kesejahteraan
kelompok
tanpa
mengutamakan
keinginan-keinginan pribadi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehariharinya. Oleh karena itu, Kyoudoutaino Ittasei menjadi salah satu nilai
yang ada dalam sistem kelompok masyarakat Jepang. Kyoudoutaino
Ittasei merupakan istilah yang menggambarkan rasa bersatu dalam
kerja sama untuk mencapai keberhasilan kelompok secara bersamasama.
Dalam
Kyoudoutaino
Ittasei,
kelompok
tidak
melihat
e. Tidak boros.
3. Budaya Keisan
Satu hal lagi yang menjadi kunci keberhasilan bangsa Jepang adalah
keinginan mereka yang tinggi untuk memperbaiki diri dan mencapai
keinginannya. Untuk mewujudkan keinginan ini, mereka menerapkan
konsep budaya keisan, yaitu perubahan secara berkesinambungan
dalam budaya kerja mereka. Dengan cara mereka harus selalu bersikap
kreatif, inovatif, dan produktif. Konsep keisan memerlukan kerajinan,
kesungguhan, minat dan keyakinan, hingga akhirnya timbul kemauan
untuk selalu belajar dari orang lain. Mereka mempelajari dan meniru
teknologi bangsa lain, kemudian teknologi tersebut disesuaikan dengan
budaya kerja dalam perusahaan Jepang.
Dalam konsep keisan, apapun bentuk perubahan yang dilakukan, kecil
maupun besar dapat memberikan hasil dan kemajuan. Sebab, perubahan
juga dapat membebaskan seseorang, masyarakat, dan negara dari
kungkungan budaya dan cara berpikir yang tidak relevan. Hal ini berarti
bahwa kita harus meninggalkan cara lama tetapi cara lama itu juga dapat
dikembangkan tanpa menghilangkan dasarnya.
4. Prinsip Kai Zen
Prinsip Kai Zen, prinsip ini umumnya digunakan oleh perusahaan, yang
intinya adalah mengoptimalkan biaya dan waktu untuk menghasilkan
produk yang berkualitas tinggi dalam kuantitas besar.
Untuk mencapai prinsip ini karyawan harus memberikan seluruh perhatian
pada pekerjaan dan tidak boleh membuang waktu dengan obrolan tidak
berguna, bercanda, atau istirahat terlalu lama. Hampir seluruh perusahaan
Jepang menerapkan prinsip Kai Zen yang merupakan penerapan kualitas
kerja yang menekankan pada tiga aspek utama yaitu: peningkatan kerja
secara terus menerus, dapat diukur, dan dilaksanakan secara bertahap.
5. Prinsip Keiretsu dan Zaibatsu
Secara tradisional, yang dimaksud dengan Keiretsu adalah gabungan
perusahaan yang dimiliki oleh keluarga yang sama. Usaha tersebut
merupakan usaha yang diwariskan secara turun temurun, seperti yang
dan
melalui
symbol-simbol
nonverbal
seperti
gerakan
Rasa Malu, Fenomena "malu" yang telah mendarah daging dalam sikap
dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat
luas dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk didalamnya masalah
kehormatan
terhadap
HAM,
masalah law
enforcement, masalah
b.
memanggil
orang
yang
lebih
tua
harus
selalu
individu.
High Context Culture, Dalam berkomunikasi, masyarakat Jepang
merupakan salah satu penganut budaya High Context Culture (HCC)
atau komunikasi konteks tinggi dimana masyarakat Jepang pada
umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung.
Membuat orang lain kehilangan muka merupakan tindakan tabu dan
dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan bisnis.
i.
pekerjaan.
j. Sikap Duduk, Masyarakat Jepang juga memiliki sikap duduk yang unik
yang mirip dengan sikap duduk wanita Bali saat beribadah yakni duduk
dengan sikap Seiza (duduk dengan kaki terlipat di bawah pantat),
secara harfiah diterjemahkan sebagai duduk yang tepat. Namun, di
Korea, duduk dengan sikap Seiza dikenal sebagai gaya duduk
tahanan dan secara luas dianggap cara untuk membawa kesakitan pada
tamu Anda.
k. Tata Cara Makan, setia anak-anak di Jepang diajarkan untuk memakan
setiap potongan terakhir dari makanannya, termasuk butiran nasi,
sebelum beranjak dari meja. Namun di China, dianggap sopan untuk
meninggalkan beberapa sisa makanan di piring Anda sebagai pengakuan
atas kemurahan hati tuan rumah. Jika semua makanan dimakan, hal itu
menjadi pertanda bagi tuan rumah bahwa makanannya tidak cukup.
