ABSTRAK
Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi.
Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material
organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa baru. Proses ini menggunakan
udara yang disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel
mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan. Kemampuan
bakteri dalam membentuk flok menentukan keberhasilan pengolahan limbah secara
biologi, karena akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif
dicirikan oleh beberapa parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume
Index = SVI) dan Stirred Sludge Volume Index (SSVI).
Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari bentuk flok, yang diwakili
oleh faktor bentuk (Shape Factor = S). Sistem pengolah lumpur aktif baik untuk
domestik maupun industri mengandung 1-5% padatan total dan 95-99% bulk water
(liqour ?). Pembuangan kelebihan lumpur dilakukan dengan mengurangi volume lumpur
melalui proses pengepresan (dewatering). Konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi
yang tinggi, 70-90% dalam bentuk Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif. akumulasi
besi dapat berasal dari influent air limbah atau melalui penambahan FeSO4 yang
digunakan untuk menghilangkan fosfor. Sebagai contoh pengolahan limbah sistem
lumpur aktif adalah Unit Pengelolaan Air Limbah PT. UNITEX. Unit ini mampu mengolah
limbah lebih dari 200 m2 per hari. Proses pengelolaan terbagi atas tiga tahap
pemrosesan, yaitu : 1. Proses Primer, meliputi penyaringan kasar, penghilangan warna,
equalisasi, penyaringan halus, pendinginan, 2. Proses Sekunder, biologi dan sedimentasi
dan 3. Proses Tersier, tahap lanjutan dengan penambahan bahan kimia.
Sistem yang digunakan dalam PAL PT. Unitex merupakan perpaduan antara
proses fisika, kimia dan biologi. Yang paling berperan dalam hal pengurangan bahanbahan pencemar adalah proses biologi yang menggunakan sistem lumpur aktif dengan
extented aeratio. Selain limbah cair, terdapat juga limbah padat berupa lumpur yang
merupakan hasil samping dari sistem pengolahan yang digunakan. Lumpur hasil olahan
digunakan sebagai bahan campuran pembuatan coneblock dan batako press serta pupuk
organik. Hal ini merupakan salah satu alternatif dan langkah lebih maju dari PT. Unitex
dalam memanfaatkan kembali limbah padat.
KATA KUNCI : Lumpur Aktif, Industri, Tekstil, Activated Sludge
JENIS TEKNOLOGI : Teknologi Pengolahan Air Limbah
TARGET PENGGUNAAN : Industri Menengah, Industri Besar
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.3. Manfaat
Teknologi ini dapat menurunkan total padatan tersuspensi (TSS) hingga
mencapai 91%, COD 62%, Fe 96% dan BOD5 97%. Proses ini juga menghilangkan
warna dan bau dari limbah tersebut.
II. PROSES LUMPUR AKTIF
2.1. Sistem Lumpur Aktif Konvensional
Proses Lumpur Aktif Konvensional dapat dilihat pada Gambar 1.
1. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem lumpur aktif
disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan sebagai lumpur campuran.
MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik
dan mineral, termasuk didalamnya adalah mikroorganisma. MLSS ditentukan
dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas saring (filter), kemudian
filter dikeringkan pada temperatur 1050C, dan berat padatan dalam contoh
ditimbang.
2. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada MLSS
diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup
dan mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan
memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 - 6500C, dan nilainya
mendekati 65-75% dari MLSS.
F/M = Q x BOD5
MLSS x V
4.
dimana :
Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD)
BOD5 = BOD5 (mg/l)
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l)
V = Volume tangki aerasi (Gallon)
5. Rasio F/M dikontrol oleh laju sirkulasi lumpur aktif. Lebih tinggi laju sirkulasi
lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk tangki aerasi konvensional
rasio F/M adalah 0,2 - 0,5 lb BOD5/hari/lb MLSS, tetapi dapat lebih tinggi hingga
1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986). Rasio F/M yang rendah
mencerminkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar,
semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien.
6. Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah waktu ratarata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk
proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D)
(Sterritt dan Lester, 1988).
HRT = 1/D = V/ Q
7.
dimana :
V = Volume tangki aerasi
Q = Laju influent air limbah ke dalam tangki aerasi
D = Laju pengenceran.
8. Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-rata
mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka
waktu tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi dapat dalam hari lamanya.
Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur
lumpur dihitung dengan formula sebagai berikut (Hammer, 1986; Curds dan
Hawkes, 1983) :
9.
dimana :
MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l).
