Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Pra Rancangan IPAL


Peternakan sangat berperan penting dalam memenuhi kebutuhan pangan .

Karena tingginya permintaan akan produk peternakan , usaha peternakan


mempuyai prospek untuk lebih dikembangkan . Usaha peternakan juga memberi
keuntungan yang cukup tinggi dan menjadi sumber pendapatan bagi banyak
masyarakat di perdesaaan di Indonesia. Namun demikian, sebagaimana usaha
lainnya, usaha peternakan juga menghasilkan limbah yang dapat menjadi sumber
pencemaran. Oleh karena itu, seiring dengan kebijakan otonomi, maka
pemgembangan usaha peternakan yang dapat meminimalkan limbah peternakan.
Salah satu upaya kearah itu adalah dengan memanfaatkan limbah peternakan
sehingga dapat memberi nilai tambah bagi usaha tersebut. Berkenaan dengan hal
tersebut, maka upaya mengatasi limbah ternak yang selama ini dianggap
mengganggu karena menjadi sumber pencemaran lingkungan perlu ditangani
dengan cara yang tepat sehingga dapat memberi manfaat lain berupa keuntungan
ekonomis dari penanganan tersebut. Penanganan limbah ini diperlukan bukan saja
karena tuntutan akan lingkungan yang nyaman tetapi juga karena pengembangan
peternakan mutlak memperhatikan kualitas lingkungan, sehingga keberadaannya
tidak menjadi masalah bagi masyarakat.
1.2

Tujuan Pra Rancangan IPAL


Adapun tujuan diadakannya Pra Rancangan IPAL ini adalah :

a) Menambah wawasan dan melatih pikiran dalam mengaplikasikan


pengetahuan yang dimiliki oleh mahasiswa yang bersangkutan.
b) Mahasiswa mampu menguasai, mengevaluasi dan mengkoreksi terhadap
kemampuan sendiri.
c) Menentukan metode proses tepat guna dan efisien dalam lingkungan
industri.

d) Memberikan kontribusi dalam penanganan limbah industri.


1.3

Manfaat Pra Rancangan IPAL


Manfaat yang didapatkan ialah :

a) Mendapatkan pengalaman dan pengetahuan mengenai keadaan yang


sebenarnya mengenai sistem pengolahan limbah.
b) Mengamati dan menganalisa kondisi lingkungan secara langsung.

BAB II
TINJAUAN UMUM DAN KEPUSTAKAAN
Kegiatan industri umumnya menghasilkan hasil samping berupa limbah
yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Karenanya perlu penanganan yang
berkesinambungan, pemerintah Indonesia telah menetapkan pengolahan limbah
berdasar:

PP No. 85 TAHUN 1999 : PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN


BERBAHAYA DAN BERACUN

KEP-03/BAPEDAL/09/1995 DAN KEP-04/BAPEDAL/09/1995

PP RI No. 82 TAHUN 2001 : PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN


PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

2.1

Jenis Limbah Usaha Peternakan


Limbah ternak adalah sisa buangan dari suatu kegiatan usaha peternakan

seperti usaha pemeliharaan ternak, rumah potong hewan, pengolahan produk


ternak, dan sebagainya. Limbah tersebut meliputi limbah padat dan limbah cair
seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku,
tulang, tanduk, isi rumen, dan lain-lain (Sihombing, 2000). Semakin
berkembangnya usaha peternakan, limbah yang dihasilkan semakin meningkat.
Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari species ternak,
besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang. Kotoran sapi yang terdiri dari feces
dan urine merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar
manure dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau kambing, dan
domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah
menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi
menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000).

Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang


dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan
cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang
berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau
isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang
berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urine, air dari pencucian
alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam
fase gas.
Pencemaran karena gas metan menyebabkan bau yang tidak enak bagi
lingkungan sekitar. Gas metan (CH4) berasal dari proses pencernaan ternak
ruminansia. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap
pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1 % per tahun dan terus
meningkat. Apalagi di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi
metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin
tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan
(Suryahadi dkk., 2002).
2.2

Penanganan Limbah Ternak


Limbah peternakan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, apalagi

limbah tersebut dapat diperbaharui (renewable) selama ada ternak. Limbah ternak
masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan.
Limbah ternak kaya akan nutrient (zat makanan) seperti protein, lemak, bahan
ekstrak tanpa nitrogen (BETN), vitamin, mineral, mikroba atau biota, dan zat-zat
yang lain (unidentified subtances). Limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk
bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media pelbagai tujuan
(Sihombing, 2002).
2.2.1 Pemanfaatan Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah
Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein,
lemak BETN, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan
sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses

mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa toksik


untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak
memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak
diteliti sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang
difermentasi secara anaerob.
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti
menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah
bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah
organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).
2.2.2 Pemanfaatan Sebagai Pupuk Organik
Pemanfaatan limbah usaha peternakan terutama kotoran ternak sebagai
pupuk organik dapat dilakukan melalui pemanfaatan kotoran tersebut sebagai
pupuk

organik.

Penggunaan

pupuk

kandang

(manure)

selain

dapat

meningkatkan unsur hara pada tanah juga dapat meningkatkan aktivitas


mikrobiologi tanah dan memperbaiki struktur tanah tersebut.
Kotoran ternak dapat juga dicampur dengan bahan organik lain untuk
mempercepat proses pengomposan serta untuk meningkatkan kualitas kompos
tersebut .
2.2.3 Pemanfaatan Untuk Gasbio
Permasalahan limbah ternak, khususnya manure dapat diatasi dengan
memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu
bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut
sebagai bahan masukan untuk menghasilkan bahan bakar gasbio. Kotoran
ternak ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan
biogas. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang
menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi
untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi.
Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai

kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh


bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa,
10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1
ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K .
Gasbio adalah campuran beberapa gas, tergolong bahan bakar gas yang
merupakan hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob, dan gas
yang dominan adalah gas metan (CH4) dan gas karbondioksida (CO2)
(Simamora, 1989). Gasbio memiliki nilai kalor yang cukup tinggi, yaitu
kisaran 4800-6700 kkal/m3, untuk gas metan murni (100 %) mempunyai nilai
kalor 8900 kkal/m3. Produksi gasbio sebanyak 1275-4318 I dapat digunakan
untuk memasak, penerangan, menyeterika dan mejalankan lemari es untuk
keluarga yang berjumlah lima orang per hari.
Pembentukan gasbio dilakukan oleh mikroba pada situasi anaerob, yang
meliputi tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap pengasaman, dan tahap
metanogenik. Pada tahap hidrolisis terjadi pelarutan bahan-bahan organik
mudah larut dan pencernaan bahan organik yang komplek menjadi sederhana,
perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer. Pada tahap
pengasaman komponen monomer (gula sederhana) yang terbentuk pada tahap
hidrolisis akan menjadi bahan makanan bagi bakteri pembentuk asam. Produk
akhir dari gula-gula sederhana pada tahap ini akan dihasilkan asam asetat,
propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas karbondioksida,
hidrogen dan amoniak.
Model pemproses gas bio yang banyak digunakan adalah model yang
dikenal sebagai fixed-dome. Model ini banyak digunakan karena usia pakainya
yang lama dan daya tampungnya yang cukup besar. Meskipun biaya
pembuatannya memerlukan biaya yang cukup besar.
Untuk mengatasi mahalnya pembangunan pemroses biogas dengan model
feixed-dome, tersebut sebuah perusahaan di Jawa Tengah bekerja sama dengan
Balai Pengkajian dan Penerapan Teknolgi Ungaran mengembangkan model

yang lebih kecil untuk 4-5 ekor ternak, yang siap pakai, dan lebih murah
karena berbahan plastic yang dipendam di dalam tanah.
Di perdesaan, gasbio dapat digunakan untuk keperluan penerangan dan
memasak sehingga dapat mengurangi ketergantungan kepada minyak tanah
ataupun listrik dan kayu bakar. Bahkan jika dimodifikasi dengan peralatan
yang memadai, biogas juga dapat untuk menggerakkan mesin.
2.2.4 Pemanfaatan Lainnya
Selain dimanfaatkan untuk pupuk, bahan pakan, atau gasbio, kotoran
ternak juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dengan mengubahnya
menjadi

briket

dan

kemudian

dijemur/dikeringkan.

