John A. Weigelt, MD. Department of Surgery, Division of Trauma/Critical Care, Medical Collage of
Wisconsin, Milwaukee, WI.
ABSTRAK
Infeksi intra-abdominal yang mengalami komplikasi merupakan suatu tantangan
bagi ahli bedah dan ahli penyakit dalam, hal ini disebabkan tingginya angka morbiditas dan
mortalitas untuk kasus tersebut. Untuk memperoleh hasil terapeutik yang optimal dibutuhkan
kombinasi antara tindakan bedah dan terapi antimikroba spektrum luas sebagai adjuvant yang
tepat dan segera. Tulisan ini meninjau tentang pemilihan terapi antimikroba secara empirik,
pilihan terapi yang sesuai, dan terapi antimikroba terbaru untuk kasus infeksi intra-abdominal
dengan komplikasi.
POIN KUNCI
penting.
Resistensi yang terjadi pada banyaknya patogen enterik gram negatif dan Bacteroides
fragilis menjadi alasan untuk menemukan suatu antimikroba jenis baru yang efektif.
1|
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
arena angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi maka infeksi intraabdominal merupakan suatu tantangan besar yang dihadapi oleh para ahli
bedah dan penyakit dalam. Meskipun diperkirakan 80% dari infeksi intraabdominal didapat di luar tempat pelayanan kesehatan (Rumah sakit),
ancaman dari infeksi intra-abdominal yang didapat di tempat pelayan kesehatan masih
menjadi perhatian bagi kita semua, karena meningkatnya jumlah pasien rawat inap yang
terinfeksi bakteri resisten.
Pengendalian sumber infeksi (Tindakan bedah untuk mengeradikasi sumber infeksi,
menghambat kontaminasi mikroba yang sedang berlansung, dan mengembalikan fungsi
anatomis) merupakan dasar dari manajemen pasien infeksi intra-abdominal dengan
komplikasi. Terapi antimikroba empiris, meskipun hanya sebagai adjuvan, juga hal yang
penting dalam manajemen rencana secara keseluruhan, dan usaha dalam menemukan regimen
antimikroba yang optimal masih dilakukan sampai saat ini. Setelah mengawali bahasan
tentang infeksi intra-abdominal, tulisan ini akan fokus dalam kriteria pemilihan terapi
antimikroba secara empirik untuk infeksi yang mengalami komplikasi, dan tentunya pilihan
terapeutik yang tersedia sebagai pilihan untuk menangani kasus ini.
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
infeksi intra-abdominal dapat berupa appendisitis yang terlokalisasi hingga inflamasi difus
pada rongga abdomen, yang memiliki karakteristik sebagai peritonitis secara umum. Infeksi
intra-abdominal juga dapat digambarkan sebagai peritonitis primer, sekunder dan tersier
(Lihat bagian ringkasan tentang peritonitis).
Dimana pada infeksi primer tidak dijumpai keterlibatan dengan organ berongga,
sedangkan infeksi sekunder disebabkan karena perforasi organ berongga. Infeksi tersier
berhubungan dengan pasien-pasien yang mengalami imunocompromised dan sering disertai
dengan kegagalan terapi. Infeksi tersier didefinisikan sebagai suatu infeksi intra-abdominal
yang persisten dan berulang meskipun telah dilakukan tindakan pengendalian sumber infeksi
dan terapi antimikroba yang sesuai. Hal ini juga diyakini berhubungan dengan infeksi yang
disebabkan oleh mikroba dengan virulensi rendah seperti Enterococcus dan Staphylococcus
epidermidis.
Perbandingan Antara Infeksi Yang Disertai Komplikasi dengan Infeksi Tanpa
Komplikasi
Infeksi intra-abdomen dapat dikelompokkan sebagai infeksi yang disertai
komplikasi dan tanpa komplikasi, walaupun hal ini tidak selalu jelas. Suatu infeksi intra3|
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
utama
dari
tindakan
penatalaksanaan
ini
adalah
menghindari
terjadinya
4|
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
5|
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
Pasien yang mendapatkan infeksi selama dirawat di rumah sakit memiliki prognosis
yang lebih buruk. Beberapa penelitian telah mendemonstrasikan adanya hubungan antara
resistensi terhadap mikroorganisme dengan tingginya angka kegagalan terapi. Seiring dengan
keadaan tersebut, pemilihan terapi antimikroba secara empiris yang dilakukan mempengaruhi
hasil akhir dari pengobatan. Perhatian terhadap pola resistensi patogen di tempat pasien
mendapat pelayanan medis merupakan salah satu cara yang berguna dalam memilih terapi
antimikroba.
BAKTERIOLOGI
Bakteri penyebab infeksi intra-abdomen berasal dari flora endogen yang terdapat
dalam saluran pencernaan. Perhatian terhadap mikroflora norma yang terdapat dalam saluran
pencernaan merupakan kunci dalam memahami infeksi intra-abdominal yang terjadi. Gambar
1 menunjukkan daftar bakteri yang umumnya dijumpai pada segmen-segmen saluran cerna.
6|
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
Infeksi P aeruginosa umumnya dijumpai pada pasien-pasien berisiko tinggi seperti pasien
yang menderita infeksi nosokomial onsel lanjut, pasien yang sebelumnya mendapatkan terapi
antimikroba, pasien yang membutuhkan pembedahan ulangan. Sebagai perbandingan, pasien
yang menderita infeksi nosokomial onset segera atau infeksi yang didapat di komunitas
memiliki angka prevalensi P aeruginosa yang rendah.
Staphylococcus aureus juga merupakan patogen potensial dengan isu resistensi
antibiotik yang menyertainya.
Patogen Berdasarkan Lokasi Infeksi dan Cara Didapatnya Infeksi
Sepertinya etiologi infeksi intra-abdominal dapat diprediksi berdasarkan tipe
peritonitis, lokasi infeksi, dan cara didapatnya. Secara umum, peritonitis bakteri primer
(Spontan) umumnya monomikrobial (Contohnya; Streptococcus, E coli, Staphylococcus),
sedangkan pada peritonitis sekunder atau tersier disebabkan infeksi campuran polimikroba
antara bakteri aerob dengan anaerob (Terkadang dijumpai jamur sebagai etiologi peritonitis
tersier). Pada peritonitis sekunder yang didapat di komunitas, organisme gram negatif dan
positif fakultatif dan organisme aerob banyak dijumpai pada infeksi yang berasal dari
lambung, duodenum, sistem bilier, dan usus halus bagian proksimal.
Bakteri yang umumnya dijumpai pada kolesistitis adalah E coli, Klebsiella sp, dan
Enterococcus. Infeksi yang timbul akibat perforasi usus halus bagian distal biasanya
disebabkan bakteri gram negatif aerob, bakteri fakultatif, dan bakteri anaerob. Sedangkan
pada infeksi yang berasal dari bagian proksimal dari usus halus biasanya disebabkan infeksi
bakteri anaerob. Infeksi intraabdominal yang berasal dari kolon memiliki variasi patogen
yang luas, namun jumlah organisme fakultatif dan obligat anaerob lebih besar jika
dibandingkan dengan bakteri aerob (Contohnya; Streptococcus, Enterococcus, dan bakteri
gram negatif coliform) dengan perbandingan 10.000:1.
Pada infeksi intra-abdominal yang didapat di rumah sakit, yang biasanya berupa
peritonitis tersier, isolasi bakteri nosokomial khususnya ditemui pada lokasi bekas operasi,
dan pada beberapa rumah sakit dan unit tertentu sesuai dengan pola penyebaran patogennya.
