Anda di halaman 1dari 7

45

Hubungan Volume Penarikan Cairan dengan Perubahan Tekanan Darah pada


Pasien Penyakit Ginjal Kronik yang Menjalani Terapi Hemodialisis di RSUP
Dr Mohammad Hoesin Palembang
Kardiyus Syaputra1, Ian Effendi2, Yuwono3
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya
Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran, Universitas Sriwijaya
Jl. dr. Moh. Ali Komplek RSMH Palembang Madang Sekip, Palembang, 30126, Indonesia
E-mail: kardiyus@hotmail.com

Abstrak
Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi pengganti ginjal pada pasien penyakit ginjal kronik yang berfungsi
untuk membersihkan darah dengan membuang kelebihan cairan, mineral, dan zat-zat yang berbahaya yang tidak
berguna bagi tubuh. Air dan zat-zat yang berbahaya akan berpindah dari darah ke kompartement dialisat melaui proses
ultrafiltrasi. Volume penarikan cairan dalam proses ultrafiltrasi mempengaruhi perubahan tekanan darah pada pasien
hemodialisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan volume penarikan cairan dengan perubahan tekanan
darah pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional.
Besar sampel pada penelitian ini adalah sebanyak 96 sampel. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui observasi
langsung pada saat pasien menjalani terapi hemodialisis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang pada bulan
November 2014. Dari hasil analisis One Way Anova (p value =0,000) didapatkan penurunan MAP (Mean Arterial
Pressure) setelah terapi hemodialisis paling tinggi ditemukan pada kelompok penarikan cairan >3-4 liter yaitu sebesar
12,29 mmHg dan diikuti oleh kelompok dengan penarikan cairan >4 liter yaitu sebesar 4,08 mmHg. Namun, pada
kelompok penarikan cairan 1 liter terjadi peningkatan MAP sebesar 18,74 mmHg dan pada kelompok penarikan cairan
>1-2 liter terjadi peningkatan MAP sebesar 1,26 mmHg. Ada hubungan yang sangat bermakna antara penarikan volume
cairan selama proses hemodialisis dengan perubahan tekanan darah pada pasien penyakit ginjal kronik di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.
Kata Kunci: hemodialisis, penyakit ginjal kronik, tekanan darah, ultrafiltrasi

Abstract
Correlation between Body Fluid Removal and Blood Pressure Changes in Chronic Kidney Disease Patient that
Undergoes Hemodialysis Therapy in RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Hemodialysis is a form of renal
replacement therapy in patients with chronic kidney disease which serves to clean the blood by removing excess fluid,
minerals, and harmful substances that are not useful to the body. Water and hazardous substances will migrate from the
blood to the dialysate compartment through the ultrafiltration process, the amount of fluid withdrawal in ultrafiltration
process affect changes in blood pressure in patients on hemodialysis. This study aims to determine the association
between body fluid removal and blood pressure changes of patients with chronic kidney disease who undergo
hemodialysis therapy in RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. The type of this research is analytic observational
study with the amount of the samples are 96. Data used in this research are primary data collected by directly
observating patients on hemodialysis in RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang in November, 2014. One Way
Annova analysis (p value = 0.000) show that the higest decreases in MAP (Mean Arterial Pressure) after hemodialysis
therapy is in the fluid withdrawal group of > 3-4 liters by 12.29 mmHg and followed by the fluid withdrawal group of
> 4 liters that is equal to 4.08 mm Hg, but at the fluid withdrawal group of 1 liter MAP increases by 18.74 mmHg
and the group of
> 1-2 liters MAP increases by 1.26 mmHg. There is an association between body fluid removal
during hemodialysis and blood pressure changes in patients with chronic kidney disease in RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang.
Keywords: hemodialysis, chronic kidney disease, blood pressure, ultrafiltration
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan salah satu
1. Pendahuluan
masalah kesehatan dengan peningkatan insidensi,

