Kasus Besar
Kasus Besar
Diajukan Oleh:
Dzaky Haidar Afif
Muh Fadhil Ilhami
Dokter Pembimbing :
dr. Riana Sari, Sp.P
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT PARU
BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT (BBPKM)
SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
CASE REPORT
Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Pada hari
Pembimbing :
dr. Riana Sari, Sp.P
(..................................)
Dipresentasikan di hadapan :
dr. Riana Sari, Sp.P
(.................................)
(.................................)
: Ny. Karsi
2
Umur
: 47 tahun
Jenis kelamin
: Wanita
Alamat
: Jebres, Sukoharjo
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Status perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
Suku
: Jawa
Tanggal masuk RS
: 31 Maret 2016
yang lalu
: diakui
Riwayat Asma
: disangkal
3
: disangkal
Riwayat operasi
: disangkal
4. Riwayat Pribadi
: disangkal
: diakui
: disangkal
: disangkal
: disangkal
Riwayat Komorbid
liver (-), keganasan (-).
KU
: Sedang
Kesadaran
BB
: 76 kg
2. Vital sign
Tekanan darah
: 148/92 mmHg
Nadi
Pernafasan
Suhu
: 37,2 oC
3. Pemeriksaan fisik
Kepala
:
4
a.
b.
c.
d.
e.
Leher
: Retraksi dada (-), deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar limfe (-). peningkatan
JVP (-)
Thorax
Paru
:
-
Fremitus
depan
N
N
N
belakang
N
N
N
N
N
N
N
N
N
Perkusi
depan
S
R
R
belakang
S
S
S
S
R
R
S
S
S
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Abdomen
- Inspeksi
-
Auskultasi
: simetris, lebih rendah dari dinding dada, distended (-), sikatrik (-), striae
Ekstremitas
Superior
Inferior
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 31 Maret 2016
Indikator
Hasil
Nilai Normal
SGOT
SGPT
Hemoglobin
Hematokrit
Leukosit
Eritrosit
Trombosit
70
53
11,1
36,2
10.400
4,25
403
Spesimen
dahak
Hasil
29 Feb 2016
A: Sewaktu
Neg
02 Feb 2016
B: Pagi
Neg
02 Feb 2016
C: Sewaktu
Neg
+++
++
19
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax AP tanggal :
Kesan:
Cor normal
Paru corakan vaskuler kasar, infiltrat (+) di kedua lapang paru, diafragma dan sinus
normal
Kesimpulan: TB paru aktif lesi luas
Kesan:
Cor normal
Paru corakan vaskuler kasar, infiltrat (+) di kedua lapang paru, diafragma dan sinus
normal
Kesimpulan: TB paru aktif lesi luas
C. RESUME
Anamnesis:
a. Keluhan Utama
Sesak nafas yang memberat selama 4 hari
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh batuk yang hilang timbul sejak 2 bulan yll, dahak (+) sulit keluar, keringat
dingin malam hari (+), berat badan turun. Pasien juga mengeluh nyeri dada ketika batuk. Satu
bulan lalu rawat inap karena efusi pleura dextra e.c susp TB, DD : Malignansi. Adanya massa
perihiler dextra. Dilakukan Pungsi di SIC VIII LMC dextra dan dievakuasi 3450 ml cairan. 2
minggu sebelumnya pasien mulai minum OAT. Pasien mengakui kontak dengan penderita
TBC dan menjadi perokok pasif.
Pemeriksaan Fisik:
-
Pemeriksaan Laboratorium:
Pemeriksaan Radiologi
Kesan
Kesimpulan
D. PLANING
1. PLANING DIAGNOSIS
a. Pungsi diagnostik
b. Px Darah (Hb, Leukosit, SGOT, SGPT)
c. Lab PA
2. PLANING MONITORING
a. Klinis dan Vital Sign
b. Rontgen thorax PA
c. Faal hati dan ginjal
3. PLANING TERAPI
a. OAT Kategori I 2RHZE/4(HR)3
Rifampisin 600mg
INH 300mg
Pirazinamid 1500mg
Etambuthol 1500mg
b. Inj Ofloxacin 400 mg/24 jam
c. Inj Methyl Prednisolon 62,5 mg /12 jam
d. Curcumin 1 x 1 tab
4. PLANING EDUKASI
a. Menjelaskan tentang efusi pleura dan kemungkinan penyebabnya
b. Edukasi pasien agar minum OAT secara rutin
c. Memotivasi pentingnya ventilasi, hygiene, dan pencahayaan yg baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura. Hal
ini dapat disebabkan oleh peningkatan produksi cairan ataupun berkurangnya
absorbsi. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling
sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner,
inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.
B. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya.
Sementara pada populasi umum secara internasional, diperkirakan tiap 1 juta
orang, 3000 orang terdiagnosa efusi pleura. Secara keseluruhan, insidensi efusi
pleura sama antara pria dan wanita. Namun terdapat perbedaan pada kasuskasus tertentu dimana penyakit dasarnya dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Misalnya, hampir dua pertiga kasus efusi pleura maligna terjadi pada wanita.
Dalam hal ini efusi pleura maligna paling sering disebabkan oleh kanker payudara
dan keganasan ginekologi. Sama halnya dengan efusi pleura yang berhubungan
dengan sistemic lupus erytematosus, dimana hal ini lebih sering dijumpai pada
wanita. Di Amerika Serikat, efusi pleura yang berhubungan dengan mesotelioma
maligna lebih tinggi pada pria. Hal ini mungkin disebabkan oleh tingginya paparan
terhadap asbestos. Efusi pleura yang berkaitan dengan pankreatitis kronis
insidensinya lebih tinggi pada pria dimana alkoholisme merupakan etiologi
utamanya. Efusi rheumatoid juga ditemukan lebih banyak pada pria daripada
wanita. Efusi pleura kebanyakan terjadi pada usia dewasa. Namun demikian, efusi
pleura belakangan ini cenderung meningkat pada anak-anak dengan penyebab
tersering adalah pneumonia.
C. Etiologi Dan Patofisiologi
10
Rongga pleura normal berisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni
0,1 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya adalah untuk memfasilitasi
pergerakan kembang kempis paru selama proses pernafasan.
Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang.
Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan
kapasitas
absorbs
maksimal
drainase
sistem
limfatik
sebesar
0,2-0,3
Gambar 2.1. Skema yang memperlihatkan proses sirkulasi normal cairan pleura.
Terlihat bahwa cairan pleura berasal dari pembuluh darah sistemik pada membran
pleura parietal dan visceral (ditunjukkan pada panah yang terputus-putus).
Pembuluh darah pleura parietal (mikrovaskular interkostal) merupakan terpenting
pada sistem ini sebab pembuluh darah ini paling dekat dengan rongga pleura dan
memiliki tekanan filtrasi yang lebih tinggi daripada mikrovaskuler bronchial pada
pleura viseral. Cairan pleura awalnya akan absorbsi kembali oleh mikrovaskuler,
sisanya akan dikeluarkan dari rongga pleura melalui saluran limfatik pada pleura
11
parietal (panah utuh). Dikutip dari: Broaddus VC. 2009. Mechanisms of pleural
liquid accumulation in disease. Uptodate.
tekanan
osmotik
protein
cairan
di
mikrovaskular
dan
pleura :
1. Adanya perubahan permeabilitas membran pleura (misalnya : inflamasi,
keganasan, emboli paru)
2. Berkurangnya tekanan onkotik intravaskular (misalnya : hipoalbuminemia,
sirosis)
12
dihasilkan melebihi jumlah cairan yang dapat diabsorbsi. Pada keadaan ini,
endotel pembuluh darah paru dalam kondisi yang normal, dimana fungsi filtrasi
masih normal pula sehingga kandungan sel dan dan protein pada cairan efusi
transudat lebih rendah. Jika masalah utama yang menyebabkannya dapat diatasi
maka efusi pleura dapat sembuh tanpa adanya masalah yang lebih lanjut. Selain
itu, efusi pleura transudat juga dapat terjadi akibat migrasi cairan yang berasal
dari peritoneum, bisa pula iatrogenik sebagai komplikasi dari pemasangan kateter
vena sentra dan pipa nasogastrik. Penyebab-penyebab efusi pleura transudat
relative lebih sedikit yakni :
Gagal jantung kongestif
Sirosis (hepatik hidrotoraks)
Atelektasis yang bisa disebabkan oleh keganasan atau emboli paru
Hipoalbuminemia
Sindroma nefrotik
Dialisis peritoneal
Miksedema
Perikarditis konstriktif
Urinotoraks biasanya akibat obstuktif uropathy
Kebocoran cairan serebrospinal ke rongga pleura
Fistulasi duropleura
Migrasi kateter vena sentral ke ekstravaskular
Glisinotoraks sebuah komplikasi yang jarang akibat irigasi kandung
kemih dengan larutan glisin 1,5% yang dilakukan setelah pembedahan
urologi.