Kebanyakan pasien dengan peritonitis tersier membutuhkan terapi berupa antimikroba
multipel, infeksi jamur, terutama Candida sp, sehingga hal ini harus diperhatikan. Organisme
yang biasa dijumpai berdasarkan peritonitis primer, sekunder dan tersier ditampilkan pada
tabel 2.
8|
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
9|
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
PENATALAKSANAAN UMUM
Resusitasi cairan, pengendalian sumber infeksi (Contohnya; tindakan bedah berupa
debridement, drainase, dan repair), dan terapi antibakteri sistemik yang sesuai merupakan hal
yang penting dalam terapi infeksi intra-abdominal yang disertai komplikasi. Tanpa
mengurangi perhatian akan agen antimikroba sebagai regimen terapi pada pasien dengan
peritonitis, pengendalian sumber infeksi merupakan hal penting yang mesti diperhatikan
sekali. Tanpa pengendalian sumber infeksi, antibiotika tidak akan berhasil mengobati pasieng
dengan peritonitis sekunder atau tersier.
Ketika ditegakkan diagnosis suatu sangkaan infeksi intra-abdominal yang
mengalami komplikasi (Contohnya, jika dijumpai tanda-tanda respon inflamasi sistemik atau
lokal), maka harus ditentukan metode yang tepat sebagai langkah untuk mengendalikan
sumber infeksi dan memulai terapi antimikroba segera. Terapi yang akan diberikan tidak
boleh tertunda karena alasan ingin menegakkan diagnosis yang pasti atau menunggu
tersedianya hasil kultur. Dimana tindakan menunda terapi antimikroba dan terapi antimikroba
empirik yang tidak tepat akan meningkatkan angka kegagalan terapi dan mortalitas.
10 |
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
11 |
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
Terdapat banyak faktor yang berpengaruh dalam memilih agen antimikroba, hal itu
terdiri atas; potensi suatu antimikroba dalam memicu terjadinya resistensi, resiko
hipersensitivitas, teloransi terhadap antimikroba, frekuensi dan dosis pemberian, dan harga
antimikroba tersebut. Seiring dengan hal di atas, saat ini masih dilakukan pencarian terhadap
regimen antimikroba yang efektif dalam melawan patogen yang mengalami resistensi,
memiliki efek samping yang minimal, waktu pemberian dan dosis yang tidak merepotkan,
dan harga yang lebih murah.
Pilihan Antimikroba yang Tersedia
Telah dilakukan investigasi terhadap beberapa antibiotika intravena sebagai
monoterapi atau sebagai bagian dari suatu regimen kombinasi dalam penatalaksanaan
terhadap pasien dengan infeksi intra-abdomen. Dahulunya digunakan standarisasi berupa
penggunaan terapi dobel atau tripel antimikroba (Contohnya; aminoglikosida/betalactam/clindamycin) untuk melawan berbagai macam patogen potensial penyebab infeksi.
Beberapa
tahun
terakhir
digunakan
suatu
gold
standard
monoterapi
berupa
yaitu;
cefoxitin,
ampicillin/sulbaktam,
ticarcillin
clavulanate
(Timentin),
12 |
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
Pasien dengan resiko rendah. Konsensus umum terhadap pasien yang beresiko rendah
dengan infeksi intra-abdominal yang didapat di komunitas (Kasus terbanyak peritonitis
sekunder) adalah; menggunakan agen berspektrum sempit seperti cephalosporin antianaerob
atau ampicillin/sulbactam sebagai agen berspektrum luas namun memiliki resiko tinggi untuk
terjadi toksisitas. Selain itu, walaupun tidak secara rutin berikan pada kelompok pasien ini,
turunan penicillin memiliki keuntungan berupa aktifitas spesifiknya terhadap enterococcus.
Pasien dengan resiko tinggi. Pasien yang memiliki resiko tinggi untuk mengalami
kegagalan terapi (Contohnya; penderita peritonitis sekunder yang didapat di sentra pelayanan
kesehatan atau rumah sakit, dan semua penderita peritonitis tersier) harus diterapi
menggunakan regimen antimikroba spektrum luas yang memiliki efektifitas terhadap bakteri
aerob gram negatif/organisme anaerob fakultatif. Selain itu secara empirik memiliki aktifitas
terhadap enterococcus dan Candid sp harus diberikan berdasarkan keadaan masing-masing
pasien.
Semua
monoterapi
(Contohnya;
imipenem/cilastatin,
meropenem,
13 |
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
14 |
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
kesuksesan terapi yang lebih rendah pada pasien yang menderita infeksi polimikroba jika
dibandingkan dengan pasien yang mengalami infeksi monomikroba.
Baik tigecycline maupun imipenem/cilastatin dapat diteloransi dengan baik pada kedua
kelompok penelitian ini, diperoleh frekuensi dan distribusi yang sama untuk efek samping
pada kedua obat ini. Pada kedua kelompok pasien yang diterapi dijumpai frekuensi gangguan
gastrointestinal. Efek samping yang paling umum dijumpai adalah; mual (24,4 insiden
dengan tigecycline dibandingkan 19,0% dengan imipenem/cilastatin; p = .010), muntah
(19,2% dan 14,3%, respectively, p = .008), diare (13,8% dan 13,2%, respectively, p = .719).
Meskipun secara statistik terdapat insiden mual dan muntah yang relatif lebih tinggi pada
pengguna tigecycline, namun tidak dijumpai perbedaan pada jumlah pasien yang berhenti
menggunakan terapi akibat efek samping ini diantara kedua kelompok penelitian.
Analisa pada dua kelompok besar pasien ini menunjukkan bahwa tigecycline memiliki
efektifitas dan teloransi yang sama jika dibandingkan dengan imipenem/cilastatin pada
penderita infeksi intra-abdominal dengan komplikasi. Tidak ada dilakukan analisa ekonomi
terhadap kedua obat ini, namun pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik, biaya yang
dibutuhkan untuk monoterapi menggunakan tigecycline, berdasarkan harga rata-rata
penjualan di pasaran, memiliki biaya yang sama dengan imipenem/cilastatin untuk durasi
terapi yang digunakan pada penelitian ini (5 sampai 14 hari). Biaya penggunaan obat yang
aktual dan variabel pasien ini, bagaimanapun juga akan berdampak terhadap evaluasi
ekonomi yang ada.
15 |
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
Peraturan dalam pemberian terapi. Dimana tigecycline digunakan pada praktek klinis,
terdapat banyak pilihan baik yang tersedia untuk mengobati pasien infeksi intra-abdominal
dengan komplikasi. Beberapa kondisi yang menjadi alasan sehingga memungkinkan
tigecycline sebagai pilihan terapi adalah:
Berdasarkan akal sehat bahwa pasien yang mendapatkan terapi tigecycline dengan
infeksi intra-abdominal yang berkomplikasi disebabkan oleh organisme yang telah
dapat
dipilih
jika
bakteri
yang
pertama dalam mengobati pasien dengan infeksi intra-abdominal yang disertai komplikasi
meskipun banyak keuntungan secara ekonomis dibandingkan regimen lain yang dapat
ditunjukkan oleh penelitian di masa yang akan datang.
16 |
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
tahun 2006 dengan salah satu indikasinya meliputi infeksi intra-abdominal dengan
komplikasi.
Penelitian terhadap antibiotika lain sebagai terapi untuk infeksi intra-abdominal
meliputi iclaprim, ceftobiprole, ceftaroline, dan garenoxacin. Seiring meningkatnya resistensi
bakteri, kita semua berharap penelitian antibiotika jenis baru ini terus berlansung.
17 |
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7
18 |
C L E V E L A N D
C L I N I C
J O U R N A L
O F
M E D I C I N E ,
V O L
7 4 ,
S U P
4 ,
A G T
2 0 0 7