46

prevalensi serta tingkat morbiditas. Di Amerika Serikat


berdasarkan data dari United Stated Renal Data System
National (USRDS) pada tahun 2011, didapatkan
sebanyak 395.656 pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis, 31.684 diterapi dengan
peritoneal dialisis, dan 185.626 melakukan transplantasi
ginjal1. Di Indonesia sendiri berdasarkan laporan dari
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) prevalensi penyakit ginjal kronis di
Indonesia berdasarkan diagnosis dokter sebesar 0,2
persen2.
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses
fatofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
irreversibel3. Pilihan terapi pada pasien gagal ginjal
kronik meliputi hemodialisis, atau transplantasi ginjal.
Hemodialisis merupakan salah satu bentuk terapi
pengganti ginjal (renal replacement theraphy) yang
mana berfungsi untuk membersihkan darah dengan
membuang kelebihan cairan, mineral, dan zat-zat yang
berbahaya yang tidak berguna bagi tubuh kita4.
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah
kedalam suatu tabung buatan (dialiser) yang terdiri dari
dua kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semi
permiabel buatan (artifisial) dengan kompartemen
dialisat5. Kompartemen dialisat dialiri oleh cairan
dialisis
yang diatur sedemikian rupa sehingga
mendekati komposisi ion darah normal, dan sedikit
dimodifikasi untuk memperbaiki gangguan cairan dan
elektrolit yang menyertai gagal ginjal6.
Pengeluaran kelebihan cairan dari tubuh pasien
merupakan bagian dari proses hemodialisis, air dapat
berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen
cairan dialisat dengan cara penaikan tekanan hidrostatik
negatif pada kompartemen cairan dialisat, perpindahan
cairan ini disebut ultrafiltrasi 7. Jumlah penarikan cairan
tubuh bervariasi setiap pasien tergantung peningkatan
berat badan interdialitik dari berat badan kering. Ada
beberapa faktor yang dapat menyebabkan tidak
tercapainya target jumlah penarikan cairan padapasien
hemodialisis, seperti kebiasaan minum yang berlebihan
pada sebagian pasien saat menjalani terapi serta pada
pasien yang mengalami komplikasi selama hemodialisis
seperti hipotensi intradialitik maupun hipertensi
intradialitik yang menyebabkan pemberhentian terapi
ditengah-tengah sesi hemodialisis.
Proses ultrafiltrasi juga dapat menyebabkan perubahan
tekanan darah, dimana pada proses ultrafiltrasi terjadi
pengurangan volume plasma yang akan menyebabkan
penurunan stroke volume dan berdampak terhadap
penurunan tekanan darah, penurunan tekanan darah juga

dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya seperti ; pasien


dengan massa tubuh rendah (khususnya perempuan),
usia lanjut, adanya penyakit kardiovaskular, dan pesien
dengan anemia berat7. Selain menyebabkan penurunan
tekanan darah proses ultrafiltrasi juga berdampak
terhadap peningkatan tekanan darah, mekanisme
terjadanya peningkatan tekanan darah belum
sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga
berperan dalam peningkatan tekanan darah seperti
aktivasi renin angiotensin aldosteron system (RAAS)
karena diinduksi oleh proses ultrafiltrasi, overaktif dari
simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+ saat HD,
viskositas darah yang meningkat karena diinduksi oleh
terapi eritropoetin (EPO), obat antihipertensi yang
ditarik saat HD, dan vasokontriksi yang diinduksi oleh
endothelin-1 (ET-1)8.
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang merupakan
salah satu rumah sakit rujukan di Kota Palembang untuk
perawatan penderita gagal ginjal dan memiliki
pelayanan unit hemodialis. Oleh karena itu penelitian
ini penting dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara penarikan cairan selama proses hemodialisis
terhadap perubahan tekanan darah pada pasien penyakit
ginjal kronik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.

2. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional
analitik dengan menggunakan rancangan cross
sectional. Penelitian dilakukan pada bulan November
2014. Besar sampel pada penelitian ini sebanyak 96
orang. Sampel merupakan pasien penyakit ginjal kronik
yang menjalani terapi hemodialisis di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang yang telah terpilih
sebagai subjek penelitian dan memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Cara pengambilan sampel menggunakan
metode consecutive sampling
Data yang dikumpulkan merupakan data primer hasil
observasi langsung terhadap pasien yang sedang
menjalani terapi hemodialisis RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang. Data tersebut dikumpulkan
kemudian akan dilakukan pencatatan sesuai dengan
variabel yang diteliti yaitu usia, jenis kelamin, kadar
hemoglobin, ada atau tidaknya kram, perubahan tekanan
darah dan penurunan berat badan.
Pengolahan data menggunakan software SPSS 16.0.
Jenis analisis yang dilakukan adalah analisis univariat
untuk melihat karakteristik sampel dan analisi bivariat
dengan One Way Anova untuk melihat hubungan
variabel independen dengan dependen.

