Anda di halaman 1dari 19

TUGAS ILMIAH

CASE REPORT I

MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI KOREKSI


SKOLIOSIS PADA PASIEN ADOLESCENT IDIOPATHIC
SCOLIOSIS

Oleh :
Hilmy Manuapo, dr
130121150006

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


RUMAH SAKIT HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016

MANAJEMEN ANESTESI PADA OPERASI KOREKSI


SKOLIOSIS PADA PASIEN ADOLESCENT IDIOPATHIC
SCOLIOSIS

Abstrak
Pendahuluan : Skoliosis merupakan kelainan yang rumit pada tulang belakang
menyebabkan lengkungan ke arah lateral dan rotasi vertebra dan juga tulang iga.

Biasanya juga mempengaruhi sistem respirasi, kardiovaskular, dan neurologi.


Prevalensi pada populasi umumnya dari 0.3 15.3%. hal ini sering terjadi pada
remaja dan perbandingan antara perempuan dan laki-laki sekitar 3:1, 75 -90%
kasus skoliosis merupakan tipe idiopatik, dan tipe remaja adalah yang tersering.
Kasus : Seorang anak perempuan berusia 15 tahun didiagnosa dengan adolescent
idiopathic scoliosis yang akan menjalani operasi koreksi skoliosis. Riwayat pasien
menderita penyakit skoliosis sejak 2 tahun yang lalu. Tidak didapatkan kelainan
kongenital dan kelainan sistem kardiovaskular. Pada pemeriksaan radiologi ditemukan
sudut cobb 45o.
Ringkasan : Kami menggunakan anestesi umum untuk prosedur yang akan dilakukan.
Selama operasi kami menggunakan tekhnik hipotensi. Hemodinamik pasien stabil,
manitanance menggunakan sevoflurane 2 volume %. Operasi berlangsung selama 5 jam.
Operasi berhasil, kami mengekstubasi pasien. Kami pindahkan pasien ke unit perawatan
biasa.
Kata kunci: skoliosis, teknik hipotensi

MANAGEMENT OF ANESTHESIA OF CORRECTION


SCOLIOSIS IN ADOLESCENT IDIOPATHIC SCOLIOSIS
Abstract

Background :

Scoliosis is a complex deformity of the spine resulting in lateral

curvature and rotation of the vertebrae as well as a deformity of the rib cage .
There is usually secondary involvement of the respiratory, cardiovascular and
neurologic systems. It is reported prevalence in the general population varies
from 0.3 15.3%. It is more common in adolescents and has a female to male
ratio of about 3:1 , 75 -90% of cases of scoliosis are of the idiopathic type, out of
which the adolescent type is most common.

Case : A 15 years old girl diagnosed with adolescent idiopathic scoliosis undergo
correction scoliosis. Patients present illness has been known since 2 years ago. There is
no other congenital anomaly and cardiorespiratory system. Radiological findings
revealed cobbs angle 45o.

Summary : We used general anesthesia for the procedure. During operation we did
hypotension anesthesia. Hemodynamic of the patient was stable.. Duration of the
operation was about 5 hours. The operation was succed, we extubate the patient. We has
moved the patient to regular ward.

Key word: scoliosis, hypotension anesthesia

PENDAHULUAN

Skoliosis merupakan kelainan yang rumit pada tulang belakang menyebabkan lengkungan
ke arah lateral dan rotasi vertebra dan juga tulang iga. Biasanya juga mempengaruhi

sistem respirasi, kardiovaskular, dan neurologi. Prevalensi pada populasi


umumnya dari 0.3 15.3%. hal ini sering terjadi pada remaja dan perbandingan
antara perempuan dan laki-laki sekitar 3:1, 75 -90% kasus skoliosis merupakan
tipe idiopatik, dan tipe remaja adalah yang tersering. Sisanya sekitar 10-25%
kasus skoliosis disebabkan oleh berbagai penyebab.
Skoliosis mengacu kepada lengkungan dari tulang belakang ke arah lateral,
biasanya digunakan pada semua kelainan tulang belakang pada anak-anak.
Anesthesi pada koreksi skoliosis merupakan tantangan karena sering terjadinya
komorbiditas pada pasien yang akan dioperasi, pembedahan yang luas dan
keterbatasan dalam penggunaan tekhnik anestesi dalam memonitor medula
spinalis selama operasi. Periode setelah operasi bisa terdapat kesulitan dengan
berbagai masalah pada operasi mayor seperti kehilangan darah terus-menerus,
ileus, kegagalan ventilasi dan SIADH, tapi juga berupa komplikasi unik seperti
sindrom superior mesenteric artery (SMA). Nyeri hebat setelah operasi dapat
terjadi dan penanganannya membutuhkan multimodal analgetik.
Operasi koreksi biasanya dilakukan mulai dari usia 10 tahun. Lebih lanjut lagi
pada anestesi pediatrik dan para ahli bedah mengizinkan koreksi dilakukan pada
tingkat yang sangat awal.