Jika diundang ke sebuah pesta minum (nomikai), jangan menuangkan
bir hanya untuk diri sendiri dan mulai minumnya. Sikap yang baik
mengharuskan kalian untuk toast terlebih dahulu, angkat gelas dengan
satu tangan dan mengatakan Kanpai! (Cheers!) Biasanya, ketika
mengambil tempat duduk, pelayan akan memberikan oshibori (handuk
B.
hubungan suami-istri.
Chounan (putra tertua) mempunyai hak waris utama dibandingkan
diikuti juga oleh kewajiban. Kachou menjadi tulang punggung keluarga. Ini
berkaitan dengan peranan ekonominya. Hak istimewanya mendapatkan
warisan keluarga (zaisan) menuntutnya untuk mampu menafkahi keluarga,
termasuk istri, anak-anak dan orang tuanya.
Chounan atau anak laki-laki pertama memiliki kedudukan yang tidak
kalah pentingnya. Chounan dianggap sebagai penerus nama keluarga dan
kelak akan menjadi kachou di keluarganya. Sedemikian pentingnya
keberadaan seorang putra dalam meneruskan nama keluarga sehingga ada
yang disebut mukou yoshi. Istilah ini merujuk kepada kebiasaan di keluarga
yang hanya memiliki anak perempuan untuk menarik suami anaknya menjadi
penerus keluarganya. Pada situasi seperti ini, sang menantu laki-laki terkesan
keluarganya memiliki derajat yang lebih rendah daripada keluarga istrinya
sehingga ia rela untuk merubah nama keluarga dan ditarik masuk ke dalam
garis keluarga istrinya. Saking beratnya konsekuensi menjadi seorang mukou
yoshi, maka muncul peribahasa, "San go nuka areba, yoshi ni ikuna".
Artinya: Andaikan masih ada 3-5 butir beras, jangan lah mau menjadi mukou
yoshi".
Jika diperhatikan, kedudukan wanita dalam sistem ie sangat rendah.
Dikatakan bahwa, seorang wanita pada masa kecilnya mengabdi kepada
ayahnya, setelah menikah mengabdi kepada suami, dan setelah tua mengabdi
kepada anak laki-lakinya. Ada peribahasa juga yang menyangkut situasi ini,
"Oyome ni ikeba, tanin ni hajimari".
Artinya: Jika telah menjadi pengantin wanita, maka itu adalah awal menjadi
orang lain (bagi keluarga wanita)". Dikatakan demikian, karena begitu
seorang wanita menikah, maka ia akan ikut ke dalam keluarga suaminya
sehingga hubungan dirinya dengan keluarganya sendiri bisa dikatakan
terputus. Dikenal juga istilah shichikyou (7 aturan untuk menceraikan istri)
yaitu alasan-alasan yang meliputi: bila istri tidak mempunyai anak, sakit
parah, cerewet, mengambil uang, pencemburu, dan tidak patuh kepada suami
dan mertua).
Sebenarnya, menurut Aruga Kizaemon, eksistensi ie tidak semata-mata
karena adanya keturunan darah, namun dapat pula diteruskan oleh pelayan
keluarga tersebut dengan catatan bahwa pelayan tersebut memiliki kazoku
ishiki (kesadaran akan rasa memiliki terhadap keluarga tersebut), adanya rasa
hubungan keagamaan dalam bentuk sosen suuhai, adanya hubungan
ekonomi, hukum, moral, budaya, dll.
Ideologi keluarga tradisional ie mulai dianut pada zaman Tokugawa
dan kemudian menjadi kazoku kokka (konsep negara keluarga) pada sebelum
hingga pasca Perang Dunia II.
Dalam keluarga Jepang dikenal juga istilah orang dalam (naka) dan orang
luar (soto). Istilah ini sebenarnva untuk memperjelas kedudukan atau posisi
kita dalam keluarga Jepang. Yang dimaksud orang dalam (naka) adalah orang
yang mempunyai hubungan darah dan tinggal bersama di dalam satu rumah.
Sedangkan orang luar (soto) adalah orang yang ada di luar lingkungan keluarga atau orang yang tidak mempunyai hubugan darah.