Briket

ini

telah

dipraktekkan di India dan dapat mengurangi kebutuhan akan kayu bakar.


Pemanfaatan lain adalah penggunaan urin dari ternak untuk campuran
dalam pembuatan pupuk cair maupun penggunaan lainnya.

BAB III
PRINSIP IPAL & FLOW CHART

3.1 Diagram dan Gambar Flow Chart IPAL


Bahan Organik Limbah Peternakan

Pengolahan Secara Kimia-Fisik


(Enzim, Asam, Alkohol, Panas,
Penggilingan)

Konversi Microbial (Fermentasi Dan Pengkomposan)

Konversi Hewan (Cacing Tanah

Dan Ternak)

Pupuk Organik Padat dan Biomas


Cacing Tanah
Biogas Pupuk Organik
Padat dan Cair
Bahan Bakar Metan
Biogas dan Bio-arang

Konversi Tanaman Komersial

Komoditi Hasil Pertanian


Tanaman Pangan, Perkebunan
Tanaman Hias dan Hutan Produksi
Komoditi Hasil Peternakan dan Perikanan

3.2 Flow Chart IPAL

3.2 Gambar Flow Chart IPAL


3.1 Teknologi Pengolahan Limbah Ternak Secara Kimia, Fisika dan Biologi

Tahap awal yang sangat penting harus diketahui dalam pengelolaan


limbah, termasuk limbah peternakan adalah berapa jumlah yang pasti dan
karakteristik limbah tersebut. Diketahuinya karakteristik limbah peternakan
merupakan faktor yang sangat berperan untuk mendesain sistem pengelolaan
secara biologis. Karakteristik limbah peternakan dapat dibagi menjadi tiga
kelompok sifat, yaitu sifat fisik, kimia dan sifat biologis.
Secara fisik karakteristik limbah peternakan dapat diketahui berdasarkan
bentuk (padat, semi padat dan cair), tekstur (kekompakan) dan jumlah (kg per unit
ternak) yang dihasilkan. Secara kimiawi sifat limbah ditentukan oleh komposisi
zat kimia yang terkandung dan tingkat keasaman (pH). Secara biologis sifat
limbah ditentukan oleh jenis dan populasi mikroflora-fauna yang terkandung di
dalamnya, yang biasanya dicerminkan oleh jenis dan populasi yang terdapat di
dalam sistem pencernaan hewan ternak yang menghasilkan limbah tersebut.

Secara umum, ketiga sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis dan umur
ternak, pakan yang diberikan, tipe ternak dan cara pemeliharaannya.
Secara umum dinyatakan bahwa limbah peternakan dikategorikan sebagai
limbah yang volumenya sedikit akan tetapi memiliki daya cemar yang sangat
tinggi. Sangat berbeda dengan limbah perkotaan yang besifat