V = Volume tangki aerasi (L)
SSe = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l)
SSw = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l)
Qe = Laju effluent limbah (m3/hari)
Qw = Laju influent limbah (m3/hari).
10. Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam konvensional lumpur aktif.
Pada musim dingin lebih lama dibandingkan musim panas (U.S. EPA, 1987a).
Parameter penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah laju
pemuatan organik, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi tangki
pengendapan akhir. Tangki ini mempunyai dua fungsi: penjernih dan
penggemukan mikroba. Untuk operasi rutin, orang harus mengukur laju
pengendapan lumpur dengan menentukan indeks volume lumpur (SVI), Voster
dan Johnston, 1987.
1. Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem konvensional. Usia
lumpur juga lebih lama dan dapat diperpanjang sampai 15 hari.
2. Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu dalam pengendapan
primer.
3. Sistem beroperasi dalam F/M ratio yang lebih rendah (umumnya <0,1 lb
dengan 1 000 m m atau lebih (Parker et al., 1971; U.S.EPA, 1987a), Lihat Gambar 3. Sel
hidup dalam flok dapat diukur dengan analisis ATP dan aktifitas dehidrogenase,
berjumlah 5-20% dari total sel (Weddle dan Jenkins, 1971). Beberapa peneliti menjaga
agar fraksi aktif bakteri dalam lumpur aktif mewakili hanya 1-3% bakteri total (Hanel,
1988).
GENUS
KELOMPOK
PERSENTASI
DARI TOTAL
ISOLAT
Comamonas-Pseudomonas
50
Alkaligenes
5,8
1,9
Paracoccus
11,5
1,9
Aeromomas
1,9
Flavobacterium - Cytophaga
13,5
Bacillus
1,9
Micrococcus
1,9
Coryneform
5,8
Arthrobacter
1,9
Aureobacterium-Microbacterium
1,9
Jumlah total bakteri dalam lumpur aktif standard adalah 108 CFU/mg lumpur.
Tabel 1. menunjukkan beberapa genus bakteri yang ditemui dalam standard lumpur
aktif. Sebagian besar bakteri yang diisolasi diidentifikasi sebagai spesies-spesies
Comamonas-Psudomonas.
Caulobacter, bakteri bertangkai umumnya ditemukan dalam air yang miskin
bahan organik, dapat diisolasi dari kebanyakan pengolahan limbah, khususnya lumpur
aktif (MacRae dan Smit, 1991).
Gambar 4. Distribusi
Zoogloea adalah bakteri yang menghasilkan exopolysaccharide yang membentuk
proyeksi khas seperti jari tangan dan ditemukan dalam air limbah dan lingkungan yang
kaya bahan organik (Norberg dan Enfors, 1982; Unz dan Farrah, 1976; Williams dan
Unz, 1983). Zoogloea diisolasi dengan menggunakan media yang mengandung mbutanol, pati, atau m-toluate sebagai sumber karbon. Bakteri ini ditemukan dalam
berbagai tahap pengolahan limbah tetapi jumlahnya hanya 0,1-1% dari total bakteri
dalam mixed liqour (Williams dan Unz, 1983). Kepentingan relatif bakteri ini dalam air
limbah membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik
seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi
nitrat dan bakteri fototrofik seperti bakteri ungu non sulfur (Rhodospilrillaceae), yang
dapat dideteksi pada konsentrasi sekitar 105 sel/ml. Bakteri ungu dan hijau ditemukan
dalam jumlah yang sangat kecil. Barangkali, bakteri fototrofik hanya sedikit berperan
dalam penurunan nilai BOD dalam lumpur aktif (Madigan, 1988; Siefert et al., 1978).
Fungi
Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun beberapa
fungi berfilamen kadang-kadang ditemukan dalam flok lumpur aktif. Fungi dapat tumbuh
pesat dibawah kondisi pH yang rendah, toksik, dan limbah yang kekurangan nitrogen.
Genus yang dominan ditemukan dalam lumpur aktif adalah Geotrichum, Penicillium,
Cephalosporium, Cladosporium, dan Alternaria (Pipes dan Cooke, 1969; Tomlinson dan
Williams, 1975). Lumpur ringan (Sludge Bulking) dapat dihasilkan oleh pertumbuhan
yang pesat Geotrichum candidum, yang dirangsang oleh pH rendah dari limbah yang
asam.
