Anda di halaman 1dari 67

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA

MATERI POKOK REAKSI REDUKSI-OKSIDASI KELAS X-A SEMESTER 2


DI SMA AL-FALAH KETINTANG SURABAYA
Afrida Trisnawati, Ismono
ABSTRAK
Pada kurikulum berbasis kompetensi (KBK) siswa dituntut aktif mengembangkan
kompetensi untuk memecahkan masalah dalam kegiatan belajar mengajar tanpa meninggalkan
kerjasama dan solidaritas. Berdasarkan wawancara dengan guru kimia di SMA Al-Falah
Ketintang Surabaya bahwa sebagian besar guru kimia sekolah tersebut dalam menyampaikan
materi pokok menggunakan metode ceramah. Hal ini menyebabkan siswa tidak termotivasi
untuk aktif mencari informasi sendiri dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada
pelajaran kimia khususnya reaksi reduksi-oksidasi, sehingga nilai materi pokok ini rendah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan guru dalam mengelola kelas, aktivitas
siswa, hasil belajar dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi
pokok reaksi reduksi-oksidasi dan respon siswa dalam penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action
research) yang dilaksanakan dalam tiga kali putaran.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola kelas terhadap
proses penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD selama 3 putaran didapatkan ratarata sebesar 63,98%, sehingga mendapatkan penilaian baik. Selain itu pada kegiatan belajar
mengajar terjadi interaksi positif antar siswa di kelas dalam memahami materi pokok reaksi
reduksi-oksidasi dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD seiring
dengan meningkatnya aktivitas berdiskusi/bertanya antar siswa yakni pada putaran I sebesar
9,5%, putaran II dan III berurutan yakni sebesar 12,3% dan 22,8%. Dari hasil angket diperoleh
respon sebanyak 87% siswa menyatakan pelajaran kimia menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan. Sedangkan dari hasil tes,
ketuntasan belajar pada putaran I sebesar 73,3%, putaran II dan III berurutan yakni sebesar
86,7% dan 93,3%.
Kata Kunci : Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD.

1. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat pesat, maka
pendidikan yang merupakan suatu kegiatan dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia perlu ditingkatkan demi kemajuan suatu bangsa. Pemerintah
Indonesia telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan memperbaiki dan
menyempurnakan kurikulum dari kurikulum 2000 menjadi kurikulum berbasis
kompetensi (KBK). Pada KBK ini siswa dituntut aktif mengembangkan kompetensi
untuk memecahkan masalah dalam kegiatan belajar mengajar tanpa meninggalkan
kerjasama dan solidaritas.
Dalam memenuhi harapan KBK, guru harus mampu mengembangkan metode
dan keterampilan mengajar. Peran guru adalah membantu para siswa menemukan
fakta, konsep atau prinsip-prinsip bukan memberi ceramah atau mengendalikan
seluruh kegiatan kelas (Nur, dkk, 1999: 2). Berdasarkan hasil wawancara dengan
guru kimia di SMA Al-Falah Ketintang Surabaya pada tanggal 12 Oktober 2006
diketahui sebagian besar guru kimia sekolah tersebut dalam menyampaikan materi
pokok menggunakan metode ceramah. Metode ceramah ini menyebabkan siswa

94

kurang aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dan menjadikan suasana
kelas menjadi membosankan.
Materi pokok reaksi reduksi-oksidasi menyajikan konsep-konsep sulit yang
perlu dipahami dan dimengerti salah satunya siswa dituntut dapat menentukan atom
yang mengalami reaksi reduksi dan reaksi oksidasi berdasarkan pengikatan dan
pelepasan oksigen, penerimaan dan pelepasan elektron dan perubahan bilangan
oksidasi serta memberi nama suatu senyawa. Hal ini menyebabkan siswa merasa
jenuh dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam materi pokok reaksi
reduksi-oksidasi dan siswa tidak termotivasi untuk aktif mencari informasi sendiri.
Oleh karena itu diperlukan keterlibatan siswa secara aktif selama kegiatan belajar
mengajar dengan cara saling berdiskusi, tanya jawab baik antar siswa maupun antara
siswa dengan guru. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia di SMA AlFalah Ketintang Surabaya bahwa guru dalam menyampaikan materi reaksi reduksioksidasi menggunakan metode ceramah, sehingga didapatkan ketuntasan pada
tahun ajaran 2005-2006 hanya mencapai 15%. Di mana hasil ini jauh dari standar
ketuntasan yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru kimia SMA AlFalah Ketintang Surabaya yakni 85%. Hasil angket yang diberikan pada siswa kelas
XI diperoleh 59,26% siswa menyatakan kesulitan dalam mempelajari materi reaksi
reduksi-oksidasi dan 66,67% siswa tidak tertarik dengan model pengajaran yang
digunakan oleh guru mereka, ini menunjukkan bahwa siswa kurang aktif dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran materi pokok reaksi reduksi-oksidasi.
Di kelas X-A SMA Al-Falah menurut informasi dari guru kimia menyatakan
siswa cenderung pasif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hasil angket
yang diberikan kepada siswa kelas X-A diperoleh sebesar 67,86% siswa tidak
senang dengan pelajaran kimia, 75% siswa sulit dalam mempelajari kimia dan
67,86% siswa menyatakan guru kurang bervariasi dalam menyampaikan materi
kimia. Hal ini menjadikan siswa hanya sebagai pendengar dan pencatat sehingga
pengetahuan yang diperoleh tidak bertahan lama dan terbukti dari hasil ulangan
kimia pada bab sebelumnya yang diperoleh dari hasil wawancara dengan guru kimia
kelas
X-A yakni mencapai ketuntasan sebesar 57%. Di mana hasil ini belum
menunjukkan standar ketuntasan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru
kimia SMA Al-Falah Ketintang Surabaya yakni 85%.
Untuk itu diupayakan model pembelajaran yang dapat mengatasi masalah di
atas. Salah satu alternatif adalah dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Menurut penelitian Slavin bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih
unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibanding pengalaman-pengalaman
belajar individu atau kompetitif (Ibrahim, M, dkk, 2000: 16). Pada pembelajaran
kooperatif siswa dapat berpartisipasi selama kegiatan belajar mengajar melalui
tutorial, karena ada kalanya siswa lebih mudah belajar dari temannya sendiri dan
ada pula siswa yang lebih mudah belajar melalui mengajar atau melatih temannya
sendiri.
Model pembelajaran kooperatif terdiri atas empat tipe yaitu Student Team
Achievement Division (STAD), Jigsaw, Investigasi kelompok dan pendekatan
struktural yaitu terdiri dari Think-Pair-Share (TPS) dan Numbered-Head-Together
(NHT) (Ibrahim, M, dkk, 2000). Dalam hal ini digunakan pembelajaran kooperatif
tipe STAD yang merupakan suatu model pembelajaran yang paling sederhana serta
dapat menumbuhkan kemampuan membantu teman. Pada materi pokok reaksi
reduksi-oksidasi ini menyajikan konsep-konsep sulit yang perlu dipahami dan

95

dimengerti, maka dengan diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe STAD


siswa dapat belajar bersama dengan kelompok yang heterogen baik dalam
kemampuan maupun jenis kelamin dan siswa yang menguasai materi pelajaran lebih
dulu harus membantu teman sekelompoknya yang belum menguasai materi
pelajaran. Menurut hasil penelitian dari Anggelita (2006) bahwa dengan
diterapkannya model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan
aktivitas siswa yakni pada putaran I adalah 5,18%, putaran II adalah 14,07% dan
putaran III adalah 17,04% serta dapat meningkatkan ketuntasan hasil belajar siswa
yakni pada putaran I adalah 55,77%, putaran II adalah 82,69% dan putaran III
adalah 92,31%.
Dari uraian di atas penulis bermaksud untuk mengadakan penelitian dengan
judul: Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD pada materi pokok
reaksi reduksi-oksidasi kelas X-A semester 2 di SMA Al-Falah Ketintang
Surabaya.
2. METODE PENELITIAN
2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action
research). Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam 3 putaran di mana
setiap putaran terdiri dari 4 tahap yakni:
1) Rencana
Pada tahap ini meliputi persiapan instrumen penelitian yaitu rencana
pembelajaran, LKS, lembar observasi dan soal tes untuk tiap putaran.
2) Kegiatan dan Pengamatan
Pada tahap ini meliputi tindakan yang dilakukan peneliti serta mengamati
dampak atau hasil dari tindakan yang telah dilakukan.
3) Refleksi
Pada tahap ini penelitian melihat dan mempertimbangkan hasil atau dampak
dari tindakan yang dilakukan.
4) Revisi
Pada tahap ini peneliti membuat revisi rancangan untuk dilakukan pada
putaran berikutnya.

2.2 Analisis Data Penelitian


(1) Analisis Lembar Aktivitas Siswa.
Lembar aktivitas siswa dianalisis dengan menggunakan persentase (%),
yaitu:
frekuensi aktivitas yang muncul
x100%
% aktivitas
total frekuensi aktivitas
(2) Analisis Lembar Pengelolaan Pembelajaran.
Data kemampuan guru dalam mengelola kelas selama proses kegiatan
belajar mengajar dianalisis dengan menggunakan skala Likert dengan
keterangan skor seperti pada tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1 Keterangan Skor Skala Likert
Skor
Keterangan
1.
Sangat kurang

96

2.
3.
4.
5.

kurang
Cukup
Baik
Sangat baik
(Riduwan,2005)
Data yang diperoleh kemudian diolah dalam bentuk persentase.
Skor kriterium = Skor tertinggi x aspek x jumlah observer/pengamat
jumlah hasil perhitungan
p
x 100%
skor kriterium
Perhitungan persentase dilakukan pada tiap aspek penilaian dan
keseluruhan aspek penilaian.
Hasil persentase yang diperoleh diinterpretasikan seperti pada tabel 2.2
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Interpretasi Persentase Pengelolaan Pembelajaran
No
Persentase
Kategori
1.
0%-20%
Sangat kurang
2.
21%-40%
Kurang
3.
41%-60%
Cukup
4.
61%-80%
Baik
5.
81%-100%
Sangat(Riduwan,
baik
2005)
a) Analisis Data Hasil Belajar Siswa
Analisis untuk mengetahui masing-masing ketuntasan belajar setelah
pembelajaran. Secara individual siswa telah tuntas belajar jika mencapai
nilainya 69 dengan perhitungan sebagai berikut:
Nilai siswa
B

x100

N
keterangan: B = Banyaknya soal yang dijawab benar
N = Banyaknya soal
(Surapranata, 2004)
sedangkan secara klasikal suatu kelas telah tuntas belajar jika terdapat
85% siswa telah mencapai nilai 69 dengan perhitungan sebagai berikut:
Jumlah siswa yang tuntas
x100%
Jumlah seluruh siswa
b) Analisis Angket Siswa
Untuk menganalisis hasil angket menggunakan persentase dari
jumlah siswa yang telah memilih tiap-tiap alternatif jawaban dengan
rumus:
F
P x100%
N
Keterangan:
P
= Persentase
F
= Jumlah jawaban responden
N
= Jumlah responden
Interpretasi persentase respon siswa seperti pada tabel 2.3 sebagai
berikut:

Tabel 2.3 Interpretasi Persentase Respon Siswa


No
Persentase
Kategori
1.
0%-20%
Sangat kurang
2.
21%-40%
Kurang
Cukup
3.
41%-60%
Baik
4.
61%-80%
Sangat baik
5.
81%-100%
(Riduwan,2005)
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengelolaan Pembelajaran kooperatif

% Ra ta -r
ata

68
66
64
62
60
58
56
54

67.23
65
59.71

II

III

Putaran

Grafik 3.1 Pengelolaan pembelajaran kooperatif


Grafik di atas menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam mengelola
pembelajaran kooperatif pada putaran I sebesar 59,71% (cukup), pada putaran II
meningkat menjadi 65% (baik) dan pada putaran III sebesar 67,23% (baik). Pada
putaran I kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran sebesar 59,71%, hal ini
dikarenakan aktivitas guru ada yang mendapat penilaian kurang baik dalam
melatih keterampilan kooperatif kepada siswa dan pengelolaan waktu. Pada
pertemuan ini guru dan siswa masih menyesuaikan diri dengan pembelajaran
kooperatif tipe STAD. Siswa belum terbiasa belajar kelompok dan menggunakan
keterampilan kooperatif dengan baik sehingga guru kesulitan untuk melatih siswa
menggunakan keterampilan kooperatif.
Pada pertemuan ini guru juga kurang baik dalam mengelola waktu yaitu
banyak digunakan untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok. Siswa
belum terbiasa untuk belajar berkelompok.
Pada putaran II, masalah tersebut diperbaiki sehingga penilaian terhadap
pengelolaan pembelajaran meningkat yaitu mendapat kriteria baik. Pada putaran
ini kemampuan guru dalam melatih keterampilan kooperatif telah meningkat dan
guru cukup baik dalam mengatur waktu. Siswa cepat dalam membentuk kelompok
sehingga guru tidak memerlukan waktu lama dalam mengorganisasikan siswa ke
dalam kelompok. Guru telah mengingatkan siswa untuk menggunakan
keterampilan kooperatif, aktivitas guru ini dapat mendorong siswa untuk
menggunakan keterampilan kooperatifnya sehingga suasana pembelajaran pada
putaran II ini lebih hidup.
Kemampuan guru pada putaran III mendapat penilaian baik (67,23%). Siswa
sudah terbiasa belajar secara berkelompok sehingga guru tidak memerlukan waktu
lama untuk mengorganisasikan siswa ke dalam kelompoknya. Aktivitas guru yang
meningkat pada putaran III yaitu melatih keterampilan kooperatif siswa, ini berarti

guru berusaha untuk meningkatkan kegiatan belajar dengan menekankan kegiatan


pada kelompok kooperatif dan membimbing siswa untuk bekerjasama dalam
menyelesaikan tugas belajarnya. Untuk aktivitas yang lainnya, nilai yang
diperoleh sama dengan nilai pada putaran II yang menunjukkan bahwa cara
mengajar guru sudah konstan dengan kualifikasi baik dan cukup.
Secara keseluruhan diperoleh nilai akhir hasil pengamatan pengelolaan
pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah 63,98% (baik), persentase ini
menunjukkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD yang
dilaksanakan dalam penelitian ini mempunyai penilaian baik.
3.2 Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran
35
30
25
20
15
10

% Aktivi
tas

Putaran

Putaran II
Putaran III

5
0
1

Kategori Aktivitas Siswa

Grafik 3.2 Kategori aktivitas siswa


Keterangan :
1. Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru
2. Membaca (buku siswa/ LKS)
3. Berdiskusi/bertanya antar siswa
4. Berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru
5. Mempresentasikan hasil kerja kelompok
6. Menyimpulkan materi yang telah dipelajari
7. Mengerjakan postes.
Grafik 3.2 menunjukkan bahwa aktivitas berdiskusi/bertanya antar siswa dan
berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru mengalami peningkatan pada tiap
putaran. Pada putaran I, persentase kedua aktivitas ini masih kecil yakni 9,5%
karena pada putaran ini siswa belum menggunakan keterampilan kooperatifnya.
Aktivitas berdiskusi/bertanya antar siswa pada putaran II (12,3%) dan putaran III
(22,8%), sedangkan berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru pada putaran II
(10,5%) dan putaran III (13,4%), persentase kedua aktivitas ini meningkat karena
siswa sudah terbiasa menggunakan keterampilan kooperatifnya dan siswa lebih
aktif dalam kegiatan pembelajaran tiap putaran.
Persentase aktivitas mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru pada
putaran I (32,3%) dan putaran II (33,3%) mengalami peningkatan, karena pada
putaran I dan II siswa masih kurang aktif sehingga guru banyak menjelaskan
materi dan memberi informasi tentang model pembelajaran kooperatif. Pada
putaran III (19%), persentase aktivitas ini mengalami penurunan, hal ini
menunjukkan bahwa siswa lebih aktif dalam pembelajaran sehingga guru tidak

banyak memberikan informasi tentang materi dan memotivasi siswa dalam


menggunakan keterampilan kooperatifnya.
Pada putaran I persentase aktivitas membaca (buku siswa/ LKS) sebesar
11,4%, putaran II sebesar 6,7% sedangkan putaran III sebesar 5,7%. Persentase
aktivitas pada putaran I lebih besar dari putaran II dan III, karena pada putaran I
siswa masih bersikap individual sehingga untuk memahami materi siswa lebih
menonjolkan aktivitas membaca daripada berdiskusi antar siswa. Pada putaran II
dan III, aktivitas ini makin menurun karena siswa sudah menggunakan
keterampilan kooperatifnya dalam memahami materi.
Aktivitas mempresentasikan hasil kerja kelompok pada putaran I dan II sama
yakni sebesar 14,3%, karena siswa belum berani dalam menyampaikan
ide/pendapatnya. Pada putaran III, aktivitas ini meningkat yakni sebesar 15,2%,
karena siswa sudah berani dalam menyampaikan ide/pendapatnya walaupun
berbeda dengan temannya sehingga suasana kelas lebih aktif. Sedangkan aktivitas
menyimpulkan materi yang telah dipelajari juga mengalami peningkatan, hal ini
terjadi karena siswa lebih memahami materi ketika menggunakan keterampilan
kooperatifnya dan siswa juga lebih berani dalam menyampaikan ide/pendapatnya.
Berdasarkan pembahasan aktivitas siswa di atas maka penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A dapat meningkatkan aktivitas
siswa.
3.3 Ketuntasan Tes Hasil Belajar
Ketuntasan belajar ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru kimia SMA AlFalah Ketintang Surabaya yakni seorang seorang siswa secara individu dikatakan
tuntas belajar jika telah memperoleh nilai 69 atau lebih dan suatu kelas dikatakan
tuntas belajar jika kelas tersebut telah terdapat 85% siswa tuntas belajar.
% Ke tuntas an Kla si
ka l

100
80

86.7

93.3

73.3

60
40
20
0
I

II

Putaran

Grafik 3.3 Ketuntasan belajar siswa secara klasikal


Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa pada putaran I, siswa yang
dikatakan tuntas sebanyak 22 siswa dan siswa yang tidak tuntas sebanyak 8 siswa,
ketuntasan belajar secara klasikal pada postes tersebut mencapai 73,3% sehingga
apabila didasarkan kesepakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini belum
tuntas.
Pada putaran II, siswa yang tuntas sebanyak 26 siswa dan yang tidak tuntas
sebanyak 4 siswa. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal adalah 86,7% sehingga
apabila didasarkan kesapakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini dikatakan
tuntas.

Pada putaran III, siswa yang tuntas sebanyak 28 siswa dan yang tidak tuntas
sebanyak 2 siswa. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal adalah 93,3% sehingga
apabila didasarkan kasepakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini dikatakan
tuntas.
Berdasarkan pembahasan ketuntasan tes hasil belajar di atas maka penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi.
3.4 Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Kooperatif
Angket respon yang diberikan kepada 30 siswa setelah pembelajaran pada
putaran ketiga berakhir. Data angket digunakan untuk menggunakan respon siswa
terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Dari analisis angket respon siswa diperoleh sebanyak 73% siswa
menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat memotivasi
mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya, sedangkan sebanyak 87% siswa
menyatakan bahwa pelajaran kimia menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan.
4. Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pelaksanakan penelitian pada putaran I, II dan III diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
(1) Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe STAD pada
putaran I sebesar 59,71% (cukup), putaran II meningkat menjadi 65,00% (baik)
dan pada putaran III meningkat menjadi 67,23% (baik). Secara keseluruhan
diperoleh rata-rata kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif
tipe STAD sebesar 63,98% yang mendapat penilaian baik.
(2) Penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas
belajar siswa yang meliputi berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru, pada
putaran I mendapat persentase 9,5% dan pada putaran II dan III meningkat
berturut-turut 10,5% dan 13,4%. Aktivitas siswa berdiskusi/bertanya antar siswa
juga mengalami peningkatan. Pada putaran I mendapat persentase 9,5% dan
pada putaran II dan III meningkat berturut-turut 12,3% dan 22,8%.
(3) Respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat baik. Hal ini
terlihat dari pernyataan mereka bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya (73%),
sedangkan siswa menyatakan bahwa pelajaran kimia menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan
sebanyak 87%.
(4) Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Pada putaran I, ketuntasan klasikal siswa mencapai 73,3%, pada
putaran II dan III ketuntasan secara klasikal meningkat yaitu 86,7% dan 93,3%.
4.2 Saran-Saran
Dari hasil penelitian ini, yang dapat disarankan peneliti sebagai masukan
adalah:
(1) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD perlu diterapkan sebagai alternatif
dalam proses pembelajaran kimia pada materi pokok yang lain.

(2) Hendaknya siswa dilatih terlebih dahulu dengan model pembelajaran kooperatif
supaya mereka terbiasa belajar kooperatif sehingga proses pembelajaran dapat
berjalan dengan lancar.
(3) Untuk mengukur supaya siswa tidak terlalu lama dalam membentuk kelompok,
maka guru sebaiknya menekankan kepada siswa terutama ketua kelompoknya
untuk bertanggung jawab dalam mengorganisasikan anggotanya ke dalam
kelompok belajar sebelum belajar dimulai.

DAFTAR PUSTAKA
Anggelita, Devi Maria. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Pada Materi Pokok Larutan Elektrolit dan non Elektrolit Untuk Mencapai
ketuntasan Belajar Siswa Di SMA Antartika Sidoarjo. Skripsi Tidak
Dipublikasikan. Surabaya: UNESA.
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta:
Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi
VI). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Fatmawati, Suci Elliyan. 2004. Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student
Team Achivement Division (STAD) Pada Pokok Bahasan Larutan
Elektrolit dan non Elektrolit Siswa Kelas II-5 Semester 2 Di SMA Wachid
Hasyim 2 Taman. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA.
FMIPA. 2005. Panduan Penulisan Skipsi dan Penilaian Skipsi. Surabaya: UNESA.
Ibrahim, Muslim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA UNIPRESS.
Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nur, Muhammad, dkk. 1999. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan
Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: UNESA UNIPRESS.
Nur, Muhammad, dkk. 2005. Pembelajaran kooperatif. Surabaya: UNESA UNIPRESS.
Purba, Michael. 2002. Kimia IB Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung:
ALFABETA.
Risdiana, Herra. 2003. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dalam
mencapai ketuntasan Belajar Kimia Pada Pokok Bahasan Alkana, Alkena
dan Alkuna Siswa Kelas 1-9 SMU Kartika V-3 Surabaya. Skripsi Tidak
Dipublikasikan. Surabaya: UNESA.
Sutresna, Nana. 2000. Kimia Untuk Sekolah Menengah Umum Kelas I. Bandunng:
Grafindo Media Pratama.
Surapranata, Sumarna. 2004. Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum
2004. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Tim Pelatih PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Researh).
Jakarta: DEPDIKBUD.

