Anda di halaman 1dari 27

CASE REPORT

Seorang Wanita Usia 47 Tahun dengan Efusi Pleura Dextra

Diajukan Oleh:
Dzaky Haidar Afif
Muh Fadhil Ilhami
Dokter Pembimbing :
dr. Riana Sari, Sp.P
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU
BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBPKM)
SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

CASE REPORT

Seorang Wanita Usia 47 Tahun dengan Efusi Pleura


Yang Diajukan Oleh :

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Pada hari
Pembimbing :
dr. Riana Sari, Sp.P

(..................................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Riana Sari, Sp.P

(.................................)

Disahkan Ketua Program Profesi :


dr. Dona Dewi Nirlawati

(.................................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU


BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBPKM) SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
CASE REPORT
A. IDENTITAS PENDERITA
Pasien Nama

: Ny. Karsi
2

Umur

: 47 tahun

Jenis kelamin

: Wanita

Alamat

: Jebres, Sukoharjo

Pekerjaan

: Karyawan Swasta

Status perkawinan

: Menikah

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Tanggal masuk RS

: 31 Maret 2016

Tanggal pemeriksaan : 31 Maret 2016


B. ANAMNESA
1. Keluhan Utama
Sesak nafas yang memberat selama 4 hari
2. Riwayat Penyakit Sekarang
2 Bulan SMRS: Pasien mengeluh batuk selama lebih kurang 2 bulan yang hilang timbul, keringat
dingin malam hari tanpa aktivitas, penurunan berat badan, dan nyeri dada ketika batuk.
1 Bulan SMRS: Pasien dirawatinapkan karena adanya efusi pleura dextra e.c susp TB, DD :
Malignansi. Adanya massa perihiler dextra. Dilakukan Pungsi di SIC VIII LMC dextra dan
dievakuasi 3450 ml cairan. Pasien pulang dengan keadaan membaik.
2 Minggu SMRS: Pasien datang ke BBKPM Surakarta untuk kontrol. Hasil dari test BTA
ketiganya negative. Pasien merasa akhir-akhir ini nafsu makan berkurang dan masih terus batuk.
Lalu pasien mulai diberikan OAT RHZE.
HMRS : Pasien datang ke BBKPM Surakarta karena merasa sangat sesak. Masih dikeluhkan
batuk. Obat OAT masih diminum rutin.
3. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat pengobatan dengan OAT

:diakui, baru mulai pengobatan sejak 2 minggu

yang lalu

Riwayat kontak dengan penderita TB

: diakui

Riwayat Komorbid lain

: HT (-), DM (-), Peny.Ginjal (-), Peny.Jantung (-),

TB (-) liver (-), keganasan (-).

Riwayat Asma

: disangkal
3

Riwayat Alergi obat dan makanan

: disangkal

Riwayat operasi

: disangkal

4. Riwayat Pribadi

Riwayat perokok aktif maupun pasif

: diakui perokok pasif

Riwayat Minum minuman beralkohol

: disangkal

Riwayat pengobatan rutin (OAT)

: diakui

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat sakit serupa

: disangkal

Riwayat asma dalam keluarga

: disangkal

Riwayat alergi dalam keluarga

: disangkal

Riwayat Komorbid
liver (-), keganasan (-).

: HT (-), DM (-), Peny.Ginjal (-), Peny.Jantung (-), TB (-)

7. Riwayat Kesehatan Lingkungan


Adanya penderita batuk lama maupun sesak : diakui
8. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sebagai seorang karyawan swasta di pabrik. Kesan Sosial-Ekonomi menengah.
C. PEMERIKSAAN
1. Keadaan umum

KU

: Sedang

Kesadaran

: Compos mentis (GCS 15 : E4 V5 M6)

BB

: 76 kg

2. Vital sign

Tekanan darah

: 148/92 mmHg

Nadi

: 120 kali per menit

Pernafasan

: 24 kali per menit

Suhu

: 37,2 oC

3. Pemeriksaan fisik

Kepala

:
4

a.
b.
c.
d.
e.

Kulit : petekie (-), ikterik (-), kering (-)


Kepala : ukuran normocephal, rambut warna hitam kecoklatan.
Mata : ca (-/-), si (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (+)
Hidung: sekret (-/-), epistaksis (-/-), nafas cuping hidung (-/-)
Mulut : berdarah (-), sianosis (-), lidah tifoid (-)

Leher

: Retraksi dada (-), deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar limfe (-). peningkatan

JVP (-)
Thorax
Paru

:
-

Inspeksi : simetris, ketinggalan gerak (-/-), retraksi inter costae (-).


