Anda di halaman 1dari 18

Pemilihan Terapi Empiris Dalam Manajemen Infeksi IntraAbdominal Yang Mengalami Komplikasi

John A. Weigelt, MD. Department of Surgery, Division of Trauma/Critical Care, Medical Collage of
Wisconsin, Milwaukee, WI.

ABSTRAK
Infeksi intra-abdominal yang mengalami komplikasi merupakan suatu tantangan
bagi ahli bedah dan ahli penyakit dalam, hal ini disebabkan tingginya angka morbiditas dan
mortalitas untuk kasus tersebut. Untuk memperoleh hasil terapeutik yang optimal dibutuhkan
kombinasi antara tindakan bedah dan terapi antimikroba spektrum luas sebagai adjuvant yang
tepat dan segera. Tulisan ini meninjau tentang pemilihan terapi antimikroba secara empirik,
pilihan terapi yang sesuai, dan terapi antimikroba terbaru untuk kasus infeksi intra-abdominal
dengan komplikasi.

POIN KUNCI

Tindakan mengontrol sumber infeksi merupakan komponen penting dalam mencapai


terapi yang berhasil. Pemilihan antimikroba adjuvan merupakan hal yang penting

dalam penatalaksanaan secara keseluruhan.


Pemilihan terapi antimikroba secara empirik pada kasus infeksi intra-abdominal
dengan komplikasi dipengaruhi oleh; tingkat keparahan dari penyakit tersebut dan

bagaiman penderita mendapatkan infeksi tersebut.


Beragamnya bakteri penyebab infeksi intra-abdominal dengan komplikasi dan
resistensi bakteri terhadap terapi antimikroba merupakan suatu tantangan klinis yang

penting.
Resistensi yang terjadi pada banyaknya patogen enterik gram negatif dan Bacteroides
fragilis menjadi alasan untuk menemukan suatu antimikroba jenis baru yang efektif.

1|

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

arena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi maka infeksi intraabdominal merupakan suatu tantangan besar yang dihadapi oleh para ahli
bedah dan penyakit dalam. Meskipun diperkirakan 80% dari infeksi intraabdominal didapat di luar tempat pelayanan kesehatan (Rumah sakit),

ancaman dari infeksi intra-abdominal yang didapat di tempat pelayan kesehatan masih
menjadi perhatian bagi kita semua, karena meningkatnya jumlah pasien rawat inap yang
terinfeksi bakteri resisten.
Pengendalian sumber infeksi (Tindakan bedah untuk mengeradikasi sumber infeksi,
menghambat kontaminasi mikroba yang sedang berlansung, dan mengembalikan fungsi
anatomis) merupakan dasar dari manajemen pasien infeksi intra-abdominal dengan
komplikasi. Terapi antimikroba empiris, meskipun hanya sebagai adjuvan, juga hal yang
penting dalam manajemen rencana secara keseluruhan, dan usaha dalam menemukan regimen
antimikroba yang optimal masih dilakukan sampai saat ini. Setelah mengawali bahasan
tentang infeksi intra-abdominal, tulisan ini akan fokus dalam kriteria pemilihan terapi
antimikroba secara empirik untuk infeksi yang mengalami komplikasi, dan tentunya pilihan
terapeutik yang tersedia sebagai pilihan untuk menangani kasus ini.

PENYEBAB DAN KLASIFIKASI INFEKSI INTRA-ABDOMEN


Lebih sejak satu abad yang lalu, bakteri aerob dan anaerob dianggap berperan
sebagai agen penyebab infeksi intra-abdominal. Dengan tersedianya teknik kultur bakteri
anaerob yang lebih canggih, maka sejak pertengahan tahun 1970an disepakati bahwa suatu
infeksi intra-abdominal yang serius disebabkan oleh campuran bermacam bakteri yang secara
sinergik menyebabkan infeksi.
Secara umum terjadinya infeksi intra-abdominal disebabkan oleh rusaknya sawar
anatomis yang normal. Kerusakan ini paling umum dijumpai pada organ-organ berongga, hal
ini mengakibatkan bakteri intra-luminal menginvasi dan berproliferasi pada regio yang
seharusnya steril seperti rongga peritoneum atau retro peritoneum.
Peritonitis: Memiliki Presentasi Klinis Yang Beragam
Meskipun istilah peritonitis banyak digunakan sebagai sinonim dari infeksi intraabdominal, terdapat derajat keterlibatan peritoneum yang bervariasi. Secara klinis variasi dari
2|

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

infeksi intra-abdominal dapat berupa appendisitis yang terlokalisasi hingga inflamasi difus
pada rongga abdomen, yang memiliki karakteristik sebagai peritonitis secara umum. Infeksi
intra-abdominal juga dapat digambarkan sebagai peritonitis primer, sekunder dan tersier
(Lihat bagian ringkasan tentang peritonitis).

Dimana pada infeksi primer tidak dijumpai keterlibatan dengan organ berongga,
sedangkan infeksi sekunder disebabkan karena perforasi organ berongga. Infeksi tersier
berhubungan dengan pasien-pasien yang mengalami imunocompromised dan sering disertai
dengan kegagalan terapi. Infeksi tersier didefinisikan sebagai suatu infeksi intra-abdominal
yang persisten dan berulang meskipun telah dilakukan tindakan pengendalian sumber infeksi
dan terapi antimikroba yang sesuai. Hal ini juga diyakini berhubungan dengan infeksi yang
disebabkan oleh mikroba dengan virulensi rendah seperti Enterococcus dan Staphylococcus
epidermidis.
Perbandingan Antara Infeksi Yang Disertai Komplikasi dengan Infeksi Tanpa
Komplikasi
Infeksi intra-abdomen dapat dikelompokkan sebagai infeksi yang disertai
komplikasi dan tanpa komplikasi, walaupun hal ini tidak selalu jelas. Suatu infeksi intra3|

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

abdominal yang mengalami komplikasi didefinisikan sebagai suatu infeksi rongga


peritoneum yang berasal dari infeksi pada organ berongga yang membentuk formasi abses
atau peritonitis. Infeksi ini berpotensi menimbulkan kondisi medis yang serius, sehingga
membutuhkan prosedur invasif sebagai usaha dalam mengendalikan sumber infeksi.

INFEKSI INTRA-ABDOMINAL MASIH MENJADI SUATU MASALAH


BESAR
Secara keseluruhan insiden infeksi intra-abdominal sulit untuk dipastikan dan
memiliki variasi sesuai penyakit utama yang terjadi di abdomen. Perubahan klinis dari suatu
infeksi intra-abdominal yang mengalami komplikasi sering dinilai berdasarkan patokan
terhadap beberapa nilai yang digunakan oleh pusat pelayanan kesehatan dalam menentukan
perlunya dilakukan perawatan gawat darurat, rawat inap, prosedur pencitraan dan
laboratorium diagnostik, dan pembedahan (Pada tindakan awal maupun ulangan). Sebagai
tambahan, terapi antimikroba yang diberikan secara dini dan tidak efektif akan meningkatkan
biaya perawatan pasien infeksi intra-abdominal secara signifikan, hal ini juga menggaris
bawahi kebutuhan intervensi sesuai yang akan dilakukan.
Satu abad terakhir ini manajemen infeksi intra-abdominal telah mengalami
perkembangan yang pesat, dimana terjadi penurunan angka mortalitas yang diperkirakan
sebesar 90% pada tahun 1990 hingga menjadi 23% pada tahun 2002. Bagaimanapun variasi
yang luas dari angka mortalitas ini, hal ini tergantung dari lokasi sumber infeksi, variasi
tersebut yaitu; 0,25% untuk appendiks, meningkat sebesar 21% untuk gaster/duodenum,
pankreas 33%, usus halus 38%, usus besar 45%, dan traktus biliaris sebesar 50%.
Meskipun hasil ini telah mengalami peningkatan, namun infeksi intra-abdomen yang
disertai komplikasi berhubungan erat dengan angka mortalitas yang tinggi dan disfungsi
organ pada pasien bedah yang mengalami sakit kritis. Hasilnya infeksi ini membutuhkan
kombinasi antara tindakan pengendalian sumber infeksi secara bedah dan pemberian
antimikroba spektrum luas yang sesuai dan segera agar diperoleh hasil yang memuaskan.
Tujuan

utama

dari

tindakan

penatalaksanaan

ini

adalah

menghindari

terjadinya

sepsis/bakteremia, kerusakan lokal yang dipicu oleh infeksi dan kematian.

4|

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

KLASIFIKASI PASIEN BERDASARKAN FAKTOR RESIKO


Terdapat banyak faktor resiko yang berkontribusi dalam menentukan derajat
keparahan dari infeksi intra-abdominal dan resiko pasien memperoleh hasil pengobatan yang
tidak memuaskan. Hal ini meliputi; usia pasien, penyakit komorbid (Contohnya: Diabetes,
penyakit kardiovaskular, dan kanker), luasnya infeksi yang terjadi, dan dimana didapatnya
infeksi tersebut (Komunitas atau rumah sakit), timbulnya gangguan fungsi organ atau sepsis,
status gizi, dan keberhasilan dari prosedur pengendalian sumber infeksi.
Mengelompokkan pasien yang menderita infeksi intra-abdominal ke dalam kategori
beresiko tinggi atau rendah tidak selalu dapat dilakukan dengan mudah, namun usaha dalam
menilai resiko kegagalan terapi atau kematian merupakan hal yang penting dalam memilih
rencana tindakan yang akan dilakukan. Mengelompokkan pasien ke dalam kategori
berdasarkan faktor resiko juga penting dalam memilih regimen terapi dan ketika memulai
terapi agen antimikroba baru.
Beberapa kriteria pada pasien dengan infeksi intra-abdominal dengan komplikasi
telah diidentifikasi sebagai faktor resiko tinggi untuk terjadinya hasil akhir yang jelek, hal ini
terdiri atas; nilai Acute and Chronic Health Evaluation (APACHE II) yang tinggi, status gizi
buruk, hipoalbuminemia, penyakit kardiovaskular yang bermakna, dan tindakan bedah yang
tidak berhasil mengontrol sumber infeksi lokal. Sebagai catatan, banyak dari faktor resiko di
atas tidak berhubungan secara spesifik dengan infeksi intra-abdominal, tapi lebih kepada
status fisiologi pasien atau keadaan medis yang mendasarinya (Tabel 1).

5|

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

Pasien yang mendapatkan infeksi selama dirawat di rumah sakit memiliki prognosis
yang lebih buruk. Beberapa penelitian telah mendemonstrasikan adanya hubungan antara
resistensi terhadap mikroorganisme dengan tingginya angka kegagalan terapi. Seiring dengan
keadaan tersebut, pemilihan terapi antimikroba secara empiris yang dilakukan mempengaruhi
hasil akhir dari pengobatan. Perhatian terhadap pola resistensi patogen di tempat pasien
mendapat pelayanan medis merupakan salah satu cara yang berguna dalam memilih terapi
antimikroba.

BAKTERIOLOGI
Bakteri penyebab infeksi intra-abdomen berasal dari flora endogen yang terdapat
dalam saluran pencernaan. Perhatian terhadap mikroflora norma yang terdapat dalam saluran
pencernaan merupakan kunci dalam memahami infeksi intra-abdominal yang terjadi. Gambar
1 menunjukkan daftar bakteri yang umumnya dijumpai pada segmen-segmen saluran cerna.

6|

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

Infeksi Polimikroba Merupakan Pertanda dari Infeksi Intra-abdominal


Dijumpainya infeksi polimikroba merupakan suatu tanda khas infeksi intraabdominal. Bakteri aerob yang paling umum dijumpai adalah Escherichia coli, dan bakteri
anaerob yang paling umum dijumpai adalah Bacteroides fragilis. Jenis Bacteroides lain yang
diisolasi meliputi; Bacteroides distasonis, Bacteroides ovatus, Bacteroides thetaiotaomicron,
dan Bacteroides vulganus.
Anggapan bahwa enterococcus sebagai penyebab infeksi intra-abdomen masih
kontroversial, namun kegagalan terapi yang terjadi pada organisme ini umum terjadi pada
pasien yang beresiko tinggi. Ketika dilakukan isolasi diperoleh episode infeksi Enterococcus
faecalis sebesar 90% dan Enterococcus faecium sebesar 10%.
Pseudomonas aeruginosa dan bakteri enterik gram negatif lainnya (Contohnya
Acinetobacter sp) merupakan patogen potensial lain yang menjadi perhatian, hal ini
disebabkan meningkatnya angka resistensi terhadap banyak antimikroba pada patogen ini.
7|

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

Infeksi P aeruginosa umumnya dijumpai pada pasien-pasien berisiko tinggi seperti pasien
yang menderita infeksi nosokomial onsel lanjut, pasien yang sebelumnya mendapatkan terapi
antimikroba, pasien yang membutuhkan pembedahan ulangan. Sebagai perbandingan, pasien
yang menderita infeksi nosokomial onset segera atau infeksi yang didapat di komunitas
memiliki angka prevalensi P aeruginosa yang rendah.
Staphylococcus aureus juga merupakan patogen potensial dengan isu resistensi
antibiotik yang menyertainya.
Patogen Berdasarkan Lokasi Infeksi dan Cara Didapatnya Infeksi
Sepertinya etiologi infeksi intra-abdominal dapat diprediksi berdasarkan tipe
peritonitis, lokasi infeksi, dan cara didapatnya. Secara umum, peritonitis bakteri primer
(Spontan) umumnya monomikrobial (Contohnya; Streptococcus, E coli, Staphylococcus),
sedangkan pada peritonitis sekunder atau tersier disebabkan infeksi campuran polimikroba
antara bakteri aerob dengan anaerob (Terkadang dijumpai jamur sebagai etiologi peritonitis
tersier). Pada peritonitis sekunder yang didapat di komunitas, organisme gram negatif dan
positif fakultatif dan organisme aerob banyak dijumpai pada infeksi yang berasal dari
lambung, duodenum, sistem bilier, dan usus halus bagian proksimal.
Bakteri yang umumnya dijumpai pada kolesistitis adalah E coli, Klebsiella sp, dan
Enterococcus. Infeksi yang timbul akibat perforasi usus halus bagian distal biasanya
disebabkan bakteri gram negatif aerob, bakteri fakultatif, dan bakteri anaerob. Sedangkan
pada infeksi yang berasal dari bagian proksimal dari usus halus biasanya disebabkan infeksi
bakteri anaerob. Infeksi intraabdominal yang berasal dari kolon memiliki variasi patogen
yang luas, namun jumlah organisme fakultatif dan obligat anaerob lebih besar jika
dibandingkan dengan bakteri aerob (Contohnya; Streptococcus, Enterococcus, dan bakteri
gram negatif coliform) dengan perbandingan 10.000:1.
Pada infeksi intra-abdominal yang didapat di rumah sakit, yang biasanya berupa
peritonitis tersier, isolasi bakteri nosokomial khususnya ditemui pada lokasi bekas operasi,
dan pada beberapa rumah sakit dan unit tertentu sesuai dengan pola penyebaran patogennya.
Kebanyakan pasien dengan peritonitis tersier membutuhkan terapi berupa antimikroba
multipel, infeksi jamur, terutama Candida sp, sehingga hal ini harus diperhatikan. Organisme
yang biasa dijumpai berdasarkan peritonitis primer, sekunder dan tersier ditampilkan pada
tabel 2.
8|

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

9|

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

PENATALAKSANAAN UMUM
Resusitasi cairan, pengendalian sumber infeksi (Contohnya; tindakan bedah berupa
debridement, drainase, dan repair), dan terapi antibakteri sistemik yang sesuai merupakan hal
yang penting dalam terapi infeksi intra-abdominal yang disertai komplikasi. Tanpa
mengurangi perhatian akan agen antimikroba sebagai regimen terapi pada pasien dengan
peritonitis, pengendalian sumber infeksi merupakan hal penting yang mesti diperhatikan
sekali. Tanpa pengendalian sumber infeksi, antibiotika tidak akan berhasil mengobati pasieng
dengan peritonitis sekunder atau tersier.
Ketika ditegakkan diagnosis suatu sangkaan infeksi intra-abdominal yang
mengalami komplikasi (Contohnya, jika dijumpai tanda-tanda respon inflamasi sistemik atau
lokal), maka harus ditentukan metode yang tepat sebagai langkah untuk mengendalikan
sumber infeksi dan memulai terapi antimikroba segera. Terapi yang akan diberikan tidak
boleh tertunda karena alasan ingin menegakkan diagnosis yang pasti atau menunggu
tersedianya hasil kultur. Dimana tindakan menunda terapi antimikroba dan terapi antimikroba
empirik yang tidak tepat akan meningkatkan angka kegagalan terapi dan mortalitas.

ISU-ISU DALAM PEMILIHAN DAN PENGGUNAAN ANTIMIKROBA


Hindari Penggunaan Antimikroba yang Tidak Tepat
Pemberian antimikroba jangka panjang secara rutin tidak boleh dilakukan pada
seluruh pasien penderita infeksi intra-abdominal. Pasien yang menderita trauma pada usus
akibat penetrasi, trauma tumpul, atau iatrogenik yang dioperasi dalam 12 jam pertama
seharusnya mendapatkan terapi antimikroba (Perioperatif) jangka pendek, begitu juga dengan
pasien yang mengalami kontaminasi intraoperatif berupa kontaminasi lapangan operasi oleh
isi saluran cerna. Hal yang sama juga terjadi pada pasien-pasien dengan perforasi akut pada
lambung, duodenum, atau jejunum proksimal yang tidak mendapatkan terapi antasida atau
keganasan hanya diberikan terapi antibiotika perioperatif, hal ini juga dilakukan pada pasien
yang menderita appendisitis akut tanpa adanya bukti terdapat gangren, perforasi, abses, atau
peritonitis. Terapi antimikroba perioperatif yang tepat pada kasus-kasus di atas tidak boleh
diberikan selama lebih dari 24 jam.

10 |

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

Faktor-faktor yang Berpengaruh Dalam Menentukan Pemilihan Antimikroba


Terapi antimikroba merupakan suatu tantangan klinis yang penting, karena
beragamnya mikroba yang menyebabkan infeksi intra-abdomen dengan komplikasi dan
adanya mikroba yang resisten. Secara umum pemilihan agen antimikroba secara empiris dan
regimen kombinasi antimikroba berdasarkan keefektifan aktifitas antimikroba tersebut
terhadap E coli, bakteri gram negatif fakultatif lainnya, dan B fragilis. Selain itu disepakati
juga bahwa apakah infeksi yang didapat berasal dari komunitas atau tempat pelayanan
kesehatan (Tabel 3). Dan diperhatikan juga adanya resistensi terhadap antimikroba pada
beberapa patogen enterik gram negatif dan B fragilis.

11 |

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

Terdapat banyak faktor yang berpengaruh dalam memilih agen antimikroba, hal itu
terdiri atas; potensi suatu antimikroba dalam memicu terjadinya resistensi, resiko
hipersensitivitas, teloransi terhadap antimikroba, frekuensi dan dosis pemberian, dan harga
antimikroba tersebut. Seiring dengan hal di atas, saat ini masih dilakukan pencarian terhadap
regimen antimikroba yang efektif dalam melawan patogen yang mengalami resistensi,
memiliki efek samping yang minimal, waktu pemberian dan dosis yang tidak merepotkan,
dan harga yang lebih murah.
Pilihan Antimikroba yang Tersedia
Telah dilakukan investigasi terhadap beberapa antibiotika intravena sebagai
monoterapi atau sebagai bagian dari suatu regimen kombinasi dalam penatalaksanaan
terhadap pasien dengan infeksi intra-abdomen. Dahulunya digunakan standarisasi berupa
penggunaan terapi dobel atau tripel antimikroba (Contohnya; aminoglikosida/betalactam/clindamycin) untuk melawan berbagai macam patogen potensial penyebab infeksi.
Beberapa

tahun

terakhir

digunakan

suatu

gold

standard

monoterapi

berupa

imipenem/cilastatin (Primaxin), hal ini dilakukan karena mengingat aktifitas antimikroba


tersebut terhadap luasnya spektrum patogen potensial, dan cara pemberian yang lebih mudah.
Sebagai tambahan, selain imipenem/cilastatin, sementara ini tercatat beberapa agen lain yang
efektif

yaitu;

cefoxitin,

ampicillin/sulbaktam,

ticarcillin

clavulanate

(Timentin),

piperacillin/tazobactam (Zosyn). Akhir-akhir ini digunakan juga meropenem (Merrem),


ertapenem (Invanz), dan tigecycline (Tygacil) sebagai monoterapi yang efektif.
Penggunaan antibiotika oral (Contohnya; ciprofloxacin, amoxicillin/clavulanate)
sebagai terapi yang lebih rendah terhadap pasien saat ini masih diteliti kegunaannya pada
kebanyakan pasien.

GUIDELINE TERAPI ANTIMIKROBA


Agen antimikroba yang direkomendasikan oleh Infectious Disease Society of
America, Surgical Infection Society, American Society for Microbiology, dan Society of
Infectious Disease Pharmacist ditampilkan pada tabel 4. Secara keseluruhan pada tabel ini
tidak diperoleh bukti bahwa suatu regimen lebih superior dibandingkan regimen lainnya.

12 |

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

Pasien dengan resiko rendah. Konsensus umum terhadap pasien yang beresiko rendah
dengan infeksi intra-abdominal yang didapat di komunitas (Kasus terbanyak peritonitis
sekunder) adalah; menggunakan agen berspektrum sempit seperti cephalosporin antianaerob
atau ampicillin/sulbactam sebagai agen berspektrum luas namun memiliki resiko tinggi untuk
terjadi toksisitas. Selain itu, walaupun tidak secara rutin berikan pada kelompok pasien ini,
turunan penicillin memiliki keuntungan berupa aktifitas spesifiknya terhadap enterococcus.
Pasien dengan resiko tinggi. Pasien yang memiliki resiko tinggi untuk mengalami
kegagalan terapi (Contohnya; penderita peritonitis sekunder yang didapat di sentra pelayanan
kesehatan atau rumah sakit, dan semua penderita peritonitis tersier) harus diterapi
menggunakan regimen antimikroba spektrum luas yang memiliki efektifitas terhadap bakteri
aerob gram negatif/organisme anaerob fakultatif. Selain itu secara empirik memiliki aktifitas
terhadap enterococcus dan Candid sp harus diberikan berdasarkan keadaan masing-masing
pasien.

Semua

monoterapi

(Contohnya;

imipenem/cilastatin,

meropenem,

piperacillin/tazobactam) dan terapi kombinasi (Contohnya; aminoglycoside, aztreonam,


ciprofloxacin, atau suatu cephalosporine generasi ketiga atau keempat sebagai antianaerob)
merupakan pilihan yang tepat.
Ketetapan khusus. Dibutuhkan suatu ketetapan khusus untuk pasien dengan peritonitis
tersier yang mengalami terinfeksi organisme yang sukar diobati, seperti coagulase-negative
staphylococcus, enterococcus (Termasuk galur yang resisten vancomycin), basil gram negatif
yang resisten terhadap multi-antimikroba,atau jamur. Terapi empiris pada kasus ini harus
memperhatikan riwayat penggunaan antimikroba pasien tersebut, dan memperhatikan pola
organisme dan resistensi pada rumah sakit atau daerah tempat pasien berada.

13 |

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

PILIHAN ANTIBIOTIKA TERBARU


Tigecycline
Berdasarkan publikasi dari guideline terapi infeksi intra-abdominal terbaru.
Tigecycline telah disetujui untuk digunakan pada pasien dengan infeksi intra-abdominal yang
mengalami komplikasi oleh US Food and Drug Administration (FDA). Tigecycline
merupakan suatu antibiotika glycylcycline dengan aktifitas spektrum yang lebih diperluas,
antibiotika ini secara in vitro aktif melawan bakteri yang umumnya berhubungan dengan
infeksi intra-abdominal. Secara keseluruhan antibiotika ini memiliki aktifitas terhadap bakteri
aerob, bakteri fakultatif gram positif-negatif, bakteri gram negatif, dan bakteri anaerob.
Tigecycline memiliki aktifitas yang lebih baik terhadap banyak bakteri gram negatif jika
dibandingkan dengan golongan tetracycline sebelumnya, antibiotika ini kurang efektif
terhadap P aeruginosa. Obat ini juga memiliki mekanisme kerja yang berbeda sehingga tidak
terpengaruh oleh mekanisme resistensi yang biasanya terjadi pada golongan beta-lactam,
tetracycline, dan antibiotika aminoglycoside lainnya.
Perbandingan lansung dengan imipenem/cilastatin. Efektifitas tigecycline telah
dibandingkan dengan imipenem/cilastatin pada 1.642 pasien penderita infeksi intraabdominal dengan komplikasi yang dimasukkan ke dalam dua kelompok secara acak, dan
dilakukan 3 fase penelitian secara acak, hasil penelitian dianalisis dan dilaporkan pada tahun
2005. Seluruh pasien telah diketahui atau diduga menderita infeksi intra-abdominal, dan telah
dilakukan tindakan pengendalian sumber infeksi yang tepat. Diagnosis infeksi yang paling
banyak dijumpai adalah appendisitis dengan komplikasi (51%), dan kolesistitis dengan
komplikasi (14%).
Berdasarkan evaluasi mikrobiologi yang dilakukan terhadap pasien, angka
kesembuhan secara klinis sebesar 86,1% (441/512) pada pasien yang mendapat tigecycline
dan 86,2% (442/513) pada pasien yang mendapat imipenem/cilastatin (95% CI for the
difference, -4,5% to 4,4%; p < .0001 for noninferiority). Efektifitas tigecycline tidak lebih
rendah jika dibandingkan dengan imipenem/cilastatin pada berbagai diagnosis infeksi intraabdominal (Gambar 2). Pada semua kelompok terapi ini memiliki angka kesembuhan klinis
yang bervariasi, angka kesembuhan lebih rendah pada pasien yang menderita abses
abdominal dan lebih tinggi pada pasien dengan appendisitis yang mengalami komplikasi.
Sesuai dengan perkiraan sebelumnya, pada kedua kelompok pasien, dijumpai angka