bulky, yaitu

volumenya banyak akan tetapi daya cemarnya relatif rendah. Limbah peternakan
mengandung sebagian besar bahan padat dan sedikit air sedangkan limbah
perkotaan mengan-dung sebagian besar air dan sedikit bahan padatnya.
3.2. Pemanfaatan Untuk Pakan dan Media Cacing Tanah
Sebagai pakan ternak, limbah ternak kaya akan nutrien seperti protein,
lemak BETN, vitamin, mineral, mikroba dan zat lainnya. Ternak membutuhkan
sekitar 46 zat makanan esensial agar dapat hidup sehat. Limbah feses
mengandung 77 zat atau senyawa, namun didalamnya terdapat senyawa toksik
untuk ternak. Untuk itu pemanfaatan limbah ternak sebagai makanan ternak
memerlukan pengolahan lebih lanjut. Tinja ruminansia juga telah banyak diteliti
sebagai bahan pakan termasuk penelitian limbah ternak yang difermentasi secara
anaerob.
Penggunaan feses sapi untuk media hidupnya cacing tanah, telah diteliti
menghasilkan biomassa tertinggi dibandingkan campuran feces yang ditambah
bahan organik lain, seperti feses 50% + jerami padi 50%, feses 50% + limbah
organik pasar 50%, maupun feses 50% + isi rumen 50% (Farida, 2000).
3.3 Pengolahan Limbah Peternakan Sapi Menjadi Biogas
Pengolahan limbah peternakan sapi menjadi biogas pada prinsipnya
menggunakan metode dan peralatan yang sama dengan pengolahan biogas dari
biomassa yang lain. Adapun alat penghasil biogas secara anaerobik pertama
dibangun pada tahun 1900. Pada akhir abad ke-19, riset untuk menjadikan gas
metan sebagai biogas dilakukan oleh Jerman dan Perancis pada masa antara dua
Perang Dunia. Selama Perang Dunia II, banyak petani di Inggris dan Benua Eropa
yang membuat alat penghasil biogas kecil yang digunakan untuk menggerakkan

traktor. Akibat kemudahan dalam memperoleh BBM dan harganya yang murah
pada tahun 1950-an, proses pemakaian biogas ini mulai ditinggalkan. Tetapi, di
negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu
tersedia selalu ada. Oleh karena itu, di India kegiatan produksi biogas terus
dilakukan semenjak abad ke-19. Saat ini, negara berkembang lainnya, seperti
China, Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Nugini telah melakukan berbagai riset
dan pengembangan alat penghasil biogas. Selain di negara berkembang, teknologi
biogas juga telah dikembangkan di negara maju seperti Jerman.
Pada prinsipnya teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses
fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh
bakteri metan sehingga dihasilkan gas metan. Menurut Haryati (2006), proses
pencernaan anaerobik merupakan dasar dari reaktor biogas yaitu proses
pemecahan bahanorganik oleh aktivitas bakteri metanogenik dan bakteri
asidogenik pada kondisi tanpa udara, bakteri ini secara alami terdapat dalam
limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang, manusia, dan
sampah organik rumah tangga.
Gas metan adalah gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H yang
memiliki sifat mudah terbakar. Gas metan yang dihasilkan kemudian dapat
dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa digunakan
sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah yang sebagian
besar terdiri dari kotoran dan potongan-potongan kecil sisa-sisa tanaman, seperti
jerami dan sebagainya serta air yang cukup banyak.
Proses fermentasi memerlukan kondisi tertentu seperti rasio C : N,
temperatur, keasaman juga jenis digester yang dipergunakan. Kondisi optimum
yaitu pada temperatur sekitar 32 35C atau 50 55C dan pH antara 6,8 8 .
Pada kondisi ini proses pencernaan mengubah bahan organik dengan adanya air
menjadi energi gas.
Jika dilihat dari segi pengolahan limbah, proses anaerobik juga
memberikan beberapa keuntungan lain yaitu menurunkan nilai COD dan BOD,
total solid, volatile solid, nitrogen nitrat dan nitrogen organic, bakteri coliform dan
patogen lainnya, telur insek, parasit, dan bau.