Palpasi : - ketinggalan gerak
depan
belakang
-

Fremitus
depan
N
N
N

belakang

N
N
N

N
N
N

N
N
N

Perkusi
depan
S
R
R

belakang
S
S
S

S
R
R

S
S
S

Auskultasi : suara dasar vesikuler


depan
belakang
+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
+
+

Suara tambahan Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)


Jantung
-

Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: Iktus cordis tidak tampak


: Iktus cordis tidak kuat angkat
: Batas jantung normal
5

Abdomen
- Inspeksi
-

Auskultasi

: Bunyi jantung I-II reguler, Bising jantung (-).

: simetris, lebih rendah dari dinding dada, distended (-), sikatrik (-), striae

(-), caput medusa (-)


Auskultasi
: peristaltik (N)
Perkusi
: Tympani, pekak beralih (-)
- Palpasi
: Nyeri tekan(-) Regio epigastrium, Hepar & Lien tidak
membesar, tidak teraba massa.

Ekstremitas
Superior

Inferior

Akral hangat (+), Oedema (-),

Akral hangat (+), Oedema (-),

Sianosis (-), clubbing finger (-),

Sianosis (-), clubbing finger (-)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 31 Maret 2016
Indikator

Hasil

Nilai Normal

SGOT
SGPT
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Eritrosit
Trombosit

70
53
11,1
36,2
10.400
4,25
403

L: <50 m/LP <34mL


L:<33 m/LP <34 mL
11,5 16 g/DL
37.0 47.0 g/DL
4.000 10.000 uL
3.80 5.80 juta/uL
150.000 500.000

Pemeriksaan Sputum BTA


Tanggal
pemeriksaa
n

Spesimen
dahak

Hasil

29 Feb 2016

A: Sewaktu

Neg

02 Feb 2016

B: Pagi

Neg

02 Feb 2016

C: Sewaktu

Neg

+++

++

19

2. Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax AP tanggal :

Kesan:

Cor normal

Paru corakan vaskuler kasar, infiltrat (+) di kedua lapang paru, diafragma dan sinus
normal
Kesimpulan: TB paru aktif lesi luas

Foto thorax AP tanggal :

Kesan:

Cor normal

Paru corakan vaskuler kasar, infiltrat (+) di kedua lapang paru, diafragma dan sinus
normal
Kesimpulan: TB paru aktif lesi luas

C. RESUME
Anamnesis:
a. Keluhan Utama
Sesak nafas yang memberat selama 4 hari
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh batuk yang hilang timbul sejak 2 bulan yll, dahak (+) sulit keluar, keringat
dingin malam hari (+), berat badan turun. Pasien juga mengeluh nyeri dada ketika batuk. Satu
bulan lalu rawat inap karena efusi pleura dextra e.c susp TB, DD : Malignansi. Adanya massa
perihiler dextra. Dilakukan Pungsi di SIC VIII LMC dextra dan dievakuasi 3450 ml cairan. 2
minggu sebelumnya pasien mulai minum OAT. Pasien mengakui kontak dengan penderita
TBC dan menjadi perokok pasif.
Pemeriksaan Fisik:
-

Suara dasar vesikuler


Rhonki (-/-) dan wheezing (-/-)
Perkusi ditemukan Redup dapa paru-paru dextra
Nyeri tekan abdomen regio epigastrium (-)
Ekstremitas tidak ada edema, akral hangat.

Pemeriksaan Laboratorium:

Hasil lab darah

Hasil pemeriksaan BTA : sewaktu (Neg), pagi (Neg), sewaktu (Neg)

: Kenaikan SGOT, SGPT, dan Leukosit

Pemeriksaan Radiologi
Kesan

: Batasan Cor kabur


8

Paru corakan vaskuler kasar, diafragma dan sinus suram.


-

Kesimpulan

: Efusi Pleura Dextra (memburuk)

ASSESMENT / DIAGNOSIS KERJA


-

Efusi Pleura Dextra

D. PLANING
1. PLANING DIAGNOSIS
a. Pungsi diagnostik
b. Px Darah (Hb, Leukosit, SGOT, SGPT)
c. Lab PA
2. PLANING MONITORING
a. Klinis dan Vital Sign
b. Rontgen thorax PA
c. Faal hati dan ginjal
3. PLANING TERAPI
a. OAT Kategori I 2RHZE/4(HR)3
Rifampisin 600mg
INH 300mg
Pirazinamid 1500mg
Etambuthol 1500mg
b. Inj Ofloxacin 400 mg/24 jam
c. Inj Methyl Prednisolon 62,5 mg /12 jam
d. Curcumin 1 x 1 tab
4. PLANING EDUKASI
a. Menjelaskan tentang efusi pleura dan kemungkinan penyebabnya
b. Edukasi pasien agar minum OAT secara rutin
c. Memotivasi pentingnya ventilasi, hygiene, dan pencahayaan yg baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura. Hal
ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya
absorbsi. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling
sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner,
inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta
orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Secara keseluruhan, insidensi efusi
pleura sama antara pria dan wanita. Namun terdapat perbedaan pada kasuskasus tertentu dimana penyakit dasarnya dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Misalnya, hampir dua pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada wanita.
Dalam hal ini efusi pleura maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara
dan keganasan ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan
dengan sistemic lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada
wanita. Di Amerika Serikat, efusi pleura yang berhubungan dengan mesotelioma
maligna lebih tinggi pada pria. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya paparan
terhadap asbestos. Efusi pleura yang berkaitan dengan pankreatitis kronis
insidensinya lebih tinggi pada pria dimana alkoholisme merupakan etiologi
utamanya. Efusi rheumatoid juga ditemukan lebih banyak pada pria daripada
wanita. Efusi pleura kebanyakan terjadi pada usia dewasa. Namun demikian, efusi
pleura belakangan ini cenderung meningkat pada anak-anak dengan penyebab
tersering adalah pneumonia.
C. Etiologi Dan Patofisiologi

