1. PENDAHULUAN
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat pesat, maka
pendidikan yang merupakan suatu kegiatan dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia perlu ditingkatkan demi kemajuan suatu bangsa. Pemerintah
Indonesia telah melakukan berbagai upaya, salah satunya dengan memperbaiki dan
menyempurnakan kurikulum dari kurikulum 2000 menjadi kurikulum berbasis
kompetensi (KBK). Pada KBK ini siswa dituntut aktif mengembangkan kompetensi
untuk memecahkan masalah dalam kegiatan belajar mengajar tanpa meninggalkan
kerjasama dan solidaritas.
Dalam memenuhi harapan KBK, guru harus mampu mengembangkan metode
dan keterampilan mengajar. Peran guru adalah membantu para siswa menemukan
fakta, konsep atau prinsip-prinsip bukan memberi ceramah atau mengendalikan
seluruh kegiatan kelas (Nur, dkk, 1999: 2). Berdasarkan hasil wawancara dengan
guru kimia di SMA Al-Falah Ketintang Surabaya pada tanggal 12 Oktober 2006
diketahui sebagian besar guru kimia sekolah tersebut dalam menyampaikan materi
pokok menggunakan metode ceramah. Metode ceramah ini menyebabkan siswa
94
kurang aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar dan menjadikan suasana
kelas menjadi membosankan.
Materi pokok reaksi reduksi-oksidasi menyajikan konsep-konsep sulit yang
perlu dipahami dan dimengerti salah satunya siswa dituntut dapat menentukan atom
yang mengalami reaksi reduksi dan reaksi oksidasi berdasarkan pengikatan dan
pelepasan oksigen, penerimaan dan pelepasan elektron dan perubahan bilangan
oksidasi serta memberi nama suatu senyawa. Hal ini menyebabkan siswa merasa
jenuh dalam menyelesaikan permasalahan yang terdapat dalam materi pokok reaksi
reduksi-oksidasi dan siswa tidak termotivasi untuk aktif mencari informasi sendiri.
Oleh karena itu diperlukan keterlibatan siswa secara aktif selama kegiatan belajar
mengajar dengan cara saling berdiskusi, tanya jawab baik antar siswa maupun antara
siswa dengan guru. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kimia di SMA AlFalah Ketintang Surabaya bahwa guru dalam menyampaikan materi reaksi reduksioksidasi menggunakan metode ceramah, sehingga didapatkan ketuntasan pada
tahun ajaran 2005-2006 hanya mencapai 15%. Di mana hasil ini jauh dari standar
ketuntasan yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru kimia SMA AlFalah Ketintang Surabaya yakni 85%. Hasil angket yang diberikan pada siswa kelas
XI diperoleh 59,26% siswa menyatakan kesulitan dalam mempelajari materi reaksi
reduksi-oksidasi dan 66,67% siswa tidak tertarik dengan model pengajaran yang
digunakan oleh guru mereka, ini menunjukkan bahwa siswa kurang aktif dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran materi pokok reaksi reduksi-oksidasi.
Di kelas X-A SMA Al-Falah menurut informasi dari guru kimia menyatakan
siswa cenderung pasif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar. Hasil angket
yang diberikan kepada siswa kelas X-A diperoleh sebesar 67,86% siswa tidak
senang dengan pelajaran kimia, 75% siswa sulit dalam mempelajari kimia dan
67,86% siswa menyatakan guru kurang bervariasi dalam menyampaikan materi
kimia. Hal ini menjadikan siswa hanya sebagai pendengar dan pencatat sehingga
pengetahuan yang diperoleh tidak bertahan lama dan terbukti dari hasil ulangan
kimia pada bab sebelumnya yang diperoleh dari hasil wawancara dengan guru kimia
kelas
X-A yakni mencapai ketuntasan sebesar 57%. Di mana hasil ini belum
menunjukkan standar ketuntasan yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan guru
kimia SMA Al-Falah Ketintang Surabaya yakni 85%.
Untuk itu diupayakan model pembelajaran yang dapat mengatasi masalah di
atas. Salah satu alternatif adalah dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Menurut penelitian Slavin bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih
unggul dalam meningkatkan hasil belajar dibanding pengalaman-pengalaman
belajar individu atau kompetitif (Ibrahim, M, dkk, 2000: 16). Pada pembelajaran
kooperatif siswa dapat berpartisipasi selama kegiatan belajar mengajar melalui
tutorial, karena ada kalanya siswa lebih mudah belajar dari temannya sendiri dan
ada pula siswa yang lebih mudah belajar melalui mengajar atau melatih temannya
sendiri.
Model pembelajaran kooperatif terdiri atas empat tipe yaitu Student Team
Achievement Division (STAD), Jigsaw, Investigasi kelompok dan pendekatan
struktural yaitu terdiri dari Think-Pair-Share (TPS) dan Numbered-Head-Together
(NHT) (Ibrahim, M, dkk, 2000). Dalam hal ini digunakan pembelajaran kooperatif
tipe STAD yang merupakan suatu model pembelajaran yang paling sederhana serta
dapat menumbuhkan kemampuan membantu teman. Pada materi pokok reaksi
reduksi-oksidasi ini menyajikan konsep-konsep sulit yang perlu dipahami dan
95
96
2.
3.
4.
5.
kurang
Cukup
Baik
Sangat baik
(Riduwan,2005)
Data yang diperoleh kemudian diolah dalam bentuk persentase.
Skor kriterium = Skor tertinggi x aspek x jumlah observer/pengamat
jumlah hasil perhitungan
p
x 100%
skor kriterium
Perhitungan persentase dilakukan pada tiap aspek penilaian dan
keseluruhan aspek penilaian.
Hasil persentase yang diperoleh diinterpretasikan seperti pada tabel 2.2
sebagai berikut:
Tabel 2.2 Interpretasi Persentase Pengelolaan Pembelajaran
No
Persentase
Kategori
1.
0%-20%
Sangat kurang
2.
21%-40%
Kurang
3.
41%-60%
Cukup
4.
61%-80%
Baik
5.
81%-100%
Sangat(Riduwan,
baik
2005)
a) Analisis Data Hasil Belajar Siswa
Analisis untuk mengetahui masing-masing ketuntasan belajar setelah
pembelajaran. Secara individual siswa telah tuntas belajar jika mencapai
nilainya 69 dengan perhitungan sebagai berikut:
Nilai siswa
B
x100
N
keterangan: B = Banyaknya soal yang dijawab benar
N = Banyaknya soal
(Surapranata, 2004)
sedangkan secara klasikal suatu kelas telah tuntas belajar jika terdapat
85% siswa telah mencapai nilai 69 dengan perhitungan sebagai berikut:
Jumlah siswa yang tuntas
x100%
Jumlah seluruh siswa
b) Analisis Angket Siswa
Untuk menganalisis hasil angket menggunakan persentase dari
jumlah siswa yang telah memilih tiap-tiap alternatif jawaban dengan
rumus:
F
P x100%
N
Keterangan:
P
= Persentase
F
= Jumlah jawaban responden
N
= Jumlah responden
Interpretasi persentase respon siswa seperti pada tabel 2.3 sebagai
berikut:
% Ra ta -r
ata
68
66
64
62
60
58
56
54
67.23
65
59.71
II
III
Putaran
% Aktivi
tas
Putaran
Putaran II
Putaran III
5
0
1
100
80
86.7
93.3
73.3
60
40
20
0
I
II
Putaran
Pada putaran III, siswa yang tuntas sebanyak 28 siswa dan yang tidak tuntas
sebanyak 2 siswa. Ketuntasan belajar siswa secara klasikal adalah 93,3% sehingga
apabila didasarkan kasepakatan guru kimia SMA Al-Falah maka secara klasikal
penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A ini dikatakan
tuntas.
Berdasarkan pembahasan ketuntasan tes hasil belajar di atas maka penerapan
model pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X-A dapat meningkatkan hasil
belajar siswa pada materi pokok reaksi reduksi-oksidasi.
3.4 Respon Siswa Terhadap Pembelajaran Kooperatif
Angket respon yang diberikan kepada 30 siswa setelah pembelajaran pada
putaran ketiga berakhir. Data angket digunakan untuk menggunakan respon siswa
terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD.
Dari analisis angket respon siswa diperoleh sebanyak 73% siswa
menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat memotivasi
mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya, sedangkan sebanyak 87% siswa
menyatakan bahwa pelajaran kimia menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan.
4. Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pelaksanakan penelitian pada putaran I, II dan III diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
(1) Kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif tipe STAD pada
putaran I sebesar 59,71% (cukup), putaran II meningkat menjadi 65,00% (baik)
dan pada putaran III meningkat menjadi 67,23% (baik). Secara keseluruhan
diperoleh rata-rata kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran kooperatif
tipe STAD sebesar 63,98% yang mendapat penilaian baik.
(2) Penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan aktivitas
belajar siswa yang meliputi berdiskusi/bertanya antar siswa dengan guru, pada
putaran I mendapat persentase 9,5% dan pada putaran II dan III meningkat
berturut-turut 10,5% dan 13,4%. Aktivitas siswa berdiskusi/bertanya antar siswa
juga mengalami peningkatan. Pada putaran I mendapat persentase 9,5% dan
pada putaran II dan III meningkat berturut-turut 12,3% dan 22,8%.
(3) Respon siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat baik. Hal ini
terlihat dari pernyataan mereka bahwa model pembelajaran kooperatif tipe
STAD dapat memotivasi mereka untuk meningkatkan prestasi belajarnya (73%),
sedangkan siswa menyatakan bahwa pelajaran kimia menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD sangat menarik dan tidak membosankan
sebanyak 87%.
(4) Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Pada putaran I, ketuntasan klasikal siswa mencapai 73,3%, pada
putaran II dan III ketuntasan secara klasikal meningkat yaitu 86,7% dan 93,3%.
4.2 Saran-Saran
Dari hasil penelitian ini, yang dapat disarankan peneliti sebagai masukan
adalah:
(1) Model pembelajaran kooperatif tipe STAD perlu diterapkan sebagai alternatif
dalam proses pembelajaran kimia pada materi pokok yang lain.
(2) Hendaknya siswa dilatih terlebih dahulu dengan model pembelajaran kooperatif
supaya mereka terbiasa belajar kooperatif sehingga proses pembelajaran dapat
berjalan dengan lancar.
(3) Untuk mengukur supaya siswa tidak terlalu lama dalam membentuk kelompok,
maka guru sebaiknya menekankan kepada siswa terutama ketua kelompoknya
untuk bertanggung jawab dalam mengorganisasikan anggotanya ke dalam
kelompok belajar sebelum belajar dimulai.
DAFTAR PUSTAKA
Anggelita, Devi Maria. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Pada Materi Pokok Larutan Elektrolit dan non Elektrolit Untuk Mencapai
ketuntasan Belajar Siswa Di SMA Antartika Sidoarjo. Skripsi Tidak
Dipublikasikan. Surabaya: UNESA.
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta:
Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi
VI). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Fatmawati, Suci Elliyan. 2004. Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student
Team Achivement Division (STAD) Pada Pokok Bahasan Larutan
Elektrolit dan non Elektrolit Siswa Kelas II-5 Semester 2 Di SMA Wachid
Hasyim 2 Taman. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Surabaya: UNESA.
FMIPA. 2005. Panduan Penulisan Skipsi dan Penilaian Skipsi. Surabaya: UNESA.
Ibrahim, Muslim, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: UNESA UNIPRESS.
Mulyasa, E. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Nur, Muhammad, dkk. 1999. Pengajaran Berpusat Kepada Siswa Dan Pendekatan
Konstruktivis Dalam Pengajaran. Surabaya: UNESA UNIPRESS.
Nur, Muhammad, dkk. 2005. Pembelajaran kooperatif. Surabaya: UNESA UNIPRESS.
Purba, Michael. 2002. Kimia IB Untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga.
Riduwan. 2005. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung:
ALFABETA.
Risdiana, Herra. 2003. Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dalam
mencapai ketuntasan Belajar Kimia Pada Pokok Bahasan Alkana, Alkena
dan Alkuna Siswa Kelas 1-9 SMU Kartika V-3 Surabaya. Skripsi Tidak
Dipublikasikan. Surabaya: UNESA.
Sutresna, Nana. 2000. Kimia Untuk Sekolah Menengah Umum Kelas I. Bandunng:
Grafindo Media Pratama.
Surapranata, Sumarna. 2004. Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum
2004. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Tim Pelatih PGSM. 1999. Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Researh).
Jakarta: DEPDIKBUD.
digunakan oleh guru SMK Negeri 3 Surabaya yaitu metode ceramah, sehingga siswa
merasa jenuh yang menyebabkan siswa kurang aktif. Berdasarkan data ketuntasan
belajar siswa kelas 1 audio video tahun ajaran 2005-2006 diperoleh 80% yang telah
mencapai nilai 60, data tersebut menunjukkan bahwa kelas tersebut belum mencapai
skala ketuntasan yang telah ditetapkan oleh sekolah, yaitu 85%.