3. Hasil
Tabel 1. Distribusi karakteristik subjek penelitian

47

Variabel

Frekuensi

20-39 th
40-59 th
60 th
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Kadar Hb
Normal
Anemia Ringan
Anemia sedang
Anemia Berat
Ada tidaknya kram
Kram
Tidak kram

22
59
15

22,9
61,5
15,6

58
38

60,4
39,6

4
53
36
3

4,2
55,2
37,5
3,1

7
89

7,3
92,7

mmHg. Sedangkan pada penarikan cairan 1 terjadi


peningkatan MAP sebesar 18,74 mmHg dan pada
penarikan >1-2 liter terjadi peningkatan MAP sebesar
1,26 mmHg.

Usia

Pada uji One Way Annova terhadap perubahan MAP


yang dilihat dari selisish antara MAP sesudah dan
sebelum hemodialisis diperoleh p-value = 0,000. Karena
nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna rata-rata perubahan MAP
pada penarikan cairan 1 liter, >1-2 liter, >2-3 liter, >34 liter, dan >4 liter.
Tabel 3. Hubungan Volume Penarikan Cairan Dengan
Perubahan Tekanan Darah

Berdasarkan tabel 1 didapatkan proporsi pasien PGK


pada kelompok usia 20-39 tahun, 40-59 tahun, dan >60
tahun secara berturut turut adalah 22,9%, 61,5%, dan
15,6%. Dari hasil tersebut terlihat bahwa kelompok usia
40-59 tahun adalah yang paling banyak menderita
PGK. Berdasarkan jenis kelamin, terdapat 58 orang lakilaki (60,4%) dan 38 orang perempuan (39,6%).
Berdasarkan kadar Hb paling banyak pasien mengalami
anemia ringan (55,2%). Berdasarkan ada tidaknya kram
didapatkan subjek yang mengalami kram saat
hemodialisis sebanyak 7 (7,3% ) orang dan yang tidak
mengalami kram sebanyak 89 (92,7%) orang.
Tabel 2. Perbedaan Perubahan MAP Berdasarkan Volume
Penarikan Cairan
Jml
Penarik
an
cairan
(liter)

Perubahan MAP
,324

Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N

Volume
Penarikan
Cairan

,001
96

Berdasarkan tabel 3 di atas, dari hasil uji korelasi


Pearson diperoleh nilai p(0,001) < (0,05), maka Ho
ditolak, yang berarti secara statistik ada hubungan
antara volume penarikan cairan dengan perubahan
tekanan darah pada pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisis di RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang. Secara statistik diperoleh nilai r =
0,324 yang berarti volume penarikan cairan mempunyai
korelasi yang lemah terhadap perubahan tekanan darah.
Tabel 4. Hubungan Penurunan Berat Badan dengan
Perubahan Tekanan Darah

Rata-rata MAP
Rata-rata
perubaha
n MAP

P
value

Penurun
an BB
(Kg)

Sebelum
HD

Sesuda
h HD

+1,26

1
>1-2

15
32

106,89
107,81

116,89
107,71

Ratarata
peruba
han
MAP
+10
-0,1

-0,3

>2-3

33

112,12

110,51

-1,61

>3-4

10

119,33

106,33

-13

>4

118,33

115,00

-3,33

Total

96

111,01

110,42

-0,59

Sebelu
m HD

Sesuda
h HD

106,67

125,41

+18,74

>1-2

29

106,44

107,70

>2-3

34

110,59

110,29

>3-4

16

120,00

107,71

-12,29

>4

115,19

111,11

-4,08

Total

96

111,01

110,42

-0,59

0,000

Berdasarkan tabel 2 diatas terlihat bahwa penurunan


tekanan arteri rata-rata atau yang biasa kita sebut Mean
Arterial Pressure (MAP) paling tinggi pada penarikan
cairan tubuh (ultrafiltrasi) >3-4 liter yaitu sebesar 12,29
mmHg, untuk penarikan cairan >2-3 liter didapatkan
penuruna MAP sebesar 0,3 mmHg dan pada penarikan
cairan >4 liter terdapat penurunan MAP sebesar 4,08