Hubungan naka dan soto ini besar sekali pengaruhnya pada budaya dan
kehidupan orang Jepang. Mereka akan selalu berhati-hati dalam bertingkah
laku juga berbicara dengan orang yang berada di luar lingkungan rumah
mereka. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari, pada waktu orang Jepang
berkenalan dengan orang luar, la selalu menjaga jarak. Ini terlihat dari
tingkah lakunya dan bahasa yang digunakannya untuk menghormati lawan
bicaranya.
Setelah modernisasi masuk ke Jepang sekitar pertengahan abad ke-19
Jepang mulai mentransfer segala macam bentuk budaya Barat (westernisasi).
Struktur keluarga Jepang pun ikut mengalami perubahan. Para pasangan
muda pada waktu itu tidak lagi menginginkan banyak anak. Mereka hanya
ingin memiliki 1 atau 2 anak saja Kemudian kakek dan nenek atau orang tua
mereka ingin menjalani kehidupan sendiri. Mereka tidak lagi tinggal bersama
anak-anak mereka. Struktur keluarga seperti ini kemudian disebut dengan
keluarga batih atau keluarga inti yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu
dan 1 atau 2 orang anak.
Dewasa ini, struktur keluarga batih pun semakin berkurang.
Perkembangan
ilmu
pengetahuan,
kecanggihan
tehnologi,
kemajuan
2. Organisasi Formal
SISTEM PENDIDIKAN JEPANG
Sebelum Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya
berdasarkan sistem masyarakat feodal, yaitu pendidikan untuk samurai,
petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini dilaksanakan di
kuil dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan
Terakoya (sekolah kuil). Mirip dengan pesantren di Indonesia.
Namun, semenjak Restorasi Meiji dikibarkan, bagai bola salju,
pemerintah Jepang terus menggelindingkan puspa ragam kebijaksanaannya
dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai macam buku,
di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda
banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya masingmasing, tujuannya jelas yaitu mencari ilmu dan menanamkan keyakinan
bahwa Jepang akan dapat berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan
kemajuan dunia Barat.
Sesudah perang, mulai 3 November 1946, konstitusi baru Jepang
menetapkan kebijakan pendidikannya atas dasar hak asasi manusia, jaminan
kebebasan berfikir, dan hati nurani, kebebasan beragama, kebebasan
akademik, dan hak bagi semua orang untuk mendapatkan pendidikan sesuai
dengan kemampuan mereka. Pada Maret 1947, melalui Peraturan Pendidikan
Nasional (School Education Law) ditetapkan susunan dasar pendidikan
keseluruhan atas dasar 6-3-3-4 beserta tujuan khusus pada tiap jenjangnya.
Pada
Maret
1947
juga
berlaku
Hukum
Dasar
Pendidikan
status sosial, posisi ekonomi, asal usul keluarga, bantuan finansial, bagi yang
memerlukan, kebebasan akademik, dan tanggung jawab untuk membangun
negara dan masyarakat yang damai (Imam Banrnadib, 1986: 53).
Perbedaan yang lain adalah mengenai tujuan pendidikan. Dalam
Imperial Rescript on Education disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah
untuk meningkatkan kesetiaan dan ketaatan bagi Kaisar agar dapat
memperoleh persatuan masyarakat di bawah ayah yang sama, yakni Kaisar.
Adapun tujuan pendidikan menurut Fundamental Law of Education adalah
untuk meningkatkan perkembangan kepribadian secara utuh, menghargai
nilai-nilai individu, dan menanamkan jiwa yang bebas.
PENDIDIKAN WAJIB
Wajib sekolah berlaku bagi anak usia 6 sampai 15 tahun, tetapi
kebanyakan anak bersekolah lebih lama dari yang diwajibkan. Tiap anak
bersekolah di SD pada usia 6 tahun hingga 12 tahun, lalu SMP hingga usia
15 tahun. Pendidikan wajib ini bersifat cuma-cuma bagi semua anak,
khususnya biaya sekolah dan buku, namun bagi anak-anak dari keluarga
yang tidak mampu mendapat bantuan khusus dari pemerintah pusat dan
daerah. Di samping itu ada juga bantuan untuk kebutuhan belajar, perawatan
kesehatan, dan lain-lain. Dengan demikian, sekolah wajib ditempuh selama 9
tahun; 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP. Hampir semua siswa di Jepang
belajar bahasa Inggris sejak tahun pertama SMP, dan kebanyakan
mempelajarinya paling tidak selama 6 tahun. Mata pelajaran wajib di SMP
adalah bahasa Jepang, ilmu-ilmu sosial, matematika, sains, musik, seni rupa,
pendidikan jasmani, dan pendidikan kesejahteraan keluarga. (Abd. Rachman
Assegaf, 2003: 177-178).