Seorang guru harus pandai dalam memilih model pembelajaran yang tepat,
menciptakan suasana kelas yang kondusif, serta menguasai materi pokok yang diajarkan
yaitu mendeskripsikan terjadinya ikatan ion dan ikatan kovalen, menjelaskan ikatan
logam dan menuliskan tata nama senyawa kimia. Peneliti mencoba menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dalam proses pembelajaran
dengan menyiapkan lembar jawaban yang berbeda, yaitu lembar jawaban untuk fase
Think dan lembar jawaban untuk fase Pair. Dari kedua lembar jawaban tersebut, dapat
diklasifikasikan beberapa tipe-tipe kesepakatan siswa dalam berbagi pendapat pada fase
Pair. Di mana tipe-tipe kesepakatan yang dibuat pasangan merupakan gambaran dari
pemahaman siswa terhadap pertanyaan yang didiskusikan.
Model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) adalah suatu model
pembelajaran yang diawali dengan guru memberikan masalah untuk difikirkan secara
mandiri beberapa saat (Think), kemudian diselesaikan secara berpasangan (Pair).
Setelah itu salah satu pasangan siswa diminta untuk berbagi dengan seluruh kelas
tentang hasil kerjanya dan dilanjutkan untuk pasangan yang lain (Share).
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada penelitian-penelitian sebelumnya,
dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share, siswa sering melakukan
kesalahan yaitu pada pelaksanaan fase Think, siswa-siswa tidak mengerjakan soal yang
diberikan guru secara mandiri, tetapi siswa sudah melakukan berbagi pendapat dengan
temannya. Sehingga pemikiran individu siswa tidak terlaksana. Hal ini dibuktikan
dengan tidak ditemukannya instrumen pada penelitian-penelitian
tersebut yang
menjamin bahwa fase Think benar-benar dilaksanakan sebelum melakukan langkah
Pair. Padahal terdapat beberapa keuntungan dari model pembelajaran kooperatif
diantaranya dapat membantu siswa dalam pembelajaran akademis mereka dan siswa
juga lebih memiliki kemungkinan menggunakan tingkat berfikir yang lebih tinggi,
khususnya pada tipe TPS (Think-Pair-Share) siswa diberikan waktu untuk berfikir,
menjawab dan saling membantu satu sama lain (Ibrahim, 2000).
Dalam pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share, langkah-langkah yang
harus dilakukan yaitu menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa, menyajikan
informasi yang dilanjutkan dengan Think, Mengorganisasikan siswa ke dalam
kelompok-kelompok belajar (Pair), Membimbing kelompok bekerja dan belajar,
evaluasi (Share), memberikan penghargaan (Ibrahim, 2000). Pada langkah menyajikan
informasi, diperlukan adanya media pembelajaran yang bertujuan untuk membantu
siswa agar mudah memahami materi yang diajarkan dan supaya pembelajaran tidak
bersifat monoton. Media yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah media
interaktif. Penyampaian materi dengan menggunakan media ini akan mendorong siswa
untuk dapat menemukan sendiri konsep dari materi yang disajikan oleh guru. Interaksi
dalam media ini berbentuk materi dan contoh soal yang menampilkan sub pokok materi
dan disertai dengan animasi. Dengan menggunakan media ini siswa diharapkan mampu
memiliki ketertarikan, senang dan santai dalam proses belajar. Apalagi jika media ini
diterapkan dalam pembelajaran kimia, dimana ilmu kimia merupakan ilmu dasar dari
ilmu terapan yang dipelajari dalam program produktif di SMK.
104
105
orang, jika dalam berfikir secara mandiri kedua siswa berfikir yang sama, maka hasil
diskusi mereka juga menghasilkan apa yang telah difikirkan mereka.
2. Persentase Tipe-Tipe Kesepakatan Siswa dalam Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe TPS
Persentase tipe-tipe kesepakatan siswa diperoleh dengan membandingkan antara
jumlah tipe-tipe kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh tipe
kesepakatan dikali 100. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui jumlah tiap tipe-tipe
kesepakatan siswa kelas 1 audio-video 2 dalam mengikuti model pembelajaran
kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia, diantaranya
yaitu tipe kesepakatan 1 sebanyak 106; tipe kesepakatan 2 sebanyak 58; tipe
kesepakatan 3 sebanyak 6; tipe kesepakatan 4 sebanyak 32; tipe kesepakatan 5 sebanyak
16 dan tipe kesepakatan 6 sebanyak 2. Dengan demikian dapat diketahui masing-masing
persentase tipe kesepakatan siswa dengan membandingkan antara jumlah tipe
kesepakatan siswa yang muncul dengan jumlah seluruh tipe kesepakatan dikali 100,
sehingga diperoleh tipe kesepakatan 1 dengan persentase 48,18%; tipe kesepakatan 2
dengan persentase 26,36%; tipe kesepakatan 3 dengan persentase 2,72%; tipe
kesepakatan 4 dengan persentase 14,54%; tipe kesepakatan 5 dengan persentase 7,27%;
dan tipe kesepakatan 6 dengan persentase 0,91%. Hal ini menunjukkan bahwa
persentase peningkatan berfikir (tipe kesepakatan 2 dan 5) lebih besar daripada
penurunannya (tipe kesepakatan 3 dan 6).
Peningkatan berfikir siswa menunjukkan adanya saling membantu satu sama
lain, hal ini mencerminkan bahwa Think-Pair-Share telah dilaksanakan sesuai dengan
prosedur, sejalan dengan apa yang diungkapkan Nur (2005) bahwa Think-Pair-Share
memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih
banyak untuk berfikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain.
Keberhasilan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-Pair-Share) dapat
dilihat dari adanya peningkatan dan penurunan berfikir siswa, walaupun dalam
penelitian ini terdapat siswa yang tidak mengalami peningkatan atau penurunan berfikir,
seperti pada Ke dua siswa benar sebelum dan sesudah tukar pendapat dan Kedua siswa
salah sebelum dan sesudah tukar pendapat, akan tetapi hal tersebut wajar terjadi dalam
hubungan tukar pendapat antara dua individu, jika kedua individu ketika berfikir secara
mandiri memikirkan hal yang sama, maka dalam tukar pendapat mereka menghasilkan
seperti apa yang mereka fikirkan. Rata-rata persentase kedua siswa yang benar sebelum
dan sesudah tukar pendapat sebesar 48,18%. Angka tersebut masih rendah, sehingga
perlu di tingkatkan lagi, sedangkan kedua siswa yang salah sebelum dan sesudah tukar
pendapat memperoleh rata-rata persentase sebesar 14,54%. Walaupun angka tersebut
lebih kecil dari persentase kedua siswa yang benar sebelum dan sesudah tukar pendapat,
namun persentase tersebut (14,54%) perlu diperkecil lagi agar terjadi peningkatan
berfikir siswa.
3. Kecenderungan antara Tipe Kesepakatan dengan Hasil Belajar Siswa
Kecenderungan tipe kesepakatan siswa terhadap hasil belajar siswa dapat dilihat
setelah mengetahui hasil belajar siswa yang ditunjukkan dengan menggunakan skor
hasil belajar. Skor 1 diberikan pada siswa yang menjawab benar dan skor 0 diberikan
pada siswa yang menjawab salah. Analisis dilakukan pada tiap-tiap indikator hasil
belajar.
Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui rata-rata skor hasil belajar
siswa kelas 1 audio-video 2 dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS
(Think-Pair-Share) pada materi pokok ikatan kimia yang dilihat di setiap indikator,
diantaranya yaitu tipe kesepakatan 1 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,86; tipe
kesepakatan 2 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,76; tipe kesepakatan 3 dengan
rata-rata skor hasil belajar siswa 0,67; tipe kesepakatan 4 dengan rata-rata skor hasil
belajar siswa 0,68; tipe kesepakatan 5 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,57 dan
tipe kesepakatan 6 dengan rata-rata skor hasil belajar siswa 0,50. Hal ini menunjukkan
bahwa skor hasil belajar yang dihasilkan siswa pada tipe kesepakatan yang terjadi
peningkatan berfikir (tipe 2) lebih besar daripada tipe kesepakatan yang terjadi
penurunan berfikir (tipe 3) dan (tipe 5) lebih besar daripada (tipe 6). Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa peningkatan berfikir siswa cenderung menghasilkan skor hasil
belajar yang lebih besar daripada penurunan berfikir siswa. Fenomena tersebut
menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-PairShare) memberikan pengaruh positif dalam hal berfikir siswa. Hal ini sesuai dengan apa
yang diungkapkan oleh Ibrahim dkk (2000), bahwa pembelajaran kooperatif dapat
memberikan pemahaman yang lebih mendalam sehingga memperoleh hasil belajar yang
lebih tinggi. Selain itu fenomena tersebut juga sejalan dengan pendapat Nasution (1982)
bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika
siswa saling mendiskusikan suatu masalah untuk mencapai kesepakatan dengan
temannya.
Tipe kesepakatan siswa yang dominan muncul pada tiap indikator hanya tipe
kesepakatan 1, 2 dan 4. Apabila dilihat dari hubungan tipe kesepakatan siswa dengan
persentase ketercapaian indikator menunjukkan bahwa persentase ketercapaian
indikator pada tipe kesepakatan 1 (tidak terjadi peningkatan atau penurunan berfikir)
cenderung tinggi, akan tetapi besarnya
persentase ketercapaian indikator tersebut
disetiap indikator berbeda-beda, ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah.
Seperti pada indikator menjelaskan pembentukan ion memiliki persentase lebih kecil
daripada menjelaskan gas mulia. Hal tersebut disebabkan karena untuk mencapai
indikator menjelaskan pembentukan ion lebih sulit daripada menjelaskan konfigurasi
elektron gas mulia.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan bahwa siswa yang semula ketika
secara mandiri berfikir salah, kemudian berpasangan dengan siswa yang semula secara
mandiri berfikir benar dan akhirnya memperoleh kesepakatan yang benar hanya muncul
pada 2 indikator yaitu indikator 7 dan 10 dengan masing-masing persentase
ketercapaian indikator sebesar 59% dan 72%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase
ketercapaian indikator pada tipe kesepakatan 2 tidak dapat dipastikan lebih tinggi atau
lebih rendah. Seharusnya persentase ketercapaian indikator tersebut cenderung tinggi,
karena dalam tipe tersebut akhirnya memperoleh jawaban yang benar. Ketidak sesuaian
tersebut dikarenakan perbedaan dalam hal berfikir ketika siswa berfikir secara mandiri,
sehingga terjadi pengaruh mempengaruhi dalam bertukar pendapat. Hal ini sesuai
dengan salah satu postulat yang diungkapkan oleh French dalam Sarwono (1983) yaitu
dalam sebuah hubungan dua orang, seseorang yang dipengaruhi akan mengubah
pendapatnya mengikuti pasangannya tetapi tidak diikuti dengan perubahan kognitifnya
melainkan dikarenakan kekuasaan dasar yang lebih kuat diantara salah seorang tersebut,
seperti kekuasaan rujukan, kekuasaan ganjaran, kekuasaan hukuman, kekuasaan
pengabsahan dan kekuasaan keahlian.
Adapun dua siswa berpasangan yang semula ketika secara mandiri berfikir salah
dan pada saat bertukar pendapat memperoleh kesepakatan yang salah hanya muncul
pada 2 indikator yaitu indikator 2 dan 5 dengan masing-masing persentase ketuntasan
indikator sebesar 59% dan 100%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase ketercapaian
indikator pada tipe kesepakatan 2 tidak dapat dipastikan lebih tinggi atau lebih rendah.
Seharusnya persentase ketuntasan indikator tersebut cenderung rendah, karena pada tipe
tersebut kedua siswa setelah bertukar pendapat masih berfikir salah. Ketidaksesuaian
tersebut dapat disebabkan adanya perubahan berfikir siswa pada saat fase Share. Pada
fase Share salah satu pasangan berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang mereka
bicarakan, oleh karena itu pada fase inilah setiap individu memperbaiki pemahaman
mereka tentang jawaban yang telah dibicarakan dengan pasangannya. Hal ini sejalan
dengan apa yang diungkapkan Nur (2005) bahwa diskusi perlu dilakukan di dalam
seting seluruh kelompok.
Keefektifan pembelajaran dapat dilihat dari ketuntasan belajar siswa. Seorang
siswa telah tuntas belajar bila ia telah mencapai nilai >60 dan suatu kelas dikatakan
tuntas bila di kelas tersebut telah mencapai 85% yang telah mencapai nilai >60.
