Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masa lalu diagnosis penyakit ditegakkan semata-mata dengan
pemeriksaan klinis, yang banyak menyebabkan kesalahn diagnosis. Kemudian
berkembang pelbagai pemeriksaan penunjang atau uji diagnostic, mulai dari
pemeriksaan laboratorium sederhana sampai pemeriksaan pencitraan yang
canggih. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita memerlukan pelbagai jenis uji
diagnostic untuk menegakkan diagnostik pada sebagian besar kasus.
Memilih pemeriksaan diagnostic yang tepat tidak selalu mudah. Uji
diagnostik dapat dilakukan secara bertahap (serial) atau sekaligus beberapa uji
diagnostik (paralel). Pada uji diagnostic serial, pemeriksaan dilakukan secara
bertahap; perlu atau tidaknya pemeriksaan selanjutnya ditentukan oleh hasil
uji sebelumnya. Misalnya, untuk diagnosis tuberculosis paru, foto toraks baru
perlu dikerjakan bila hasil uji tuberculin positif. Pada uji pararel, beberapa
pemeriksaan dilakukan sekaligus; hal ini biasa dilakukan pada kasus yang
memerlukan diagnosis cepat. Contohnya, pada pasien dengan kesadaran
menurun, perlu dilakukan segera pemeriksaan terhadap gula darah, ureum,
serta funduskopi.
Dikenal pula pembagian uji diagnostik berdasar pada kegunaannya
misalnya untuk skrining, memastikan diagnosis atau menyingkirkan diagnosis,
memantau perjalanan penyakit, menentukan prpgnosis dan lain-lain.

Perbedaan kegunaan tersebut menyebabkan perbedaan karakteristik uji


diagnostik yang dipakai.
Uji diagnostik yang ideal jarang sekali ditemukan, yaitu uji yang
memberikan hasil positif pada semua subyek yang sakit dan memberikan hasil
negative pada subyek yang sehat. Hamper pada semua uji diagnostik terdapat
kemungkinan untuk diperoleh hasil uji positif pada subyek yang sehat (postif
semu, false positive), dan hasil negative pada subyek yang sakit (negative
semu, false negative).
Interpretasi hasil uji diagnostic dipengaruhi pula oleh berbagai hal,
terutama prevalens penyakit dan derajat penyakit pada waktu uji diagnostik
dilakukan. Dalam makalah ini diuraikan manfaat, prinsip dasar, dan langkahlangkah yang diperlukan dalam melakukan suatu uji diagnostic, serta
interpretasi hasil uji diagnostik. Dikemukakan pula satu contoh uji diagnosti
sederhana.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelakan tentang Tujuan uji diagnostik.
2. Menjelaskan tentang Prinsip dasar uji diagnostik.
3. Menjelaskan tentang Struktur uji diagnostik.
4. Menjelaskan tentang Skala pengukuran variable.
5. Menjelaskan tentang Baku emas.
6. Menjelaskan tentang Analis dalam uji diagnostic.
7. Menjelaskan tentang Langkah-Langkah Penelitian Uji Diagnostik
8. Menjelaskan tentang Contoh Uji Diagnostik.
9. Menjelaskan tentang Peralatan Yang Digunakan Di Lingkup Kesehatan
Ibu Dan Anak.
C. TUJUAN
Diharapkan mahasiswi Program Studi Pendidikan DIV Kebidanan
Semarang mampu menjelaskan serta mampu mengerti tentang Tujuan uji

diagnostik, Prinsip dasar uji diagnostik, Struktur uji diagnostik, Skala


pengukuran variable, Baku emas, Analis dalam uji diagnostic, Peralatan yang
digunakan di lingkup kesehatan ibu dan anak, agar mempermudah
mahasiswa/mahasiswi dalam mengikuti perkuliahan selanjutnya pada blok
epidemiologi (metodologi penelitian klinis).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TUJUAN UJI DIAGNOSTIK

Telah disebutkan bahwa sedikit sekali uji diagnostic yang ideal, artinya
uji yang memberikan hasil positif pada 100% pasien yang sakit dan
memberikan hasil negatif pada pasien yang tidak sakit. Pengembangan uji
diagnostic dapat mempunyai beberapa tujuan, termasuk:
1. Untuk menegakkan diagnosis penyakit atau menyingkirkan suatu
penyakit. Untuk keperluan ini, uji diagnostic haruslah sensitif
(kemungkinan negative semu kecil), sehingga bila didapatkan hasil
normal (hasil uji negative) dapat digunakan untuk menyingkirkan
adanya suatu penyakit. Ia juga harus spesifik (kemungkinan hasil
positif semu kecil), sehingga apabila hasilnya abnormal dapat
digunakan

untuk

menentukan

adanya

penyakit.