10

Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya adalah untuk memfasilitasi
pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan.
Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang.
Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan
kapasitas

absorbs

maksimal

drainase

sistem

limfatik

sebesar

0,2-0,3

mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi protein lebih rendah dibanding


pembuluh limfe paru dan perifer. Cairan dalam rongga pleura dipertahankan oleh
keseimbangan tekanan hidrostatik, tekanan onkotik pada pembuluh darah parietal
dan viseral serta kemampuan drainase limfatik (gambar 2.1). Efusi pleura terjadi
sebagai akibat gangguan keseimbangan faktor-faktor di atas.

Gambar 2.1. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura.
Terlihat bahwa cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada membran
pleura parietal dan visceral (ditunjukkan pada panah yang terputus-putus).
Pembuluh darah pleura parietal (mikrovaskular interkostal) merupakan terpenting
pada sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan rongga pleura dan
memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler bronchial pada
pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh mikrovaskuler,
sisanya akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran limfatik pada pleura
11

parietal (panah utuh). Dikutip dari: Broaddus VC. 2009. Mechanisms of pleural
liquid accumulation in disease. Uptodate.

Persamaan yang menunjukkan hubungan keseimbangan antara tekanan


hidrostatik dan onkotik adalah sebagai berikut : Q = k x [(Pmv Ppmv) s (nmv
npmv)]. Pada persamaan ini, Q merupakan tekanan filtrasi, k merupakan koefisien
filtrasi, Pmv dan Ppmv merupakan tekanan hidrostatik pada ruang mikrovaskular
dan perimikrovaskular. s merupakan koefisien refleksi bagi total protein mulai dari
skor 0 (permeabel penuh) hingga 1 (tidak permeabel). nmv dan npmv
menyatakan

tekanan

osmotik

protein

cairan

di

mikrovaskular

dan

perimikrovaskular. Pada keadaan normal, cairan yang difiltrasi jumlahnya sedikit


dan mengandung protein dalam jumlah yang sedikit pula
Adapun gambaran normal cairan pleura adalah sebagai berikut :
Jernih, karena merupakan hasil ultrafiltrasi plasma darah yang berasal dari
pleura parietalis
pH 7,60-7,64
Kandungan protein kurang dari 2% (1-2 g/dL)
Kadungan sel darah putih < 1000 /m3
Kadar glukosa serupa dengan plasma
Kadar LDH (laktat dehidrogenase) < 50% dari plasma.
Efusi pleura merupakan suatu indikator adanya suatu penyakit dasar baik itu
pulmoner maupun non pulmoner, akut maupun kronis. Penyebab efusi pleura
tersering adalah gagal jantung kongestif (penyebab dari sepertiga efusi pleura
dan merupakan penyebab efusi pleura tersering), pneumonia, keganasan serta
emboli paru.

Berikut ini merupakan mekanisme-mekanisme terjadinya efusi

pleura :
1. Adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya : inflamasi,
keganasan, emboli paru)
2. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya : hipoalbuminemia,
sirosis)
12