b. Eksudat
membrane
pleura,
serta
peningkatan
permeabilitas
dinding
kapiler
atau
D. Prognosis
Prognosis
efusi
pleura
bervariasi
dan
bergantung
dari
etiologi
yang
perlahan
hanya
menimbulkan
sedikit
atau
bahkan
tidak
menimbulkan gangguan sama sekali. Jika efusi terjadi sebagai akibat penyakit
16
inflamasi, maka gejala yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses
dan gejala dapat menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang
biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni : nafas
terasa pendek hingga sesak nafas yang nyata dan progresif, kemudian dapat
timbul nyeri khas pleuritik pada area yang terlibat, khususnya jika penyebabnya
adalah keganasan. Nyeri dada meningkatkan kemungkinan suatu efusi eksudat
misalnya infeksi, mesotelioma atau infark pulmoner. Batuk kering berulang juga
sering muncul, khususnya jika cairan terakumulasi dalam jumlah yang banyak
secara tiba-tiba. Batuk yang lebih berat dan atau disertai sputum atau darah
dapat merupakan tanda dari penyakit dasarnya seperti pneumonia atau lesi
endobronkial. Riwayat penyakit pasien juga perlu ditanyakan misalnya apakah
pada pasien terdapat hepatitis kronis, sirosis hepatis, pankreatitis, riwayat
pembedahan tulang belakang, riwayat keganasan, dll. Riwayat pekerjaan seperti
paparan yang lama terhadap asbestos dimana hal ini dapat meningkatkan resiko
mesotelioma. Selain itu perlu juga ditanyakan obat-obat yang selama ini
dikonsumsi pasien.
Hasil pemeriksaan fisik juga tergantung dari luas dan lokasi dari efusi.
Temuan pemeriksaan fisik tidak didapati sebelum efusi mencapai volume 300 mL.
Gangguan pergerakan toraks, fremitus melemah, suara beda pada perkusi toraks,
egofoni, serta suara nafas yang melemah hingga menghilang biasanya dapat
ditemukan. Friction rub pada pleura juga dapat ditemukan. Cairan efusi yang
masif (> 1000 mL) dapat mendorong mediastinum ke sisi kontralateral. Efusi yang
sedikit secara pemeriksaan fisik kadang sulit dibedakan dengan pneumonia
lobaris, tumor pleura, atau fibrosis pleura. Merubah posisi pasien dalam
pemeriksaan fisik dapat membantu penilaian yang lebih baik sebab efusi dapat
bergerak berpindah tempat sesuai dengan posisi pasien. Pemeriksaan fisik yang
sesuai dengan penyakit dasar juga dapat ditemukan misalnya, edema perifer,
distensi vena leher, S3 gallop pada gagal jantung kongestif. Edema juga dapat
muncul pada sindroma nefrotik serta penyakit perikardial. Ascites mungkin
menandakan suatu penyakit hati, sedangkan jika ditemukan limfadenopati atau
massa yang dapat diraba mungkin merupakan suatu keganasan.
17
F. Pemeriksaan Penunjang
Evaluasi efusi pleura dimulai dari pemeriksaan imejing untuk menilai jumlah
cairan, distribusi dan aksesibilitasnya serta kemungkinan adanya abnormalitas
intratorakal yang berkaitan dengan efusi pleura tersebut.
Pemeriksaan foto toraks posteroanterior (PA) dan lateral sampai saat ini
masih merupakan yang paling diperlukan untuk mengetahui adanya efusi pleura
pada awal diagnosa. Pada posisi tegak, akan terlihat akumulasi cairan yang
menyebabkan hemitoraks tampak lebih tinggi, kubah diafragma tampak lebih ke
lateral, serta sudut kostofrenikus yang menjadi tumpul. Untuk foto toraks PA
setidaknya butuh 175-250 mL cairan yang terkumpul sebelumnya agar dapat
terlihat di foto toraks PA. Sementara foto toraks lateral dekubitus dapat
mendeteksi efusi pleura dalam jumlah yang lebih kecil yakni 5 mL. jika pada foto
lateral dekubitus ditemukan ketebalan efusi 1 cm maka jumlah cairan telah
melebihi 200 cc, ini merupakan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan
torakosentesis. Namun pada efusi loculated temuan diatas mungkin tidak
dijumpai. Pada posisi supine, efusi pleura yang sedang hingga masif dapat
memperlihatkan suatu peningkatan densitas yang homogen yang menyebar pada
bagian bawah paru, selain itu dapat pula terlihat elevasi hemidiafragma, disposisi
kubah diafragma pada daerah lateral.