Berdasarkan data yang diperoleh menunjukkan siswa yang tidak tuntas belajar di kelas
1 Audio-video 2 SMK Negeri Surabaya pada materi pokok ikatan kimia yaitu sebanyak
3 dari 22 siswa dengan masing-masing nilainya 50, 43 dan 50. Dengan demikian,
ketuntasan klasikal di kelas tersebut mencapai 86,36%.
Secara umum dapat dijelaskan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TPS
yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur dapat menghantarkan siswa mencapai
indikator hasil belajar. Hal ini dapat dilihat pada ketuntasan klasikal siswa kelas 1
Audio-Video 2 yang mencapai 86,36%. Besar persentase tersebut telah melebihi batas
ketuntasan klasikal yang telah ditetapkan sekolah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Jika dalam mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TPS (Think-PairShare) siswa benar-benar berfikir secara mandiri pada fase Think dan bertukar
pendapat pada fase Pair, maka dapat ditemukan tipe-tipe kesepakatan siswa
pada materi pokok ikatan kimia di SMK ada 6 tipe, yaitu:
a. Tipe kesepakatan 1 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat
berpikir secara mandiri sudah benar dan pada saat berbagi pendapat dengan
pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang benar.
b. Tipe kesepakatan 2 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri
jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan
pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh
kesepakatan jawaban yang benar.
c. Tipe kesepakatan 3 menyatakan bahwa pada saat berpikir secara mandiri
jawaban siswa I sudah benar, sedangkan jawaban siswa II masih salah dan
pada waktu berbagi pendapat dengan pasangannya, akhirnya memperoleh
kesepakatan jawaban yang salah.
d. Tipe kesepakatan 4 menyatakan bahwa jawaban siswa I dan II pada saat
berpikir secara mandiri masih salah dan pada saat berbagi pendapat dengan
pasangannya, siswa memperoleh kesepakatan jawaban yang salah.
Daftar Pustaka
Karakteristik
dan
Nur, Muhammad dan Wikandari. 2004. Pembelajaran Berpusat Pada Siswa Dan
Pendekatan Konstruktivis. Surabaya: PSMS Universitas Negeri Surabaya.
Slamet. 2005. Pendidikan Berbasis Kompetensi. Makalah yang disampaikan pada acara
Persiapan Monitoring dan Evaluasi Sekolah Standar Nasional. Jakarta.
pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan , nilai, sikap dan minat agar dapat
melakukan sesuatu dalam kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh
tanggung jawab (Mulyasa, 2004).
Berdasarkan hasil wawancara dengan Drs. Agus Dwi, guru Sains di SMP Negeri
1 Balongbendo Sidoarjo pada tanggal 7 Oktober 2006 bahwa berdasarkan MGMP,
siswa dikatakan tuntas belajar secara individual jika mencapai nilai 60 dan
dikatakan tuntas belajar secara klasikal jika terdapat 70% siswa yang memperoleh
nilai 60. Kenyataannya, siswa yang belum tuntas belajar sebanyak 80 % dari
jumlah siswa seluruhnya, sedangkan yang tuntas sekitar 20 % dari jumlah siswa
seluruhnya. Berarti siswa yang belum tuntas belajar yaitu 32 siswa dan yang tuntas
belajar hanya 8 orang. Kemudian berdasarkan hasil angket prapenelitian jumlah
siswa yang mempunyai kemauan besar untuk mengikuti pembelajaran sains sebesar
89,74 % dan yang menganggap pembelajaran sains menyenangkan sekitar 17,95 %.
Jumlah siswa yang menganggap pembelajaran sains khususnya pada materi pokok
bahan kimia dalam bahan makanan menarik sebesar 25,64 %.
Melihat beberapa permasalahan diatas, peneliti mencoba menerapkan model
pembelajaran berdasarkan masalah, dimana dalam model pembelajaran ini siswa
diajak untuk terlibat aktif dalam memecahkan suatu masalah yang ada dalam
kehidupan sehari-hari dengan melakukan percobaan dan berdiskusi dalam kelompok
dan pada akhirnya siswa dapat menemukan sendiri konsep yang berkaitan dengan
bahan kimia dalam bahan makanan.
Sedangkan materi pokok yang dipilih dalam penelitian ini adalah bahan kimia
dalam bahan makanan. Materi pokok bahan kimia dalam bahan makanan dipilih
karena materi ini tergolong sulit.
Peneliti memilih kelas VII-A sebagai objek penelitian karena berdasarkan hasil
wawancara dengan guru sains yang mengajar di kelas VII -A bahwa siswa yang aktif
selama kegiatan belajar mengajar sangat sedikit.
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian dengan judul Penerapan
Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada Materi Pokok Bahan Kimia Dalam
Bahan Makanan Kelas VII-A di SMP Negeri 1 Balongbendo Sidoarjo.
Penelitian ini menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian
Tindakan Kelas (PTK) merupakan suatu bentuk kajian yang bersifat reflektif oleh
pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional dari
tindakan-tindakan yang telah dilakukan serta memperbaiki kondisi dimana praktekpraktek pembelajaran dilalakukan (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999: 6).
2. METODE PENELITIAN
Sasaran Penelitian
Sasaran penelitian ini adalah siswa kelas VII-A pada semester II tahun
pelajaran 2006-2007 di SMP Negeri 1 Balongbendo. Peneliti memilih kelas VIIA.
2.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini
dilakukan dalam tiga kali putaran. Setiap putaran terdiri dari 4 tahap yaitu:
Tahap 1. Perencanaan (Planning)
Tahap 2. Tindakan/ observasi (Action/ Observaton)
Tahap 3. Refleksi (Reflective)
Tahap 4. Revisi (Revise)
Action/
Obervation
Putaran I
Revised
Plan
Reflective
Action/
Obervation
Putaran II
Revised
Plan
Reflective
Action/
Obervation
Putaran III
Revised
Plan
Gambar 3.1
Spiral Penelitian Tindakan Kelas (Tim Pelatih Proyek PGSM, 1999)
2.3 Analisis Data Penelitian
(1) Analisis Data Pengelolaan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Tabel 3.1
Kategori Skor Skala Likert
Skor
Keterangan
1
Buruk sekali
2
Buruk
Sedang
Baik
3
Sangat baik
4
5
Skor kriterium = Skor tertinggi x jumlah item pertanyaan x jumlah observer
No
1.
2.
3.
4.
5.
Tabel 3.2
Kriteria Interpretasi Skor
Persentase
Kategori
0%-20%
Sangat lemah
21%-40%
Lemah
Cukup
41%-60%
Kuat
61%-80%
Sangat Kuat
81%-100%
Keterangan:
rxy = Koefisiaen korelasi
N = Jumlah butir soal
X = Skor peserta pada butir soal yang divalidasi
Y = Skor total yang dicapai peserta tes
Tabel 3.4
Koefisien Korelasi
Koefisien Korelasi
Keterangan
0,81-1,00
Sangat tinggi
0,61-0,80
Tinggi
Cukup
0,41-0,60
Rendah
0,21-0,40
Sangat
rendah 2003: 72)
0,00-0,20
(Arikunto,
b) Reliabilitas
r 11
V
V
Dengan: r
11
= Varians responden
r
= Varians sisa
s
100% N
Dengan: B = Jumlah soal yang benar
N = Banyaknya soal.
(Surapranata, 2004)
a.
b.
c.
d.
(3) Guru hendaknya lebih memotivasi siswa lagi sehingga aktivitas siswa
yang tidak relevan dengan KBM bisa diminimalkan bahkan dihilangkan.
Putaran III
Rancangan
(1) Guru telah menyiapkan perangkat pembelajaran yang meliputi Rencana
Pembelajaran (RP) dan soal postes (Tes Formatif 3).
(2) Guru telah menyiapkan sarana pembelajaran yakni LKS 3 dan Hand
Out.
(3) Guru telah menyiapkan instrumen penelitian
(4) Guru telah menetapkan kelompok-kelompok kooperatif yang heterogen
berdasarkan nilai raport.
Kegiatan dan Pengamatan
Pada putaran III materi yang dipelajari adalah bahan pengawet makanan.
Pada tahap pendahuluan, guru mengawali pembelajaran dengan
menyampaikan indikator pencapaian. Setelah itu, guru memotivasi siswa
dengan menunjukkan mie yang dijual di pasar. Selanjutnya guru mengaitkan
pembelajaran dengan pengetahuan awal siswa tentang bahan pemanis
makanan, serta guru mengarahkan siswa untuk merumuskan permasalahan
autentik yaitu Bagaimana cara mengidentifikasi adanya borak pada
bakso?.
Pada kegiatan inti, dimulai dengan guru meminta siswa melakukan
kajian pustaka untuk merumuskan jawaban sementara dari permasalahan
kemudian guru meminta siswa melakukan penyelidikan dalam kelompok
dengan tujuan agar mereka bisa memecahkan masalah dengan cara
berdiskusi dan bekerja sama.
Setelah siswa melakukan penyelidikan, guru meminta masing-masing
kelompok untuk menyusun laporan singkat hasil pengamatan. Selama siswa
melakukan penyelidikan dalam kelompok, guru memotivator, mengevaluasi
dan meyakinkan apakah siswa bisa memecahkan masalah itu dengan baik.
Setelah itu, guru meminta kelompok secara bergiliran untuk
mempresentasikan laporannya dan dilanjutkan dengan refleksi, yaitu tanya
jawab antar kelompok tentang laporan yang disajikan. Guru memberi
penguatan dan mengklarifikasi konsep kepada siswa tentang materi yang
dipelajari. Pengklarifikasian konsep ini bertujuan agar tatanan persamaan
konsep tentang materi yang dipelajari dibenak siswa. Kemudian guru
meminta siswa menyimpulkan materi yang dipelajari. Sekitar 10 menit
terakhir digunakan oleh siswa untuk mengerjakan tes formatif secara
individu sebanyak 6 soal obyektif.
Refleksi
(1) Selama KBM, pembelajaran berorientasi pada siswa dan siswa dapat
memecahkan permasalahan dengan baik.
(2) Dari tabel 4.14 diketahui bahwa guru dapat meningkatkan pengelolaan
model pembelajaran berdasarkan masalah.
(3) Berdasarkan tabel 4.18 nilai rata-rata siswa dari hasil tes formatif putaran
III sebesar 91,7 dengan ketuntasan klasikal sebesar 95,0%.
(4) Hasil angket yang disajikan dalam tabel 4.19 menunjukkan penilaian
yang positif terhadap penerapan pembelajaran berdasarkan masalah.
Revisi
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2003. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta:
P.T. Bumi Aksara
Depdiknas. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur-Balitbang.
Depdiknas. 2003. Kurikulum Bernasis Kompetensi, Standar Kompetensi Mata
Pelajaran Sains Sekolah Menengah Pertama dan M adrasah Tsanawiyah.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Faridah, Anis. 2004. Penerapan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah Pada
Materi Pokok Pemisahan Campuran Untuk Menunjang Pelaksanaan Kurikulum
Berbasis Kompetensi Di SMPN 1 Sidoarjo. Skripsi. Tidak dipublikasikan.
Surabaya: Unesa.
Gulo, W. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo.
Hudojo, H. 1988. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Malang: Usaha Nasional.
aktivitas
PENDAHULUAN
Salah satu standar kompetensi (SK) pada bidang kimia yang harus dicapai siswa
SMA adalah menerapkan konsep reaksi redoks dan elektrokimia dalam teknologi dan
kehidupan sehari-hari. Salah satu kompetensi dasar (KD) untuk SK itu adalah
menerapkan konsep reaksi redoks dalam sistem elektrokimia dalam mencegah korosi.
Penyepuhan (elektroplating) adalah salah satu proses pencegahan korosi yang
menerapkan konsep reaksi redoks.
Seperti diketahui ilmu kimia memiliki tiga karakteristik, yaitu: ontologi (apa
yang dikaji atau objek ilmu kimia), epistemologi (cara memperoleh), dan aksiologi
(kegunaannya). Penyampaian mata pelajaran kimia tidak boleh lepas dari pertanyaan
apa, mengapa, dan bagaimana. P embelajaran kimia berkaitan dengan dua hal yang
tidak terpisahkan, yaitu kimia sebagai produk (fakta, konsep, prinsip, hukum, dan
teori) dan kimia sebagai proses (kerja ilmiah). Pendekatan induktif dalam bentuk proses
inkuiri ilmiah pada tataran inkuiri terbuka merupakan satu pilihan dalam pembelajaran
kimia. Melalui proses inkuiri ilmiah dapat ditumbuhkan pada siswa kemampuan
berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah serta berkomunikasi sebagai salah satu aspek
penting kecakapan hidup. Oleh karena itu pembelajaran kimia menekankan pada
pemberian pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan pengembangan
keterampilan proses dan sikap ilmiah (Permendiknas No. 22 Tahun 2006).