3. Meningkatnya permeabilitas pembuluh darah atau kerusakan pembuluh


darah (misalnya : trauma, keganasan, inflamasi, infeksi, infark pulmoner,
hipersensitivitas obat, uremia, pankreatitis)
4. Meningkatnya tekanan hidrostatik pembuluh darah pada sirkulasi sistemik
dan atau sirkulasi sirkulasi paru (misalnya : gagal jantung kongestif, sindrom
vena kava superior)
5. Berkurangnya tekanan pada rongga pleura sehingga menyebabkan
terhambatnya ekspansi paru (misalnya : atelektasis ekstensif, mesotelioma)
6. Berkurangnya sebagaian kemampuan drainase limfatik atau bahkan dapat
terjadi blokade total, dalam hal ini termasuk pula obstruksi ataupun ruptur
duktus torasikus (misalnya : keganasan, trauma)
7. Meningkatnya cairan peritoneal, yang disertai oleh migrasi sepanjang
diafragma melalui jalur limfatik ataupun defek struktural. (misalnya : sirosis,
dialisa peritoneal)
8. Berpindahnya cairan dari edema paru melalui pleura viseral
9. Meningkatnya tekanan onkotik dalam cairan pleura secara persisten dari
efusi pleura yang telah ada sebelumnya sehingga menyebabkan akumulasi
cairan lebih banyak lagi.
Sebagai akibat dari terbentuknya efusi adalah diafragma menjadi semakin
datar atau bahkan dapat mengalami inversi, disosiasi mekanis pleura viseral dan
parietal, serta defek ventilasi restriktif.
Efusi pleura secara umum diklasifikasikan sebagai transudat dan eksudat,
bergantung dari mekanisme terbentuknya serta profil kimia cairan efusi tersebut.
Cairan transudat dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tekanan hidrostatik
dan onkotik, sementara eksudat dihasilkan oleh proses inflamasi pleura ataupun
akibat berkurangnya kemampuan drainase limfatik. Pada kasus-kasus tertentu,
cairan pleura dapat memiliki karakteristik kombinasi dari transudat dan eksudat.
a. Transudat

Efusi pleura transudatif terjadi jika terdapat perubahan dalam tekanan


hidrostatik dan onkotik pada membran pleura, misalnya jumlah cairan yang
13

dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat diabsorbsi. Pada keadaan ini,
endotel pembuluh darah paru dalam kondisi yang normal, dimana fungsi filtrasi
masih normal pula sehingga kandungan sel dan dan protein pada cairan efusi
transudat lebih rendah. Jika masalah utama yang menyebabkannya dapat diatasi
maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya masalah yang lebih lanjut. Selain
itu, efusi pleura transudat juga dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal
dari peritoneum, bisa pula iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter
vena sentra dan pipa nasogastrik. Penyebab-penyebab efusi pleura transudat
relative lebih sedikit yakni :
Gagal jantung kongestif
Sirosis (hepatik hidrotoraks)
Atelektasis yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli paru
Hipoalbuminemia
Sindroma nefrotik
Dialisis peritoneal
Miksedema
Perikarditis konstriktif
Urinotoraks biasanya akibat obstuktif uropathy
Kebocoran cairan serebrospinal ke rongga pleura
Fistulasi duropleura
Migrasi kateter vena sentral ke ekstravaskular
Glisinotoraks sebuah komplikasi yang jarang akibat irigasi kandung
kemih dengan larutan glisin 1,5% yang dilakukan setelah pembedahan
urologi.
b. Eksudat

Efusi pleura eksudat dihasilkan oleh berbagai proses/kondisi inflamasi dan


biasanya diperlukan evaluasi dan penanganan yang lebih luas dari efusi
transudat. Cairan eksudat dapat terbentuk sebagai akibat dari proses inflamasi
paru ataupun pleura, gangguan drainase limfatik pada rongga pleura, pergerakan
cairan eksudat dari rongga peritoneal melalui diafragma, perubahan permeabilitas
14

membrane

pleura,

serta

peningkatan

permeabilitas

dinding

kapiler

atau

kerusakan pembuluh darah. Adapun penyebab-penyebab terbentuknya cairan


eksudat antara lain :
Parapneumonia
Keganasan (paling sering, kanker paru atau kanker payudara, limfoma,
leukemia, sedangkan yang lebih jarang, kanker ovarium, kanker
lambung, sarkoma serta melanoma)
Emboli paru
Penyakit-penyakit jaringan ikat-pembuluh darah (artritis reumatoid,
sistemic lupus erythematosus)
Tuberkulosis
Pankreatitis
Trauma
Sindroma injuri paska-kardiak
Perforasi esofageal
Pleuritis akibat radiasi
Sarkoidosis
Infeksi jamur
Pseudokista pankreas
Abses intraabdominal
Paska pembedahan pintas jatung
Penyakit perikardial
Sindrom Meig (neoplasma jinak pelvis disertai asites dan efusi pleura)
Sindrom hiperstimulasi ovarian
Penyakit pleura yang diinduksi oleh obat
Sindrom yellow nail (kuku kuning, limfedema, efusi pleura)
Uremia
Chylothorax (suatu kondisi akut dengan peningkatan kadar trigilerida
pada cairan pleura)
Pseudochylotoraks (suatu kondisi kronis dengan peningkatan kadar
kolesterol cairan pleura)
15

Fistulasi (ventrikulopleural, billiopleural, gastropleural).