Mneomonik

(jembatan keledai) dalam bahasa inggris yang sering digunakan


adalah SnNOut (with Sensitive test, Negative result rules Out the
disease) dan SpPIn (with Spesific test, Positive result rules In the
disease).
2. Untuk keperluan skrinning. Skrinning dilakukan untuk mencari
penyakit pada subyek yang asimtomatik, sehingga dapat dilakukan
pemeriksaan lanjutan agar diagnosis dini dapat ditegakkan. Uji
diagnostik untuk skrinning harus mempunyai sensitivitas yang sangat
tinggi meskipun spesifisitasnya sedikit rendah. Penyakit yang perlu
dilakukan skrinning memiliki syarat-syarat sebagai berikut;
a) Prevalensi penyakit harus tinggi, meski kata tinggi ini
relative.
b) Penyakit tersebut menunjukkan morbiditas dan/ atau mortalitas
yang bermakna apabila tidak diobati.

c) Harus ada terapi efektif yang dapat mengubah perjalanan


penyakit.
d) Pengobatan dini memberikan hasil yang lebih baik ketimbang
pengobatan pada kasus yang lanjut.
Contoh skrinning yang baik adalah uji tuberculin pada
anak. Keempat syarat tersebut terpenuhi, karena prevalens
tuerkulosis di Indonesia tinggi, apabila tidak diobati akan
menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna, terdapat
pengobatan yang efektif, dan pengobatan dini akan memberikan
hasil yang jauh lebih baik. Di banyak Negara, skrinning ini juga
dilaksanankan terhadap beberapa inborn error of metabolism
seperti fenilketonuria (PKU) atau hipotiroidisme pada bayi baru
lahir, meskipun insidens kelainan-kelainan tersebut, dipandang
dengan kacamata kita saat ini, tidak terlalu tinggi.
Contoh skrinning yang tidak layak adalah foto thoraks
untuk mendeteksi kanker paru; karena meskipun misalnya prosedur
tersebut sensitive, namun bila kanker paru sudah terdeteksi dengan
foto rontgen, tidak atau belum tersedia cara pengobatan dini yang
memberi tingkat kesembuhan yang lebih baik (dengan perkataan
lain, pada keadaan ini diagnosis dini tidak mengubah prognosis).
3. Untuk pengobatan pasien. Dalam pengobatan pasien, uji diagnostic
sering dilakukan berulang-ulang untuk:
Memantau perjalan penyakit atau hasil terapi
Mengidentifikasi komplikasi
Mengetahui kadar terapi suatu obat
Menetapkan prognosis
5

Mengkonfirmasi suatu hasil pemeriksaan yang tak terduga


Untuk

kepentingan

tersebut,

reprodusibilitas

suatu

uji

diagnostic sangat penting, artinya apabila suatu uji diagnostic sangat


penting, artinya apabila suatu uji dilakukan terhadap subyek yang sama
pada waktu yang sama, maka uji diagnostik tersebut harus member
hasil yang sama pula.
4. Untuk studi epidemiologi. Uji diagnostic seringkali dilaksanakan
salam studi epidemiologi. Suatu uji diagnostic yang memberikan hasil
yang positif (ada penyakit) atau negative (tidak ada penyakit) sering
dipakai dalam survai untuk menentukan prevalens suatu penyakit.
Dalam studi kohort, uji diagnostic dapat merupakan alat untuk
menentuan terjadinya efek atau penyekit tertentu, sehingga dapat
dihitung incidence rate-nya, kedua hal tersebut seringkali mempunyai
nilai yang penting dalam kesehatan masyarakat, untuk penentuan
kebijakan kesehatan, misalnya apakah diperlukan intervensi tertentu
untuk mencegah atau menanggulangi suatu penyakit yang banyak
terdapat dalam masyarakat. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010).
B. PRINSIP DASAR UJI DIAGNOSTIK
Uji diagnostik baru harus memberi manfaat yang lebih dibandingkan
uji yang sudah ada, termasuk :
1. Nilai diagnostiknya tidak jauh berbeda dengan nilai uji diagnostik
standar (baku emas).
2. Memberi kenyamanan yang lebih baik bagi pasien.