Protozoa
Protozoa adalah significant predator dalam lumpur aktif seperti dalam lingkungan
akuatik alam (Curds, 1982; Drakides, 1980; Fenchel dan Jorgensen, 1977; LaRiviere,
1977). Pemakanan bakteri oleh protozoa dapat ditentukan dengan eksperimen
pemakanan bakteri yang telah diberi 14C atau 35C atau flouresen (Hoffmann dan Atlas,
1987; Sherr et al, 1987). Pemakanan bakteri tersebut dapat mereduksi toksikan.
Contoh, Aspidisca costata yang memakan bakteri dalam lumpur aktif dapat menurunkan
Kadmium (Hoffmann dan Atlas, 1987). Protozoa paling sering ditemukan dalam lumpur
aktif adalah Carchesium, Paramecium sp, Opercularia sp, Chilodenella sp, Vorticella sp,
Apidisca sp (Dart dan Stretton, 1980, Edeline, 1988; Eikelboom dan van Buijsen, 1981).
Cilliata. Siliata atau bulu getar digunakan untuk pergerakan dan mendorong
partikel makanan kedalam mulut . Siliata dibagi menjadi tiga, yaitu : Siliata bebas (free),
merayap (creeping), dan bertangkai (stalked). Siliata bebas (tidak terikat) memakan
bakteri bebas yang terbang. Genus yang paling penting sering ditemukan dalam lumpur
aktif adalah Chilodonella, Colpidium, Blepharisma, Euplotes, Paramecium, Lionotus,
Trachelophyllum, dan Spirostomum. Siliata merayap memakan bakteri yang berada
dipermukaan flok lumpur aktif. Dua genus penting, yaitu : Aspidisca dan Euplotes. Cilitas
bertangkai menempel tangkainya pada flok. Tangkai mempunyai myoneme untuk
menangkap mangsa. Contoh siliata bertangkai adalah Vorticella, Carchesium,
Opercularia, dan Epistylis.
Rotifers
Rotifers adalah metazoa (organisme bersel banyak) dengan ukuran bervariasi
dari 100 mm - 500 m m. Tubuhnya menancap pada partikel flok dan sering tercabut dari
permukaan flok (Doohan, 1975; Eikelboom dan van Buijsen, 1981). Rotifers ditemukan
dalam instalasi pengolahan air limbah termasuk dua orde pertama, Bdelloidea (contoh :
Philodina spp., Habrotrocha spp.) dan Monogononta (contoh : Lecane spp., Notommata
spp.). Peranan rotifers dalam lumpur aktif adalah : (1) menghilangkan bakteri
tersuspensi (contoh : bakteri yang tidak membentuk flok; (2) memberi kontribusi
terhadap pembentukan flok melalui pelet kotoran yang dikelilingi oleh mukus. Kehadiran
rotifers dalam tahap akhir pengolahan limbah sistem lumpur aktif dikarenakan
kenyataan bahwa hewan ini mempunyai siliata yang kuat yang menolong dalam mencari
makan dan menurunkan jumlah bakteri tersuspensi (membuat air lebih jernih) dan aksi
siliatanya lebih kuat dibandingkan protozoa.
2.4. Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi
Indonesia dalam satu dasa warsa ini dikenal sebagai penghasil tekstil yang besar
disamping India dan Pakistan. Dalam proses produksi industri tekstil banyak
menggunakan bahan kimia dan air. Bahan kimia yang digunakan antara lain untuk
proses pencucian, pemutihan, dan pewarnaan. Akibat dari itu pencemaran lingkungan
menjadi masalah bagi masyarakat yang tinggal disekitar industri tekstil. Mengingat
pentingnya industri tekstil sebagai penghasil devisa negara dan perlunya perlindungan
lingkungan, maka diperlukan adanya teknologi pengolah limbah tekstil yang handal.
Salah satu contoh pengolahan limbah tekstil yang hingga saat ini beroperasi adalah
pengolahan limbah tekstil milik P.T. Unitex di Bogor.
Gagasan unit pengolah limbah tekstil di PT. Unitek lahir dari Presiden Direktur Mr.
S. Okabe karena pada tahun tersebut belum ada perusahaan yang dapat dijadikan
contoh dalam pengolahan air limbah. Kemudian rancang bangunnya dilaksanakan oleh
perusahaan induknya di Jepang, yaitu Unitika Ltd. Dalam perkembangan selanjutnya
terus mengalami perbaikan dan penambahan sejalan dengan peningkatan produksi. PT.