D. Prognosis
Prognosis

efusi

pleura

bervariasi

dan

bergantung

dari

etiologi

yang

mendasarinya, derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa biokimia


cairan pleura. Namun demikian, pasien yang lebih dini memiliki kemungkinan
lebih rendah untuk terjadinya komplikasi. Pasien pneumonia yang disertai dengan
efusi memiliki prognosa yang lebih buruk ketimbang pasien dengan pneumonia
saja. Namun begitupun, jika efusi parapneumonia ditangani secara cepat dan
tepat, biasanya akan sembuh tanpa sekuele yang signifikan. Namun jika tidak
ditangani dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis konstriktiva
hingga sepsis.
Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat buruk,
dengan median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1 tahun. Pada
pria hal ini paling sering disebabkan oleh keganasan paru, sedangkan pada wanita
lebih sering karena keganasan pada payudara. Median angka harapan hidup
adalah 3-12 bulan bergantung dari jenis keganasannya. Efusi yang lebih respon
terhadap kemoterapi seperti limfoma dan kanker payudara memiliki harapan
hidup yang lebih baik dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan
analisa biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan
pleura dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa keadaan
tumor yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk.
E. Gambaran Klinis
Efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan di rongga pleura bergantung
pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam jumlah yang kecil sering tidak
bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah yang besar namun proses akumulasinya
berlangsung

perlahan

hanya

menimbulkan

sedikit

atau

bahkan

tidak

menimbulkan gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi sebagai akibat penyakit
16

inflamasi, maka gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses
dan gejala dapat menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang
biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas
terasa pendek hingga sesak nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat
timbul nyeri khas pleuritik pada area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya
adalah keganasan. Nyeri dada meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat
misalnya infeksi, mesotelioma atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga
sering muncul, khususnya jika cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak
secara tiba-tiba. Batuk yang lebih berat dan atau disertai sputum atau darah
dapat merupakan tanda dari penyakit dasarnya seperti pneumonia atau lesi
endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah
pada pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat
pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll. Riwayat pekerjaan seperti
paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini dapat meningkatkan resiko
mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obat-obat yang selama ini
dikonsumsi pasien.
Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi.
Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300 mL.
Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi toraks,
egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang biasanya dapat
ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang
masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral. Efusi yang
sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan pneumonia
lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura. Merubah posisi pasien dalam
pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi dapat
bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik yang
sesuai dengan penyakit dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer,
distensi vena leher, S3 gallop pada gagal jantung kongestif. Edema juga dapat
muncul pada sindroma nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin
menandakan suatu penyakit hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau
massa yang dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan.
17

F. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan pencitraan radiologis

Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai jumlah
cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya abnormalitas
intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut.
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini
masih merupakan yang paling diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura
pada awal diagnosa. Pada posisi tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang
menyebabkan hemitoraks tampak lebih tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke
lateral, serta sudut kostofrenikus yang menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA
setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang terkumpul sebelumnya agar dapat
terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks lateral dekubitus dapat
mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5 mL. jika pada foto
lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah cairan telah
melebihi 200 cc, ini merupakan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan
torakosentesis. Namun pada efusi loculated temuan diatas mungkin tidak
dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang sedang hingga masif dapat
memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang menyebar pada
bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi hemidiafragma, disposisi
kubah diafragma pada daerah lateral.
Tomografi komputer (CT-scan) dengan kontras harus dilakukan pada efusi
pleura yang tidak terdiagnosa jika memang sebelumnya belum pernah dilakukan.
b. Pemeriksaan cairan pleura

Analisa cairan pleura merupakan suatu sarana yang sangat memudahkan


untuk mendiagnosa penyebab dari efusi tersebut. Prosedur torakosentesis
sederhana dapat dilakukan secara bedside sehingga memungkinkan cairan pleura
dapat segera diambil, dilihat secara makroskopik maupun mikroskopik, serta
dianalisa.
Indikasi tindakan torasentesis diagnostik adalah pada kasus baru efusi pleura
atau jika etiologinya tidak jelas dimana cairan yang terkumpul telah cukup banyak
18

untuk diaspirasi yakni dengan ketebalan 10 mm pada pemeriksaan ultrasonografi


toraks atau foto lateral dekubitus (gambar 2.2). Observasi saja diindikasikan jika
efusi yang terjadi diyakini akibat dari gagal jantung kongestif, pleurisi viral, atau
akibat pembedahan torak dan abdomen sebelumnya. Namun, jika pada keadaan
ini jika dijumpai adanya hal-hal berikut yakni (1) pasien mengalami demam atau
merasakan nyeri dada khas pleuritik, (2) jika efusi yang terjadi unilateral atau
bilateral namun dengan ukuran yang jelas berbeda, (3) tidak ditemukan
kardiomegali, (4) efusi tidak respon dengan terapi gagal jantung.

19

Gambar 2.2. Algoritma evaluasi pasien dengan efusi pleura. Dikutip dari: Light
RW. 2002. Pleural effusion. New england journal medicine, vol 346, no 25.
Langkah
membedakan

diagnostik
antara

pertama

transudat

dalam

dan

analisa

eksudat.

