumatera Utara

19

aspirin dapat terjadi dalam waktu satu jam paparan (Mofleh dan Rashed,
2007).
2.2.7. Stress
Patofisiologi dari sindroma dispepsia tidak sepenuhnya jelas. Ada
beberapa hipotesis yang berusaha menjelaskan patogenesis sindroma
dispepsia, salah satunya adalah hipotesis psikologis. Hal tersebut
menunjukkan bahwa depresi, kecemasan, atau pun gangguan somatisasi
dapat menyebabkan gejala dispepsia. Model biopsychological mendalilkan
bahwa dispepsia dihasilkan dari interaksi timbal balik yang kompleks
antara faktor biologis, psikologis, dan sosial. Ada komorbiditas dua arah
antara dispepsia dan gangguan psikiatris, terutama mood dan gangguan
kecemasan. Penelitian secara patofisiologi menunjukkan hubungan antara
proses psikologis dengan gejala dan fungsi

sensori-motor gastro-

intestinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gejala kejiwaan (depresi,


kecemasan, gangguan obsesif, sensitivitas interpersonal, psychoticism, dan
permusuhan) lebih tinggi pada kelompok sindroma dispepsia daripada
kontrol, dan hasil-hasil ini kompatibel dengan penelitian sebelumnya.
Levy (2006) melaporkan bahwa kecemasan, depresi, serangan panik, dan
gangguan somatisasi sering terdeteksi sebelum atau bersamaan dengan
terjadinya gangguan fungsional gastrointestinal (Faramarzi et al, 2012).
Dispepsia, GERD, dan IBS adalah kondisi gastrointestinal yang
umum baik di Cina maupun di seluruh dunia. Tingkat prevalensi yang
berbeda dari ketiga gangguan ini diamati pada populasi mahasiswa yang
dapat mencerminkan potensi berbeda dari asosiasi dengan faktor-faktor
terkait stres. Mahasiswa berada pada risiko yang lebih tinggi untuk
gangguan psikologis (Li et al, 2014). Ujian, sebagai contoh dari stressor
kehidupan nyata, menginduksi gejala dispepsia pada mahasiswa
kedokteran yang terkait dengan sifat-sifat psikologis tertentu, termasuk
kecemasan (Talley dan Holtmann, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai