Anda di halaman 1dari 27

Masyarakat Jepang mengutamakan nilai kehidupan kelompok, baik dalam

keluarga, sekolah, kelompok bermain, lingkungan pekerjaan dan aktivitas


lainnya. Konsep kehidupan kelompok masyarakat Jepang Chi Nakane (dalam
Yulyanti. 2007: 7) terdiri atas kerangka (frame) dan atribut (attribute) dalam
posisi individu masyarakat.
Kerangka merupakan lingkungan dimana individu itu berada atau dalam
kelompoknya. Sedangkat atribut dapat berarti menjadi seorang anggota dari
sebuah kelompok atau kedudukan tertentu. Atribut dapat dimiliki oleh
seseorang bukan hanya akibat kelahiran tapi juga bisa melalui usaha orang
tersebut, misalnya menjadi dosen, guru, professor, dokter, dll. Sedangkan
kerangka seperti orang yang mengajar di Universitas Tokyo atau orang yang
bekerja di perusahaan Mitshubishi. Bagi orang Jepang yang penting bukanlah
gelar yang dimiliki, melainkan dari mana ia mendapatkannya. Bagi orang
Jepang, kerangka lebih penting daripada atribut, karena kerangka
dinilai sebagai identitas seseorang.
Masyarakat Jepang sangat menghormati harmoni; yaitu: keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan dalam kelompok. Selain itu masyarakat
Jepang juga menganut penilaian atas bawah atau ranking. Hal tersebut
menimbulkan daya saing yang besar, karena setiap anggota masyarakat ingin
menduduki rangking yang lebih tinggi. Nilai kerja keras dalam kelompok
pun menjadi sangat penting. Setiap kelompok ingin agar kelompoknya
berhasil, yang pada akhirnya juga akan menambah harga dirinya sebagai
anggota kelompok tersebut (Sayidiman Suryohadiprojo dalam Yulyanti.
2007: 8).
1. Konsep On, Giri, dan Ninjo
Nilai On (hutang budi), hutang budi yang dimaksud merujuk kepada
hutang psikologis dan sosial yang dikenakan kepada seseorang atas
penerimaan-penerimaan atau kebaikan yang diterima dari orang lain.
Orang Jepang merasa berkewajiban membalas budi kepada orang tua,

penguasa, masyarakat, dan negara. Nilai ini menyebabkan kuatnya


solidaritas kelompok serta nasionalisme bangsa Jepang. Nilai On
berhubungan erat dengan kewajiban untuk membalas sikap atau
kebaikan yang telah diterima dari orang lain dengan setimpal, yang
disebut dengan Giri (Harumi Befu dalam Yulyanti. 2007: 12).
Nilai Giri, secara harafiah diartikan sebagai kewajiban moral, yaitu
sebuah kewajiban yang bersifat etis dan moral yang mengharuskan
untuk bersikap seperti yang diharapkan oleh masyarakat dalam
berhubungan dengan individu-individu lain, terutama dengan siapa
seseorang itu menjalin hubungan khusus (Harumi Befu dalam Yulyanti.
2007: 12).
Konsep Ninjo sering sangat beririsan denga konsep Giri. Berbeda
dengan giri yang merupakan kewajiban moral untuk melakukan
tindakan saling berbalasan, ninjo adalah kecenderungan, perasaan, dan
keinginan alamiah manusia yang tidak terikat dengan norma-norma
seperti halnya giri. Apabila giri bersifat moral dan sosial, maka ninjo
bersifat psikologis dan personal.
2. Konsep Kyoudoutaino Ittasei
Di dalam kelompoknya, orang Jepang secara bersama selalu berusaha
mempertahankan

kesejahteraan

kelompok

tanpa

mengutamakan

keinginan-keinginan pribadi dalam memenuhi kebutuhan hidup sehariharinya. Oleh karena itu, Kyoudoutaino Ittasei menjadi salah satu nilai
yang ada dalam sistem kelompok masyarakat Jepang. Kyoudoutaino
Ittasei merupakan istilah yang menggambarkan rasa bersatu dalam
kerja sama untuk mencapai keberhasilan kelompok secara bersamasama.

Dalam

Kyoudoutaino

Ittasei,

kelompok

tidak

melihat

kemampuan dan keterampilan khusus seseorang dalam masing-masing


pekerjaannya, melainkan melihat hasil kerja yang dilakukan dan
dihasilkan oleh kelompok (Eshun Hamaguchi dalam Yulyanti. 2007:
13).

Kebangkitan Jepang pasca kekalahannya dalam Perang Dunia II


bukan karena keajaiban, melainkan diperoleh melalui semangat juang yang
tinggi, disiplin ketat, dan kerja keras yang dilandasi atas berbagai nilai-nilai
luhur. Tokugawa dan Akihiko Nakamura (2007) menyebutkan setidaknya
Jepang memiliki lima nilai atau semangat yang dipegang dan dilaksanakan
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yakni: semangat bushido,
disiplin samurai, budaya keisan, prinsip kai zen, dan prinsip keiretsuzaibatsu.
1. Semangat Bushido, Bushido itu berarti kesatria, pendekar, atau samurai.
Semangat bushido ini selalu dipegang teguh dari waktu ke waktu karena
bushido telah menjadi jalan hidupnya kesatria sebab dou artinya hidup.
Semangat bushido melahirkan proses belajar tak kenal lelah. Semangat ini
semula dipelajari Jepang dari Barat. Namun kini dunia Barat yang
terpukau dan harus belajar dari Jepang. Untuk itu ada tujuh nilai luhur
yang senantiasa dijunjung oleh bangsa Jepang dalam menjalankan
semangat bushido yakni:
a. Kejujuran
Kejujuran merupakan nilai utama yang harus dimiliki seseorang dalam
bekerja sehari-hari. Sikap dan perilaku jujur akan mendapat respek yang
yang baik dari orang lain.
b. Kehormatan
Seorang yang berjiwa bushido tahu sepenuhnya cara untuk menepati janji
dan ini untuk menjaga kehormatan.
c. Keberanian
Seseorang harus berani mengambil inisiatif dan keputusan yang tepat,
berani memanfaatkan peluang, mampu mengerjakan sesuatu dengan cara
yang berbeda, berani dengan situasi baru, pantang menyerah, dan
semacamnya.
d. Kesetiaan
Kesetiaan merupakan bentuk pengabdian kepada lembaga tempat
seseorang bekerja baik perusahaan maupun organisasi pemerintah.
e. Kepekaan

Kepekaan adalah perasaan respek terhadap orang lain serta tidak


menganggap remeh orang lain. Dari kepekaan ini timbul perasaan ingin
membantu atau ingin melayani.
f. Kerendahan hati
Seorang yang rendah hati itu bukan berarti rendah diri. Rendah hati
merupakan ketrampilan yang tinggi untuk merebut hati orang lain. Ia tahu
kapan harus berpihak kepada siapa dan untuk apa. Bangsa yang rendah
hati adalah bangsa yang mau dan mampu untuk mencari sumber inspirasi
dari bangsa lain yang lebih maju.
g. Keadilan
Seseorang yang baik akan dapat berada di tengah, bertindak ramah, dan
tidak bohong.
2. Disiplin Samurai
Jaman dahulu, pahlawan Jepang yang dikenal dengan sebutan samurai
akan melakukan hara-kiri atau bunuh diri dengan menusukkan pedang ke
perut jika kalah dalam pertarungan. Hal ini memperlihatkan usaha mereka
untuk menebus harga diri yang hilang akibat kalah perang. Kini semangat
atau disiplin samurai masih kuat tertanam dalam sanubari bangsa Jepang,
namun bukan lagi melakukan harakiri. Semangat samurai digunakan
untuk membangun ekonomi, menjaga harga diri dan kehormatan bangsa
secara teguh. Disiplin samurai ini telah membuat bangsa Jepang sulit
menerima kekalahan. Bagi mereka, kalah tidak berarti mati. Kekalahan
dapat ditebus kembali dengan kemenangan dan keberhasilan dalam bidang
lain. Jika terpaksa kalah, maka mereka mau kalah dengan penuh harga
diri. Disiplin samurai telah menciptakan bangsa Jepang menjadi bangsa
yang:
a. Tidak mudah menyerah karena sumber daya alam yang minim;
b. Tidak takut pada kesusahan akibat bencana alam yang melanda;
c. Pintar memanfaatkan segala sumber yang ada;
d. Jika melakukan suatu pekerjaan, maka mereka melakukannya dengan
sungguh-sungguh agar mendapatkan hasil yang terbaik;

e. Tidak boros.
3. Budaya Keisan
Satu hal lagi yang menjadi kunci keberhasilan bangsa Jepang adalah
keinginan mereka yang tinggi untuk memperbaiki diri dan mencapai
keinginannya. Untuk mewujudkan keinginan ini, mereka menerapkan
konsep budaya keisan, yaitu perubahan secara berkesinambungan
dalam budaya kerja mereka. Dengan cara mereka harus selalu bersikap
kreatif, inovatif, dan produktif. Konsep keisan memerlukan kerajinan,
kesungguhan, minat dan keyakinan, hingga akhirnya timbul kemauan
untuk selalu belajar dari orang lain. Mereka mempelajari dan meniru
teknologi bangsa lain, kemudian teknologi tersebut disesuaikan dengan
budaya kerja dalam perusahaan Jepang.
Dalam konsep keisan, apapun bentuk perubahan yang dilakukan, kecil
maupun besar dapat memberikan hasil dan kemajuan. Sebab, perubahan
juga dapat membebaskan seseorang, masyarakat, dan negara dari
kungkungan budaya dan cara berpikir yang tidak relevan. Hal ini berarti
bahwa kita harus meninggalkan cara lama tetapi cara lama itu juga dapat
dikembangkan tanpa menghilangkan dasarnya.
4. Prinsip Kai Zen
Prinsip Kai Zen, prinsip ini umumnya digunakan oleh perusahaan, yang
intinya adalah mengoptimalkan biaya dan waktu untuk menghasilkan
produk yang berkualitas tinggi dalam kuantitas besar.
Untuk mencapai prinsip ini karyawan harus memberikan seluruh perhatian
pada pekerjaan dan tidak boleh membuang waktu dengan obrolan tidak
berguna, bercanda, atau istirahat terlalu lama. Hampir seluruh perusahaan
Jepang menerapkan prinsip Kai Zen yang merupakan penerapan kualitas
kerja yang menekankan pada tiga aspek utama yaitu: peningkatan kerja
secara terus menerus, dapat diukur, dan dilaksanakan secara bertahap.
5. Prinsip Keiretsu dan Zaibatsu
Secara tradisional, yang dimaksud dengan Keiretsu adalah gabungan
perusahaan yang dimiliki oleh keluarga yang sama. Usaha tersebut
merupakan usaha yang diwariskan secara turun temurun, seperti yang

sekarang ada adalah Mitsubishi, Mitsui, dan Sumitomo. Mitsubishi yang


berdiri sejak tahun 1870 pada awalnya merupakan perusahaan perkapalan,
kemudian memasuki bidang pertambangan, perbankan, dan sebagainya.
Melalui anak-anak perusahaan dan juga rekan perusahaan mereka
membentuk satu gabungan dan serikat yang disebut Zaibatsu. Sistem
penggabungan ini diyakini dapat menjadikan sebuah perusahaan yang
besar, kuat, dan memonopoli. Jadi sistem ini melambangkan bahwa
persatuan akan menghasilkan kebersamaan dan kebersamaan akan
melahirkan kekuatan.
3. Perilaku Masyarakat Jepang
Perilaku atau sistem tingkah laku adalah perwujudan daripada
kepercayaan dan nilai-nilai yang dipedomani oleh setiap kebudayaan.
Menurut Ruben (1954, 129-155) perwujudan tingkah laku itu adalah melalui
simbol-simbol verbal seperti bahasa yang digunakan baik lisan maupun
tulisan

dan

melalui

symbol-simbol

nonverbal

seperti

gerakan

badaniah/bahasa tubuh, penampilan, persepsi indrawi, penggunaan ruang dan


jarak serta penggunaan waktu. (Lusiana, 2012 :70).
Dari mengamati perilaku kehidupan masyarakat Jepang, sebenarnya
tergambar bagaimana komunitas terdidik terlahir dari suatu sifat & sikap
yang sederhana.
a.

Rasa Malu, Fenomena "malu" yang telah mendarah daging dalam sikap
dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat
luas dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk didalamnya masalah
kehormatan

terhadap

HAM,

masalah law

enforcement, masalah

kebersihan moral aparat, dan sebagainya.


Dalam aplikasi ekstrimnya, budaya malu ini membawa pengaruh negatif
dalam prilaku kehidupan masyarakat Jepang, adalah prilaku bunuh diri
yang dikenal dengan harakiri. Lebih baik mati daripada menanggung
rasa malu. Ini adalah salah satu efek negatif dari rasa malu

b.

Tertib dan Disiplin, Bagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap


peraturan lalu lintas adalah suatu nyata. Orang Jepang lebih senang
memakai jalan memutar dari pada mengganggu pengemudi di
belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana
taatnya mereka untuk menunggu lampu traffice light menjadi hijau,
meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi.
Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam
setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian tiket kereta, masuk ke
stadion, di halte bus, bahkan memakai toilet umum di stasiun-stasiun,

mereka berjajar rapi bersusun rapi menunggu giliran.


c. Mereka sangat menghargai waktu. Mereka berangkat kerja dan sekolah
sangat pagi dan jarang sekali ada yang telat. Mereka lebih suka
berangkat dengan kendaraan umum daripada berangkat dengan
kendaraan pribadi.
d. Sopan dan Santun, Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk
mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak
mengenakan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak
orang Jepang, sebelum kita meminta maaf orang Jepang dengan cepat
akan meminta maaf kepada kita, demikian juga apabila bertabrakan
sepeda dengan mereka, tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak
yang salah, mereka akan secara refleks mengatakan gomennasai (maaf).
Seperti prilaku orang Timur pada umumnya, orang Jepang selalu
menyapa dan mengucapkan salam kepada orang yang ditemuinya,
sekalipun itu orang asing yang belum mereka kenal.
Sama halnya dengan budaya Jawa, bahasa Jepang juga memiliki kosa
kata khusus yang digunakan untuk menunjukkan penghormatan atau
yang lebih sopan seperti krama inggil dalam bahasa Jawa.
e. Memberi Hormat, Membungkuk merupakan bentuk memberi salam atau
meminta maaf. Dari saat mereka memasuki sekolah dasar, orang Jepang
belajar untuk menghormati orang tua dan membungkuk adalah bagian
dari itu. Seberapa dalam tunduk kepada siapa adalah penting juga.

Tunduk pada teman pada diambil sudut 30 derajat sedangkan untuk


atasan di tempat kerja atau orang tua dan orang-orang yang di hormati
lain nya pada sudut 70 derajat di ikuti dengan tutur bahasa yang sopan.
Ketika

memanggil

orang

yang

lebih

tua

harus

selalu

menambahkan san, yang merupakan nama kehormatan untuk mereka.


f. Jepang bisa maju seperti sekarang ini karena mereka rajin belajar, murid
murid di Jepang biasa belajar sampai lebih dari 12 jam, dari pagi jam
08.00 sampai 17.00. Setelah selesai di sekolah mereka tidak langsung
pulang tapi mereka belajar di Juku ( semacam bimbingan belajar).
Mereka belajar di Juku bisa sampai jam 22.00 dan baru pulang sekitar
jam 24.00. Kalau tidak ada kegiatan di juku mereka biasanya mengikuti
les yang menunjang bakat mereka misalnya menari, karate, les piano dan
lain-lain, Tidak ada waktu yang terbuang sia-sia. Ini menjadikan orang
Jepang giat bekerja saat telah menyelesaikan pendidikan.
g. Identitas Kolektif, masyarakat Jepang cenderung menganut identitas
kolektif (kelompok) sebagai sebuah kebanggaan. Kultur kebersamaan ini
bisa terlihat jika kita sudah bergabung dengan komunitas tertentu,
misalnya di laboratorium, unit kegiatan mahasiswa, atau perusahaan.
Mereka membentuk program-program atau kegiatan yang dapat memacu
kemajuan bersama. Prilaku bekerja sama dan terbiasa dalam teamwork
ini sesuai dengan Konsep Wa yakni salah satu pilar nilai dalam budaya
jepang yang berarti harmoni. Wa mengandung makna mengedepankan
semangat teamwork, menjaga hubungan baik, dan menghindari ego
h.

individu.
High Context Culture, Dalam berkomunikasi, masyarakat Jepang
merupakan salah satu penganut budaya High Context Culture (HCC)
atau komunikasi konteks tinggi dimana masyarakat Jepang pada
umumnya menghindari konfrontasi dan kritik terbuka secara langsung.
Membuat orang lain kehilangan muka merupakan tindakan tabu dan
dapat menyebabkan keretakan dalam hubungan bisnis.

i.

Dalam tata cara makan di Jepang, menyeruput makanan Anda, terutama


sup atau ramen, benar-benar dapat diterima. Bahkan, itu dianggap
sebagai cara yang tepat untuk menikmati rasa ramen sepenuhnya.
Bahkan ini adalah cara mereka untuk menghargai tuan rumah ataupun
koki yang sudah menyiapkan makanan. Namun, di banyak negara Barat,
satu-satunya suara yang harus terdengar di meja makan adalah
percakapan dan bunyi peralatan makan.
Makan permen karet sambil menyelesaikan pekerjaannya merupakan
sebuah prilaku yang lazim bagi masyarakat Jepang. Di Jepang, rak-rak
toko dipenuhi dengan banyak permen karet dengan berbagai rasa yang
berbeda dan mereka yang membutuhkannya untuk menyegarkan nafas
mereka bebas untuk menggunakan permen karet untuk menyelesaikan

pekerjaan.
j. Sikap Duduk, Masyarakat Jepang juga memiliki sikap duduk yang unik
yang mirip dengan sikap duduk wanita Bali saat beribadah yakni duduk
dengan sikap Seiza (duduk dengan kaki terlipat di bawah pantat),
secara harfiah diterjemahkan sebagai duduk yang tepat. Namun, di
Korea, duduk dengan sikap Seiza dikenal sebagai gaya duduk
tahanan dan secara luas dianggap cara untuk membawa kesakitan pada
tamu Anda.
k. Tata Cara Makan, setia anak-anak di Jepang diajarkan untuk memakan
setiap potongan terakhir dari makanannya, termasuk butiran nasi,
sebelum beranjak dari meja. Namun di China, dianggap sopan untuk
meninggalkan beberapa sisa makanan di piring Anda sebagai pengakuan
atas kemurahan hati tuan rumah. Jika semua makanan dimakan, hal itu
menjadi pertanda bagi tuan rumah bahwa makanannya tidak cukup.
Jika diundang ke sebuah pesta minum (nomikai), jangan menuangkan
bir hanya untuk diri sendiri dan mulai minumnya. Sikap yang baik
mengharuskan kalian untuk toast terlebih dahulu, angkat gelas dengan
satu tangan dan mengatakan Kanpai! (Cheers!) Biasanya, ketika
mengambil tempat duduk, pelayan akan memberikan oshibori (handuk

basah kecil) untuk membersihkan tangan. Etika makan merupakan hal


yang ketat di Jepang,
l. Budaya di Jepang mengharuskan kita melepas sepatu saat memasuki
rumah atau berkunjung ke rumah orang Jepang. Di setiap rumah tersedia
sandal untuk kita pakai saat berada di dalam rumah. Bahkan sebagian
orang Jepang membawa sendiri sendal mereka. Ada juga sendal lain saat
kita hendak masuk ke toilet.
m. Ada banyak spa dan pemandian umum di kota-kota dan daerah pedesaan
di Jepang. Gaya mandi Jepang berbeda dengan di Barat atau di
Indonesia. Pertama-tama, kita harus mencuci tubuh kita sebelum masuk
ke bak mandi untuk berendam. Pemandian umum sento adalah tempat
yang tepat untuk bersantai.
n. Untuk menunjuk dirinya sendiri biasanya orang Jepang menunjuk
hidungnya dengan jari telunjuk. Berbeda dengan orang Indonesia yang
biasa menepuk dadanya atau menunjuk dadanya.
o. Ketika kita melihat prilaku orang Jepang yang tampak tertidur, mata
terpejam dan kepala menunduk-ketika pebisnis asing sedang melakukan
presentasi, sebenarnya sedang menyimak presentasi tersebut dengan
sungguh-sungguh.
p. Di jepang juga terkenal dengan kebiasaan membaca. Dimanapun dan
kapanpun bisa mereka manfaatkan untuk membaca misalnya di kereta
api, di taman, di toko buku dan tempat lainnya.
q. Dalam hal keuangan, orang Jepang terkenal dengan sifat yang hemat
dan tidak suka berprilaku konsumtif. Hal ini kenapa orang Jepang sering
berbelanja pada pukul 19.30 karena pada jam-jam seperti ini biasanya
supermarket memberikan diskon. Di Jepang kita tidak perlu memberi
tip kepada pegawai hotel, bar dan staf restoran, sopir taksi, dan
sebagainya. Bahkan, memberi seseorang tip akan mempermalukan
mereka, karena itu merupakan hal yang sedikit agak kasar untuk
dilakukan di Jepang, karena harga sudah termasuk tips.
r. Salah satu nilai baik yang ditanamkan sejak dini adalah mengenai
kemandirian. Sejak kecil anak-anak di Jepang diajar untuk mandiri

sehingga anak-anak sudah terbiasa pergi dan pulang sekolah sendiri


tanpa dijemput oleh orang tuanya.
s. Bangsa Jepang juga dikenal karena semangat pantang menyerah, karena
dalam budaya mereka tidak ada prinsip kegagalan. Yang ada hanyalah
kurang berusaha, oleh karenanya mereka terbiasa menjadi orang-orang
yang ulet dan pantang menyerah.
t. Di samping berbagai kebiasaan baiknya, di Jepang dikenal beberapa
kebiasaan buruk yang biasa dilakukan masyarakat ini seperti kebiasaan
jarang mandi. Sebagian besar dari kita mengira kalau orang jepang yang
berkulit putih mulus sering mandi dan luluran serta segala macam
perawatan kulit,tapi kenyataannya mereka jarang sekali mandi apalagi
luluran. Tiap pagi sebelum berangkat kerja atau sekolah mereka tidak
pernah mandi, mereka hanya cuci muka dan gosok gigi saja. Mereka
mandi hanya seminggu sekali di pemandian air panas (onsen), dan yang
menarik mereka mandi beramai-ramai dan tanpa menggunakan busana
sehelaipun.
u. Prilaku buruk lainnya di Jepang adalah seks bebas dan menyebabkan
tingginya penyakit HIV di jepang.
v. Orang Jepang sering bunuh diri. Mereka biasa bunuh diri di awal tahun
atau akhir tahun, biasanya mereka bunuh diri karena mereka malu,
banyak di antaranya pelajar yang tidak lulus, ada juga yang bunuh diri
karena lilitan hutang. Bahkan terdapat tempat-tempat terfavorit untuk
bunuh diri yaitu di hutan Aokigahara dan air terjun Kegon serta
beredar buku panduan bunuh diri. Namun jika bunuh diri dengan cara
menabrakkan diri ke kereta, akan didenda sebesar 10 M.
w. Prosedural, Well Organized, Tekun, dan Teliti. Sifat-sifat ini turunan dari
karakter yang menghargai usaha. Untuk meraih hasil yang memuaskan,
di dalam bekerja orang Jepang sangat memperhatikan urutan langkahlangkahnya. Jika mereka diberikan petunjuk untuk menyelesaikan
pekerjaan atau menggunakan suatu alat, maka mereka akan dengan teliti
membaca petunjuknya dari awal hingga akhir tanpa ada yang terlewat

lalu benar-benar mengerjakan sesuai dengan petunjuk yang diberikan.


Sangat prosedural. Jangan heran ketika melihat seorang masinis kereta
yang sudah bekerja puluhan tahun, ketika menjalankan tugasnya dia
masih dengan semangat menunjuk-nunjuk panel-panel kontrol sambil
berbicara pada dirinya sendiri, itu semata-mata dilakukan untuk
memastikan dia tidak salah dalam melakukan tugasnya. Meski mereka
telah sering menjalani rutinitas itu, ketekunan dan ketelitiannya tidak
berkurang. Orang Jepang memang sangat cocok untuk jenis pekerjaan
yang berupa rutinitas dan membutuhkan ketelitian.

B.

PENGORGANISASIAN SOSIAL MASYARAKAT JEPANG


1. Organisasi Informal (keluarga)
Dasar Konsep IE dalam budaya Masyarakat Jepang
Pada zaman dahulu, sistem keluarga di Jepang terikat dalam suatu
sistem kekeluargaan yang disebut dengan sistem ie. Sistem ini merupakan
sistem keluarga dimana di dalam satu rumah, terdiri dari ayah, ibu, 4 atau 5
anak-anak termasuk didalamnya kakek dan nenek mereka. Anak laki-laki
tertua atau Chonan merupakan kepala keluarga dari keluarga tersebut.
Chonan merupakan juga penerus usaha orang tua dan pewaris dari usaha
orang tuanya dan bertanggung jawab terhadap kehidupan orang tuanya di
masa tua,dan bertangung jawab terhadap kelanjutan keluarga itu sendiri.
Dalam masyarakat. Jepang dikenal adanya nama keluarga (family
name). Oleh sebab itu. anak laki-laki tertua mempunyai kewajiban yang berat
dalam menjunjung tinggi nama keluarga mereka. Sebaliknya, anak
perempuan akan kehilangan nama keluarganya ketika la menikah.
ie, dapat berarti keluarga ataupun bangunan rumah. Menurut Ruth Benedict,
penulis buku The Chrysanthemum and The Sword, kehidupan masyarakat
Jepang tidak bisa dilepaskan dari sistem hirarki sejak dahulu kala. Sistem
hirarki ini tercermin salah satunya dalam sistem ie (keluarga). Fukutake

mengungkapkan bahwa sejak zaman Tokugawa (samurai), sistem ini mulai


dianut oleh masyarakat Jepang, dan bahkan dikukuhkan dalam Hukum Sipil
Meiji pasca Restorasi (tahun 1868). Garis besar isinya:
1. Kepentingan ie harus mendapat prioritas daripada kepentingan pribadi.
2. Kachou (dalam hal ini kepala keluarga), mempunyai wewenang yang
besar dalam aspek penting keluarga, baik itu perekonomian, hak waris,
dan pemujaan leluhur.
3. Hubungan oyako (orang tua dan anak) lebih dijunjung tinggi dibanding
4.

hubungan suami-istri.
Chounan (putra tertua) mempunyai hak waris utama dibandingkan

jinnan (putra II dan sannan (putra III).


5. Harkat laki-laki lebih dihargai daripada wanita.
6. Perkawinan lebih merupakan penyatuan ie daripada penyatuan suamiistri.
7. Honke (keluarga utama) lebih diutamakan daripada bunke.
Menurut Torigoe Hiroyuki, ie adalah dasar kehidupan orang Jepang
dalam hal ini untuk beberapa tujuan, yaitu: melestarikan myoji (nama
keluarga), melestarikan zaisan (warisan keluarga) dan sebagai sosen suuhai
(pemujaan leluhur). Sedangkan menurut Inoue Tetsujiro ie harus dipahami
dari ciri-ciri khasnya yaitu: ada kachou, harus ada ketaatan menghormati
kachou, dan adanya kesinambungan sejarah keluarga.
Sistem kekerabatan yang dianut oleh orang Jepang adalah sistem
patrilineal atau menarik garis keturunan dari pihak ayah. Untuk itu,
kedudukan laki-laki dianggap jauh lebih tinggi daripada wanita. Kachou
adalah sebutan bagi ayah dan suami sebagai pemimpin keluarga, tokoh
sentral dan mempunyai derajat tertinggi di antara anggota keluarga sehingga
memiliki hak istimewa, misalnya: mendapat pembagian nasi paling pertama
saat makan, duduk di posisi paling utama di meja makan, mandi di ofuro
(bathtub ala Jepang) paling pertama pula (perlu diketahui bahwa air panas
dalam ofuro dulu dipakai mandi oleh seluruh anggota keluarga tanpa diganti,
dimulai dari kachou, chounan, jinnan, sannan, dst). Hak-hak tersebut di atas

diikuti juga oleh kewajiban. Kachou menjadi tulang punggung keluarga. Ini
berkaitan dengan peranan ekonominya. Hak istimewanya mendapatkan
warisan keluarga (zaisan) menuntutnya untuk mampu menafkahi keluarga,
termasuk istri, anak-anak dan orang tuanya.
Chounan atau anak laki-laki pertama memiliki kedudukan yang tidak
kalah pentingnya. Chounan dianggap sebagai penerus nama keluarga dan
kelak akan menjadi kachou di keluarganya. Sedemikian pentingnya
keberadaan seorang putra dalam meneruskan nama keluarga sehingga ada
yang disebut mukou yoshi. Istilah ini merujuk kepada kebiasaan di keluarga
yang hanya memiliki anak perempuan untuk menarik suami anaknya menjadi
penerus keluarganya. Pada situasi seperti ini, sang menantu laki-laki terkesan
keluarganya memiliki derajat yang lebih rendah daripada keluarga istrinya
sehingga ia rela untuk merubah nama keluarga dan ditarik masuk ke dalam
garis keluarga istrinya. Saking beratnya konsekuensi menjadi seorang mukou
yoshi, maka muncul peribahasa, "San go nuka areba, yoshi ni ikuna".
Artinya: Andaikan masih ada 3-5 butir beras, jangan lah mau menjadi mukou
yoshi".
Jika diperhatikan, kedudukan wanita dalam sistem ie sangat rendah.
Dikatakan bahwa, seorang wanita pada masa kecilnya mengabdi kepada
ayahnya, setelah menikah mengabdi kepada suami, dan setelah tua mengabdi
kepada anak laki-lakinya. Ada peribahasa juga yang menyangkut situasi ini,
"Oyome ni ikeba, tanin ni hajimari".
Artinya: Jika telah menjadi pengantin wanita, maka itu adalah awal menjadi
orang lain (bagi keluarga wanita)". Dikatakan demikian, karena begitu
seorang wanita menikah, maka ia akan ikut ke dalam keluarga suaminya
sehingga hubungan dirinya dengan keluarganya sendiri bisa dikatakan
terputus. Dikenal juga istilah shichikyou (7 aturan untuk menceraikan istri)
yaitu alasan-alasan yang meliputi: bila istri tidak mempunyai anak, sakit

parah, cerewet, mengambil uang, pencemburu, dan tidak patuh kepada suami
dan mertua).
Sebenarnya, menurut Aruga Kizaemon, eksistensi ie tidak semata-mata
karena adanya keturunan darah, namun dapat pula diteruskan oleh pelayan
keluarga tersebut dengan catatan bahwa pelayan tersebut memiliki kazoku
ishiki (kesadaran akan rasa memiliki terhadap keluarga tersebut), adanya rasa
hubungan keagamaan dalam bentuk sosen suuhai, adanya hubungan
ekonomi, hukum, moral, budaya, dll.
Ideologi keluarga tradisional ie mulai dianut pada zaman Tokugawa
dan kemudian menjadi kazoku kokka (konsep negara keluarga) pada sebelum
hingga pasca Perang Dunia II.
Dalam keluarga Jepang dikenal juga istilah orang dalam (naka) dan orang
luar (soto). Istilah ini sebenarnva untuk memperjelas kedudukan atau posisi
kita dalam keluarga Jepang. Yang dimaksud orang dalam (naka) adalah orang
yang mempunyai hubungan darah dan tinggal bersama di dalam satu rumah.
Sedangkan orang luar (soto) adalah orang yang ada di luar lingkungan keluarga atau orang yang tidak mempunyai hubugan darah.
Hubungan naka dan soto ini besar sekali pengaruhnya pada budaya dan
kehidupan orang Jepang. Mereka akan selalu berhati-hati dalam bertingkah
laku juga berbicara dengan orang yang berada di luar lingkungan rumah
mereka. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari, pada waktu orang Jepang
berkenalan dengan orang luar, la selalu menjaga jarak. Ini terlihat dari
tingkah lakunya dan bahasa yang digunakannya untuk menghormati lawan
bicaranya.
Setelah modernisasi masuk ke Jepang sekitar pertengahan abad ke-19
Jepang mulai mentransfer segala macam bentuk budaya Barat (westernisasi).
Struktur keluarga Jepang pun ikut mengalami perubahan. Para pasangan
muda pada waktu itu tidak lagi menginginkan banyak anak. Mereka hanya
ingin memiliki 1 atau 2 anak saja Kemudian kakek dan nenek atau orang tua

mereka ingin menjalani kehidupan sendiri. Mereka tidak lagi tinggal bersama
anak-anak mereka. Struktur keluarga seperti ini kemudian disebut dengan
keluarga batih atau keluarga inti yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu
dan 1 atau 2 orang anak.
Dewasa ini, struktur keluarga batih pun semakin berkurang.
Perkembangan

ilmu

pengetahuan,

kecanggihan

tehnologi,

kemajuan

perekonomian kemudian diikuti oleh harga-harga kebutuhan yang semakin


tinggi, mengakibatkan kebanyakan pasangan muda di Jepang menginginkan
1 orang anak saja atau tidak sama sekali. Kecenderungan ini menyebabkan
rasio jumlah orang tua dan anak-anak di Jepang tidak seimbang. Bedasarkan
hasil statistik, jumlah anak-anak sampai dengan umur 15 tahun hanya
seperlima dari, jumlah penduduk keseluruhan yaitu hanya 20,24 juta orang
dari 125,6 juta orang.
Sejalan dengan itu, banyak dari kaum lanjut usia yang tidak mau lagi
tinggal bersama-sama dengan anak-anak mereka. Mereka lebih memilih
untuk hidup sendiri dan berkumpul dengan masyarakat seusia mereka,
memanfaatkan sisa hidup dengan pekerjaan dan kegiatan yang dapat
memberikan andil positif pada masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya jenis kegiatan dari para lanjut usia ini. Kelompok lanjut usia ini
disebut koreka shakai. Mereka merupakan masyarakat lanjut usia yang juga
menjadi bagian dari penduduk dan rakyat Jepang. Otousan ga seikatsu no
koto o kimeru keiri o motte imasu. (Seorang ayah memiliki hak untuk
menentukan segala scsuatu dalam keluarganya).

2. Organisasi Formal
SISTEM PENDIDIKAN JEPANG
Sebelum Restorasi Meiji, Jepang melaksanakan pendidikannya
berdasarkan sistem masyarakat feodal, yaitu pendidikan untuk samurai,
petani, tukang, pedagang, serta rakyat jelata. Kegiatan ini dilaksanakan di

kuil dengan bimbingan para pendeta Budha yang terkenal dengan sebutan
Terakoya (sekolah kuil). Mirip dengan pesantren di Indonesia.
Namun, semenjak Restorasi Meiji dikibarkan, bagai bola salju,
pemerintah Jepang terus menggelindingkan puspa ragam kebijaksanaannya
dengan mulai giat menerjemahkan dan menerbitkan berbagai macam buku,
di antaranya tentang ilmu pengetahuan, sastra, maupun filsafat. Para pemuda
banyak dikirim ke luar negeri untuk belajar sesuai dengan bidangnya masingmasing, tujuannya jelas yaitu mencari ilmu dan menanamkan keyakinan
bahwa Jepang akan dapat berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan
kemajuan dunia Barat.
Sesudah perang, mulai 3 November 1946, konstitusi baru Jepang
menetapkan kebijakan pendidikannya atas dasar hak asasi manusia, jaminan
kebebasan berfikir, dan hati nurani, kebebasan beragama, kebebasan
akademik, dan hak bagi semua orang untuk mendapatkan pendidikan sesuai
dengan kemampuan mereka. Pada Maret 1947, melalui Peraturan Pendidikan
Nasional (School Education Law) ditetapkan susunan dasar pendidikan
keseluruhan atas dasar 6-3-3-4 beserta tujuan khusus pada tiap jenjangnya.
Pada

Maret

1947

juga

berlaku

Hukum

Dasar

Pendidikan

(Fundamental Law of Education) yang pada hakekatnya merupakan


statement filsafat pendidikan demokratis yang dalam banyak hal berbeda
dengan Imperial Rescript on Education. Misalnya, dalam hubungan antara
warga dengan negara, dalam Imperial Rescript on Education disebutkan
bahwa, setiap warga memiliki kewajiban untuk mengembangkan daya
intelektual dan moral mereka, melaksanakan hukum dan mempersembahkan
keberaniannya demi negara untuk melindungi dan menjaga kesejahteraan
istana Kaisar. (Imam Barnadib, 1986: 53),
Sedangkan dalam Fundamental Law of Education disebutkan bahwa,
Setiap warga memiliki kesempatan yang sama menerima pendidikan menurut
kemampuan mereka, bebas dari diskriminasi atas dasar ras, jenis kelamin,

status sosial, posisi ekonomi, asal usul keluarga, bantuan finansial, bagi yang
memerlukan, kebebasan akademik, dan tanggung jawab untuk membangun
negara dan masyarakat yang damai (Imam Banrnadib, 1986: 53).
Perbedaan yang lain adalah mengenai tujuan pendidikan. Dalam
Imperial Rescript on Education disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah
untuk meningkatkan kesetiaan dan ketaatan bagi Kaisar agar dapat
memperoleh persatuan masyarakat di bawah ayah yang sama, yakni Kaisar.
Adapun tujuan pendidikan menurut Fundamental Law of Education adalah
untuk meningkatkan perkembangan kepribadian secara utuh, menghargai
nilai-nilai individu, dan menanamkan jiwa yang bebas.

PENDIDIKAN WAJIB
Wajib sekolah berlaku bagi anak usia 6 sampai 15 tahun, tetapi
kebanyakan anak bersekolah lebih lama dari yang diwajibkan. Tiap anak
bersekolah di SD pada usia 6 tahun hingga 12 tahun, lalu SMP hingga usia
15 tahun. Pendidikan wajib ini bersifat cuma-cuma bagi semua anak,
khususnya biaya sekolah dan buku, namun bagi anak-anak dari keluarga
yang tidak mampu mendapat bantuan khusus dari pemerintah pusat dan
daerah. Di samping itu ada juga bantuan untuk kebutuhan belajar, perawatan
kesehatan, dan lain-lain. Dengan demikian, sekolah wajib ditempuh selama 9
tahun; 6 tahun di SD dan 3 tahun di SMP. Hampir semua siswa di Jepang
belajar bahasa Inggris sejak tahun pertama SMP, dan kebanyakan
mempelajarinya paling tidak selama 6 tahun. Mata pelajaran wajib di SMP
adalah bahasa Jepang, ilmu-ilmu sosial, matematika, sains, musik, seni rupa,
pendidikan jasmani, dan pendidikan kesejahteraan keluarga. (Abd. Rachman
Assegaf, 2003: 177-178).
Pendidikan Menengah Atas
Ada tiga jenis SMA, yaitu: full time, part time (terutama malam hari),
dan tertulis. Sekolah menengah yang full time berlangsung selama 3 tahun,

sedangkan kedua jenis sekolah lainnya menghasilkan diploma yang setara.


Bagian terbesar siswa mendapat pendidikan menengah atas di SMA full
time. Jurusan di SMA dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis
berdasarkan pola kurikulum, yaitu jurusan umum (akademis), pertanian,
teknik, perdagangan, perikanan, home economic, dan perawatan. Untuk
masuk ke salah satu jenis sekolah tersebut, siswa harus mengikuti ujian
masuk dan membawa surat referensi dari SMP tempat ia lulus sebelumnya.
Hampir semua SMP dan SMA serta Universitas swasta menentukan
penerimaan siswa melalui ujian masuk, dan setiap sekolah menyelenggakan
ujian masuk sendiri. (Abd Rachman Assegaf, 2003: 178-179).
Pendidikan Tinggi
Ada tiga jenis lembaga pendidikan tinggi, yaitu: universitas, junior
college (akademi), dan technical college (akademi teknik). Di universitas
terdapat pendidikan sarjana (S-1) dan pascasarjana (S-2 dan S-3). Pendidikan
S-1 berlangsung selama 4 tahun, menghasilkan sarjana bergelar Bachelors
degree, kecuali di fakultas kedokteran dan kedokteran gigi yang berlangsung
selama 6 tahun. Pendidikan pascasarjana dibagi dalam dua kategori, yakni
Masters degree (S-2) ditempuh selama 2 tahun sesudah tamat S-1dan
Doctors degree (S-3) ditempuh selama 5 tahun.
Junior college memberikan pendidikan selama dua atau tiga tahun bagi
para lulusan SMA. Kredit yang diperlukan di junior college dapat dihitung
sebagai bagian dari kredit untuk memperoleh gelar Bachelors degree (S-1).
Lulusan sekolah menengah (setingkat SMP) dapat masuk ke technical
college (akademi teknik). Pendidikan di lembaga ini berlangsung selama 5
tahun (full time) untuk mencetak tenaga teknisi.
Pendidikan tinggi di Jepang berada di bawah pengelolaan tiga
lembaga, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pihak swasta. Ada
lima jenis pendidikan tinggi yang bisa dipilih mahasiswa asing di negara
Jepang ini, yaitu: program sarjana, pascasarjana, diploma (non gelar),

akademi, dan sekolah kejuruan. Program sarjana menerima tiga macam


mahasiswa, yaitu: mahasiswa reguler, mahasiswa pendengar, dan
mahasiswa pengumpul kredit.
Mahasiswa reguler adalah mereka yang belajar selama 4 tahun, kecuali
jurusan kedokteran yang harus menempuh 6 tahun. Mahasiswa pendengar
adalah mahasiswa yang diijinkan mengambil mata kuliah tertentu dengan
syarat dan jumlah kredit yang berbeda di setiap universitas tetapi kredit itu
tidak diakui. Adapun mahasiswa pengumpul kredit hampir sama dengan
mahasiswa pendengar, tetapi kreditnya diakui.
Sedangkan program pascasarjana terdiri atas program Master, Doktor,
Mahasiswa Peneliti, Mahasiswa Pendengar, dan Pengumpul Kredit.
Mahasiswa Peneliti adalah mahasiswa yang diijinkan melakukan penelitian
dalam bidang tertentu selama 1 semester atau 1 tahun tanpa tujuan
mendapatkan

gelar.

Program

ketiga

adalah

diploma,

yang

lama

pendidikannya 2 tahun. Enam puluh persen dari program ini diperuntukkan


bagi

pelajar

perempuan

dan

mengajarkan

bidang-bidang

seperti

kesejahteraan keluarga, sastra, bahasa, kependidikan, kesehatan, dan


kesejahteraan.
Akademi atau special training academy adalah lembaga pendidikan
tinggi yang mengajarkan bidang-bidang khusus, seperti keterampilan yang
diperlukan dalam pekerjaan atau kebidupan sehari-hari dengan lama
pendidikan antara 1 sampai 3 tahun. Adapun sekolah kejuruan adalah
program khusus untuk lulusan SMP dengan lama pendidikan 5 tahun dan
bertujuan membina teknisi yang mampu mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Abd. Rachman Assegaf, 2003: 179-180).

C.

SISTEM LAMBANG/ SIMBOL DALAM PERSEPSI BUDAYA JEPANG

Simbol adalah representasi dari sesuatu. Setiap orang dapat menerapkan


makna individual pada simbol tertentu. Simbol dapat digolongkan menjadi:

1. Simbol verbal yaitu bentuk bahasa terucapkan dan tertulis dengan kata-kata.
2. Simbol non verbal yakni bentuk bahasa atau tingkah laku tanpa kata-kata.
Secara garis besar, macam-macam perilaku non verbal terbagi atas
penampilan, gerakan badaniah (Kinesic), persepsi indrawi (Sensoric),
penggunaan ruang jarak (Proxemic), penggunaan waktu (Chronemic) dan
paralinguistik (Paralanguage).

1. Simbol Verbal Dalam Persepsi Budaya Jepang


a.

Bahasa terucapkan
1. Bahasa Jepang terbagi kepada dua bentuk yaitu Hyoujungo, pertuturan
standar, dan Kyoutsugo, pertuturan umum. Hyoujungo adalah bentuk
yang diajarkan di sekolah dan digunakan di televisi dan segala
perhubungan resmi.

b. Bahasa tertulis
Bahasa jepang memiliki beberapa jenis huruf yaitu hiragana, katakana dan
kanji. Huruf-huruf itu memiliki perbedaan dalam penggunaanya. Berikut
perbedaan fungsi dan penggunaan semua jenis huruf bahasa Jepang
tersebut:
1. Huruf Hiragana dulunya digunakan oleh para wanita jepang (bentuk
tulisannya halus). Sedangkan penggunaanya adalah untuk kata
keterangan, perkataan dimana huruf kanji sudah lama tidak digunakan
atau bahkan sudah tidak diketahui dan digunakan untuk
situasi yang formal.

2. Huruf katakana hanya digunakan oleh kamu lelaki (bentuknya luruslurus). Digunakan untuk kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang
kemudian diserap menjadi bahasa jepang.

3. Huruf kanji, berasal dari Cina yang diperkenalkan pada abad keempat
Masehi. Kanji dipakai untuk menyatakan arti dasar dari kata (baik
berupa kata benda, kata kerja, kata sifat, atau kata sandang).

2. Non-Verbal
a.

Penampilan
Contoh yang khas menyimbolkan penampilan budaya Jepang dapat kita
lihat dari cara berpakaian dan gaya rambut.
1. Pakaian

Pakaian tradisional laki laki dan perempuan di jepang :


Kimono, berbentuk seperti huruf "T", mirip mantel berlengan
panjang dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke
pergelangan kaki. Wanita mengenakan kimono berbentuk baju
terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan.

Selain pakaian tradisional, Harajuku style juga menjadi simbol


penampilan budaya Jepang. Harajuku lebih mengacu pada arti:
'Street Fashion' yang tidak umum. Bahkan tanpa batasan,
contohnya model fashion 'tabrak lari', 'gak nyambung', 'aneh', dan
'berlebihan'.

2. Rambut sebagai Simbol Harga Diri :


Chonmage adalah bentuk potongan rambut tradisional Jepang yang
menampilkan bagian rambut depan yang dicukur. Rambut yang
tersisa, yang sudah lama, setelah diminyaki dan diikat menjadi ekor
kuda kecil yang dilipat ke bagian atas kepala di jambul yang khas. Di
zaman modern, pemakai chonmage yang tersisa adalah para pegulat
sumo. Gaya chonmage sedikit berbeda, dalam hal kepala tidak lagi

dicukur, meskipun rambut mungkin menipis di wilayah ini untuk


memungkinkan jambul untuk duduk lebih rapi. Chonmage adalah
bagian dari simbol penting bagi seorang pesumo.
b. Gerakan Badaniah (Kinesic)
1. Membungkukkan badan (Ojigi)
Simbol

budaya

Jepang

dalam

menyapa

adalah

dengan

membungkukkan badan atau yang lebih dikenal dengan istilah Ojigi.


Membungkukkan badan juga digunakan ketika meminta sesuatu
seraya memohon maaf, ketika memberi ucapan selamat, ketika
mengakui kehadiran seeorang, dan ketika berpisah. Ojigi bermakna
sama seperti berjabat tangan yang biasa dilakukan oleh orang barat,
akan tetapi bergantung kepada kedalamannya, juga menunjukkan
tingkat tinggi rendah/ hierarki diantara dua orang maupun lebih. Ada
dua jenis ojigi :

Ritsurei yaitu ojigi yang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan


ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga
keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan
di depan badan.

Zarei adalah ojigi yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan


intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3, semakin lama dan semakin
dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang
ingin disampaikan, misalkan rasa hormat / penghargaan:
a) Saikeirei, adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan
sekitar 45 derajat atau lebih.
b) Keirei, yaitu badan dibungkukkan sekitar 30-45 derajat.
c) Eshaku, adalah membungkukkan badan sekitar 15-30 derajat.

2. Menunjuk Hidung, meletakkan jari telunjuk di depan bibir dalam


budaya

Jepang

menyimbolkan

bahwa

sipelaku

pembicara

menunjukkan kepada diri sendiri. Sedangkan ketika sipembicara


meletakan ujung jari telunjuk di depan bibirnya, itu bisa dapat
diartikan tolong diam.
3. Simbol OK yakni dengan membentuk lingkaran dengan ibu jari dan
jari telunjuk, lalu memperlihatkan samping kelingking kepada lawan
bicara. Ini menandakan ada sesuatu hasil yang positif yang telah
setujui atau disepakati bersama.
4. Menyatakan Okama
Caranya dengan meletakkan telapak tangan di sisi mulut dengan
telapak tangan menghadap ke luar. Isyarat ini dapat berarti gay jika
dilakukan tanpa mengatakan sesuatu. Namun, jika mengatakan
sesuatu, itu berarti bahwa Anda berbisik-bisik tentang seseorang di
belakangnya.
5. Ochi tsui te
Caranya dengan menggerakkan kedua tangan dari atas ke bawah
sambil berkata ochi tsuite atau "maaa maaa maaa" dengan telapak
tangan menghadap ke bawah. Hal ini dilakukan agar seseorang tetap
tenang, dan tidak perlu panik. "Ochitsuite" atau "Maa Maa Maa"
harus dikatakan bersama-sama dengan gerakan tangan agar dapat
dipahami maksudnya.
6. Tatapan mata
Kontak mata dengan menatap mata seseorang dengan waktu yang
lebih intens bagi orang Jepang menyimbolkan bahasa non verbal dari
dominasi atau peneguhan status seseorang. Mereka menyebut
perilaku tersebut membelalak yang memberi kesan tidak sopan.
Orang Jepang khususnya hanya sekitar 10 % melakukan kontak mata
dari seluruh waktu yang mereka gunakan untuk bercakap-cakap.
Selebihnya mereka melihat ke leher mitra bicara ketika mereka
mendengarkan dan memandang kaki atau lulut mereka sendiri ketika
mereka sendiri berbicara. Ketika ada masyarakat Jepang yang

menundukkan kepala ketika berbicara, itu dimaksudkan untuk


menghormati lawan bicara yang biasanya orang tua atau yang
berstatus lebih tinggi. Masyarakat Jepang, terutama mereka yang
tidak berkedudukan tinggi hampir tidak pernah saling menatap mata.
Jepang

memilih

untuk

menundukkan

kepala.

Hal

tersebut

memperlihatkan bahwa Jepang lebih tertutup dari kebudayaan lain,


termasuk lebih memilih untuk menundukkan kepala agar tidak
bertemu pandang dengan lawan bicaranya. Mereka lebih khawatir
ketika seseorang menatap mata mereka, semakin lama ditatap maka
mereka akan semakin tidak konsentrasi. Bahkan sebagai ekspresi
penolakanpun, tidak perlu diucapkan dengan kata-kata, cukup dengan
palingan mata.
7. Diam
Konsep diam bagi orang Jepang menyimbolkan akan adanya
ketidaksetujuan terhadap suatu keputusan. Dalam budaya mereka,
tidak sopan mengutarakan ketidaksetujuan dengan terbuka.
c.

Persepsi Indrawi (Sensorik)


Contohnya, kebiasaan untuk menjaga kebersihan merupakan hasil dari
kebudayaan tua di Jepang dan merupakan salah satu bagian dari ajaran
Budha. Pemerintah Jepang dan masyarakatnya secara umum sejak jaman
Edo selalu mengkampanyekan slogan Utsukushi kuni (Negara Jepang
yang cantik). Slogan tersebut menyimbolkan suatu ungkapan yang
ditujukan untuk menjaga kebersihan sebagai hal yang mutlak bagi orang
Jepang demi terciptanya Jepang yang cantik. Pada masa kini, hal tersebut
tercermin

dari

berbagai

hal,

mulai

dari

kehidupan

sehari-hari

masyarakatnya, hingga ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu dalam


penjagaan kebersihan kota, seperti halnya makan dikendaraan umum,
sampah sisa makanan tersebut disimpan ke dalam saku celana atau

dimasukkan ke dalam tas, kemudian baru dibuang setelah menemukan


tempat sampah.
d. Penggunaaan Ruang Jarak (Proxemic)
Setiap individu atau kelompok memiliki wilayah pribadi seperti rumah
dan kantor. Dalam tataran teknis simbol-simbol proxemic dapat terlihat
misalnya suatu kondisi dimana seorang majikan di Jepang dan
pegawainya biasanya berdiri renggang ketika mereka berbicara. Tidak
hanya antara majikan dan pegawai, akan tetapi ketika seorang individu
maupun kelompok bukan menjadi bagian dari kelompoknya, atau
dianggap sebagai orang luar, maka mereka akan saling duduk berjauhan
dan tetap menjaga jarak. Di Jepang, sudah menjadi kebiasaan bahwa
ketika berada di kantor, ruangannya lebih terbuka dan besar, kemudian
orang yang paling penting akan duduk di tengah-tengah. Seorang
pemimpin di Jepang, meskipun dia memiliki kantor tersendiri, mereka
jarang menggunakannya dalam operasi sehari-hari. Pegawai tinggi Jepang
lebih suka bekerja dalam suatu daerah terbuka yang juga ditempati para
pegawai sehingga mereka akan terlibat dalam pertukaran wacana
pekerjaan.
e.

Sikap Terhadap Tenggat Waktu (Chronemic)


Contohnya, di Jepang tepat waktu adalah budaya yang mereka lakukan,
apalagi ketika membuat janji dengan seseorang. Di Jepang biasanya jika
membuat janji dengan orang lain datang paling lambat 5 menit sebelum
waktunya, orang Jepang akan merasa malu jika mereka datang paling
akhir walaupun tepat waktu. Ketidaktepatan waktu seseorang dalam
membuat janji menyimbolkan berkurangnya kepercayaan orang itu
kepada orang yang berjanji.

f. Paralinguistik (Paralanguage)
Simbol paralinguistic ini dapat kita lihat dari intonasi dalam berbicara.
Masyarakat Jepang terbiasa tenang dalam menghadapi setiap hal. Budaya

Jepang tidak terbiasa dengan suara yang terlalu keras dan lebih memilih
untuk mengatur intonasi bicara mereka. Kebanyakan orang Jepang yang
mempunyai status tinggi, akan berbicara dengan lebih pelan dan terbatabata. Terbata-bata di sini dilakukan denggan memberi jeda pada setiap
kalimat, yang menunjukkan bahwa mereka adalah bangsa yang tenang dan
tidak terburu-buru dalam mengatakan apa yang ingin mereka katakan,
lebih tepatnya mereka sebagian besar berfikir terlebih dahulu sebelum
berbicara. Pada saat orang Jepang marah atau merasa terganggu, dia tidak
akan menegur atau menunjukkannya secara langsung. Tidak hanya ketika
berhubungan dengan orang asing, bahkan ketika berhubungan dengan
sesama orang Jepang, mereka cenderung menahan diri dan bersikap kaku.
Sehingga mereka sulit (atau menahan diri) untuk mengungkapkan apa
yang sedang mereka rasakan, termasuk kemarahan dan ketidaksukaan.

Anda mungkin juga menyukai