Anda di halaman 1dari 25

REFERAT PAIN MANAGEMENT

Disusun oleh:
Alice Pratiwi (112014130)
Rachel Noviana Tommy (112014126)
Elia Veronika (112014062)
Wahyuningtyastuti Widia P.D. (112014069)
Barlina Simar Damarisa Watloly (112013036)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT IMANUEL LAMPUNG
PERIODE 15 JUNI 2015 4 JULI 2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Konsep dan Definisi Nyeri
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Berdasarkan batasan tersebut di atas, terdapat dua asumsi perihal nyeri,
yaitu bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan, berkaitan dengan
pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with
nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri akut. Kemudian, bahwa
perasaan yang sama dapat juga terjadi tanpa disertai dengan kerusakan jaringan yang nyata
(pain without nociception). Keadaan nyeri seperti ini disebut sebagai nyeri kronis.1
Nyeri, selain menimbulkan penderitaan, juga berfungsi sebagai mekanisme proteksi,
defensif dan penunjang diagnostik. Sebagai mekanisme proteksi, sensibel nyeri
memungkinkan seseorang untuk bereaksi terhadap suatu trauma atau penyebab nyeri
sehinggadapat menghindari terjadinya kerusakan jaringan tubuh. Sebagai mekanisme
defensif, memungkinkan untuk immobilsasi organ tubuh yang mengalami inflamasi atau
patah sehingga sensibel yang dirasakan akan mereda dan bisa mempercepat penyembuhan.1
Penatalaksanaan terhadap nyeri yang hebat dan berkepanjangan yang mengakibatkan
penderitaan yang sangat berat bagi pasien pada hakikatnya tidak saja tertuju pada usaha untuk
mengurangi atau memberantas rasa nyeri itu, melainkan bermaksud menjangkau mutu
kehidupan pasien, sehingga ia dapat menikmati kehidupan yang normal dalam keluarga
maupun lingkungannya. Pengobatan nyeri merupakan subspesialis dari anestesiologi,
neurologis, psikiatrik, juga sebagai pengobatan fisik dan rehabilitasi. Bidang ini fokus kepada
penanganan pasien dengan kedua nyeri akut dan kronis yang diakibatkan dari fisiologi,
struktural da patologi psikologikal.1

BAB II
ISI
2.1 Anatomi dan Fisiologi Nyeri
Salah satu sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan informasi tentang
ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut dinamakan
nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari reseptor khusus
pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak Sistem nyeri mempunyai
beberapa komponen:2
a. Reseptor khusus yang disebut nociseptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan
menyaring intensitas dan tipe stimulus noxious. (orde 1)
b. Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.
c. Kornu dorsali medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat
aferen primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara local
eksitasi dan inhibitor interneuron dan tarktus desenden inhibitor dari otak.
d. Traktus asending nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan
ventralis) menyampaikan signal kepada area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2)
e. Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay
sensibilitas ke korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)
f. Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri,
ingatan tentang nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris.
g. Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level
medulla spinalis.
h.
2.2 Patofisiologi Nyeri
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan zat-zat
kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri. Akan terjadi
pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin serta produk-produk seluler
yang lain, seperti metabolit eicosinoid, radikal bebas dan lain-lain. Mediator-mediator ini
dapat menimbulkan efek melalui mekanisme spesifik.2

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai dirasakan
nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti sustu proses
nosisepsis yaitu:3
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di reseptor
nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel rusak,
bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P
dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia
(substansi nyeri).2,3
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf perifer.
Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron
pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi
sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari
thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri
melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai
persepsi nyeri.2,3
3. Modulasi

Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga melibatkan
faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan

atau meningkatkan aktifitas di reseptor

nyeri.2,3
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses
transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan
yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.2,3
Tabel 1. Klasifikasi saraf perifer.5
Kelas
serat
Alfa A

Diameter
(m)
12-20

Myelin

Lajukonduksi

Innervasi

+++

75-120

Afterenkeotot skeletal

Beta A

5-12

+++

30-75

Gamma
A
Delta A

3-6

++

12-35

1-5

++

5-30

<3

3-15

0.2-1.5

0.4-2.0

Fungsi

Motorikdan
reflex
Aferen
dari Getaran, sentuhan
mekanoreseptor
ringan,
dan
kutaneus
tekanan
Eferen ke otot spindle Tonus otot
Aferen nyeri
termoreseptor

dan Nyeri
cepat,tajam,
lancinating,
sentuhan
dan
suhu
Aferen
simpatetik Fungsi otonomik
preganglionik
Aferen nyeri dan Nyeri
lambat,
termoreseptor
tumpul,terbakar,
sentuhan,
tekanan,
suhu
otonomik
post
ganglionik

2.2 Klasifikasi Nyeri


A. Berdasarkan sumbernya5

Cutaneus atau superfisial, yaitu nyeri yang mengenai kulit/ jaringan subkutan.
Biasanya bersifat burning (seperti terbakar). Contohnya terkena ujung pisau atau
gunting.

Deep somatic atau nyeri dalam, yaitu nyeri yang muncul dari ligament, pembuluh
darah, tendon dan syaraf, nyeri menyebar & lebih lama daripada cutaneus. Contohnya
cidera otot atau sendi.

Visceral (pada organ dalam), stimulasi reseptor nyeri dlm rongga abdomen, cranium
dan thorak. Biasanya terjadi karena spasme otot, iskemia, regangan jaringan.1

B. Berdasarkan jenis nyeri5

Nyeri nosiseptif, karena kerusakan jaringan baik somatic maupun viseral

Nyeri neurogenik. Nyeri yang didahului atau disebabkan oleh lesi atau disfungsi
primer pada system saraf perifer. Hal ini disebabkan oleh cidera pada jalur serat saraf
perifer, infiltrasi sel kanker pada serabut saraf, dan terpotongnya saraf perifer. Sensi
yang dirasakan adalah rasa panas dan seperti ditusuk-tusuk dan kadang disertai
hilangnya rasa atau adanya rasa tidak enak pada perabaan. Nyeri neurogenik dapat
menyebabkan terjadinya allodynia. Hal ini mungkin terjadi secara mekanik atau
peningkatan

sensitivitas

dari

noradrenalin

yang

kemudian

menghasilkan

sympathetically maintained pain (SMP). SMP merupakan komponen pada nyeri


kronik. Nyeri tipe ini sering menunjukkan respon yang buruk pada pemberian
analgetik konvensional.

Nyeri psikogenik, terjadi karena sebab yang kurang jelas atau susah diidentifikasi,
bersumber dari emosi atau psikis dan biasanya tidak disadari. Contohnya dada
seseorang menjadi berat setelah marah.1 Nyeri ini berhubungan dengan adanya
gangguan jiwa misalnya cemas dan depresi. Nyeri akan hilang apabila keadaan
kejiwaan pasien tenang.

C. Berdasarkan lama atau durasinya

Nyeri akut terjadi segera setelah tubuh terkena cidera, atau intervensi bedah dan
memiliki awitan yan cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan .
Fungsi nyeri ini adalah sebagai pemberi peringatan akan adanya cidera atau penyakit
yang akan datang. Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi

medis, setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Apabila nyeri akut ini muncul,
biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Nyeri
akut secara serius mengancam proses penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi
prioritas perawatan. Rehabilitasi bisa tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang
dengan adanya nyeri akut yang tidak terkontrol.5

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu
periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung
lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena
pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa
berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak
seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami
periode remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan
meningkat). Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang
diarahkan

pada

penyebabnya.

Nyeri

ini

merupakan

penyebab

utama

ketidakmampunan fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi
membuat klien menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis.5
D. Berdasarkan lokasi5

Radiating pain adalah nyeri menyebar dari sumber nyeri ke jaringan di dekatnya.
Contohnya nyeri pada angina pektoris.

Referred pain adalah nyeri dirasakan pada bagian tubuh tertentu yg diperkirakan
berasal dari jaringan penyebab.

Intractable pain adalah nyeri yg sangat susah dihilangkan. Contohnya pada nyeri
keganasan.

Phantom pain adalah sensasi nyeri dirasakan pada bagian tubuh yg hilang. Contohnya
pada bagian tubuh yang telah diamputasi atau bagian tubuh yang lumpuh karena
injuri medulla spinalis.1

E. Menurut derajat nyerinya5


Berdasarkan derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :

Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan aktifitas
sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.

Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang hanya
hilang jika penderita tidur.

Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, penderita
tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

2.3 Respon Tubuh Terhadap Nyeri


Nyeri akut akan menimbulkan perubahan-perubahan di dalam tubuh. Impuls nyeri
oleh serat efferent selain diteruskan ke sel-sel neuron nosisepsi dikornu dorsalis medulla
spinalis, juga akan diteruskan ke sel-sel neuron di kornu enterolateral dan kornu anterior
medulla spinalis. Akibatnya, organ-organ yang disarafi oleh sistem simpatis akan aktif. Nyeri
akut baik yang ringan sampai berat akan memberikan efek pada tubuh seperti :2
a. Sistem respirasi
Pengaruh dari peningkatan laju metabolism, pengaruh reflek segmental, dan hormone
seperti bradikinin dan prostaglandin menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen
tubuh dan produksi karbondioksida mengharuskan terjadinya peningkatan ventilasi
permenit sehingga meningkatkan kerja pernafasan, khususnya pada pasien dengan
penyakit paru. Penurunan gerakan dinding torak menurunkan volume tidal kapasitas
residu fungsional. Hal ini mengarah pada terjadinya atelektasis, hipoksemia dan
terkadang dapat terjadi hipoventilasi.5
b. Sistem Kardiovaskuler
Pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi. Terjadi gangguan perfusi, hipoksia
jaringan akibat dari efek nyeri akut terhadap kardiovaskuler berupa peningakatan
produksi ketokelamin, angiostensin II, dan anti deuretik hormon sehingga
mempengaruhi hemodinamik tubuh seperti hipertensi, takikardi dan peningkatan
resistensi pembuluh darah secara sistemik. Pada orang normal cardiac output akan
meningkat tetapi pada pasien dengan kelainan fungsi jantungakan mengalami
penurunan cardiac output dan hal ini akan lebih memperburuk keadaanya. Karena

nyeri menyebabkan peningkatan kebutuahan oksigen myocard, sehingga nyeri dapat


menyebabkan terjadinya Iskemia Myocardial. Nyeri merupakan salah satu stressor
bagi tubuh sehingga menghasilkan sebuah stimulasi simpatis berupa peningkatan laju
nadi, tekanan arteri rata-rata, jumlah keringat dan perubahan ukuran pupil sebagai
bentuk kompensasi tubuh terhadap rangsangan nyeri tersebut.5
c. Sistem Gastrointestinal
Rangsangan terhadap saraf simpatis meningkatkan tahanan spingter dan menurunkan
motilitas saluran cerna yang menyebabkan ileus. Hipersekresi asam lambung akan
menyebabkan ulkus dan bersamaan dengan penurunan motilitas usus, potensial
menyebabkan pasien mengalami pneumonia aspirasi. Mual, muntah dan konstipasi
sering terjadi.5
d. Sistem Urogenital
Rangsangan terhadap saraf simpatis meningkatkan tahanan spingter saluran kemih
dan menurunkan motilitas saluran cerna yang menyebabkan retensi urin.5
e. Sistem Metabolisme dan Endokrin
Kelenjar simpatis menjadi aktif, sehingga terjadi pelepasan ketokelamin. Metabolisme
otot jantung meningkat sehingga kubutuhan oksigen meningkat. Respon hormonal
terhadap nyeri meningkatkan hormone-hormon metabolic seperti ketokelamin,
kortisol dan glucagon sehingga menyebabkan penurunan hormon anabolic seperti
insulin dan testosterone. Peningkatan kadar ketokelamin dalam darah mempunyai
pengaruh terhadap kerja insulin. Efektifitas insulin menurun, menimbulkan gangguan
metabolism glukosa sehingga kadar gula dalam darah meningkat. Hal ini mendorong
pelepasan glucagon, glucagon memicu peningkatan proses glukogenensis. Pasien
yang mengalami nyeri akan menimbulkan keseimbangan negative nitrogen,
intoleransi karbohidrat, dan meningkatkan lipolisis. Peningkatan hormon kortisol
bersamaan dengan peningkatan rennin, aldosteron, angiotensin, dan hormon
antideuretik yang menyebabkan retensi natrium, retensi air, dan ekspansi sekunder
dari ruangan ekstraseluler.5
f. Sistem hematologi