TIPE-TIPE KESEPAKATAN SISWA DALAM MENGIKUTI MODEL


PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE PADA MATERI
POKOK IKATAN KIMIA
Lutfiah dan Suyono
Abstrak: Penelitian ini bertujuan: (1) Mengetahui tipe-tipe kesepakatan siswa dalam
mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi
ikatan kimia di SMK, (2) Mengetahui persentase setiap tipe kesepakatan siswa, dan (3)
Mengetahui kecenderungan antara tipe kesepakatan dengan hasil belajar siswa.
Sasaran pada penelitian ini adalah siswa kelas 1 Audio Video-2 SMK Negeri 3 Surabaya
yang berjumlah 22 siswa. Rancangan penelitian yang digunakan adalah The One-Shot
Case Study. Instrumen penelitian ini terdiri dari instrumen identifikasi tipe
kesepakatan siswa dalam berbagi pendapat pada fase Pair dan lembar penilaian.
Prosedur pengumpulan data terdiri dari tiga tahap yaitu tahap persiapan, pelaksanaan
(proses pembelajaran dan tes), dan analisis data.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti
model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan
kimia, adalah: (1) Kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 1;
48,18%), (2) Salah satu siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan siswa
yang lain benar ketika sudah tukar pendapat (tipe 2; 26,36%), (3) Salah satu siswa salah
sebelum dan sesudah tukar pendapat sedangkan siswa yang lain benar sebelum tukar
pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 3; 2,72%), (4) Kedua siswa salah
sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 4; 14,54%), (5) Kedua siswa salah sebelum
tukar pendapat dan benar sesudah tukar pendapat (tipe 5; 7,27%), dan (6) Kedua siswa
benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 6; 0,91%). Pada
model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share), siswa yang menjawab
benar setelah tukar pendapat cenderung memperoleh hasil belajar yang bagus.
Kata Kunci: Tipe Kesepakatan, Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-PairShare, ikatan kimia.
PENDAHULUAN
Dalam kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2006, mata pelajaran
kimia telah diberikan mulai kelas satu pada semua program keahlian. Dimana mata
pelajaran kimia berfungsi hanya sebagai penunjang terhadap mata pelajaran program
produktif, sehingga siswa kurang tertarik dan cenderung meremehkan mata pelajaran
tersebut.
Salah satu materi pokok mata pelajaran kimia yang diberikan di SMK kelas satu
adalah ikatan kimia. Materi ini merupakan materi pokok yang memiliki sifat teoritis
yang memerlukan adanya pemahaman konsep. Dalam materi ini menjelaskan tentang
terjadinya ikatan ion, ikatan kovalen, ikatan logam dan menuliskan senyawa kimia.
Sementara itu materi pembelajaran yang bersifat teoritis, kurang memberi contohcontoh yang kontekstual, metode penyampaian bersifat monoton, kurang memanfaatkan
berbagai media secara optimal seperti metode penyampaian materi ikatan kimia yang

digunakan oleh guru SMK Negeri 3 Surabaya yaitu metode ceramah, sehingga siswa
merasa jenuh yang menyebabkan siswa kurang aktif. Berdasarkan data ketuntasan
belajar siswa kelas 1 audio video tahun ajaran 2005-2006 diperoleh 80% yang telah
mencapai nilai 60, data tersebut menunjukkan bahwa kelas tersebut belum mencapai
skala ketuntasan yang telah ditetapkan oleh sekolah, yaitu 85%.
Seorang guru harus pandai dalam memilih model pembelajaran yang tepat,
menciptakan suasana kelas yang kondusif, serta menguasai materi pokok yang diajarkan
yaitu mendeskripsikan terjadinya ikatan ion dan ikatan kovalen, menjelaskan ikatan
logam dan menuliskan tata nama senyawa kimia. Peneliti mencoba menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dalam proses pembelajaran
dengan menyiapkan lembar jawaban yang berbeda, yaitu lembar jawaban untuk fase
Think dan lembar jawaban untuk fase Pair. Dari kedua lembar jawaban tersebut, dapat
diklasifikasikan beberapa tipe-tipe kesepakatan siswa dalam berbagi pendapat pada fase
Pair. Di mana tipe-tipe kesepakatan yang dibuat pasangan merupakan gambaran dari
pemahaman siswa terhadap pertanyaan yang didiskusikan.
Model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) adalah suatu model
pembelajaran yang diawali dengan guru memberikan masalah untuk difikirkan secara
mandiri beberapa saat (Think), kemudian diselesaikan secara berpasangan (Pair).
Setelah itu salah satu pasangan siswa diminta untuk berbagi dengan seluruh kelas
tentang hasil kerjanya dan dilanjutkan untuk pasangan yang lain (Share).
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya,
dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share, siswa sering melakukan
kesalahan yaitu pada pelaksanaan fase Think, siswa-siswa tidak mengerjakan soal yang
diberikan guru secara mandiri, tetapi siswa sudah melakukan berbagi pendapat dengan
temannya. Sehingga pemikiran individu siswa tidak terlaksana. Hal ini dibuktikan
dengan tidak ditemukannya instrumen pada penelitian-penelitian
tersebut yang
menjamin bahwa fase Think benar-benar dilaksanakan sebelum melakukan langkah
Pair. Padahal terdapat beberapa keuntungan dari model pembelajaran kooperatif
diantaranya dapat membantu siswa dalam pembelajaran akademis mereka dan siswa
juga lebih memiliki kemungkinan menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi,
khususnya pada tipe TPS (Think-Pair-Share) siswa diberikan waktu untuk berfikir,
menjawab dan saling membantu satu sama lain (Ibrahim, 2000).
Dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share, langkah-langkah yang
harus dilakukan yaitu menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan
informasi yang dilanjutkan dengan Think, Mengorganisasikan siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar (Pair), Membimbing kelompok bekerja dan belajar,
evaluasi (Share), memberikan penghargaan (Ibrahim, 2000). Pada langkah menyajikan
informasi, diperlukan adanya media pembelajaran yang bertujuan untuk membantu
siswa agar mudah memahami materi yang diajarkan dan supaya pembelajaran tidak
bersifat monoton. Media yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah media
interaktif. Penyampaian materi dengan menggunakan media ini akan mendorong siswa
untuk dapat menemukan sendiri konsep dari materi yang disajikan oleh guru. Interaksi
dalam media ini berbentuk materi dan contoh soal yang menampilkan sub pokok materi
dan disertai dengan animasi. Dengan menggunakan media ini siswa diharapkan mampu
memiliki ketertarikan, senang dan santai dalam proses belajar. Apalagi jika media ini
diterapkan dalam pembelajaran kimia, dimana ilmu kimia merupakan ilmu dasar dari
ilmu terapan yang dipelajari dalam program produktif di SMK.

104

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti melakukan penelitian yang


berjudul Identifikasi Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Mengikuti Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Pair-Share pada Materi Pokok Ikatan Kimia di
SMK.
Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab beberapa rumusan masalah, yaitu
Bagaimana Tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran
kooperatif tipe TPS pada materi pokok ikatan kimia di SMK?, berapa besar prosentase
Tipe-tipe kesepakatan siswa tersebut, bagaimana kecenderungan antara tipe kesepakatan
dengan hasil belajar siswa?
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi guru dalam
memilih model pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa dan
dapat menjadi acuan bagi guru dalam upaya memperkecil kesalahan-kesalahan yang
dilakukan siswa selama proses pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share
berlangsung.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini mempunyai bentuk deskriptif dengan rancangan penelitian The
One-Shot Case Study. Yang digambarkan sebagai berikut:
X
O
(Arikunto, 2002)
Keterangan:
X = perlakuan yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think-PairShare.
O = Pengukuran kemampuan berupa tes hasil belajar.
Pendiskripsian tipe-tipe kesepakatan siswa dilakukan selama pembelajaran
berlangsung, sedangkan untuk pendiskripsian kecenderungan antara tipe-tipe
kesepakatan siswa dengan tes hasil belajar siswa dilakukan setelah pembelajaran
berlangsung. Tipe-tipe kesepakatan siswa, yaitu kesepakatan yang diperoleh pada fase
pair oleh pasangan siswa atas jawaban pertanyaan yang diberikan guru dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. Tipe kesepakatan 1 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir
secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan
pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar.
2. Tipe kesepakatan 2 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri
jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada
waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh
kesepakatan jawaban yang benar.
3. Tipe kesepakatan 3 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri
jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan pada
waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh
kesepakatan jawaban yang salah.
4. Tipe kesepakatan 4 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir
secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya,
siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah.
5. Tipe kesepakatan 5 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat berpikir
secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan pasangannya,
siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar.

105

6. Tipe kesepakatan 6 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat


berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan
pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah.
Persentase Tipe-tipe kesepakatan siswa, yaitu perbandingan antara Tipe-tipe
kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh siswa dikali 100.
Tipe kesepakata n
%
X 100
siswa
Sasaran pada penelitian ini adalah siswa kelas 1 Audio Video-2 SMK Negeri 3
Surabaya yang berjumlah 30 siswa.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada sub bab ini memuat tentang penyajian data penelitian yang diikuti dengan
hasil analisis masing-masing data dan dilanjutkan pembahasan.
1. Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
TPS (Think-Pair-Share)
Tipe-tipe kesepakatan siswa diperoleh setelah siswa mengikuti model
pembelajaran kooperatif tipe TPS dengan menggunakan lembar jawaban yang berbeda
dalam proses pembelajaran, yaitu lembar jawaban untuk fase Think dan lembar jawaban
untuk fase Pair. Dari data yang diperoleh dapat diberikan hasil analisis bahwa tipe
kesepakatan siswa pada LKS 1, 2 dan 3 dalam mengikuti model pembelajaran
kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) ada enam tipe sebagai didefinisikan di atas.
Munculnya keenam tipe kesepakatan tersebut menunjukkan bahwa diskusi yang
dilakukan oleh dua siswa dalam model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-PairShare) berjalan dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan dan
penurunan berfikir siswa setelah bertukar pendapat dengan pasangannya. Peningkatan
berfikir siswa terjadi apabila salah satu atau kedua siswa ketika berfikir secara mandiri
menjawab salah, kemudian setelah bertukar pendapat dengan pasangannya memperoleh
kesepakatan jawaban yang benar. Begitu juga dengan penurunan berfikir siswa terjadi
apabila salah satu atau kedua siswa ketika berfikir secara mandiri menjawab benar,
kemudian setelah bertukar pendapat dengan pasangannya memperoleh kesepakatan
jawaban yang salah.
Dilihat dari 6 tipe kesepakatan yang muncul, yang paling berbahaya adalah tipe
kesepakatan yang terjadi penurunan berfikir siswa, yaitu kesepakatan di mana salah satu
siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat sedangkan siswa yang lain benar
sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat karena tipe tersebut
merugikan pasangannya, dan kesepakatan di mana kedua siswa benar sebelum tukar
pendapat dan salah sesudah tukar pendapat karena terjadi saling merugikan di antara
siswa, untuk tipe 5 tidak membahayakan karena sama-sama tidak ada potensinya dan
tanggung jawab guru untuk membetulkan konsep bagi siswa yang mempunyai tipe ini.
Selain itu terdapat tipe kesepakatan yang tidak mengalami peningkatan atau
penurunan berfikir yaitu tipe 1 dimana kedua siswa benar sebelum dan sesudah tukar
pendapat dan tipe 4 dimana kedua siswa yang salah sebelum dan sesudah tukar
pendapat. Hal ini wajar terjadi pada proses tukar pendapat yang dilakukan oleh dua

orang, jika dalam berfikir secara mandiri kedua siswa berfikir yang sama, maka hasil
diskusi mereka juga menghasilkan apa yang telah difikirkan mereka.
2. Persentase Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe TPS
Persentase tipe-tipe kesepakatan siswa diperoleh dengan membandingkan antara
jumlah tipe-tipe kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh tipe
kesepakatan dikali 100. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui jumlah tiap tipe-tipe
kesepakatan siswa kelas 1 audio-video 2 dalam mengikuti model pembelajaran
kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia, diantaranya
yaitu tipe kesepakatan 1 sebanyak 106; tipe kesepakatan 2 sebanyak 58; tipe
kesepakatan 3 sebanyak 6; tipe kesepakatan 4 sebanyak 32; tipe kesepakatan 5 sebanyak
16 dan tipe kesepakatan 6 sebanyak 2. Dengan demikian dapat diketahui masing-masing
persentase tipe kesepakatan siswa dengan membandingkan antara jumlah tipe
kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh tipe kesepakatan dikali 100,
sehingga diperoleh tipe kesepakatan 1 dengan persentase 48,18%; tipe kesepakatan 2
dengan persentase 26,36%; tipe kesepakatan 3 dengan persentase 2,72%; tipe
kesepakatan 4 dengan persentase 14,54%; tipe kesepakatan 5 dengan persentase 7,27%;
dan tipe kesepakatan 6 dengan persentase 0,91%. Hal ini menunjukkan bahwa
persentase peningkatan berfikir (tipe kesepakatan 2 dan 5) lebih besar daripada
penurunannya (tipe kesepakatan 3 dan 6).
Peningkatan berfikir siswa menunjukkan adanya saling membantu satu sama
lain, hal ini mencerminkan bahwa Think-Pair-Share telah dilaksanakan sesuai dengan
prosedur, sejalan dengan apa yang diungkapkan Nur (2005) bahwa Think-Pair-Share
memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih
banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain.
Keberhasilan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dapat
dilihat dari adanya peningkatan dan penurunan berfikir siswa, walaupun dalam
penelitian ini terdapat siswa yang tidak mengalami peningkatan atau penurunan berfikir,
seperti pada Ke dua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan Kedua siswa
salah sebelum dan sesudah tukar pendapat, akan tetapi hal tersebut wajar terjadi dalam
hubungan tukar pendapat antara dua individu, jika kedua individu ketika berfikir secara
mandiri memikirkan hal yang sama, maka dalam tukar pendapat mereka menghasilkan
seperti apa yang mereka fikirkan. Rata-rata persentase kedua siswa yang benar sebelum
dan sesudah tukar pendapat sebesar 48,18%. Angka tersebut masih rendah, sehingga
perlu di tingkatkan lagi, sedangkan kedua siswa yang salah sebelum dan sesudah tukar
pendapat memperoleh rata-rata persentase sebesar 14,54%. Walaupun angka tersebut
lebih kecil dari persentase kedua siswa yang benar sebelum dan sesudah tukar pendapat,
namun persentase tersebut (14,54%) perlu diperkecil lagi agar terjadi peningkatan
berfikir siswa.
3. Kecenderungan antara Tipe Kesepakatan dengan Hasil Belajar Siswa
Kecenderungan tipe kesepakatan siswa terhadap hasil belajar siswa dapat dilihat
setelah mengetahui hasil belajar siswa yang ditunjukkan dengan menggunakan skor
hasil belajar. Skor 1 diberikan pada siswa yang menjawab benar dan skor 0 diberikan
pada siswa yang menjawab salah. Analisis dilakukan pada tiap-tiap indikator hasil
belajar.

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui rata-rata skor hasil belajar
siswa kelas 1 audio-video 2 dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS
(Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia yang dilihat di setiap indikator,
diantaranya yaitu tipe kesepakatan 1 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,86; tipe
kesepakatan 2 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,76; tipe kesepakatan 3 dengan
rata-rata skor hasil belajar siswa 0,67; tipe kesepakatan 4 dengan rata-rata skor hasil
belajar siswa 0,68; tipe kesepakatan 5 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,57 dan
tipe kesepakatan 6 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,50. Hal ini menunjukkan
bahwa skor hasil belajar yang dihasilkan siswa pada tipe kesepakatan yang terjadi
peningkatan berfikir (tipe 2) lebih besar daripada tipe kesepakatan yang terjadi
penurunan berfikir (tipe 3) dan (tipe 5) lebih besar daripada (tipe 6). Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa peningkatan berfikir siswa cenderung menghasilkan skor hasil
belajar yang lebih besar daripada penurunan berfikir siswa. Fenomena tersebut
menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-PairShare) memberikan pengaruh positif dalam hal berfikir siswa. Hal ini sesuai dengan apa
yang diungkapkan oleh Ibrahim dkk (2000), bahwa pembelajaran kooperatif dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam sehingga memperoleh hasil belajar yang
lebih tinggi. Selain itu fenomena tersebut juga sejalan dengan pendapat Nasution (1982)
bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika
siswa saling mendiskusikan suatu masalah untuk mencapai kesepakatan dengan
temannya.
Tipe kesepakatan siswa yang dominan muncul pada tiap indikator hanya tipe
kesepakatan 1, 2 dan 4. Apabila dilihat dari hubungan tipe kesepakatan siswa dengan
persentase ketercapaian indikator menunjukkan bahwa persentase ketercapaian
indikator pada tipe kesepakatan 1 (tidak terjadi peningkatan atau penurunan berfikir)
cenderung tinggi, akan tetapi besarnya
persentase ketercapaian indikator tersebut
disetiap indikator berbeda-beda, ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah.
Seperti pada indikator menjelaskan pembentukan ion memiliki persentase lebih kecil
daripada menjelaskan gas mulia. Hal tersebut disebabkan karena untuk mencapai
indikator menjelaskan pembentukan ion lebih sulit daripada menjelaskan konfigurasi
elektron gas mulia.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa siswa yang semula ketika
secara mandiri berfikir salah, kemudian berpasangan dengan siswa yang semula secara
mandiri berfikir benar dan akhirnya memperoleh kesepakatan yang benar hanya muncul
pada 2 indikator yaitu indikator 7 dan 10 dengan masing-masing persentase
ketercapaian indikator sebesar 59% dan 72%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase
ketercapaian indikator pada tipe kesepakatan 2 tidak dapat dipastikan lebih tinggi atau
lebih rendah. Seharusnya persentase ketercapaian indikator tersebut cenderung tinggi,
karena dalam tipe tersebut akhirnya memperoleh jawaban yang benar. Ketidak sesuaian
tersebut dikarenakan perbedaan dalam hal berfikir ketika siswa berfikir secara mandiri,
sehingga terjadi pengaruh mempengaruhi dalam bertukar pendapat. Hal ini sesuai
dengan salah satu postulat yang diungkapkan oleh French dalam Sarwono (1983) yaitu
dalam sebuah hubungan dua orang, seseorang yang dipengaruhi akan mengubah
pendapatnya mengikuti pasangannya tetapi tidak diikuti dengan perubahan kognitifnya
melainkan dikarenakan kekuasaan dasar yang lebih kuat diantara salah seorang tersebut,
seperti kekuasaan rujukan, kekuasaan ganjaran, kekuasaan hukuman, kekuasaan
pengabsahan dan kekuasaan keahlian.

Adapun dua siswa berpasangan yang semula ketika secara mandiri berfikir salah
dan pada saat bertukar pendapat memperoleh kesepakatan yang salah hanya muncul
pada 2 indikator yaitu indikator 2 dan 5 dengan masing-masing persentase ketuntasan
indikator sebesar 59% dan 100%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase ketercapaian
indikator pada tipe kesepakatan 2 tidak dapat dipastikan lebih tinggi atau lebih rendah.
Seharusnya persentase ketuntasan indikator tersebut cenderung rendah, karena pada tipe
tersebut kedua siswa setelah bertukar pendapat masih berfikir salah. Ketidaksesuaian
tersebut dapat disebabkan adanya perubahan berfikir siswa pada saat fase Share. Pada
fase Share salah satu pasangan berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang mereka
bicarakan, oleh karena itu pada fase inilah setiap individu memperbaiki pemahaman
mereka tentang jawaban yang telah dibicarakan dengan pasangannya. Hal ini sejalan
dengan apa yang diungkapkan Nur (2005) bahwa diskusi perlu dilakukan di dalam
seting seluruh kelompok.
Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari ketuntasan belajar siswa. Seorang
siswa telah tuntas belajar bila ia telah mencapai nilai >60 dan suatu kelas dikatakan
tuntas bila di kelas tersebut telah mencapai 85% yang telah mencapai nilai >60.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan siswa yang tidak tuntas belajar di kelas
1 Audio-video 2 SMK Negeri Surabaya pada materi pokok ikatan kimia yaitu sebanyak
3 dari 22 siswa dengan masing-masing nilainya 50, 43 dan 50. Dengan demikian,
ketuntasan klasikal di kelas tersebut mencapai 86,36%.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS
yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur dapat menghantarkan siswa mencapai
indikator hasil belajar. Hal ini dapat dilihat pada ketuntasan klasikal siswa kelas 1
Audio-Video 2 yang mencapai 86,36%. Besar persentase tersebut telah melebihi batas
ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan sekolah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Jika dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-PairShare) siswa benar-benar berfikir secara mandiri pada fase Think dan bertukar
pendapat pada fase Pair, maka dapat ditemukan tipe-tipe kesepakatan siswa
pada materi pokok ikatan kimia di SMK ada 6 tipe, yaitu:
a. Tipe kesepakatan 1 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat
berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan
pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar.
b. Tipe kesepakatan 2 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri
jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan
pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh
kesepakatan jawaban yang benar.
c. Tipe kesepakatan 3 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri
jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan
pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh
kesepakatan jawaban yang salah.
d. Tipe kesepakatan 4 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat
berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan
pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah.

e. Tipe kesepakatan 5 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat


berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan
pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar.
f. Tipe kesepakatan 6 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat
berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan
pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah.
2. Tipe-tipe kesepakatan siswa dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif
tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia di SMK memiliki
persentase yang berbeda-beda, yaitu (1) Kedua siswa benar sebelum dan sesudah
tukar pendapat (tipe 1; 48,18%), (2) Salah satu siswa benar sebelum dan sesudah
tukar pendapat dan siswa yang lain benar ketika sudah tukar pendapat (tipe 2;
26,36%), (3) Salah satu siswa salah sebelum dan sesudah tukar pendapat
sedangkan siswa yang lain benar sebelum tukar pendapat dan salah sesudah
tukar pendapat (tipe 3; 2,72%), (4) Kedua siswa salah sebelum dan sesudah
tukar pendapat (tipe 4; 14,54%), (5) Kedua siswa salah sebelum tukar pendapat
dan benar sesudah tukar pendapat (tipe 5; 7,27%), dan (6) Kedua siswa benar
sebelum tukar pendapat dan salah sesudah tukar pendapat (tipe 6; 0,91%).
3. Terdapat kecenderungan antara tipe-tipe kesepakatan dengan hasil belajar siswa
yang dilihat pada tipe kesepakatan yang dominan muncul, yaitu (1) Kedua siswa
benar sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 1) cenderung siswa memperoleh
hasil belajar yang tinggi, (2) Salah satu siswa benar sebelum dan sesudah tukar
pendapat dan siswa yang lain benar ketika sudah tukar pendapat (tipe 2)
cenderung siswa memperoleh hasil belajar yang tinggi, (4) Kedua siswa salah
sebelum dan sesudah tukar pendapat (tipe 4) cenderung siswa memperoleh hasil
belajar yang tinggi jika ada perubahan pemahaman siswa setelah melakukan fase
Share.
Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan serta ditemukannya simpulan-simpulan,
penulis mengajukan saran atau rekomendasi sebagai berikut:
1. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, jika model pembelajaran kooperatif
tipe Think-Pair-Share dilaksanakan sesuai dengan prosedur, maka dapat
memberikan pengaruh positif pada siswa sehingga peneliti menghimbau agar para
guru dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share)
pada materi pokok ikatan kimia.
2. Pada penelitian ini masih banyak ditemukan siswa yang berfikir salah setelah
bertukar pendapat pada fase Pair. Oleh karena itu peneliti menghimbau agar
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bagaimana upaya untuk mengurangi siswa
yang masih berfikir salah pada fase Pair.
3. Perlu diwaspadai bagi guru yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
TPS (Think-Pair-Share) dengan munculnya tipe kesepakatan yang menyebabkan
penurunan berfikir siswa dan untuk mengetahui munculnya tipe-tipe kesepakatan
tersebut, sebaiknya guru menggunakan LKS seperti yang digunakan peneliti.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.


Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Siswa
Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.
Djamarah, S. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ibrahim, M dan Muhammad Nur. 2005. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:
University Press.
Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep
Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Karakteristik

dan

Nur, Muhammad dan Wikandari. 2004. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa Dan
Pendekatan Konstruktivis. Surabaya: PSMS Universitas Negeri Surabaya.
Slamet. 2005. Pendidikan Berbasis Kompetensi. Makalah yang disampaikan pada acara
Persiapan Monitoring dan Evaluasi Sekolah Standar Nasional. Jakarta.

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH PADA


MATERI POKOK BAHAN KIMIA DALAM BAHAN MAKANAN KELAS VII-A
DI SMP NEGERI 1 BALONGBENDO SIDOARJO
Kristina Mayasari, Ismono
Dalam proses pembelajaran, guru kurang menghubungkan materi yang diajarkan
dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa sulit mentransfer konsep tersebut dari
memori jangka pendek ke memori jangka panjang. Upaya yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran
berdasarkan masalah. Melalui pembelajaran berdasarkan masalah, guru dapat
melibatkan siswa secara aktif dalam KBM sehingga dapat meningkatkan retensi dan
memungkinkan siswa menerapkan konsep tersebut pada situasi yang baru atau
kehidupan sehari-hari.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) untuk mengetahui
pengelolaan model pembelajaran berdasarkan masalah, aktivitas guru dan siswa,
ketuntasan belajar dan respon siswa. Subyek penelitian adalah siswa kelas VII-A di
SMP Negeri 1 Balongbendo Sidoarjo. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh skor ratarata untuk kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran dari putaran I sampai
putaran III sebesar 3,2 , 3,9 , 4,5. Aktivitas guru selama proses pembelajaran meningkat
seperti menghubungkan pelajaran dengan pengetahuan awal siswa sebesar 5,0%, 5,8%,
6,7%, memotivasi siswa sebesar 9,2%, 10,8%, 12,5%, membimbing siswa melakukan
refleksi penyelidikan sebesar 10,0%, 12,5%, 13,3% dan merangkum materi pelajaran
sebesar 9,2%, 12,5%, 12,5%. Aktivitas siswa juga meningkat dari putaran I sampai III
selama proses pembelajaran seperti membaca (LKS, Hand Out) sebesar 9,5%, 10,5%,
11,0%, melakukan diskusi sebesar 9,0%, 10,5%, 13,5%, meyajikan hasil penyelidikan
sebesar 11,5%, 12,0%, 12,5% dan merangkum materi pelajaran sebesar 9,5%, 10,5%,
11,0%. Untuk tiap putarannya, ketuntasan belajar pada putaran I sampai putaran III
sebesar 85,0%, 90,0% dan 95,0%. Hasil respon siswa yang merasa senang
menggunakan model pembelajaran berdasarkan masalahdari putaran I sampai III
sebesar 80,0%, 82,5%, 87,5%.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penerapan model
pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan pengelolaan pembelajaran,
aktivitas guru dan siswa, ketuntasan belajar siswa dan respon siswa.
Kata Kunci: Pembelajaran berdasarkan masalah, materi pokok bahan kimia dalam
bahan makanan.
1. PENDAHULUAN
SMPN 1 Balongbendo menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
sejak tahun 2002-2003. Kurikulum Sains merupakan bagian dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi dimana siswa dituntut mempunyai life skill (kecakapan
hidup).
Pendidikan sains lebih menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk
mengembangkan kompetensi siswa agar siswa mampu memahami dan mempelajari
fenomena alam sekitarnya. Namun pada kenyataannya dalam proses belajar
mengajar, guru masih tetap berperan aktif dalam memberikan informasi kepada
siswa. Siswa seharusnya berperan lebih aktif dalam kegiatan belajar mengajar. Hal
inilah yang diharapkan dalam KBK yaitu siswa diarahkan mengembangkan

pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan , nilai, sikap dan minat agar dapat
melakukan sesuatu dalam kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh
tanggung jawab (Mulyasa, 2004).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Agus Dwi, guru Sains di SMP Negeri
1 Balongbendo Sidoarjo pada tanggal 7 Oktober 2006 bahwa berdasarkan MGMP,
siswa dikatakan tuntas belajar secara individual jika mencapai nilai 60 dan
dikatakan tuntas belajar secara klasikal jika terdapat 70% siswa yang memperoleh
nilai 60. Kenyataannya, siswa yang belum tuntas belajar sebanyak 80 % dari
jumlah siswa seluruhnya, sedangkan yang tuntas sekitar 20 % dari jumlah siswa
seluruhnya. Berarti siswa yang belum tuntas belajar yaitu 32 siswa dan yang tuntas
belajar hanya 8 orang. Kemudian berdasarkan hasil angket prapenelitian jumlah
siswa yang mempunyai kemauan besar untuk mengikuti pembelajaran sains sebesar
89,74 % dan yang menganggap pembelajaran sains menyenangkan sekitar 17,95 %.
Jumlah siswa yang menganggap pembelajaran sains khususnya pada materi pokok
bahan kimia dalam bahan makanan menarik sebesar 25,64 %.
Melihat beberapa permasalahan diatas, peneliti mencoba menerapkan model
pembelajaran berdasarkan masalah, dimana dalam model pembelajaran ini siswa
diajak untuk terlibat aktif dalam memecahkan suatu masalah yang ada dalam
kehidupan sehari-hari dengan melakukan percobaan dan berdiskusi dalam kelompok
dan pada akhirnya siswa dapat menemukan sendiri konsep yang berkaitan dengan
bahan kimia dalam bahan makanan.
Sedangkan materi pokok yang dipilih dalam penelitian ini adalah bahan kimia
dalam bahan makanan. Materi pokok bahan kimia dalam bahan makanan dipilih
karena materi ini tergolong sulit.
Peneliti memilih kelas VII-A sebagai objek penelitian karena berdasarkan hasil
wawancara dengan guru sains yang mengajar di kelas VII -A bahwa siswa yang aktif
selama kegiatan belajar mengajar sangat sedikit.
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul Penerapan
Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada Materi Pokok Bahan Kimia Dalam
Bahan Makanan Kelas VII-A di SMP Negeri 1 Balongbendo Sidoarjo.
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh
pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari
tindakan-tindakan yang telah dilakukan serta memperbaiki kondisi dimana praktekpraktek pembelajaran dilalakukan (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999: 6).
2. METODE PENELITIAN
Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas VII-A pada semester II tahun
pelajaran 2006-2007 di SMP Negeri 1 Balongbendo. Peneliti memilih kelas VIIA.
2.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini
dilakukan dalam tiga kali putaran. Setiap putaran terdiri dari 4 tahap yaitu:
Tahap 1. Perencanaan (Planning)
Tahap 2. Tindakan/ observasi (Action/ Observaton)
Tahap 3. Refleksi (Reflective)
Tahap 4. Revisi (Revise)

Keempat tahap di atas biasanya digambarkan sebagai berikut:


Plan
Reflective

Action/
Obervation

Putaran I

Revised
Plan

Reflective

Action/
Obervation

Putaran II

Revised
Plan

Reflective

Action/
Obervation

Putaran III

Revised
Plan

Gambar 3.1
Spiral Penelitian Tindakan Kelas (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999)
2.3 Analisis Data Penelitian
(1) Analisis Data Pengelolaan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Tabel 3.1
Kategori Skor Skala Likert
Skor
Keterangan
1
Buruk sekali
2
Buruk
Sedang
Baik
3
Sangat baik
4
5
Skor kriterium = Skor tertinggi x jumlah item pertanyaan x jumlah observer

No
1.
2.
3.
4.
5.

Jumlah skor hasil perhitunga n


100%
Skor kriterium

Tabel 3.2
Kriteria Interpretasi Skor
Persentase
Kategori
0%-20%
Sangat lemah
21%-40%
Lemah
Cukup
41%-60%
Kuat
61%-80%
Sangat Kuat
81%-100%

(2) Analisis Data Pengamatan Aktivitas Guru dan Siswa


jumlah frekuensi yang muncul
x100%
% aktivitas
jumlah tot al frekuensi aktivitas
Tabel 3.3
Kategori persentase aktivitas dan respon siswa
Persentase
Keterangan
0%-20%
Sangat lemah
21%-40%
Lemah
Cukup
41%-60%
Kuat
61%-80%
Sangat kuat
81%-100%
(Riduwan, 2005)
(3) Analisis Soal Tes
a) Validitas
N XY X Y
rxy
2
N X2 X N Y 2 Y

Keterangan:
rxy = Koefisiaen korelasi
N = Jumlah butir soal
X = Skor peserta pada butir soal yang divalidasi
Y = Skor total yang dicapai peserta tes
Tabel 3.4
Koefisien Korelasi
Koefisien Korelasi
Keterangan
0,81-1,00
Sangat tinggi
0,61-0,80
Tinggi
Cukup
0,41-0,60
Rendah
0,21-0,40
Sangat
rendah 2003: 72)
0,00-0,20
(Arikunto,
b) Reliabilitas

r 11

V
V

Dengan: r

=Reliabilitas seluruh soal

11

= Varians responden
r

= Varians sisa
s

Kriteria jika r hitung >r tabel

(Arikunto, 2003: 100)


maka item dikatakan reliabel.

c) Analisis Data Ketuntasan Belajar Siswa

Berdasarkan kebijakan SMP Negeri 1 Balongbendo, siswa


dikatakan tuntas secara individual jika telah mencapai nilai 60.
Perhitungan persentase ketuntasan siswa secara individual yaitu:
Nilai Siswa

100% N
Dengan: B = Jumlah soal yang benar
N = Banyaknya soal.

(Surapranata, 2004)

Sedangkan secara klasikal suatu kelas telah tuntas belajar jika


terdapat 70% siswa telah mencapai nilai 60 dengan perhitungan
sebagai berikut:
Jumlah siswa yang tuntas
Ketuntasan Klasikal
100%
Jumlah seluruh siswa
d) Analisis Data Respon Siswa
F
P
100 %
N
Dengan: P = Persentase jawaban responden
F = Jumlah jawaban responden
N = Jumlah Responden
Kemudian persentase dianalisis sesuai dengan tabel 3.3 yaitu
tabel kategori persentase aktivitas dan respon siswa.
3. HASIL PENELITAN DAN PEMBAHASAN
Putaran I
a. Rancangan
(1) Guru telah menyiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi Rencana
Pembelajaran (RP) dan soal postes (Tes Formatif 1).
(2) Guru telah menyiapkan sarana pembelajaran yakni LKS 1 dan Hand Out.
(3) Guru telah menyiapkan instrumen penelitian.
(4) Guru telah menetapkan kelompok-kelompok kooperatif yang heterogen
berdasarkan nilai raport.
b. Kegiatan dan Pengamatan
Pada putaran I materi yang dipelajari adalah bahan pewarna makanan.
Pada tahap pendahuluan, guru mengawali pembelajaran dengan
menyampaikan indikator pencapaian. Setelah itu, guru memotivasi siswa
dengan menunjukkan suatu ekstrak tomat yang ditetesi dengan air kapur
sebagai pembanding. Kemudian guru menunjukkan suatu saus. Pemotivasian
yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari ini dilakukan agar siswa dapat
mengaplikasikan informasi yang telah diterima dari pembelajaran ke dalam
kehidupan sehari-hari. Selanjutnya guru mengaitkan pembelajaran dengan
pengetahuan awal siswa tentang bahan kimia di sekitar kita, serta guru
mengarahkan siswa untuk merumuskan permasalahan autentik yaitu
Bagaimana cara mengidentifikasi adanya pewarna kimia buatan pada tahu
kuning?. Pendahuluan ini berlangsung selama 15 menit.
Pada kegiatan inti, guru membagi siswa menjadi 13 kelompok, membagi
LKS dan Hand Out. Guru membimbing siswa melakukan studi literatur
untuk merumuskan jawaban dari permasalahan yang ada pada LKS. Setelah

siswa melakukan penyelidikan, guru meminta masing-masing kelompok


untuk menyusun laporan singkat hasil pengamatan.
Selama siswa melakukan penyelidikan, guru memotivasi, mengevaluasi
dan meyakinkan apakah siswa bisa memecahkan masalah itu dengan baik.
Kemudian
guru meminta
kelompok
secara
bergiliran
untuk
mempresentasikan laporannya dan dilanjutkan dengan refleksi, yaitu tanya
jawab antar kelompok tentang laporan yang disajikan. Guru memberi
penguatan dan mengklarifikasi konsep kepada siswa tentang materi yang
dipelajari. Pengklarifikasian konsep ini bertujuan agar terbentuk tatanan
persamaan konsep tentang materi yang dipelajari. Kemudian guru meminta
siswa menyimpulkan materi yang dipelajari. Sekitar 10 menit terakhir siswa
diminta mengerjakan tes formatif secara individu.
Selama kegiatan belajar mengajar berlangsung, dilakukan observasi oleh
6 pengamat.
c. Refleksi
(1) Pada pengelolaan model pembelajaran berdasarkan masalah, persentase
kegiatan guru dalam mengorganisasikan siswa untuk belajar yaitu 60%.
Persentase ini masih cukup rendah.
(2) Besarnya persentase kegiatan guru dalam membimbing siswa
melakukan penyelidikan yaitu sebesar 68,9%. Pada kegiatan ini guru
terlalu banyak memberikan informasi secara langsung sehingga kurang
mendorong siswa untuk berfikir secara mandiri dalam memecahkan
suatu masalah.
(3) Persentase perilaku guru yang kurang relevan dengan KBM masih
cukup tinggi yaitu 5,0%, dan perilaku siswa kurang relevan dengan
KBM sebesar 9,0%.
(4) Guru kurang memotivasi siswa untuk belajar sehingga masih terdapat 5
orang siswa yang belum tuntas belajar.
d. Revisi
(1) Dalam mengelola model pembelajaran berdasarkan masalah, guru
hendaknya dapat mengorganisasikan siswa untuk belajar lebih baik lagi.
(2) Dalam membimbing siswa melakukan penyelidikan, guru hendaknya
tidak memberikan informasi secara langsung
(3) Guru dan siswa mengurangi perilaku yang tidak relevan selama proses
pembelajaran.
(4) Untuk meningkatkan ketuntasan belajar siswa, hendaknya guru lebih
memotivasi siswa untuk membaca buku, memberi penguatan dan
mengklarifikasikan konsep-konsep penting kepada siswa.
Putaran II
a. Rancangan
(1) Guru telah menyiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi Rencana
Pembelajaran (RP) dan soal postes (Tes Formatif 2).
(2) Guru telah menyiapkan sarana pembelajaran yakni LKS 2.
(3) Guru telah menyiapkan instrumen penelitian
(4) Guru telah menetapkan kelompok-kelompok kooperatif yang heterogen
berdasarkan nilai raport.
b. Kegiatan dan Pengamatan

Pada putaran II materi yang dipelajari adalah bahan pemanis makanan.


Pada tahap pendahuluan, guru mengawali pembelajaran dengan
menyampaikan indikator pencapaian. Setelah itu, guru memotivasi siswa
dengan menunjukkan sinom. Selanjutnya guru mengaitkan pembelajaran
dengan pengetahuan awal siswa tentang bahan pewarna makanan, serta guru
mengarahkan siswa untuk merumuskan permasalahan autentik yaitu
Bagaimana cara mengidentifikasi adanya pemanis kimia buatan pada
sirup?.
Pada kegiatan inti, dimulai dengan guru meminta siswa melakukan
kajian pustaka untuk merumuskan jawaban sementara dari permasalahan
kemudian guru meminta siswa melakukan penyelidikan dalam kelompok
dengan tujuan agar mereka bisa memecahkan masalah dengan cara
berdiskusi dan bekerja sama. Setelah siswa melakukan penyelidikan, guru
meminta masing-masing kelompok untuk menyusun laporan singkat hasil
pengamatan.
Selama siswa melakukan penyelidikan dalam kelompok, guru
memotivator, mengevaluasi dan meyakinkan apakah siswa bisa memecahkan
masalah itu dengan baik. Setelah itu, guru meminta kelompok secara
bergiliran untuk mempresentasikan laporannya dan dilanjutkan dengan
refleksi, yaitu tanya jawab antar kelompok tentang laporan yang disajikan.
Guru memberi penguatan dan mengklarifikasi konsep kepada siswa tentang
materi yang dipelajari. Pengklarifikasian konsep ini bertujuan agar tatanan
persamaan konsep tentang materi yang dipelajari dibenak siswa. Kemudian
guru meminta siswa menyimpulkan materi yang dipelajari. Sekitar 10 menit
terakhir digunakan oleh siswa untuk mengerjakan tes formatif secara
individu sebanyak 8 soal obyektif.
c. Refleksi
(1) Pada tabel 4.9 disebutkan bahwa guru telah melakukan aktivitas
mengaitkan materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan awal siswa.
(2) Guru sudah dapat mengkondisikan siswa belajar berdasarkan suatu
masalah. Hal ini terlihat dari aktivitas-aktivitas guru dan siswa tersebut
mengalami peningkatan dibanding pada putaran I.
(3) Dari tabel 4.8 diketahui bahwa guru sudah dapat meningkatkan
pengelolaan dalam pembelajaran.
(4) Dari tabel 4.12 dapat diketahui rata-rata nilai siswa meningkat dari 87,2
pada putaran I menjadi 89,7 pada putaran II. Sedangkan ketuntasan
klasikal putaran II sebesar 90,0%.
(5) Pada tabel 4.13 diketahui siswa memberikan penilaian positif terhadap
model pembelajaran berdasarkan masalah.
d. Revisi
(1) Guru harus tetap mempertahankan aktivitas mengembangkan sikap
mandiri siswa dalam merumuskan masalah autentik, memecahkan
masalah dengan penyelidikan, menyusun hasil karya dan menyajikan
hasil karya/ artefak.
(2) Guru tetap mempertahankan penekanan konsep-konsep penting pada
tahap refleksi agar siswa benar-benar memperhatikan konsep tersebut.

a.

b.

c.

d.

(3) Guru hendaknya lebih memotivasi siswa lagi sehingga aktivitas siswa
yang tidak relevan dengan KBM bisa diminimalkan bahkan dihilangkan.
Putaran III
Rancangan
(1) Guru telah menyiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi Rencana
Pembelajaran (RP) dan soal postes (Tes Formatif 3).
(2) Guru telah menyiapkan sarana pembelajaran yakni LKS 3 dan Hand
Out.
(3) Guru telah menyiapkan instrumen penelitian
(4) Guru telah menetapkan kelompok-kelompok kooperatif yang heterogen
berdasarkan nilai raport.
Kegiatan dan Pengamatan
Pada putaran III materi yang dipelajari adalah bahan pengawet makanan.
Pada tahap pendahuluan, guru mengawali pembelajaran dengan
menyampaikan indikator pencapaian. Setelah itu, guru memotivasi siswa
dengan menunjukkan mie yang dijual di pasar. Selanjutnya guru mengaitkan
pembelajaran dengan pengetahuan awal siswa tentang bahan pemanis
makanan, serta guru mengarahkan siswa untuk merumuskan permasalahan
autentik yaitu Bagaimana cara mengidentifikasi adanya borak pada
bakso?.
Pada kegiatan inti, dimulai dengan guru meminta siswa melakukan
kajian pustaka untuk merumuskan jawaban sementara dari permasalahan
kemudian guru meminta siswa melakukan penyelidikan dalam kelompok
dengan tujuan agar mereka bisa memecahkan masalah dengan cara
berdiskusi dan bekerja sama.
Setelah siswa melakukan penyelidikan, guru meminta masing-masing
kelompok untuk menyusun laporan singkat hasil pengamatan. Selama siswa
melakukan penyelidikan dalam kelompok, guru memotivator, mengevaluasi
dan meyakinkan apakah siswa bisa memecahkan masalah itu dengan baik.
Setelah itu, guru meminta kelompok secara bergiliran untuk
mempresentasikan laporannya dan dilanjutkan dengan refleksi, yaitu tanya
jawab antar kelompok tentang laporan yang disajikan. Guru memberi
penguatan dan mengklarifikasi konsep kepada siswa tentang materi yang
dipelajari. Pengklarifikasian konsep ini bertujuan agar tatanan persamaan
konsep tentang materi yang dipelajari dibenak siswa. Kemudian guru
meminta siswa menyimpulkan materi yang dipelajari. Sekitar 10 menit
terakhir digunakan oleh siswa untuk mengerjakan tes formatif secara
individu sebanyak 6 soal obyektif.
Refleksi
(1) Selama KBM, pembelajaran berorientasi pada siswa dan siswa dapat
memecahkan permasalahan dengan baik.
(2) Dari tabel 4.14 diketahui bahwa guru dapat meningkatkan pengelolaan
model pembelajaran berdasarkan masalah.
(3) Berdasarkan tabel 4.18 nilai rata-rata siswa dari hasil tes formatif putaran
III sebesar 91,7 dengan ketuntasan klasikal sebesar 95,0%.
(4) Hasil angket yang disajikan dalam tabel 4.19 menunjukkan penilaian
yang positif terhadap penerapan pembelajaran berdasarkan masalah.
Revisi

Penerapan model pembelajaran berdasarkan mmasalah sudah dapat


berjalan optimal, karena guru sudah dapat mengelola pembelajaran dengan
baik sehingga meningkatkan aktivitas siswa dalam memecahkan
permasalahan dan peran aktif siswa dalam pembelajaran. Namun dalam hal
LKS dan Hand Out, guru perlu memperbaiki baik dalam bahasa dan
penampilannya agar siswa termotivasi untuk membaca dan belajar.
4. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
(1) Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan
kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar.
(2) Melalui penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah mampu
meningkatkan aktivitas guru sebagai fasilitator dan motivator dalam
pembelajaran pada putaran I, II dan III.
(3) Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok
bahan kimia dalam bahan makanan dapat meningkatkan ketuntasan belajar
siswa baik secara individu maupun secara klasikal.
(4) Penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan
respon siswa yaitu putaran I sebesar 77,5%, putaran II sebesar 82,5% dan
putaran III sebesar 87,5%.
4.2 Saran
(1) Dalam setiap pembelajaran sebaiknya guru dapat mengaitkan materi
pelajaran dengan contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari sehingga
membuat siswa termotivasi untuk belajar.
(2) Hendaknya guru tidak secara langsung memberikan bimbingan kepada siswa
apabila siswa mengalami kesulitan, namun guru harus mendorong mereka
untuk mendiskusikan permasalahan tersebut dengan temannya terlebih
dahulu dan guru hendaknya dapat mengaitkan pertanyaan siswa dengan
pengetahuan siswa
ketika guru memberikan
penguatan dan
pengklarifikasian konsep pada saat refleksi. Kemudian guru harus
memberikan penekanan intonasi pada konsep-konsep penting sehingga
siswa benar-benar memperhatikan konsep tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta:
P.T. Bumi Aksara
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur-Balitbang.
Depdiknas. 2003. Kurikulum Bernasis Kompetensi, Standar Kompetensi Mata
Pelajaran Sains Sekolah Menengah Pertama dan M adrasah Tsanawiyah.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Faridah, Anis. 2004. Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada
Materi Pokok Pemisahan Campuran Untuk Menunjang Pelaksanaan Kurikulum
Berbasis Kompetensi Di SMPN 1 Sidoarjo. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Surabaya: Unesa.
Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo.
Hudojo, H. 1988. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Malang: Usaha Nasional.