3. Lebih mudah atau lebih sederhana, atau lebih cepat dan murah.
4. Dapat mendiagnosis pada fase yang lebih dini (asimtomatik).
Bila uji diagnostic batu tidak mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan uji diagnostic yang ada, maka tidak ada gunanya dilakukan
penelitian baru.

C. STRUKTUR UJI DIAGNOSTIK


Uji diagnostik mempunyai variable predictor, yaitu hasil uji diagnostik
dan variable hasil akhir atau outcome yaitu sakit atau tidaknya seorang pasien,
yang ditentukan oleh pemeriksaan dengan baku emas.

HASIL UJI

PENYAKIT
TIDAK
PS
NB

YA
TIDAK

YA
PB
NS

JUMLAH

PB+NS

JUMLAH
PB+PS
NB+NS
PB+PS+NB+N

PS+NB
S

Gambar.2.1. Skema memperlihatkan struktur dasar hasil uji


diagnostik yang menunjukkan tabulasi hasil uji diagnostik dan terdapatnya
penyakit (yang dinyatakan oleh hasil baku emas). PB = Positif benar (true
positif), artinya hasil uji menyatakan terdapat penyakit, dan kenyataannya
memang terdapat penyakit; PS = Positif semu (false positif), hasil uji
menunjukkan terdapat penyakit, padahal sebenarnya subyek tidak sakit;
7

NS = Negatif semu (false negative), hasil uji menunjukkan tidak


terdapatnya penyakit, padahal sebenarnya subyek menderita penyakit; NB
= Negatif benar (true negative), hasil uji menunjukkan tidak terdapat
penyakit dan memang subyek tidak menderita penyakit. (Sastroasmoro, S,
& Sofyan Ismael, 2010).
Terlihat bahwa suatu uji diagnostik selalu berbentuk table 2 x 2;
artinya, baik hasil uji yang diteliti maupun baku emas yang digunakan
harus dapat memisahkan subyek menjadi sakit atau tidak sakit (abnormal
atau normal). Dengan kata lain hasil uji diagnostik harus bersifat nominal
dikotom. Apabila hasil uji merupakan variabel berskala numerik, maka
harus dibuat titik potong (cut-off point) untuk menentukan apakah hasil
tersebut normal atau abnormal. (Sastroasmoro, S, & Sofyan Ismael, 2010).

D. SKALA PENGUKURAN VARIABEL


Hasil pemeriksaan atau pengukuran dapat dinyatakan dalam berbagai skala:
1. Skala dikotom, yaitu skala nominal yang mempunyai 2 nilai,
misalnya hasil positif - negatif; dalam klinik ini diknal sebagai
penilaian kualitatif.
2. Skala ordinal: misalnya hasil pemeriksaan protein dalam urin +++, +
+, + dan (semi kualitatif ).
3. Skala numerik, misalnya kadar gula darah 120 mg/dl (kuantitatif).
Karena uji diagnostik selalu berbentuk tabel 2 x 2, maka pelbagai skala
tersebut (skala ordinal atau skala numerik) perlu diubah ke dalam skala

nominal dikotom, yaitu normal abnormal, atau positif- negatif, dengan cara
menggunakan titik potong (cut-off point) tertentu. (Sastroasmoro, S, & Sofyan
Ismael, 2010).

E. BAKU EMAS
Baku emas (Gold Standard) merupakan standar untuk pembuktian
ada atau tidaknya penyakit pada pasien, dan merupakan sarana diagnostik
terbaik yang ada (meskipun bukan yang termurah atau termudah). Baku emas
yang ideal selalu memberikan nilai positif pada semua subyek dengan
penyakit, dan memberikan hasil negatif pada semua subyek tanpa penyakit.
Dalam praktek, hanya sedikit baku emas yang ideal, sehingga tidak jarang kita
memakai uji diagnostik terbaik yang ada, sebagai baku emas. Kata terbaik
disini berarti uji diagnostik yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas
tertinggi. Baku emas dapat berupa uji diagnostik lain, biopsi, operasi,
pemantauan jangka panjang terhadap pasien, kombinasi karakteristik klinis
dan pemeriksaan penunjang, atau baku lain yang dianggap benar. Dalam
kaitan dengan baku emas, apabila kita ingin menguji suatu uji diagnostik baru,
maka diperlukan beberapa syarat umum sebagai berikut :
1. Baku emas yang dipakai sebagai pembanding tidak boleh mengandung
unsur atau komponen yang diuji, misalnya kita tidak boleh menguji nilai
apgar 3 komponen dengan nilai apgar 5 komponen (yang selama ini
digunakan) sebagai baku emas.