LAPORAN KASUS

Identifikasi
Nama

: Nn. S

Umur

: 15 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Bandung

Agama

: Islam

Pekerjaan

: Pelajar

Alasan masuk rumah sakit

: Rencana operasi skoliosis

Diagnosis

: Adolescent Idiopathic Scoliosis

Rencana Operasi

: Correction scoliosis

SUBJEKTIF
Anamnesis :
Pasien seorang anak 15 tahun masuk ke RS karena direncanakan akan
dilakukan operasi koreksi skoliosis. Pasien diketahui memiliki kelainan tulang
belakang sejak 2 tahun yang lalu. Riwayat trauma tidak ada. Tidak ada keluhan
sesak, maupun batuk dalam waktu lama. Tidak ada riwayat kebiruan, pasien dapat
beraktivitas seperti biasa.

Anamnesis Tambahan :
Riwayat Operasi (-), riwayat alergi (-), asma (-), DM (-), hipertensi (-).

OBJEKTIF
Pemeriksaan fisik :
KU

: Sakit ringan

Kesadaran

: GCS 15 E4M6V5
TD :110/60 mmHg

HR : 87 x/m, reguler

RR : 20 x/m

S : 36,6

SPO2 : 99% dengan udara bebas

Kepala

: Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik(-/-)

Mulut

: Mallampati II, Buka mulut > 3 jari,

Leher

: ROM baik

Thoraks

: Bentuk dan gerak simetris,


Paru

: VBS kiri = kanan, Ronkhi (-)/(-), wheezing(-)/(-)

Jantung

: S1, S2, reguler, gallop (-), murmur (-)

Abdomen

: Datar lembut, nyeri tekan (-), BU (+) normal

Ekstremitas

: capillary refill< 2, Akral hangat, Oedem (-), Sianosis (-)

Tes Tahan Nafas : > 20 detik

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang


Lab
Hb

12,5

PT

11,4

Ht

35

INR

1,00

Leukosit

5.700

ApTT

32,0

Trombosit

246.000

SGOT

13

Na

139

SGPT

3,5

Ur

15

Cl

105

Cr

0,37

Ca

5,01

pH

7,451

GDS

84

pCO2

31,6

pO2

90,5

HCO3

21,8

BE

-0,9

Sat

97,3

Ro Thoraks : tidak tampak TB paru aktif, scoliosis vertebra thoracalis, cobb


angle 45o
EKG : sinus rhytm, HR 78 x/menit.
TFP : normal, FVC : 90,6 %

Konsultasi bagian lain : IKA tidak ada kelainan kardiopulmonal

JAWABAN VISITE PRE-OPERATIF :