Pendidikan Menengah Atas
Ada tiga jenis SMA, yaitu: full time, part time (terutama malam hari),
dan tertulis. Sekolah menengah yang full time berlangsung selama 3 tahun,
gelar.
Program
ketiga
adalah
diploma,
yang
lama
pelajar
perempuan
dan
mengajarkan
bidang-bidang
seperti
C.
1. Simbol verbal yaitu bentuk bahasa terucapkan dan tertulis dengan kata-kata.
2. Simbol non verbal yakni bentuk bahasa atau tingkah laku tanpa kata-kata.
Secara garis besar, macam-macam perilaku non verbal terbagi atas
penampilan, gerakan badaniah (Kinesic), persepsi indrawi (Sensoric),
penggunaan ruang jarak (Proxemic), penggunaan waktu (Chronemic) dan
paralinguistik (Paralanguage).
Bahasa terucapkan
1. Bahasa Jepang terbagi kepada dua bentuk yaitu Hyoujungo, pertuturan
standar, dan Kyoutsugo, pertuturan umum. Hyoujungo adalah bentuk
yang diajarkan di sekolah dan digunakan di televisi dan segala
perhubungan resmi.
b. Bahasa tertulis
Bahasa jepang memiliki beberapa jenis huruf yaitu hiragana, katakana dan
kanji. Huruf-huruf itu memiliki perbedaan dalam penggunaanya. Berikut
perbedaan fungsi dan penggunaan semua jenis huruf bahasa Jepang
tersebut:
1. Huruf Hiragana dulunya digunakan oleh para wanita jepang (bentuk
tulisannya halus). Sedangkan penggunaanya adalah untuk kata
keterangan, perkataan dimana huruf kanji sudah lama tidak digunakan
atau bahkan sudah tidak diketahui dan digunakan untuk
situasi yang formal.
2. Huruf katakana hanya digunakan oleh kamu lelaki (bentuknya luruslurus). Digunakan untuk kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang
kemudian diserap menjadi bahasa jepang.
3. Huruf kanji, berasal dari Cina yang diperkenalkan pada abad keempat
Masehi. Kanji dipakai untuk menyatakan arti dasar dari kata (baik
berupa kata benda, kata kerja, kata sifat, atau kata sandang).
2. Non-Verbal
a.
Penampilan
Contoh yang khas menyimbolkan penampilan budaya Jepang dapat kita
lihat dari cara berpakaian dan gaya rambut.
1. Pakaian
budaya
Jepang
dalam
menyapa
adalah
dengan
Jepang
menyimbolkan
bahwa
sipelaku
pembicara
memilih
untuk
menundukkan
kepala.
Hal
tersebut
dari
berbagai
hal,
mulai
dari
kehidupan
sehari-hari
f. Paralinguistik (Paralanguage)
Simbol paralinguistic ini dapat kita lihat dari intonasi dalam berbicara.
Masyarakat Jepang terbiasa tenang dalam menghadapi setiap hal. Budaya
Jepang tidak terbiasa dengan suara yang terlalu keras dan lebih memilih
untuk mengatur intonasi bicara mereka. Kebanyakan orang Jepang yang
mempunyai status tinggi, akan berbicara dengan lebih pelan dan terbatabata. Terbata-bata di sini dilakukan denggan memberi jeda pada setiap
kalimat, yang menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang tenang dan
tidak terburu-buru dalam mengatakan apa yang ingin mereka katakan,
lebih tepatnya mereka sebagian besar berfikir terlebih dahulu sebelum
berbicara. Pada saat orang Jepang marah atau merasa terganggu, dia tidak
akan menegur atau menunjukkannya secara langsung. Tidak hanya ketika
berhubungan dengan orang asing, bahkan ketika berhubungan dengan
sesama orang Jepang, mereka cenderung menahan diri dan bersikap kaku.
Sehingga mereka sulit (atau menahan diri) untuk mengungkapkan apa
yang sedang mereka rasakan, termasuk kemarahan dan ketidaksukaan.