Nyeri menyebabkan peningkatan adhesi platelet, meningkatkan fibrinolisis, dan


hiperkoagulopati.5
g. Efek psikologis
Reaksi yang umumnya terjadi pada nyeri akut berupa kecemasan, ketakutan, agitasi,
dan gangguan tidur. Jika nyeri berkepanjangan dapat menyebabkan depresi.5
h. Homeostasis Cairan dan Eletrolit
Efek yang ditimbulkan akaibat dari peningkatan pelepasan hormone aldosteron
berupa retensi natrium. Efek akibat peningkatan produksi ADH berupa retensi cairan
dan penurunan produksi urin. Hormon ketokelamin dan kortisol menyebabkan
berkurangnya kalium, magnesium dan elektrolit lainnya.5

2.4 Pengukuran Intensitas Nyeri


Nyeri dinilai berdasarkan tingkah laku manusia, yang secara kultur mempengaruhi,
sehingga latar belakang mempengaruhi ekspresi dan pemahaman terhadap nyeri. Nyeri
merupakan respon fisiologis terhadap kerusakan jaringan dan juga mempengaruhi respon
emosional dan tingkah laku berdasarkan pengalaman nyeri seseorang dimasa lalu dan
persepsi terhadap nyeri. 4
Persepsi dan interpretasi terhadap input nosiseptif, respon emosional terhadap
persepsi (misal, depresi, takut, cemas, dan menderita), dan tingkah laku sebagai respon
terhadap emosi dan persepsi yang menuntun observer untuk yakin bahwa seseorang sedang
merasakan nyeri (misal, mengeluhkan nyeri, meringis). Persepsi nyeri kelihatannya sama
pada berbagai suku akan tetapi batas ambang nyeri berbeda antara suku atau ras. Penilaian
skala nyeri dapat dibagi atas pasien yang memiliki kemampuan verbal dan dapat melaporkan
sendiri rasa sakitnya (self reported) dan pasien dengan ketidakmampuan verbal baik karena
terganggu kognitifnya, dalam keadaan tersedasi, ataupun berada dalam mesin ventilator.4

1. Pasien dapat berkomunikasi


a. Numerical Rating Scale (NRS)
Skala ini sudah biasa dipergunakan dan telah divalidasi. Berat ringannya rasa sakit
atau nyeri dibuat menjadi terukur dengan mengobyektifkan pendapat subyektif nyeri. Skala
numerik dari 0 hingga 10, di bawah ini, nol (0) merupakan keadaan tanpa atau bebas nyeri,
sedangkan sepuluh (10), suatu nyeri yang sangat hebat.5

Gambar 2.4.1 Skala NRS


b. Visual Descriptif Scale (VDS)
Terdapat skala sejenis yang merupakan garis lurus, tanpa angka. Bisa bebas
mengekspresikan nyeri, arah kiri menuju tidak sakit, arah kanan sakit tak tertahankan, dengan
tengah kira-kira nyeri yang sedang. Pasien diminta menunjukkan posisi nyeri pada garis
antara kedua nilai ekstrem. Bila anda menunjuk tengah garis, menunjukkan nyeri yang
moderate/sedang. 5
Tidak ada rasa nyeri

Sangat nyeri
Gambar 2.4.2 Skala VDS

c. Visual Analogue Scale (VAS)