Proses pencernaan anaerobik, yang merupakan dasar dari reaktor biogas


yaitu proses pemecahan bahan organik oleh aktifitas bakteri metanogenik dan
bakteri asidogenik pada kondisi tanpa udara. Bakteri ini secara alami terdapat
dalam limbah yang mengandung bahan organik, seperti kotoran binatang,
manusia, dan sampah organik rumah tangga.
Menurut Haryati (2006), pembentukan biogas meliputi tiga tahap proses yaitu:
1. Hidrolisis, pada tahap ini terjadi penguraian bahan-bahan organik
mudah larut dan pemecahan bahan organik yang komplek menjadi sederhana
dengan bantuan air (perubahan struktur bentuk polimer menjadi bentuk
monomer).
2. Pengasaman, pada tahap pengasaman komponen monomer (gula
sederhana) yang terbentuk pada tahap hidrolisis akan menjadi bahan makanan
bagi bakteri pembentuk asam. Produk akhir dari perombakan gula-gula sederhana
tadi yaitu asam asetat, propionat, format, laktat, alkohol, dan sedikit butirat, gas
karbondioksida, hidrogen dan ammonia.
3. Metanogenik, pada tahap metanogenik terjadi proses pembentukan gas
metan. Bakteri pereduksi sulfat juga terdapat dalam proses ini yang akan
mereduksi sulfat dan komponen sulfur lainnya menjadi hydrogen sulfida. Jika
dilihat analisa dampak lingkungan terhadap lumpur keluaran (slurry) dari digester
menunjukkan penurunan COD sebesar 90% dari kondisi bahan awal dan
pebandingan BOD/COD sebesar 0,37 lebih kecil dari kondisi normal limbah cair
BOD/COD = 0,5. Sedangkan unsur utama N (1,82%), P (0,73%) dan K (0,41%)
tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan pupuk kompos (referensi:
N (1,45%), P (1,10%) dan K (1,10%) (Widodo dkk., 2006). Berdasarkan hasil
penelitian, hasil samping pupuk ini mengandung lebih sedikit bakteri patogen
sehingga aman untuk pemupukan sayuran/buah, terutama untuk konsumsi segar
(Widodo dkk., 2006).
Saat ini berbagai jenis bahan dan ukuran peralatan biogas telah
dikembangkan sehingga dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, jenis,
jumlah dan pengelolaan kotoran ternak. Peralatan dan proses pengolahan dan
pemanfaatan biogas ditampilkan pada gambar berikut.

Digester dapat dibuat dari bahan plastik Polyetil Propilene (PP), fiber glass
atau semen, sedangkan ukuran bervariasi mulai dari 4 35 m3. Biogas dengan
ukuran terkecil dapat dioperasikan dengan kotoran ternak 3 ekor sapi. Cara
Pengoperasian Unit Pengolahan (Digester) Biogas seperti terjabar dalam Seri
Bioenergi Pedesaan Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian tahun 2009
sebagai berikut :
1. Buat campuran kotoran ternak dan air dengan perbandingan 1 : 2 (bahan
biogas).
2. Masukkan bahan biogas ke dalam digester melalui lubang pengisian
(inlet) hingga bahan yang dimasukkan ke digester ada sedikit yang keluar melalui
lubang pengeluaran (outlet), selanjutnya akan berlangsung proses produksi biogas
di dalam digester.
3. Setelah kurang lebih 8 hari biogas yang terbentuk di dalam digester
sudah cukup banyak. Pada sistem pengolahan biogas yang menggunakan bahan
plastik, penampung biogas akan terlihat mengembung dan mengeras karena
adanya biogas yang dihasilkan. Biogas sudah dapat digunakan sebagai bahan
bakar, kompor biogas dapat dioperasikan.
4. Pengisian bahan biogas selanjutnya dapat dilakukan setiap hari, yaitu
sebanyak kira-kira 10% dari volume digester. Sisa pengolahan bahan biogas
berupa sludge secara otomatis akan keluar dari lubang pengeluaran (outlet) setiap
kali dilakukan pengisian bahan biogas. Sisa hasil pengolahan bahan biogas
tersebut dapat digunakan sebagai pupuk kandang/pupuk organik, baik dalam
keadaan basah maupun kering.
Biogas yang dihasilkan dapat ditampung dalam penampung plastik atau
digunakan langsung pada kompor untuk memasak, menggerakan generator listrik,
patromas biogas, penghangat ruang/kotak penetasan telur dan lain sebagainya.
Untuk memanfaatkan kotoran ternak sapi menjadi biogas, diperlukan
beberapa syarat yang terkait dengan aspek teknis, infrastruktur, manajemen dan
sumber daya manusia. Bila faktor tersebut dapat dipenuhi, maka pemanfaatan

kotoran ternak menjadi biogas sebagai penyediaan energi di pedesaan dapat


berjalan dengan optimal.
Menurut Sulaeman (2008), terdapat sepuluh faktor yang dapat
mempengaruhi optimasi pemanfaatan kotoran ternak sapi menjadi biogas yaitu:
1. Ketersediaan ternak
Jenis jumlah dan sebaran ternak di suatu daerah dapat menjadi
potensi bagi pengembangan biogas. Hal ini karena biogas dijalankan
dengan memanfaatkan kotoran ternak. Kotoran ternak yang dapat diproses
menjadi biogas berasal dari ternak ruminansia dan non ruminansia seperti
sapi potong, sapi perah dan babi; serta unggas.
Jenis ternak mempengaruhi jumlah kotoran yang dihasilkannya.
Untuk menjalankan biogas skala individual atau rumah tangga diperlukan
kotoran ternak dari 3 ekor sapi, atau 7 ekor babi, atau 400 ekor ayam.
2. Kepemilikan Ternak
Jumlah ternak yang dimiliki oleh peternak menjadi dasar pemilihan
jenis dan kapasitas biogas yang dapat digunakan. Saat ini biogas kapasitas
rumah tangga terkecil dapat dijalankan dengan kotoran ternak yang berasal
dari 3 ekor sapi atau 7 ekor babi atau 400 ekor ayam. Bila ternak yang
dimiliki lebih dari jumlah tersebut, maka dapat dipilihkan biogas dengan
kapasitas yang lebih besar (berbahan fiber atau semen) atau beberapa
biogas skala rumah tangga.
3. Pola Pemeliharaan Ternak
Ketersediaan kotoran ternak perlu dijaga agar biogas dapat
berfungsi optimal. Kotoran ternak lebih mudah didapatkan bila ternak
dipelihara dengan cara dikandangkan dibandingkan dengan cara
digembalakan.
4. Ketersediaan Lahan
Untuk membangun biogas diperlukan lahan disekitar kandang yang
luasannya bergantung pada jenis dan kapasitas biogas. Lahan yang
dibutuhkan untuk membangun biogas skala terkecil (skala rumah tangga)
adalah 14 m2 (7m x 2m). Sedangkan skala komunal terkecil membutuhkan
lahan sebesar 40m2 (8m x 5m).

5. Tenaga Kerja
Untuk mengoperasikan biogas diperlukan tenaga kerja yang
berasal dari peternak/pengelola itu sendiri. Hal ini penting mengingat
biogas dapat berfungsi optimal bila pengisian kotoran ke dalam reaktor
dilakukan dengan baik serta dilakukan perawatan peralatannya.
Banyak kasus mengenai tidak beroperasinya atau tidak optimalnya
biogas disebabkan karena: pertama, tidak adanya tenaga kerja yang
menangani unit tersebut; kedua, peternak/pengelola tidak memiliki waktu
untuk melakukan pengisian kotoran karena memiliki pekerjaan lain selain
memelihara ternak.
6. Manajemen Limbah/Kotoran
Manajemen limbah/kotoran terkait dengan penentuan komposisi
padat cair kotoran ternak yang sesuai untuk menghasilkan biogas,
frekuensi pemasukan kotoran, dan pengangkutan atau pengaliran kotoran
ternak ke dalam raktor.
Bahan baku (raw material) reaktor biogas adalah kotoran ternak
yang komposisi padat cairnya sesuai yaitu 1 berbanding 2. Pada
peternakan sapi perah komposisi padat cair kotoran ternak biasanya telah
sesuai, namun pada peternakan sapi potong perlu penambahan air agar
komposisinya menjadi sesuai.
Frekuensi pemasukan kotoran dilakukan secara berkala setiap hari
atau setiap 2 hari sekali tergantung dari jumlah kotoran yang tersedia dan
sarana penunjang yang dimiliki. Pemasukan kotoran ini dapat dilakukan
secara manual dengan cara diangkut atau melalui saluran.
7. Kebutuhan Energi
Pengelolaan kotoran ternak melalui proses reaktor an-aerobik akan
menghasilkan gas yang dapat digunakan sebagai energi. Dengan demikian,
kebutuhan peternak akan energi dari sumber biogas harus menjadi salah
satu faktor yang utama. Hal ini mengingat, bila energi lain berupa listrik,
minyak tanah atau kayu bakar mudah, murah dan tersedia dengan cukup di
lingkungan peternak, maka energi yang bersumber dari biogas tidak
menarik untuk dimanfaatkan.

Bila energi dari sumber lain tersedia, peternak dapat diarahkan


untuk mengolah kotoran ternaknya menjadi kompos atau kompos cacing
(kascing).
8. Jarak (kandang-reaktor biogas-rumah)
Energi yang dihasilkan dari reaktor biogas dapat dimanfaatkan
untuk memasak, menyalakan petromak, menjalankan generator listrik,
mesin penghangat telur/ungas dll. Selain itu air panas yang dihasilkan
dapat digunakan untuk proses sanitasi sapi perah.
Pemanfaatan energi ini dapat optimal bila jarak antara kandang
ternak, reaktor biogas dan rumah peternak tidak telampau jauh dan masih
memungkinkan dijangkau instalasi penyaluran biogas. Karena secara
umum pemanfaatan energi biogas dilakukan di rumah peternak baik untuk
memasak dan keperluan lainnya.
9. Pengelolaan Hasil Samping Biogas
Pengelolaan

hasil

samping

biogas

ditujukan

untuk

memanfaatkannya menjadi pupuk cair atau pupuk padat (kompos).


Pengeolahannya relatif sederhana yaitu untuk pupuk cair dilakukan
fermentasi dengan penambahan bioaktivator agar unsur haranya dapat
lebih baik, sedangkan untuk membuat pupuk kompos hasil samping biogas
perlu dikurangi kandungan airnya dengan cara diendapkan, disaring atau
dijemur.
Pupuk yang dihasilkan tersebut dapat digunakan sendiri atau dijual
kepada kelompok tani setempat dan menjadi sumber tambahan pandapatan
bagi peternak.
10. Sarana Pendukung
Sarana pendukung dalam pemanfaatan biogas terdiri dari saluran
air/drainase, air dan peralatan kerja. Sarana ini dapat mempermudah
operasional dan perawatan instalasi biogas. Saluran air dapat digunakan
untuk mengalirkan kotoran ternak dari kandang ke reaktor biogas sehingga
kotoran tidak perlu diangkut secara manual. Air digunakan untuk
membersihkan kandang ternak dan juga digunakan untuk membuat
komposisi padat cair kotoran ternak yang sesuai. Sedangkan peralatan

kerja digunakan untuk mempermudah/meringankan pekerjaan/ perawatan


instalansi biogas.

DAFTAR PUSTAKA
1. Farida E. 2000. Pengaruh Penggunaan Feses Sapi dan Campuran Limbah
Organik Lain Sebagai Pakan atau Media Produksi Kokon dan Biomassa
Cacing Tanah Eisenia foetida savigry. Skripsi Jurusan Ilmu Nutrisi dan
Makanan Ternak. IPB, Bogor.
2. Haryati, T., 2006. Biogas : Limbah Peternakan yang Menjadi Sumber Energi
Alternatif. Jurnal Wartazoa 6(3) : 160 169.

3. Sofyadi Cahyan, 2003. Konsep Pembangunan Pertanian dan Peternakan Masa


Depan. Badan Litbang Departemen Pertanian. Bogor.
4. Sihombing D T H. 2000. Teknik Pengelolaan Limbah Kegiatan/Usaha
Peternakan. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Lembaga Penelitian, Institut
Pertanian Bogor
5. Soehadji, 1992. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Peternakan dan
Penanganan Limbah Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen
Pertanian. Jakarta.
6. Widodo, Asari, dan Unadi, 2005. Pemanfaatan Energi Biogas Untuk
Mendukung Agribisnis Di Pedesaan. Publikasi Balai Besar Pengembangan
Mekanisasi Pertanian Serpong.

Anda mungkin juga menyukai