Ibrahim, Muslimin dan Nur, M. 2000. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:


Universitas Negeri Surabaya.
Johnson. 2004. Sains Kimia SMP Untuk Kelas VII . Bandung:
Erlangga. Lutfi. 2004. Sains Kimia SMP Untuk Kelas VII. Jakarta: Esis.
Marnijanto, Bambang. 1999. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini. Surabaya:
Terbit Terang.
Muid, Fatimah. 2004. Sains Inspirasi Untuk Kelas 1 SMP. Jakarta: Ganeca Exact.
Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya
Bandung.
Muslich, Masnur. 1994. Dasar-dasar Pemahaman Kurikulum 1994. Malang: YA3
Malang.
Nasution, MA. 1995. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta:
Bumi Aksara.
Ratnawati, Venty. 2004. Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Untuk
Melatihkan Keterampilan Proses Pada Pokok Bahasan Laju Reaksi Dan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya Di SMUN 3 Bojonegoro. Skripsi. Tidak
dipublikasikan. Surabaya: Unesa.
Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Slameto. 1995. Belajar Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: P.T.
Rineka Cipta.
Sudjana, N. 1989. Cara Belajar Siswa Aktif Dalam Proses Belajara Mengajar.
Bandung: Sinar Bandung.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Surapranata, Sumarna. 2004. Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum
2004. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya Offset.
Suyono dan Amaria. 1993. Laporan Penelitian Naskah Kuliah Kimia Dasar Untuk
Pokok Bahasan Struktur Molekul. Surabaya: Pusat Penelitian IKIP Surabaya.
Tim Pelatih Proyek PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (classroom Action
Research). Jakarta: Depdikbud.
Tim Penyusun. 2006. Panduan Penulisan Skripsi dan Penilaian Skripsi. Surabaya:
Unesa.
Tim Penyusun Buku Pedoman Buku Ajar Siswa. 1987. Buku Pedoman Penulisan Buku
Ajar. Surabaya: University Press IKIP.
Widjayanti, Herni. 2005. Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Dengan Tatanan Kooperatif Untuk Mengatasi Kesulitan Siswa Dalam
Pembelajaran Pokok Bahasan Pencemaran Lingkungan Di SMA Luqman Al
Hakim Surabaya. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Unesa.

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH


PADA MATERI POKOK REDOKS DAN ELEKTROKIMIA
Abrinda Oktaviana, Suyono
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui keberhasilan implementasi model pembelajaran
berdasarkan masalah pada materi pokok reaksi redoks dan elektrokimia. Keberhasilan
implementasi itu dinilai dari: (1) keterlaksanaan sintak pembelajaran, (2) aktivitas siswa
dalam kelompok, (3) ketuntasan keterampilan berpikir, (4) kesejalanan keterampilan
berpikir akademis umum dan kimia, dan 5) tipe-tipe perubahan individual dalam
keterampilan berpikir akademis sebelum dan sesudah implementasi model PBL pada
materi pokok redoks dan elektrokimia.
Keterlaksanaan sintak pembelajaran dinilai oleh 2 orang pengamat menggunakan format
keterlaksanaan sintak pembelajaran. Aktivitas siswa dinilai dengan menggunakan
format pengamatan aktivitas siswa dalam kelompok. Ketuntasan keterampilan berpikir
diukur menggunakan tes hasil belajar kimia. Kesejalanan keterampilan berpikir
akademis umum dan kimia diukur dan tipe-tipe perubahan individual dalam
keterampilan berpikir akademis sebelum dan sesudah implementasi model PBL pada
materi pokok redoks dan elektrokimia menggunakan tes keterampilan umum dan tes
hasil belajar kimia.
Hasil penelitian dari implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah
menunjukkan bahwa: 1) sintak pembelajaran telah dilaksanakan oleh guru sesuai
dengan skenario pembelajaran, 2) aktivitas siswa dalam kelompok memiliki frekuensi
yang lebih besar dibandingkan aktivitas-aktivitas yang tidak relevan dengan kegiatan
belajar, 3) ketuntasan keterampilan berpikir di lihat dari skor hasil belajar kimia
sebanyak 37 siswa telah tuntas secara individual. Jika dilihat secara klasikal mencapai
92,5% jadi sudah mencapai taraf ketuntasan sebesar 75%, 4) keterampilan berpikir
akademis umum menunjukkan fluktuasi sejalan dengan fluktuasi kuantitas skor setiap
komponen berpikir pada materi kimia, dan 5) individu yang tuntas dalam keterampilan
berpikir akademis sebelum dan sesudah model PBL sebesar 60%, yang tidak tuntas
sebelum model PBL tetapi tuntas sesudah model PBL sebesar 32,5%, yang tidak tuntas
sebelum dan sesudah model PBL sebesar 5%, yang tuntas sebelum model PBL tetapi
tidak tuntas sesudah model PBL sebesar 2,5%.
Kata kunci: Pembelajaran berdasarkan masalah, redoks dan elektrokimia,
siswa

aktivitas

PENDAHULUAN
Salah satu standar kompetensi (SK) pada bidang kimia yang harus dicapai siswa
SMA adalah menerapkan konsep reaksi redoks dan elektrokimia dalam teknologi dan
kehidupan sehari-hari. Salah satu kompetensi dasar (KD) untuk SK itu adalah
menerapkan konsep reaksi redoks dalam sistem elektrokimia dalam mencegah korosi.
Penyepuhan (elektroplating) adalah salah satu proses pencegahan korosi yang
menerapkan konsep reaksi redoks.

Seperti diketahui ilmu kimia memiliki tiga karakteristik, yaitu: ontologi (apa
yang dikaji atau objek ilmu kimia), epistemologi (cara memperoleh), dan aksiologi
(kegunaannya). Penyampaian mata pelajaran kimia tidak boleh lepas dari pertanyaan
apa, mengapa, dan bagaimana. P embelajaran kimia berkaitan dengan dua hal yang
tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (fakta, konsep, prinsip, hukum, dan
teori) dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Pendekatan induktif dalam bentuk proses
inkuiri ilmiah pada tataran inkuiri terbuka merupakan satu pilihan dalam pembelajaran
kimia. Melalui proses inkuiri ilmiah dapat ditumbuhkan pada siswa kemampuan
berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek
penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran kimia menekankan pada
pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan
keterampilan proses dan sikap ilmiah (Permendiknas No. 22 Tahun 2006).
Bagaimana keterampilan proses siswa, khususnya di SMAN 4 Sidoarjo? Untuk
mengetahui kemampuan itu dilakukan tes keterampilan proses yang dikembangkan oleh
Nur. Hasil tes memberi simpulan bahwa terdapat tujuh komponen keterampilan proses
yang belum dikuasai siswa dalam jumlah yang diharapkan (75%). Jumlah siswa yang
mencapai ketuntasan untuk masing-masing komponen adalah sebagai berikut:
pemahaman metode ilmiah sebesar 27,5% (dari 40 siswa yang menjawab benar hanya
11 orang); pemahaman variabel sebesar 17,5% (dari 40 siswa yang menjawab benar
hanya 7 orang); pemahaman eksperimen sebesar 10% (dari 40 siswa yang menjawab
benar hanya 4 orang); pemahaman variabel respon yang sebesar 12,5% (dari 40 siswa
menjawab benar hanya 5 orang); pemahaman variabel kontrol sebesar 7,5% (dari 40
siswa menjawab benar hanya 3 orang); pemahaman variabel manipulasi sebesar 17,5%
(dari 40 siswa menjawab benar hanya 7 orang). Secara umum siswa dinyatakan gagal
dalam keterampilan proses.
Kegagalan itu adalah sebuah masalah yang harus segera diatasi. Untuk
memecahkan problematika itu dapat dilakukan melalui proses pembelajaran atau
pemilihan model pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang tepat
untuk melatih keterampilan proses berpikir (minds on) adalah model pembelajaran
berdasarkan masalah (Problem Based Learning, PBL). PBL adalah rangkaian fase-fase
(sintaks) yang diawali dengan menghadapkan siswa ke dalam situasi masalah yang
autentik dan bermakna yang memancing siswa untuk melakukan penyelidikan dan
inquiri (Ibrahim dan Nur, 2005). Sintaks dari PBL adalah sebagai berikut: (1) orientasi
siswa kepada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing
penyelidikan individual maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil
karya, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Ibrahim dan Nur,
2005).
Penelitian tentang implementasi model PBL telah dilakukan peneliti-peneliti
terdahulu, tetapi belum memberikan analisis secara spesifik kepada ketuntasan
komponen-komponen dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi (keterampilan proses).
METODE PENELITIAN
1. Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA 2 SMA Negeri 4
Sidoarjo, karena kelas XII IPA 2 adalah kelas yang kurang aktif dibanding
kelas-kelas yang lain.
2. Rancangan Penelitian

Penelitian ini mengikuti rancangan penelitian One Group Pretest Postest


Design. Sebelum pembelajaran siswa dikenai suatu pretes dan pada akhir
pembelajaran siswa dikenai postes.
3. Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian
a. Keterlaksanaan Sintak Pembelajaran. Analisis penilaian pengamat dalam bentuk
pilihan yaitu: terlaksana dan tidak terlaksananya fase pembelajaran dalam
implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah dilakukan secara
deskriptif.
b. Persentase Aktivitas Siswa di dalam Kelompok. Penilaian dilakukan dengan
mengamati kelas tiap kali tatap muka. Pengamatan dilakukan oleh dua pengamat
yang sudah dilatih sehingga dapat mengisi lembar pengamatan secara benar.
Berdasarkan rata-rata penilaian dari dua pengamat untuk tiap kategori yang
diamati, untuk tiap rencana pelaksanaan pembelajaran kemudian ditentukan
persentasenya (P).
c. Ketuntasan Komponen Keterampilan Berpikir. Untuk mendapatkan data tentang
pengaruh implementasi model PBL sebagai upaya untuk mencapai ketuntasan
komponen keterampilan berpikir akademis, digunakan rumus ketuntasan
klasikal. Kriteria tuntas tercapai bila penerapan rumus ketuntasan klasikal
menghasilkan nilai 75%.
d. Persentase ketuntasan individual dihitung dengan membagi jumlah komponen
yang tuntas dengan jumlah seluruh komponen dikali 100%. Siswa secara
individu dikatakan tuntas bila penerapan rumus ini menghasilkan nilai 70%.
e. Kesejalanan antara ketuntasan keterampilan proses materi umum dan ketuntasan
keterampilan proses kimia materi redoks dan elektrokimia. Rumus yang
digunakan sama dengan pada butir c dan d.
f. Ketuntasan dalam keterampilan akademis (keterampilan proses pada materi
redoks dan elektrokimia) baik sebelum dan sesudah implementasi PBL dihitung
dengan rumus ketuntasan pada umumnya. Individu yang diperhitungkan dalam
rumus ini adalah yang tidak tuntas sebelum implementasi PBL tetapi tuntas
setelah implementasi PBL. Implementasi PBL dikatakan berhasil bila nilai
ketuntasan ini mencapai angka 70%.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Keterlaksanaan Sintak Pembelajaran
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa mayoritas pengamat mengatakan bahwa
guru telah taat melaksanakan sintak-sintak pembelajaran model pembelajaran
berdasarkan masalah yang diterapkan dengan alokasi yang tidak terpaut jauh dari waktu
yang direncanakan. Pada tahap pendahuluan terdapat aspek memotivasi siswa,
menyampaikan indikator hasil belajar. Pada aspek memotivasi siswa dalam tatap muka
I, II, III diterapkan dengan alokasi waktu yang tidak terpaut jauh dari waktu yang
direncanakan. Menurut Maslow (1970 dalam Mulyasa, 2002) bahwa topik dan tujuan
pembelajaran (indikator hasil belajar) yang disusun dan disampaikan dengan jelas
kepada siswa mampu meningkatkan motivasi belajarnya. Selain itu guru memotivasi
siswa dengan menggunakan motivator realistik. Ketaatan dalam menjalankan sintaksintak pembelajaran merupakan bukti empiris bahwa rencana pembelajaran yang dibuat
telah memenuhi skenario model pembelajaran berdasarkan masalah.

Pada tahap kegiatan inti terdapat aspek mengorganisasikan siswa untuk belajar,
membimbing penyelidikan kelompok, dan menyajikan hasil penyelidikan. Pada tahap
kegiatan inti dalam tatap muka I, II, III diterapkan dengan alokasi waktu yang tidak
terpaut jauh dari waktu yang direncanakan.
Dalam pengamatan keterlaksanaan sintak, tinjauan tidak hanya sampai pada
kriteria terlaksana atau tidak terlaksana. Ketika sebuah sintak dinilai terlaksana masih
terdapat kajian lebih lanjut, yaitu dari dimensi waktu. Dengan memperhatikan catatan
waktu pelaksanaan sintak-sintak dalam model pembelajaran yang diterapkan masih
terdapat ketidaksesuaian dengan alokasi waktu yang direncanakan. Namun sebenarnya
di dalam pembelajaran kompetensi waktu bukan menjadi penghambat karena
orientasinya kinerja.
Untuk penyempurnaan rencana pembelajaran pada implementasi masa yang
akan datang, maka tidak menutup peluang untuk dilakukan koreksi terhadap koreksikoreksi waktu yang didasarkan kepada data lapangan.
2. Aktivitas Siswa dalam Kelompok
Implementasi model PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia dapat
menumbuhkan aktivitas belajar siswa. Siswa disibukkan oleh aktivitas-aktivitas seperti:
membaca (mencari informasi), mendiskusikan tugas dengan partisipasi seluruh anggota,
mendiskusikan prosedur kerja, melakukan pengamatan atau percobaan, dan
memperhatikan presentasi siswa lain. Aktivitas-aktivitas itu memiliki frekuensi yang
cenderung lebih besar dibandingkan aktivitas-aktivitas yang tidak relevan dengan
kegiatan belajar. Gambaran seperti ini terjadi baik pada tatap muka I, II, maupun III.
Frekuensi unsur-unsur aktivitas positif cenderung meningkat sejalan dengan
urutan pelaksanaan RPP. Hal itu dapat diberikan makna bahwa implementasi model
PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia benar-benar memberi pembiasaan dan
peningkatan kepada siswa untuk belajar secara positif. Fenomena ini sejalan dengan apa
yang dikemukan oleh Ibrahim dan Nur (2004), bahwa pembelajaran menggunakan
model PBL dapat menumbuhkan aktivitas belajar siswa, baik secara kelompok maupun
individu.
Aktivitas siswa melakukan pengamatan/percobaan cenderung lebih tinggi baik
pada tatap muka I, II, maupun III. Temuan empiris itu sesuai dengan pernyataan
Ibrahim dan Nur (2004) bahwa model PBL adalah seperangkat prosedur yang
menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat
memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
Melakukan pengamatan atau melakukan percobaan adalah inti dari kegiatan
penyelidikan.
3. Ketuntasan Setiap Komponen Berpikir
Menurut Ibrahim dan Nur (2004), model PBL mengharuskan siswa melakukan
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Siswa
harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan
membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan percobaan,
membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Jumlah siswa mencapai ketuntasan
dalam keterampilan berpikir akademis adalah 37 siswa dari total 40 siswa, sedangkan
sisanya 3 siswa dinyatakan tidak tutas.
Hasil menunjukkan bahwa seluruh komponen keterampilan berpikir selama
implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah dalam kategori tuntas baik

komponen 1 sampai 10. Dengan demikian dapat dituliskan bahwa implementasi model
pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok Redoks dan Elektrokimia dapat
membantu siswa mencapai ketuntasan berpikir tingkat tinggi. Artinya, implementasi
model pembelajaran berdasarkan masalah dapat memperbaiki kesulitan siswa dalam
mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Penilaian keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam penelitian ini adalah
penilaian keterampilan siswa dalam setiap komponen berpikir tingkat tinggi saat
melakukan kegiatan eksperimen. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa siswa
yang tuntas secara individual melakukan kinerja eksperimen adalah 37 siswa. Dilihat
secara klasikal jumlah anak tuntas dalam kelas mencapai 92,5% sudah melewati batas
ketuntasan yang diterapkan 75%. Hal ini dapat dilihat dari skor total yang diperoleh
siswa.
Implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok
reaksi redoks dan elektrokimia dapat menghantarkan siswa mencapai ketuntasan
keterampilan berpikir tingkat tinggi baik ditinjau secara individual maupun klasikal.
4. Kesamaan antara Ketuntasan Klasikal pada Setiap Komponen
Keterampilan Berpikir
Keterampilan akademis (academic skills), sebagai salah satu kelas dari
keterampilan berpikir tingkat tinggi harus menjadi bagian integral dari pembelajaran
kimia, termasuk pada pembelajaran materi pokok Redoks dan Elektrokimia. Telah
dilakukan pengukuran atas keterampilan akademis itu pada saat sebelum pembelajaran
dan setelah pembelajaran menggunakan model PBL. Pertanyaan yang akan diberikan
pembahasannya saat ini adalah apakah terdapat kesamaan profil dari komponenkomponen keterampilan akademis itu sebelum dan sesudah pembelajaran dengan model
PBL.
Profil keterampilan berpikir akademis kelas (klasikal) pada materi umum
memiliki pola yang sama dengan keterampilan berpikir akademis pada materi kimia.
Fluktuasi kuantitas skor setiap komponen keterampilan berpikir pada materi umum
sejalan dengan fluktuasi kuantitas skor setiap komponen berpikir pada materi kimia. Hal
itu mencerminkan bahwa kelas siswa memiliki kesejalanan berpikir yang sama ketika
dihadapkan kepada materi umum maupun kepada materi kimia. Fenomena ini dapat
dimaknai bahwa pola berpikir akademis yang tergambar dari siswa dalam sebuah
ukuran kelas memiliki sifat ajeg.
Skor klasikal setiap komponen keterampilan berpikir pada materi umum lebih
rendah dibanding pada materi kimia. Seperti diketahui keterampilan berpikir pada
materi umum diukur sebelum siswa dilibatkan dalam pembelajaran PBL, sedangkan
keterampilan berpikir pada materi kimia diukur sesudah siswa dilibatkan dalam
pembelajaran PBL. Ini memberi petunjuk bahwa pelibatan siswa ke dalam fase-fase
dalam sintaks PBL memberi dampak akumulasi yang positif kepada keberhasilan kelas.
Kemampuan kelas dalam mengidentifikasi masalah tidak selalu memiliki
kesetaraan dengan kemampuan merumuskan hipotesis. Demikian pula dengan
komponen-komponen keterampilan berpikir yang lain. Walau keterampilan
mengidentifikasi masalah dan keterampilan merumuskan hipotesis keduanya sama-sama
dalam kelompok academic skill, namun kompleksitas masing-masing keterampilan
berpikir saling berbeda. Keterampilan merumuskan hipotesis sedikit lebih sulit
dibanding mengidentifikasi masalah, karena untuk dapat merumuskan hipotesis dengan

benar setiap orang harus memahami betul tentang variabel-variabel yang akan dirangkai
menjadi rumusan hipotesis.
Jika diperhatikan profil keterampilan berpikir kelas, nampak bahwa
keterampilan merancang percobaan dan membuat simpulan atas hasil percobaannya
menduduki posisi paling tinggi dibanding keterampilan-keterampilan berpikir yang lain.
Ini memberi arti bahwa kelas lebih memperoleh kemudahan apabila dilibatkan kepada
keterampilan yang mengandung aktivitas-aktivitas yang disertai kebendaan (melibatkan
alat-alat dan bahan) dan membuat simpulan atas rancangan yang dibuat. Proses
penyepuhan adalah materi pembelajaran autentik dan kontekstual dari materi pokok
Redoks dan Elektrokimia yang melibatkan aktivitas siswa yang disertai penggunaan alat
dan bahan yang membantu proses berpikir siswa penyimpulan.
5. Kesamaan antara Ketuntasan Individual pada Setiap Komponen
Keterampilan Berpikir
Terdapat empat tipe individu ditinjau dari ketuntasannya dalam keterampilan
berpikir akademis pada materi umum dan pada materi kimia, yaitu: (a) Individuindividu yang tuntas dalam keterampilan berpikir akademis baik sebelum maupun
sesudah pembelajaran dengan model PBL (60%). Persentase terbesar ini dapat dijadikan
cerminan bahwa terjadi kesejalanan antara keterampilan berpikir akademis siswa pada
materi umum dan pada materi kimia; (b) Individu-individu yang tidak tuntas dalam
keterampilan berpikir akademis sebelum pembelajaran dengan model PBL, tetapi
menjadi tuntas (mengalami kemajuan) sesudah pembelajaran dengan model PBL
(32,5%); (c) Individu-individu yang tidak tuntas dalam keterampilan berpikir akademis
baik sebelum maupun sesudah pembelajaran dengan model PBL (5%); dan (d) Individuindividu yang tuntas dalam keterampilan berpikir akademis sebelum pembelajaran
dengan model PBL, tetapi justru tidak tuntas sesudah pembelajaran dengan model PBL
(2,5%).
Jika keberhasilan implementasi direpresentasi oleh individu-individu tipe a dan
tipe b, maka implementasi model pembelajaran pada materi pokok redoks dan
elektrokimia berhasil menghantarkan individu-individu sebanyak 92,5% mencapai
ketuntasan belajarnya. Yang lebih berarti adalah implementasi model PBL itu mampu
mengentaskan 32,5% individu yang tidak tuntas dalam keterampilan berpikir
akademisnya.
Persentase siswa yang berhasil menggunakan academic skills nya sebelum
pembelajaran menggunakan PBL (60%) mengalami kenaikan menjadi 92,5%. Seperti
halnya dengan fenomena yang terjadi secara klasikal, bahwa keterampilan akademis
siswa secara individual dapat diperbaiki melalui pembelajaran kimia materi pokok
Redoks dan Elektrokimia menggunakan model PBL. Hal ini dapat dimaknai bahwa
implementasi model pembelajaran PBL memberi kesempatan kepada siswa untuk
melatih academic skills nya. Melalui implementasi model PBL pada materi penyepuhan,
setiap siswa dihadapkan kepada situasi pembelajaran yang autentik dan bermakna yang
memberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri, sehingga memberi
kemudahan kepada setiap individu untuk mengembangkan keterampilan berpikirnya.
Menurut Sudjana (1991), kualitas belajar yang dicapai siswa dapat dilihat dari
aspek: (1) Perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku siswa (kompetensi) setelah
menyelesaikan pengalaman belajarnya; (2) Kuantitas dan kualitas penguasaan tujuan
belajar; dan (3) Jumlah siswa yang mencapai minimal 75% dari keseluruhan tujuan

pembelajaran. Jika lima point resume di atas dikaitkan dengan pendapat Sudjana itu,
maka dapat diberikan jawaban atas pertanyaan umum dari penelitian ini, bahwa
implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok redoks dan
elektrokimia telah menghantarkan siswa mencapai tujuan belajar tingkat tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan, dapat dituliskan
simpulan penelitian sebagai berikut:
1. Fase-fase dalam sintaks PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia
dapat dilaksanakan sesuai dengan RPP yang telah dipersiapkan sebelumnya.
2. Implementasi model PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia dapat
menumbuhkan aktivitas belajar siswa. Aktivitas-aktivitas belajar memiliki
frekuensi yang lebih besar dibandingkan aktivitas-aktivitas yang tidak
relevan dengan kegiatan belajar. Fenomena itu terjadi baik pada tatap muka
I, II, maupun III. Frekuensi unsur-unsur aktivitas belajar yang positif
cenderung meningkat sejalan dengan urutan pelaksanaan RPP.
3. Implementasi model PBL pada pembelajaran materi pokok redoks dan
elektrokimia berhasil menghantarkan siswa mencapai ketuntasan belajar.
Implementasi model pembelajaran pada materi pokok redoks dan
elektrokimia berhasil menghantarkan individu-individu sebanyak 92,5%
mencapai ketuntasan belajarnya. Yang lebih berarti adalah implementasi
model PBL itu mampu mengentaskan 32,5% individu yang tidak tuntas
dalam keterampilan berpikir akademisnya menjadi tuntas.
4. Pelibatan siswa ke dalam fase-fase dalam sintaks PBL memberi dampak
akumulasi yang positif kepada keberhasilan kelas. Siswa dalam kelas lebih
memperoleh kemudahan apabila dilibatkan kepada keterampilan
yang mengandung aktivitas -aktivitas yang disertai kebendaan (melibatkan
alat-alat dan bahan) melalui pembelajaran redoks dan elektrokimia yang
autentik dan kontekstual.
5. Seperti halnya dengan fenomena yang terjadi secara klasikal, bahwa
keterampilan akademis siswa secara individual dapat diperbaiki melalui
pembelajaran kimia materi pokok Redoks dan Elektrokimia menggunakan
model PBL.
6. Dari lima simpulan di atas dapat dibuat simpulan umum bahwa
implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok
redoks dan elektrokimia telah menghantarkan siswa mencapai tujuan belajar
tingkat tinggi.
Saran
Dari hasil analisis dan pembahasan di samping ditemukannya dampak positif
dari implementasi model PBL pada pembelajaran materi pokok redoks dan
elektrokimia, masih ditemukan 2 siswa yang tetap tidak tuntas walau telah dilibatkan
dalam pembelajaran itu dan masih ditemukan 1 siswa yang justru berubah dari tuntas
menjadi tidak tuntas setelah dilibatkan dalam model PBL. Walau fenomena ini tidak
signifikan kiranya masih perlu mendapat perhatian.

Berdasar kepada simpulan-simpulan yang telah dibuat dan temuan-temuan


sebagaimana disebut pada alinea di atas, peneliti mengajukan saran atau rekomendasi
sebagai berikut:
1. Para guru dapat menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah
untuk mengajarkan materi pokok redoks dan elektrokimia.
2. Perlu dilakukan penelitian yang mencoba mengimplementasikan model
pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok yang lain yang
mempunyai spesifikasi seperti materi pokok redoks dan elektrokimia.
3. Perlu dilakukan kajian secara mendalam terhadap kasus-kasus siswa yang
tidak memperoleh dampak positif dari implementasi model pembelajaran
berdasarkan masalah.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2003. Pedoman Khusus Pengembangan Silabus Berbasis Kompetensi Siswa
Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas.
Djamarah, S. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Gafur, Abd. 1984. Disain Instruksional. Solo: Tiga Serangkai.
Ibrahim, M dan Muhammad Nur. 2005. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya:
University Press.
Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep Karakteristik dan
Implementasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Nur, Muhammad dan Wikandari. 2004. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa Dan
Pendekatan Konstruktivis. Surabaya: PSMS Universitas Negeri Surabaya.
Slamet. 2005. Pendidikan Berbasis Kompetensi. Makalah yang disampaikan pada acara
Persiapan Monitoring dan Evaluasi Sekolah Standar Nasional. Jakarta.
Sudjana, Nana. 1991. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sudjana. 1982. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Suyono. 2004. Perangkat Pembelajaran. Makalah yang disampaikan pada acara TOT
guru Sains SD se Jawa Timur Kanwil P dan K Provinsi Jawa Timur.
Universitas Negeri Surabaya. 2005. Panduan Penulisan Skripsi & Penilaian Skripsi.
Surabaya: Unesa University Press.
Widjayanti, Herni. Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah dengan
Tatanan Koopertif untuk Mengatasi Kesulitan Siswa Dalam Pembelajaran Pokok
Bahasan Pencemaran Lingkungan Di SMA Luqman Al Hakim Surabaya. Skripsi
(tidak dipublikasikan). Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.

PENGEMBANGAN MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER PADA


MATERI POKOK UNSUR, SENYAWA DAN CAMPURAN
Danang Trisaksono, Sukarmin
Abstrak
Telah dilakukan penelitian pengembangan untuk mengetahui kelayakan media
interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa
dan campuran. Kelayakan media ditinjau dari respon guru terhadap kesesuaian materi
yang diajarkan dengan media, kejelasan dalam menyajikan konsep, tampilan gambar,
animasi sebagai ilustrasi dalam media dan respon siswa terhadap tampilan media,
kemudahan pengoperasian media, ketertarikan terhadap media, kemudahan dalam
memahami materi pelajaran yang didukung dari hasil belajar siswa setelah
menggunakan media. Sasaran dari penelitian ini adalah media interaktif berbasis
komputer pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dengan responden guru
sains dan siswa. Penelitian ini mengacu pada model 4-D (four- D models) dan
hanya dibatasi pada tiga tahap, yaitu: 1) tahap pendefinisian (define) yang
terdiri dari analisis siswa, analisis tugas, analisis konsep, dan spesifikasi tujuan
pembelajaran; 2) tahap perencanaan (design) yang terdiri dari penyusunan naskah
dan desain awal media komputer; 3) tahap pengembangan (develop) yang terdiri dari
telaah oleh dosen dan guru serta uji coba terbatas kepada tiga guru sains dan sepuluh
siswa SMP Negeri
2 Gedangan Sidoarjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media interaktif yang
dikembangkan layak digunakan dalam proses pembelajaran. Media interaktif yang
dikembangkan telah memenuhi indikator sebagai berikut: 1) respon guru sains
terhadap media dengan rata-rata penilaian sebesar 90%; 2) respon siswa terhadap
media dengan rata-rata penilaian sebesar 81,62%.
Kata Kunci: Kelayakan media, Media interaktif berbasis komputer, Unsur, senyawa
dan campuran.
Pendahuluan
Seiring semakin canggihnya dunia teknologi mikroelektronika, peran komputer
dalam dunia pendidikan tidak dapat diabaikan begitu saja. Komputer diharapkan tidak
hanya digunakan sebagai sekedar alat mempresentasikan materi pelajaran karena proses
belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan bukan proses menghafal
pengetahuan. Dengan perangkat lunak suatu informasi atau materi dapat dibuat
seinteraktif mungkin sehingga siswa dapat menjadi aktif bermain-main dengan
informasi. Hal lain yang menarik lagi adalah perangkat lunak untuk pembelajaran dapat
disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing siswa. Hal ini
memungkinkan siswa untuk berkembang sesuai dengan keadaan dan latar belakang
kemampuan yang dimiliki (Suntoro, 2001).
Kurikulum sains disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan sains
secara rasional. Diharapkan pendidikan sains ini dapat menjadi wahana bagi siswa
untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar. Salah satu ilmu yang dipelajari dalam
pendidikan sains adalah ilmu kimia. Ilmu kimia merupakan salah satu cabang Ilmu

130

Pengetahuan Alam (IPA) yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Pada
hakekatnya ilmu ini mempelajari tentang materi dan energi yang menyertainya.
Unsur, senyawa dan campuran merupakan salah satu materi pokok ilmu kimia
yang ada di dalam pendidikan sains. Kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam materi
pokok ini adalah siswa dapat membedakan sifat unsur, senyawa dan campuran.
Pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam mempelajari materi pokok ini
adalah lebih mengenalkan siswa pada lingkungan sekitar. Media yang berisikan teori
yang diselingi dengan contoh-contoh yang mampu divisualkan diharapkan mampu
membantu siswa dalam memahami materi, mengingat siswa masih berada dalam masa
transisi dari tahap konkrit ke formal (teori perkembangan kognitif).
Pengajar tidak hanya perlu secara terus menerus memperbaruhi penguasaan
materi yang akan diajarkan tapi juga dituntut untuk mampu menyampaikan materi.
Pengajar juga dituntut untuk memiliki
kemampuan dan keterampilan dalam
memanfaatkan fasilitas yang tersedia yang tidak menutup kemungkinan fasilitasfasilitas tersebut sesuai dengan perkembangan jaman.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mencoba merumuskan permasalahan
sebagai berikut: 1) bagaimanakah kelayakan media interaktif berbasis komputer yang
dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon
guru, 2) bagaimanakah kelayakan media interaktif berbasis komputer yang
dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon
siswa.
Sasaran Penelitian
Sasaran dari penelitian ini adalah media interaktif berbasis komputer pada materi
pokok unsur, senyawa dan campuran yang dikemas dalam bentuk uraian materi dan
latihan soal-soal, sedangkan yang bertindak sebagai responden adalah tiga guru sains
dan sepuluh siswa SMPN 2 Gedangan Sidoarjo.
Rancangan Penelitian
Media pembelajaran dengan materi pokok unsur, senyawa dan campuran ini
diujicobakan secara terbatas pada satu kelompok kecil. Penelitian pengembangan ini
mengadaptasi pada model pengembangan perangkat pembelajaran menurut Thiagarajan,
S.Semmel,P.P, dan Semmel, M.I (dalam Ibrahim, M, 2001) yaitu model 4-D. Model ini
terdiri dari 4 tahap pengembangan yaitu Define (pendefinisian), Design (desain),
Develop (pengembangan), Disseminate (diseminasi).

131

Analisis Siswa
Analisis Tugas

Analisis Konsep

Define

Perumusan Tujuan pembelajaran


Penyusunan Naskah
Design
Desain Awal Media Komputer
Telaah Media Komputer (Ahli Media)
Analisis Hasil Telaah I
Revisi I
Telaah Media Komputer (Guru sains)
Analisis Hasil Telaah II

Develop

Revisi II

Validasi (Guru sains)

Uji coba terbatas (siswa)

Analisis Hasil Validasi dan Uji coba Terbatas


Laporan
DIAGRAM MODEL 4-D (IBRAHIM, M, 2001)

132

1. Tahap pendefinisian (Define)


Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat
pembelajaran. Tahap ini dilakukan analisis tujuan dari materi pokok yang akan
dikembangkan perangkatnya, ada 4 tahap yaitu analisis siswa, analisis tugas,
analisis konsep, dan perumusan tujuan pembelajaran.
a. Analisis siswa
Analisis ini dilakukan dengan memperlihatkan ciri, kemampuan, dan
pengalaman siswa. Analisis ini meliputi karakteristik siswa antara lain:
kemampuan akademik, usia, keterampilan psikomotor, dan sebagainya.
b. Analisis tugas
Analisis ini dilakukan dengan me-rinci isi mata pelajaran dari media
yang akan dikembangkan dalam bentuk garis besar. Analisis ini mencakup
struktur isi.
c. Analisis konsep
Dalam tahap ini dilakukan pengidentifikasian konsep-konsep utama
yang akan diajarkan. Hasil analisis konsep ini berupa peta konsep.
d. Perumusan tujuan pembelajaran
Dalam tahap ini dilakukan pengkonversian hasil analisis tugas dan
analisis konsep menjadi tujuan pembelajaran khusus. Tujuan ini selanjutnya
menjadi dasar dalam penyusunan media.
2. Tahap desain (Design)
Pada tahap ini dilakukan perancangan media pembelajaran. menyusun
naskah dan mendesain media pembelajaran yang bersifat interaktif. Langkahlangkah yang dilakukan adalah:
a. Menyusun naskah yang akan disajikan ke dalam media interaktif berbasis
komputer.
b. Memasukkan naskah yang berupa materi pokok dan soal-soal evaluasi ke dalam
media berbasis komputer dengan menggunakan perangkat lunak macromedia
flash MX 2004.
3. Tahap pengembangan (Develop)
Tahap pengembangan ini bertujuan untuk menghasilkan media pembelajaran
yang sudah direvisi berdasarkan masukan dari ahli media dan guru. Tahap ini
meliputi:
a. Telaah media komputer (oleh ahli media)
Media yang sudah rancang kemudian ditelaah oleh ahli media. Data hasil
telaah media digunakan untuk mendapatkan saran dan masukan dari ahli media.
b. Analisis dan revisi I
Analisis dan revisi dilakukan sesuai dengan saran dan masukan dari
penelaah I.
c. Telaah media komputer (oleh guru sains)
Media yang sudah mendapatkan revisi dari penelaah I kemudian ditelaah
lagi oleh guru sains sains SMPN 1 Jogoroto Jombang. Data hasil telaah media
digunakan untuk mendapatkan saran dan masukan dari guru sains.
d. Analisis dan revisi II
Analisis dan revisi dilakukan sesuai dengan saran dan masukan dari
penelaah II.
e. Validasi media (oleh guru) dan Uji coba terbatas (oleh siswa)

Media yang telah mendapatkan revisi dari penelaah II kemudian divalidasi


oleh tiga guru sains dan diujicobakan pada kelompok kecil yang terdiri dari
sepuluh siswa. Tiga guru sains dan sepuluh siswa berasal dari SMPN 2
Gedangan Sidoarjo.
f. Analisis hasil validasi, uji coba terbatas dan laporan
Data hasil validasi dan uji coba kemudian dianalisis dan diperoleh hasil
kelayakan media.
Pencapaian Kelayakan Media Interaktif Berbasis Komputer
Indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui kelayakan media berbasis
komputer pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran antara lain:
1. Respon guru sains terhadap kesesuaian materi yang diajarkan dengan media,
kejelasan dalam menyajikan konsep, tampilan gambar dan animasi sebagai ilustrasi
dalam media. Media dikatakan layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran
jika rata-rata penilaian guru sains terhadap media sebesar > 61% (Riduwan, 2005).
2. Respon siswa terhadap tampilan media, kemudahan dalam pengoperasian media dan
ketertarikan terhadap media (didukung oleh aktivitas siswa yang positif selama
menggunakan media), kemudahan dalam memahami materi pembelajaran yang ada
dalam media (didukung oleh hasil belajar siswa dengan menggunakan media).
Media dikatakan layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran jika rata-rata
penilaian siswa terhadap media sebesar > 61% (Riduwan, 2005).
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dari uraian latar belakang diatas ada dua rumusan masalah, yaitu: 1)
bagaimanakah kelayakan media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada
materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon guru, 2) bagaimanakah
kelayakan media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi pokok
unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon siswa.
Uji Coba terbatas terhadap media komputer dengan materi pokok unsur,
senyawa dan campuran dilakukan kepada sepuluh siswa SMPN 2 Gedangan Sidoarjo.
Uji coba dilaksanakan di luar jam sekolah pada tanggal 11 November 2006 di
laboratorium komputer SMPN 2 Gedangan Sidoarjo sedangkan untuk validasi media
oleh guru sains dilaksanakan pada jam istirahat. Uji coba dilakukan selama + 1,5 jam.
Tahap-tahap yang dilakukan dalam uji coba adalah sebagai berikut:
1. Siswa mengerjakan soal sebagai pretest. Pretest dilakukan selama + 15 menit.
2. Siswa belajar dengan menggunakan media interaktif berbasis komputer. Tahap ini
siswa diberi waktu selama + 1 jam dan selama siswa belajar dengan menggunakan
media dilakukan pengamatan oleh observer.
3. Siswa mengerjakan soal sebagai postest. Postest dilakukan selama + 15 menit.
4. Siswa mengisi angket respon siswa.
Laboratorium komputer SMPN 2 Gedangan Sidoarjo memiliki 20 unit komputer
dan 1 unit komputer digunakan sebagai server. Pengaturan letak dari 21 unit komputer
tersebut adalah berbentuk setengah lingkaran. Uji coba terbatas ini menggunakan 10
unit komputer yang berarti setiap 1 siswa menggunakan 1 unit komputer.
Analisis hasil validasi dan uji coba terbatas adalah sebagai berikut:
1. Respon guru sains terhadap media interaktif berbasis komputer

Tabel 1
DATA RESPON GURU SAINS TERHADAP MEDIA INTERAKTIF BERBASIS
KOMPUTER
VARIABEL
YANG DIUKUR

Kesesuaian
materi yang
diajarkan dengan
media

ASPEK PENILAIAN

Kesesuaian materi yang


terdapat pada media dengan
kompetensi dasar dan
indikator
Kesesuaian materi yang
terdapat pada media dengan
materi yang disampaikan oleh
guru
Kesesuaian soal yang terdapat
pada media dengan
kompetensi dasar dan
indikator
Kesesuaian dalam Kejelasan media dalam
menyajikan
menyajikan konsep materi
konsep
pelajaran
Sistematika penyajian materi
Tampilan gambar Kesesuaian tampilan gambar
dan video sebagai sebagai ilustrasi yang relevan
ilustrasi dalam
dengan materi
media
Kesesuaian tampilan animasi
sebagai ilustrasi yang relevan
dengan materi
Persentase rata-rata

PERSENTASE
SETIAP VARIABEL
ASPEK

93%

93%

93%

93%

87%

87%

87%
93%
90%
87%
90%

Analisis hasil penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:


a. Kesesuaian materi yang diajarkan dengan media
Respon guru sains terhadap media pada variabel ini sebesar 93%.
Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat
sekali, hal ini menunjukkan bahwa materi yang diajarkan dengan media sudah
sangat sesuai.
b. Kesesuaian dalam menyajikan konsep
Respon guru sains terhadap media pada variabel ini sebesar 87%.
Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat
sekali, hal ini menunjukkan bahwa konsep-konsep yang disajikan pada media
sudah sangat sesuai.
c. Tampilan gambar dan video sebagai ilustrasi dalam media
Respon guru sains terhadap media pada variabel ini sebesar 90%.
Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat
sekali, hal ini menunjukkan bahwa tampilan gambar dan video yang digunakan
sebagai ilustrasi dalam media sudah sangat baik.
Dari ketiga variabel di atas diperoleh nilai rata-rata sebesar 90%.
Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat

sekali. Hal ini menunjukkan bahwa media interaktif berbasis komputer yang
dibuat sudah sangat baik, yang berarti media tersebut layak untuk digunakan
sebagai media pembelajaran.
2. Respon siswa terhadap media interaktif berbasis komputer
Tabel 2
DATA RESPON SISWA TERHADAP MEDIA INTERAKTIF BERBASIS
KOMPUTER
VARIABEL YANG
DIUKUR

PERSENTASE
ASPEK PENILAIAN

Bagaimana menurut anda tentang


kemudahan dalam membaca teks
Bagaimana menurut anda tentang
tampilan background dalam
media
Tampilan media
Bagaimana menurut anda tentang
suara/musik yang mengiringi
Bagaimana menurut anda tentang
kesesuaian letak teks, gambar,
video
Kemudahan dalam Bagaimana menurut anda tentang
kemudahan dalam pengoperasian
mengoperasikan
media
media
Bagaimana menurut anda tentang
penggunaan media dalam
menunjang semangat belajar
materi unsur, senyawa dan
campuran
Ketertarikan
Bagaimana menurut anda tentang
terhadap media
adanya batasan waktu dan skor
pada soal evaluasi dalam
memotivasi untuk menjawab soal
dengan tepat dan cepat
Bagaimana menurut anda tentang
kesesuaian tampilan gambar
Kemudahan dalam dalam menunjang materi
memahami materi Bagaimana menurut anda tentang
yang
diajarkan kesesuaian tampilan video dalam
menunjang materi
dengan
menggunakan
Bagaimana menurut anda tentang
media
penggunaan media ini dalam
menunjang pemahaman materi
unsur, senyawa dan campuran
Persentase rata-rata