Prinsip setuju tindakan anestesi, status fisik pasien ASA II

Saran

: Puasa preop 6 jam


Sedia darah
Premedikasi dengan lorazepam 1 mg 2 jam pre op

Kesimpulan
Pasien ASA II
Rencana dikerjakan dalam General Anestesi

PENATALAKSANAAN ANESTESI
Persiapan pasien :
Pasien tiba di kamar operasi 08.00 WIB, Dimana sebelumnya pasien telah
dijelaskan mengenai operasi yang akan dijalani. Dan pada keluarga juga
dijelaskan mengenai kondisi / keadaan pasien saat terakhir dan prosedur anestesi
serta komplikasi yang akan dihadapi terutama akibat tindakan anestesi (ASA II).
Setelah dipindahkan ke meja operasi pasien dipasang monitor EKG, tekanan darah
non invasive, dan saturasi O2. Dilakukan pemeriksaan terhadap airway, tidak
ada kendala atau clear, breathing tidak ditemukan ronchi dan wheezing. Pasien
diberi oksigen via nasal kanul 3 liter/menit. Pada saat ini terukur tanda vital pasien
: Tekanan darah : 108/62 mmHg; laju nadi : 91x/mnt; frekuensi nafas : 19 x/mnt
dan saturasi O2 : 100 %, EKG : Sinus ritmis. Posisi pasien supine.
Induksi anestesi
Dilakukan preoksigenasi selama 3 menit kemudian dilakukan induksi dengan
Fentanil 100 g, propofol 100 mg. Setelah pasien tertidur, volatile sevoflurane
dibuka 4 vol% kemudian diberikan atracurium 25 mg. Setelah pasien apneu,
kemudian dilakukan intubasi untuk memasang ETT no.6 dengan balon, ETT

dikembangkan kemudian dilakukan auskultasi untuk menilai kedalamanan ETT.


Setelah yakin suara nafas paru kiri dan kanan sama, ETT difiksasi, lalu di lakukan
auskultasi ulang. Sesaat setelah intubasi didapatkan hemodinamik pasien dengan
TD 87/59 mmHg, HR 72x/menit, saturasi 100%. Tekanan darah pasien dinaikkan,
kemudian pasien diposisikan prone. Hemodinamik pasien setelah posisi prone TD
: 95/59 mmHg, HR 84 x/mnt, saturasi 100%.
Rumatan Anestesi
Rumatan anestesi dengan N2O : O2 = 50% : 50% dan sevoflurane 2,0 vol %.
Selama operasi berlangsung keadaan stabil, dan selama durante operasi diberikan
tambahan analgetik Fentanyl 20 mcg IV setiap 30 menit. Tanda vital selama
durante didapatkan: tekanan darah 81-90 / 51-63 mmHg, nadi 72-83 x / menit,
respirasi 12-16x/menit, Saturasi O2 99 100 %.
Ekstubasi
Ketika operasi akan selesai, saat dilakukan penjahitan kulit pernafasan mulai
dicoba untuk dispontankan, namun belum begitu adekuat volume tidal masih 50100 cc dengan frekuensi 10 - 12 kali permenit. Kemudian diberikan reverse, 15
menit kemudian volume tidal bertambah menjadi 150 200 cc. Pasien kembali
diposisikan supine, volatile dimatikan kemudian secara perlahan reflex menelan
(+), kemudian diekstubasi. Tanda vital pasien saat itu tekanan darah sistolik
berkisar : 98-115 mmHg; tekanan darah diastolik berkisar : 58-63 mmHg, nadi :
79-84 x/mnt; frekuensi nafas : 18 - 20 x/mnt, dan Saturasi O2 : 98-100 %. Selama
15 menit pasien tetap di OK untuk diobservasi dan keadaan pasien stabil, Selama
operasi berlangsung perdarahan 700 cc, dan diuresis 250 cc. Pasien kami
pindahkan ke ruang pemulihan.

PEMBAHASAN

Skoliosis merupakan kelainan yang terjadi pada tulang belakang yang


membuat lekukan ke arah lateral dan rotasi pada vertebra dan juga kelainan pada
tulang iga. Biasanya mempengaruhi sistem respirasi, kardiovaskular dan
neurologi.
Klasifikasi etiologi skoliosis
1. Skoliosis idiopatik (genetik) (70% dari

semua

kasus skoliosis;

diklasifikasikan berdasarkan onset usia)


2. Skoliosis kongenital (kemungkinan bukan genetik)
Vertebral
Open- with posterior spinal defect
With neurologic deficit (e.g., myelomeningocele)
Closed- no posterior element defect
With neurological deficit (e.g., diastematomyelia with spina
bifida)
Without neurological deficit (e.g., hemivertebra, unilateral
unsegmented bar)
Extravertebral (e.g., congenital rib fusions)
3. Neuromuscular scoliosis
Neuropathic forms
Lower motor neuron disease (e.g., poliomyelitis)
Upper motor neuron disease (e.g., cerebral palsy)
Others (e.g., syringomyelia)
Myopathic forms
Progressive (e.g., muscular dystrophy)
Static (e.g., amyotonia congenita)
Others (e.g., Friedrichs ataxia, unilateral amalia)
4.