Cara lain untuk menilai intensitas nyeri yaitu dengan menggunakan Visual Analog
Scale (VAS). Skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm (atau 100 mm),
dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya, seperti angka 0 (tanpa nyeri)
sampai angka 10 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - <4 = nyeri ringan, 4 - <7 = nyeri sedang dan
7-10 = nyeri berat.5

Gambar 2.3 Skala VAS


2. Pasien tidak dapat berkomunikasi
a. Skala FLACC (Faces,Legs,Activity,Cry,dan Consolability)
Skala ini merupakan skala perilaku yang telah dicoba pada anak usia 3-7 tahun. Setiap
kategori (Faces,Legs,Activity,Cry,dan Consolability) diberi nilai 0-2 dan dijumlahkan untuk
mendapatkan total 0-10.5

b. Skala Wajah Wong Baker

Skala nyeri enam wajah dengan ekspresi yang berbeda, menampilkan wajah bahagia
hingga wajah sedih, digunakan untuk mengekspresikan rasa nyeri. Skala ini biasanya
dipergunakan mulai anak usia 3 (tiga) tahun.5

Gambar 2.4 Skala Wong Baker


Penelitian tentang reliabilitas Wong-Baker pernah dilakukan pada komunitas anak berkulit
hitam usia 3-18 tahun dengan jumlah sampel 100 orang, menunjukkan bahwa Wong-Baker
memiliki reliabilitas cukup baik namun belum memuaskan dengan nilai inter-rater reliability
(ICC=0,67).

c. Behavioral Pain Scale (BPS)


BPS merupakan skala yang terdiri dari tiga indikator yaitu: ekspresi wajah,
pergerakan ekstremitas atas, dan toleransi terhadap ventilasi mekanik. Alasan penggunaan
tiga indikator ini adalah sebagai berikut: Pergerakan saat dilakukannya suatu prosedur
biasanya dianggap sebagai indikator nyeri perilaku dan banyak disertakan dalam skala nyeri
perilaku pada anak. Ekspresi wajah dihubungkan dengan berbagai stimulasi nosiseptif yang
menghasilkan bukti untuk ekspresi wajah dapat diterima secara luas sebagai indikator nyeri.
Toleransi terhadap ventilasi mekanik sebagai suatu respon terhadap stimulasi nosiseptif
belum banyak mendapat perhatian.6
Pengamatan rutin dari perawat unit perawatan intensif menunjukkan bahwa pasien
yang terintubasi memberikan respon terhaap nyeri dengan perubahan toleransi terhadap
ventilasi mekanik (batuk, melawan).6

Payen, dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa BPS mampu memberikan


perbedaan bermakna antara penilaian nyeri pada pasien yang menjalani prosedur yang
mencetuskan nyeri dibandingkan pada prosedur yang tidak mencetuskan nyeri dimana nilai
BPS lebih tinggi pada pasien yang menjalani prosedur yang mencetuskan nyeri.3

d. Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT)


Critical-Care Pain Observasion Tool (CPOT) adalah sebuah skala sikap yang
disarankan oleh para ahli untuk menilai nyeri pada pasien-pasien kritis yang tidak dapat
berkomunikasi secara verbal. Skala ini dikembangkan di Prancis, memiliki 4 bagian dengan
setiap bagian memiliki kategori sikap yang berbeda, yaitu, ekspresi wajah, pergerakan badan,
tegangan otot dan keteraturan dengan ventilator untuk pasien terintubasi atau vokalisasi untuk
pasien yang tidak terintubasi. Setiap bagian memiliki skor 0 sampai 2, dengan jangkauan
kemungkinan nilai 0 8. 5
Tabel 2.4 CPOT

2.5 Penanganan Nyeri


Prinsip Umum Penatalaksanaan Nyeri
Sebelum dilakukanya pengobatan terhadap nyeri, seorang dokter harus memahami
tata laksana pengelolaan nyeri dengan seksama. Di dalam pengelolaan nyeri ini terdapat
prinsip-prinsip umum yaitu:2,4,6
1. Mengawali pemeriksaan dengan seksama
2. Menentukan penyebab dan derajat/stadium penyakit dengan tepat
3. Komunikasi yang baik dengan penderita dan keluarga