Rata-rata MAP

0.01
2

Perubahan MAP berdasarkan penurunan berat badan


pasien sebelum dialisis dan sesudah dialisis tidak jauh
berbeda dengan hasil berdasarkan jumlah penarikan
cairan, dimana penurunan MAP yang paling besar
terjadi pada penurunan berat badan >3-4 kg yaitu
sebesar 13 mmHg, diikuti oleh penurunan berat badan
>4 kg yaitu 3,33 mmHg, pada penurunan berat
badan>2-3 kg penurunan MAP sebesar 1,16 mmHg,

48

dan pada penurunan berat badan >1-2 kg terjadi


penurunan sebesar 0,1 mmhg. Sedangkan pada
penurunan berat badan 1 kg terjadi peningkatan MAP
sebesar 10 mmHg.
Pada uji One Way Annova terhadap perubahan MAP
yang dilihat dari selisish antara MAP sesudah dan
sebelum hemodialisis diperoleh p-value = 0,012. Karena
nilai p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna rata-rata perubahan MAP
pada penurunan berat badan 1 kg, >1-2 kg, >2-3 kg,
>3-4 kg, dan >4 kg.
Tabel 5. Perbedaan Rata-rata Perubahan MAP
Berdasarkan Usia
Rata-rata MAP
Sesudah
HD

Rata-rata
perubahan
MAP

P
valu
e

114,85
111,52

109,39
112,54

-5,46
+1,02

0,284

15

103,33

103,55

+0.22

96

111,01

110,42

-0,59

Usia
(tahun)

Sebelum
HD

20-39
40-60

22
59

>60
Total

Pada kelompok usia 20-39 tahun terjadi penuruna MAP


sebesar 5,46 mmHg sedangkan pada kelompok usia 4060 tahun terjadi peningkatan sebesar 1,13 mmHg dan
pada kelompok usia > 60 tahun peningkatan sebesar
0,22 mmHg.
Pada uji One Way Annova terhadap perubahan MAP
yang dilihat dari selisish antara MAP sesudah dan
sebelum hemodialisis diperoleh p-value = 0,284. Karena
nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata perubahan
MAP pada usia 20-39 tahun, 40-60 tahun, dan >60
tahun.
Tabel 6. Hubungan Usia dengan Perubahan Tekanan
Darah

Usia

Pearson Correlation
Sig. (2-tailed)
N

Perubahan MAP
-,111
,282
96

Berdasarkan tabel 6 di atas, dari hasil uji korelasi


Pearson diperoleh nilai p(0,282) > (0,05), maka Ho
diterima, yang berarti secara statistik tidak ada
hubungan antara usia dengan perubahan tekanan darah
pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Secara statistik diperoleh nilai r = -0,111
yang berarti usia mempunyai korelasi negatif yang
lemah terhadap perubahan tekanan darah.

Tabel 7. Hubungan Jenis Kelamin dengan Perubahan


Tekanan Darah
Rata-rata MAP

Jenis
Kelamin

Sebelum
HD

Sesudah
HD

Rata-rata
perubahan
MAP

P
valu
e

Laki-laki
Perempuan

58
38

111,61
110,09

112,18
107,72

+0,57
-2,37

0,393

Total

96

111,01

110,42

-0,59

Berdasarkan tabel 7 diatas dapat kita lihat bahwa bahwa


penurunan MAP terjadi pada kelompok jenis kelamin
perempuan yaitu sebasar 2,73 mmHg sedangkan pada
kelompok jenis kelamin laki-laki terjadi peningkatan
MAP sebesar 0,57 mmHg.
Pada uji One Way Anova terhadap perubahan MAP
yang dilihat dari selisish antara MAP sesudah dan
sebelum hemodialisis diperoleh p-value = 0,393. Karena
nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata perubahan
MAP pada pasien laki-laki dan pasien perempuan.
Untuk hubungan kadar Hb dengan perubahan tekanan
darah dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 8. Perbedaan Rata-rata Perubahan MAP
Berdasarkan Derajat Anemia