Neurofibromatosis (Von Recklinghausens disease)

5.

Mesenchymal disorders
Congenital (e.g., Marfans syndrome, Morquios disease, amyoplasia
congenita, various types of dwarfism)

Acquired (e.g., rheumatoid arthritis, Stills disease)


Others (e.g., Scheurmanns disease, osteogenesis imperfecta)
6.

Trauma Vertebral (e.g., fracture, irradiation, surgery)


Extravertebral (e.g., burns, thoracic surgery)

Sumber : Scoliosis and Anaesthetic Considerations. Indian Journal of


Anaesthesia.
Pengukuran tingkat keparahan skoliosis
Pengukuran dengan metode Cobb, terdiri dari tiga langkah :
1. Melokasikan bagian akhir dari vertebra superior.
2. Melokasikan bagian akhir dari vertebra inferior.
3. Menggambar garis perpotongan tegak lurus dari permukaan superior pada akhir
vertebra superior dan dari permukaan inferior pada akhir vertebra inferior.
Sudut deviasi dari garis perpendicular dari garis lurus adalah sudut lengkungnya.
Operasi dilakukan ketika sudut Cobb melebihi 50o pada tulang belakang bagian
thorakal dan 40o pada tulang belakang bagian lumbal. Tujuan dari operasi itu
sendiri adalah utnuk menghentikan progresifitas penyakit cardiopulmonal. Jika
tidak diobati, skoliosis idiopatik dapat menjadi berbahaya pada dekade kehidupan
keempat atau kelima dapat menyebabkan hipertensi pulmonal atau kegagalan
respirasi.

Sumber : Scoliosis and Anaesthetic Considerations. Indian Journal of


Anaesthesia.

1. PREOPERATIVE
a. Penilaian jalan napas : kesulitan pada jalan napas harus diantisipati ketika
skoliosis melibatkan thoarakal atas atau tulang cervical. Kelainan seperti
Duchenne muscular dystrophy dapat menyebabkan hipertrofi pada lidah.
b. Sistem Respirasi : penilaian terhadap sistem pulmonari harus fokus
terhadap ada tidaknya perlukaan pada paru-paru atau penyakit paru-paru,
penumonia dan tingkat keparahan dari skoliosis. Faktor yang berhubungan
dengan kebutuhan ventilasi mekanik setelah operasi diantaranya panyakit
neuromuskular, disfungsi restriktif paru-paru yang berat dengan kapasitas
vital 30 ml/kg. Skoliosis menyebabkan penurunan kapasitas vital,
penurunan functional residual capacity (FRC), dan penyakit paru restriktif
yang memiliki karakter adanya peningkatan frekuensi napas dan
penurunan volume tidal. Tingkat keparahan dari skoliosis dipengaruhi oleh
sudut skoliosis, jumlah tulang belakang yang terlibat, lokasi cephalad dari
kurvatura dan derajat kehilangan yang terlihat pada kifosis thorakalis.
Kegagalan fungsi paru terlihat dengan adanya penurunan PaO2 karena
adanya shunting. Pembedahan koreksi skoliosis dapat menyebabkan
komplikasi terhadap fungsi paru jika kurvatura lebih dari 60 o.manifestasi
pertama yang muncul adalah penurunan kapasitas vital yang menunjukkan

adanya penyakit restriktif paru. Periode yang panjang akibat hipoksenia


menyebabkan hipertensi pulmonal, hiperkapnia dan kejadian kegagalan
respirasi. Operasi pada skoliosis dilakukan untuk memperlambat progres
penyakit dan mencegah komplikasinya. Skoliosis dapat membatasi fungsi
otot-otot paru. Skoliosis dapat berhubungan dengan timbulnya defek
restriktif paru yang ditunjukkan dengan adanya penurunan kapasitas total
paru pada tes fungsi paru. Pada skoliosis infantil dan juvenile lebih
berhubungan dengan hipoplasia paru karena deformitas torakal timbul
selama pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dari paru. Pada
preoperatif fungsi respirasi harus dinilai melalui riwayat yang detail, fokus
kepada kerusakan fungsi dan toleransi usaha, pemeriksaan fisik dan
investigasi yang layak. Fungsi respirasi harus dioptimalkan dengan
mengobati segala penyebab disfungsi paru yang reversibel seperti infeksi
diterapi dengan fisoterapi dan bronkhodilator.
c. Sistem kardiovaskular: Kelainan pada sistem kardiovaskular berhubungan
dengan perubahan struktur mediastinum dan akibat dari insufisiensi
respirasi yang kronis berefek pada fungsi sistem jantung. Efek tersebut
adalah restriktif perikarditis dengan kemungkinan efusi perikardial.
Keterbatasan pengisian jantung menurunkan segala potensi peningkatan
cardiac output. Hipertensi pulmonal sebagai akibat dari hipoksemia yang
kronis. Faktor lain yang mempengaruhi hipertensi pulmonal jumlah unit
pembuluh darah dibagi dengan unit volume paru lebih sedikit dibanding
dengan