Hal

cairan
ini

pleura

diperlukan

adalah
untuk

menyederhanakan kemungkinan-kemungkinan etiologi sebelum akhirnya dicapai


kesimpulan etiologi yang benar. Selain itu, langkah ini juga dapat menentukan
apakah perlu untuk melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap efusi pleura untuk
memastikan diagnosa.
Ada beberapa paramater yang saat ini dapat dipakai untuk membedakan
antara transudat dan eksudat, namun dari keseluruhan parameter tersebut tidak
ada yang memiliki akurasi 100%. Pada awalnya, kadar total protein dalam cairan
pleura dipakai untuk membedakan jenis cairan pleura dimana jika kadar protein
cairan pleura > 3 g/dL maka cairan tersebut merupakan eksudat sedangkan < 3
g/dL merupakan transudat. Namun menurut Meslom (1979), metode ini salah
mengklasifikasikan baik transudat maupun eksudat sebesar 30%. Sementara itu,
Light dkk. (1972) menyatakan bahwa cairan eksudat harus memenuhi 1 atau
lebih kriteria berikut ini : (1) rasio protein cairan pleura dan serum > 0,5 ; (2)
Rasio LDH cairan pleura dan serum > 0,6 ; (3) LDH cairan pleura lebih besar dari
dua pertiga batas atas nilai normal LDH serum. Sensitivitas dan spesifisitas dari
paramater ini pada awalnya dilaporkan cukup tinggi yakni 99% dan 98%. Namun
belakangan angka ini ternyata berubah khususnya pada spesifisitasnya yakni
hanya berkisar 70-86% saja. Hal ini juga sejalan dengan beberapa penelitian yang
terkait (Peterman, 1984 ; Burges,, 1995 ; Assi, 1998 ; Gasquez, 1998). Pada tahun
1995, Costa M dkk. melaporkan bahwa pemeriksaan gabungan LDH dan kolesterol
cairan pleura memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama dengan hasil
terbaik dari kriteria Light yakni 99% dan 98% (sedangkan dalam penelitian ini
didapati bahwa spesifisitas kriteria Light hanya 82% saja). Namun dalam
penelitian ini cut off LDH yang digunakan untuk eksudat adalah > 200 IU.
Sementara Heffner dkk (1996) melaporkan bahwa cut off LDH > 0,45 dari batas
atas nilai LDH serum normal lebih baik berdasarkan kurva ROC daripada cut off
sebelumnya yakni LDH > 200 IU ataupun LDH > 2/3 (0,6) dari batas atas nilai LDH
20

serum normal. Dalam laporan Costa M dkk, disebutkan pula bahwa spesifisitas
pemeriksaan kolesterol cairan pleura dalam membedakan transudat dan eksudat
adalah sebesar 100%. Penelitian oleh Hamal dkk. (2012) melaporkan pemeriksaan
kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif
(PPV) dan nilai prediksi negatif (NPV) berturut-turut 97,7% ; 100% ; 100% dan
95% dalam membedakan eksudat dan transudat. Sementara itu, pemeriksaan
LDH cairan pleura (LDH-P) memiliki nilai berdasarkan urutan sebelumnya yakni
sebesar 100% ; 57,8% ; 84,3% ; serta 100%. Kedua pemeriksaan ini (LDH-P dan KP) memiliki kelebihan yakni tidak perlu pengambilan darah dan cairan pleura
secara simultan. Terdapat pula

arameterparameter lain yang dapat digunakan

dalam penilaian efusi pleura seperti rasio albumin pleura/serum, rasio kolesterol
pleura/serum serta rasio bilirubin pleura/serum, namun parameter-parameter
yang disebutkan terakhir tidak memberi hasil yang lebih memuaskan.
c. Evaluasi terhadap efusi eksudatif
Penjajakan lebih lanjut diperlukan pada efusi pleura eksudatif bergantung
pada keadaan klinisnya. Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan antara lain :
hitung jumlah dan jenis sel, pengecatan dan pembiakan kuman, pemeriksaan
kadar gula dan kadar LDH, analisa sitologi, serta uji diagnostik tuberkulosis pada
cairan pleura.
Jika pada pemeriksaan hitung jumlah dan jenis sel pada cairan pleura
ditemukan predominasi sel netrofil ( > 50% dari seluruh sel) maka kemungkinan
sedang terjadi proses akut pada pleura. Hal ini dapat terjadi pada keadaan : efusi
parapneumonia, emboli paru serta pankreatitis. Namun hal yang sama tidak
ditemukan pada efusi maligna dan efusi akibat tuberkulosis. Sementara jika sel
didominasi oleh jenis mononuklear, maka hal tersebut menandakan adanya
proses kronis. Jika dijumpai sel limfosit ( > 85%) dalam jumlah yang besar maka
keganasan atau tuberkulosis mungkin saja menjadi penyebab. Namun hal ini
dapat terjadi juga pada efusi pleura paska pembedahan pintas jantung. Jika
dominasinya selnya adalah eosinofil (pleural fluid eosinophilia/PFE) ( > 10%) maka
kemungkinannya terdapat darah atau udara dalam rongga pleura. Namun dapat
pula berkaitan dengan reaksi terhadap obat, infeksi parasit, jamur, kriptokokus
21

