Refrat Anestesi
Refrat Anestesi
Disusun oleh:
Alice Pratiwi (112014130)
Rachel Noviana Tommy (112014126)
Elia Veronika (112014062)
Wahyuningtyastuti Widia P.D. (112014069)
Barlina Simar Damarisa Watloly (112013036)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konsep dan Definisi Nyeri
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri,
yaitu bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan
pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with
nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut. Kemudian, bahwa
perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata
(pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.1
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi,
defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri
memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri
sehinggadapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme
defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau
patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.1
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan
penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk
mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu
kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga
maupun lingkungannya. Pengobatan nyeri merupakan subspesialis dari anestesiologi,
neurologis, psikiatrik, juga sebagai pengobatan fisik dan rehabilitasi. Bidang ini fokus kepada
penanganan pasien dengan kedua nyeri akut dan kronis yang diakibatkan dari fisiologi,
struktural da patologi psikologikal.1
BAB II
ISI
2.1 Anatomi dan Fisiologi Nyeri
Salah satu sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang
ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus
pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen:2
a. Reseptor khusus yang disebut nociseptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan
menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious. (orde 1)
b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.
c. Kornu dorsali medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat
aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara local
eksitasi dan inhibitor interneuron dan tarktus desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan
ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2)
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)
f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,
ingatan tentang nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris.
g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.
h.
2.2 Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat
kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Akan terjadi
pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler
yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini
dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.2
Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti sustu proses
nosisepsis yaitu:3
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor
nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel rusak,
bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P
dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia
(substansi nyeri).2,3
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf perifer.
Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron
pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari
thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri
melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai
persepsi nyeri.2,3
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga melibatkan
faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan
nyeri.2,3
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan
yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.2,3
Tabel 1. Klasifikasi saraf perifer.5
Kelas
serat
Alfa A
Diameter
(m)
12-20
Myelin
Lajukonduksi
Innervasi
+++
75-120
Afterenkeotot skeletal
Beta A
5-12
+++
30-75
Gamma
A
Delta A
3-6
++
12-35
1-5
++
5-30
<3
3-15
0.2-1.5
0.4-2.0
Fungsi
Motorikdan
reflex
Aferen
dari Getaran, sentuhan
mekanoreseptor
ringan,
dan
kutaneus
tekanan
Eferen ke otot spindle Tonus otot
Aferen nyeri
termoreseptor
dan Nyeri
cepat,tajam,
lancinating,
sentuhan
dan
suhu
Aferen
simpatetik Fungsi otonomik
preganglionik
Aferen nyeri dan Nyeri
lambat,
termoreseptor
tumpul,terbakar,
sentuhan,
tekanan,
suhu
otonomik
post
ganglionik
Cutaneus atau superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan.
Biasanya bersifat burning (seperti terbakar). Contohnya terkena ujung pisau atau
gunting.
Deep somatic atau nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pembuluh
darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar & lebih lama daripada cutaneus. Contohnya
cidera otot atau sendi.
Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dlm rongga abdomen, cranium
dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.1
Nyeri neurogenik. Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi
primer pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cidera pada jalur serat saraf
perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensi
yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebabkan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan
sensitivitas
dari
noradrenalin
yang
kemudian
menghasilkan
Nyeri psikogenik, terjadi karena sebab yang kurang jelas atau susah diidentifikasi,
bersumber dari emosi atau psikis dan biasanya tidak disadari. Contohnya dada
seseorang menjadi berat setelah marah.1 Nyeri ini berhubungan dengan adanya
gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan
kejiwaan pasien tenang.
Nyeri akut terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau intervensi bedah dan
memiliki awitan yan cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan .
Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit
yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi
medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul,
biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri
akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi
prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang
dengan adanya nyeri akut yang tidak terkontrol.5
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung
lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena
pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa
berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak
seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami
periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan
meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang
diarahkan
pada
penyebabnya.
Nyeri
ini
merupakan
penyebab
utama
ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi
membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis.5
D. Berdasarkan lokasi5
Radiating pain adalah nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya.
Contohnya nyeri pada angina pektoris.
Referred pain adalah nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yg diperkirakan
berasal dari jaringan penyebab.
Intractable pain adalah nyeri yg sangat susah dihilangkan. Contohnya pada nyeri
keganasan.
Phantom pain adalah sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yg hilang. Contohnya
pada bagian tubuh yang telah diamputasi atau bagian tubuh yang lumpuh karena
injuri medulla spinalis.1
Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan aktifitas
sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang hanya
hilang jika penderita tidur.
Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, penderita
tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.
Sangat nyeri
Gambar 2.4.2 Skala VDS
Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda, menampilkan wajah bahagia
hingga wajah sedih, digunakan untuk mengekspresikan rasa nyeri. Skala ini biasanya
dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun.5
Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder.
Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga kedua, yaitu ditambahkan obat opioid lemah
misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.6
Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.2
Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat pembantu.
Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf
penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat
tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu. Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang
paling sering digunakan. Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid,
analgesik opioid dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut
adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat analgesik harus
digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara
terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan NSAID, bila pada proses transmisi
diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses modulasi diberikan narkotik.2,6
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen (tylenol) dan OAINS.
Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi
(kecuali asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam asetil salisilat
(aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat
ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.2
sintesis
prostaglandin
dari
prekursor
asam
arakidonat.
Prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik lain di
tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia.
digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan euforiknya.
Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat
dan masih standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.4
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG, substansia
gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin menimbulkan efek
dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfinenkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan
mengikat reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan
efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.2
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua
opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi).
Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan dalam
jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang yang
cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein,
tramadol, morfin solutio.4
3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat
reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid
murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk
melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi nafas dan
sedasi.2
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin (talwin)
dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung pada narkotik,
maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid
adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan)
dibandingkan dengan antagonis opioid murni.1
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk
tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik
atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat
ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon
terhadap opioid.3
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif
untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini
efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf
dan menekan respon akhir di saraf.4
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang
sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan
nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi
struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada
pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang
independen dari aktivitas antidepresan.2
Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin
(vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila
diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang digunakan
untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya
dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan
kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.2
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya,
agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid
atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara
sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor
sentral dan perifer. Antagonis
penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari
obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh
opioid.6
: 27 pasien.
Nyeri ringan
: 11 pasien.
Nyeri sedang
: 16 pasien.
: 7 pasien.
Nyeri ringan
: 25 pasien.
Nyeri sedang
: 8 pasien.
3. General anesthesia
: 31 pasien.
Tidak nyeri
: 3 pasien.
Nyeri ringan
: 18 pasien.
Nyeri sedang
: 9 pasien.
4. TIVA
: 38 pasien
Tidak nyeri
: 10 pasien.
Nyeri ringan
: 26 pasien.
Nyeri sedang
: 2 pasien
5. TIVA Combine
: 1 pasien
Nyeri ringan
: 1 pasien
Tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat
Total pasien
SAB SC
SAB NON
GA
TIVA
TIVA COMBINE
0
11
16
0
27
SC
7
25
8
0
40
3
19
9
0
31
10
26
2
0
38
0
1
0
0
1
= 137
TIDAK NYERI
NYERI RINGAN
NYERI SEDANG
41%
59%
NYERI BERAT
18%
20%
TIDAK NYERI
NYERI RINGAN
NYERI SEDANG
NYERI BERAT
63%
6%
40%
TIDAK NYERI NYERI RINGAN
37%
NYERI
SEDANG
18%
NYERI BERAT
5%
26%
TIDAK NYERI NYERI RINGAN NYERI SEDANG NYERI BERAT
68%
TIDAK NYERI
NYERI RINGAN
NYERI SEDANG
NYERI BERAT
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Berdasarkan lamanya, nyeri diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri
kronik. Berdasarkan derajat nyeri, nyeri diklasifikasikan menjadi nyeri ringan, sedang, berat.
Keadaan nyeri akan memberikan efek multi system organ, yaitu pada sistem respirasi,
kardiovaskular, gastrointestinal, urogenital, metabolism endokrin, hematologi, efek
psikologis, dan efek homeostasis cairan dan elektrolit. Pengukuran derajat nyeri dapat
menggunakan beberapa skala ukur yang didasarkan pada apakah pasien dapat berkomunikasi
atau tidak. Pasien yang dapat berkomunikasi dapat menggunakan skala ukur NRS, VDS,
VAS. Sedangkan pasien yang tidak dapat berkomunikasi dapat menggunakan skala ukur
FLACC, skala wajah Wong Baker, BPS, CPOT. Penanganan nyeri didasarkan pada derajat
nyeri, yaitu nyeri ringan (mild pain), nyeri sedang (moderate pain), nyeri berat (severe pain).
Pengobatan yang diberikan pada nyeri ringan adalah aspirin, acetaminophen, NSAID; nyeri
sedang diberikan acetaminophen/aspirin, codein, atau tramadol; nyeri berat diberikan morfin,
methadone, fentanyil, atau non opioid analgesic.
Daftar Pustaka
1. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London: Elsevier Churchill Livingstone;
2006. h: 441-55.
2. Woolf CJ. Mekanisme spesifik penanganan farmakologi nyeri. St Louis: Ann Intern
Med; 2005. h:293-6.
3. Tamsuri, A. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta.: EGC; 2007
4. McCarberg, B.H, Steven D, editors. Expert guide to pain management. USA: Versa
Press; 2005.p.143-5.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Ed.II. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI; 2002. Hal: 74-84; 129-131
6. Fishman S, Ballantyne J, Rathmell JP. Bonicas management of pain. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 14-7.