Derajat
Anemia
Normal
Anemia
ringan
Anemia
Sedang
Anemia
Berat
Total

Rata-rata MAP
n

Sebelum
HD

Sesudah
HD

Rata-rata
perubahan
MAP

4
53

108,33
108,93

114,16
108,81

+5,83
-0,13

36

114,44

112,87

-1,57

110,00

104,44

-5,55

96

111,01

110,42

-0,59

P
valu
e

0,792

Berdasarkan kadar hemoglobin (Hb) dikelompokan


menjadi empat kelompok, yaitu normal, anemia ringan,
anemia sedang, dan anemia berat. Pada kelompok
normal rata-rata peningkatan MAP adalah sebesar 5,83
mmHg, sedangkan pada kelompok anemia rinagan,
anemia sedang, dan anemia berat didapatkan rata-rata
penurunan MAP yang secara berurutan sebesar 0,13
mmHg, 1,57 mmHg, dan 5,55 mmHg.
Pada uji One Way Annova terhadap perubahan MAP
yang dilihat dari selisish antara MAP sesudah dan

49

sebelum hemodialisis diperoleh p-value = 0,792. Karena


nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata perubahan
MAP pada hb normal, anemia ringan, anemia sedang
dan anemia berat.
Tabel 9. Hubungan Kadar Hb dengan Perubahan Tekanan
Darah
Perubahan MAP
Derajat Anemia

Pearson
Correlation
Sig. (2-tailed)
N

-,041
,691
96

Berdasarkan tabel 14 di atas, dari hasil uji korelasi


Pearson diperoleh nilai p(0,691) > (0,05), maka Ho
diterima, yang berarti secara statistik tidak ada
hubungan antara usia dengan perubahan tekanan darah
pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Secara statistik diperoleh nilai r = -0,41
yang berarti usia mempunyai korelasi negatif yang
lemah terhadap perubahan tekanan darah.

4. Pembahasan
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa rata-rata MAP
pasien sebelum menjalani terapi hemodialisis adalah
111,01 mmHg dan mengalami penurunan setelah
dilakukannya terapi hemodialisis menjadi 110,42
mmHg. Hal ini dapat disebabkan oleh pengurangan
volume plasma pada saat proses ultrafiltrasi yang akan
menyebabkan penurunan stroke volume dan berdampak
terhadap penurunan tekanan darah7. Penurunan tekanan
darah ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya
tentang pengaruh penarikan cairan tubuh terhadap
tekanan darah pada klien yang menjalani hemodialisis di
RSUD Sumedang yang disusun oleh Rayadi (2010),
yang mana pada penelitian ini disimpulkan bahwa ratarata tekanan darah sistolik sebelum hemodialisis adalah
148,05 mmHg mengalami penurunan menjadi 142,86
mmHg setelah dilakukannya terapi hemodialisis. Sama
halnya dengan rata-rata tekanan diastolik pasien
sebelum hemodialisis 89,31 mmHg menurun menjadi
87,55 mmHg setelah menjalani terapi hemodialisis9.
Hasil riset lain yang terdapat dalam jurnal hemodialisis
internasional
yang
dilakukan
oleh
Dasselar
(2007) didapatkan data tekanan sistolik sesudah
hemodialisis dengan menggunakan blood volume
monitor adalah 129 29 mmHg dan nilai diastoliknya
adalah 67 9 mmHg. Dengan menggunakan alat
hemoscan, didapatkan data tekanan darah sistolik
sebelum hemodialisis 131 22 mmHg dan diastoliknya
70 7 mmHg10. Dari hasil penelitian di atas didapatkan
kesamaan, yaitu penurunan tekanan darah setelah
hemodialisis

