PENATALAKSANAAN Shock Hipovolemik
PENATALAKSANAAN Shock Hipovolemik
Bidang Kegawatdaruratan
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok hipovolemik antara lain:
(1) memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang adekuat,
peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah, (2) mengontrol
kehilangan darah lebih lanjut, dan (3) resusitasi cairan.
Memaksimalkan penghantaran oksigen
o Jalan napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman
dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi keadaan
patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang mengganggu
pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam jumlah besar dan bantuan
ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi tekanan positif yang berlebihan
dapat berbahaya pada pasien yang mengalami syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
o Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille mengatakan
bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan berhubungan langsung
dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang ideal adalah pendek dan
diameternya lebar; diameter lebih penting daripada panjangnya. Jalur intravena dapat
ditempatkan pada vena antecubiti, vena sphena, atau vena tangan, atau pada vena
sentralis dengan menggunakan teknik Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena
sentralis maka digunakan kateter infus berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun
dapat digunakan jalur intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya
adalah skill dan pengalaman.
o Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan hebat.
Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah secara berkala dan juga
analisa gas darah.
o Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi adalah kristaloid
isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal 1-2 liter pada orang
dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien dinilai.
o Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan darah pasien
perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik sementara, infus kristaloid
dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika perbaikan yang terjadi tidak
bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah
tipe O rhesus (-) harus diberikan kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah
sensitasi dan komplikasi lanjut).
o Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan kristaloid dan
darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur, terapi yang diberikan
harus berdasarkan kondisi pasien.
o Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu contohnya
menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain dari posisi yang
bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil dengan trauma kearah
kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena cava inferior dan
meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan untuk pasien dengan
hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi Trendelenburg juga tidak
memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat mengganggu pertukaran udara.
o Autortransfusi mungkin dilakukan pada beberapa pasien trauma. Beberapa alat
diizinkan untuk koleksi steril, antikoagulasi, filtrasi, dan retransfusi darah disediakan.
Pada penanganan trauma. Darah yang berasal dari hemothoraks dialirkan melalui selang
thorakostomi.
Kontol perdarahan lanjut
o Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan intervensi
bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi dengan menekan
sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam membutuhkan intervensi bedah.
Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi untuk mengurangi kehilangan darah.
o Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal tibanya,
dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada aorta
diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya bersifat paliatif
dan butuh segera dibawa di ruang operasi.
o Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan H2 bloker
telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi negatif, seperti
hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus. Oleh karena itu, harus
dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2 Bloker relatif aman, tetapi tidak
terlalu menguntungkan
o Infus somatostatin dan ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan
gastrointestinal yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu
kerja vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
o Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-Blakemore tube dapat
dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon esofagus. Balon gaster
pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus bila perdarahan berlanjut.
Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang buruk, seperti ruptur esofagus,
asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena alasan tersebut, penggunaan ini
dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara pada keadaan yang ekstrim.
o Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi (contohnya kehamilan
ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista, keguguran) memerlukan intervensi
bedah.
o Konsultasi segera dan penanganan yang tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan
kegawatdaruratan adalah untuk menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan
penyebab perdarahan, dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika
perlu untuk membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
o Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah terjadi
cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera tentang
kedatangan pasien. Pada pasien yang berusaia 55 tahun dengan nyeri abdomen, sebagai
contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk mengidentifikasi adanya
aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya diberitahu. Setiap pasien harus
dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan yang tepat dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas.
Apakah kristaloid dan koloid merupakan resusitasi terbaik yang dianjurkan masih
menjadi masalah dalam diskusi dan penelitian. Banyak cairan telah diteliti untuk
digunakan pada resusitasi, yaitu: larutan natrium klorida isotonis, larutan ringer laktat,
saline hipertonis, albumin, fraksi protein murni, fresh frozen plasma, hetastarch,
pentastarch, dan dextran 70.
o Pendukung resusitasi koloid membantah bahwa peningkatan tekanan onkotik dengan
menggunakan substansi ini akan menurunkan edema pulmonal. Namun, pembuluh darah
pulmonal memungkinkan aliran zat seperti protein antara ruang intertisiel dan ruang
intravaskuler. Mempertahankan tekanan hidrostatik pulmoner (< 15 mmHg tampaknya
menjadi faktor yang lebih penting dalam mencegah edama paru)
o Pendapat lain adalah koloid dalam jumlah sedikit dibutuhkan untuk meningkatkan
volume intravaskuler. Penelitian telah menunjukkan akan kebenaran hal ini. Namun,
mereka belum menunjukkan perbedaan hasil antara koloid dibandingkan dengan
kristaloid.