TIAP
ASPEK

VARIABEL

88%
84%
78.5%
62%
80%

78%

78%

86%
86%
86%

84%

84%

84%

84%
81.62%

Analisis hasil penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut:


a. Tampilan media
Respon siswa terhadap media pada variabel ini sebesar 78.5%.
Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat, hal
ini menunjukkan bahwa tampilan media sudah baik. Tampilan media yang baik
juga didukung dari aktivitas siswa yang positif selama menggunakan media
yaitu tidak ada siswa yang mengajukan pertanyaan karena kesulitan dalam
membaca teks yang terdapat dalam media.
b. Kemudahan dalam mengoperasikan media
Respon siswa terhadap media pada variabel ini sebesar 78%. Persentase
tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat, hal ini
menunjukkan bahwa pengoperasian media yang dibuat sudah baik. Kemudahan
dalam pengoperasian media juga didukung dari aktivitas siswa yang positif
selama menggunakan media yaitu sebagian besar siswa tidak kesulitan dalam
mengoperasikan media.
c. Ketertarikan terhadap media
Respon siswa terhadap media pada variabel ini sebesar 86%. Persentase
tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat sekali, hal ini
menunjukkan bahwa ketertarikan siswa terhadap media sangat baik.
Ketertarikan siswa terhadap media juga didukung dari aktivitas siswa yang
positif selama menggunakan media yaitu sebagian besar siswa tidak bosan/jenuh
selama belajar dengan menggunakan media.
d. Kemudahan dalam memahami materi yang diajarkan dengan menggunakan
media
Respon siswa terhadap media pada variabel ini sebesar 84%. Persentase
tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat sekali, hal ini
menunjukkan bahwa materi yang diajarkan dengan menggunakan media sangat
mudah untuk dipahami. Kemudahan dalam memahami materi yang diajarkan
dengan menggunakan media juga didukung dari hasil belajar siswa yang tuntas
selama belajar dengan menggunakan media.
Dari keempat variabel di atas diperoleh nilai rata-rata sebesar 81.62%.
Persentase tersebut jika diinterprestasikan terhadap skala likert adalah kuat
sekali. Hal ini menunjukkan bahwa media interaktif berbasis komputer yang
dibuat sudah sangat baik, yang berarti media tersebut layak untuk digunakan
sebagai media pembelajaran.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap media yang dikembangkan
dapat disimpulkan bahwa media interaktif berbasis komputer pada materi pokok unsur,
senyawa dan campuran layak untuk digunakan sebagai media pembelajaran karena telah
tercapai indikator sebagai berikut:
1. Penilaian guru sains terhadap kesesuaian materi yang diajarkan dengan media,
kejelasan dalam menyajikan konsep, tampilan gambar dan animasi sebagai ilustrasi
dalam media dengan rata -rata penilaian sebesar 90%.
2. Penilaian siswa terhadap tampilan media, kemudahan dalam pengoperasian media
dan ketertarikan terhadap media (didukung oleh aktivitas siswa yang positif selama
menggunakan media), kemudahan dalam memahami materi pembelajaran yang ada

dalam media (didukung oleh hasil belajar siswa dengan menggunakan media)
dengan rata-rata penilaian sebesar 81.62%.
Saran
1. Perlu dilakukan tahap diseminasi terhadap media interaktif berbasis komputer pada
materi pokok unsur, senyawa dan campuran.
2. Perlu dibuat media interaktif berbasis komputer dengan materi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. StandarKompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Menengah
Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.
Ibrahim, Muslimin. 2001. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Menurut
Jerold E. Kemp dan Thiagarajan. Surabaya: Faculty of Mathematics and
Science State University of Surabaya.
Ibrahim, Nurdin. Pemanfaatan Tutorial Audio Interaktif Untuk Perataan Kualitas Hasil
Belajar. Http:// www.depdiknas.go.id. 12 Pebruari 2006.
Nur, Mohamad. 1998. Teori-Teori Perkembangan. Surabaya: Institut Keguruan Dan
Ilmu Pendidikan Surabaya.
Pribadi, Benny A. 2004. Ketersediaan Dan Pemanfaatan Media Dan Teknologi
Pembelajaran Di Perguruan Tinggi. Http://pk.ut.ac.id/jp/52sep04/52benny.htm.
12 Pebruari 2006 .
Riduwan. 2003. Skala Pengukuran Variabel Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A. dan Rahardjito. 2005. Media Pendidikan:
Pengertian, Pengembangan dan pemanfaatannya. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Suntoro,
Ahmad.
1991.
Komputer
Untuk
Pendidikan.
Http:/www.bogor.net/idkf/idkf/microelectronics/komputer-untuk-pendidikan1991.rtf. 12 Pebruari 2006.
Sutopo, AH. 2002. Animasi Dengan Macromedia Flash Berikut ActionScript. Jakarta:
Salemba Infotex.

PENGEMBANGAN BAHAN AJAR SIFAT KOLIGATIF LARUTAN DALAM


BENTUK MEDIA INTERAKTIF BERBASIS KOMPUTER UNTUK SMA Arifa
Pranoto, Muchlis
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan bahan ajar kimia
dalam bentuk media interaktif berbasis komputer pada materi pokok sifat koligatif
larutan yang dikembangkan. Jenis penelitian ini merupakan penelitian pengembangan
yang mengacu pada model pengembangan perangkat pembelajaran yang dikemukakan
oleh Thiagarajan, yaitu model 4-D. Penelitian ini dibatasi pada tiga tahap penelitian
yaitu pendefinisian, perancangan, dan pengembangan. Hasil dari penelitian
menunjukkan bahwa bahan ajar kimia dalam bentuk media interaktif berbasis komputer
pada materi pokok sifat koligatif larutan yang dikembangkan, layak digunakan sebagai
media pembelajaran. Hal ini ditunjukkan dari hasil penilaian media oleh guru kimia
ditinjau dari format media diperoleh persentase kelayakan media sebesar 94,67%
(layak), ditinjau dari kejelasan konsep dan materi diperoleh persentase 88,34% (layak),
dan ditinjau dari pengoperasian media diperoleh persentase 86,67% (layak). Sedangkan
dari hasil penilaian media oleh siswa SMA ditinjau dari tampilan media diperoleh
ppersentase kelayakan sebesar 87,5% (layak), ditinjau dari ketertarikan terhadap media
diperoleh persentase 88% (layak), ditinjau dari kemudahan dalam memahami materi
yang diajarkan dengan menggunakan media diperoleh persentase 86% (layak), dan
ditinjau dari kemudaha dalam mengoperasikan media diperoleh persentase 84% (layak).
Kata kunci:

Pengembangan, bahan ajar, media interaktif berbasis komputer, Sifat


Koligatif Larutan, kelayakan media

PENGANTAR
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan, maka
seorang guru diharapkan mampu meningkatkan pengalaman dan pengetahuannya sesuai
dengan bidang ilmu yang ditekuninya. Selama itu juga perlu ditingkatkan aspek
pendidik dari mutu pengajarannya dalam hal ini proses mengajar. Keberhasilan proses
belajar mengajar tidak terbatas pada pengenalan bahan pelajaran saja, tetapi dipengaruhi
oleh komponen-komponen antara lain guru, siswa, model pembelajaran, media
pembelajaran yang digunakan, dan metode yang diberikan kepada siswa. Proses belajarmengajar akan berjalan efektif apabila seluruh komponen yang terlibat dalam proses
tersebut saling mendukung dan bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran.
Pemahaman siswa terhadap materi akan lebih optimal apabila siswa tidak
hanya mendengarkan penjelasan guru, melainkan siswa dituntut lebih aktif dalam hal
melatih ulang sendiri kemampuannya. Hal ini dapat dilakukan apabila terdapat suatu
media pembelajaran yang mampu memberikan unsur menarik dan menantang bagi
siswa sehingga pesan atau informasi dapat tersampaikan dengan baik. Ada beberapa hal
yang menyatakan bahwa penggunaan media dipandang perlu untuk digunakan dalam
proses belajar mengajar di sekolah, diantaranya: (1) Penggunaan media dapat
menjadikan suasana pembelajaran lebih menarik perhatian siswa, dan meningkatkan
semangat belajar siswa, (2) Metode pengajaran akan lebih variatif dan inovatif dengan
tampilan animasi dan suara yang disesuaikan dengan materi ajar, sehingga siswa tidak

cepat bosan dan merasa enjoy dalam kegiatan belajar mengajar, (3) Dengan kreativitas
dan keterampilannya, seorang guru dapat menyajikan materi ajar dengan jelas makna
yang terkandung dalam materi tersebut, sehingga siswa dapat menguasai tujuan
pembelajaran. Media pembelajaran yang sering dikenal adalah komputer. Komputer
memiliki keunggulan dalam hal interaksi, menumbuhkan minat belajar secara mandiri,
serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Pemanfaatan komputer sebagai media
dan teknologi pembelajaran tidak hanya terbatas pada perangkat kerja saja (hard ware)
tetapi juga perangkat lunaknya (soft ware). Salah satu soft ware yang dapat
dimanfaatkan sebagai media pembelajaran adalah macro media flash dengan segala
keunggulannya.
Pengembangan media ini difokuskan pada materi pokok sifat koligatif larutan,
karena dalam materi sifat koligatif larutan, siswa dituntut untuk memahami isi materi
serta berpikir konkrit dalam aplikasinya di kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
dibutuhkan tampilan-tampilan gambar atau animasi yang tepat dan sesuai dengan materi
ajar agar memudahkan siswa untuk mendalami isi materi dan mengurangi pemikiran
siswa yang bersifat abstrak. Kelayakan media pembelajaran ini merupakan suatu bentuk
gambaran tentang layak atau pantas dari media tersebut yang akan digunakan dalam
proses belajar mengajar. Media dapat dikatakan layak apabila penilaian dari guru kimia,
dan siswa terhadap media pembelajaran mengenai format media, kejelasan konsep dan
materi, serta pengoperasian media mencapai skor persentase 61%.
RANCANGAN
Sasaran dari penelitian ini adalah bahan ajar kimia dalam bentuk media
interaktif berbasis komputer untuk SMA pada materi pokok sifat koligatif larutan yang
ditampilkan dalam bentuk uraian materi, dan soal-soal latihan. Penelitian
pengembangan ini mengacu pada model pengembangan perangkat pembelajaran yang
dikemukakan Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (dalam Muslimin Ibrahim, 2001) yaitu
model 4-D, yang terdiri 4 tahap pengembangan yaitu Pendefinisian, Perancangan,
Pengembangan, dan Penyebaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendefinisian
Siswa yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII yang
sedang menerima materi pokok Sifat Koligatif Larutan, mempunyaui kemampuan
akademik yang bervariasi, dan dengan adanya laboratorium komputer, SMA AL Falah
Surabaya juga telah membekali keterampilan psikomotor terhadap siswa, yaitu berupa
keterampilan dalam mengoperasikan komputer. Konsep pada materi pokok Sifat
Koligatif Larutan meliputi: (1)Sifat koligatif larutan elektrolit, (2) Sifat koligatif larutan
non elektrolit, (3) Penurunan tekanan uap larutan, (4) Kenaikan titik didih larutan, (5)
Penurunan titik beku larutan, (6) Tekanan osmosis. Berdasarkan konsep yang telah
ditentukan didapatkan indicator hasil belajar sebagai berikut: (1) Menjelaskan
pengertian sifat koligatif larutan, (2) Menghitung kemolalan suatu zat terlarut, (3)
Menghitung fraksi mol zat terlarut, (4) Menjelaskan pengaruh zat terlarut yang sukar
menguap terhadap tekanan uap pelarut, (5) Menjelaskan hubungan penurunan tekanan
uap dengan fraksi mol zat terlarut, (6) Menghitung penurunan tekanan uap, (7)
menghitung kenaikan titik didih suatu zat cair akibat penambahan zat terlarut, (8)
Menghitung penurunan titik beku suatu zat cair akibat penambahan zat terlarut,

(9) Menjelaskan pengertian osmosis, (10) Menjelaskan pengertian tekanan osmotic, (11)
Menghitung tekanan osmotik, (12) Menemukan hubungan jumlah partikel zat terlarut
dengan sifat koligatif larutan elektrolit dan sifat koligatif larutan non elektrolit
berdasarkan data atau gambar, (13) Siswa dapat menyimpulkan perbedaan sifat koligatif
larutan elektrolit dengan sifat koligatif larutan non elektrolit.
Perancangan
Pada tahap ini dilakukan perancangan terhadap media pembelajaran yaitu
penyusunan naskah dan mendesain media pembelajaran yang bersifat interaktif berbasis
komputer. Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan adalah: (1) Menyusun naskah
(materi ajar) yang akan disajikan dalam media interaktif berbasis komputer,
(2)Melakukan validasi isi dan konstruksi, kemudian hasilnya dianalisis dan dilakukan
revisi, (3) Melakukan uji coba perangkat (soal-soal) hasil revisi kepada siswa untuk
memperoleh besarnya validitas dan reliabilitas butir soal, Memasukkan naskah yang
berupa materi bahan ajar dan soal-soal latihan yang telah dibuat kedalam media
interaktif berbasis komputer dengan menggunakan software macromedia flash.
Pengembangan
Pada tahap ini dilakukan penyusunan instrumen yang bertujuan untuk menghasilkan
edia pembelajaran berbasis komputer yang telah direvisi berdasarkan masukan dari para
pakar. Langkah-langkah yang akan dilakukan diantaranya:
(1) Telaah media komputer oleh ahli media.
Telaah media komputer dilakukan oleh ahli media dengan cara mengisi lembar
telaah untuk ahli media. Lembar telaah tersebut diberikan kepada dua orang ahli
media yang berisi masukan dan saran terhadap media komputer. Aspek yang
ditelaah oleh media diantaranya: (1) Tampilan pembuka, (2) Suara atau musik
pengiringnya, (3) Kesesuaian letak teks, gambar atau animasi dan video, (4)
Kesesuaian dalam memilih background, (5) Tampilan penutup, (6) Kemudahan
dalam membaca teks, (7) Kesesuaian dalam menampilkan gambar (animasi) sebagai
ilustrasi dengan materi, (8) Sistematika penyajian materi, (9) Sistematika penyajian
soal latihan, (10) Kemudahan dalam mengoperasikan media komputer.
(2) Penilaian media komputer oleh guru kimia dan uji coba terbatas pada siswa.
Penilaian media komputer dilakukan oleh tiga orang guru kimia SMA Al
Falah Surabaya dan uji coba terbatas kepada kelompok kecil yang terdiri dari
sepuluh orang siswa SMA Al Falah Surabaya kelas XI, kemudian dilakukan analisis
data dan revisi media serta diperoleh hasil akhir dari kelayakan media. Penilaian
media dan uji coba terbatas ini selanjutnya mendapatkan respon berupa penilaian
guru kimia dan respon siswa terhadap media pembelajaran. Penilaian oleh guru
kimia menunjukkan bahwa media yang dikembangkan, telah memenuhi kriteria
format media (94,67%), kejelasan konsep dan materi (88,34%), serta pengoperasian
media(86,67%) sebagai media pembelajaran karena persentasenya lebih dari 61%.
Respon siswa terhadap media pembelajaran yang dikembangkan, telah memenuhi
kriteria kelayakan tampilan media (87,5%), ketertarikan terhadap media (88%),
kemudahan dalam memahami materi yang diajarkan dengan menggunakan media
(86%), dan kemudahan dalam mengoperasikan media (84%).

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan didapatkan: Hasil Penilaian guru
kimia terhadap media interaktif berbasis komputer yang dikembangkan pada materi
pokok sifat koligatif larutan diantaranya kriteria format media mendapat penilaian
sebesar 94,67% (layak), kriteria kejelasan konsep dan materi mendapat penilaian
sebesar 88,34 (layak), dan kriteria pengoperasian media mendapatkan penilaian sebesar
86,67% (layak). Hasil Respon siswa terhadap media interaktif berbasis komputer yang
dikembangkan pada materi pokok sifat koligatif larutan diantaranya kriteria tampilan
media mendapatkan penilaian sebesar 87,5% (layak), kriteria ketertarikan terhadap
media mendapatkan penilaian sebesar 88% (layak), kriteria kemudahan dalam
memahami materi yang diajarkan dengan menggunakan media mendapatkan penilaian
sebesar 86% (layak), dan kriteria kemudahan dalam pengoperasian media mendapatkan
penilaian sebesar 84% (layak).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa media media interaktif
berbasis komputer yang dikembangkan telah layak digunakan sebagai media
pembelajaran pada materi pokok sifat koligatif larutan.
Saran
Sebaiknya penyajian soal-soal latihan harus lebih variatif dengan kualitas materi
yang lebih meningkat.

Pengembangan Media Pembelajaran Ekstraksi


untuk Menunjang Perkuliahan Kimia Analitik II
Drs. Sukarmin
Jurusan Kimia FMIPA Unesa
Sukar_min@unesa.ac.id
Abstrak
Salah satu kendala yang dihadapi mahasiswa dalam menempuh matakuliah Kimia
Analitik II adalah keterampilan menggunakan alat-alat pemisahan ekstraksi. Kurang
terampilnya mahasiswa dalam menggunakan alat-alat ekstraksi akan mengakibatkan
data percobaan yang tidak valit serta terjadinya kecelakaan kerja. Selama ini untuk
mentgatasi kendala tersebut, dilakukan demonstrasi pengunaan alat-alat ekstraksi
sebelum mahasiswa melakukan eksperimen. Cara tersebut dirasa kurang efektif karena
terlalu banyak waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, telah dikembangkan media pembelajaran
ekstraksi. Media tersebut berisi ringkasan materi ekstraksi dan video ekstraksi yang
menekankan langkah-langkah ekstraksi yang benar yang dikemas secara interaktig
dengan software macromedia.
Setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan media ekstraksi diperoleh hasil:
1) mahasiswa mampu membuat instrumen penilaian kinerja ekstraksi. 2) mahasiswa
dapat melaksanakan praktikum ekstraksi dengan benar.
Kata kunci: Media pembelajaran, ekstraksi.

14
3

Model Diskusi Strategi Think Pair Share Sebagai Alternatif Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Kimia Karbon.
Rinaningsih, Achmad Lutfi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bagaimana frekwensi aktivitas
mahasiswa dan dosen selama kegiatan pembelajaran Kimia Dasar II dengan model
diskusi; (2) mendeskripsikan bagaimana keterampilan dosen dalam mengelolah
pembelajaran dengan model diskusi; (3) mendeskripsikan bagaimana respon mahasiswa
terhadap pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang berorientasi
model diskusi; (4) mendeskripsikan hasil belajar mahasiswa setelah mengikuti kegiatan
yang berorientasi model diskusi.
Metode pengembangan yang digunakan adalah rancangan J.E.Kemp, G.R.
Morison dan S. M Ross, dengan urutan pengembangan (1) Analisis tujuan;
(2)
Analisis karakteristik mahasiswa; (3) Analisis tugas; (4) Analisis konsep; (5)
Perumusan tujuan; (6) Strategi kegiatan belajar mengajar; (7) Pemilihan media dan
sumber belajar; (8) Penyusunan instrumen evaluasi; (9) Revisi perangkat pembelajaran.
Subyek pengembangan adalah mahasiswa Fisika FMIPA UNESA angkatan 2006 yang
memprogram Kimia Dasar II.
Hasil pengembangan pada penelitian ini adalah RPP, LKM, LKM kunci, CD
Pembelajaran, Tes THB produk dan kumpulan soal-soal Kimia Karbon. Dengan
instrumen penelitian (1) Lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran diskusi;(2)
Lembar pengamatan Aktivitas dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran diskusi; (3)
Tes hasil belajar produk; (4) Angket minat dan motivasi terhadap pembelajaran. Dari
instrumen didapatkan data keterampilan dosen dalam mengelola pembelajaran diskusi
rata-rata bisa dikategorikan hampir cukup baik (2,75); Aktivitas dosen yang menonjol
adalah membimbing mahasiswa 24,4 %; Aktivitas mahasiswa yang menonjol adalah
memperhatikan penjelasan dosen 56,67 %, bekerja dengan menggunakan alat 22,22 %,
membaca buku mahasiswa LKM 10,86 %; Semua butir soal THB produk termasuk
efektif karena sensifitasnya berada antara 0-1dengan 42 mahasiswa telah tuntas.
Motivasi dan minat mahasiswa dalam pembelajaran dikategorikan baik.
PENDAHULUAN
Cara belajar dan mengajar merupakan suatu seni (art) bagi masing-masing
mahasiswa dan dosen. Masalahnya adalah, apakah cara yang dilakukan mahasiswa dan
dosen tersebut dapat mempermudah pencapaian sasaran yang diinginkan atau tidak.
Seiring dengan era informasi saat ini, di mana kebebasan berbicara dan mengemukakan
pendapat untuk perbaikan bangsa dan Negara sangat dibutuhkan dan dihargai, maka
melatih mahasiswa untuk mengemukakan pendapatnya secara lisan dan memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan pola berpikirnya. Salah satu
metode belajar yang dapat memfasilitasi tujuan tersebut adalah model pembelajaran
diskusi yang menggunakan pendekatan konstruktivitas.
Pada metode pembelajaran konstruktivis-diskusi, mahasiswa dapat membentuk
skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk

144

mengkontruksi pengetahuannya sendiri (Bettencourt, 1989). Proses belajar mengajar


model ini dilakukan dengan membagi mahasiswa ke dalam kelompok-kelompok belajar
sebagai cara untuk memotivasi terjadinya pertukaran ide, argumentasi dan refleksi dari
masing-masing anggota kelompok dalam upaya konstruksi pengetahuan.
Selama ini metode pembelajaran yang diterapkan untuk mata kuliah Kimia Dasar
II pokok bahasan Kimia Karbon adalah proses pembelajaran yang masih konvensional,
sehingga hasil belajar yang diperoleh mahasiswa juga rendah. Hasil analisa
pendahuluan pada materi Kimia Dasar II pokok bahasan Kimia Karbon menunjukkan
bahwa 18,9% dari mahasiswa angkatan 2005 yang memprogram Kimia Dasar II tidak
lulus (mendapat nilai D dan E). Di samping itu lebih dari satu pertemuan untuk
menjelaskan materi ajar (Rinaningsih, 2005). Oleh karena itu perlu dilakukan pencarian
terhadap suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan pemahaman dan aplikasi
konsep-konsep kimia karbon.
Salah satu alternatif untuk meningkatkan prestasi belajar adalah dengan
meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Upaya peningkatan mutu pembelajaran
antara lain adalah dengan pengembangan perangkat pembelajaran yang sesuai. Dalam
penelitian ini dikembangkan perangkat pembelajaran dengan pendekatan
konstruktivisme model diskusi.