Dari hasil analisis data menggunakan uji korelasi


Pearson p(0,001) < (0,05), maka Ho ditolak, yang
berarti secara statistik ada hubungan antara volume
penarikan cairan dengan perubahan tekanan darah pada
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang. Dilanjutkan dengan One Way Anova
(p-value =0,000) didapatkan bahwa penurunan MAP
(Mean Arterial Pressure) setelah terapi hemodialisis
paling tinggi ditemukan pada kelompok penarikan
cairan >3-4 liter yaitu sebesar 12,29 mmHg dan diikuti
oleh kelompok dengan penarikan cairan > 4 liter yaitu
sebesar 4,08 mmHg, namun pada kelompok penarikan
cairan 1 liter terjadi peningkatan MAP sebesar 18,74
mmHg dan pada kelompok penarikan cairan >1-2 liter
terjadi peningkatan MAP sebesar 1,26 mmHg..
Mekanisme terjadanya peningkatan tekanan darah
belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang
diduga berperan dalam peningkatan tekanan darah
seperti aktivasi renin angiotensin aldosteron system
(RAAS) karena diinduksi oleh proses ultrafiltrasi,
overaktif dari simpatis, variasi dari ion K+ dan Ca2+
saat HD, viskositas darah yang meningkat karena
diinduksi oleh terapi eritropoetin (EPO), obat
antihipertensi yang ditarik saat HD, dan vasokontriksi
yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1)8.
Setelah dilakukan uji statistik diperoleh nilai p (0,000)
< (0,05), maka Ho ditolak, yang berarti secara
statistik ada perbedaan yang bermakna rata-rata
perubahan MAP pada penarikan cairan 1 liter, >1-2
liter, >2-3 liter, >3-4 liter, dan >4 liter.
Sebagai variabel pembanding juga dilakukan analisis
data mengenai hubungan penurunan berat badan dengan
perubahan tekanan darah, seperti yang terlihat pada
tabel 8, penurunan MAP yang paling besar terjadi pada
kelompok penurunan berat badan >3-4 kg yaitu sebesar
13 mmHg, diikuti oleh penurunan berat badan >4 kg
yaitu 3,33 mmHg, pada penurunan berat badan >2-3 kg
sebesar 1,16 mmHg, dan pada penurunan berat badan
>1-2 kg penurunan MAP sebesar 0,1 mmHg. Sedangkan
pada penuruna berat badan 1 kg terjadi peningkatan
MAP sebesar 10 mmHg. Perubahan MAP berdasarkan
penurunan berat badan pasien sebelum dialisis dan
sesudah dialisis tidak jauh berbeda dengan perubahan
MAP berdasarkan jumlah penarikan cairan, hal ini
dikarenakan penarikan cairan pada proses ultrafiltrasi
selama hemodialisis bertujuan untuk membuang
kelebihan cairan pada pasien gagal ginjal kronik yang
berpengaruh terhadap penurunan berat badan.
Berdasarkan uji korelasi Pearson diperoleh nilai
p(0,009) < (0,05), maka Ho ditolak, yang berarti secara
statistik ada hubungan antara penurunan berat badan
dengan perubahan tekanan darah pada pasien penyakit
ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Dilanjutkan

50

uji One Way Annova terhadap perubahan MAP yang


dilihat dari selisish antara MAP sesudah dan sebelum
hemodialisis diperoleh p-value = 0,012. Karena nilai
p<0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna rata-rata perubahan MAP
pada penurunan berat badan 1 kg, >1-2 kg, >2-3 kg,
>3-4 kg, dan >4 kg.
Dalam penelitian ini juga dianalisis faktor-faktor lain
yang dianggap merupakan faktor risiko terhadap
perubahan tekanan darah pada pasien yang menjalani
terapi hemodialisis diantaranya adalah usia (p-value=
0,284), jenis kelamin (p-value= 0,393), dan kadar
hemoglobin (p-value= 0,729). Dari hasil analisis data
didapatkan
penurunan MAP pada pasien setelah
hemodilisis paling tinggi pada kelompok umur 20-39
tahun (5,46 mmHg), hal ini tidak sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Handayani
(2013), yang mana pada penelitian ini didapatkan
penurunan tekanan darah yang paling tinggi terjadi pada
usia 56-65 tahun11. Hasil penelitian ini juga tidak sesuai
dengan terori dimana pasien dengan usia tua (>60
tahun) mempunyai risiko yang lebih besar terhadap
penurunan tekanan darah selama hemodialisis12.
Perbedaan yang didapatkan dari hasil penelitian ini
kemungkinan karena jumlah sampel untuk kategori usia
>60 tahun yang sedikit dan rata-rata pasien memiliki
riwayat hipertensi sebelum hemodialisis. Berdasarkan
jenis kelamin, perempuan mengalami penurunan MAP
yang lebih besar daripada laki-laki dan penurunan MAP
juga labih besar ditemukan pada kelompok pasien yang
mengalami anemia berat, walaupun anemia berat
merupakan faktor risiko terhadap penurunan tekanan
darah, belum ada studi yang membahas lebih lanjut
mengenai hubungan langsung dari faktor tersebut
terhadap perubahan tekanan darah pada hemodialisis.
Setelah dianalisis secara statistik dari ketiga faktor
tersebut diperoleh nilai p>0,05 maka dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna rata-rata
perubahan MAP berdasarkan faktor usia, jenis kelamin,
dan kadar hemoglobin pada pasien penyakit ginjal
kronik yang menjalani terapi hemodialisisa di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang pada bulan November
2014.