4. Mengajak penderita berpartisipasi aktif dalam perawatan


5. Meyakinkan penderita bahwa nyerinya dapat ditanggulangi
6. Memperhatikan biaya pengobatan dan tindakan
7. Merencanakan pengobatan, bila perlu, secara multidisiplin
Tujuan keseluruhan dalam pengobatan nyeri adalah mengurangi nyeri sebesarbesarnya dengan kemungkinan efek samping paling kecil. Terdapat dua metode umum untuk
terapi nyeri yaitu pendekatan farmakologik dan non farmakologik.6

Pendekatan Farmakologik
Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic Ladder.
Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu terdiri dari :
1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik non opiat.
2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga kedua, yaitu ditambahkan obat opioid lemah
misalnya kodein.
3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.6

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu :
1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3.
2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1.2
Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat pembantu.
Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-masing taraf
penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas analgesik,
memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk bertindak sebagai obat
tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu. Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang

paling sering digunakan. Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid,
analgesik opioid dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut
adjuvan atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat analgesik harus
digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara
terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan NSAID, bila pada proses transmisi
diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses modulasi diberikan narkotik.2,6
1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)
Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai
sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen (tylenol) dan OAINS.
Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi
(kecuali asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam asetil salisilat
(aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif untuk mengatasi nyeri akut derajat
ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri akibat kanker ringan.2

Diagram 1. Pembagian Obat Anti Inflamasi Non Steroid


OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui
inhibisi

sintesis

prostaglandin

dari

prekursor

asam

arakidonat.

Prostaglandin

mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik lain di
tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia.

Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan


menghambat sintesis prostaglandin.6
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau toleransi
fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi kadar tertentu tidak
menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan pemberian OAINS
adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan, pengelihatan kabur,
perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati, dan berkurangnya fungsi
ginjal.4
2. Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam
pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan dalam
pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah suatu alkaloid
yang berasal dari getah tumbuhan

opium poppy yang telah dikeringkan dan telah

digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan euforiknya.
Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri berat
dan masih standar pembanding untuk menilai obat analgesik lain.4
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG, substansia
gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin menimbulkan efek
dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan opioid endogen (endorfinenkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis (meningkatkan kerja reseptor). Dengan
mengikat reseptor opioid di nukleus modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan
efek pada sistem-sistem desenden yang menghambat nyeri.2
Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua
opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi).
Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan dalam
jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi silang yang

cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete. Misalnya codein,
tramadol, morfin solutio.4
3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid
Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat
reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid
murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk
melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi nafas dan
sedasi.2
Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin (talwin)
dan butorfanol (stadol). Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung pada narkotik,
maka obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid
adalah analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan)
dibandingkan dengan antagonis opioid murni.1
4. Adjuvan atau koanalgesik
Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk
tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik
atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari obat
ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak berespon
terhadap opioid.3
Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif
untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang ini
efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel saraf
dan menekan respon akhir di saraf.4
Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang
sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan
nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi
struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada
pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik yang
independen dari aktivitas antidepresan.2

Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin
(vistaril), yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila
diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam (valium), yang digunakan
untuk mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya
dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan dengan
kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.2
Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya,
agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan opioid
atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan secara
sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di reseptor
sentral dan perifer. Antagonis

alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam

penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama dari
obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi oleh
opioid.6

DATA NYERI PASIEN POST OPERASI 15 JUNI 2015-27 JUNI 2015


1. Subarachnoid Block SC

: 27 pasien.

Nyeri ringan

: 11 pasien.

Nyeri sedang

: 16 pasien.

2. Subarachnoid Block Non SC : 40 pasien.


Tidak nyeri

: 7 pasien.

Nyeri ringan

: 25 pasien.

Nyeri sedang

: 8 pasien.

3. General anesthesia

: 31 pasien.

Tidak nyeri

: 3 pasien.

Nyeri ringan

: 18 pasien.