normal

paru.

Investigasi

minimal

mencakup EKG dan

echocardiografi untuk menilai fungsi ventrikel kiri dan tekanan arteri


pulmonal. Pada sistem kardiovaskular terjadi peningkatan resistensi
pembuluh darah pulmonari. Angka kejadian tinggi CHD dan prolaps katup
mitral. Pada pemeriksaan penunjang dapat dilakukan EKG dan
echocardiografi.
d. Neurologi : SSEPs (posterior cord) dan MEPs (anterior cord) akan
diperhatikan pada hampir semua pasien yang akan dilakukan operasi
rekonstruksi tulang belakang. Beberapa dokter bedah akan meminta pasien
dibangunkan intraoperatif, setelah selesai melakukan perbaikan, tapi

sebelum menutup luka operasi, untuk meyakinkan tidak ada defisit


motorik yang terjadi akibat koreksi. Pergerakan jari kaki atau kedua kaki
cukup untuk menilai intaknya fungsi motorik. Informasikan kepada pasien
bahwa tes ini akan dilakukan, tes hanya dilakukan beberapa menit, pasien
tidak akan merasakan sakit hebat selama tes berlangsung, dan anestesi
penuh akan dilakukan begitu tes selesai dilakukan.
e. Muskuloskeletal : Ketika Cobb angle > 25o, derajat penurunan repriratori
akan terlihat signifikan, dan kebutuhan suport ventilator pada postoperatif
lebih besar.
f. Hematologi : Dianjurkan autologous atau donor darah langsung.
Setidaknya tersedia 2 unit PRC pada saat akan memulai operasi.
g. Premedikasi: disarankan untuk menghindari penggunaan narkotik atau
sedasi berat sebagai premedikasi pada pasien dengan kerusakan fungsi
pulmonal. Bronkhodilator dapat digunakan untuk mengoptimalisasi fungsi
paru pada preoperatif. Antisialogogues mungkin dapat digunakan pada
procedure intubasi yang direncanakn menggunakan fiberoptik atau ketika
posisi telungkup atau lateral digunakan utnuk meminimalisasi sekret dan
menghindari agar plester tidak basah untuk menjaga ETT. Jika ada resiko
resiko terjadinya aspirasi H2 blocking agents atau proton pump inhibitors
dapat digunakan.

Pada kasus ini :

Jalan napas

: tidak ada masalah jalan napas yang diperlihatkan

dengan malampati II, buka mulut > 3 jari, ROM tidak ada gangguan

Sistem respirasi

: anamnesa tidak didapatkan keluhan sesak, ataupun

cepat lelah jika beraktivitas, pada pemeriksaan fisik paru dalam batas
normal, dan tes tahan nafas > 20 detik, kemudian pemeriksaan penunjang
didapatkan, FVC normal (90,6%), TFP normal.

Sistem kardiovaskular dalam batas normal

Neurologi dalam batas normal

Hematologi

: dilakukan persiapan darah 4 PRC 4 FFP

Premedikasi

: diberikan lorazepam 1 mg 2 jam pre op

Inform consent memberitahukan tentang tindakan yang akan dilakukan


dan resikonya.

Tekhnik anestesi yang dipilih dengan general anesthesia dengan


menggunakan tekhnik hypotension anesthesia yang bertujuan untuk
mengurangi perdarahan.

2. INTRAOPERATIVE
a.

Induksi: Biasanya induksi yang digunakan melalui intravena. Sebagai


alternatif induksi menggunakan inhalasi dapat digunakan dikondisikan
sesuai dengan pasien. Hindari succinylcholine pada kasus ini dan gunakan
nondepolarising neuromuscular blocking agents intubasi.

b.