Bagaimana keterampilan proses siswa, khususnya di SMAN 4 Sidoarjo? Untuk
mengetahui kemampuan itu dilakukan tes keterampilan proses yang dikembangkan oleh
Nur. Hasil tes memberi simpulan bahwa terdapat tujuh komponen keterampilan proses
yang belum dikuasai siswa dalam jumlah yang diharapkan (75%). Jumlah siswa yang
mencapai ketuntasan untuk masing-masing komponen adalah sebagai berikut:
pemahaman metode ilmiah sebesar 27,5% (dari 40 siswa yang menjawab benar hanya
11 orang); pemahaman variabel sebesar 17,5% (dari 40 siswa yang menjawab benar
hanya 7 orang); pemahaman eksperimen sebesar 10% (dari 40 siswa yang menjawab
benar hanya 4 orang); pemahaman variabel respon yang sebesar 12,5% (dari 40 siswa
menjawab benar hanya 5 orang); pemahaman variabel kontrol sebesar 7,5% (dari 40
siswa menjawab benar hanya 3 orang); pemahaman variabel manipulasi sebesar 17,5%
(dari 40 siswa menjawab benar hanya 7 orang). Secara umum siswa dinyatakan gagal
dalam keterampilan proses.
Kegagalan itu adalah sebuah masalah yang harus segera diatasi. Untuk
memecahkan problematika itu dapat dilakukan melalui proses pembelajaran atau
pemilihan model pembelajaran yang tepat. Salah satu model pembelajaran yang tepat
untuk melatih keterampilan proses berpikir (minds on) adalah model pembelajaran
berdasarkan masalah (Problem Based Learning, PBL). PBL adalah rangkaian fase-fase
(sintaks) yang diawali dengan menghadapkan siswa ke dalam situasi masalah yang
autentik dan bermakna yang memancing siswa untuk melakukan penyelidikan dan
inquiri (Ibrahim dan Nur, 2005). Sintaks dari PBL adalah sebagai berikut: (1) orientasi
siswa kepada masalah, (2) mengorganisasikan siswa untuk belajar, (3) membimbing
penyelidikan individual maupun kelompok, (4) mengembangkan dan menyajikan hasil
karya, (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah (Ibrahim dan Nur,
2005).
Penelitian tentang implementasi model PBL telah dilakukan peneliti-peneliti
terdahulu, tetapi belum memberikan analisis secara spesifik kepada ketuntasan
komponen-komponen dalam keterampilan berpikir tingkat tinggi (keterampilan proses).
METODE PENELITIAN
1. Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA 2 SMA Negeri 4
Sidoarjo, karena kelas XII IPA 2 adalah kelas yang kurang aktif dibanding
kelas-kelas yang lain.
2. Rancangan Penelitian
Pada tahap kegiatan inti terdapat aspek mengorganisasikan siswa untuk belajar,
membimbing penyelidikan kelompok, dan menyajikan hasil penyelidikan. Pada tahap
kegiatan inti dalam tatap muka I, II, III diterapkan dengan alokasi waktu yang tidak
terpaut jauh dari waktu yang direncanakan.
Dalam pengamatan keterlaksanaan sintak, tinjauan tidak hanya sampai pada
kriteria terlaksana atau tidak terlaksana. Ketika sebuah sintak dinilai terlaksana masih
terdapat kajian lebih lanjut, yaitu dari dimensi waktu. Dengan memperhatikan catatan
waktu pelaksanaan sintak-sintak dalam model pembelajaran yang diterapkan masih
terdapat ketidaksesuaian dengan alokasi waktu yang direncanakan. Namun sebenarnya
di dalam pembelajaran kompetensi waktu bukan menjadi penghambat karena
orientasinya kinerja.
Untuk penyempurnaan rencana pembelajaran pada implementasi masa yang
akan datang, maka tidak menutup peluang untuk dilakukan koreksi terhadap koreksikoreksi waktu yang didasarkan kepada data lapangan.
2. Aktivitas Siswa dalam Kelompok
Implementasi model PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia dapat
menumbuhkan aktivitas belajar siswa. Siswa disibukkan oleh aktivitas-aktivitas seperti:
membaca (mencari informasi), mendiskusikan tugas dengan partisipasi seluruh anggota,
mendiskusikan prosedur kerja, melakukan pengamatan atau percobaan, dan
memperhatikan presentasi siswa lain. Aktivitas-aktivitas itu memiliki frekuensi yang
cenderung lebih besar dibandingkan aktivitas-aktivitas yang tidak relevan dengan
kegiatan belajar. Gambaran seperti ini terjadi baik pada tatap muka I, II, maupun III.
Frekuensi unsur-unsur aktivitas positif cenderung meningkat sejalan dengan
urutan pelaksanaan RPP. Hal itu dapat diberikan makna bahwa implementasi model
PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia benar-benar memberi pembiasaan dan
peningkatan kepada siswa untuk belajar secara positif. Fenomena ini sejalan dengan apa
yang dikemukan oleh Ibrahim dan Nur (2004), bahwa pembelajaran menggunakan
model PBL dapat menumbuhkan aktivitas belajar siswa, baik secara kelompok maupun
individu.
Aktivitas siswa melakukan pengamatan/percobaan cenderung lebih tinggi baik
pada tatap muka I, II, maupun III. Temuan empiris itu sesuai dengan pernyataan
Ibrahim dan Nur (2004) bahwa model PBL adalah seperangkat prosedur yang
menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna yang dapat
memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri.
Melakukan pengamatan atau melakukan percobaan adalah inti dari kegiatan
penyelidikan.
3. Ketuntasan Setiap Komponen Berpikir
Menurut Ibrahim dan Nur (2004), model PBL mengharuskan siswa melakukan
penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Siswa
harus menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan
membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan percobaan,
membuat inferensi, dan merumuskan kesimpulan. Jumlah siswa mencapai ketuntasan
dalam keterampilan berpikir akademis adalah 37 siswa dari total 40 siswa, sedangkan
sisanya 3 siswa dinyatakan tidak tutas.
Hasil menunjukkan bahwa seluruh komponen keterampilan berpikir selama
implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah dalam kategori tuntas baik
komponen 1 sampai 10. Dengan demikian dapat dituliskan bahwa implementasi model
pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok Redoks dan Elektrokimia dapat
membantu siswa mencapai ketuntasan berpikir tingkat tinggi. Artinya, implementasi
model pembelajaran berdasarkan masalah dapat memperbaiki kesulitan siswa dalam
mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Penilaian keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam penelitian ini adalah
penilaian keterampilan siswa dalam setiap komponen berpikir tingkat tinggi saat
melakukan kegiatan eksperimen. Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa siswa
yang tuntas secara individual melakukan kinerja eksperimen adalah 37 siswa. Dilihat
secara klasikal jumlah anak tuntas dalam kelas mencapai 92,5% sudah melewati batas
ketuntasan yang diterapkan 75%. Hal ini dapat dilihat dari skor total yang diperoleh
siswa.
Implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok
reaksi redoks dan elektrokimia dapat menghantarkan siswa mencapai ketuntasan
keterampilan berpikir tingkat tinggi baik ditinjau secara individual maupun klasikal.
4. Kesamaan antara Ketuntasan Klasikal pada Setiap Komponen
Keterampilan Berpikir
Keterampilan akademis (academic skills), sebagai salah satu kelas dari
keterampilan berpikir tingkat tinggi harus menjadi bagian integral dari pembelajaran
kimia, termasuk pada pembelajaran materi pokok Redoks dan Elektrokimia. Telah
dilakukan pengukuran atas keterampilan akademis itu pada saat sebelum pembelajaran
dan setelah pembelajaran menggunakan model PBL. Pertanyaan yang akan diberikan
pembahasannya saat ini adalah apakah terdapat kesamaan profil dari komponenkomponen keterampilan akademis itu sebelum dan sesudah pembelajaran dengan model
PBL.
Profil keterampilan berpikir akademis kelas (klasikal) pada materi umum
memiliki pola yang sama dengan keterampilan berpikir akademis pada materi kimia.
Fluktuasi kuantitas skor setiap komponen keterampilan berpikir pada materi umum
sejalan dengan fluktuasi kuantitas skor setiap komponen berpikir pada materi kimia. Hal
itu mencerminkan bahwa kelas siswa memiliki kesejalanan berpikir yang sama ketika
dihadapkan kepada materi umum maupun kepada materi kimia. Fenomena ini dapat
dimaknai bahwa pola berpikir akademis yang tergambar dari siswa dalam sebuah
ukuran kelas memiliki sifat ajeg.
Skor klasikal setiap komponen keterampilan berpikir pada materi umum lebih
rendah dibanding pada materi kimia. Seperti diketahui keterampilan berpikir pada
materi umum diukur sebelum siswa dilibatkan dalam pembelajaran PBL, sedangkan
keterampilan berpikir pada materi kimia diukur sesudah siswa dilibatkan dalam
pembelajaran PBL. Ini memberi petunjuk bahwa pelibatan siswa ke dalam fase-fase
dalam sintaks PBL memberi dampak akumulasi yang positif kepada keberhasilan kelas.
Kemampuan kelas dalam mengidentifikasi masalah tidak selalu memiliki
kesetaraan dengan kemampuan merumuskan hipotesis. Demikian pula dengan
komponen-komponen keterampilan berpikir yang lain. Walau keterampilan
mengidentifikasi masalah dan keterampilan merumuskan hipotesis keduanya sama-sama
dalam kelompok academic skill, namun kompleksitas masing-masing keterampilan
berpikir saling berbeda. Keterampilan merumuskan hipotesis sedikit lebih sulit
dibanding mengidentifikasi masalah, karena untuk dapat merumuskan hipotesis dengan
benar setiap orang harus memahami betul tentang variabel-variabel yang akan dirangkai
menjadi rumusan hipotesis.
Jika diperhatikan profil keterampilan berpikir kelas, nampak bahwa
keterampilan merancang percobaan dan membuat simpulan atas hasil percobaannya
menduduki posisi paling tinggi dibanding keterampilan-keterampilan berpikir yang lain.
Ini memberi arti bahwa kelas lebih memperoleh kemudahan apabila dilibatkan kepada
keterampilan yang mengandung aktivitas-aktivitas yang disertai kebendaan (melibatkan
alat-alat dan bahan) dan membuat simpulan atas rancangan yang dibuat. Proses
penyepuhan adalah materi pembelajaran autentik dan kontekstual dari materi pokok
Redoks dan Elektrokimia yang melibatkan aktivitas siswa yang disertai penggunaan alat
dan bahan yang membantu proses berpikir siswa penyimpulan.
5. Kesamaan antara Ketuntasan Individual pada Setiap Komponen
Keterampilan Berpikir
Terdapat empat tipe individu ditinjau dari ketuntasannya dalam keterampilan
berpikir akademis pada materi umum dan pada materi kimia, yaitu: (a) Individuindividu yang tuntas dalam keterampilan berpikir akademis baik sebelum maupun
sesudah pembelajaran dengan model PBL (60%). Persentase terbesar ini dapat dijadikan
cerminan bahwa terjadi kesejalanan antara keterampilan berpikir akademis siswa pada
materi umum dan pada materi kimia; (b) Individu-individu yang tidak tuntas dalam
keterampilan berpikir akademis sebelum pembelajaran dengan model PBL, tetapi
menjadi tuntas (mengalami kemajuan) sesudah pembelajaran dengan model PBL
(32,5%); (c) Individu-individu yang tidak tuntas dalam keterampilan berpikir akademis
baik sebelum maupun sesudah pembelajaran dengan model PBL (5%); dan (d) Individuindividu yang tuntas dalam keterampilan berpikir akademis sebelum pembelajaran
dengan model PBL, tetapi justru tidak tuntas sesudah pembelajaran dengan model PBL
(2,5%).
Jika keberhasilan implementasi direpresentasi oleh individu-individu tipe a dan
tipe b, maka implementasi model pembelajaran pada materi pokok redoks dan
elektrokimia berhasil menghantarkan individu-individu sebanyak 92,5% mencapai
ketuntasan belajarnya. Yang lebih berarti adalah implementasi model PBL itu mampu
mengentaskan 32,5% individu yang tidak tuntas dalam keterampilan berpikir
akademisnya.
Persentase siswa yang berhasil menggunakan academic skills nya sebelum
pembelajaran menggunakan PBL (60%) mengalami kenaikan menjadi 92,5%. Seperti
halnya dengan fenomena yang terjadi secara klasikal, bahwa keterampilan akademis
siswa secara individual dapat diperbaiki melalui pembelajaran kimia materi pokok
Redoks dan Elektrokimia menggunakan model PBL. Hal ini dapat dimaknai bahwa
implementasi model pembelajaran PBL memberi kesempatan kepada siswa untuk
melatih academic skills nya. Melalui implementasi model PBL pada materi penyepuhan,
setiap siswa dihadapkan kepada situasi pembelajaran yang autentik dan bermakna yang
memberikan kesempatan untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri, sehingga memberi
kemudahan kepada setiap individu untuk mengembangkan keterampilan berpikirnya.
Menurut Sudjana (1991), kualitas belajar yang dicapai siswa dapat dilihat dari
aspek: (1) Perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku siswa (kompetensi) setelah
menyelesaikan pengalaman belajarnya; (2) Kuantitas dan kualitas penguasaan tujuan
belajar; dan (3) Jumlah siswa yang mencapai minimal 75% dari keseluruhan tujuan
pembelajaran. Jika lima point resume di atas dikaitkan dengan pendapat Sudjana itu,
maka dapat diberikan jawaban atas pertanyaan umum dari penelitian ini, bahwa
implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok redoks dan
elektrokimia telah menghantarkan siswa mencapai tujuan belajar tingkat tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian dan pembahasan, dapat dituliskan
simpulan penelitian sebagai berikut:
1. Fase-fase dalam sintaks PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia
dapat dilaksanakan sesuai dengan RPP yang telah dipersiapkan sebelumnya.
2. Implementasi model PBL pada pembelajaran redoks dan elektrokimia dapat
menumbuhkan aktivitas belajar siswa. Aktivitas-aktivitas belajar memiliki
frekuensi yang lebih besar dibandingkan aktivitas-aktivitas yang tidak
relevan dengan kegiatan belajar. Fenomena itu terjadi baik pada tatap muka
I, II, maupun III. Frekuensi unsur-unsur aktivitas belajar yang positif
cenderung meningkat sejalan dengan urutan pelaksanaan RPP.
3. Implementasi model PBL pada pembelajaran materi pokok redoks dan
elektrokimia berhasil menghantarkan siswa mencapai ketuntasan belajar.
Implementasi model pembelajaran pada materi pokok redoks dan
elektrokimia berhasil menghantarkan individu-individu sebanyak 92,5%
mencapai ketuntasan belajarnya. Yang lebih berarti adalah implementasi
model PBL itu mampu mengentaskan 32,5% individu yang tidak tuntas
dalam keterampilan berpikir akademisnya menjadi tuntas.
4. Pelibatan siswa ke dalam fase-fase dalam sintaks PBL memberi dampak
akumulasi yang positif kepada keberhasilan kelas. Siswa dalam kelas lebih
memperoleh kemudahan apabila dilibatkan kepada keterampilan
yang mengandung aktivitas -aktivitas yang disertai kebendaan (melibatkan
alat-alat dan bahan) melalui pembelajaran redoks dan elektrokimia yang
autentik dan kontekstual.
5. Seperti halnya dengan fenomena yang terjadi secara klasikal, bahwa
keterampilan akademis siswa secara individual dapat diperbaiki melalui
pembelajaran kimia materi pokok Redoks dan Elektrokimia menggunakan
model PBL.
6. Dari lima simpulan di atas dapat dibuat simpulan umum bahwa
implementasi model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi pokok
redoks dan elektrokimia telah menghantarkan siswa mencapai tujuan belajar
tingkat tinggi.
Saran
Dari hasil analisis dan pembahasan di samping ditemukannya dampak positif
dari implementasi model PBL pada pembelajaran materi pokok redoks dan
elektrokimia, masih ditemukan 2 siswa yang tetap tidak tuntas walau telah dilibatkan
dalam pembelajaran itu dan masih ditemukan 1 siswa yang justru berubah dari tuntas
menjadi tidak tuntas setelah dilibatkan dalam model PBL. Walau fenomena ini tidak
signifikan kiranya masih perlu mendapat perhatian.
130
Pengetahuan Alam (IPA) yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia. Pada
hakekatnya ilmu ini mempelajari tentang materi dan energi yang menyertainya.
Unsur, senyawa dan campuran merupakan salah satu materi pokok ilmu kimia
yang ada di dalam pendidikan sains. Kompetensi dasar yang ingin dicapai dalam materi
pokok ini adalah siswa dapat membedakan sifat unsur, senyawa dan campuran.
Pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan dalam mempelajari materi pokok ini
adalah lebih mengenalkan siswa pada lingkungan sekitar. Media yang berisikan teori
yang diselingi dengan contoh-contoh yang mampu divisualkan diharapkan mampu
membantu siswa dalam memahami materi, mengingat siswa masih berada dalam masa
transisi dari tahap konkrit ke formal (teori perkembangan kognitif).
Pengajar tidak hanya perlu secara terus menerus memperbaruhi penguasaan
materi yang akan diajarkan tapi juga dituntut untuk mampu menyampaikan materi.
Pengajar juga dituntut untuk memiliki
kemampuan dan keterampilan dalam
memanfaatkan fasilitas yang tersedia yang tidak menutup kemungkinan fasilitasfasilitas tersebut sesuai dengan perkembangan jaman.
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti mencoba merumuskan permasalahan
sebagai berikut: 1) bagaimanakah kelayakan media interaktif berbasis komputer yang
dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon
guru, 2) bagaimanakah kelayakan media interaktif berbasis komputer yang
dikembangkan pada materi pokok unsur, senyawa dan campuran dilihat dari respon
siswa.
Sasaran Penelitian
Sasaran dari penelitian ini adalah media interaktif berbasis komputer pada materi
pokok unsur, senyawa dan campuran yang dikemas dalam bentuk uraian materi dan
latihan soal-soal, sedangkan yang bertindak sebagai responden adalah tiga guru sains
dan sepuluh siswa SMPN 2 Gedangan Sidoarjo.
Rancangan Penelitian
Media pembelajaran dengan materi pokok unsur, senyawa dan campuran ini
diujicobakan secara terbatas pada satu kelompok kecil. Penelitian pengembangan ini
mengadaptasi pada model pengembangan perangkat pembelajaran menurut Thiagarajan,
S.Semmel,P.P, dan Semmel, M.I (dalam Ibrahim, M, 2001) yaitu model 4-D. Model ini
terdiri dari 4 tahap pengembangan yaitu Define (pendefinisian), Design (desain),
Develop (pengembangan), Disseminate (diseminasi).
131
Analisis Siswa
Analisis Tugas
Analisis Konsep
Define
Develop
Revisi II
132
Tabel 1
DATA RESPON GURU SAINS TERHADAP MEDIA INTERAKTIF BERBASIS
KOMPUTER
VARIABEL
YANG DIUKUR
Kesesuaian
materi yang
diajarkan dengan
media
ASPEK PENILAIAN
PERSENTASE
SETIAP VARIABEL
ASPEK
93%
93%
93%
93%
87%
87%
87%
93%
90%
87%
90%
sekali. Hal ini menunjukkan bahwa media interaktif berbasis komputer yang
dibuat sudah sangat baik, yang berarti media tersebut layak untuk digunakan
sebagai media pembelajaran.
2. Respon siswa terhadap media interaktif berbasis komputer
Tabel 2
DATA RESPON SISWA TERHADAP MEDIA INTERAKTIF BERBASIS
KOMPUTER
VARIABEL YANG
DIUKUR
PERSENTASE
ASPEK PENILAIAN
TIAP
ASPEK
VARIABEL
88%
84%
78.5%
62%
80%
78%
78%
86%
86%
86%
84%
84%
84%
84%
81.62%
dalam media (didukung oleh hasil belajar siswa dengan menggunakan media)
dengan rata-rata penilaian sebesar 81.62%.
Saran
1. Perlu dilakukan tahap diseminasi terhadap media interaktif berbasis komputer pada
materi pokok unsur, senyawa dan campuran.
2. Perlu dibuat media interaktif berbasis komputer dengan materi yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2003. StandarKompetensi Mata Pelajaran Sains Sekolah Menengah
Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Depdiknas.
Ibrahim, Muslimin. 2001. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran Menurut
Jerold E. Kemp dan Thiagarajan. Surabaya: Faculty of Mathematics and
Science State University of Surabaya.
Ibrahim, Nurdin. Pemanfaatan Tutorial Audio Interaktif Untuk Perataan Kualitas Hasil
Belajar. Http:// www.depdiknas.go.id. 12 Pebruari 2006.
Nur, Mohamad. 1998. Teori-Teori Perkembangan. Surabaya: Institut Keguruan Dan
Ilmu Pendidikan Surabaya.
Pribadi, Benny A. 2004. Ketersediaan Dan Pemanfaatan Media Dan Teknologi
Pembelajaran Di Perguruan Tinggi. Http://pk.ut.ac.id/jp/52sep04/52benny.htm.
12 Pebruari 2006 .
Riduwan. 2003. Skala Pengukuran Variabel Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta.
Sadiman, A.S., Rahardjo, R., Haryono, A. dan Rahardjito. 2005. Media Pendidikan:
Pengertian, Pengembangan dan pemanfaatannya. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Suntoro,
Ahmad.
1991.
Komputer
Untuk
Pendidikan.
Http:/www.bogor.net/idkf/idkf/microelectronics/komputer-untuk-pendidikan1991.rtf. 12 Pebruari 2006.
Sutopo, AH. 2002. Animasi Dengan Macromedia Flash Berikut ActionScript. Jakarta:
Salemba Infotex.
PENGANTAR
Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pendidikan, maka
seorang guru diharapkan mampu meningkatkan pengalaman dan pengetahuannya sesuai
dengan bidang ilmu yang ditekuninya. Selama itu juga perlu ditingkatkan aspek
pendidik dari mutu pengajarannya dalam hal ini proses mengajar. Keberhasilan proses
belajar mengajar tidak terbatas pada pengenalan bahan pelajaran saja, tetapi dipengaruhi
oleh komponen-komponen antara lain guru, siswa, model pembelajaran, media
pembelajaran yang digunakan, dan metode yang diberikan kepada siswa. Proses belajarmengajar akan berjalan efektif apabila seluruh komponen yang terlibat dalam proses
tersebut saling mendukung dan bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan
pembelajaran.
Pemahaman siswa terhadap materi akan lebih optimal apabila siswa tidak
hanya mendengarkan penjelasan guru, melainkan siswa dituntut lebih aktif dalam hal
melatih ulang sendiri kemampuannya. Hal ini dapat dilakukan apabila terdapat suatu
media pembelajaran yang mampu memberikan unsur menarik dan menantang bagi
siswa sehingga pesan atau informasi dapat tersampaikan dengan baik. Ada beberapa hal
yang menyatakan bahwa penggunaan media dipandang perlu untuk digunakan dalam
proses belajar mengajar di sekolah, diantaranya: (1) Penggunaan media dapat
menjadikan suasana pembelajaran lebih menarik perhatian siswa, dan meningkatkan
semangat belajar siswa, (2) Metode pengajaran akan lebih variatif dan inovatif dengan
tampilan animasi dan suara yang disesuaikan dengan materi ajar, sehingga siswa tidak
cepat bosan dan merasa enjoy dalam kegiatan belajar mengajar, (3) Dengan kreativitas
dan keterampilannya, seorang guru dapat menyajikan materi ajar dengan jelas makna
yang terkandung dalam materi tersebut, sehingga siswa dapat menguasai tujuan
pembelajaran. Media pembelajaran yang sering dikenal adalah komputer. Komputer
memiliki keunggulan dalam hal interaksi, menumbuhkan minat belajar secara mandiri,
serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa. Pemanfaatan komputer sebagai media
dan teknologi pembelajaran tidak hanya terbatas pada perangkat kerja saja (hard ware)
tetapi juga perangkat lunaknya (soft ware). Salah satu soft ware yang dapat
dimanfaatkan sebagai media pembelajaran adalah macro media flash dengan segala
keunggulannya.
Pengembangan media ini difokuskan pada materi pokok sifat koligatif larutan,
karena dalam materi sifat koligatif larutan, siswa dituntut untuk memahami isi materi
serta berpikir konkrit dalam aplikasinya di kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
dibutuhkan tampilan-tampilan gambar atau animasi yang tepat dan sesuai dengan materi
ajar agar memudahkan siswa untuk mendalami isi materi dan mengurangi pemikiran
siswa yang bersifat abstrak. Kelayakan media pembelajaran ini merupakan suatu bentuk
gambaran tentang layak atau pantas dari media tersebut yang akan digunakan dalam
proses belajar mengajar. Media dapat dikatakan layak apabila penilaian dari guru kimia,
dan siswa terhadap media pembelajaran mengenai format media, kejelasan konsep dan
materi, serta pengoperasian media mencapai skor persentase 61%.