Metode Pengembangan
Penelitian ini berjudul Peningkatan Kualitas Pembelajaran Kimia Dasar II
Pokok Bahasan Kimia Karbon Dengan Konstruktivisme Model Diskusi.. Merupakan
penelitian tindakan kelas yang diawali dengan penelitian pengembangan dan penelitian
deskriptif.

Rancangan Pengembangan
Pengembangan perangkat pembelajaran model diskusi yang dilakukan pada
penelitian ini menggunakan model yang dikemukakan oleh Jerold E. Kemp, G.R.
Morison dan S. M Ross. Pengembangan instruksional model Kemp merupakan suatu
lingkaran yang bersifat kontinyu. Tiap-tiap langkah pengembangan berhubungan
langsung dengan suatu aktivitas revisi dan dapat dimulai darimana saja. Rancangan
instruksional model Kemp digambarkan sebagaimana gambar 1.

145

Rancangan Pengembangan Perangkat Pembelajaran


(Sumber : Kemp, Morison dan Ross )

Subyek Pengembangan
Penelitian ini dilakukan di jurusan Fisika FMIPA UNESA tempat ketua
peneliti dan anggota peneliti bekerja sebagai dosen, khususnya pada mahasiswa
angkatan 2006 yang memprogram mata kuliah Kimia Dasar II.

Hasil Pengembangan Dan Pembahasan

Pelaksanaan penelitian sudah dilaksanakan dengan skenario yang telah


dirancang, dimana sebelum pembelajaran dilakukan tes awal dan sesudah pembelajaran
dilakukan tes akhir. Pada waktu pembelajaran dilakukan pengamatan kemampuan dosen
dalam mengelola kegiatan belajar mengajar, aktifitas dosen dan mahasiswa terhadap
pembelajaran serta disebar angket motivasi dan minat terhadap pembelajaran.
Perangkat pembelajaran yang telah dikembangkan oleh peneliti yaitu : RPP, LKM,
LKM kunci, CD-pembelajaran dan buku kumpulan soal.

Deskripsi Hasil Penelitian.


1. Keterampilan Dosen Mengelola Pembelajaran
Kemampuan dosen dalam melakukan pembelajaran diskusi dinilai dengan
menggunakan instrumen lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran diskusi.
Data yang diperoleh terdapat pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1
Penilaian Pengelolaan Pembelajaran Diskusi
No
I

II

III

RP1

Aspek Yang Diamati


A. Pendahuluan
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran
2. Memotivasi/membangkitkan minat
mahasiswa
3. Menghubungkan pelajaran sekarang
dengan pelajaran terdahulu
B. Mengarahkan Diskusi
1. a. Menguraikan aturan- aturan diskusi
b. Mengajukan pertanyaan
awal/permasalahan
2. Mengendalikan diskusi
a. Mengajukan pertanyaan
membimbing
b. Mendengarkan gagasan mahasiswa
c. Menanggapi gagasan mahasiswa
d. Menerapkan waktu tunggu
e. Mengekspresikan ide guru sendiri
f. Mendorong keterlibatan dan
keikutsertaan mahasiswa
(memotivasi mahasiswa untuk aktif)
C. Penutup
1. Mengikhtisarkan hasil diskusi
2. Meminta mahasiswa mengikhtisarkan
proses diskusi

146

P1

P2

4
4

4
4

4
4

3,5

2
4

1
4

1,5
4

4
4
4
4
3

4
4
4
4
4

4
4
4
4
3,5

1
1

1
1

1
1

3,83

Kategori

Baik

2,75

Hampir Cukup
Baik

3,92

Baik

Tidak Baik

IV

Pengelolaan Waktu
Pengamatan Suasana Kelas
1. Siswa antusias
2. Guru antusias
3. Siswa mendengarkan
pertanyaan/pendapat orang lain
4. Siswa membaca
5. Siswa melakukan diskusi kelompok
6. Siswa berada dalam tugas
Jumlah ( )

4
4
4

4
4
4

4
4
4

4
4
4
67

4
4
4
68

4
4
4
67,5

Tidak Baik

Baik

Seperti terlihat pada tabel 4.1 dapatlah diketahui bahwa keterampilan dosen
dalam mengelola pembelajaran diskusi rata-rata bisa dikategorikan hampir cukup
baik (2,75).
2. Aktivitas Dosen dan Mahasiswa Dalam Kegiatan Belajar Mengajar
Selama kegiatan pembelajaran dilakukan pengamatan terhadap aktifitas dosen
dan mahasiswa dengan menggunakan instrumen 1b. Hasil pengamatan dapat dilihat
pada grafik di bawah ini.

147

AKT IVITAS DOSEN DALAM KEGIATAN BELAJAR MENG AJAR


30.00

25.00

P ERSE
N

20.00
15.00

10.00

5.00

0.00

10

11

12

Ak tivitas Dos e n

Aktivitas Dosen :
1. Menyampaikan pendahuluan
2. Menjelaskan materi pelajaran
3. Mengajukan pertanyaan
4. Menanggapi pertanyaan / gagasan mahasiswa
5. Mengekspresikan ide sendiri
6. Mendorong keterlibatan & keikutsertaan
mahasiswa (memotivasi mahasiswa)

7. Menulis ( yg relevan dengan KBM)


8. Mengamati aktivitas mahasiswa
9. Membimbing mahasiswa
10.Menerapkan waktu tunggu
11.Menutup pelajaran
12.Perilaku yang tidak relevan

Grafik aktivitas dosen dalam kegiatan belajar mengajar

AKTIVITAS MAHASISWA DALAM KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR


60.00

56.67

50.00

PERSEN TA
SE

40.00
30.00

22.22

20.00

10.83

10.00

0.56

0.00

0.00

5.56

3.61

0.28

0.28

0.00
1

10

Aktivitas Mahasiswa
Aktivitas mahasiswa :
1. Memperhatikan penjelasan dosen
2. Membaca buku mahasiswa / LKM
3. Menanggapi pertanyaan/pendapat dosen
4. Menanggapi pertanyaan/pendapat mahasiswa
5. Mengajukan pertanyaan tingkat rendah

6. Mengajukan pertanyaan tingkat tinggi


7. Menulis yang relevan dengan KBM
8. Bekerja denganmenggunakan alat
9. Menyatakan ide dengan jelas
10.Perilaku yang tidak relevan dengan KBM

Grafik aktivitas mahasiswa dalam kegiatan belajar mengajar


Kedua Grafik tersebut menunjukkan persentase tiap aktivitas dosen dan
mahasiswa selama pembelajaran, sedangkan untuk data secara rinci dituliskan pada
lampiran.
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa bahwa aktivitas dosen yang
paling menonjol adalah membimbing mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal
yang ada di LKM.
Berdasarkan grafik 4.2 menunjukkan bahwa aktivitas mahasiswa yang
mempunyai persentase tinggi antara lain: memperhatikan penjelasan dosen sebesar

148

56.67 %, bekerja dengan menggunakan alat sebesar 22,22%, membaca buku


mahasiswa atau LKM 10,83 %, menulis yang relevan dengan KBM 3,61 %. Dari
data diatas aktifitas siswa yang menonjol adalah memperhatikan pendapat dosen.
Hal ini disebabkan karena pada fase think mahasiswa tidak dibiarkan untuk
membaca LKM sendiri tapi dijelaskan oleh dosen dan dosen tidak mengembalikan
kepada aturan diskusi.
3. Diskusi Hasil Belajar Mahasiswa
Tes hasil belajar produk ditujukan untuk mengetahui peningkatan skor
mahasiswa yang diukur dengan ketuntasan indikator produk dalam belajar, sesuai
dengan sistem penilaian yang ada di UNESA. Mahasiswa dinyatakan tuntas atau
lulus mata kuliah jika nilainya minimal C.
Pengambilan data tes hasil belajar produk menggunakan instrumen 4.b. data
secara rinci dapat dilihat pada lampiran. Proporsi jawaban benar dilihat pada tabel
4.2 berikut ini:
Tabel 4.2
Ketuntasan dan Sensitivitas THB Produk
No

Indikator

Mahasiswa dapat
membedakan gugus
fungsi senyawa karbon

Mahasiswa mengenal
berbagai senyawa polimer

Keterangan:

Butir
Soal

Proporsi
U1

U2

P
TPK

Ketuntasan

0,477

0,948

0,471

0,948

Tuntas

0,240

0,916

0,678

0,916

Tuntas

0,154

0,930

0,776

0,930

Tuntas

0,006

0,671

0,671

0,665

Tuntas

U1 = uji awal
U2 = uji akhir
S = sensitivitas butir soal
P = proporsi butir soal

Berdasarkan paparan tabel 4.2 dapat disimpulkan bahwa semua indikator


pembelajaran yang telah ditetapkan pada materi kimia karbon semuanya tuntas.
4. Deskripsi Motivasi dan Minat Mahasiswa
Tes motivasi dan minat mahasiswa ditujukan untuk mengetahui bagaimana
motivasi dan minat mahasiswa terhadap pembelajaran kimia yang dilakukan dengan
menggunakan model pembelajaran diskusi. Angket motivasi dan minat diberikan
kepada mahasiswa setelah dilaksanakan serangkaian pembelajaran.
Rincian data analisis motivasi dan minat secara lengkap dapat dilihat pada
lampiran.

Tabel 4.3
Rata-rata Minat Mahasiswa
Rata-rata tiap
komponen

Jenis minat

Kriteria

Positif
Atensi
Relevansi
Percaya diri
Kepuasan
Negatif
Atensi
Relevansi
Percaya diri
Kepuasan

3.7
4.1
3.7
3.6

Baik
Sangat baik
Baik
Baik

2.1
2.7
2.9
2.0

Cukup baik
Cukup baik
Cukup baik
Cukup baik

Tabel 4.4.
Rata-rata Motivasi Mahasiswa
Jenis motivasi

Rata-rata tiap
komponen

Kriteria

3.3
3.6
3.9
3.9

Baik
Sangat baik
Baik
Baik

2.9
2.3
2.6
1.4

Cukup baik
Cukup baik
Cukup baik
Cukup baik

Positif
Atensi
Relevansi
Percaya diri
Kepuasan
Negatif
Atensi
Relevansi
Percaya diri
Kepuasan

Dari Tabel 4.3 dan 4.4 dapat dilihat bahwa minat dan motivasi siswa baik.

Diskusi Hasil Penelitian


Penelitian ini bertolak dari upaya meningkatkan kualitas proses belajar mengajar
kimia dan melatih keterampilan mahasiswa dalam berdiskusi untuk memahami materi
kimia karbon. Dalam penelitian ini praktek pengajaran diselenggarakan melalui model
pembelajaran diskusi.
Berdasarkan analisis terhadap data penelitian, diperoleh petunjuk bahwa model
pembelajaran diskusi strategi TPS dapat dijadikan suatu alternatif untuk pembelajaran
kimia karbon. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian secara keseluruhan yang
menunjukkan peningkatan hasil belajar mahasiswa sebelum dan sesudah pembelajaran.
Peningkatan kualitas proses belajar mengajar yang dimaksud dapat dilihat dari uraian
beberapa indikator berikut.

1. Aktivitas dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran diskusi.


Berdasarkan hasil analisis deskriptif data aktivitas dosen dan mahasiswa dan
berdasarkan kriteria yang ditetapkan menunjukkan bahwa persentase aktivitas dosen
dalam kegiatan belajar mengajar cukup baik, dilihat dari rata-rata waktu yang
digunakan oleh dosen untuk mengamati kegiatan mahasiswa (4,4 %), mengajukan
pertanyaan (13,3 %), serta dalam menegakkan aturan diskusi yaitu menanggapi
pertanyaan atau gagasan mahasiswa, menerapkan waktu tunggu, dan membimbing
kegiatan sebesar (31,3 %) dari seluruh waktu kegiatan belajar mengajar. Seluruh
kegiatan yang dilakukan oleh dosen sesuai dengan sintaks pembelajaran diskusi
dalam Arend (1997:202)
Aktivitas dosen untuk menutup pelajaran dengan mengikhtisarkan hasil
diskusi tidak ada (0 %). Hal ini disebabkan karena pengamat menghentikan
kegiatannya tepat pada saat jam pembelajaran usai, padahal saat itu dosen belum
menutup pelajaran dengan kata lain dosen mengalami kekurangan waktu
pembelajaran. Akibatnya data tentang aktivitas tersebut tidak terjaring oleh
pengamat.
Bila dicermati ternyata 56,67 % aktivitas mahasiswa dari seluruh waktu KBM
digunakan untuk memperhatikan/mendengarkan penjelasan dosen. Ditinjau dari
tugas perencanaan kedua yaitu dosen harus mempertimbangkan mahasiswa (Arend,
1997: 207) dimana dosen harus memilih cara untuk mendorong partisipasi
mahasiswa yang heterogen, maka tampak pembelajaran seperti berpusat pada dosen.
Sedangkan keterampilan berdiskusi yang dilakukan oleh mahasiswa masih rendah
yaitu sebesar 6,32 %. Rendahnya aktivitas berdiskusi ini kemungkinan disebabkan
karena kegiatan pembelajaran mata kuliah kimia dasar belum pernah menggunakan
model ini. Maka dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa untuk berdiskusi perlu
terus dilatihkan dan dikembangkan.
2. Pengelolaan pembelajaran diskusi.
Peranan dosen dalam mengelola KBM dapat dikategorikan hampir cukup baik
dengan skor 2,75 untuk skala penilaian 1-4. Hal ini dapat dikatakan bahwa dosen
berhasil mengoperasikan perangkat pembelajaran berdasarkan RPP yang telah
direncanakan.
3. Hasil belajar mahasiswa.
Pencapaian ketuntasan belajar secara keseluruhan sebelum pembelajaran
sampai akhir pembelajaran mengalami peningkatan. Berdasarkan analisis data pada
THB produk menunjukkan bahwa 42 mahasiswa telah tuntas berdasarkan
ketuntasan kurikulum yang ada di UNESA. Dilihat ketuntasan seluruh THB produk,
semua indikator telah tuntas. Dari hal tersebut dapat dinyatakan bahwa seluruh
mahasiswa menguasai materi pembelajaran kimia karbon. Semua butir soal THB
produk termasuk efektif karena sensifitasnya berada antara 0-1.
4. Motivasi dan minat mahasiswa dalam pembelajaran.
Dalam tabel 4.3 dan 4.4 menunjukkan bahwa motivasi dan minat mahasiswa
dalam pembelajaran baik, hal ini disebabkan karena adanya dana penelitihan yang
diberikan kepada dosen sehingga kesiapan dosen untuk merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi perkuliahan lebih baik daripada tidak ada
penelitian. Sehingga mahasiswa juga lebih termotivasi dan lebih berminat untuk
mengikuti perkuliahan.

Dari beberapa informasi hasil penelitian ini, menunjukkan bukti bahwa proses
belajar mengajar dengan model pembelajaran diskusi yang menggunakan pembelajaran
beserta instrumen pengukurannya dapat mengaktifkan mahasiswa dan dosen serta
merangsang mereka beraktivitas dan responsif. Semua itu merupakan indikator penting
yang menunjukkan peningkatan kualitas pembelajaran. Secara optimis dapat diprediksi
bahwa apabila proses pembelajaran dilakukan dengan cara yang benar dengan
memanfaatkan perangkat pembelajaran yang tepat akan mampu meningkatkan kualitas
pembelajaran.

Kelemahan-kelemahan Penelitian.
Kelemahan dalam penelitian ini antara lain ; pada fase think materi pembelajaran
tidak diuraikan dalam LKM tetapi ada pada buku mahasiswa, sehingga dosen merasa
kesulitan dalam mengarahkan diskusi. Hal ini mempengaruhi aktivitas dosen dan
memperbanyak aktivitas mahasiswa untuk mendengarkan penjelasan dosen. Aktivitas
dosen dan mahasiswa untuk menjelaskan materi pelajaran dan mendengarkan
penjelasan dosen sangat menyita waktu sehingga pembelajaran berlangsung melebihi
waktu yang telah ditetapkan.

Simpulan

Berdasarkan analisis data, diskusi hasil penelitian serta permasalahan yang ada
dalam penelitian ini maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Peranan dosen dalam mengelola KBM dapat dikategorikan hampir cukup baik
dengan skor 2,75 untuk skala penilaian 1-4. Hal ini dapat dikatakan bahwa dosen
berhasil mengoperasikan perangkat pembelajaran berdasarkan RPP yang telah
direncanakan.
2. Berdasarkan hasil analisis deskriptif data aktivitas dosen dan mahasiswa
menunjukkan bahwa persentase aktivitas dosen dalam kegiatan belajar mengajar
cukup baik, dilihat dari rata-rata waktu yang digunakan oleh dosen untuk
mengamati kegiatan mahasiswa (4,4 %), mengajukan pertanyaan (13,3 %), serta
dalam menegakkan aturan diskusi yaitu menanggapi pertanyaan atau gagasan
mahasiswa, menerapkan waktu tunggu, dan membimbing kegiatan sebesar (31,3 %)
dari seluruh waktu kegiatan belajar mengajar. Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh
dosen sesuai dengan sintaks pembelajaran diskusi dalam Arend (1997:202). 56,67 %
aktivitas mahasiswa
dari
seluruh
waktu
KBM
digunakan
untuk
memperhatikan/mendengarkan penjelasan dosen. Ditinjau dari tugas perencanaan
kedua yaitu dosen harus mempertimbangkan mahasiswa (Arend, 1997: 207) dimana
dosen harus memilih cara untuk mendorong partisipasi mahasiswa yang heterogen,
maka tampak pembelajaran seperti berpusat pada dosen. Sedangkan keterampilan
berdiskusi yang dilakukan oleh mahasiswa masih rendah yaitu sebesar 6,32 %.
3. Dalam tabel 4.3 dan 4.4 menunjukkan bahwa motivasi dan minat mahasiswa dalam
pembelajaran baik, hal ini disebabkan karena adanya dana penelitian yang diberikan
kepada dosen sehingga kesiapan dosen untuk merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi perkuliahan lebih baik daripada tidak ada penelitian. Sehingga
mahasiswa juga lebih termotivasi dan lebih berminat untuk mengikuti perkuliahan.
4. Berdasarkan analisis data pada THB produk menunjukkan bahwa 42 mahasiswa
telah tuntas berdasarkan ketuntasan kurikulum yang ada di UNESA. Dilihat

ketuntasan seluruh THB produk, semua indikator telah tuntas. Dari hal tersebut
dapat dinyatakan bahwa seluruh mahasiswa menguasai materi pembelajaran kimia
karbon. Semua butir soal THB produk termasuk efektif karena sensifitasnya berada
antara 0-1.

Saran
Kelemahan dalam penelitian ini unsur utamanya disebabkan karena LKM
kurang bernuansa diskusi setrategi TPS. Sehingga peneliti perlu mendapatkan dana
PPKP ke-2 untuk melanjutkan pengembangkan LKM yang bernuasa diskusi TPS pada
materi kimia karbon.

DAFTAR PUSTAKA

Arends, RI. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw Hill
Companies, Inc.
Bettencourt, A. 1989. What is contructivism and why are they all talking about it?
Michigan State University.
Duffy, T.M. & Cunningham, D.J., 1996. Contructivism : Implication for the Design and
Delivery of Instruction. In Jonassen, H.H. (ed) Handbook of Research for
Educational Communication and Technology. New York McMillan.
Kemp, J.E., Morrison G.R., dan Ross, S.M., 1994. Designing Effective Instruction.
New York: Mac Millan Colledge Publishing Company.
Pannen, P. 2000. Pendekatan Konstruktivisme. Draft bahan ajar PEKERTI/AA. Jakarta :
PAU-PPAUI-UT.
Piaget, J. 1971. Psychology and Epistimology. New York. The Viking Press
Rinaningsih. 2002. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kimia SMU Pokok
Bahasan Pencemaran Lingkungan Dengan Model Pengajaran Berdasarkan
Masalah. Tesis Magister Pendidikan Surabaya. Program Pasca SArjana
Universitas Negeri Surabaya.
Rinaningsih, 2005, Model Pembelajaran PBI Sebagai Alternatif Pelaksanaan
Kurikulum Berbasis Kompetensi di SMU, Prosiding, 401.
Slavin, Robert. E., 1994. Educational Psikology Theory into Practise. Boston: Allyn
and Baakon Publisher.
Truckman, B.W., 1978. Conducting Educational research. Second Edition. New York.
Harcourt Brace Javanovich.
Von Glasserfeld, E., 1989. Cognition, Construction of Knowledge and Teaching.
Syntese, 80, 121-140.