Nyeri sedang

: 9 pasien.

Tidak dapat diidentifikasi

: 1 pasien ( pasien belum sadar post-op)

4. TIVA

: 38 pasien

Tidak nyeri

: 10 pasien.

Nyeri ringan

: 26 pasien.

Nyeri sedang

: 2 pasien

5. TIVA Combine

: 1 pasien

Nyeri ringan

: 1 pasien

Tidak nyeri
Nyeri ringan
Nyeri sedang
Nyeri berat
Total pasien

SAB SC

SAB NON

GA

TIVA

TIVA COMBINE

0
11
16
0
27

SC
7
25
8
0
40

3
19
9
0
31

10
26
2
0
38

0
1
0
0
1

= 137

TIDAK NYERI

NYERI RINGAN

NYERI SEDANG

41%
59%
NYERI BERAT

Diagram 1: Persentase Nyeri Subarachnoid Block Sectio Cesaria ( 27 pasien)

18%

20%
TIDAK NYERI

NYERI RINGAN

NYERI SEDANG

NYERI BERAT

63%

Diagram 2: Persentase Nyeri Subarachnoid Block Non SC (40 pasien)

6%
40%
TIDAK NYERI NYERI RINGAN

37%
NYERI
SEDANG

18%

NYERI BERAT

Diagram 3: Persentase Nyeri General Anesthesia ( 31 pasien)

5%
26%
TIDAK NYERI NYERI RINGAN NYERI SEDANG NYERI BERAT

68%

Diagram 4: Persentase Nyeri Total Intravenous Anesthesia ( 38 pasien)

TIDAK NYERI

NYERI RINGAN

NYERI SEDANG

NYERI BERAT

Diagram 5: Persentase Nyeri TIVA Combine ( 1 pasien)

BAB III
KESIMPULAN
Nyeri adalah bentuk pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berhubungan dengan adanya kerusakan jaringan atau suatu keadaan yang menunjukkan
kerusakan jaringan. Berdasarkan lamanya, nyeri diklasifikasikan menjadi nyeri akut dan nyeri
kronik. Berdasarkan derajat nyeri, nyeri diklasifikasikan menjadi nyeri ringan, sedang, berat.
Keadaan nyeri akan memberikan efek multi system organ, yaitu pada sistem respirasi,
kardiovaskular, gastrointestinal, urogenital, metabolism endokrin, hematologi, efek
psikologis, dan efek homeostasis cairan dan elektrolit. Pengukuran derajat nyeri dapat
menggunakan beberapa skala ukur yang didasarkan pada apakah pasien dapat berkomunikasi
atau tidak. Pasien yang dapat berkomunikasi dapat menggunakan skala ukur NRS, VDS,
VAS. Sedangkan pasien yang tidak dapat berkomunikasi dapat menggunakan skala ukur
FLACC, skala wajah Wong Baker, BPS, CPOT. Penanganan nyeri didasarkan pada derajat
nyeri, yaitu nyeri ringan (mild pain), nyeri sedang (moderate pain), nyeri berat (severe pain).
Pengobatan yang diberikan pada nyeri ringan adalah aspirin, acetaminophen, NSAID; nyeri
sedang diberikan acetaminophen/aspirin, codein, atau tramadol; nyeri berat diberikan morfin,
methadone, fentanyil, atau non opioid analgesic.

Daftar Pustaka
1. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London: Elsevier Churchill Livingstone;
2006. h: 441-55.
2. Woolf CJ. Mekanisme spesifik penanganan farmakologi nyeri. St Louis: Ann Intern
Med; 2005. h:293-6.
3. Tamsuri, A. Konsep dan penatalaksanaan nyeri. Jakarta.: EGC; 2007
4. McCarberg, B.H, Steven D, editors. Expert guide to pain management. USA: Versa
Press; 2005.p.143-5.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Ed.II. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI; 2002. Hal: 74-84; 129-131
6. Fishman S, Ballantyne J, Rathmell JP. Bonicas management of pain. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010. p. 14-7.

Anda mungkin juga menyukai