5. Simpulan
1.Dari 96 sampel yang diambil melalui teknik
consecutive sampling didapatkan distribusi sampel
sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (60,4%),
berusia 40-59 tahun (61,5%), dan mengalami anemia
ringan (55,2%).
2. Ada hubungan antara penarikan jumlah cairan selama
proses hemodialisis dengan perubahan tekanan darah
pada pasien penyakit ginjal kronik di RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang.

3. Ada hubungan antara penurunan berat badan dengan


perubahan tekanan darah pada pasien penyakit ginjal
kronik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
4. Tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, dan
kadar hemoglobin dengan perubahan tekanan darah
pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi
hemodialisis di RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.

Ucapan Terima Kasih


Penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya dan semua pihak
yang membantu dalam upaya terlaksananya penelitian
ini.

Daftar Acuan
1. USRDS 2013 Annual Data Report. United States
Data System, (Online), (http://usrds.org/adr.htm,
diakses 12 Juli 2014).
2. Balitbangkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Bina
Husada
3. Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam:
Sudoyo.W.A. dkk (editor). Buku Ajar Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
Hal: 1035-1040.
4. Bethesda, MD. US Renal Data System (2013).
USRDS 2013 Annual Data Report: Atlas of Chronic
Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the
United States. National Institutes of Health, National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Disease. Vol(2).
5. Raharjo,
Susalit
dan
Suhardjono.
2009.
Hemodialisis. Dalam: Sudoyo, dkk (editor). Buku
Ajar Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing. Hal: 1050-1052.
6. Wilson, L.M,. 2002. Pathophysiology: Clinical
Concepts of Desease Processes (edisi ke-6).
Terjemahan oleh: Pendit.U.B, dkk. Jakarta: EGC.
Hal: 912-979.
7. Henrich and Palmer. 2008. Recent Advances in the
Prevention and Management of Intradialytic
Hypotension. Journal of the American Society of
Nephrology. vol(18) no 1. Hal 8-11.
8. Chazot C, Jean G. 2010. Intradialytic Hypertension:
It is Time to Act. Nephron Clin Pract (Online) : 115:
c182-c188.
9. Rayadi, Rudi. 2010. Pengaruh Penarikan Cairan
Tubuh Terhadap Tekanan Darah Pada Klien yang
Menjalani Hemodialisis di Instalasi Hemodialisis
RSUD Sumedang. Bandung: STIKES Jendral
Ahmad Yani yang tidak dipublikasikan. Hal 38-41.
10. Dasselar, J.J. 2007. Relative Blood Volume
Measurements During Hemodialysis: Comparison
Between Three Noninvasive Devices. Journal of the
International Society for Hemodialysis, 448-455

51

11. Handayani.
2013.
Analisis
Faktor
yang
Mempengaruhi Hipotensi Intradialisis pada Pasien
Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisis.
Jurnal Ilmu Keperawatan. Semarang : Stikes
Telogerejo. Vol 1 no. 3

12. Jeroen et al. 2007. European Best Practice


Guidelines (EBGP) Guideline on Haemodynamic
Instability : Nephrology Dialysis Transplant; Oxford
University Press : Hal 22-24.

Anda mungkin juga menyukai