Intubasi: Dengan fiksasi yang baik karena akan dilakukan perubahan


posisi

c.

Maintenance: Dapat digunakan tekhnik N2O-narkotik-inhalasi atau


menggunakan tekhnik intravena memakai propofol. Non-depolarizing
neuromuscular blocking agents digunakan sebagai rumatan relaksasi.
Cairan intravena sebaiknya dihangatkan dan lebih baik menggunakann
matras penghangat.

d.

Intraoperative monitoring: minimal monitoring sebaiknya terdapat ECG,


NIBP, pulse oximetry, capnography, esophageal stethoscope dan probe
suhu. Dan juga kateter urine harus dipasang dan urine output diukur.
Anestesi yang lama pada posisi yang tidak biasa, bersama dengan
kehilangan darah yang banyak, efek hemodinamik terhadap operasi dan
kebutuhan dilakukan tekhnik hipotensi maka diperlukan arterial line. Dan
juga serial AGD dapat dilakukan jika dibutuhkan. Pengukuran CVP tidak
sesuai pada posisi prone, tetapi pada pasien ini kita tidak memasang
arterial line.

e.

Positioning: pada posisi prone dibutuhkan abdomen yang terkompresi.

f.

Spinal cord monitoring:

I . Wake-up test: digunakan untuk menilai fungsi motorik. Hal ini menjadi
penilaian utama intak tidaknya tulang belakang. wake-up test harus
direncankan dengan baik dan didiskusikan dengan pasien pada visit
preanestesi. Dosis kecil anestesi volatile, jika digunakan, dihentikan satu
jam sebelum tes dilakukan. Setelah dihentikan penggunaan N2O dan
ventilasi hanya menggunakan oksigen 100%, pasien seharusnya dapat
mengikuti perintah untuk menggerakan jari-jari. Tidak direkomendasikan
penggunaan reverse neuro muscular blockade atau narkotik untuk
mempercepat tes wake-up karena dapat menimbulkan gerakan yang
membahayakan yang dapat merusak instrumen atau menyakiti pasien.
Ketika gerakan yang diinginkan didapatkan maka anestesi dilakukan
kembali.
Berikut ini tekhnik yang digunakan untuk mengurangi kehilangan darah dan
dengan transfusi darah secara autologous.
A. Mengurangi kehilangan darah
1. Ketika pasien ditempatkan pada posis prone tekanan intra abdomen harus
diminimalisasi. Hal ini dapat mengurangi tekanan vena epidural dan
perdarahan vena saat operasi.
2. Anestesi hipotensi merupakan cara yang aman dan metode yang efektif
untuk mengurangi kehilangan darah sampai 58% selama operasi tulang
belakang. Tekanan rata-rata arteri biasanya dipertahankan di sekitar 60-65
mmHg. Anestesi hipotensi dapat tercapai dengan menggunakan agen
inhalasi,

sodium nitroprusside, ganglion blocking drugs contohnya

trimethaphan, calcium channel blockers contohnya nicardipine, beta


blockers

contohnya

propranolol,

esmolol,

labetalol,

nitroglycerin,

fenoldopam, dll.
3. Agen Antifibrinolytic contohnya aprotinin inhibits plasmin dan kallikrein.
B.Autologous blood transfusion
Darah autologous dapat dilakukan dengan 3 metode :

1. Preoperative autologous blood donation (PABD): pasien mendonasikan


darahnya 3 -5 minggu sebelum operasi untuk digunakan pada saat
intraoperatif.
2. Acute normovolemic hemodilution (ANH): hal ini dilakukan sesaat
sebelum operasi. Darah yang diambil diganti dengan koloid atau kristaloid
untuk mencapai normovolume dengan menurunkan hematokrit.
3. Intraoperative cell salvage: darah yang hilang pada saat operasi
dikumpulkan

menggunakan

alat

yang

memadai

kemudian

diberi

antikoagulan, disaring clot dan debrisnya, disentrifugasi, direndam di saline


dan diinfuskan kembali ke pasien. Faktor pembekuan digantikan
menggunakan FFP. Tekhnik ini tidak cocok pada pasien dengan keganasan
atau infeksi.
Pada kasus ini :

Induksi menggunakan propofol, fentanyl dan atracurium, untuk anestesi


inhalasi digunakan sevoflurane, kemudian intubasi menggunakan single
lumen tube.