Tomografi komputer (CT-scan) dengan kontras harus dilakukan pada efusi
pleura yang tidak terdiagnosa jika memang sebelumnya belum pernah dilakukan.
b. Pemeriksaan cairan pleura
19
Gambar 2.2. Algoritma evaluasi pasien dengan efusi pleura. Dikutip dari: Light
RW. 2002. Pleural effusion. New england journal medicine, vol 346, no 25.
Langkah
membedakan
diagnostik
antara
pertama
transudat
dalam
dan
analisa
eksudat.
Hal
cairan
ini
pleura
diperlukan
adalah
untuk
serum normal. Dalam laporan Costa M dkk, disebutkan pula bahwa spesifisitas
pemeriksaan kolesterol cairan pleura dalam membedakan transudat dan eksudat
adalah sebesar 100%. Penelitian oleh Hamal dkk. (2012) melaporkan pemeriksaan
kolesterol cairan pleura memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif
(PPV) dan nilai prediksi negatif (NPV) berturut-turut 97,7% ; 100% ; 100% dan
95% dalam membedakan eksudat dan transudat. Sementara itu, pemeriksaan
LDH cairan pleura (LDH-P) memiliki nilai berdasarkan urutan sebelumnya yakni
sebesar 100% ; 57,8% ; 84,3% ; serta 100%. Kedua pemeriksaan ini (LDH-P dan KP) memiliki kelebihan yakni tidak perlu pengambilan darah dan cairan pleura
secara simultan. Terdapat pula
dalam penilaian efusi pleura seperti rasio albumin pleura/serum, rasio kolesterol
pleura/serum serta rasio bilirubin pleura/serum, namun parameter-parameter
yang disebutkan terakhir tidak memberi hasil yang lebih memuaskan.
c. Evaluasi terhadap efusi eksudatif
Penjajakan lebih lanjut diperlukan pada efusi pleura eksudatif bergantung
pada keadaan klinisnya. Pemeriksaan-pemeriksaan yang dilakukan antara lain :
hitung jumlah dan jenis sel, pengecatan dan pembiakan kuman, pemeriksaan
kadar gula dan kadar LDH, analisa sitologi, serta uji diagnostik tuberkulosis pada
cairan pleura.
Jika pada pemeriksaan hitung jumlah dan jenis sel pada cairan pleura
ditemukan predominasi sel netrofil ( > 50% dari seluruh sel) maka kemungkinan
sedang terjadi proses akut pada pleura. Hal ini dapat terjadi pada keadaan : efusi
parapneumonia, emboli paru serta pankreatitis. Namun hal yang sama tidak
ditemukan pada efusi maligna dan efusi akibat tuberkulosis. Sementara jika sel
didominasi oleh jenis mononuklear, maka hal tersebut menandakan adanya
proses kronis. Jika dijumpai sel limfosit ( > 85%) dalam jumlah yang besar maka
keganasan atau tuberkulosis mungkin saja menjadi penyebab. Namun hal ini
dapat terjadi juga pada efusi pleura paska pembedahan pintas jantung. Jika
dominasinya selnya adalah eosinofil (pleural fluid eosinophilia/PFE) ( > 10%) maka
kemungkinannya terdapat darah atau udara dalam rongga pleura. Namun dapat
pula berkaitan dengan reaksi terhadap obat, infeksi parasit, jamur, kriptokokus
21
22
Gambar 2.3. Berbagai uji diagnostik cairan pleura. Dikutip dari: Porcel JM, Light
RW. 2006. Diagnostic approach to pleural effusion in adults. American family
physician, vol 73, no 7.
G. Penatalaksanaan
Efusi transudatif biasanya ditangani dengan mengobati penyakit dasarnya.
Namun demikian, efusi pleura yang masif, baik transudat maupun eksudat dapat
menyebabkan gejala respiratori berat. Dalam keadaan ini, meskipun etiologi dan
penanganan penyakit dasarnya telah dipastikan, drainase efusi perlu dilakukan
untuk
memperbaiki
keadaan
umum
pasien.