14 |

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

kesuksesan terapi yang lebih rendah pada pasien yang menderita infeksi polimikroba jika
dibandingkan dengan pasien yang mengalami infeksi monomikroba.

Baik tigecycline maupun imipenem/cilastatin dapat diteloransi dengan baik pada kedua
kelompok penelitian ini, diperoleh frekuensi dan distribusi yang sama untuk efek samping
pada kedua obat ini. Pada kedua kelompok pasien yang diterapi dijumpai frekuensi gangguan
gastrointestinal. Efek samping yang paling umum dijumpai adalah; mual (24,4 insiden
dengan tigecycline dibandingkan 19,0% dengan imipenem/cilastatin; p = .010), muntah
(19,2% dan 14,3%, respectively, p = .008), diare (13,8% dan 13,2%, respectively, p = .719).
Meskipun secara statistik terdapat insiden mual dan muntah yang relatif lebih tinggi pada
pengguna tigecycline, namun tidak dijumpai perbedaan pada jumlah pasien yang berhenti
menggunakan terapi akibat efek samping ini diantara kedua kelompok penelitian.
Analisa pada dua kelompok besar pasien ini menunjukkan bahwa tigecycline memiliki
efektifitas dan teloransi yang sama jika dibandingkan dengan imipenem/cilastatin pada
penderita infeksi intra-abdominal dengan komplikasi. Tidak ada dilakukan analisa ekonomi
terhadap kedua obat ini, namun pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik, biaya yang
dibutuhkan untuk monoterapi menggunakan tigecycline, berdasarkan harga rata-rata
penjualan di pasaran, memiliki biaya yang sama dengan imipenem/cilastatin untuk durasi
terapi yang digunakan pada penelitian ini (5 sampai 14 hari). Biaya penggunaan obat yang
aktual dan variabel pasien ini, bagaimanapun juga akan berdampak terhadap evaluasi
ekonomi yang ada.

15 |

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

Peraturan dalam pemberian terapi. Dimana tigecycline digunakan pada praktek klinis,
terdapat banyak pilihan baik yang tersedia untuk mengobati pasien infeksi intra-abdominal
dengan komplikasi. Beberapa kondisi yang menjadi alasan sehingga memungkinkan
tigecycline sebagai pilihan terapi adalah:

Berdasarkan akal sehat bahwa pasien yang mendapatkan terapi tigecycline dengan
infeksi intra-abdominal yang berkomplikasi disebabkan oleh organisme yang telah

mengalami resistensi telah diketahui.


Terapi empiris menggunakan tigecycline

dapat

dipilih

jika

bakteri

yang

mengakibatkan infeksi intra-abdominal menunjukkan tanda-tanda resistensi, sehingga


tigecycline merupakan pilihan yang masuk akal pada populasi pasien spesifik
berdasarkan pengelompokan sesuai faktor resiko. Sehingga jelas bahwa hal ini

menjadi keputusan lokal yang berdasarkan pada data objektif.


Terapi empiris menggunakan tigecycline pada pasien yang menderita peritonitis
tersier merupakan hal yang tepat selama tidak ada infeksi P aeruginosa. Pada kondisi
ini, dibutuhkan terapi empiris berupa antimikroba yang digabungkan dengan terapi
antifungi sampai diperoleh hasil kultur.
Dijumpai keragu-raguan bahwa tigecycline akan digunakan sebagai terapi lini

pertama dalam mengobati pasien dengan infeksi intra-abdominal yang disertai komplikasi
meskipun banyak keuntungan secara ekonomis dibandingkan regimen lain yang dapat
ditunjukkan oleh penelitian di masa yang akan datang.