Unitek merupakan pabrik tekstil terpadu. Proses produksinya meliputi pemintalan
(spinning), pertenunan (weaving), pencelupan (dyeing) dan penyelesaian akhir
(finishing). Pada umumnya polutan yang terkandung dalam limbah industri tekstil dapat
berupa padatan tersuspensi, padatan terlarut serta gas terlarut. Karakteristik limbah
pada umumnya bersifat alkalis (pH = 7), suhunya tinggi serta berwarna pekat. Untuk
menghilangkan polutan tersebut, diperlukan pengolahan yang dapat memisahkan dan
menghancurkan polutan yang terkandung didalamnya.
III. TAHAPAN
Instalasi Pengelolaan Air Limbah PT. Unitek dibangun Tahun 1988 di atas tanah
seluas 4000 m2, dan mampu mengolah limbah tekstil lebih dari 2000 m3/hari. Proses
pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi atas tiga tahap pemrosesan, yaitu :
Gambar 10. Bak pengendap (clarifier) setelah diberi koagulan ferro sulfat.
Gambar 11. Menara pendingin (Colling Tower) sebelum air masuk ke dalam bak aerasi.
Gambar 13. Lumpur aktif dari bak pengendap akhir dikembalikan ke bak aerasi tahap
pertama.
Gambar 18. Contoh air baku sampai dengan air hasil olahan.
IV. CARA PEMBUATAN
Urutan proses pengolahan limbah di PT. Unitek secara garis besar dibagi dalam 5
unit proses yang meliputi proses primer, sekunder, dan tersier, yaitu :
Unit 2 : adalah proses penguraian bahan organik yang terkandung di dalam air
limbah dengan sistem lumpur aktif.
Unit 3 : adalah proses pemisahan air yang telah bersih dengan lumpur aktif dari
kolam aerasi.
Untuk jelasnya lihat Gambar 19. Sistem Pengolah Limbah Lumpur Aktif PT. UNITEX.
4.1. Proses Pengolahan Limbah
Proses pengolahan air limbah PT. Unitek terbagi menjadi tiga tahap pemrosesan, yaitu :
Unit
Penangana
n
Jumla
h
Vol Tangki
(m3)
Total Vol
(m3)
Debit
(m3/hari
)
Waktu
Retens
i
59 + 56
115
1200
2.3 jam
Limbah air
umum
653
653
1800
8.7 jam
Tangki
Koagulasi I
3.1
3.6
720
7.2
menit
Tangki
Sedimentasi
I
14.2
28.4
720
25
menit
Kolam Aerasi
2(1250) +
925
3425
3000
27.4
jam
Kolam
equalisasi
Limbah air
warna
Tangki
Sedimentasi
II
407
407
3394
2.9 jam
Tangki
Koagulasi II
3394
2.5
menit
Tangki
Intermeadiat
57
57
3394
24
menit
Tangki
Sedimentasi
III
178
178
3394
1.26
jam
Kolam Ikan
15
15
3394
6.4
menit
tangki ketiga pada kedua tangki tersebut ditambahkan polimer berkonsentrasi 0,5 - 0,2
ppm, sehingga akan terbentuk gumpalan-gumpalan besar (flok) dan mempercepat
proses pengendapan.
Setelah gumpalan-gumpalan terbentuk, akan terjadi pemisahan antara padatan
hasil pengikatan warna dengan cairan secara gravitasi dalam tangki sedimentasi.
Meskipun air hasil proses penghilangan warna ini sudah jernih, tetapi pH-nya masih
tinggi yaitu 10, sehingga tidak bisa langsung dibuang ke perairan. Untuk menghilangkan
unsur-unsur yang masih terkandung didalamnya, air yang berasal dri koagulasi I
diproses dengan sistem lumpur aktif. Cara tersebut merupakan perkembangan baru
yang dinilai lebih efektif dibandingkan cara lama yaitu air yang berasal dari koagulasi I
digabung dalam bak ekualisasi.