2. Baku emas tidak boleh mempunyai sensitivitas dan/ atau spesifisitas


yang lebih rendah daripada uji diagnostik yang diteliti. Sebagai contoh,
kita tidak boleh menguji sensitivitas dan spesifisitas magnetic
resonance imaging MRI yang baru kita peroleh untuk menegakkan
diagnosis kelainan intrakranial pada bayi dengan USG sebagai baku
emas, hanya oleh karena selama ini USG dipergunakan untuk
menegakkan diagnosis kelainan intrakranial. Apabila ini dilakukan,
maka muncul hasil yang aneh, misalnya sensitivitas spesifisitas MRI
untuk menemukan tumor intraserebral adalah rendah. Dengan kata lain,
harus ada informasi a priori bahwa baku emas yang digunakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik atau paling tidak sama
dengan alat diagnostik yang akan diuji. (Sastroasmoro, S, & Sofyan
Ismael, 2010).

F. ANALISIS DALAM UJI DIAGNOSTIK


Uji diagnostic esensinya merupakan studi cross sectional analitik; ia
mempunyai struktur yang mirip dengan penelitian observasi lain, misalnya
studi kasus kontrol atau kohort. Perbedaannya ialah pada penelitian
observasi tersebut kita menentukan etiologi, sedangkan pada uji
diagnostik kita menentukan bagaimana suatu uji dapat memisahkan
antara subyek yang sakit dan yang tidak sakit. Hasil uji diagnostic
dinyatakan dalam tabel 2 x 2, karena dapat saja dilakukan uji hipotesis
misalnya uji x2. Namun, adanya hubungan bermakna antara hasil uji diagnostic

10

dengan penyakit, misalnya dengan uji x2 saja tidak cukup, hingga diperlukan
pertimbangan lain untuk inter pretasi hasil uji diagnostik.
Contoh :
Suatu uji diagnostik terhadap 100 pasien limfoma malignum yang
dibuktikan dengan biopsi, 65 menunjukkan hasil positif; sedangkan uji
diagnostik yang sama terhadap 100 pasien dengan pembesaran kelenjar
non limfoma, hanya 35 yang menunjukkan hasil uji positif. Bila dilakukan
uji hipotesis dengan uji x2, terdapat hubungan yang sangat bermakna (p
<000.1) antara hasil uji positif dengan terdapatnya limfoma malignum.

KEADAAN SEBENARNYA

HASIL UJI

LIMFOMA

LIMFOMA

NON LIMFOMA

JUMLAH

65

30

95

NON LIMFOMA 35
70
105
JUMLAH
100
100
200
Gambar 2.2 Tabel 2 x 2 memperlihatkan hasil pemeriksaan dengan uji
diagnostik yang diteliti dan dengan baku emas. Uji kai kuadrat
menunjukkan hubungan yang amat bermakna (p <000.1).
Namun sebenarnya analisi stastistik yang sangat bermakna itu tidak

banyak memberi informasi. Jumlah pasien yang menderita limfoma namun


memberi hasil negatif pada uji (negatif semu) sangat besar yakni 35 pasien
sehingga tetap diperlukan biopsi; sebaliknya terdapat sebanyak 30 subyek yang
tidak sakit namun menunjukkan hasil positif (positif semu), sehingga ada resiko
mereka akan diobati sebagai limfoma malignum, padahal mereka tidak sakit.
Jadi hasil uji hipotesis yang sangat bermakna (p <0,001) tidak memberi
informasi apapun tentang kualitas suatu uji diagnostik. Karenanya diperlukan
11

cara interpretasi lain terhadap hasil pengamatan dalam uji diagnostik tersebut
yang dapat memberi informasi kepada para klinikus dalam penegakkan
diagnosis suatu penyakit atau kondisi klinis tertentu. (Sastroasmoro, S, &
Sofyan Ismael, 2010).