Doripenem dan Antimikroba Lain yang Masih Dalam Penelitian


Sangat sulit untuk memperoleh suatu antibiotika jenis baru untuk terapi infeksi intraabdominal saat ini, namun beberapa agen antibiotika yang diteliti memberikan harapan akan
hal tersebut.
Doripenem merupakan antimikroba golongan carbapenem yang sedang diteliti, obat
ini memiliki cakupa spektrum yang luas dan menjanjikan aktifitas dalam melawan extended
spectrum beta-lactamase (ESBL). Telah dilakukan 3 fase penelitian yang membandingkan
doripenem dengan pasien penderita infeksi intra-abdominal dengan komplikasi yang secara
aktif telah dikontrol namun belum dilaporkan. Doripenem sedang didaftarkan ke FDA sejak

16 |

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

tahun 2006 dengan salah satu indikasinya meliputi infeksi intra-abdominal dengan
komplikasi.
Penelitian terhadap antibiotika lain sebagai terapi untuk infeksi intra-abdominal
meliputi iclaprim, ceftobiprole, ceftaroline, dan garenoxacin. Seiring meningkatnya resistensi
bakteri, kita semua berharap penelitian antibiotika jenis baru ini terus berlansung.

DURASI TERAPI ANTIMIKROBA


Isu terakhir yang perlu dalam pemberian antibiotika untuk kondisi apapun adalah
lamanya terapi yang diberikan. Pemberian terapi yang berlebihan dan terlalu lama merupakan
suatu hal yang diyakini sebagai penyebab munculnya resistensi bakteri. Masalah yang umum
dijumpai di lapangan adalah dalam menentukan lamanya regimen terapi yang diberikan
terhadap pasien yang menderita infeksi intra-abominal. Suatu regimen antimikroba yang
diberikan untuk infeksi intra-abdominal harus diteruskan selama tanda dan gejala klinis
belum hilang, termasuk normalnya suhu tubuh, menurunnya hasil hitung leukosit, dan
normalnya fungsi gastrointestinal. Ketika dilakukan pengendalian sumber infeksi yang
adekuat, pemberian antimikroba dapat dibatasi selama 5 sampai 7 hari.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN


Pengendalian sumber infeksi masih menjadi hal yang penting dalam mencapai
keberhasilan dalam suatu penatalaksanaan infeksi intra-abominal dengan komplikasi. Selain
itu secara keseluruhan pemilihan terapi antibiotika secara empiris juga merupakan hal yang
tidak bisa dikesampingkan. Pemilihan agen antimikroba secara empiris untuk infeksi intraabdominal dengan komplikasi dilakukan berdasarkan derajat keparahan dari penyakit dan
bagaimana proses didapatnya infeksi tersebut. Dibutuhkan pengetahuan yang memadai
tentang pola resistensi bakteri di sentra pelayanan kesehatan atau rumah sakit dalam memilih
regimen terapi yang optimal. Pasien penderita infeksi intra-abdominal yang didapat di
komunitas dengan derajat ringan hingga sedang sebaiknya tidak rutin memdapat regimen
antibiotika berspektrum luas. Penggunaan regimen terapi yang berlebihan terhadap populasi
berpotensi meningkatkan jumlah bakteri yang reisten.

17 |

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

Beberapa antibiotika telah menunjukkan efektifitas dalam mengobati suatu infeksi


intra-abdominal dengan komplikasi, dan adanya guideline terapi yang memberikan
rekomendasi secara spesifik. Namun bagaimanapun juga, meningkatnya angka resistensi
bakteri yang terjadi di komunitas dan rumah sakit merupakan hal yang mesti digaris bawahi
sebagai kebutuhan akan pilihan terapi yang baru. Agen jenis baru seperti tigecycline dan
mungkin doripenem, jika tersedia, berpotensi sebagai terapi empiris terhadap infeksi intraabdominal yang disertai komplikasi, dimana diperlukan agen antibiotika yang efektif
terhadap gram positif (Termasuk methicillin resistant S aureus dan enterococcus), bakteri
gram negatif, dan juga bakteri aerob maupun anaerob.

18 |

C L E V E L A N D

C L I N I C

J O U R N A L

O F

M E D I C I N E ,

V O L

7 4 ,

S U P

4 ,

A G T

2 0 0 7

Anda mungkin juga menyukai