Monitoring menggunakan EKG, NIBP, pulse oksimeter, kateter urine.

Maintenance digunakan N2O-narkotik-inhalasi.

Dilakukan pemasangan NGT.

MAP dipertahankan di 62-65 mmHg untuk mengurangi perdarahan.

POST OPERATIVE
Setelah koreksi skoliosis sebaiknya semua pasien dirawat di ruang
perawtan intensif. Oksigen diberikan menggunakan masker selama beberapa
jam setelah ekstubasi dan mungkin dibutuhkan lebih lama pada pasien yang
memiliki disfungsi paru. Komplikasi paru (ARDS, pneumonia, atelectasis,
pulmonary embolism) merupakan komplikasi yang biasa terjadi, monitoring
ketat, penggunaan spirometri dan aggressive pulmonary toilet sangat berguna
untuk menurunkan morbiditas pada pasien yang sebelmnya terdapat penyakit

paru. Komplikasi lain yang dapat terjadi setelah operasi diantaranya


neurologic injury, ileus, pneumothorax, dural tears, urinary complications
and syndrome of inappropriate ADH secretion.
Post operative analgetik direkomendasikan menggunakan analgetik
multimodal dengan kombinasi analgetik primer, opioid dan dapat juga dengan
tekhnik regional. Obat nonsteroidal anti-inflammatory dapat digunakan
sebagai tambahan tetapi efek sampingnya dapat meningkatkan perdarahan,
gastritis dan disfungsi renal. Penggunaan opiod tidak akan mempengaruhi
penilaian neurologi. Penggunaan dosis kecil ketamine menunjukkan efikasi
dengan dosis inisial 0.25 mg/kg, dilanjutkan dengan drip 2- 2.5 mcg/kg/min
menurunkan skor nyeri, mengurangi rasa mual, menurunkan kebutuhan
narkotik dan tidak menimbulkan halusinasi.
Pada kasus ini :

Post op pasien diekstubasi dan dipindahkan ke ruang pemulihan

Di ruang pemulihan diobservasi, TD 117/64 mmHg, HR 86 x/mnt, RR 20


x/mnt dan Saturasi O2 99-100%, EKG : sinus rithmis.

Pain management : diberikan fentanyl 20 mcg/jam

KESIMPULAN
Manajemen perioperatif dimulai sejak evaluasi pre operatif, selama
operatif dan setelah operatif. Evaluasi pre operatif sekaligus mengoptimallkan
kondisi pasien sangat penting untuk meminimalisasi terjadinya komplikasi, baik
komplikasi yang dapat terjadi intra operatif atau pun yang dapat terjadi post
operatif.
Skoliosis dapat disebabkan oleh berbagai macam etiologi, mengarah ke
respirasi yang ditunjukkan dengan penyakit restriktif paru, maldistribusi ventilasiperfusi dan hipoksemia. Keterlibatan kardiovaskular biasanya dengan adanya
peningkatan tekanan jantung kanan, prolaps katup mitral atau penyakit jantung
bawaan. Penilaian preanestesi yang detail dan optimalisasi sistem respiratori dan
kardiovaskular dibutuhkan. Konsiderasi intraoperatif yang penting seperti
monitoring, suhu dan maintenance keseimbangan cairan, posisi, monitoring
integritas medulla spinalis dan konservasi darah. Ruang perawatan intensif
postoperatif, penanganan respirasi dan penanganan nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kulkarni

Anand

H.,

Ambareesha

M,

Scoliosis

and

Anaesthetic

Considerations. Indian Journal of Anaesthesia. Desember 2007. Vol. 51 (6) :


486-495.
2. Jaffe RA, Samuels SI. Orthopaedy Surgery. Anesthesiologists Manual of
Surgical Procedures 4th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkin.
2009.
3. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Chapter 27 : Anesthesia for
Neurosurgery : 608-609. Morgan & Mikhails Clinical Anesthesiology 5th ed.
United States : Mc Graw Hill. 2013
4. Yao, Fun-Sun, Chapter 57 : Scoliosis : 1156-1178. Yao & Artusio Problem
Oriented Patient Management.

Anda mungkin juga menyukai