Tabel 3. Hasil pengamatan konsentrasi, debit, dan laju penambahan koagulan
dan flokulan terhadap limbah air warna (Rapto, 1996)
Agent
Konsentrasi
(kg/l)
Debit
(l/jam)
Laju
Penambahan
(kg/jam)
Fe SO4
0.21
13.28
2.84
Lime
0.11
806.76
86.44
Polimer ANP-10
2. 10-4
561.60
0.11
Tabel 4. Efisiesi removal proses koagulasi dan flokulasi air limbah warna
Tahun 1994 (Rapto, 1996)
Parameter
Inlet
(mg/l)
Outlet
(mg/l)
Efisiensi
removal (%)
TSS
132.33
17.33
86.9
BOD5
266.12
54.92
79.4
COD
432.33
112.00
74.1
DO
0.4
0.25
37.5
c. Ekualisasi
Bak ekualisasi atau disebut juga bak air umum memiliki volume 650 m3
menampung dua sumber pembuangan yaitu limbah cair tidak berwarna dan air yang
berasal dari mesin pengepres lumpur. Kedua sumber pembuangan pengeluarkan air
dengan karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu untuk memperlancar proses
selanjutnya air dari kedua sumber ini diaduk dengan menggunakan blower hingga
mempunyai karakteristik yang sama yaitu pH 7 dan suhunya 32oC. Sebelum kontak
dengan sistem lumpur aktif, terlebih dahulu air melewati saringan halus dan cooling
tower, karena untuk proses aerasi memerlukan suhu 32oC. Untuk mengalirkan air dari
bak ekualisasi ke bak aerasi digunakan dua buah submerble pump atau pompa celup
(Q= 60 m3/jam).
alumunium sulfat (konsentrasi antara 150 300 ppm) dan polimer (konsentrasi antara
0,5 2 ppm), sehingga terbentuk flok yang mudah mengendap. Selain kedua bahan
koagulan tersebut juga ditambahkan tanah yang berasal pengolahan air baku (water
teratment) yang bertujuan menambah partikel padatan tersuspensi untuk memudahkan
terbentuknya flok.
Pada tangki koagulasi ini terdapat mixer (pengaduk) untuk mempercepat proses
persenyawaan kimia antara air dan bahan koagulan, juga terdapat pH kontrol yang
berfungsi untuk memantau pH effluent sebelum dikeluarkan ke perairan. Setelah
penambahan koagulan dan proses flokulasi berjalan dengan sempurna, maka gumpalangumpalan yang berupa lumpur akan diendapkan pada tangki sedimentasi III (volume =
178 m3). Hasil endapan kemudian dipompakan ke tangki penampungan lumpur yang
selanjutnya akan diolah dengan belt press filter machine.
Agent
Kosentrasi
(kg/l)
Debit (l/jam)
Laju
Penambahan
(kg/jam)
Al2(SO4)3
0.30
128.95
38.69
Polimer
ANP-10
5. 10-4
53.21
0.03
Inlet (mg/l)
Outlet (mg/l)
Efisiensi
Removal (%)
TSS
22.00
9.00
59.10
BOD5
46.69
25.09
46.30
COD
93.33
50.09
46.30
Parameter Pantau
A. Kimia
1. COD (Chemical Oxygen Demand) : Jumlah oksigen (ppm O2) yang dibutuhkan
3. DO (Dissolved Oksigen) : Jumlah oksigen (ppm O2) yang terlarut dalam air dan
merupakan kebutuhan mutlak bagi mikroorganisma (khususnya bakteri) dalam
menguraikan zat organik.
2. SV30 (Sludge Volume = 30) : Lumpur yang mengendap secara gravitasi selama 30
menit (%) yang menunjukkan tingkat kelarutan oksigen dalam lumpur aktif.
C. Biologi
Parameter biologi yang diamati berupa mikroorganisme predator bakteri,
diantaranya prozoa dan avertebrata lainnya.
Kualitas Influen dan Efluen IPAL PT UNITEX
Efisiensi sistem IPAL PT. Unitex cuiup tinggi, terutama untuk TSS, BOD dan FE.
Hanya sayang dalam analisis keberhasilan sistem lumpur aktif menjadi sulit karena
parameter MLSS, MVSS, SVI dan mikrobiologinya kurang banyak diteliti.
Tabel 7. Efisiensi Total Rata-Rata IPAL PT. UNITEX (RIPTO, 1996)
Inlet (air
umum)
Outlet
Efisiensi
Air Umum
pH
11.35
7.26
36.03
TSS (mg/l)
84.00
7.00
91.66
BOD5 (mg/l)
97.50
2.70
97.00
COD (mg/l)
428.50
162.70
62.03
2.33
0.07
96.99
Parameter
Fe (mg/l)
VII. LOKASI
Pengolahan limbah tektil ini diterapkan di PT Unitek, Jalan Pajajaran Tajur, Bogor. Jawa
Barat.
VIII. PERMASALAHAN
Teknologi ini cukup mahal investasinya. Penerapannya harus seimbang dengan investasi
industri utamanya. Walaupun hasilnya memuaskan, biaya operasinya cukup tinggi.
INFORMASI SELENGKAPNYA HUBUNGI :