Penanganan
efusi
eksudatif
bergantung pada etiologi yang mendasarinya. tiga etiologi utama yang paling
sering dijumpai pada
a. Efusi parapneumonik
Efusi pleura merupakan suatu pertanda kondisi yang berat dengan harapan
hidup kurang dari 1 tahun. Pada beberapa pasien, drainase cairan efusi pleura
dalam jumlah yang banyak dapat mengurangi gejala yang disebabkan oleh
distorsi diafragma dan dinding toraks oleh cairan efusi. Jenis efusi ini biasanya
sering berulang sehingga perlu dilakukan torakosentesis berulang, pleurodesis
atau pemasangan kateter yang menetap sehingga pasien dapat mengeluarkan
cairan efusi sesuai kebutuhan di luar rumah sakit. Pada pasien yang mengalami
efusi masif sehingga jaringan paru mengalami pendesakan, maka pemasangan
kateter yang menetap merupakan pilihan utama. Namun jika tidak ada
pendesakan terhadap paru, maka pilihan lain yang dapat digunakan adalah
pleurodesis (pleural sklerosis). Dari sebuah penelitian non-randomized oleh Fysh
ET dkk (2012) didapati bahwa 34 pasien yang memilih menggunakan kateter
menetap secara signifikan lebih cepat pulang dari rumah sakit, lebih jarang
mengalami rekurensi efusi, dan lebih cepat memperoleh perbaikan kualitas hidup
dibanding 31 pasien lainnya yang memilih tindakan pleurodesis.
c. Pleuritis Tuberkulosa
24
Hal yang khas dari efusi yang disebabkan oleh tuberkulosa adalah sifatnya
yang dapat sembuh sendiri. Namun demikian, 65% pasien dengan pleuritis
tuberkulosa primer mengalami reaktivasi dalam 5 tahun. Oleh karena itu
pemberian obat antituberkulosis biasanya akan dimulai sebelum hasil kultur
diperoleh jika keadaan klinis mendukung, dan hasil analisa cairan pleura
menunjukkan suatu eksudat yang tidak dapat dijelaskan atau dengan cairan efusi
limfositik serta tes tuberkulin positif.
d. Intervensi bedah
Intervensi
bedah
paling
sering
diperlukan
dalam
penanganan
efusi
parapneumonia yang tidak dapat didrainase secara adekuat dengan jarum biasa
ataupun dengan kateter ukuran kecil. Torakoskopi dengan tuntunan video
bermanfaat untuk dapat memvisualisasi dan biopsi pleura secara langsung untuk
mendiagnosa efusi eksudatif secara lebih baik. Tindakan dekortikasi bermanfaat
untuk membebaskan bagian paru yang terjebak pada bagian pleura yang
mengalami penebalan. Pemasangan pintasan pleuroperitoneal merupakan salah
satu
pilihan
dalam
penanganan efusi
pleura
yang
mengalami
rekurensi,
simtomatik, dan kebanyakan hal ini dijumpai pada efusi pleura maligna, namun
digunakan pula pada efusi chylous. Namun sayangnya jalur pintasan sering
mengalami disfungsi sehingga sering diperlukan pembedahan untuk perbaikan.
Tindakan bedah juga diperlukan untuk kasus-kasus jarang seperti defek diafragma
pada pasien dengan ascites, serta untuk mengikat duktus torasikus untuk
mencegah reakumulasi efusi chylous. Disiplin ilmu lain yang mungkin terlibat
dalam penanganan efusi pleura antara lain : pulmonologis, radiologi intervensi,
serta bedah toraks bergantung pada lokasi efusi dan kondisi klinis.
e. Torasentesis terapeutik
berupa
berkurangnya
sesak
nafas.
Sedangkan
batasan
yang
Pipa torakostomi diindikasikan pada efusi yang lebih masif dan efusi
parapneumonia yang terkomplikasi ataupun empiema.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Mefire, Alain., Fokou, Marcus., Dika, Louis., Indications and Morbidity of Tube Thoracostomy
Performed for Traumatic and Non-Traumatic Free Pleural Effusions in a Low-Income Setting.
Cameroon. PanAmerican Medical Journal. 2014; 10-23.
2. Lad, Latikumar., et al., Diagnostic Flex-Rigid Pleuroscopic Biopsy of Parietal Pleura for Exudative
Pleural Effusions in Suspected Malignant and Tuberculosis Cases: a Restrospective Study of 219
cases. Malaysian J Pathol. 2015. 37;101-7.
3. Djojodibroto, D. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC; 2009.
4. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. Tuberkulosis Klinis 2nd ed. Jakarta: Widya Medika; 2002.
5. Misnadiarly. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan Mikobakterium Atipik. Jakarta: Dian
Rakyat; 2006.
6. Hasan, H. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press; 2010.
7. Amin, Z. Asril B. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; 2009.
8. Aditama, T.Y, dkk. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI; 2007.
9. Depkes. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2, cetakan 2. Jakarta.
27