RANCANGAN
Sasaran dari penelitian ini adalah bahan ajar kimia dalam bentuk media
interaktif berbasis komputer untuk SMA pada materi pokok sifat koligatif larutan yang
ditampilkan dalam bentuk uraian materi, dan soal-soal latihan. Penelitian
pengembangan ini mengacu pada model pengembangan perangkat pembelajaran yang
dikemukakan Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (dalam Muslimin Ibrahim, 2001) yaitu
model 4-D, yang terdiri 4 tahap pengembangan yaitu Pendefinisian, Perancangan,
Pengembangan, dan Penyebaran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendefinisian
Siswa yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah siswa kelas XII yang
sedang menerima materi pokok Sifat Koligatif Larutan, mempunyaui kemampuan
akademik yang bervariasi, dan dengan adanya laboratorium komputer, SMA AL Falah
Surabaya juga telah membekali keterampilan psikomotor terhadap siswa, yaitu berupa
keterampilan dalam mengoperasikan komputer. Konsep pada materi pokok Sifat
Koligatif Larutan meliputi: (1)Sifat koligatif larutan elektrolit, (2) Sifat koligatif larutan
non elektrolit, (3) Penurunan tekanan uap larutan, (4) Kenaikan titik didih larutan, (5)
Penurunan titik beku larutan, (6) Tekanan osmosis. Berdasarkan konsep yang telah
ditentukan didapatkan indicator hasil belajar sebagai berikut: (1) Menjelaskan
pengertian sifat koligatif larutan, (2) Menghitung kemolalan suatu zat terlarut, (3)
Menghitung fraksi mol zat terlarut, (4) Menjelaskan pengaruh zat terlarut yang sukar
menguap terhadap tekanan uap pelarut, (5) Menjelaskan hubungan penurunan tekanan
uap dengan fraksi mol zat terlarut, (6) Menghitung penurunan tekanan uap, (7)
menghitung kenaikan titik didih suatu zat cair akibat penambahan zat terlarut, (8)
Menghitung penurunan titik beku suatu zat cair akibat penambahan zat terlarut,
(9) Menjelaskan pengertian osmosis, (10) Menjelaskan pengertian tekanan osmotic, (11)
Menghitung tekanan osmotik, (12) Menemukan hubungan jumlah partikel zat terlarut
dengan sifat koligatif larutan elektrolit dan sifat koligatif larutan non elektrolit
berdasarkan data atau gambar, (13) Siswa dapat menyimpulkan perbedaan sifat koligatif
larutan elektrolit dengan sifat koligatif larutan non elektrolit.
Perancangan
Pada tahap ini dilakukan perancangan terhadap media pembelajaran yaitu
penyusunan naskah dan mendesain media pembelajaran yang bersifat interaktif berbasis
komputer. Adapun langkah-langkah yang akan dilakukan adalah: (1) Menyusun naskah
(materi ajar) yang akan disajikan dalam media interaktif berbasis komputer,
(2)Melakukan validasi isi dan konstruksi, kemudian hasilnya dianalisis dan dilakukan
revisi, (3) Melakukan uji coba perangkat (soal-soal) hasil revisi kepada siswa untuk
memperoleh besarnya validitas dan reliabilitas butir soal, Memasukkan naskah yang
berupa materi bahan ajar dan soal-soal latihan yang telah dibuat kedalam media
interaktif berbasis komputer dengan menggunakan software macromedia flash.
Pengembangan
Pada tahap ini dilakukan penyusunan instrumen yang bertujuan untuk menghasilkan
edia pembelajaran berbasis komputer yang telah direvisi berdasarkan masukan dari para
pakar. Langkah-langkah yang akan dilakukan diantaranya:
(1) Telaah media komputer oleh ahli media.
Telaah media komputer dilakukan oleh ahli media dengan cara mengisi lembar
telaah untuk ahli media. Lembar telaah tersebut diberikan kepada dua orang ahli
media yang berisi masukan dan saran terhadap media komputer. Aspek yang
ditelaah oleh media diantaranya: (1) Tampilan pembuka, (2) Suara atau musik
pengiringnya, (3) Kesesuaian letak teks, gambar atau animasi dan video, (4)
Kesesuaian dalam memilih background, (5) Tampilan penutup, (6) Kemudahan
dalam membaca teks, (7) Kesesuaian dalam menampilkan gambar (animasi) sebagai
ilustrasi dengan materi, (8) Sistematika penyajian materi, (9) Sistematika penyajian
soal latihan, (10) Kemudahan dalam mengoperasikan media komputer.
(2) Penilaian media komputer oleh guru kimia dan uji coba terbatas pada siswa.
Penilaian media komputer dilakukan oleh tiga orang guru kimia SMA Al
Falah Surabaya dan uji coba terbatas kepada kelompok kecil yang terdiri dari
sepuluh orang siswa SMA Al Falah Surabaya kelas XI, kemudian dilakukan analisis
data dan revisi media serta diperoleh hasil akhir dari kelayakan media. Penilaian
media dan uji coba terbatas ini selanjutnya mendapatkan respon berupa penilaian
guru kimia dan respon siswa terhadap media pembelajaran. Penilaian oleh guru
kimia menunjukkan bahwa media yang dikembangkan, telah memenuhi kriteria
format media (94,67%), kejelasan konsep dan materi (88,34%), serta pengoperasian
media(86,67%) sebagai media pembelajaran karena persentasenya lebih dari 61%.
Respon siswa terhadap media pembelajaran yang dikembangkan, telah memenuhi
kriteria kelayakan tampilan media (87,5%), ketertarikan terhadap media (88%),
kemudahan dalam memahami materi yang diajarkan dengan menggunakan media
(86%), dan kemudahan dalam mengoperasikan media (84%).
14
3
Model Diskusi Strategi Think Pair Share Sebagai Alternatif Peningkatan Kualitas
Pembelajaran Kimia Karbon.
Rinaningsih, Achmad Lutfi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan bagaimana frekwensi aktivitas
mahasiswa dan dosen selama kegiatan pembelajaran Kimia Dasar II dengan model
diskusi; (2) mendeskripsikan bagaimana keterampilan dosen dalam mengelolah
pembelajaran dengan model diskusi; (3) mendeskripsikan bagaimana respon mahasiswa
terhadap pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang berorientasi
model diskusi; (4) mendeskripsikan hasil belajar mahasiswa setelah mengikuti kegiatan
yang berorientasi model diskusi.
Metode pengembangan yang digunakan adalah rancangan J.E.Kemp, G.R.
Morison dan S. M Ross, dengan urutan pengembangan (1) Analisis tujuan;
(2)
Analisis karakteristik mahasiswa; (3) Analisis tugas; (4) Analisis konsep; (5)
Perumusan tujuan; (6) Strategi kegiatan belajar mengajar; (7) Pemilihan media dan
sumber belajar; (8) Penyusunan instrumen evaluasi; (9) Revisi perangkat pembelajaran.
Subyek pengembangan adalah mahasiswa Fisika FMIPA UNESA angkatan 2006 yang
memprogram Kimia Dasar II.
Hasil pengembangan pada penelitian ini adalah RPP, LKM, LKM kunci, CD
Pembelajaran, Tes THB produk dan kumpulan soal-soal Kimia Karbon. Dengan
instrumen penelitian (1) Lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran diskusi;(2)
Lembar pengamatan Aktivitas dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran diskusi; (3)
Tes hasil belajar produk; (4) Angket minat dan motivasi terhadap pembelajaran. Dari
instrumen didapatkan data keterampilan dosen dalam mengelola pembelajaran diskusi
rata-rata bisa dikategorikan hampir cukup baik (2,75); Aktivitas dosen yang menonjol
adalah membimbing mahasiswa 24,4 %; Aktivitas mahasiswa yang menonjol adalah
memperhatikan penjelasan dosen 56,67 %, bekerja dengan menggunakan alat 22,22 %,
membaca buku mahasiswa LKM 10,86 %; Semua butir soal THB produk termasuk
efektif karena sensifitasnya berada antara 0-1dengan 42 mahasiswa telah tuntas.
Motivasi dan minat mahasiswa dalam pembelajaran dikategorikan baik.
PENDAHULUAN
Cara belajar dan mengajar merupakan suatu seni (art) bagi masing-masing
mahasiswa dan dosen. Masalahnya adalah, apakah cara yang dilakukan mahasiswa dan
dosen tersebut dapat mempermudah pencapaian sasaran yang diinginkan atau tidak.
Seiring dengan era informasi saat ini, di mana kebebasan berbicara dan mengemukakan
pendapat untuk perbaikan bangsa dan Negara sangat dibutuhkan dan dihargai, maka
melatih mahasiswa untuk mengemukakan pendapatnya secara lisan dan memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan pola berpikirnya. Salah satu
metode belajar yang dapat memfasilitasi tujuan tersebut adalah model pembelajaran
diskusi yang menggunakan pendekatan konstruktivitas.
Pada metode pembelajaran konstruktivis-diskusi, mahasiswa dapat membentuk
skema, kategori, konsep dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk
144
Metode Pengembangan
Penelitian ini berjudul Peningkatan Kualitas Pembelajaran Kimia Dasar II
Pokok Bahasan Kimia Karbon Dengan Konstruktivisme Model Diskusi.. Merupakan
penelitian tindakan kelas yang diawali dengan penelitian pengembangan dan penelitian
deskriptif.
Rancangan Pengembangan
Pengembangan perangkat pembelajaran model diskusi yang dilakukan pada
penelitian ini menggunakan model yang dikemukakan oleh Jerold E. Kemp, G.R.
Morison dan S. M Ross. Pengembangan instruksional model Kemp merupakan suatu
lingkaran yang bersifat kontinyu. Tiap-tiap langkah pengembangan berhubungan
langsung dengan suatu aktivitas revisi dan dapat dimulai darimana saja. Rancangan
instruksional model Kemp digambarkan sebagaimana gambar 1.
145
Subyek Pengembangan
Penelitian ini dilakukan di jurusan Fisika FMIPA UNESA tempat ketua
peneliti dan anggota peneliti bekerja sebagai dosen, khususnya pada mahasiswa
angkatan 2006 yang memprogram mata kuliah Kimia Dasar II.
II
III
RP1
146
P1
P2
4
4
4
4
4
4
3,5
2
4
1
4
1,5
4
4
4
4
4
3
4
4
4
4
4
4
4
4
4
3,5
1
1
1
1
1
1
3,83
Kategori
Baik
2,75
Hampir Cukup
Baik
3,92
Baik
Tidak Baik
IV
Pengelolaan Waktu
Pengamatan Suasana Kelas
1. Siswa antusias
2. Guru antusias
3. Siswa mendengarkan
pertanyaan/pendapat orang lain
4. Siswa membaca
5. Siswa melakukan diskusi kelompok
6. Siswa berada dalam tugas
Jumlah ( )
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4
67
4
4
4
68
4
4
4
67,5
Tidak Baik
Baik
Seperti terlihat pada tabel 4.1 dapatlah diketahui bahwa keterampilan dosen
dalam mengelola pembelajaran diskusi rata-rata bisa dikategorikan hampir cukup
baik (2,75).
2. Aktivitas Dosen dan Mahasiswa Dalam Kegiatan Belajar Mengajar
Selama kegiatan pembelajaran dilakukan pengamatan terhadap aktifitas dosen
dan mahasiswa dengan menggunakan instrumen 1b. Hasil pengamatan dapat dilihat
pada grafik di bawah ini.
147
25.00
P ERSE
N
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
10
11
12
Ak tivitas Dos e n
Aktivitas Dosen :
1. Menyampaikan pendahuluan
2. Menjelaskan materi pelajaran
3. Mengajukan pertanyaan
4. Menanggapi pertanyaan / gagasan mahasiswa
5. Mengekspresikan ide sendiri
6. Mendorong keterlibatan & keikutsertaan
mahasiswa (memotivasi mahasiswa)
56.67
50.00
PERSEN TA
SE
40.00
30.00
22.22
20.00
10.83
10.00
0.56
0.00
0.00
5.56
3.61
0.28
0.28
0.00
1
10
Aktivitas Mahasiswa
Aktivitas mahasiswa :
1. Memperhatikan penjelasan dosen
2. Membaca buku mahasiswa / LKM
3. Menanggapi pertanyaan/pendapat dosen
4. Menanggapi pertanyaan/pendapat mahasiswa
5. Mengajukan pertanyaan tingkat rendah
148
Indikator
Mahasiswa dapat
membedakan gugus
fungsi senyawa karbon
Mahasiswa mengenal
berbagai senyawa polimer
Keterangan:
Butir
Soal
Proporsi
U1
U2
P
TPK
Ketuntasan
0,477
0,948
0,471
0,948
Tuntas
0,240
0,916
0,678
0,916
Tuntas
0,154
0,930
0,776
0,930
Tuntas
0,006
0,671
0,671
0,665
Tuntas
U1 = uji awal
U2 = uji akhir
S = sensitivitas butir soal
P = proporsi butir soal
Tabel 4.3
Rata-rata Minat Mahasiswa
Rata-rata tiap
komponen
Jenis minat
Kriteria
Positif
Atensi
Relevansi
Percaya diri
Kepuasan
Negatif
Atensi
Relevansi
Percaya diri
Kepuasan
3.7
4.1
3.7
3.6
Baik
Sangat baik
Baik
Baik
2.1
2.7
2.9
2.0
Cukup baik
Cukup baik
Cukup baik
Cukup baik
Tabel 4.4.