Fenomena Pembelajaran IPA Pada SMP Terbuka Di Kabupaten Probolingggo


Ditinjau Dari Tenaga Pendidik
Mahda Suroya, Suyono
Pendahuluan
Pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan suatu
bangsa. Untuk itulah sepantasnya dilakukan peningkatan dan penyempurnaan
pendidikan agar dapat mencapai sasaran yang lebih tepat. Peningkatan dan
penyempurnaan mutu pendidikan dilakukan melalui penuntasan program wajib belajar
sembilan tahun. Program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang
dicanangkan pada tahun 1994 berimplikasi bahwa semua anak di Indonesia berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan dasar meskipun mereka berasal dari keluarga
kurang mampu atau tinggal di daerah yang sangat terpencil. Hal tersebut perlu disadari
karena tujuan utamanya menampung semua anak usia pendidikan dasar.
Untuk mencapai sasaran program wajib belajar sembilan tahun, pemerintah
telah menyusun strategi untuk mencapai sasaran, diantaranya dengan mengembangkan
sistim pendidikan alternatif. Strategi pendidikan alternatif ini didasarkan oleh adanya
pertimbangan bahwa meskipun kapasitas sekolah sudah ditingkatkan, masih banyak
anak usia sekolah yang belum tertampung, antara lain karena miskin dan tidak mampu
membiayai sekolah Sistim pendidikan alternatif diimplementasikan melalui sekolah
biasa tetapi dilakukan melalui beberapa tipe sekolah non konvensional. Salah satu
contoh tipe sekolah non konvensional adalah
SMP Terbuka. SMP Terbuka
diperuntukkan bagi peserta didik dengan kriteria tertentu, antara lain: anak-anak lulusan
SD/MI yang berusia 1315 tahun atau maksimal 18 tahun yang kurang beruntung
karena keadaan sosial ekonomi, keterbatasan fasilitas transportasi, kondisi geografis
atau menghadapi kendala waktu untuk mencari nafkah sendiri atau membantu orang tua
bekerja sehingga tidak memungkinkan mereka untuk mengikuti pelajaran sebagai siswa
SMP Reguler.
Probolinggo merupakan salah satu daerah di Jawa Timur dengan penuntasan
wajib belajar sembilan tahun yang tidak merata yaitu pada daerah kota tergolong
sebagai daerah Tuntas Paripurna yaitu >95% dalam penuntasan wajib belajar dan pada
daerah kabupaten tergolong sebagai daerah Belum Tuntas yaitu <80%. Hal ini
membuktikan bahwa penuntasan wajib belajar sembilan tahun di Probolinggo
mengalami kesenjangan dalam penuntasan wajib belajar antara daerah kota dan
kabupaten. Seperti telah diketahui bahwa salah satu usaha pemerintah untuk
menyukseskan wajib belajar sembilan tahun adalah dengan membuka SMP Terbuka.
Kota Probolinggo memiliki 16 buah SMP Terbuka dan 4 TKB Mandiri yang tersebar di
wilayah kabupaten dengan 64 TKB yang letaknya tersebar di sekitar sekolah induk.
Jumlah murid 2.253 siswa dengan 241 guru bina dan 129 guru pamong (Data SMP
Terbuka Depdiknas Kabupaten Probolinggo, 2006).
Data kelulusan siswa SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo tahun 2006 yang
diperoleh melalui studi dokumentasi yaitu sebanyak 306 siswa (65%) dari 466 siswasiswi SMP Terbuka di Kabupaten Probolingo yang tidak lulus Ujian Nasional (UN)
2006. Adapun nilai UN tertinggi yang diperoleh oleh siswa SMP terbuka Kabupaten
Probolinggo adalah 23,74 dengan perincian nilai 9,20 untuk Bahasa Indonesia, nilai
8,20 untuk Bahasa Inggris, dan nilai 7,33 untuk Matematika. Sedangkan nilai UN
terendah pada SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo adalah 4,80 dengan perincian nilai

2,60 untuk Bahasa Indonesia, nilai 2,40 untuk Bahasa Inggris, dan nilai 1,67 untuk
Matematika.
Rendahnya prestasi akademik siswa SMP Terbuka dibanding siswa SMP
Reguler dalam prestasi belajar yang termasuk pada mata pelajaran yang di-UN-kan
(UN=Ujian Nasional) di Kabupaten Probolinggo menginspirasi peneliti untuk
melakukan kajian terhadap fenomena atau pelaksanaan pembelajaran di SMP Terbuka
di Kabupaten Probolinggo. Sesuai dengan latar belakang pendidikan peneliti, maka
kajian fenomena pembelajaran di SMP Terbuka diarahkan kepada Mata Pelajaran IPA.
Fenomena yang dikaji di SMP Terbuka ini meliputi beberapa aspek, di
antaranya: kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana, ketenagaan, dan peserta
didik.
Tujuan Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui fenomena yang
terjadi dalam pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo. Adapun
tujuan secara rinci adalah sebagai berikut: (1) Mengetahui kesesuaian pembelajaran
IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo dengan kurikulum SMP/MTs, (2)
Mengetahui kualifikasi ketenagaan pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo
ditinjau dari sisi pembelajaran IPA, (3) Mengetahui pengadaan sarana dan prasarana
penunjang cukup memadai dalam pelaksanaan pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di
Kabupaten Probolinggo, dan (4) Mengetahui kualifikasi peserta didik dalam
penyelenggaraan proses belajar mengajar IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten
Probolinggo. Dalam seminar kimia ini, tujuan penelitian difokuskan untuk mengetahui
kualifikasi tenaga pendidik pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo ditinjau dari
sisi pembelajaran IPA. Hal ini dilakukan karena kualifikasi ketenagaan memiliki
fenomena yang menarik.
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan sebuah refleksi tentang
pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran IPA. Refleksi yang dikembangkan diarahkan
kepada upaya-upaya perbaikan kinerja pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo di
tahun-tahun mendatang.
Metode Penelitian
Sasaran penelitian adalah fenomena pembelajaran IPA pada SMP terbuka di
Kabupaten Probolinggo khususnya ditinjau dari peserta didik. Sumber data dalam
penelitian ini adalah SMP Terbuka yang ada di Kabupaten Probolinggo. Adanya
keterbatasan tenaga dan waktu serta untuk meningkatkan intensitas penelitian maka
dari 16 SMP Terbuka yang ada dipilih 8 SMP Terbuka sebagai sumber data. SMP
Terbuka yang terpilih di antaranya: SMP Terbuka Tegalsiwalan, SMP Terbuka
Banyuanyar, SMP Terbuka Maron, SMP Terbuka Krejengan, SMP Terbuka Gading,
SMP Terbuka Sumberasih, SMP Terbuka Wonomerto, dan SMP Terbuka Sukapura.
Rancangan penelitian yang dilakukan mengikuti rancangan Ex Post Facto
dengan pendekatan triangulasi. Keterpercayaan data tentang sesuatu hal diverifikasi
dari sumber lebih dari satu. Jika dua orang menyatakan merah, sementara satu orang
yang lain menyatakan coklat, maka peneliti menetapkan bahwa warna itu adalah merah.
Prosedur pengumpulan data terdiri dari tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
Tahap persiapan meliputi: mencari data, informasi, dan rekomendasi dari Depdiknas
Kabupaten Probolinggo. Menyerahkan surat rekomendasi penelitian kepada 8 SMP
Terbuka Kabupaten Probolinggo. Tahap pelaksanaan penelitian meliputi: pelaksanakan
wawancara dan observasi di SMP Terbuka-SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo.

Pengumpulan data dilakukan dengan cara: (1) mendatangi TKB dan SMP Induk sesuai
dengan jadwal waktu yang disepakati antara peneliti dan nara sumber (guru pamong,
guru bina, dan pengelola SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo); (2) melakukan
wawancara dan observasi lapangan menggunakan instrumen yang telah divalidasi
sebelumnya. Wawancara dan observasi ditujukan untuk mencocokkan komponenkomponen pembelajaran yang seharusnya ada dengan komponen-komponen
pembelajaran yang ada sesuai kenyataan di TKB dan sekolah yang telah
direkomendasikan untuk penelitian oleh Depdiknas Kabupaten Probolinggo; dan (3)
mencatat hal-hal penting diluar yang tertulis pada instrumen pengumpulan data pada
lembaran tersendiri. Dalam proses pengumpulan data peneliti menggunakan alat bantu
penelitian berupa kamera foto. Data yang terkumpul mengantarkan peneliti pada
analisis data penelitian.
Instrumen pengumpulan data yang digunakan meliputi pedoman wawancara,
lembar observasi, angket dan kamera foto. Adopsi instrumen lebih diarahkan kepada
empat komponen sekolah yaitu: kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana,
ketenagaan, serta peserta didik. Panduan wawancara dan observasi digunakan oleh
peneliti untuk menggali informasi lebih dalam dengan batasan agar infomasi yang
diperoleh tepat dan tidak meluas. Angket dibagikan kepada siswa agar diperoleh
informasi tentang komponen peserta didik. Sebelum digunakan, instrumen tersebut
telah divalidasi oleh beberapa orang yang pernah terlibat sebagai asesor dalam
akreditasi sekolah. Instrumen foto digunakan sebagai dokumentasi pada pengumpulan
data di lapangan.
Data yang telah diperoleh dianalisis keabsahannya dengan menggunakan teknik
triangulasi. Teknik triangulasi yaitu metode pemeriksaan dengan sumber lainnya yaitu
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini akan dipilah-pilah sesuai dengan fokus penelitian dan
masalah yang akan dijawab. Deskripsi dan narasi kualitatif diberikan pada setiap
pertanyaan penelitian yang akan diberikan pembahasan. Simpulan diinduksikan dari
jawaban-jawaban elementer penelitian.
Hasil dan Pembahasan Penelitian
Penyajian data penelitian diikuti dengan hasil analisis terhadap masing-masing
data sesuai dengan tujuan penelitian, maka sajian data dan analisisnya meliputi: (1)
Kesesuaian Pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo dengan
Kurikulum dan Pembelajaran di SMP/MTs; (2) Kualifikasi Ketenagaan pada SMP
Terbuka di Kabupaten Probolinggo Ditinjau dari Sisi Pembelajaran IPA, (3) Sarana dan
Prasarana Penunjang Pembelajaran IPA yang ada di SMP Terbuka Kabupaten
Probolinggo, dan (4) Kualifikasi Peserta Didik pada SMP Terbuka di Kabupaten
Probolinggo.
Penelitian ini dilakukan pada 8 SMP Terbuka yang terdapat di Kabupaten
Probolinggo. Masing-masing SMP Terbuka memiliki jumlah TKB yang berbeda-beda.
Jumlah TKB yang terdapat di SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo sangat beragam,
antara lain SMPT Tegalsiwalan berjumlah 6TKB, SMPT Banyuanyar berjumlah 9
TKB, SMPT Maron berjumlah 5 TKB, SMPT Krejengan berjumlah 8 TKB, SMPT
Gading berjumlah 2 TKB, SMPT Sumberasih berjumlah 1 TKB, SMPT Wonomerto
berjumlah 3 TKB, SMPT Sukapura berjumlah 2 TKB. Sumberasih berjumlah 1 TKB,
jumlah yang lebih kecil dibanding yang lain. Hal ini terjadi karena SMP Terbuka
Sumberasih telah mengalami pemut usan kerjasama dalam pengembangan SMP

Terbuka oleh salah satu TKB. Informasi ini didapat saat dilakukan wawancara dengan
Waka SMP Terbuka selaku pengelola.
Kualifikasi Tenaga Pendidik pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo
Ditinjau dari Pembelajaran IPA
Tabel 1
Ringkasan Hasil Analisis untuk Kualifikasi Guru Bina dan Guru Pamong pada SMPT
Tegalsiwalan, SMPT Banyuanyar, SMPT Maron, SMPT Krejengan, SMPT Gading, SMPT
Sumberasih, SMPT Wonomerto, SMPT Sukapura di Kabupaten Probolinggo
SMP Terbuka
Kabupaten
Probolinggo
SMPT
Tegalsiwalan
SMPT
Banyuanyar
SMPT Maron

SMPT Krejengan

SMPT Gading

SMPT
Sumberasih
SMPT
Wonomerto

SMPT Sukapura

Kualifikasi ketenagaan Guru Bina dan Guru Pamong


Guru Bina

Guru Pamong

Telah memenuhi kualifikasi dan


memiliki
latar
belakang
pendidikan S1 dengan landasan
keilmuan MIPA
Telah memenuhi kualifikasi dan
memiliki
latar
belakang
pendidikan S1 dengan landasan
keilmuan MIPA
Tidak
memenuhi
kualifikasi
ketenagaan karena tidak pernah
melakukan kegiatan tatap muka
dengan siswa
Telah
memenuhi
kualifikasi
ketenagaan dengan latar belakang
pedidikan
S1-Biologi
yang
sekaligus merangkap mengajar
fisika
Terdapat satu guru bina yang tidak
sesuai dengan kualifikasi karena
latar belakang pendidikan yang
dimiliki tidak sesuai dengan mata
pelajaran yang diajarkan
Memenuhi kualifikasi ketenagaan
karena latar belakang pendidikan
sesuai dengan mata pelajaran yang
diajarkan
Tidak dilampirkan karena pada
pelaksanaannya
guru
bina
menyerahkan pen gelolaan TKB
Mandiri
sepenuhnya
kepada
pengelola (guru pamong)
Kualifikasi ketenagaan karena
latar belakang pendidikan sesuai
dengan mata pelajaran yang
diajarkan

Tidak memenuhi kualifikasi guru pamong


rumpun IPA dengan latar belakang
pendidikan terendah D2 dan terdapat satu
yang tidak memenuhi karena lulusan IPS
Telah memenuhi kualifikasi guru pamong
yaitu guru MI,SD, dan MTs yang peduli
dengan SMP Terbuka
Telah memenuhi kualifikasi guru pamong
yaitu guru SD dan tokoh masyarakat yang
peduli dengan SMP Terbuka dan lulusan
MA/SMA
Sekitar 50% guru pamong rumpun IPA telah
memenuhi kualifikasi ketenagan, selebihnya
tidak karena latar belakang pendidikan
hanya lulusan SMA/MA
Memenuhi kualifikasi ketenagaan karena
merupakan kepala sekolah, guru MI, dan
guru Ra
Memenuhi kualifikasi ketenagaan karena
merupakan guru MI dan guru MTs
Memenuhi kualifikasi ketenagaan guru
pamong rumpun karena latar belakang
pendidikan lulusan S1.
Memenuhi kualifikasi ketenagaan karena
merupakan guru SD dan SMP

Dengan memperhatikan data pada Tabel 1 dapat diberikan analisis sebagai

berikut:
a. SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo yang memenuhi kualifikasi guru bina IPA
adalah SMPT Tegalsiwalan, SMPT Banyuanyar, SMPT Krejengan, SMPT
Sumberasih, dan SMPT Sukapura. Sedangkan pada SMPT Gading yang
menyebabkan kurang adalah karena terdapat salah satu guru bina yang tidak sesuai
dengan kualifikasi karena latar belakang pendidikan yang dimiliki tidak sesuai

dengan mata pelajaran yang diajarkan. Sedangkan untuk kualifikasi kualifikasi guru
pamong pada SMPT di Kabupaten Probolinggo telah memenuhi kualifikasi
ketenagaan.
b. SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo yang tidak memenuhi kualifikasi
ketenagaan guru bina adalah SMPT Maron dan SMPT Wonomerto. Sedangkan
kualifikasi guru pamong rumpun IPA yang kurang memenuhi kualifikasi
ketenagaan yaitu pada SMPT Tegalsiwalan dan SMPT Krejengan karena latar
belakang pendidikan hanya lulusan SMA/MA.
Di TKB (Tempat Kegiatan Belajar), siswa dibimbing oleh guru pamong sebagai
fasilitator. Pada perkembangannya mulai dari tahun 2003-2004 status guru pamong
ditingkatkan menjadi tutor yang diharapkan akan membantu siswa dalam belajar lebih
intensif di TKB ( www.dwp.or.id).
Guru pamong pada umumnya adalah guru SD atau anggota masyarakat yang
bertugas memberikan motivasi atau dorongan kepada siswa agar siswa rajin dan
bersemangat dalam belajar mandiri. Upaya terobosan untuk meningkatkan kualitas
belajar di TKB, guru pamong dipersyaratkan sekurang-kurangnya D3 pendidikan untuk
rumpun mata pelajaran IPA, Bahasa, dan IPS. Hal ini dimaksudkan agar guru pamong
dapat membantu memecahkan kesulitan belajar siswa khususnya selama merek belajar
di TKB (Depdiknas, 2005).
Pada SMP Terbuka di Kabupaten Probol inggo, guru pamong pada TKB reguler
umumnya bertugas memberikan motivasi kepada siswa agar siswa rajin dan
bersemangat dalam belajar mandiri. Selain itu guru pamong pada TKB regular bertugas
mendampingi dan mencatat pertanyaan-pertanyaan dari siswa kemudian
menyampaikannya kepada guru bina serta menjaga apabila ada waktu kosong. Guru
pamong pada TKB Mandiri diarahkan sebagai guru pamong rumpun IPA, hal ini
dimaksudkan agar guru pamong dapat membantu kesulitan belajar siswa khususnya
selama mereka belajar di TKB tanpa harus menunggu kedatangan guru bina.
SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo pada umumnya mengunakan pola tatap
muka alternatif 3, yaitu dimana kegiatan tatap muka berlangsung selama 2 hari dalam
seminggu (12 jam di TKB oleh guru bina). Pola tatap muka tidak diadakan di SMP
Induk dikarenakan jarak tempuh yang sangat jauh antara TKB dengan SMP Induk,
sulitnya transportasi, serta karena pengaruh rendahnya perekonomian siswa. Guru bina
datang ke TKB sesuai dengan jadwal yang telah disepakati oleh siswa dan guru.
Kurangnya jam mengajar akan mempengaruhi pembelajaran karena materi yang
disampaikan sangat banyak sedangkan waktu untuk proses belajar mengajar kurang
sehingga tidak mengherankan ketika guru bina mengambil kebijakan meniadakan
evaluasi formatif tapi mengganti dengan tugas.
Jika dilihat pada tabel-tabel tentang kualifikasi guru bina dan guru pamong,
pada kualifikasi guru bina di SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo masih terdapat
guru bina yang kualifikasi latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan bidang
studi IPA yang diajarkan, sedangkan untuk kualifikasi guru pamong masih terdapat
guru pamong yang tidak sesuai untuk mengajar IPA pada SMP Terbuka. Hal ini akan
mempengaruhi dalam pembelajaran IPA karena jika ada siswa yang bertanya tentang
pelajaran IPA terdapat kemungkinan mereka tidak dapat menjawab pertanyaan siswa.
Upaya SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo untuk meningkatkan kualifikasi guru
pamong rumpun IPA pada TKB Mandiri belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, hal ini
terbukti dengan adanya guru rumpun IPA yang hanya lulusan SMA/MA.
Simpulan dan Saran

Simpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat dituliskan simpulan penelitian
sebagai berikut: .
1. Kualifikasi guru bina sudah layak atau sangat sesuai dengan bidang IPA karena
100% berasal dari SMP Induk tetapi pada SMP Terbuka Gading terdapat satu guru
bina yang bukan beasal dari bidang IPA. Pada SMP Terbuka Maron guru bina tidak
pernah menghadiri kegiatan tatap muka dengan siswa. Kualifikasi guru pamong
sudah layak atau sesuai karena 100% merupakan guru SD/MI dan tokoh masyarakat
yang peduli pendidikan. Kualifikasi guru pamong rumpun IPA kurang sesuai
karena masih terdapat persyaratan latar belakang pendidikan D3 guru pamong
rumpun IPA yang tidak terpenuhi.
2. Sarana dan prasarana sebagai penunjang pembelajaran IPA yang ada di SMP
Terbuka di Kabupaten Probolinggo banyak yang tidak dimiliki. Penggunaan sarana
dan prasarana yang dimiliki SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo masih belum
optimal. SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo yang menggunakan fasilitas sarana
dan prasarana di SMP Induk hanya SMP Terbuka Banyuanyar pada saat kegiatan
tatap muka. Pada SMP Terbuka lain di Kabupaten probolinggo yang menggunakan
fasilitas SMP Induk hanya pada saat akan menghadapi UN.
3. Kualifikasi peserta didik SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo secara umum sudah
sesuai yaitu menurut usia dan asal sekolah mereka. Namun kurangnya kesadaran
dari siswa dan orang tua siswa tentang pendidikan dan kondisi keadaan ekonomi
menyebabkan siswa kurang berprestasi dalam bidang IPA.
4. Dari simpulan-simpulan tersebut dapat dibuat simpulan umum yaitu pembelajaran
IPA SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo masih belum maksimal. Ini ditandai
dengan tidak digunakannya media pembelajaran, rendahnya kualitas guru pamong,
penggunaan kurikulum yang tidak efektif, dan rendahnya kesadaran siswa untuk
menuntut ilmu.
Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan serta ditemukannya simpulan-simpulan,
penulis mengajukan saran atau rekomendasi sebagai berukut:
1. Kurikulum yang digunakan pada SMP terbuka adalah sama dengan kurikulum
yang digunakan pada SMP Reguler. Namun kurikulum SMP Reguler dikaji dan
dijabarkan melalui pengembangan Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar
(PDKBM) bagi siswa SMP Terbuka. Oleh karena itu silabus dan RPP untuk
mata pelajaran IPA perlu dibuat secara khusus oleh guru bina untuk SMP
Terbuka melalui pengembangan PDKBM.
2. Siswa SMP Terbuka berhak mendapatkan fasilitas yang sama dengan siswa
SMP Induk tidak terkecuali dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Oleh
karena itu, SMP Induk perlu meminjamkan sarana dan prasarana seperti:
laboratoium IPA, ruang media, dan perpustakaan kepada SMP Terbuka untuk
menunjang pembelajaran IPA.
3. Hasil monitoring dan evaluasi terhadap SMP Terbuka yang dilakukan Direktur
Pembinaan SMP ditindaklanjuti dengan upaya-upaya perbaikan pembelajaran
di SMP Terbuka. Upaya-upaya itu, misalnya: perbaikan kualitas guru pamong,
perbaikan kurikulum di SMP Terbuka, perbaikan sarana dan prasarana di SMP
Terbuka, dan peningkatan kesadaran belajar siswa dengan memberikan
motivasi.

4. Catatan kesulitan siswa dan materi esensial merupakan buku penghubung antara
guru bina dan guru pamong. Pentingnya catatan kesulitan siswa dan materi
esensial yang dibuat oleh guru pamong adalah agar dapat memberi masukan
atau gambaran kepada guru bina terhadap daya serap siswa sehingga dapat
mempermudah dalam menetapkan tindakan yang akan dilakukan terhadap
pembelajaran IPA.
5. Kepedulian pihak pemerintah melalui Depdiknas Kabupaten Probolinggo sangat
diperlukan dalam menunjang keberadaan SMP Terbuka. Pentingnya kepedulian
dari pihak pemerintah dalam memperhatikan keberadaan SMP Terbuka
Kabupaten Probolinggo dapat membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi
SMP Terbuka. Sehingga antara pihak pengelola dan pemerintah terjadi timbal
balik yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak dalam rangka
memajukan kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Probolinggo.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2005. Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Dalam Rangka Penuntasan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Jakarta: Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama Kegiatan Pengembangan SMP Terbuka dan Pendidikan Alternatif.
Depdiknas. 2005 . Petunjuk Operasional SMP Terbuka. Jakarta: Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama.
Depdiknas. 2005 . Petunjuk Praktis Bagi Guru Bina. Jakarta: Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama.
Depdiknas. 2005 . Petunjuk Praktis Bagi Guru Pamong. Jakarta: Ditjen
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama.
Moleong, Lexy J., 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Mari Kita Mengenal SMP Terbuka.
http://www.dwp.or.id/prg/pagel.php?utk=590&ctg=INF. 22 September 2006.

Anda mungkin juga menyukai