atau efusi akibat keganasan dan tuberkulosis yang mengalami torasentesis


berulang. Jika ditemukan mesotelioma > 5% dari seluruh sel berinti, maka
kemungkinan tuberkulosis menjadi semakin kecil. Dan Jika jumlah sel mesotelial
sangat banyak dijumpai maka kemungkinannya adalah emboli paru.
Pengecatan Gram dan kultur cairan pleura terhadap bakteri aerob dan
anaerob akan memberikan hasil identifikasi kuman terhadap efusi pleura akibat
infeksi. Secara umum tingkat keberhasilan kultur kuman dari cairan pleura adalah
sebesar 60%. Hasil ini akan lebih sedikit lagi dijumpai pada infeksi kuman
anaerob. Untuk meningkatkan keberhasilan kultur, khususnya patogen anaerob,
maka inokulasi dilakukan sesegera mungkin (sesaat setelah sampel diambil) pada
media agar darah. Pemeriksaan lain yang spesifik untuk evaluasi terhadap efusi
pleura eksudatif dapat dilihat pada gambar 2.3.

22

Gambar 2.3. Berbagai uji diagnostik cairan pleura. Dikutip dari: Porcel JM, Light
RW. 2006. Diagnostic approach to pleural effusion in adults. American family
physician, vol 73, no 7.
G. Penatalaksanaan
Efusi transudatif biasanya ditangani dengan mengobati penyakit dasarnya.
Namun demikian, efusi pleura yang masif, baik transudat maupun eksudat dapat
menyebabkan gejala respiratori berat. Dalam keadaan ini, meskipun etiologi dan
penanganan penyakit dasarnya telah dipastikan, drainase efusi perlu dilakukan
untuk

memperbaiki

keadaan

umum

pasien.

Penanganan

efusi

eksudatif

bergantung pada etiologi yang mendasarinya. tiga etiologi utama yang paling
sering dijumpai pada

efusi eksudatif adalah pneumonia, keganasan dan

tuberkulosis. Parapneumonia yang mengalami komplikasi dan empiema harus


didrainase untuk mencegah pleuritis fibrotik. Efusi maligna biasanya didrainase
untuk meringankan gejala bahkan pleurodesis diindikasikan untuk mencegah
rekurensi. Beberapa obat-obatan diketahui dapat menyebabkan efusi pleura yang
bersifat transudatif. Hal ini perlu diketahui secara dini untuk menghindari
prosedur diagnostik lain yang tidak perlu.
23

a. Efusi parapneumonik

Dari seluruh efusi pleura eksudatif, efusi pleura parapneumonik secara


khusus mendapat prioritas utama untuk sesegera mungkin didiagnosa dan
penanganan berupa drainase meskipun antibiotik empiris telah diberikan. Hal ini
disebabkan karena efusi pleura yang terinfeksi dapat mengalami koagulasi secara
cepat dan membentuk lapisan fibrous sehingga nantinya memerlukan tindakan
bedah untuk dekortikasi. Adapun indikasi torakosentesis urgensi pada efusi
parapneumonia antara lain : (1) cairan purulen ; (2) pH cairan pleura < 7,2 ; (3)
efusi terlokulasi ; (4) dijumpai bakteri pada pewarnaan Gram atau pada biakan.
Pasien yang tidak memenuhi kriteria diatas harus menunjukkan perbaikan dengan
terapi antibiotik yang sesuai dan diberikan selama 1 minggu.
b. Efusi Pleura Maligna

Efusi pleura merupakan suatu pertanda kondisi yang berat dengan harapan
hidup kurang dari 1 tahun. Pada beberapa pasien, drainase cairan efusi pleura
dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh
distorsi diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi. Jenis efusi ini biasanya
sering berulang sehingga perlu dilakukan torakosentesis berulang, pleurodesis
atau pemasangan kateter yang menetap sehingga pasien dapat mengeluarkan
cairan efusi sesuai kebutuhan di luar rumah sakit. Pada pasien yang mengalami
efusi masif sehingga jaringan paru mengalami pendesakan, maka pemasangan
kateter yang menetap merupakan pilihan utama. Namun jika tidak ada
pendesakan terhadap paru, maka pilihan lain yang dapat digunakan adalah
pleurodesis (pleural sklerosis). Dari sebuah penelitian non-randomized oleh Fysh
ET dkk (2012) didapati bahwa 34 pasien yang memilih menggunakan kateter
menetap secara signifikan lebih cepat pulang dari rumah sakit, lebih jarang
mengalami rekurensi efusi, dan lebih cepat memperoleh perbaikan kualitas hidup
dibanding 31 pasien lainnya yang memilih tindakan pleurodesis.