Rata-rata Motivasi Mahasiswa
Jenis motivasi
Rata-rata tiap
komponen
Kriteria
3.3
3.6
3.9
3.9
Baik
Sangat baik
Baik
Baik
2.9
2.3
2.6
1.4
Cukup baik
Cukup baik
Cukup baik
Cukup baik
Positif
Atensi
Relevansi
Percaya diri
Kepuasan
Negatif
Atensi
Relevansi
Percaya diri
Kepuasan
Dari Tabel 4.3 dan 4.4 dapat dilihat bahwa minat dan motivasi siswa baik.
Dari beberapa informasi hasil penelitian ini, menunjukkan bukti bahwa proses
belajar mengajar dengan model pembelajaran diskusi yang menggunakan pembelajaran
beserta instrumen pengukurannya dapat mengaktifkan mahasiswa dan dosen serta
merangsang mereka beraktivitas dan responsif. Semua itu merupakan indikator penting
yang menunjukkan peningkatan kualitas pembelajaran. Secara optimis dapat diprediksi
bahwa apabila proses pembelajaran dilakukan dengan cara yang benar dengan
memanfaatkan perangkat pembelajaran yang tepat akan mampu meningkatkan kualitas
pembelajaran.
Kelemahan-kelemahan Penelitian.
Kelemahan dalam penelitian ini antara lain ; pada fase think materi pembelajaran
tidak diuraikan dalam LKM tetapi ada pada buku mahasiswa, sehingga dosen merasa
kesulitan dalam mengarahkan diskusi. Hal ini mempengaruhi aktivitas dosen dan
memperbanyak aktivitas mahasiswa untuk mendengarkan penjelasan dosen. Aktivitas
dosen dan mahasiswa untuk menjelaskan materi pelajaran dan mendengarkan
penjelasan dosen sangat menyita waktu sehingga pembelajaran berlangsung melebihi
waktu yang telah ditetapkan.
Simpulan
Berdasarkan analisis data, diskusi hasil penelitian serta permasalahan yang ada
dalam penelitian ini maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Peranan dosen dalam mengelola KBM dapat dikategorikan hampir cukup baik
dengan skor 2,75 untuk skala penilaian 1-4. Hal ini dapat dikatakan bahwa dosen
berhasil mengoperasikan perangkat pembelajaran berdasarkan RPP yang telah
direncanakan.
2. Berdasarkan hasil analisis deskriptif data aktivitas dosen dan mahasiswa
menunjukkan bahwa persentase aktivitas dosen dalam kegiatan belajar mengajar
cukup baik, dilihat dari rata-rata waktu yang digunakan oleh dosen untuk
mengamati kegiatan mahasiswa (4,4 %), mengajukan pertanyaan (13,3 %), serta
dalam menegakkan aturan diskusi yaitu menanggapi pertanyaan atau gagasan
mahasiswa, menerapkan waktu tunggu, dan membimbing kegiatan sebesar (31,3 %)
dari seluruh waktu kegiatan belajar mengajar. Seluruh kegiatan yang dilakukan oleh
dosen sesuai dengan sintaks pembelajaran diskusi dalam Arend (1997:202). 56,67 %
aktivitas mahasiswa
dari
seluruh
waktu
KBM
digunakan
untuk
memperhatikan/mendengarkan penjelasan dosen. Ditinjau dari tugas perencanaan
kedua yaitu dosen harus mempertimbangkan mahasiswa (Arend, 1997: 207) dimana
dosen harus memilih cara untuk mendorong partisipasi mahasiswa yang heterogen,
maka tampak pembelajaran seperti berpusat pada dosen. Sedangkan keterampilan
berdiskusi yang dilakukan oleh mahasiswa masih rendah yaitu sebesar 6,32 %.
3. Dalam tabel 4.3 dan 4.4 menunjukkan bahwa motivasi dan minat mahasiswa dalam
pembelajaran baik, hal ini disebabkan karena adanya dana penelitian yang diberikan
kepada dosen sehingga kesiapan dosen untuk merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi perkuliahan lebih baik daripada tidak ada penelitian. Sehingga
mahasiswa juga lebih termotivasi dan lebih berminat untuk mengikuti perkuliahan.
4. Berdasarkan analisis data pada THB produk menunjukkan bahwa 42 mahasiswa
telah tuntas berdasarkan ketuntasan kurikulum yang ada di UNESA. Dilihat
ketuntasan seluruh THB produk, semua indikator telah tuntas. Dari hal tersebut
dapat dinyatakan bahwa seluruh mahasiswa menguasai materi pembelajaran kimia
karbon. Semua butir soal THB produk termasuk efektif karena sensifitasnya berada
antara 0-1.
Saran
Kelemahan dalam penelitian ini unsur utamanya disebabkan karena LKM
kurang bernuansa diskusi setrategi TPS. Sehingga peneliti perlu mendapatkan dana
PPKP ke-2 untuk melanjutkan pengembangkan LKM yang bernuasa diskusi TPS pada
materi kimia karbon.
DAFTAR PUSTAKA
Arends, RI. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw Hill
Companies, Inc.
Bettencourt, A. 1989. What is contructivism and why are they all talking about it?
Michigan State University.
Duffy, T.M. & Cunningham, D.J., 1996. Contructivism : Implication for the Design and
Delivery of Instruction. In Jonassen, H.H. (ed) Handbook of Research for
Educational Communication and Technology. New York McMillan.
Kemp, J.E., Morrison G.R., dan Ross, S.M., 1994. Designing Effective Instruction.
New York: Mac Millan Colledge Publishing Company.
Pannen, P. 2000. Pendekatan Konstruktivisme. Draft bahan ajar PEKERTI/AA. Jakarta :
PAU-PPAUI-UT.
Piaget, J. 1971. Psychology and Epistimology. New York. The Viking Press
Rinaningsih. 2002. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Kimia SMU Pokok
Bahasan Pencemaran Lingkungan Dengan Model Pengajaran Berdasarkan
Masalah. Tesis Magister Pendidikan Surabaya. Program Pasca SArjana
Universitas Negeri Surabaya.
Rinaningsih, 2005, Model Pembelajaran PBI Sebagai Alternatif Pelaksanaan
Kurikulum Berbasis Kompetensi di SMU, Prosiding, 401.
Slavin, Robert. E., 1994. Educational Psikology Theory into Practise. Boston: Allyn
and Baakon Publisher.
Truckman, B.W., 1978. Conducting Educational research. Second Edition. New York.
Harcourt Brace Javanovich.
Von Glasserfeld, E., 1989. Cognition, Construction of Knowledge and Teaching.
Syntese, 80, 121-140.
2,60 untuk Bahasa Indonesia, nilai 2,40 untuk Bahasa Inggris, dan nilai 1,67 untuk
Matematika.
Rendahnya prestasi akademik siswa SMP Terbuka dibanding siswa SMP
Reguler dalam prestasi belajar yang termasuk pada mata pelajaran yang di-UN-kan
(UN=Ujian Nasional) di Kabupaten Probolinggo menginspirasi peneliti untuk
melakukan kajian terhadap fenomena atau pelaksanaan pembelajaran di SMP Terbuka
di Kabupaten Probolinggo. Sesuai dengan latar belakang pendidikan peneliti, maka
kajian fenomena pembelajaran di SMP Terbuka diarahkan kepada Mata Pelajaran IPA.
Fenomena yang dikaji di SMP Terbuka ini meliputi beberapa aspek, di
antaranya: kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana, ketenagaan, dan peserta
didik.
Tujuan Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui fenomena yang
terjadi dalam pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo. Adapun
tujuan secara rinci adalah sebagai berikut: (1) Mengetahui kesesuaian pembelajaran
IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo dengan kurikulum SMP/MTs, (2)
Mengetahui kualifikasi ketenagaan pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo
ditinjau dari sisi pembelajaran IPA, (3) Mengetahui pengadaan sarana dan prasarana
penunjang cukup memadai dalam pelaksanaan pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di
Kabupaten Probolinggo, dan (4) Mengetahui kualifikasi peserta didik dalam
penyelenggaraan proses belajar mengajar IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten
Probolinggo. Dalam seminar kimia ini, tujuan penelitian difokuskan untuk mengetahui
kualifikasi tenaga pendidik pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo ditinjau dari
sisi pembelajaran IPA. Hal ini dilakukan karena kualifikasi ketenagaan memiliki
fenomena yang menarik.
Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini dapat dikembangkan sebuah refleksi tentang
pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran IPA. Refleksi yang dikembangkan diarahkan
kepada upaya-upaya perbaikan kinerja pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo di
tahun-tahun mendatang.
Metode Penelitian
Sasaran penelitian adalah fenomena pembelajaran IPA pada SMP terbuka di
Kabupaten Probolinggo khususnya ditinjau dari peserta didik. Sumber data dalam
penelitian ini adalah SMP Terbuka yang ada di Kabupaten Probolinggo. Adanya
keterbatasan tenaga dan waktu serta untuk meningkatkan intensitas penelitian maka
dari 16 SMP Terbuka yang ada dipilih 8 SMP Terbuka sebagai sumber data. SMP
Terbuka yang terpilih di antaranya: SMP Terbuka Tegalsiwalan, SMP Terbuka
Banyuanyar, SMP Terbuka Maron, SMP Terbuka Krejengan, SMP Terbuka Gading,
SMP Terbuka Sumberasih, SMP Terbuka Wonomerto, dan SMP Terbuka Sukapura.
Rancangan penelitian yang dilakukan mengikuti rancangan Ex Post Facto
dengan pendekatan triangulasi. Keterpercayaan data tentang sesuatu hal diverifikasi
dari sumber lebih dari satu. Jika dua orang menyatakan merah, sementara satu orang
yang lain menyatakan coklat, maka peneliti menetapkan bahwa warna itu adalah merah.
Prosedur pengumpulan data terdiri dari tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
Tahap persiapan meliputi: mencari data, informasi, dan rekomendasi dari Depdiknas
Kabupaten Probolinggo. Menyerahkan surat rekomendasi penelitian kepada 8 SMP
Terbuka Kabupaten Probolinggo. Tahap pelaksanaan penelitian meliputi: pelaksanakan
wawancara dan observasi di SMP Terbuka-SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara: (1) mendatangi TKB dan SMP Induk sesuai
dengan jadwal waktu yang disepakati antara peneliti dan nara sumber (guru pamong,
guru bina, dan pengelola SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo); (2) melakukan
wawancara dan observasi lapangan menggunakan instrumen yang telah divalidasi
sebelumnya. Wawancara dan observasi ditujukan untuk mencocokkan komponenkomponen pembelajaran yang seharusnya ada dengan komponen-komponen
pembelajaran yang ada sesuai kenyataan di TKB dan sekolah yang telah
direkomendasikan untuk penelitian oleh Depdiknas Kabupaten Probolinggo; dan (3)
mencatat hal-hal penting diluar yang tertulis pada instrumen pengumpulan data pada
lembaran tersendiri. Dalam proses pengumpulan data peneliti menggunakan alat bantu
penelitian berupa kamera foto. Data yang terkumpul mengantarkan peneliti pada
analisis data penelitian.
Instrumen pengumpulan data yang digunakan meliputi pedoman wawancara,
lembar observasi, angket dan kamera foto. Adopsi instrumen lebih diarahkan kepada
empat komponen sekolah yaitu: kurikulum dan pembelajaran, sarana dan prasarana,
ketenagaan, serta peserta didik. Panduan wawancara dan observasi digunakan oleh
peneliti untuk menggali informasi lebih dalam dengan batasan agar infomasi yang
diperoleh tepat dan tidak meluas. Angket dibagikan kepada siswa agar diperoleh
informasi tentang komponen peserta didik. Sebelum digunakan, instrumen tersebut
telah divalidasi oleh beberapa orang yang pernah terlibat sebagai asesor dalam
akreditasi sekolah. Instrumen foto digunakan sebagai dokumentasi pada pengumpulan
data di lapangan.
Data yang telah diperoleh dianalisis keabsahannya dengan menggunakan teknik
triangulasi. Teknik triangulasi yaitu metode pemeriksaan dengan sumber lainnya yaitu
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
suatu informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini akan dipilah-pilah sesuai dengan fokus penelitian dan
masalah yang akan dijawab. Deskripsi dan narasi kualitatif diberikan pada setiap
pertanyaan penelitian yang akan diberikan pembahasan. Simpulan diinduksikan dari
jawaban-jawaban elementer penelitian.
Hasil dan Pembahasan Penelitian
Penyajian data penelitian diikuti dengan hasil analisis terhadap masing-masing
data sesuai dengan tujuan penelitian, maka sajian data dan analisisnya meliputi: (1)
Kesesuaian Pembelajaran IPA pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo dengan
Kurikulum dan Pembelajaran di SMP/MTs; (2) Kualifikasi Ketenagaan pada SMP
Terbuka di Kabupaten Probolinggo Ditinjau dari Sisi Pembelajaran IPA, (3) Sarana dan
Prasarana Penunjang Pembelajaran IPA yang ada di SMP Terbuka Kabupaten
Probolinggo, dan (4) Kualifikasi Peserta Didik pada SMP Terbuka di Kabupaten
Probolinggo.
Penelitian ini dilakukan pada 8 SMP Terbuka yang terdapat di Kabupaten
Probolinggo. Masing-masing SMP Terbuka memiliki jumlah TKB yang berbeda-beda.
Jumlah TKB yang terdapat di SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo sangat beragam,
antara lain SMPT Tegalsiwalan berjumlah 6TKB, SMPT Banyuanyar berjumlah 9
TKB, SMPT Maron berjumlah 5 TKB, SMPT Krejengan berjumlah 8 TKB, SMPT
Gading berjumlah 2 TKB, SMPT Sumberasih berjumlah 1 TKB, SMPT Wonomerto
berjumlah 3 TKB, SMPT Sukapura berjumlah 2 TKB. Sumberasih berjumlah 1 TKB,
jumlah yang lebih kecil dibanding yang lain. Hal ini terjadi karena SMP Terbuka
Sumberasih telah mengalami pemut usan kerjasama dalam pengembangan SMP
Terbuka oleh salah satu TKB. Informasi ini didapat saat dilakukan wawancara dengan
Waka SMP Terbuka selaku pengelola.
Kualifikasi Tenaga Pendidik pada SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo
Ditinjau dari Pembelajaran IPA
Tabel 1
Ringkasan Hasil Analisis untuk Kualifikasi Guru Bina dan Guru Pamong pada SMPT
Tegalsiwalan, SMPT Banyuanyar, SMPT Maron, SMPT Krejengan, SMPT Gading, SMPT
Sumberasih, SMPT Wonomerto, SMPT Sukapura di Kabupaten Probolinggo
SMP Terbuka
Kabupaten
Probolinggo
SMPT
Tegalsiwalan
SMPT
Banyuanyar
SMPT Maron
SMPT Krejengan
SMPT Gading
SMPT
Sumberasih
SMPT
Wonomerto
SMPT Sukapura
Guru Pamong
berikut:
a. SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo yang memenuhi kualifikasi guru bina IPA
adalah SMPT Tegalsiwalan, SMPT Banyuanyar, SMPT Krejengan, SMPT
Sumberasih, dan SMPT Sukapura. Sedangkan pada SMPT Gading yang
menyebabkan kurang adalah karena terdapat salah satu guru bina yang tidak sesuai
dengan kualifikasi karena latar belakang pendidikan yang dimiliki tidak sesuai
dengan mata pelajaran yang diajarkan. Sedangkan untuk kualifikasi kualifikasi guru
pamong pada SMPT di Kabupaten Probolinggo telah memenuhi kualifikasi
ketenagaan.
b. SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo yang tidak memenuhi kualifikasi
ketenagaan guru bina adalah SMPT Maron dan SMPT Wonomerto. Sedangkan
kualifikasi guru pamong rumpun IPA yang kurang memenuhi kualifikasi
ketenagaan yaitu pada SMPT Tegalsiwalan dan SMPT Krejengan karena latar
belakang pendidikan hanya lulusan SMA/MA.
Di TKB (Tempat Kegiatan Belajar), siswa dibimbing oleh guru pamong sebagai
fasilitator. Pada perkembangannya mulai dari tahun 2003-2004 status guru pamong
ditingkatkan menjadi tutor yang diharapkan akan membantu siswa dalam belajar lebih
intensif di TKB ( www.dwp.or.id).
Guru pamong pada umumnya adalah guru SD atau anggota masyarakat yang
bertugas memberikan motivasi atau dorongan kepada siswa agar siswa rajin dan
bersemangat dalam belajar mandiri. Upaya terobosan untuk meningkatkan kualitas
belajar di TKB, guru pamong dipersyaratkan sekurang-kurangnya D3 pendidikan untuk
rumpun mata pelajaran IPA, Bahasa, dan IPS. Hal ini dimaksudkan agar guru pamong
dapat membantu memecahkan kesulitan belajar siswa khususnya selama merek belajar
di TKB (Depdiknas, 2005).
Pada SMP Terbuka di Kabupaten Probol inggo, guru pamong pada TKB reguler
umumnya bertugas memberikan motivasi kepada siswa agar siswa rajin dan
bersemangat dalam belajar mandiri. Selain itu guru pamong pada TKB regular bertugas
mendampingi dan mencatat pertanyaan-pertanyaan dari siswa kemudian
menyampaikannya kepada guru bina serta menjaga apabila ada waktu kosong. Guru
pamong pada TKB Mandiri diarahkan sebagai guru pamong rumpun IPA, hal ini
dimaksudkan agar guru pamong dapat membantu kesulitan belajar siswa khususnya
selama mereka belajar di TKB tanpa harus menunggu kedatangan guru bina.
SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo pada umumnya mengunakan pola tatap
muka alternatif 3, yaitu dimana kegiatan tatap muka berlangsung selama 2 hari dalam
seminggu (12 jam di TKB oleh guru bina). Pola tatap muka tidak diadakan di SMP
Induk dikarenakan jarak tempuh yang sangat jauh antara TKB dengan SMP Induk,
sulitnya transportasi, serta karena pengaruh rendahnya perekonomian siswa. Guru bina
datang ke TKB sesuai dengan jadwal yang telah disepakati oleh siswa dan guru.
Kurangnya jam mengajar akan mempengaruhi pembelajaran karena materi yang
disampaikan sangat banyak sedangkan waktu untuk proses belajar mengajar kurang
sehingga tidak mengherankan ketika guru bina mengambil kebijakan meniadakan
evaluasi formatif tapi mengganti dengan tugas.
Jika dilihat pada tabel-tabel tentang kualifikasi guru bina dan guru pamong,
pada kualifikasi guru bina di SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo masih terdapat
guru bina yang kualifikasi latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan bidang
studi IPA yang diajarkan, sedangkan untuk kualifikasi guru pamong masih terdapat
guru pamong yang tidak sesuai untuk mengajar IPA pada SMP Terbuka. Hal ini akan
mempengaruhi dalam pembelajaran IPA karena jika ada siswa yang bertanya tentang
pelajaran IPA terdapat kemungkinan mereka tidak dapat menjawab pertanyaan siswa.
Upaya SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo untuk meningkatkan kualifikasi guru
pamong rumpun IPA pada TKB Mandiri belum sepenuhnya dapat dilaksanakan, hal ini
terbukti dengan adanya guru rumpun IPA yang hanya lulusan SMA/MA.
Simpulan dan Saran
Simpulan
Dari hasil penelitian dan pembahasan, dapat dituliskan simpulan penelitian
sebagai berikut: .
1. Kualifikasi guru bina sudah layak atau sangat sesuai dengan bidang IPA karena
100% berasal dari SMP Induk tetapi pada SMP Terbuka Gading terdapat satu guru
bina yang bukan beasal dari bidang IPA. Pada SMP Terbuka Maron guru bina tidak
pernah menghadiri kegiatan tatap muka dengan siswa. Kualifikasi guru pamong
sudah layak atau sesuai karena 100% merupakan guru SD/MI dan tokoh masyarakat
yang peduli pendidikan. Kualifikasi guru pamong rumpun IPA kurang sesuai
karena masih terdapat persyaratan latar belakang pendidikan D3 guru pamong
rumpun IPA yang tidak terpenuhi.
2. Sarana dan prasarana sebagai penunjang pembelajaran IPA yang ada di SMP
Terbuka di Kabupaten Probolinggo banyak yang tidak dimiliki. Penggunaan sarana
dan prasarana yang dimiliki SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo masih belum
optimal. SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo yang menggunakan fasilitas sarana
dan prasarana di SMP Induk hanya SMP Terbuka Banyuanyar pada saat kegiatan
tatap muka. Pada SMP Terbuka lain di Kabupaten probolinggo yang menggunakan
fasilitas SMP Induk hanya pada saat akan menghadapi UN.
3. Kualifikasi peserta didik SMP Terbuka Kabupaten Probolinggo secara umum sudah
sesuai yaitu menurut usia dan asal sekolah mereka. Namun kurangnya kesadaran
dari siswa dan orang tua siswa tentang pendidikan dan kondisi keadaan ekonomi
menyebabkan siswa kurang berprestasi dalam bidang IPA.
4. Dari simpulan-simpulan tersebut dapat dibuat simpulan umum yaitu pembelajaran
IPA SMP Terbuka di Kabupaten Probolinggo masih belum maksimal. Ini ditandai
dengan tidak digunakannya media pembelajaran, rendahnya kualitas guru pamong,
penggunaan kurikulum yang tidak efektif, dan rendahnya kesadaran siswa untuk
menuntut ilmu.
Saran
Dari hasil penelitian dan pembahasan serta ditemukannya simpulan-simpulan,
penulis mengajukan saran atau rekomendasi sebagai berukut:
1. Kurikulum yang digunakan pada SMP terbuka adalah sama dengan kurikulum
yang digunakan pada SMP Reguler. Namun kurikulum SMP Reguler dikaji dan
dijabarkan melalui pengembangan Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar
(PDKBM) bagi siswa SMP Terbuka. Oleh karena itu silabus dan RPP untuk
mata pelajaran IPA perlu dibuat secara khusus oleh guru bina untuk SMP
Terbuka melalui pengembangan PDKBM.
2. Siswa SMP Terbuka berhak mendapatkan fasilitas yang sama dengan siswa
SMP Induk tidak terkecuali dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Oleh
karena itu, SMP Induk perlu meminjamkan sarana dan prasarana seperti:
laboratoium IPA, ruang media, dan perpustakaan kepada SMP Terbuka untuk
menunjang pembelajaran IPA.
3. Hasil monitoring dan evaluasi terhadap SMP Terbuka yang dilakukan Direktur
Pembinaan SMP ditindaklanjuti dengan upaya-upaya perbaikan pembelajaran
di SMP Terbuka. Upaya-upaya itu, misalnya: perbaikan kualitas guru pamong,
perbaikan kurikulum di SMP Terbuka, perbaikan sarana dan prasarana di SMP
Terbuka, dan peningkatan kesadaran belajar siswa dengan memberikan
motivasi.
4. Catatan kesulitan siswa dan materi esensial merupakan buku penghubung antara
guru bina dan guru pamong. Pentingnya catatan kesulitan siswa dan materi
esensial yang dibuat oleh guru pamong adalah agar dapat memberi masukan
atau gambaran kepada guru bina terhadap daya serap siswa sehingga dapat
mempermudah dalam menetapkan tindakan yang akan dilakukan terhadap
pembelajaran IPA.
5. Kepedulian pihak pemerintah melalui Depdiknas Kabupaten Probolinggo sangat
diperlukan dalam menunjang keberadaan SMP Terbuka. Pentingnya kepedulian
dari pihak pemerintah dalam memperhatikan keberadaan SMP Terbuka
Kabupaten Probolinggo dapat membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi
SMP Terbuka. Sehingga antara pihak pengelola dan pemerintah terjadi timbal
balik yang saling menguntungkan antar kedua belah pihak dalam rangka
memajukan kualitas sumber daya manusia di Kabupaten Probolinggo.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1990. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Depdiknas. 2005. Bahan Sosialisasi SMP Terbuka Dalam Rangka Penuntasan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Jakarta: Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama Kegiatan Pengembangan SMP Terbuka dan Pendidikan Alternatif.
Depdiknas. 2005 . Petunjuk Operasional SMP Terbuka. Jakarta: Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama.
Depdiknas. 2005 . Petunjuk Praktis Bagi Guru Bina. Jakarta: Ditjen Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama.
Depdiknas. 2005 . Petunjuk Praktis Bagi Guru Pamong. Jakarta: Ditjen
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Pertama.
Moleong, Lexy J., 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Mari Kita Mengenal SMP Terbuka.
http://www.dwp.or.id/prg/pagel.php?utk=590&ctg=INF. 22 September 2006.