G. LANGKAH-LANGKAH PENELITIAN UJI DIAGNOSTIK


Dalam melaksanakan uji diagnostik langkah-langkah berikut perlu
dilakasanakan:
1. memastikan mengapa diperlukan uji diagnostik baru
2. menetapkan tujuan utama uji diagnostik yang diteliti
3. memilih subyek penelitian
4. menetapkan baku emas
5. melaksanakan pengukuran
6. melakukan analisis

1) Menetukan mengapa diperlukan uji diagnostik baru


Dalam hal ini harus diidentifikasi apakah misalnya uji yang
saat ini tersedia bersifat invasif, terlalu mahal, terlalu sulit, atau
memerlukan keahlian khusus, dan apakah alat diagnostik yang baru
dapat mengatasi kekurangan tersebut.
2) Menetapkan tujuan utama uji diagnostik
Tentukan apakah uji diganostik akan digunakan untuk skrining,
diagnosa atau untuk mneyingkirkan penyakit. Uji untuk skrining
memerlukan sensitivitas yang tinggi; bila skrining memberi hasil yang

12

positif, maka perlu dikomfirmasi dengan uji pemeriksaan lainnya. Uji


diagnostik untuk komfirmasi diagnosis juga memerlukan nilai
sensitivitas yang tinggi dengan spesifisitas cukup, sedangkan untuk
menyingkirkan penyakit, diperlukan suatu uji diagnostik dengan
spesifisitas yang tinggi.

3) Menetapkan subyek penelitian


Subyek yang direkrut untuk keperrluan penelitan uji diagnostik
sangat ditentukan oleh tujuan uji diagnostik tersebut. Peserta dapat
direkrut dari relawan (skrinning), pasien yang berobat untuk penyakit
lain (case finding), atau pasien yang datang dengan keluhan tertentu
(diagnosis). Jelaskan tempat uji diagnostik ini dilakukan, apakah
dilakukan di masyarakat, puskesmas, atau rumah sakit rujukan. Subyek
harus terdiri atas orang sehat, mereka yang sakit ringan, dan sakit
berat. Besar sampel perlu ditentukan berdasarkan interval kepercayaan
(biasanya IK 95%). Harus tersedia subyek yang cukup.
4) Menetapkan baku emas
Baku emas merupakan suatu hal yang mutlak dalam setiap
penelitian uji diagnostik. Telah disebutkan bahwa baku emas
merupakan uji dignostik terbaik yang tersedia. Kadang suatu uji
diganostik secara teoritis ideal dipakai sebagai baku emas, namun
kenyataannya tidak baik dipakai oleh karena memberikan hasil yang

13

salah. Misalnya diagnosis pasti tuberkulosis paru seharusnya adalah


biakan M. tuberkulosis positif; namun dalam praktik sedikit sekali
biakan M. tuberkulosis yang memberi hasil positif, baik pada dewasa,
dan lebih-lebih pada anak. Oleh karena biakan kuman tuberkulosis
banyak memberikan nilai negatif semu, maka ia tidak dapat digunakan
sebagai baku emas.
Di sisi lain seringkali baku emas yang tidak memadai tidak
tersedia, sehingga harus disepakati cara tertentu untuk dipakai sebagai
baku emas, misalnya pengamatan jangka panjang, respon terhadap
therapi, dan lain-lain. Perlu diingatkan kembali bahwa baku emas tidak
boleh mangandung variabel prediktor yang diuji, dan sebaliknya
variabel predikator juga bukan merupakan komponen baku emas.
5) Melaksanakan pengukuran
Pengukuran terhadap variabel predikator (alat diagnostik yang
diuji ) maupun variabel efek (baku emas) harus dilakukan dengan cara
standar, dan harus diusahakan pengukuran dilakukan secara tersamar
(masked, blinded), yakni pemeriksa variabel prediktor (uji) tidak boleh
mengetahui hasil pemeriksaan variabel efek (baku emas), dan
sebaliknya. Karena itu seyogyanya ada 2 peneliti atau lebih, satu untuk
menetukan hasil uji positif atau negatif, dan lainnya menentukan
apakah baku emas positif atau negatif. Dapat saja peneliti hanya satu
orang, tetapi harus didesain sedemikian sehingga ia tidak mengetahui
hasil alat diagnostik yang diuji pada saat ia melakukan pengukuran

14

dengan baku emas, dan sebaliknya. Kriteria positif atau negatif baik
untuk uji yang diteliti maupun untuk baku emas harus telah
didefiniskan dengan jelas. Pada setiap subyek yang diteliti harus
dikerjakan dua cara pemeriksaan, yang masing-masing telah
distandardisasi. Apapun hasil baku emas, uji terhadap alat harus
dilakukan dan sebaliknya, dengan cara yang distandardisasi tersebut.
6) Melakukan analisis
Laporkanlah sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif atau
negatif, serta likelihood ratio-nya, masing-masing dengan interval
kepercayaan yang dipilih. Apabila hasil uji diagnostik berskala ordinal
atau kontinu, harus disertakan ROC.

H. CONTOH UJI DIAGNOSTIK


Seorang peneliti ingin menguji kegunaan USG untuk mendeteksi
keganasan pembesaran tiroid soliter (tunggal). Langkah yang diperlukan
adalah:
1. menentukan mengapa diperlukan uji diagnostik baru. Dalam hal
ini peneliti misalnya berpendapat bahwa satu prosedur yang noninvasif diperlukan untuk diagnosis dini keganasan tiroid.
2. menentukan maksud utama uji diagnostik. Dalam hal ini tujuan
utama uji diagnostik baru adalah untuk menegakkan diagnosis.
3. menetapkan subyek. Subyek dipilih dari pasien dengan pembesaran
soliter kelenjar tiroid yang mengunjungi klinik tumor, dengan

15

menetapkan besar sampel agar studi yang dilakukan mempunyai


tingkat kepercayaan tertentu. Besar sampel diperkirakan dengan
prediksi sensitivitas atau spesifisitas, penyimpangan yang masih
dapat diterima, dan interval kepercayaan yang dipilih. Dengan rumus
untuk proporsi tunggal, dihitung jumlah subyek untuk sensitivitas
(bila yang diutamakan adalah sensitivitas), atau spesifisitas (bila
yang diutamakan spesifisitas uji diagnostik). Jumlah subyek total
yang diperlukan mengikuti hasil perhitungan tersebut, dengan
memperhitungkan prevalens penyakit di klinik tersebut.
Dalam uji diagnostik USG untuk tumor tiroid, misalnya dari pustaka
diketahui sensitivitas uji diagnostik adalah 75% (P = 0,75). Bila
dapat diterima penyimpangan (d) untuk sebesar 10%, dan interval
kepercayaan 95% ( = 0,05; z = 1,96), maka dengan rumus untuk
proporsi tunggal.

n=

n=

Z PQ
d

1,962 x 0,75 x 0,25


=72
0,12

Artinya diperlukan 72 pasien dengan hasil ganas pada biopsi.


Dengan memperkirakan proporsi keganasan pada kasus tumor di
klinik tersebut, (misalnya 40%),jumlah seluruh subyek yang

16

diperlukan adalah 100/40 x 72 = 180 pasien dengan tumor soliter


tiroid.
4. menetapkan baku emas. Baku emas yang dipergunakan adalah hasil
pemeriksaan patologi anatomik terhadap biopsi kelenjar tiroid. Baku
emas ini dipilih karena memang merupakan modalitas diagnostik
terbaik untuk kelainan yang diteliti, dan selama ini dipakai sebagai
alat diagnostik untuk maksud tersebut.
5. Melaksanakan pengukuran, peneliti melakukan pemeriksaan USG
terhadap semua subyek, menetukan apakah tumor tersebut bersifat
ganas, kemudian membuat biopsi. Pemeriksaan sediaan PA dilakukan
oleh seorang ahli patologi-anatomik yang tidak tahu hasil
pemeriksaan USG. Hasil pemeriksaan dinyatakan sebagai ganas atau
jinak.
6. Melakukan analisis, setelah pengumpulan data dilakukan tabulasi
hasil uji diagnostik (USG) dan pemeriksaan baku emas (PA) untuk
tiap pasien sebagai berikut (untuk nama sel dalam tabel 2x2 lihatlah
tabel 3), perlu diingatkan bahwa sel a berisi jumlah subyek yang
pada pemeriksaan USG memberi hasil uji positif (ganas) dan hasil
PA positif, sel b berisi jumlah subyek dengan hasil USG positif tetapi
PA negatif (jinak), sel c berisi jumlah subyek dengan hasil USG
negatif tetapi PA positif dan sel d berisi jumlah subyek dengan hasil
USG negatif dan PA positif.

17

Hasil tersebut di susun dalam tabel 2 x 2 seperti tampak pada gambar 8,


sehingga dapat dengan mudah dihitung sensitivitas, spesifisitas, serta
nilai prediksi positif atau negatif, masing-masing dengan interval
kepercayaannya adalah : sensitivitas USG untuk mendeteksi keganasan
tiroid adalah 76,1% dan kita percaya bahwa 95% nilai sensitivitas pada
populasi yang diwakili oleh sampel tersebut, terletak di antara 64,5
sampai 85,4%. Hal serupa juga berlaku untuk nilai spesifisitas dan nilai
prediksinya. Nilai rasio kemungkinan juga dapat dihitung.
Gambar 2.3. HASIL PEMERIKSAAN TUMOR KELENJAR
TIROID
DENGAN
USG
DAN
DENGAN
PEMERIKSAAN PATOLOGI ANATOMIK
Pasien no. Hasi USG
Hasil PA
Tempatkan dalam sel
1
2
3
4
5
6
7
8
dst

Ganas
Jinak
Jinak
Ganas
Ganas
Jinak
Jinak
Ganas

Ganas
Jinak
Ganas
Jinak
Ganas
Jinak
Jinak
Jinak

a
d
c
b
a
d
d
b

Gambar.2.4.. Hasil Pemeriksaan USG dan Patologi Anatomi pada


134 Kasu Pembesaran Kelenjar Tiroid.
Patologi Anatomi
USG
Positif
Negatif
Jumlah
Sensitivitas
Spesifisitas
NP+
NPPrevalens

= 54/71
= 51/63
= 54/66
= 51/68
= 71/134

Positif
54
17
71

Negatif
12
51
63

Jumlah
66
68
134

= 76,1% (IK95% : 64,5 sampai 85,4)


= 81,5% (IK95% : 69,1 sampai 89,8)
= 81,8% (IK95% : 70,4 sampai 90,2)
= 75,0% (IK95% : 63,0 samapi 84,7)

18

RK +
RK -

= 76,1/(1-81,5) = 4,1
= (1-76,1)/81,5 = 0,17

I. Peralatan Yang Digunakan Di Lingkup Kesehatan Ibu Dan Anak.


1.
Fetal Doppler
Adalah merupakan alat yang digunakan untuk mendeteksi denyut jantung
bayi, yang menggunakan prinsip pantulan gelombang elektromagnetik,
alat ini sangat berguna untuk mengetahui kondisi kesehatan janin, sangat
disarankan untuk dimiliki dirumah sebagai deteksi rahim harian, selain
aman juga mudah dalam penggunaannya serta harga yang sangat
terjangkau untuk dimiliki.

2. Fetal Doppler Sunray


Adalah salah satu jenis dan merk Doppler yang digunakan untuk
mengetahui denyut jantung janin dalam kandungan, fetal Doppler ini
sangat praktis digunakan baik secara pribadi atau digunakan oleh kalangan
paramedic.
3. Staturmeter
Adalah alat yang digunakan untuk mengukur tinggi badan, alat ini adalah
sangat sederhana pada desainnya karena hanya ditempelkan pada tembok

19

bagian atas dan ketika akan digunakan hanya perlu untuk menariknya
sampai ke bagian kepala teratas, sehingga dapat diketahui tinggi badan
orang tersebut.

4. Eye Protector Photo Therapy


Adalah alat bantu yang diigunakan untuk melindungi bagian mata bayi
pada saat dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan sinar X-ray atau
jenis pemeriksaan lain yang menggunakan media sinar agar tidak
menggangu penglihatan bayi yang akan diperiksa.

5. Alat Pengukur Panjang Bayi

20

Adalah merupakan peralatan sederhana yang biasa digunakan oleh bidan


dan petugas posyandu, untuk mengetahui perkembangan tinggi bayi dari
waktu ke waktu, terbuat dari kayu dan mistar yang mudah dibaca.

6. Breast Pump
Biasanya digunakan oleh para ibu yang berkarier diluar rumah, agar ASI
tidak terbuang dengan percuma, sehingga tetap bisa mendapatkan ASI dari
bundanya.

7. Lingkar Lengan Ibu Hamil

21

Adalah tanda yang digunakan untuk mempermudah mengidentifikasi bayi


dan bundanya, pada umumnya dipakaikan pada bayi dan bundanya di
rumah sakit bersalin.

8. Pengukur Panjang Bayi (calipher)


Adalah alat yang digunakan untuk mengukur panjang bayi dengan
ketepatan pengukuran yang tinggi, karena skala yang digunakan pada alat
ini lebih detail, sehingga setiap inchi pertumbuhan bayi dapat diketahui.

9. Reflek Hammer / Reflek Patela


Sejenis hammer yang dilapisi dengan karet yang digunakan untuk
mengetahui respon syaraf dari anggota tubuh biasanya kaki.

22

10. Umbilical Cord Clem Nylon


Adalah merupakan alat yang digunakan untuk menjepit tali pusar bayi
sesaat setelah bayi dilahirkan.

11. Tourniquet
Adalah alat bantu yang digunakan untuk sarana pendukung pada
pengmbilan darah, pada umumnya dilingkarkan pada lengan saat akan
dilakukan pengabilan darah segar, agar darah bisa lebih mudah untuk di
ambil.

12. USG (Ultrasonografi)


Ultrasonografi medis (sonografi) adalah sebuah teknik diagnostik
pencitraan menggunakan suara ultra yang digunakan untuk mencitrakan
organ internal dan otot, ukuran mereka, struktur, dan luka patologi,

23

membuat teknik ini berguna untuk memeriksa organ. Sonografi obstetrik


biasa digunakan ketika masa kehamilan.

13. USG Doppler


Pemeriksaan USG yang mengutamakan pengukuran aliran darah terutama
aliran tali pusat. Alat ini digunakan untuk menilai keadaan/kesejahteraan
janin. Penilaian kesejahteraan janin ini meliputi:
- Gerak napas janin (minimal 2x/10 menit).
- Tonus (gerak janin).
- Indeks cairan ketuban (normalnya 10-20 cm).
- Doppler arteri umbilikalis.
- Reaktivitas denyut jantung janin.

24

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN.

A.

1. Uji diagnostik merupakan tekhnik untuk menilai keakuratan modalitas


diagnostic baru dibandingkan dengan modalitas diagnosis standar, yang
disebut sebagai baku emas.
2. Uji diagnostik baru harus menjanjikan keuntungan, misalnya lebih
murah, lebih mudah, kurang invasive dan sebagainya disbanding dengan
baku emas, meskipun sensitivitas dan spesifisitasnya (sedikit) lebih
rendah.
3. Dalam uji diagnostic diperlukan beberapa persyaratan antara lain hasil
harus dalam skala nominal dikotom, komponen yang di uji tidak boleh
merupakan komponen baku emas.
4. Hasil yang diperoleh dari uji diagnostic adalah sensitivitas, spesifisitas,
nilai prediksi positif dan negative, serta rasio kemungkinan positif dan
negative. Untuk setiap statistic tersebut seyogyanya disertakan interval
kepercayaannya.
5. Pada sensitivitas dan spesifisitas yang sama, nilai prediksi positif dan
negative sangat dipengaruhi oleh prevalens kelainan yang diteliti.
6. Perlu ditetapkan maksud penggunaan uji diagnostic. Untuk skrinning
diperlukan uji diagnostic dengan sensitivitas yang tinggi. Apabila
tujuannya untuk menyingkirkan kelainan, diperlukan uji diagnostik
dengan spesifisitas yang tinggi, untuk menghidnarkan pengobatan atau
tindakan terhadap subyek yang tidak sakit.

25

B.

SARAN.
1. Hendaknya alat yang dgunakan untuk uji diagnostik mempunyai
presentase sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi agar layak digunakan
sebagai diagnostic.
2. Uji diagnostic baru harus memberi manfaat yang lebih dibandingkan uji
yang sudah ada.
3. Dalam menentukan cut-off point harus dilakukan secara hati-hati karena
akan berpengaruh terhadap sensitivitas dan spesifisitas suatu uji
diagnostik.

26

Anda mungkin juga menyukai