c. Pleuritis Tuberkulosa

24

Hal yang khas dari efusi yang disebabkan oleh tuberkulosa adalah sifatnya
yang dapat sembuh sendiri. Namun demikian, 65% pasien dengan pleuritis
tuberkulosa primer mengalami reaktivasi dalam 5 tahun. Oleh karena itu
pemberian obat antituberkulosis biasanya akan dimulai sebelum hasil kultur
diperoleh jika keadaan klinis mendukung, dan hasil analisa cairan pleura
menunjukkan suatu eksudat yang tidak dapat dijelaskan atau dengan cairan efusi
limfositik serta tes tuberkulin positif.
d. Intervensi bedah

Intervensi

bedah

paling

sering

diperlukan

dalam

penanganan

efusi

parapneumonia yang tidak dapat didrainase secara adekuat dengan jarum biasa
ataupun dengan kateter ukuran kecil. Torakoskopi dengan tuntunan video
bermanfaat untuk dapat memvisualisasi dan biopsi pleura secara langsung untuk
mendiagnosa efusi eksudatif secara lebih baik. Tindakan dekortikasi bermanfaat
untuk membebaskan bagian paru yang terjebak pada bagian pleura yang
mengalami penebalan. Pemasangan pintasan pleuroperitoneal merupakan salah
satu

pilihan

dalam

penanganan efusi

pleura

yang

mengalami

rekurensi,

simtomatik, dan kebanyakan hal ini dijumpai pada efusi pleura maligna, namun
digunakan pula pada efusi chylous. Namun sayangnya jalur pintasan sering
mengalami disfungsi sehingga sering diperlukan pembedahan untuk perbaikan.
Tindakan bedah juga diperlukan untuk kasus-kasus jarang seperti defek diafragma
pada pasien dengan ascites, serta untuk mengikat duktus torasikus untuk
mencegah reakumulasi efusi chylous. Disiplin ilmu lain yang mungkin terlibat
dalam penanganan efusi pleura antara lain : pulmonologis, radiologi intervensi,
serta bedah toraks bergantung pada lokasi efusi dan kondisi klinis.
e. Torasentesis terapeutik

Torasentesis teraputik betujuan untuk mengeluarkan cairan dalam jumlah


yang banyak pada efusi pleura untuk mengurangi sesak dan menghambat proses
inflamasi yang sedang berlangsung dan juga fibrosis pada efusi parapneumonia.
Tiga hal berikut penting untuk diperhatikan dalam prosedur torasentesis yakni, (1)
gunakan kateter berukuran kecil atau kateter yang didesain khusus untuk
25

drainase cairan dan upayakan jangan menggunakan jarum untuk menghindari


pneumotoraks. (2) monitoring oksigenasi ketat selama dan setelah tindakan perlu
dilakukan untuk memantau oksigenasi arterial yang dapat saja memburuk akibat
perubahan perfusi dan ventilasi selama proses re-ekspansi paru. (3) Usahakan
cairan yang diambil tidak terlalu banyak aqgar tidak terjadi edema paru dan
pneumotoraks. Biasanya 400-500 cc cairan yang dikeluarkan telah memberikan
dampak

berupa

berkurangnya

sesak

nafas.

Sedangkan

batasan

yang

direkomendasikan dalam sekali prosedur torakosentesis adalah 1-1,5 L. Batuk


sering terjadi pada proses torasentesis. Hal ini sering terjadi dan tidak merupakan
indikasi untuk menghentikan prosedur kecuali pasien merasa sangat tidak
nyaman.
f. Pipa Torakostomi

Pipa torakostomi diindikasikan pada efusi yang lebih masif dan efusi
parapneumonia yang terkomplikasi ataupun empiema.

26

DAFTAR PUSTAKA
1. Mefire, Alain., Fokou, Marcus., Dika, Louis., Indications and Morbidity of Tube Thoracostomy
Performed for Traumatic and Non-Traumatic Free Pleural Effusions in a Low-Income Setting.
Cameroon. PanAmerican Medical Journal. 2014; 10-23.
2. Lad, Latikumar., et al., Diagnostic Flex-Rigid Pleuroscopic Biopsy of Parietal Pleura for Exudative
Pleural Effusions in Suspected Malignant and Tuberculosis Cases: a Restrospective Study of 219
cases. Malaysian J Pathol. 2015. 37;101-7.
3. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.
4. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya Medika; 2002.
5. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik. Jakarta: Dian
Rakyat; 2006.
6. Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press; 2010.
7. Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.
8. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2007.
9. Depkes. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan 2. Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai