ROMIE JHONNERIE
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Romie Jhonnerie
NIM C562100041
RINGKASAN
ROMIE JHONNERIE. Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan Piksel
Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis, Provinsi
Riau. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR, LILIK BUDI PRASETYO,
SAM WOUTHUYZEN dan BISMAN NABABAN.
Mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang memiliki fungsi
seperti (1) proteksi pantai dari gangguan badai, tsunami, angin, dan gelombang; (2)
tempat pemijahan ikan dan organisme lainnya, (3) tempat rekreasi, (4) sumber
nutrisi bagi organisme, dan (5) sumber bahan kayu. Status ekosistem mangrove di
Sungai Kembung, Pulau Bengkalis Provinsi Riau saat ini berada pada kondisi
cenderung mendapatkan tekanan dari manusia. Upaya perlindungan dan
pengelolaan ekosistem mangrove perlu menjadi perhatian serius dari berbagai pihak
dan memerlukan teknik perolehan data dan informasi mangrove secara spasial
secara tepat dan akurat.
Pengambilan data lapangan dilakukan bulan Juni dan Desember 2012. Citra
satelit yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Landsat 5 TM, Landsat 7
ETM+, Landsat 8 OLI, SPOT 6 multispektral, SPOT 6 pankromatik, ALOS
PALSAR, dan SENTINEL-1. Pra-pengolahan data satelit terdiri dari koreksi
atmosferik, kalibrasi radiometrik, koreksi geometrik, dan transformasi spektral.
Data lapangan berupa pengamatan vegetasi mangrove dan penutup lahan.
Pengembangan skema klasifikasi menggunakan analisis gerombol dan similarity
percentage (SIMPER) selanjutnya untuk mengetahui karakteristik reflektansi
spektral data digunakan analisis spektral. Pengelompokkan data citra satelit
menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dengan menerapkan algoritma
random forest (RF). Hasil klasifikasi berbasis objek dibandingkan dengan teknik
klasifikasi berbasis piksel menggunakan algoritma maximum likelihood.
Keberhasilan klasifikasi berbasis objek diterapkan dalam pendeteksian perubahan
mangrove di lokasi studi.
Komunitas mangrove di Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies
tumbuhan mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies
mangrove ikutan. Xylocarpus granamun, Rhizophora apiculata, Lumnitzera.
Racemosa, dan Scyphiphora hidrophyllaceae merupakan komunitas dominan dan
selalu dijumpai di lokasi studi dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya (semua
strata). Berdasarkan kriteria baku dan pedoman penentuan kerusakan mangrove
yang diputuskan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201
tahun 2004, mangrove Sungai Kembung dikategorikan sebagai kawasan mangrove
yang baik dan sangat padat.
Skema klasifikasi komunitas mangrove dibangun berdasarkan data struktur
komunitas mangrove. Satu tingkatan skema komunitas mangrove berhasil
dibangun. Skema tersebut terdiri terdiri dari 12 kelas komunitas mangrove namun
keterbatasan sampel pada sebagian besar kelas komunitas maka ditetapkan dua
komunitas utama (1) Rhizophora apiculata (Ra) terdiri dari 33 sampel dan
komunitas (2) Xylocarpus granatum (Xg) terdiri dari 93 sampel. Kelas komunitas
lainnya yang memiliki jumlah sampel yang terbatas (gabungan 10 kelas) menjadi
kelas Lainnya (La) dan terdiri dari 28 sampel.
iii
SUMMARY
ROMIE JHONNERIE. Object and Pixel-based Mangrove Classification Using
Multispectral Satellite Imageries at Kembung River, Bengkalis, Riau Province.
Supervised by VINCENTIUS P SIREGAR, LILIK BUDI PRASETYO, SAM
WOUTHUYZEN and BISMAN NABABAN.
Mangrove that generally found in coastal regions plays important roles such
as (1) coastal protection from hurricane, tsunami, wind and wave, (2) spawning
ground for many fishes and other faunas, (3) a place for recreational, (4) source of
nutrients for organisms, and (5) source of wood. Recently, mangrove ecosystems in
Kembung River, Bengkalis Island Riau Province tend to get pressure from
antrophogenic. Protection and management of mangrove ecosystems needs to be a
serious concern of various parties. Such efforts require data acquisition techniques
and information mangrove spatially and accurately.
Field data were collected in June and December 2012. Satellite imageries
were used in this study consisted of Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM +, Landsat 8
OLI, SPOT 6 multispectral, SPOT 6 panchromatic, ALOS PALSAR and
SENTINEL-1. Pre-processing in the satellite imageries were applied including
atmospheric correction, radiometric calibration, geometric correction, and spectral
transformation. Field data observations and measurements were conducted on
mangrove vegetation and land cover. Scheme development of mangrove
community classification was conducted by using clusters and similarity percentage
(SIMPER) analyses. Furthermore, the scheme was used to charactirized satellite
images spectral reflectance by using spectral analysis. Satellite data were classified
by using object-based approach which applied random forest algorithm. Objectbased classification results was then compared to pixel-based classification
technique which used maximum likelihood algorithm. The succesfull object-based
classification then applied on magrove change detection in the study area.
Kembung River mangrove community was assembled by 69 mangroves
species which consists of 22 true mangrove species and 47 species of associate
mangrove. Xylocarpus granamun, Rhizophora. apiculata, Lumnitzera. racemosa
and Scyphiphora hidrophyllaceae were dominant species and always found in the
study area compared with other species, for all strata. Based on standard criterias
and guidelines for the determination of mangrove destruction which issued by the
Minister of the Environment No. 201 of 2004, Mangrove at Kembung River was
categorized as good and very dense mangrove ecosystem.
Based on the composition of mangrove species, one level classification
scheme was succesfully developed. The scheme consisted of 12 mangrove
community classes, however most of the mangrove species belong to the two main
classes of Rhizophora apiculata (Ra) composed of 33 samples and Xylocarpus
granatum (Xg) composed of 93 samples Other 10 classes had limited sample
number, therefore the 10 other classes were groupped into one class (La) that
composed of 28 samples.
Both classification techniques were able to identify all land cover classes and
mangrove communities. Some misclassifications were still found to produce salt
and pepper effects on both classifications, however, the random forest algorithm
could reduced such errors than the maximum likelihood algorithm. The best result
of land cover classification using object-based and pixel-based classifications was
obtained through input image layer M6. The object-based classification approach
was better than pixel-based and it can improved the classification results by 124.5%.
Change detection analyses showed that the mangrove area in Kembung River
was relatively stable. For nearly two decades, we found mangrove loss about 197.2
ha, gain of 251.1 ha, and unchanged of 2904.9 ha. Changes in mangrove covers
were generally caused by anthropogenic factors such as mangrove replanting,
logging, changes over the function of mangrove regions into the road, embankment,
settlement, shrimp farms, and natural growth. Serious attention from various parties
are needed to maintain the existence and sustainablility of mangrove ecosystems in
Kembung River.
ROMIE JHONNERIE
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Kelautan (TEK)
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii
Ujian Tertutup
Penguji luar komisi:
1 Dr Ir M Buce Saleh, MS
2 Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Ujian Terbuka
Penguji luar komisi:
1 Dr Ir M Buce Saleh, MS
2 Dr Bidawi Hasyim, MSi
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2012 ini ialah
klasifikasi mangrove, dengan judul Klasifikasi Mangrove Berbasis Objek dan
Piksel Menggunakan Citra Satelit Multispektral di Sungai Kembung, Bengkalis,
Provinsi Riau.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA, Prof
Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc, Dr Ir Sam Wouthuyzen, MSc APU, dan Dr Ir
Bisman Nababan, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir M Buce Saleh, MS,
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi dan Dr Bidawi Hasyim, MSi yang telah banyak
memberi saran pada ujian tertutup dan sidang promosi terbuka.
Ungkapan terima kasih disampaikan terutama kepada orang tua, Rahieman
bin Djisat dan Ibunda Wirdaty Ilyas binti Ilyas, Baras bin Jalik dan Yuslina binti
Muhammad Wasyid atas segala limpahan kasih sayang dan doa serta siraman iman
yang diberikan kepada penulis hingga dapat menyelesaikan studi. Istri tercinta,
Yossi Oktorini, ananda Muhammad El-Idrisi dan Hasnia Syakira Nisa yang selalu
memberikan dukungan dan doa serta pengertiannya selama penulis menuntut ilmu,
serta seluruh keluarga besar, hasil yang telah dicapai ini, ku persembahkan untuk
kalian.
Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Ketua Departemen Ilmu
dan Teknologi Kelautan dan Ketua Program Studi Teknologi Kelautan yang
senantiasa memberikan dorongan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan
disertasi ini, seluruh dosen dan tenaga administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Dekan Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Kementerian Pendidikan Nasional yang telah
memberikan beasiswa studi lanjut BPPS di Institut Pertanian Bogor. Ketua Jurusan
Penangkapan Sumberdaya Perairan, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
dan Rektor Universitas Riau, yang telah memberikan izin melanjutkan pendidikan
doktor.
Penghargaan juga penulis sampaikan kepada kelompok pengelola mangrove
Belukap dan anggota yang telah berpartisipasi dalam pengumpulan data lapangan.
Rekan-rekan semasa pendidikan, Dr Nurhalis Wahidin, Dr M. Syahdan, Dr Domei
L. Moniharapon, Dr Gentio Harsono, Dr Muhamad Sulaiman, Dr Ihsan, Dr Didik
Santoso, Dr Dion Bawole, Dr Ismawan, Dr Chaliluddin, Dr Amirul Karman, Dr
Rozirwan, Dr Eko Prianto, Dr Irda Mirdayanti, Jurianto M Nur, MSi, Elis
Nurjuliasti Ningsih, MSi, Widya Kusumaningrum, MSi, Aisyah, MSi, yang banyak
membantu selama menempuh pendidikan, serta semua pihak yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan
disertasi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Romie Jhonnerie
xii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR ISTILAH
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan
Manfaat
Kerangka Teori
Kebaruan (Novelty)
2 METODOLOGI UMUM
Tempat dan Waktu
Alat dan Bahan
Metode Penelitian
3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI UNTUK PEMETAAN
KOMUNITAS MANGROVE
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
4 PERBANDINGAN KLASIFIKASI BERBASIS OBJEK DAN BERBASIS
PIKSEL DENGAN ALGORITMA RANDOM FOREST UNTUK
PEMETAAN MANGROVE
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 DETEKSI PERUBAHAN TUTUPAN MANGROVE MENGGUNAKAN
CITRA LANDSAT
Pendahuluan
Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
6 PEMBAHASAN UMUM
Ketidakpastian Penelitian
7 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xiv
xv
xvi
1
1
5
5
5
6
7
8
8
8
12
19
19
19
21
29
30
30
31
37
57
59
59
60
62
67
68
70
73
73
73
74
86
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
9
10
10
11
13
16
17
22
24
25
33
34
35
35
42
43
51
53
53
56
57
60
63
64
64
65
xv
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
7
8
14
15
15
17
20
23
26
26
27
29
36
38
40
43
45
46
47
54
54
63
66
71
72
DAFTAR ISTILAH
Aperture
Band spektral
C-band
Ground control
point
Hambur balik
(backscatter)
Kalibrasi
Klasifikasi
Koreksi
geometrik
Level-1
Multispektral
Ortorektifikasi
xvii
Pankromatik
Pan-sharpening
Penajaman citra
Penutup lahan
Piksel
Polarisasi
:
:
Radiansi
Radiasi tampak
Random forest
Rational
Polynomial
Coefficient
Reflektansi
xviii
Resolusi spasial
Segmentasi
Shapefile (shp)
Synthetic
Aperture Radar
(SAR)
Transformasi
citra
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mangrove merupakan tumbuhan (pohon, palma, semak, tumbuhan merambat
dan pakis-pakisan) (Giesen et al. 2006), baik secara individu maupun komunitas di
daerah yang dipengaruhi pasang surut (Tomlinson 1986), dapat dijumpai
disepanjang garis pantai (Saenger 2002) hingga menyebar ke pinggiran sungai pada
daerah tropis dan sub tropis (Kathiresan dan Bingham 2001). Sebagai bagian dari
eksosistem pesisir (Kusmana 1996), mangrove berfungsi sebagai: (i) pelindung
pantai dari erosi (Thampanya et al. 2006), tiupan angin kencang dan gempuran
ombak yang kuat dan tsunami (Ostling et al. 2009; Zhang et al. 2012) , (ii) habitat
berbagai jenis ikan dan udang (mencari makan, memijah, bertelur dan berlindung)
(Manson et al. 2005; Carrasquilla-Henao et al. 2013; Abu El-Regal dan Ibrahim
2014), (iii) habitat berbagai jenis fauna (Cannicci et al. 2008; Nagelkerken et al.
2008), (iv) penghasil kayu dan non-kayu (Illukpitiya dan Yanagida 2010), (v)
berpotensi untuk fungsi pendidikan (Sarkar dan Bhattacharya 2003) dan rekreasi
(Ahmad 2009; Datta et al. 2012), (vi) menyerap karbon dalam perubahan iklim
(Gilman et al. 2006; Donato et al. 2011).
Degradasi mangrove secara global mencapai 25%, dari tahun 1980-2000
(FAO 2007; Giri et al. 2011). Data tahun 2009 memperkirakan luas mangrove di
Indonesia sebesar 3.2 juta hektar dan sekitar 6.4% berada pada wilayah administrasi
Provinsi Riau (Hartini et al. 2010). Kecenderungan luas tersebut menurun setiap
tahunnya. Selama 25 tahun (1980-2005) Indonesia telah kehilangan 30.1% atau 1.3
juta hektar mangrove (FAO 2007). Dilaporkan pula bahwa 11 dari 70 (16%) spesies
mangrove yang telah diketahui meningkat statusnya menjadi terancam punah
(Polidoro et al. 2010). Penyebab kehilangan tersebut diakibatkan oleh (i)
pemanfaatan mangrove secara langsung sebagai sumber kayu dan non-kayu
(Walters 2005), (ii) alih fungsi lahan mangrove menjadi tambak udang, tambak
garam, lahan pertanian, permukiman dan pariwisata (Jhonnerie et al. 2007; Thu
dan Populus 2007), dan (iii) kurangnya pasokan air tawar akibat pembangunan
bendungan.
Sungai Kembung merupakan salah satu habitat mangrove di Pulau Bengkalis,
Provinsi Riau dan merupakan habitat yang unik. Mangrove dapat dijumpai di
sepanjang Sungai Kembung dan anak-anak sungai yang membelah kawasan
tersebut. Mangrove pantainya langsung berhadapan dengan Selat Malaka.
Ekosistem mangrove di Sungai Kembung menjadi salah satu tumpuan hidup bagi
masyarakat di sekitarnya khususnya bagi Suku Asli, salah satu suku pedalaman
(indigenous people) yang tinggal dan hidup di sekitar mangrove. Jhonnerie et al.
(2014 ) menyatakan tidak terjadi perubahan luas penutup lahan mangrove yang
signifikan, namun tekanan terhadap mangrove telah berlangsung lama di kawasan
ini. Kusmana (2012) menambahkan, mangrove di Kabupaten Bengkalis telah
mendapatkan tekanan semenjak beroperasinya panglong (dapur) arang, hingga saat
ini tekanan terhadap mangrove cenderung bertambah di antaranya akibat
pembangunan jalan dan permukiman, perubahan penutup lahan mangrove menjadi
tambak udang dan penebangan liar. Di sisi lain, keberadaan data pendukung
pengelolaan mangrove di Sungai Kembung masih minim dijumpai. Sebagian besar
penelitian mangrove di Sungai Kembung hanya bersifat atribut, sporadis dan minim
publikasi.
Penginderaan jauh merupakan teknologi penting dalam inventarisasi dan
monitoring sumberdaya alam secara spasial, dan penggunaannya terus meningkat
untuk pemanfaatan sumber informasi dalam berbagai bidang (Rikimaru et al.
2002). Secara umum penginderaan jauh digunakan untuk menghubungkan
pengukuran radiasi matahari yang dipantukan oleh objek di permukaan bumi
(direpresentasikan oleh nilai digital) terhadap kondisi bio-fisik di lapangan.
Setidaknya terdapat 11 peranan penginderaan jauh dapat diterapkan untuk menggali
informasi mangrove (Kuenzer et al. 2011), termasuk kedalamnya adalah:
inventarisasi (Knight et al. 2009; Heumann 2011b), penentuan kawasan (Cardoso
et al. 2014), komposisi dan spesies (Koedsin dan Vaiphasa 2013; Kumar dan
Patnaik 2013), status kesehatan (Kovacs et al. 2009; Kovacs et al. 2013) serta
deteksi perubahan dan pengawasan (Misra et al. 2013; Rahman et al. 2013).
Umumnya teknik klasifikasi berperan besar dalam penggalian informasi tersebut.
Klasifikasi data penginderaan jauh umumnya menggunakan metode spektral
(Godinho et al. 2014), spasial (Zhao et al. 2011) dan tekstural (Szantoi et al. 2013)
baik secara individu atau kombinasi telah mampu meningkatkan ektraksi fitur dan
pemetaan. Kajian-kajian penginderaan jauh yang berfokus pada klasifikasi citra
telah lama menjadi perhatian dan menarik peneliti penginderaan jauh, karena hasil
klasifikasi menjadi dasar bagi berbagai aplikasi lingkungan dan sosial ekonomi (Lu
dan Weng 2007). Berbagai upaya peningkatan akurasi klasifikasi telah diusahakan
oleh banyak peneliti (Alesheikh dan Sadeghi Naeeni Fard 2007; Quintano dan
Cuesta 2010; Mitraka et al. 2012; Yan et al. 2012). Meskipun demikian, hingga
saat ini kajian data penginderaan jauh untuk menghasilkan peta tematik masih
menjadi tantangan karena beberapa faktor seperti kompleksitas penutup lahan suatu
lokasi, data penginderaan jauh tertentu, pengolahan data penginderaan jauh dan
pendekatan klasifikasi, dapat mempengaruhi kesuksesan klasifikasi (Lu dan Weng
2007).
Pemilihan citra satelit yang sesuai merupakan tahapan penting dalam
kesuksesan klasifikasi untuk tujuan tertentu (Phinn et al. 2000). Pemetaan
mangrove umumnya menggunakan sensor seri Landsat (Rahman et al. 2013),
Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER)
(Jean-Baptiste dan Jensen 2006), Satellite Pour lObservation de la Terre (SPOT)
(Santos et al. 2014), IKONOS (Chadwick 2011), QuickBird (Wang et al. 2004b),
WorldView-2 (Kamal et al. 2014). Pemilihan citra yang digunakan dipengaruhi
oleh kebutuhan pengguna, skala dan karateristik lokasi penelitian, ketersediaan
berbagai jenis data dan karakteristiknya, biaya dan waktu serta pengalaman
menganalisis citra yang digunakan. Umumnya data citra satelit tersebut diterapkan
dalam pemetaan mangrove semi detail dan detail.
Tingkat ke-detail-an hasil klasifikasi mengacu kepada skema klasifikasi yang
digunakan atau dikembangkan. Skema klasifikasi merupakan sebuah sistem
terstruktur dari beberapa kelas dan umumnya diatur berdasarkan tingkatan (hirarki).
Dalam kegiatan pemetaan diperlukan pemahaman bagaimana sebuah skema
klasifikasi terstruktur dibangun. Hingga saat ini skema klasifikasi mangrove untuk
tingkatan yang lebih detail dan terstruktur di Indonesia telah disediakan oleh
beberapa institusi, seperti: Badan Standar Nasional melalui standarisasi penutup
lahan tahun 2010, Kementerian Lingkungan Hidup melalui kriteria baku dan
Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan yang dinyatakan pada latar belakang, hingga tulisan
ini dikembangkan metode yang diterapkan dalam penelitian belum pernah
diterapkan sebelumnya. Pertanyaan ilmiah yang mendasari penelitian ini adalah:
1) Komponen apa saja yang membangun komunitas mangrove di Sungai
Kembung dan bagaimana pengembangan komunitas mangrove sehingga dapat
diterapkan penggunannya dalam teknik pemetaan mangrove yang lebih detail
menggunakan citra satelit multispektral?
2) Bagaimana teknik pemetaan mangrove yang lebih baik menggunakan citra
satelit multispektral? Apakah dengan menggunakan teknik tersebut mampu
meningkatkan akurasi pemetaan?
3) Bagaimana status mangrove di Sungai Kembung berdasarkan data temporal?
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1) Mengembangkan skema klasifikasi komunitas mangrove yang dapat
diterapkan dalam klasifikasi data penginderaan jauh
2) Memetakan mangrove menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek dengan
penerapan algoritma random forest (RF)
3) Mengetahui status mangrove melalui teknik deteksi perubahan mangrove
Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memetakan mangrove dengan efektif, efisien
dan lebih akurat serta dapat menjadi acuan atau referensi dalam pemetaan,
Kerangka Teori
Skema klasifikasi sebagai salah satu penentu keberhasilan dalam klasifikasi
hingga saat ini masih menjadi permasalahan. Banyak penelitian yang hanya
menyatakan skema klasifikasi yang digunakan saja namun secara objektif metode
pengembangan skema tersebut tidak dilaporkan, sehingga pengulangan (repetisi)
metode sangat susah diterapkan, atau umumnya hanya bersifat ad hoc sehingga
hanya berlaku pada saat penelitian berlangsung. Diperlukan suatu tahapan
pengembangan skema klasifikasi yang sistematis sehingga kelas yang dihasilkan
tidak memiliki pemahaman yang ambigu serta mampu menampung kebutuhan
tingkat kedetailan (bersifat hirarki) dari ragam jenis citra satelit yang tersedia.
Pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove menggunakan analisis
gerombol dan persentase kemiripan.
Penerapan dan pengembangan metode klasifikasi alternatif diperlukan untuk
mengatasi permasalahan sebelumnya, minimal mereduksi kelemahan tersebut.
Penelitian ini menerapkan teknik pemetaan alternatif, menggunakan teknik
klasifikasi berbasis objek dan penerapan algoritma klasifikasi yang lebih maju,
dalam hal ini random forest (RF). Teknik klasifikasi berbasis objek diyakini dapat
mereduksi nilai varian dan mengelompokkan piksel citra satelit berdasarkan nilai
ambang batas tertentu, sementara algoritma RF merupakan sebuah algoritma yang
terdiri dari sekumpulan algoritma yang bekerja sama (ensembler) dan diyakini juga
mampu meningkatkan hasil pemetaan mangrove. Aplikasi yang digunakan mampu
mengelola data spasial baik raster maupun vektor dengan baik dalam pemetaan.
Tahapan akhir penelitian ini adalah menerapkan teknik klasifikasi berbasis
objek untuk pemetaan penutup lahan di sekitar mangrove untuk mengetahui laju
perubahan luas mangrove menggunakan citra satelit Landsat. Keseluruhan metode
yang digunakan dalam penelitian ini disarikan oleh sebuah diagram alir (Gambar
1).
Permasalahan
pemetaan
mangrove
Skema klasifikasi
yang belum jelas
Akurasi
relatif masih
rendah
Efektif dan
efisien dalam
teknis pengerjaan
Metode
pemetaan
mangrove
alternatif
Algoritma
random
forest
Klasifikasi
berbasis
obyek
Uji
akurasi
Pengembangan skema
klasifikasi
Analisis
gerombol
Analisis
SIMPER
Deteksi
perubahan
mangrove
Kebaruan (Novelty)
Kebaruan dalam penelitian ini adalah: (i) penerapan algoritma random forest
(RF) pada teknik klasifikasi berbasis objek untuk pemetaan penutup lahan dan
komunitas mangrove, (ii) rule sets yang digunakan dalam teknik klasifikasi berbasis
objek.
2 METODOLOGI UMUM
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di ekosistem mangrove Sungai Kembung, Pulau
Bengkalis, Provinsi Riau. Pengamatan lapangan dilakukan pada Bulan Juni dan
Desember 2012. Secara geografis lokasi penelitian terletak pada 102o2147.96102o2938,6 BT dan 1o3125,34-1o2628,18 LU. Sungai Kembung bermuara ke
Selat Malaka, di sepanjang sungai tersebut dari hulu hingga ke hilir dan anak-anak
sungai merupakan habitat mangrove (Gambar 2). Sebagian wilayah pantai yang
berhadapan langsung dengan Selat Malaka tengah mengalami proses abrasi dan
telah mengikis sebagian mangrove zona depan (fringing mangrove) khususnya jenis
Avecennia alba dan Sonneratia alba.
10
Rupa Bumi
Indonesia,
Pulau
Bengkalis
1:50.000
Geografis
Datum
Sumber
World
Geodetic
System
1984
(WGS 84)
WGS 84
Bappeda
Provinsi
Riau
Bappeda
Kabupaten
Bengkalis
Data raster yang digunakan terdiri dari beberapa sensor yaitu: Landsat 5 TM
(Thematic Mapper) 5, Landsat 7 TM, Landsat 7 ETM+ (Enhanced Thematic
Mapper), Landsat 8 OLI (Operational Land Imager), SPOT (Satellite Pour
lObservation de la Terre) 6 multispektral dan pankromatik, ALOS PALSAR
(Advanced Land Observation Satellite Phase Array Synthetic Aperture Radar) FBD
(Fine Beam Double Polarisation) HH (Horizontal-Horizontal) dan HV
(Horizontal-Vertical). Karakteristik masing-masing sensor disajikan pada Tabel 4.
- Multispektral
- Pankromatik
Radiometrik (bit)
Level
Format
Proyeksi
Akuisisi
- Tanggal
- Jam
Spasial (m)
Ketinggian (km)
Temporal (hari)
Spektral (nm)
- Biru Pantai
- Biru
- Hijau
- Merah
- Inframedah dekat
- Inframerah tengah
- Inframerah jauh
- Pankromatik
- Cirrus
Parameter
30
15
8
1T
Geo-TIFF
UTM
19 Juni 1996
2:35:50
27 Januari 2013
3:14:20
n/a
450 - 520
520 - 600
630 - 690
760 - 900
1550 - 1750
2080 - 2350
n/a
n/a
n/a
450 - 520
530 - 590
625 - 695
760 - 890
n/a
n/a
450 - 745
n/a
6
1.5
12
3A
DIMAP V2 format
Geografi
Landsat 5 TM
705
16
Sensor
SPOT 6
694
26
14 Juli 2002
3:45:58
30
15
8
1T
Geo-TIFF
UTM
n/a
450 520
520 600
630 690
760 900
1550 1750
2080 2350
500 900
n/a
Landsat 7 ETM+
705
16
15 Januari 2015
1:07:12
30
15
8
1T
Geo-TIFF
UTM
433 - 453
450 - 520
520 - 600
630 - 690
760 - 900
1550 - 1750
2080 - 2350
500 - 900
1360 - 1390
Landsat 8 OLI
705
16
1.1
CEOS format
ITRF97 Datum GRS80
18 September 2010
15:55:37.277
12.5x12.5
Interferometric Wide
Swath 250 km
10x10
28 Nopember 2014
22:55:37
38.788
HH+HV
ALOS PALSAR
702
26
VV+VH
5.405 GHz
Incident angle 29.1 - 46.0
SENTINEL-1
693
12
11
12
Metode Penelitian
Pengerjaan disertasi secara keseluruhan diringkas pada delapan tahapan yaitu:
(i) persiapan data, (ii) pra pengolahan data penginderaan jauh, (iii) rancangan
pengambilan data lapangan, (iv) survei lapangan, (v) pengembangan skema
klasifikasi komunitas mangrove, (vi) analisis spektral reflektansi, (vii) pemetaan
mangrove, (viii) deteksi perubahan mangrove. Tahapan penelitian ini hanya
membahas mulai dari persiapan data hingga survei lapangan, sementara analisis
data lebih rinci dijelaskan pada sub bab lainnya.
Persiapan data
Tahapan ini mempersiapkan peralatan yang terdiri dari perangkat keras dan
lunak serta data yang digunakan, untuk mendukung kegiatan lapangan dan
pengolahan data lebih lanjut.
Pra-pengelohan citra Proses pra pengolahan bertujuan untuk meningkatkan
kualitas data melalui koreksi atmosferik (data optik), kalibrasi radiometrik (data
SAR) menjadi koefisien hambur balik (backscattering coefisient), dan koreksi
geometrik untuk data yang belum memiliki acuan sistem koordinat.
Koreksi atmosferik Meminimalisir pengaruh atmosfer merupakan hal yang
penting untuk mendapatkan reflektansi spektral permukaan suatu citra satelit. Data
pendukung seperti uap air, distribusi aerosol dan jarak pandang harus diketahui dan
kemudian digunakan bersama model transfer radiasi atmoferik untuk menghasilkan
perkiraan reflektansi permukaan yang sebenarnya. Koreksi atmosferik
menggunakan modul FLAASH (Fast Line-of-sight Atmospheric Analysis of
Spectral Hypercube) yang bekerja dengan kode MODTRAN4 (Moderate
Resolution Atmospheric Transmission). FLAASH dapat menganalisis dari
gelombang tampak hingga inframerah rendah dari citra multispektral dan
hiperspektral (Felde et al. 2003).
Parameter FLAASH yang digunakan hanya dua kategori yaitu: (i) parameter
umum, terdiri dari file input dan output FLAASH, karakteristik sensor yang
digunakan dan model atmosfer. (ii) parameter FLAASH lanjutan, terdiri dari
karakteristik aerosol lanjutan, kondisi geometris dan radiometrik FLAASH yang
akan dihasilkan (Tabel 5).
Koreksi geometrik Koreksi geometrik adalah sebuah proses penyesuaian posisi
citra satelit sehingga sesuai dengan posisinya di permukaan bumi. Kesalahan posisi
citra dapat diakibatkan oleh orbit satelit, rotasi bumi gerakan cermin pada sensor
penyiam dan juga kelengkungan bumi. Koreksi geometri citra satelit telah
dilakukan secara sistematis untuk kesalahan geometri yang sudah diperkirakan
sebelumnya, seperti: pengaruh pergerakan cermin pemindai, kecepatan lintasan
satelit dan arah serta kecepatan rotasi bumi. Tahap selanjutnya adalah
menggunakan titik-titik kontrol lapangan yang dapat diidentifikasi pada citra dan
lapangan dan melalui pasangan titik koordinat antara citra dan lapangan ini dapat
dibangun suatu persamaan transformasi untuk mengoreksi setiap posisi yang salah
pada citra menjadi posisi yang benar menurut skala, proyeksi dan sistem koordinat
referensi.
13
Citra Landsat 5 TM
Citra SPOT 6
L5_radiance
spot6_ radiance.dat
File reflektansi
L5_radiance_FLAASH
spot6_ radiance_FLAASH
Lintang
1.45098611
1.45098611
Bujur
102.4347222
102.4347222
Jenis sensor
Landsat 5 TM
SPOT6
Pusat lokasi
700.23
Elevasi (km)
0.1
0.1
30
Waktu Perekaman
Model atmosfer
Tropical
Tropical
Model aerosol
Rural
Rural
Aerosol retrieval
None
None
Jarak pandang
40
40
1.5
1.5
390
390
No
No
Yes
Yes
No
No
Resolusi MODTRAN
15 cm^-1
15 cm^-1
Scaled DISORT
Scaled DISORT
Sudut Zenit
180
180
Sudut Azimut
No
No
Radiance image
Full scene
Full scene
10000
10000
14
posisi piksel citra (baris dan kolom) pada koordinat bumi. Pada aplikasi yang
mendukung pembacaan RPC (seperti EXELIS ENVI) sistem proyeksi yang
digunakan oleh data citra SPOT 6 adalah geografi dan datum World Geodetic
System (WGS) 84, selanjutnya penarapan RPC mentransformasi sistem tersebut
menjadi Universal Transverse Mercator (UTM) zona 48 dan datum WGS 84. Hasil
koreksi RPC disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Hasil penerapan RPC pada citra SPOT 6 dengan kombinasi 321, dengan
tampalan citra RapidEye Level 3A orthofoto kombinasi 432 dan
Landsat 5 TM level 1T kombinasi 452
Penerapan koreksi RPC cukup memuaskan, hal tersebut didukung oleh
penampalan citra satelit RapidEye Level 3 terkoreksi ortofoto dan Citra Landsat 5
TM Level 1T persis pada posisi dan objek yang sama pada Citra SPOT 6. Penerapan
RPC tidak dilanjutkan koreksi geometrik menggunakan Ground Control Point
(GCP) mengingat pengkuran GCP hanya mengandalkan pengukuran posisi absolut.
Pengukuran GCP menggunakan GPS TRIMBEL JUNO SB, sebanyak 26
pengamatan GCP dilakukan dan setiap GCP diamati selama + 30 menit. Rata-rata
pengukuran GCP terdistribusi dari 2 hingga 4 piksel dengan rata-rata 2.67 (SD+
0.78) piksel.
Kalibrasi radiometrik Tujuan kalibrasi adalah menyediakan data SAR dengan
nilai piksel yang berhubungan dengan hambur balik (backscatter) yang dipantulkan
oleh permukaan dan data yang telah dikalibrasi dapat digunakan pada analisis
kuantitatif. Proses kalibrasi radiometrik menghasilkan data citra SAR dengan nilai
sigma nought (0).
Kalibrasi radiometrik ALOS PALSAR Data ALOS PALSAR dikalibrasi
ASF (Alaska Satellite Facility) MapReady 2.3. Aplikasi ini dikembangkan dan
dikelola oleh European Space Agency (ESA). Data disimpan dalam format geotiff
(.tiff), diproyeksi menjadi UTM Zona 48 Utara, Datum WGS 84. Ukuran piksel
dicuplik dengan ukuran 12.5 meter dengan teknik resample bilinear. Nilai
radiometri data dikalibrasi menjadi koefisien hambur balik (backscattering
coefficient) mengacu Shimada et al. (2009). Kalibrasi 0 menggunakan persamaan
1.
0 = 2 ( 2 1 )
(1)
15
0 adalah koefisien hambur balik, DN adalah nilai digital, Nr adalah fungsi jarak,
a1 adalah faktor skala derau dan a2 adalah faktor konversi linier. Nilai yang
dihasilkan oleh persamaan (1) adalah dalam skala power. Merubah nilai power
menjadi nilai dB digunakan persamaan (2) karena umumnya image yang telah
terkalibrasi menggunakan skala logaritma dB (Shimada et al. 2009).
0 = 10. 10 2 + 2 +
(2)
I dan Q merupakan bilangan real dan imaginer bagian dari produk Single Look
Complex (SLC), CF merupakan calibration faktor adalah -83 dB dan A merupakan
faktor konversi yaitu 32. Hasil kalibrasi radiometrik disajikan pada Gambar 4.
b
Gambar 4 Hasil kalibrasi radiometrik ALOS PALSAR a. HV dan b. HH
| |2
(3)
nilai(i) adalah salah satu dari 0 atau 0 , atau , atau DNi orisinal, Ai adalah salah
dari betaNought(i), sigmaNought(i), gamma(i) atau dn(i). Mode IMS sigma nought
dapat dihitung melalui persamaan:
0
,
=
2
,
1
(, )
( , ) (, )
(4)
DNi,j2 adalah intensitas piksel i,j, K adalah konstanta kalibrasi absolut, , adalah
sudut datang (incident angle), Ri,j adalah jarak miring (slant range distance), Rref
adalah referensi jarak miring (reference slant range distance), , adalah look angle
dan G adalah antenna pattern gain. Hasil kalibrasi radiometrik disajikan pada
Gambar 5.
a.
b.
16
Deksripsi
Semua kenampakan perairan
Lahan yang digunakan untuk kegiatan pertanian tanpa
pergantian tanaman selama dua tahun dan ditanami kelapa
Mangrove (ME)
Vegetasi
mangrove (TI)
transisi
17
(Gambar 6). Selanjutnya rancangan tersebut dituangkan dalam bentuk peta kerja
dan disimpan dalam perangkat GPS. Peta kerja dan GPS berperan besar dalam
navigasi menuju lokasi-lokasi pengamatan lapangan.
k
n1k
n2k
n2k
n+k
18
=1
(5)
(6)
(7)
=1 =1(+ .+1 )
2 =1(+ .+1 )
(8)
r adalah jumlah baris pada matrik, xii adalah jumlah pengamatan pada baris i dan
kolom i, xi+ dan x+i adalah total margin baris i dan kolom i, N adalah jumlah
pengamatan. K menyatakan pengurangan dalam kesalahan yang keseluruhan
merupakan klasifikasi acak. Misalnya nilai K adalah 0.80 maka proses klasifikasi
yang dilakukan menghindari 80% kesalahan klasifikasi acak. Akurasi tematik
hanya berdasarkan referensi berbasis titik pengamatan. Uji akurasi tidak
berbasiskan objek atau uji akurasi yang berkaitan terhadap akurasi geometri objek
(seperti lokasi dan bentuk) (Whiteside et al., 2011).
Penentuan dua nilai Kappa independen dan untuk dua matrik kesalahan yang
secara signifikan berbeda, maka digunakan uji yang memungkinkan perbandingan
secara statistik dua analisis, analisis yang sama dengan waktu berbeda, dua
algoritma, dua tipe citra, atau dua citra yang sama dalam menghasilkan akurasi lebih
baik. Matrik kesalahan tunggal dan pasangan matrik kesalahan diuji tingkat
kepercayaan signifikan pada standar deviasi normal sebagai berikut:
1 dan
2 merupakan estimasi Kappa statistik dari masing-masing matrik
Jika
1 ) dan
2 ) adalah estimasi varian sebagai hasil
kesalahan #1 dan #2,
(
(
dari perhitungan yang tepat, maka uji statistik menggunakan persamaan:
=
1 )
(9)
1
2 |
|
1 )+
2 )
(
(
(10)
Metode
Pengumpulan Data
Pengukuran data vegetasi mangrove Data vegetasi diperoleh melalui
pengamatan lapangan yang dilakukan di setiap stasiun pengamatan (plot). Data
yang diamati adalah strata pohon (mature), anakan (sapling) dan semai (seedling).
Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pohon adalah semua tumbuhan berkayu
dengan diameter batang setinggi dada (pada ketinggian 130 cm di atas permukaan
tanah) 4 cm atau lingkar batang 12,5 cm (English et al. 1997). Setiap pohon di
20
21
terbukti menjadi ukuran yang memadai dalam penentuan jarak ekologi (Faith et al.
1987). Persamaan Bray-Curtis dinyatakan sebagai berikut:
=1| |
= [
=1( + )
(11)
xij adalah kelimpahan spesies ke-i pada sample ke-j dan p adalah spesies
keseluruhan.
Penentuan kelas komunitas mangrove ditetapkan dari jarak kemiripan dengan
nilai kemiripan 0.5. Dendogram jarak koefisien Bray-Curtis dibangun
menggunakan metode average group (Mumby dan Harborne 1999; Green et al.
2000). Karakteristik komunitas mangrove ditentukan oleh persentase kontribusi
komponen penyusunnya menggunakan analisis persentase kemiripan (Similarity
Percentage/SIMPER) (Clarke 1993). SIMPER dianalisi menggunakan aplikasi
PRIMER 6.0. SIMPER menghitung nilai rata-rata ketidakmiripan Bray-Curtis
antara pasangan kelompok dalam sampel. Rata-rata ketidakmiripan antara sampel
pada dua klaster dapat dinyatakan sebagai rata-rata kontribusi dari setiap variabel
penyusunnya. Sebuah variabel penciri memiliki kontribusi besar dalam
membedakan komunitas. Pemberian nama kelas komunitas mengacu pada
penamaan komunitas berdasarkan karakteritik ekologi, atau dapat juga
menggabungkan nama spesies yang memiliki persentase komposisi terbesar pada
komunitas tersebut (Green et al. 2000; Phinn et al. 2012).
22
menyatakan bahwa jumlah mangrove sejati yang dijumpai sebanyak 17 spesies dan
18 spesies mangrove ikutan.
Beberapa spesies mangrove di lokasi penelitian merupakan spesies endemik
Asia Tenggara, yaitu A. lanata, O. tigillarium, I. cymosa, P. coronarium, D.
aloefolium. Dua spesies yang secara lokal umum dijumpai tapi langka dalam skala
global, yaitu S. hydrophyllacea dan S. ovata (Giesen et al. 2006). Berdasarkan
daftar merah spesies terancam International Union for Conservation of Nature
(IUCN), empat spesies belum termasuk ke dalam daftar tersebut yaitu, B.
gymnorrhiza, B. hasselsi. C. tagal dan S. hydrophyllaceae. Satu spesies masuk ke
dalam kategori rentan (vulnerable B1+2c) yaitu A. lanata, satu spesies dalam status
hampir terancam (near threatened) yaitu S. ovata, dan sisanya berada pada kategori
sedikit perhatian (least concerns).
Jenis X. granamun, R. apiculata, L. racemosa dan S. hidrophyllaceae
merupakan komunitas dominan dan selalu dijumpai di lokasi studi dibandingkan
dengan jenis-jenis lainnya pada semua strata. Hal tersebut ditunjukkan oleh
tingginya nilai penting baik strata dewasa, anakan maupun semai (Tabel 8)
Tabel 8 Nilai penting (%) berdasarkan strata mangrove
Strata Mangrove
No
Nama Botani
Dewasa
Anakan
1
Aegiceras corniculatum
0.3
2.8
2
Avicennia alba
0.4
3
Avicennia lanata
1.5
4
Bruguiera cylindrica
6.3
2.9
5
Bruguiera gymnorhiza
6.0
5.6
6
Bruguiera hainesii
9.0
8.8
7
Ceriops tagal
6.2
9.4
8
Excoecaria agallocha
7.1
7.9
9
Heritiera littoralis
0.9
10
Lumnitzera littorea
11
Lumnitzera racemosa
11.9
2.2
12
Nypa fruticans
2.6
13
Rhizophora apiculata
55.6
41.2
14
Rhizophora mucronata
7.1
6.9
Scyphiphora
15
10.8
25.2
hidrophyllacea
16
Sonneratia alba
1.7
17
Sonneratia ovata
1.2
0.7
18
Xylocarpus granatum
161.8
84.6
Semai
1.4
4.9
2.0
3.9
7.8
3.3
12.3
3.7
1.0
7.8
2.3
6.9
135.9
23
24
Nama Botani
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Aegiceras corniculatum
Avicennia alba
Avicennia lanata
Bruguiera cylindrica
Bruguiera gymnorhiza
Bruguiera hainesii
Ceriops tagal
Excoecaria agallocha
Heritiera littoralis
Lumnitzera littorea
Lumnitzera racemosa
Nypa fruticans
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
Scyphiphora
hidrophyllacea
Sonneratia alba
Sonneratia ovata
Xylocarpus granatum
Kerapatan
15
16
17
18
Dewasa
0.6
5.1
14.0
73.2
33.8
65.0
28.7
69.4
4.5
120.4
34.4
622.9
75.8
Strata Mangrove
Anakan
22.9
25.5
30.6
89.2
61.1
68.8
22.9
438.2
61.1
Semai
47.8
127.4
95.5
111.5
222.9
63.7
525.5
95.5
15.9
222.9
47.8
96.8
389.8
222.9
11.5
7.0
1,114.0
2,377.1
2.5
1,019.1
2,231.8
6,019.1
7,818.5
25
Tabel 10 Nama spesies, kategori mangrove dan jumlah kehadiran spesies dari
seluruh plot transek
No Nama Spesies
Kode
Kategori
Jumlah Kehadiran
1
Ardisia elliptica
Ae
Ikutan
2
2
Buah Gurah
Bg
Ikutan
1
3
Cimpo
Co
Ikutan
2
4
Dendan Laut
Dl
Ikutan
1
5
Fiscus sp
Fs
Ikutan
2
6
Flocourtia rukam
Fr
Ikutan
4
7
Hibiscus tilaceus
Ht
Ikutan
2
8
Ilex cymosa
Ic
Ikutan
2
9
Kelat Putih
Kp
Ikutan
2
10
Oncosperma tigillarium
Ot
Ikutan
4
11
Pokok Miang
Pm
Ikutan
1
12
Pouteria obovata
Po
Ikutan
2
13
Setuak
Sak
Ikutan
4
14
Terminalia catappa
Tc
Ikutan
1
15
X
XX
Ikutan
1
16
Aegiceras corniculatum
Ac
Sejati
1
17
Avicennia alba
Aa
Sejati
1
18
Avicennia lanata
Al
Sejati
4
19
Bruguiera cylindrical
Bc
Sejati
14
20
Bruguiera gymnorhiza
Bg
Sejati
20
21
Bruguiera hainesii
Bh
Sejati
27
22
Ceriops tagal
Ct
Sejati
22
23
Excoecaria agallocha
Ea
Sejati
17
24
Heritiera littoralis
Hl
Sejati
3
25
Lumnitzera racemosa
Lr
Sejati
27
26
Nypa fruticans
Nf
Sejati
3
27
Rhizophora apiculata
Ra
Sejati
93
28
Rhizophora mucronata
Rm
Sejati
17
29
Scyphiphora hidrophyllacea
Sh
Sejati
29
30
Sonneratia alba
Sa
Sejati
5
31
Sonneratia ovate
So
Sejati
4
32
Xylocarpus granatum
Xg
Sejati
117
Komposisi INP menujukkan bahwa jumlah spesies penyusun komunitas
mangrove di Sungai Kembung terdiri dari 1-6 spesies pohon mangrove (Gambar 9).
Umumnya plot transek terdiri dari dua spesies (52 plot), kemudian diikuti oleh
komposisi 3 spesies pohon (41 plot) dan konsosiasi atau tegakan tunggal (33 plot).
Komposisi tunggal dapat diartikan: i) konsosiasi dengan nilai INP = 300 terdiri dari
25 plot transek, yaitu jenis L. racemosa (2 plot), R. apiculata (13 plot), dan X.
granatum (10 plot), sementara 8 plot lainnya memiliki nilai INP kurang dari 300 (8
plot), hal tersebut terjadi akibat proses eliminasi sebelumnya.
26
Gambar 9 Jumlah komposisi jenis pohon mangrove terhadap jumlah plot transek
Ilustrasi skema komunitas mangrove di Sungai Kembung disajikan melalui
dendogram (Gambar 10). Dendogram adalah diagram pohon yang digunakan untuk
menggambarkan susunan klaster dan dihasilkan oleh gerombol hirarki. Sebuah
rincian hirarki berdasarkan dendogram suatu komunitas berguna untuk
mendefinisikan tingkatan deskriptif yang berbeda. Jarak Bray-Curtis yang
digunakan adalah 50%, artinya setiap komunitas mangrove yang dibangun
memiliki kemiripan komponen penyusun minimal 50%. Jarak kemiripan yang
digunakan lebih rendah dibandingkan dengan Mumby dan Harborne (1999) dan
Green et al. (2000) yang menggunakan nilai jarak kemiripan sebesar 60% 65%
dalam mengembangkan habitat lamun, terumbu karang dan mangrove. Green et al.
(2000) menambahkan bahwa tidak ada metode pengelompokkan yang sempurna,
mengingat ragam metode analisis gerombol cukup banyak dan lokasi pengamatan
bervariasi dan keputusan yang dibuat terkadang subjektif terhadap
pengelompokkan lokasi pengamatan.
27
28
daerah Panama, Ekuador (Wang et al. 2004b; Wang dan Sousa 2009; Heumann
2011a) mencantumkan nama ilmiah, seperti: red mangrove (Rhizophora
mangle), black mangrove (Avicennia germinan) dan white mangrove (Luguncularia
racemosa), penamaan kelas di Malaysia memberikan nama kelas berdasarkan nama
lokal seperti: bakau kurap (Rhizophora apiculata), bakau minyak (Rhizophora
mucronata) dan kelas lainnya (Kanniah et al. 2007). Penamaan kelas juga
menggabungkan satu atau lebih nama genus mangrove (Kasawani et al. 2010),
seperti Acanthus-Sonneratia, Avicennia-Sonneratia, Avicennia, Sonneratia
campuran dan campuran. Penamaan kelas komunitas mangrove dalam penelitian
mengunakan nama spesies yang berkontribusi besar dalam penyusun komunitas
mangrove.
Kelas skema klasifikasi yang dapat diterapkan pada cita satelit adalah kelas
yang memiliki jumlah anggota kelas minimal 4% dari total jumlah sampel. Hanya
2 kelas saja yang mampu memenuhi jumlah minimal tersebut, yaitu kelas 1 (33
anggota) dan 2 (93 anggota). Kelas 3 (6 anggota) memiliki anggota lebih dari 4%
namun jumlah tersebut tidak layak diterapkan seluruhnya pengelompokan citra
satelit. Jika hanya 2 kelas yang digunakan, 28 anggota tersisa dan tidak dapat
digunakan, maka kelas-kelas tersebut digabungkan menjadi satu kelas tersendiri,
meskipun konsekuensi nilai kemiripan anggota kelas lebih rendah. Pada akhirnya
terdapat 3 kelas komunitas mangrove di Sungai Kembung, kelas 1 adalah komunitas
Rhizopora apiculata (Ra), kelas 2 adalah komunitas Xylocarpus granatum (Xg) dan
kelas 3 adalah komunitas lainnya (La) (Gambar 12).
Kelas komunitas 1 (Ra) dibangun oleh enam spesies mangrove yaitu R.
apiculata, X. granatum, L. racemosa, S. hidrophyllacea, B. haenesii, B gymnorhiza.
R. apiculata memiliki kontribusi paling besar (97.81%) dalam membangun
komunitas, dan sisanya merupakan kontribusi komponen lainnya. Kemiripan plot
penyusun komunitas ini adalah 72.28%. Kelas 2 (Xg), dibangun oleh seluruh
spesies komunitas. X. granatum merupakan kontributor terbesar dalam membangun
komunitas ini (89.11%) dan sisanya merupakan kontribusi dari 9 spesies lainnya.
Kemiripan plot penyusun kelas ini lebih rendah dibandingkan kelas 1, yaitu
68.93%. Kelas 3 (La) dibangun oleh hampir seluruh spesies mangrove kecuali B.
gymnorhiza. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh keberadaan L. racemosa
(36.57%), X. granatum (25.68%), B. haenesii (11.68%) dan sisanya dibangun oleh
spesies lainnya. Kemiripan antar plot penyusun paling rendah yaitu 20.60%, karena
komunitas ini dibangun dari gabungan 10 kelas komunitas mangrove. Keberadaan
spesies-spesies yang memiliki kontribusi terbesar dalam setiap komunitas yang
dibangun dapat menjadi penciri pada komunitas tersebut.
Secara deskriptif skema klasifikasi hirarki mampu memfasilitasi penerapan
penginderaan jauh, namun keterbatasan data penginderaan jauh mempengaruhi
penyerapan skema tersebut (Mumby dan Harborne 1999). Beberapa keterbatasan
itu di antaranya: i) Kemampuan resolusi spektral yang terbatas, umumnya
kemampuan resolusi data multispektral terbatas pada panjang gelombang biru,
hijau, merah dan inframerah dekat. Meskipun beberapa sensor telah memiliki lebih
dari itu (Landsat 8 OLI dan WorldView-2). Mumby dan Harborne (1999)
menyatakan data multispektral memiliki kemampuan memisahkan habitat dengan
baik pada tingkatan kasar, ii) Biaya yang mahal dalam penggunaan data dengan
resolusi (spektral, spasial dan temporal) yang lebih baik, untuk memetakan habitat
yang lebih detail. Skema klasifikasi yang dijelaskan dalam tulisan ini, diyakini telah
29
Simpulan
Komunitas mangrove Sungai Kembung dibangun oleh 69 spesies tumbuhan
mangrove yang terdiri dari 22 spesies mangrove sejati dan 47 spesies mangrove
ikutan. Xylocapus granatum dan Rhizophora apiculata merupakan spesies penting
penyusun komunitas mangrove. Mangrove di Sungai Kembung dikategorikan
sebagai kawasan mangrove yang baik dan sangat padat.
Berdasarkan hirarki, hanya satu tingkatan skema klasifikasi komunitas
mangrove yang dapat dikembangkan. Skema tersebut terdiri dari 12 kelas
komunitas dan hanya tiga kelas dominan yang dapat diterapkan pada pemetaan
komunitas mangrove, yaitu: (1) komunitas Rhizophora apiculata (Ra), 33 sampel
(2) komunitas Xylocarpus granatum (Xg), 93 sampel dan (3) komunitas Lainnya
(La), 28 sampel.
30
31
Metode
Pengumpulan Data
Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri dari: (i)
Landsat 5 TM, (ii) SPOT 6 multispektral, (iii) SPOT 6 pankromatik, (iv) ALOS
PALSAR dan (v) SENTINEL-1.
Skema klasifikasi penutup lahan mengacu BSN (2010), yaitu kebun kelapa
(KA), kebun karet (KT), semak belukar (SB), vegetasi transisi mangrove (TO),
mangrove (ME), lahan terbuka (LT), lahan terbangun (LN), badan air (BA).
Pengamatan lapangan kelas penutup lahan dibantu menggunakan citra satelit
resolusi tinggi yang merupakan fusi citra (Aiazzi et al. 2006) multispektral SPOT
6 (6 meter) dan pankromatik SPOT 6 (1.5 meter). Penentuan posisi sampel
menggunakan alat penentu posisi (GPS) Trimble JUNO SB yang dilengkapi dengan
aplikasi ArcPAD versi 10. Mengingat akses yang terbatas, maka pengamatan
penutup lahan hanya dilakukan sekitar 500 m dari perbatasan mangrove. Sebanyak
469 titik pengamatan dibuat secara acak menggunakan ArcGIS Desktop. 176 di
antaranya digunakan training area dan 293 digunakan untuk uji akurasi hasil
pemetaan masing-masing penutup lahan.
Pengolahan Citra Satelit
Pengolahan data dalam penelitian terdiri dari: (i) pra pengolahan, (ii)
karakterisasi spektral citra multispektral, (iii) optimasi parameter pembangkit
objek, (iv) klasifikasi (berbasis objek dan piksel) dan (v) validasi hasil klasifikasi.
32
+ 1
= 8 ( ) (
(12)
1
1 | + |
2
( ) + 2 (
(13)
| || |
i dan j merupakan respon spektral dari dua kelas penutup lahan atau komunitas
mangrove yang dibandingkan; C merupakan matrik kovarian dari respon spektral;
merupakan vektor rata-rata respon spektral; ln merupakan fungsi logaritma
natural; T merupakan fungsi transposisi; dan |C| adalah determinan dari C.
Optimasi parameter pembangkit objek (segmentasi) Segmentasi citra
merupakan fungsi prinsip yang memisahkan citra menjadi kawasan-kawasan
terpisah atau objek berdasarkan parameter yang telah ditentukan, karena itu dapat
meminimalkan variabilitas di antara objek. Segmentasi dapat dilakukan lebih dari
satu jenis data (Nascimento Jr et al. 2013).
Parameter segmentasi terdiri dari tiga parameter, yaitu: shape, compactness,
dan scale. Nilai yang digunakan oleh parameter shape dan compactness berkisar 01. Faktor shape mengatur homogenitas spektral dan bentuk objek. Faktor
compactness menyeimbangkan kekompakan dan kehalusan, menentukan bentuk
33
objek antara batas yang halus dan tepi yang kompak. Parameter scale mengatur
ukuran objek yang sesuai dengan kebutuhan pengguna berdasarkan tingkat
kedetailan dan merupakan parameter kunci dalam segmentasi citra. Keputusan nilai
skala tergantung pada ukuran objek yang dibutuhkan. Pengguna juga diberikan
kesempatan untuk memberikan bobot yang berbeda pada setiap layer input yang
digunakan pada proses segmentasi (Myint et al. 2008).
Secara prinsip, parameter scale tidak terbatas. Keputusan akhir dinyatakan
oleh pengguna berdasarkan interpretasi visual terhadap citra dibandingkan kriteria
kuantitatif. Penentuan nilai parameter skala maksimal merupakan suatu tantangan
tersendiri, dalam kajian ini hanya digunakan beberapa kombinasi parameter
pembangkit objek, mengingat lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pengujian
seluruh nilai dalam memperoleh nilai optimum (Myint et al. 2008). Optimasi
parameter pembangkit objek dilakukan terhadap beberapa kombinasi nilai
parameter yang sering digunakan. Parameter yang diuji terdiri dari: i)
multiresolution segmentation (MRS), terdiri dari scale (SC), shape (SH),
compactness (CO) dan ii) spectral different algoritm (SDA), hanya menggunakan
parameter scale (Tabel 11).
Tabel 11 Parameter segmentasi yang diujikan untuk memperoleh nilai parameter
terbaik
No
Segmentasi
Parameter
Scale
Shape
Compactness
1
MRS
5
0.1
0.9
10
0.5
0.5
30
0.1
0.9
50
100
150
200
300
500
1000
2
SDA
5
10
30
50
75
Optimasi parameter RF RF merupakan kombinasi sejumlah k pohon keputusan
(classification and regression tree/CART) non-parametrik. Pohon keputusan mirip
dengan hirarki, yang terdiri dari simpul akar, termasuk seluruh contoh, simpul
pemisah yang memiliki aturan keputusan dan simpul daun akhir, yang
merepresentasikan kelas-kelas yang diinginkan. RF menggabungkan metode
bagging (bootstrap aggregating) (Breiman 1996) dan pemilihan fitur secara acak
(random feature selection) untuk membangun pohon keputusan dengan varian yang
terkontrol. Pemilihan mayoritas mengkombinasikan hasil dari pohon keputusan k,
dalam menghasilkan klasifikasi akhir. Setiap pohon pada RF dilatih menggunakan
34
subset data latihan yang dipilih secara acak (sekitar sepertiga dari jumlah data).
Data latihan lainnya, dinamakan out-of-bag (OOB), mampu melakukan validasi
silang seperti melakukan uji akurasi melalui estimasi kesalahan OOB. Aturan
pemisahan RF berdasarkan sebuah subset m dari seluruh fitur n, nilai m ditentukan
oleh pengguna m < n (Breiman 2001)
Parameter RF yang diuji adalah jumlah maksimum kedalaman pohon (depth),
jumlah minimum sampel setiap simpul (minimum number of sample per
node/sample), dan jumlah maksimal pohon (max tree number/tree) (Tabel 12)
Pengujian mengikutkan nilai parameter segmentasi terbaik. Sebelum teknik
klasifikasi diterapkan, dilakukan pengujian terhadap beberapa parameter
pembangkit objek (segmentasi) dan parameter algoritma RF. Optimasi hanya
dilakukan terhadap IIL M8 dan hasilnya diterapkan pada IIL M7, M8, M9 dan M10.
Sementara IIL M1, M2, M3, M4, M5 dan M6 parameter yang digunakan mengacu
pada penelitian yang dilakukan oleh Jhonnerie et al. (2015b).
Tabel 12 Nilai-nilai parameter algoritma RF yang diujikan
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Depth
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
20
50
100
200
500
1000
Parameter
Node
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
20
50
100
200
500
1000
Tree
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
35
Komposisi layer/band
Res. spasial
M1
PALSAR
HH
HV
M2
SENTINEL-1
VV
VH
M3
L5
IMD
M4
L5 + PALSAR
IMD
HH
HV
M5
L5
IMD
IMM
IMJ
M6
L5 + PALSAR
IMD
IMM
IMJ
M7
S6
IMD
M8
S6 + SENTINEL-1
IMD
VV
VH
5; 10
M9
S6 + Pan
IMD
M10
S6 + Pan + SENTINEL-1
IMD
VV
VH
5; 10
12.5
10
30
30; 12.5
30
HH
HV
30; 12.5
5
5
Keterangan: B: Biru; H: Hijau; M: Merah; IMD: Inframerah dekat; IMM: Inframerah tengah; IMJ:
Inframerah jauh; HH: Horisontal-horisontal; HV: Horisontal-vertikal; VV: Vertikal-vertikal; VH:
Vertikal-horisontal. Res. Spasial: resolusi spasial citra yang digunakan
Fitur atribut Fitur atribut merupakan sekumpulan nilai yang berasal dari
spektral segmentasi dari setiap IIL yang digunakan. Nilai tersebut dapat berupa nilai
statistik dasar seperti rata-rata, minimum, maksimum, standar deviasi. Nilai fitur
atribut dapat berasal dari fungsi customize. Penelitian ini menggunakan fitur
customize NDVI dan NDWI dan beberapa fitur statistik lainnya (Tabel 14).
Tabel 14 Fitur objek yang digunakan sebagai parameter dalam klasifikasi RF
Fitur atribut
No
Input model
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M8
M9
M10
Customize
NDVI
NDWI
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
SD
MDN
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
Keterangan: M: rata-rata, Sd: standar deviasi, MDN: mean different to neighbour; +: menggunakan;
-: tidak menggunakan.
Pohon proses Klasifikasi berbasis objek diatur pada dua tingkatan (level).
Tingkatan pertama diterapkan pada klasifikasi penutup lahan mangrove dan
tingkatan kedua klasifikasi komunitas mangrove. Kedua tingkatan dihubungkan
oleh sebuah hubungan induk dan anak (parent child relationship). Hubungan
tersebut membangun hirarki antara kelas mangrove terhadap komunitas mangrove.
Seluruh perintah klasifikasi berbasis objek dikelola oleh sebuah modul dengan
nama pohon proses (process tree) (Gambar 13). Pohon proses dapat terdiri dari satu
36
pohon atau lebih dari pohon induk (parent) dan setiap pohon induk dapat memiliki
lebih dari satu anak (child) dan setiap child dapat memiliki child turunannya, begitu
seterusnya. Parent dapat mengeksekusi proses yang ada di dalam atau di bawahnya,
sementara kemampuan child hanya terbatas pada algoritma yang ada di dalamnya.
Tidak ada ketentuan yang baku dalam pengembangan pohon proses ini, mengingat
eCognition Developer memiliki banyak algoritma yang dapat dikombinasikan satu
sama lainnya untuk mendapatkan objek yang diinginkan.
37
| 12 ( ) 1
( )
(14)
38
b
Gambar 14 Kurva reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan a. Citra
SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM. BA: badan air, KA:
kebun kelapa, KT: Kebun karet, LA: Lahan terbuka, LN: Lahan
terbangun, SK: Semak belukar, dan TI: Vegetasi transisi
Reflektansi kelas lahan dibangun (LN) dan lahan terbuka (LA) memiliki pola
yang sama. Kecenderungan reflektansi meningkat seiring dengan bertambah
panjangnya panjang gelombang dan menurun pada panjang gelombang IMM dan
IMJ namun dengan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas penutup
lahan KT, KA, ME SK dan TI. Reflektansi kelas badan air (BA) memiliki pola yang
berbeda dengan kelas lainnya, nilai reflektansinya cenderung lebih rendah
dibandingkan dengan kelas penutup lahan lainnya. Panjang gelombang biru
memiliki reflektansi air paling tinggi dibandingkan panjang gelombang lainnya.
Kecenderungan reflektansi air menurun seiring dengan bertambahnya panjang
gelombang.
Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa reflektansi spektral Citra SPOT
6 merupakan faktor penentu kelas penutup lahan (r2=69.51%) sedangkan reflektansi
spektral citra Landsat 5 TM lebih baik lagi (r2=77.97%). Berdasarkan tabel analisis
39
sidik ragam kedua citra diperoleh nilai F hitung SPOT 6 (4.7874); Landsat 5 TM
(10.3242), keduanya lebih besar dari pada F tabel, maka hasil analisis ini menolak
hipotesis nol dan menerima hipotesis alternatif bahwa ada perbedaan reflektansi
spektral masing-masing citra. Selanjutnya dalam analisis ini dapat dinyatakan
terdapat 1 dari rata-rata reflektansi spektral yang berbeda nyata pada taraf 95% (p
<0.05).
Hasil analisis Duncan menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok reflektansi
spektral yaitu kelompok spektral tampak (Band 1, 2 dan 3) yang tidak berbeda nyata
dan kelompok spektral beda nyata dengan spektral lainnya yaitu IMD. Spektral
tersebut dapat dijadikan sebagai penciri Citra SPOT 6, sementara citra Landsat
terdapat tiga kelompok spektral yaitu kelompok reflektansi spektral Band 1, 2, 3
dan 6 berbeda nyata terhadap Band 5 dan berbeda nyata terhadap Band 4.
Reflektansi spektral permukaan kelas penutup lahan dari citra SPOT 6
dikelompokan menjadi tiga, yaitu kelompok lahan dibangun (LN), sementara kelas
mangrove (ME) memiliki karakter reflektansi spektral yang sama dengan kelas
penutup lahan kebun karet (KT), kebun kelapa (KA), vegetasi transisi (TI) dan
lahan terbuka (LA), kelompok lainnya adalah badan air (BA) dan semak belukar
(SK). Karakteristik spektral citra Landsat 5 TM sedikit berbeda, terdiri dari:
kelompok lahan terbangun (LN), semak (SK), kebun karet (KT) dan lahan terbuka
(LA), kelas mangrove memiliki karakteristik reflektansi spektral yang sama dengan
vegetasi transisi (TI) dan kebun kelapa (KA), sedangkan badan air memiliki
karakteristik yang berbeda dengan penutup lahan lainnya.
Reflektansi spektral vegetasi merupakan fungsi optik jaringan (daun, batang
kayu) atribut biofisik kanopi (daun, orientasi daun dan gerombolan daun),
reflektansi daun, kondisi pencahayaan dan posisi geometri. Penginderaan jauh
vegetasi tergantung dari ekosistem (padang rumput, semak belukar, hutan) yang
diamati. Struktur atribut ekosistem menentukan kontribusi relatif reflektansi
spektral, yaitu daun, kanopi dan penutup lahan (Asner 1998). Molekul yang
menyerap panjang gelombang tampak (350-700 nm) dinamakan pigmen. Puncak
reflektansi pada gelombang tampak berada pada panjang gelombang hijau biasanya
10-20 %, sementara reflektansi rendah berada spektrum gelombang biru dan merah
sekitar 2-5 %. Daun hijau yang sehat, reflektansi inframerah dekat bertambah secara
dramatis pada spektrum 700-1200 nm. Reflektansi dapat mencapai 76% dan
menyerap panjang gelombang biru dan merah secara efisien, karena digunakan
untuk fotosintesis. Komponen yang mengatur jumlah reflektansi inframerah dekat
adalah lapisan spongi mesofil, layer ini berada di bawah layer palaside. Reflektansi
inframerah dekat dapat mencapai 40-60 % dan penyerapan hanya sekitar 5-10%
(Jensen 2007).
Reflektansi spektral permukaan komunitas mangrove Reflektansi spektral
komunitas mangrove disajikan pada Gambar 15. Pola reflektansi komunitas
mangrove mirip dengan pola reflektansi spektral vegetasi yang telah dijelaskan
pada reflektansi vegetasi penutup lahan. Kurva reflektansi spektral menyajikan
seluruh kelas yang dihasilkan dari pengembangan skema klasifikasi.
Hasil analisis sidik ragam menyatakan bahwa terdapat korelasi yang kuat
antara reflektansi spektral terhadap kelas komunitas mangrove. Citra SPOT 6 dapat
menentukan hubungan tersebut sebesar 99.81% sementara Citra Landsat 5 TM
sebesar 99.65%. Berdasarkan tabel analisis sidik ragam diperoleh nilai F hitung
lebih besar (629.18 (SPOT 6) dan 404.72 (Landsat 5 TM) dari pada F tabel
40
(0.0001), maka hasil analisis ini menolak hipotesis awal dan menerima hipotesis
bahwa ada perbedaan reflektansi spektral masing-masing citra. Selanjutnya dalam
analisis ini dapat dinyatakan terdapat 1 dari rata-rata reflektansi spektral yang
berbeda nyata pada taraf 95% (p <0.05).
b
Gambar 15 Kurva reflektansi spektral komunitas mangrove di Sungai Kembung.
a.Citra SPOT 6 multispektral dan b. Citra Landsat 5 TM
Uji Duncan menyatakan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata reflektansi
spektral citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM. Citra SPOT 6 menyatakan bahwa setiap
spektral band Citra SPOT 6 berbeda nyata satu sama lainnya, sementara pada citra
Landsat 5 TM terdapat empat kelompok pembeda yaitu band IMD; IMM; kelompok
band hijau, merah, biru; dan kelompok IMJ, sementara tidak ada perbedaan nyata
respon reflektansi spektral permukaan di antara tiga kelas komunitas mangrove
pada kedua citra satelit yang digunakan.
Vaiphasa et al. (2005), menyatakan bahwa pigmen daun (klorofil dan
karotenoid) mangrove yang berinteraksi pada panjang gelombang tampak (380-759
nm) kurang memberikan pengaruh terhadap diskriminasi spesies mangrove
41
dibandingkan dengan respon spektral komponen daun lainnya (garam, gula, air,
protein, lignin, selulosa dan struktur daun) yang berinteraksi dengan energi
elektromagnetik pada panjang gelombang yang lebih panjang. Wang dan Sousa
(2009) menambahkan bahwa panjang gelombang yang paling penting dalam
mendiskriminasi spesies mangrove berada pada panjang gelombang inframerah
dekat plateau dari 780-810 nm dan perbandingan panjang gelombang shortwave
infrared (SWIR) yaitu pada panjang gelombang 1490, 1560 dan 1580 nm, juga
mampu meningkatkan pemisahan spesies mangrove, khususnya spesies A.
germinans, L. racemosa dan R. mangle.
Separabilitas Uji separabilitas dilakukan terhadap penggunaan seluruh band
SPOT 6 dan Landsat 5 TM dan harus memisahkan sebanyak 28 pasangan kelas
penutup lahan (Tabel 15). Hasil seperabilitas citra SPOT 6 mampu memisahkan 21
pasang kelas penutup lahan. Tujuh pasang kelas yang tidak bisa dipisahkan terdiri
dari KA-KT, KA-ME, KA-TI, KT-TI, LA-LN serta ME-TI. Spektral kelas
mangrove masih dipengaruhi oleh dua kelas lainnya yaitu KA dan TI. Sementara
citra Landsat TM tidak mampu memisahkan 6 pasangan kelas yaitu BA-KA, KAKT, KA-SK, KA-TI, LA-LN, ME-TI serta SK-TI. Kelas mangrove hanya
dipengaruhi oleh kelas vegetasi transisi saja. Pemisahan kelas mangrove citra
Landsat 5 TM lebih baik dibandingkan citra SPOT 6.
Pasangan kelas yang memiliki keterpisahan paling rendah oleh kedua citra
adalah kelas lahan terbuka dan lahan dibangun. Beberapa lahan terbuka di lokasi
penelitian berupa tanggul yang telah lama mengering dan tidak ditumbuhi lagi oleh
vegetasi dan beberapa objek lahan dibangun, khususnya jalan (dibangun oleh beton)
telah mengalami kerusakan sehingga memungkinkan terjadi kemiripan spektral
permukaan pada kedua kelas tersebut. Secara umum separabilitas Citra Landsat 5
TM lebih baik dibandingkan Citra SPOT 6. Nilai rata-rata separabilitas citra SPOT
6 berada pada status tidak dapat dipisahkan (1.856) dan Citra Landsat 5 TM dengan
status dapat dipisahkan (1.922).
Perbedaan jumlah spektral yang dimiliki Citra SPOT 6 dan Landsat 5 TM,
berpengaruh terhadap pemisahan kelas komunitas mangrove terutama pada
spektrum inframerah. Spektrum inframerah sangat berperan dalam
mendiskriminasi objek vegetasi pada permukaan citra (Jensen 2005; Richards
2013). Selain itu dinyatakan juga bahwa penggunaan lebar spektrum yang berbeda
pada panjang gelombang elektromagnetik yang sama juga akan menghasilkan
akurasi yang berbeda. Mengingat sensitifitas objek permukaan terhadap panjang
gelombang juga berbeda (Gao 1999; Wang et al. 2004b).
Kemiripan spektral mangrove dengan kebun kelapa dan vegetasi transisi
sangat mungkin terjadi, ketiga kelas tersebut berada pada daerah yang berdekatan,
berdasarkan topologi spasial maka ketiga kelas tersebut berbatasan (adjacent).
Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa dibeberapa lokasi tumbuhnya
mangrove yang dijumpai di lapangan merupakan bekas kebun kelapa dan kemiripan
pengaruh ekologi seperti pasang surut memberikan kesempatan kemiripan spektral
di antara kedua kelas penutup lahan tersebut. Begitu juga halnya dengan kelas
vegetasi transisi, selain itu kelas vegetasi transisi dibangun oleh vegetasi mangrove
ikutan.
42
Tabel 15 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas penutup lahan. Pasangan
angka 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan
Kelas BA
KA
SPOT 6
BA
2.000
KA
KT
LA
LN
ME
SK
TI
Landsat 5 TM
BA
2.000
KA
KT
LA
LN
ME
SK
TI
KT
LA
LN
ME
SK
TI
2.000
1.518
1.899
1.942
1.998
1.972
1.971
1.989
1.488
2.000
1.684
1.968
1.997
1.992
2.000
1.951
1.994
2.000
1.999
1.999
2.000
0.949
1.761
1.995
1.986
0.976
1.952
2.000
1.899
1.995
1.935
2.000
1.996
1.955
1.986
1.180
2.000
1.973
2.000
1.999
1.999
2.000
1.820
1.910
2.000
1.982
1.993
2.000
1.547
1.997
1.997
1.992
1.892
1.772
43
Tabel 16 Matrik nilai jarak J-M antara pasangan kelas komunitas mangrove.
Pasangan angka 1.90 menunjukkan dapat dipisahkan Jarak J-M antara
pasangan komunitas mangrove.
Ra
SPOT 6
Ra
Xg
La
Landsat 5 TM
Ra
Xg
La
Xg
LA
0.915
0.518
0.607
1.011
0.517
0.814
44
45
c
Gambar 17 Pengaruh scale terhadap akurasi keseluruhan dan jumlah objek yang
dihasilkan. a. shape 0.1 dan compactness 0.9, b. shape 0.5 dan
compactness 0.5, c. shape 0.9 dan compactness 0.1
46
Optimasi Parameter RF
Pengaruh parameter algoritma RF terhadap akurasi disajikan oleh Gambar 18.
Penggunaan nilai parameter dengan nilai default (0, 0 dan 50 untuk depth, sample
dan tree) menghasilkan nilai akurasi sebesar 75.2%. Nilai akurasi turun drastis
menjadi 15.5%, ketika parameter depth menggunakan nilai 1, dan naik kembali
seiring dengan bertambahnya nilai depth. Nilai akurasi mencapai kestabilan pada
nilai depth, 20-1000. Penggunaan nilai sample 1-10 menghasilkan nilai akurasi
yang berfluktuasi rendah antara 0.1-2.8% dengan Nilai akurasi berkisar 75.280.0%. Penggunaan nilai sample yang lebih besar dari 10 cenderung menurunkan
nilai akurasi. Peningkatan jumlah pohon yang digunakan relatif tidak meningkatkan
akurasi klasifikasi. Akurasi tertinggi diperoleh melalui 100 pohon klasifikasi, nilai
lainnya menghasilkan akurasi dengan flktuasi yang kecil dan cenderung stabil.
Meskipun pernah dilaporkan oleh Clifton (2005) bahwa kestabilan hasil dapat
diperoleh melalui 50-100 jumlah pohon, namun dalam penelitian nilai stabil
diperoleh 200 pohon.
47
Berbasis Piksel
M1
M2
Keterangan
48
Berbasis objek
Berbasis Piksel
M3
M4
M5
M6
Keterangan
Gambar 19 Lanjutan
49
Berbasis objek
Berbasis Piksel
M7
M8
M9
M10
Keterangan
Gambar 19 Lanjutan
Klasifikasi berbasis objek memetakan penutup lahan lebih baik dibandingkan
klasifikasi berbasis piksel, untuk seluruh IIL kecuali M2. Peningkatan akurasi
keseluruhan dijumpai dari 1% hingga 24.5%. Khusus kelas mangrove, IIL SAR
menggunakan klasifikasi berbasis objek menghasilkan akurasi pengguna <85%,
sementara IIL lainnya >85%. Berbeda dengan klasifikasi berbasis piksel hanya satu
IIL yang mampu menghasilkan akurasi IIL > 85% yaitu M6, sebesar 88.4%. IIL
lainnya menghasilkan akurasi pengguna <85%. Merujuk Congalton dan Green
50
(2009) pemetaaan penutup lahan melalui kedua klasifikasi yang tidak mencapai
tingkat memuaskan (>85%). IIL tersebut tidak dilanjutkan pada pemetaan
komunitas mangrove (Level 2) pada kedua teknik klasifikasi.
Kemiripan spektral antara kelas penutupan lahan tidak dapat dihindari oleh
kedua teknik klasifikasi, khususnya pada kelas-kelas penutup lahan yang memiliki
heterogenitas tinggi. Masih ditemukan tumpang tindih spektral antar kelas.
Penambahan data SAR pada IIL M4 mampu mengurangi kesalahan klasifikasi pada
kedua teknik klasifikasi. Peningkatan jumlah resolusi spasial pada M5 dan M6
menggunakan teknik klasifikasi berbasis objek mampu mengurangi jumlah
kesalahan klasifikasi dan kehadiran efek salt and pepper dibandingkan teknik
klasifikasi berbasis piksel, hal yang sama juga dilaporkan oleh Whiteside et al.
(2011). Jhonnerie et al. (2015a) menambahkan bahwa algoritma RF yang
diterapkan pada klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu menekan kehadiran
efek tersebut dibandingkan algoritma ML yang diterapkan pada klasifikasi berbasis
piksel.
Penggunaan data SAR (M1 dan M2) sebagai IIL dalam klasifikasi penutup
lahan menghasilkan distribusi kelas penutup lahan acak dan hampir tidak berpola,
selain kelas badan air. Hambur balik badan air dikenali dengan nilai yang lebih
rendah dibandingkan kelas penutup lainnya. Hal tersebut karena pengaruh pantulan
spekular permukaan air. Kesalahan klasifikasi (misclassification) menggunakan
input SAR menghadirkan efek salt and pepper pada kedua teknik klasifikasi. Efek
tersebut hadir pada perekaman data SAR yang diakibatkan oleh pengaruh banyak
pantulan (multiple bounce scattering) akibat variasi kekasaran permukaan objek
dan perbedaan jarak perjalanan kembali gelombang dari berbagai target ke sensor
(Qiu et al. 2004), meskipun filter lokal adaptif telah diterapkan namun pengaruh
derau (noise) masih mempengaruhi hasil klasifikasi, walaupun telah menggunakan
algoritma klasifikasi RF.
Data SAR sebagai IIL menghasilkan akurasi lebih rendah dibandingkan IIL
lainnya. Akurasi keseluruhan dan akurasi pemetaan kelas mangrove (Tabel 17)
terendah dihasilkan oleh M2 pada kedua klasifikasi, 26.3% berbasis objek dan
29.0% berbasis piksel, 28.8% dan 35.8% untuk akurasi pengguna kelas mangrove.
Pemetaan mangrove menggunakan IIL SAR umumnya menghasilkan akurasi yang
lebih rendah dibandingkan dengan IIL lainnya (Held et al. 2003). Kemampuan
ALOS PALSAR (M1) lebih baik memetakan penutup lahan dibandingkan
SENTINEL-1 (M2). Menurut Takeuchi dan Ohuro (2003) band-C SAR (Earth
Resource Satellite/ERS) memiliki akurasi produser (PA) dan pengguna (UA) lebih
rendah dalam memetakan hutan lahan basah dibandingkan hutan kelas penutup
lahan lainnya, sementara band-L SAR (Japan Earth Resource Satellite -1/JERS)
menghasilkan klasifikasi lebih baik. Perbedaan tersebut diakibatkan bedanya
panjang gelombang dan kemampuan panjang gelombang berinteraksi terhadap
vegetasi (Rosen et al. 1996). Proisy et al. (2000) menambahkan bahwa parameter
polarimetrik Band-L memiliki korelasi linear lebih baik terhadap parameter
mangrove (kerapatan pohon, basal area, tinggi pohon dan dBH), koefisien hambur
balik Band-L terhadap biomasa mangrove, dibandingkan dengan Band-C.
Penambahan data SAR (ALOS PALSAR dan SENTINEL-1) telah banyak
diterapkan di berbagai aplikasi penginderaan jauh dengan tujuan untuk
meningkatkan akurasi klasifikasi. Penambahan data SAR secara umum
meningkatkan akurasi klasifikasi. Kecuali pada penambahan data SENTINEL-1.
51
PA
UA
OA
75.3
50.5
90.8
92.0
97.3
96.5
88.5
89.5
88.7
88.8
60.3
28.8
81.8
85.1
90.1
91.7
86.1
85.5
87.6
86.1
51.2
26.3
73.4
75.4
80.2
81.6
76.9
78.3
80.3
78.8
0.393
0.104
0.665
0.689
0.749
0.766
0.696
0.716
0.741
0.722
74.3
52.9
91.1
97.9
100
98.2
86.6
87.2
80.2
79.6
45.5
35.8
59.5
77.7
79.3
88.4
74.2
72.4
62.4
57.9
44.4
29.0
60.8
74.4
75.8
80.2
65.2
62.2
55.8
54.4
0.332
0.127
0.526
0.683
0.700
0.751
0.556
0.523
0.447
0.434
Keterangan: PA: akurasi produser; UA: akurasi pengguna; OA: akurasi keseluruhan; K: statistik
Kappa
Peningkatan resolusi spasial dari 30 meter menjadi 6 dan 1.5 meter tidak
berperan sepenuhnya dalam peningkatan akurasi klasifikasi. Peningkatan tersebut
meningkatkan nilai variasi data setiap kelas. Jika suatu sampel dengan ukuran 3x3
piksel citra Landsat 5 TM maka varian yang dimilikinya lebih rendah dibanding
dengan sampel Citra SPOT 6, dengan ukuran sampel 15x15 piksel, begitu juga pada
citra SPOT 6 yang telah ditingkatkan lagi resolusi spasialnya menjadi 1.5 m. Gao
(1999) dan De Laet et al. (2009) menyatakan bahwa sensor dengan resolusi spektral
yang lebih tinggi mampu memetakan mangrove lebih detail dibandingkan sensor
yang memiliki resolusi spasial yang lebih baik. Meskipun Citra Landsat 5 TM dan
52
53
523.7 hektar (M8-M10) dipengaruhi oleh bedanya sensor, IIL dan fitur atribut yang
digunakan.
Tabel 18 Nilai uji Z terhadap perbandingan IIL klasifikasi berbasis objek terhadap
berbasis piksel. Nilai-nilai yang dihitamkan mengindikasikan perbedaan
signifikan
Berbasis piksel
IIL
M1
M2
Berbasis objek
M3
M4
M1
M2
M3
M4
M5
M6
M7
M8
M9
M10
1.65
8.43
-3.55
-7.75
-8.19
-9.54
-5.15
-4.09
-1.71
-1.28
-0.85
-12.73
-17.46
-17.96
-19.48
-17.08
-15.81
-12.97
-12.46
3.70
-0.49
-0.94
-2.29
3.43
4.50
6.87
7.30
0.16
-0.29
-1.64
4.20
5.27
7.64
8.07
1.32
-0.03
6.11
7.17
9.55
9.97
0.41
6.62
7.69
10.07
10.49
5.69
7.06
10.13
10.68
7.90
10.97
11.52
11.97
12.52
M5
M6
M7
M8
M9
M10
11.77
Keterangan: Nilai positif menyatakan IIL baris berbeda signifikan terhadap IIL kolom, begitu juga
sebaliknya
Berbasis objek
2642.80
1591.00
2926.20
2970.00
3025.50
2990.40
3625.60
3562.30
3679.70
3544.20
Berbasis piksel
1919.80
2157.10
2281.90
2610.60
2635.60
2892.90
3328.10
3299.30
3144.60
2929.30
Selisih
723.00
566.10
644.30
359.40
389.90
97.50
297.50
263.00
535.10
614.90
54
M4 (berbasis objek)
Keterangan
M5 (berbasis objek)
55
M6 (berbasis objek)
M6 (berbasis piksel)
M7 (berbasis objek)
M8 (berbasis objek)
Gambar 21 Lanjutan
Komunitas Ra terdiri dari spesies penyusun yaitu Rhizophora apiculata dan
Lumnitzera racemosa. Kontribusi R. apiculata dalam membangun komunitas
sebesar 98.72% sedangkan sisanya berasal dari L. racemosa. Komunitas ini
dijumpai pada 25 plot transek. R. apiculata dijumpai di belakang S. alba dan A.
alba di daerah pantai sebagai bagian mangrove terbuka. R. apiculata dapat dijumpai
di formasi belakang (daratan), yang berbatasan dengan tumbuhan daratan.
Sementara L. racemosa dijumpai di daerah bagian belakang yang hampir
berbatasan dengan vegetasi daratan (Noor et al. 2006).
Komunitas Xg merupakan komunitas mangrove dominan di Sungai
Kembung. Komunitas ini terdiri dari 10 spesies penyusun. X. granatum
berkontribusi paling besar (86.75%), sementara 9 spesies lainnya yang
berkontribusi adalah B. cylindrical, B. gymnorhiza, B. hainesii, C. tagal, E.
56
PA
Ra
UA
Xg
Ra
Xg
OA
35.3
33.3
43.8
22.2
27.3
18.2
42.9
84.6
83.7
85.4
80.9
86.7
84.4
83.7
50.0
36.4
53.8
22.2
37.5
37.5
27.3
75.0
81.8
79.5
84.4
86.7
88.9
91.1
69.6
72.7
73.7
71.4
75.0
76.8
78.6
23.1
86.4
33.3
79.2
72.0
57
Ra
1057.19
1092.08
1006.55
726.76
417.46
552.78
462.77
Xg
1912.81
1933.42
1983.85
2898.84
3144.84
3126.92
3081.43
Ra
n/a
n/a
696.9
n/a
n/a
n/a
n/a
Xg
n/a
n/a
2195.97
n/a
n/a
n/a
n/a
Simpulan
Spektral penciri pada Citra SPOT 6 adalah band IMD sedangkan pada Citra
Landsat 5 TM adalah band IMD dan IMM. Karakteristik reflektansi mangrove
memiliki kemiripan dengan beberapa kelas penutup lahan lainnya yaitu kebun
kelapa (KA), vegetasi transisi (TI), kebun karet (KT) dan lahan terbuka (LA).
Reflektansi spektral tiga kelas komunitas mangrove tidak memiliki repson spektral
yang berbeda nyata. Kemampun pemisahan kelas melalui analisis separabilitas citra
Landsat 5 lebih baik dibandingkan kemampuan Citra SPOT 6. Citra SPOT 6 tidak
mampu memisahkan tujuh kelas pasangan penutup lahan sedangkan Citra Landsat
5 TM tidak mampu memisahkan enam kelas penutup lahan. Ketiga kelas komunitas
mangrove tidak dapat dipisahkan oleh kedua citra satelit.
Akurasi keseluruhan klasifikasi berbasis objek dari seluruh IIL yang
digunakan berkisar 51.2%-81.6% sedangkan klasifikasi berbasis piksel 29.0%80.2%. Algoritma RF mampu mereduksi kesalahan tersebut dibandingkan
algoritma ML. Hasil klasifikasi penutup lahan terbaik menggunakan klasifikasi
berbasis objek dan piksel diperoleh melalui IIL M6, meskipun demikian klasifikasi
58
berbasis objek mampu memetakan kelas penutup lahan dan komunitas mangrove
lebih baik dibandingkan klasifikasi berbasis piksel, dengan peningkatan akurasi
klasifikasi sebesar 1-24.5% pada klasifikasi penutup lahan dan 1.7% pada
komunitas mangrove. Teknik klasifikasi berbasis objek dan piksel mampu
mengidentifikasi seluruh kelas penutup lahan dan komunitas mangrove walaupun
masih dijumpai kesalahan klasifikasi yang mengakibatkan efek salt and pepper
pada kedua teknik klasifikasi.
Peningkatan resolusi spektral lebih penting dari pada peningkatan resolusi
spasial pada kasus pemetaan penutup lahan, meskipun peningkatannya tidak
signifikan pada klasifikasi berbasis objek namun sebaliknya pada klasifikasi
berbasis piksel. Penambahan data SAR sebagai IIL tidak seluruhnya meningkatkan
hasil klasifikasi, khususnya pada penambahan data C-band. Sementara pada
klasifikasi kelas komunitas mangrove peningkatan resolusi spasial meningkatkan
akurasi keseluruhan namun peningkatan tersebut tidak mempengaruhi peningkatan
akurasi PA dan UA kelas komunitas Ra.
Penggunaan klasifikasi berbasis objek merupakan teknik alternatif dalam
pemetaan penutup lahan dan komunitas mangrove, karena mampu meningkatkan
hasil klasifikasi dan secara teknis lebih efektif dan efisien untuk diterapkan
60
Metode
Data Citra Satelit dan Lapangan
Data yang digunakan adalah seri citra Landsat level 1T (Tabel 22), terdiri dari
Landsat 5 TM, Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI, path/row 127/59, diunduh dari
United State Geological Survey (USGS) Global Visualization View (GloVis)
melalui daring http://glovis.usgs.gov/
Tabel 22 Seri citra Landsat yang digunakan
No.
Seri Landsat
1
Landsat 5 TM
2
Landsat 7 ETM+
3
Landsat 5 TM
4
Landsat 8 OLI
Akuisisi
19 Juni 1996
3 Juli 2002
2 Februari 2010
17 Mei 2013
61
(15)
dimana V adalah nilai value yang baru, Vi adalah nilai interger kelas penutup lahan
kelas ke-i, 10 adalah faktor pengali dan x seri Citra Landsat ke-x yang merupakan
bilangan bulat positif dimulai dari 0. Selanjutnya nilai V seri penutup lahan
dijumlah untuk memprediksi perubahan penutup lahan mangrove, melalui
persamaan:
Vtot=V1996+V2002+V2010+V2013
(16)
Vtot adalah nilai penjumlahan V baru kelas penutup lahan tahun seri data Landsat.
Nilai Vtot terdiri dari empat digit, berkisar antara 1111 5555. Empat digit angka
yang sama mengindikasikan tidak terjadinya perubahan penutup lahan, sebaliknya
jika salah satu angka dari empat digit tersebut berbeda maka mengindikasikan telah
terjadi perubahan penutup lahan di lokasi penelitian. Matrik perubahan diterapkan
pada hasil klasifikasi 19962002, 2002 2010 dan 20102013.
62
63
OA
84.0%
82.6%
87.7%
88.4%
Kappa
0.78
0.76
0.83
0.84
Kesalahan omisi dan komisi diperkirakan kurang dari 10%. Beberapa hal
yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah penutup lahan yang berada di sekitar
mangrove menempati kawasan morfologi yang sama yaitu daerah pasang surut
(tidal flat) belakang mangrove. Oleh karena itu sulit untuk menghindari kemiripan
spektral saat pemilihan sampel objek dalam membangun aturan kelas yang spesifik
(Conchedda et al. 2008). Perbedaan waktu perekaman juga berkontribusi dalam
kesalahan klasifikasi, yang berpengaruh terhadap fluktuasi tinggi muka air yang
disebabkan oleh pasang surut untuk keempat data (Tabel 24)..
64
Tabel 24 Prediksi tinggi muka air (meter) berdasarkan waktu perekaman citra
satelit yang diperoleh dari stasiun Kuala Siak.
No. Citra Satelit
1
2
3
4
Landsat 5 TM
Landsat 7 ETM+
Landsat 5 TM
Landsat 8 LDCM
Waktu perekaman
Tanggal
Jam
6/19/1996
7/3/2002
2/2/2010
5/17/2013
09:35:50
10:11:03
10:13:41
10:24:48
Sumber: BlueChart Pacific v14 Tides untuk wilayah Singapura, Malaysia dan Indonesia. Simbol
positif (+) mengindikasikan kondisi perairan pada saat pasang.
Perubahan Mangrove
Sejak tahun 1996 hingga 2013, luas mangrove di Sungai Kembung bertambah
sebesar 1.7%, dengan rincian perubahan luas dari tahun 1996-2002 terjadi
penambahan luas mangrove sebesar 0.5%, dari tahun 2002-2010 terjadi penurunan
luas 1.4% dan dari tahun 2010 ke 2013 terjadi peningkatan sebesar 2.6% (Tabel 25)
Tabel 25 Estimasi luas penutup lahan (hektar)
Tahun Badan Air Vegetasi Lainnya Kebun
1996
714.3
1572.5
1566.0
2002
717.0
1726.0
1251.1
2010
719.7
1312.3
1586.1
2013
732.0
1034.1
1467.7
65
66
Gambar 23 Peta
perubahan
mangrove
(1996-2013),
warna
merah
mengindikasikan pengurangan mangrove, orange mengindikasikan
penambahan mangrove, warna hijau mengindikasikan mangrove yang
tidak berubah dan dan cyan merupakan objek vegetasi lainnya
Mangrove di Sungai Kembung berada pada status relatif stabil dengan
perkiraan laju penambahan tutupan mangrove hampir 1.7% antara tahun 1996 dan
2013. Bagaimana pun hal ini tidak menggambarkan kondisi yang sesungguh di
lapangan. Banyak ditemukan tekanan-tekanan pada tingkatan tertentu seperti
penebangan untuk kontruksi bangunan dan arang bakau serta pembukaan lahan
untuk jalan dan atau tanggul. Hasil perekaman citra satelit Landsat 5 TM tahun
1996 mengindikasikan mangrove di Sungai Kembung telah mengalami tekanan,
terlihat beberapa kawasan telah berubah menjadi lahan terbuka, dan tekanan
tersebut kian meningkat meskipun peningkatannya tidak begitu besar, yaitu 60.3
hektar pada tahun 2002, 84.2 hektar pada tahun 2010 dan 86.9 hektar pada tahun
2013. Diperkirakan tekanan tersebut telah berlangsung lebih lama, mengingat
praktek-praktek pemanfaatan langsung mangrove berupa kayu telah berlangsung
lama dan turun-temurun, khususnya pembuatan arang bakau oleh dapur arang
(panglong) yang umum dijumpai di sekitar kawasan mangrove di Pulau Bengkalis.
Hal tersebut diperkuat oleh Kusmana (2012) bahwa sejak tahun 1952, Bengkalis
telah dijadikan model pengelolaan mangrove di Indonesia yang dikenal dengan
istilah working plan.
Penebangan pohon mangrove untuk berbagai kepentingan seperti kayu bakar,
material bangunan dan jalan, bahan baku arang, sering dijumpai pada saat
pengecekan lapangan. Penebangan mangrove tidak hanya berakibat terhadap
hilangnya tutupan mangrove tapi yang lebih penting lagi adalah berubahnya
67
Simpulan
Luas mangrove di lokasi penelitian relatif stabil karena penambahan dan
pengurangan luas tutupan. Penambahan luas tutupan mangrove disebabkan oleh
penanaman mangrove oleh masyarakat lokal (kelompok pengelola mangrove) dan
pertumbuhan alami, sedangkan pengurangan luas tutupan mangrove disebabkan
oleh alih fungsi mangrove menjadi penutup lahan lainnya seperti lahan terbuka
akibat penebangan, permukiman, jalan, tanggul, dan tambak udang. Selama hampir
dua dekade, luas mangrove di Sungai Kembung berkurang sebesar 197.2 hektar,
bertambah seluas 251.1 hektar, dan tidak mengalami perubahan seluas 2904.9
hektar. Diperlukan dukungan serius seluruh pemangku kepentingan dalam
pengelolaan mangrove di Sungai Kembung untuk mempertahankan eksistensi dan
keberlangsungannya.
6 PEMBAHASAN UMUM
Mangrove merupakan sumberdaya penting dalam kehidupan manusia, kajiankajian berupa bio-ekologi, sosial ekonomi dan lainnya yang berkaitan dengan
mangrove akan berkembang dan dikembangkan guna mempertahankan eksistensi
mangrove itu sendiri. Inventarisir dan monitoring mangrove diperkirakan telah
berlangsung semenjak generasi pertama satelit penginderaan jauh dihadirkan dan
berlangsung hingga saat ini dan jumlahnya akan terus meningkat dan telah dibahas
oleh beberapa peneliti sebelumnya (Heumann 2011b; Kuenzer et al. 2011;
Suratman 2014)
Penelitian ini dirangkai oleh suatu proses klasifikasi yang dimulai dari
rancangan penentuan sampel di lapangan hingga uji akurasi, yang terdiri dari pra
pengolahan data, rancangan sampel, pengukuran dan pengamatan lapangan,
pengembangan skema klasifikasi komunitas mangrove, klasifikasi mangrove
berbasis objek dan penerapan teknik klasifikasi berbasis obyek untuk deteksi
perubahan mangrove.
Hasil analisis struktur vegetasi menyatakan bahwa mangrove di Sungai
Kembung dikategorikan sebagai kawasan yang baik dan sangat padat dan memiliki
jumlah jenis pohon mangrove (32 spesies) yang lebih banyak dibandingkan
ekosistem yang berada di sekitarnya. Jumlah tersebut digunakan untuk
mengelompokan jenis penyusun mangrove di Sungai Kembung, yaitu sebanyak 10
jenis dan berhasil mengelompokan sebanyak tiga kelas utama yaitu komunitas R.
apuculata (Ra), komunitas X. granatum (Xg). Kelompok-kelompok komunitas
tersebut dipengaruhi oleh beberapa jenis mangrove dominan seperti X. granatum,
R. apiculata, L. racemosa dan S. hydrophyllacea. Kelimpahan masing-masing jenis
memiliki kontribusi besar dalam penyusunan komunitas.
Pengelompokan komunitas mangrove menggunakan analisis gerombol dan
dibantu oleh persentase kemiripan (SIMPER) (Mumby dan Harborne 1999; Green
et al. 2000). Melalui analisis gerombol, komunitas dibangun melalui karakteristik
penyusun dihitung berdasarkan similaritas jarak Bray-Curtis. Seharusnya melalui
analisis gerombol dapat dikembangkan skema klasifikasi hirarki dengan tiga
tingkatan (hirarki), mulai dari tingkatan kasar, menengah dan detail. Namun
berdasarkan nilai similaritas Bray-Curtis yang digunakan (50%), telah dihasilkan
12 kelas komunitas komunitas mangrove di Sungai Kembung, namun mengingat
keterhubungan (dendogram) antar kelas yang telah diputuskan melalui tingkat
kemiripan tersebut maka hirarki pada tingkatan yang lebih rendah (menengah dan
kasar) tidak dapat dikembangkan. Kelas-kelas yang dihasilkan memungkinkan
hadir dengan jumlah anggota kelas yang sedikit dan tidak dapat diterapkan dalam
aplikasi penginderaan jauh. Hal tersebut berdampak terhadap berkurangnya jumlah
kelas komunitas mangrove yang digunakan. Solusi lain dalam permasalahan ini
adalah membagi kelas-kelas dengan jumlah anggota yang lebih sedikit tersebut dan
digabungkan menjadi satu kelas komunitas, meskipun konsekuensi kemiripan
komponen penyusun menjadi lebih rendah.
Green et al. (2000) merekomendasikan bahwa skema klasifikasi yang baik
harus dapat diartikan dengan mudah dan tidak ambigu. Skema harus didefinisikan
secara objektif dan semi kuantitatif atau kuantitatif. Sebuah penjeasan yang mampu
mengkarakteristik dan memisahkan di antara skema tersebut dan ditambahkannya
69
lagi bahwa skema klasifikasi yang telah dikembangkan melalui penelitian ini
disarankan untuk dievaluasi secara berkala, seiring dengan perkembangan
ekosistem mangrove di Sungai Kembung. Pada akhirnya komunitas mangrove yang
dibangun telah mewakili komunitas mangrove di Sungai Kembung.
Citra multispektral tidak cukup baik membedakan mangrove di tingkat
spesies (Ajithkumar et al. 2008), bahkan dengan citra hiperspektral pun masih
dijumpai kesulitan dalam memisahkan spesies mangrove (Vaiphasa et al. 2005;
Wang dan Sousa 2009). Namun penggunaan penamaan objek permukaan pada
hirarki yang lebih rendah lagi seperti spesies dominan (Wang et al. 2004b;
Vaiphasa et al. 2006). Karakteristik reflektansi spektral komunitas mangrove di
Sungai Kembung masih belum mampu dipisahkan oleh citra SPOT 6 dan
LANDSAT 5 TM. Kemiripan spektral yang dipengaruhi oleh banyak faktor
reflektansi spektral kanopi seperti air dan sedimen (Ajithkumar et al. 2008;
Kuenzer et al. 2011) serta ditambahkan lagi oleh (Vaiphasa et al. (2005)) berupa
pengaruh fluktuasi energi matahari, perubahan harian kondisi atmosfer, pengaruh
formasi kanopi, resolusi spasial dan spektral. Penentuan posisi sampel yang tepat
dan tepat di lapangan serta merepresentasikannya pada piksel citra yang digunakan.
Sebagai tawaran dalam penelitian ini adalah menerapkan teknik klasifikasi yang
lebih maju, melalui teknik klasifikasi berbasis objek dan algoritma klasifikasi RF
dapat membantu meningkatkan pemisahan antar kelas skema klasifikasi yang
diterapkan.
Teknik klasifikasi yang diterapkan dalam penelitian ini merupakan gabungan
teknik segmentasi citra satelit (berbasis objek) dan pendekatan klasifikasi
terbimbing dengan algoritma tertentu (umumnya machine learning). Pendekatan ini
merupakan salah satu kemampuan yang dimiliki oleh aplikasi yang digunakan.
Segmentasi merupakan proses membangun objek berdasarkan IIL berdasarkan
derajat kemiripan atau ketidakmiripan. Hasil segmentasi dipengaruhi oleh beberapa
parameter yaitu: i) bobot (weight) IIL, setiap IIL dapat diberikan bobot yang
berbeda dalam membangun objek. ii) Scale, merupakan sebuah nilai ambang batas
yang mempengaruhi ukuran objek, scale dipengaruhi oleh shape, merupakan
pengaruh nilai spektral yang dimiliki oleh masing-masing IIL dan compactness,
merupakan kekompakan objek yang dihasilkan. Kombinasi keempat parameter
tersebut sangat banyak, diperlukan acuan tertentu untuk memperoleh nilai-nilai
optimum segmentasi. Penentuan nilai dilakukan dengan melakukan beberapa
percobaan (trial and error) dari kombinasi parameter (de Santiagoa et al. 2013).
Metode lain yang ditawarkan oleh Drgu et al. (2010) adalah estimation of scale
parameter. Metode ini menentukan derajat kemiripan berdasarkan varian lokal
dalam suatu scene. Nilai ambang batas tingkat perubahan varian lokal menunjukkan
tingkat skala dimana IIL dapat dibangi dengan cara yang tepat, relatif terhadap sifat
data ditingkat kejadian.
Algoritma RF mampu mereduksi pengaruh salt and pepper dari hasil
klasifikasi penutup lahan mangrove dibandingkan algoritma ML. Hal tersebut
memperkuat penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Jhonnerie et al. (2015a)
dan Jhonnerie et al. (2015b). Meskipun pemetaan penutup lahan mangrove dapat
dilakukan dengan baik melalui algoritma RF namun beberapa permasalahan masih
dijumpai, seperti masih dijumpai kesalahan pengkelasan objek (misclassification)
penutup lahan mangrove oleh algoritma RF. Tiga kelas penutup lahan lainnya yang
selalu hadir pada validasi kelas mangrove adalah transisi, badan air dan lahan
70
Ketidakpastian Penelitian
Ketidakpastian dapat diartikan sebagai minimnya pengetahuan (Atkinson dan
Foody 2006). Dungan (2006) mengartikan ketidakpastian adalah pernyataan
kuantitatif terhadap kemungkinan kesalahan. Ketidakpastian dapat hadir dari
berbagai sumber mulai dari pengabaian pengukuran hingga prediksi.
Ketidakpastian dapat mempengaruhi tingkat ketelitian produk yang dihasilkan pada
tingkatan tertentu dalam penelitian ini. Secara teknis sumber ketidakpastian dapat
berasal dari pra pengolahan data (Mahiny dan Turner 2007), pengukuran dan
pengamatan lapangan (Ahmed et al. 2013) dan analisis data (Rocchini et al. 2013).
Dungan (2006) menyatakan bahwa pengurangan ketidakpastian menyiratkan
kemajuan namun peningkatan ketidakpastian juga menyiratkan kemajuan
pemahaman.
Dungan (2006) memberikan contoh koreksi atmosferik (proses merubah nilai
digital menjadi nilai reflektansi permukaan) sebagai ketidakpastian dalam pra
pengolahan data. Model matematis yang digunakan dalam koreksi atmosferik
menghasilkan nilai underestimate (kurang dari 0) dan overestimate (lebih dari 1)
pada obyek permukaan seperti badan air, lahan terbuka dan vegetasi. Mahiny dan
Turner (2007) menyatakan hasil koreksi tersebut merupakan anomali koreksi
atmosferik.
Model aerosol [1], [2], dan [3] (Gambar 24), menghasilkan nilai negatif
(underestimate) pada objek badan air, lahan terbuka dan vegetasi. Khusus pada
reflektansi vegetasi (Gambar 24.c) ketiga model memprediksi nilai reflektansi yang
melebihi nilai seharusnya (overestimate). Model aerosol [4] menyajikan hasil nilai
reflektansi spektral yang lebih rasional, meskipun masih dijumpai piksel yang
memiliki nilai negatif khususnya pada objek badan air pada panjang gelombang
inframerah dekat, tengah dan jauh. Anomali tersebut dapat terjadi akibat nilai
parameter aerosol yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, meskipun
demikian hasil koreksi tersebut mampu meningkatkan akurasi pemetaan (Mahiny
dan Turner 2007). Penelitian ini tidak melakukan pengujian terhadap hasil akurasi
pemetaan dengan dan tanpa koreksi atmosferik.
71
c
Gambar 24 Kurva reflektansi spektral permukaan dari beberapa objek (a. badan air,
b. lahan terbuka dan c. vegetasi) dari empat percobaan model aerosol.
Lingkaran merah mengindikasikan anomali koreksi atmosferik
Nilai reflektansi spektral permukaan yang dihasilkan melalui koreksi
atmosferik tidak dapat divalidasi, meskipun nilai-nilai reflektansi spektral yang
dihasilkan berada pada rentang acuan reflektansi yang telah ada.. Pustaka digital
spektral yang disediakan oleh ENVI EXELIS tidak dapat dijadikan acuan
mengingat pustaka digital tersebut merupakan referensi yang berasal dari
komponen penyusun yang berbeda dengan obyek permukaan di lokasi penelitian,
selain itu peralatan pendukung berupa spektrometer tidak mendukung untuk
digunakan. Penelitian ini hanya mengandalkan nilai reflektansi spektral permukaan
absolut yang dihasilkan melalui proses koreksi atmosferik.
Ketidakpastian pengukuran posisi obyek di lapangan menjadi permasalahan
tersendiri dalam penelitian ini. Penggunaan alat ukur posisi berupa GPS pemetaan
(TRIMBLE JUNO SB) dan tidak dilengkapi dengan antena yang memadai
menghasilkan akurasi pengukuran posisi pengamatan lapangan yang rendah.
Pengukuran posisi plot transek (di bawah tutupan tajuk mangrove) selama 30-45
menit menghasilkan distribusi titik seluas 30mx30m (Gambar 25), sementara
pengukuran titik-titik yang dilakukan ditempat yang lebih terbuka (persimpangan
jalan) yang dilakukan selama 30 menit menghasilkan distribusi titik seluas
10mx10m. Diperkirakan kesalahan tersebut lebih utama disebabkan oleh kesalahan
multipath. Pengukuran dilakukan tidak diruang terlalu terbuka, penerimaan sinyal
satelit oleh GPS penerima dipengaruhi oleh objek yang ada di sekitarnya, berupa
tutupan kanopi, pohon dan bangunan yang ada di sekitar lokasi pengukuran. Selain
itu kesalahan dapat dipengaruhi oleh kondisi ionosfer, stratosfer, jam satelit,
kesalahan antena, derau sinyal GPS penerima. Pengukuran posisi hanya
mengandalkan pengukuran absolut tanpa ada faktor koreksi terhadap posisi yang
diterima oleh GPS penerima. Mengantisipasi hal tersebut Dungan (2006)
merekomendasikan untuk menggunakan nilai rata-rata jendela piksel seukuran
72
Gambar 25 Distribusi
titik-titik
multipath
(berwarna
merah)
GPS
(ditumpangtindihkan dengan Citra SPOT 6 multispektral) pada saat
pengukuran vegetasi mangrove, pada dua lokasi berbeda. Titik
berwarna biru dalam kotak merupakan rancangan titik plot dan
pengamatan lainnya
Penelitian ini menyatakan bahwa teknik klasifikasi berbasis objek lebih baik
dibandingkan dengan teknik klasifikasi berbasis piksel. Meskipun demikian
ketidakpastian hadir pada saat segmentasi data kontinu menjadi data diskrit.
Dijumpai objek-objek yang over-segmented dan tidak tepatnya batasan objek yang
dihasilkan. Kim et al. (2008) menyatakan belum tersedia metode objektif dalam
menentukan skala segmentasi, umumnya menggunakan metode uji coba. Padahal
ukuran obyek merupakan salah satu permasalahan penting dan kritis dalam
penentuan kualitas segmentasi, khususnya akurasi klasifikasi (Meinel dan Neubert
2004). Perolehan segmen optimum telah dalam penelitian ini telah menerapakan
metode yang disarankan. Optimasi dilakukan terhadap parameter segmentasi
(scale, shape dan compactness) berdasarkan nilai akurasi yang diperoleh.
Penggunaan algoritma MRS dan SDA dalam proses segmentasi dapat dengan
mudah divalidasi secara visual, khususnya objek-objek yang dapat diinterpretasikan
secara visual, seperti segmentasi penutup lahan. Kasus over-segmented dan undersegmented dapat diminimalisir melalui metode uji coba. Namun pada kasus lain
komunitas mangrove, batas objek tidak dapat diinterpretasi secara visual, maka
penggunaan algoritma segmentasi MRS dan SDA dapat menghadirkan
ketidakpastian. Objek yang dihasilkan hanya mengandalkan parameter kemiripan
spektral IIL dan kekompakan serta ukuran bergantung pada scale yang digunakan.
Mereduksi ketidakpastian tersebut, dalam penelitian ini merekomendasikan
penggunaan algoritma segmentasi chessboard. Algoritma ini membangun objek
dalam bentuk kotak bujur sangkar, ukuran (scale) kotak mengacu pada distribusi
titik-titik posisi pengukuran plot transek di lapangan. Cara yang sama juga
diterapkan oleh Kamal dan Phinn (2011) untuk memetakan spesies mangrove
menggunakan citra hiperspektral.
Saran
Penerapan teknik pengembangan skema klasifikasi perlu diterapkan dalam
pemetaan mangrove yang lebih detail agar dapat terukur dan direpitisi pada data
dan lokasi penelitian lainnya dan mempertimbangkan data struktur komunitas
lainnya, seperti tinggi dan kerapatan.
Perlu diterapkan teknik klasifikasi lunak (soft classification) berbasis
kontektual untuk meningkatkan hasil klasifikasi berbasis objek.
Penggunaan peralatan lapangan yang memadai dan mendukung serta
penguasaan teknis pengolahan data penginderaan diperlukan untuk mengurangi
ketidakpastian penelitian.
74
DAFTAR PUSTAKA
Abu El-Regal MA, Ibrahim NK. 2014. Role of mangroves as a nursery ground for
juvenile reef fishes in the southern Egyptian Red Sea. Egypt J Aqua Res,
40(1): 71-78.
Ahmad S. 2009. Recreational values of mangrove forest in Larut Matang, Perak. J
Trop Forest Sci. 21(2): 81-87.
Ahmed R, Siqueira P, Hensley S, Bergen K. 2013. Uncertainty of forest biomass
estimates in North temperate forests due to allometry: Implications for remote
sensing. Remote Sens. 5(6): 3007-3036.
Aiazzi B, Baronti S, Selva M, Alparone L, 2006. Enhanced gram-schmidt spectral
sharpening based on multivariate regression of MS and pan data. IEEE
International Geoscience and Remote Sensing Symposium; 2006: Denver,
Amerika Serikat (US). IGARSS. hlm 3806-3809.
Ajithkumar TT, Thangaradjou T, Kannan L. 2008. Spectral reflectance properties
of mangrove species of the Muthupettai mangrove environment, Tamil Nadu.
J Environ Biol. 29(5): 785-788.
Al Habshi A, Youssef T, Aizpuru M, Blasco F. 2007. New mangrove ecosystem
data along the UAE coast using remote sensing. Aquat Ecosyst Health
Manag. 10(3): 309-319.
Alatorre LC, Snchez-Andrs R, Cirujano S, Beguera S, Snchez-Carrillo S. 2011.
Identification of mangrove areas by remote sensing: The ROC curve
technique applied to the northwestern Mexico coastal zone using Landsat
imagery. Remote Sens. 3(8): 1568-1583.
Alesheikh AA, Sadeghi Naeeni Fard F. 2007. Design and implementation of a
knowledge-based system to improve maximum likelihood classification
accuracy. Can J Remote Sens. 33(6): 459-467.
Ali SS, Dare PM, Jones SD. 2009. A comparison of pixel- and object-level data
fusion using lidar and high-resolution imagery for enhanced classification
innovations in remote sensing and photogrammetry. Di dalam': Jones S,
Reinke K, editor. Innovations in remote sensing and photogrammetry.
Lecture notes in geoinformation and cartography. Berlin (DE): Springer p. 317.
Alsaaideh B, Al-Hanbali A, Tateishi R, Kobayashi T, Hoan N. 2013. Mangrove
Forests Mapping in the Southern Part of Japan Using Landsat ETM+ with
DEM. JGIS. 5: 369-377.
Asner GP. 1998. Biophysical and biochemical sources of variability in canopy
reflectance. Remote Sens Environ. 64(3): 234-253.
Atkinson PM, Foody GM. 2006. Uncertainty in remote sensing and GIS.
Fundamentals. Di dalam: Foody MG, Peter MA, editor. Uncertainty in remote
sensing and GIS. Queensland (AU): John Wiley & Sons Ltd. P. 1-18.
Auster PJ, Heinonen KB, Witharana C, McKee M. 2009. A Habitat Classification
Scheme for The Long Island Sound Region. Groton: National Undersea
Research Center & Department of Marine Sciences.
Baker BA, Warner TA, Conley JF, McNeil BE. 2012. Does spatial resolution
matter? A multi-scale comparison of object-based and pixel-based methods
75
for detecting change associated with gas well drilling operations. Int J Remot
Sens. 34(5): 1633-1651.
Bandeira SO, Macamo CCF, Kairo JG, Amade F, Jiddawi N, Paula J. 2009.
Evaluation of mangrove structure and condition in two trans-boundary areas
in the Western Indian Ocean. Aquat Conserv Mar Freshw Ecosys. 19(S1):
S46-S55.
Benfield SL, Guzman HM, Mair JM. 2005. Temporal mangrove dynamics in
relation to coastal development in Pacific Panama. J Environ Manag. 76(3):
263-276.
Blaschke T. 2010. Object based image analysis for remote sensing. ISPRS J
Photogramm Remote Sens. 65(1): 2-16.
Breiman L. 1996. Bagging predictors. Mach Learn. 24(2): 123-140.
Breiman L. 2001. Random forests. Mach Learn. 45(1): 123-140.
[BSN] Badan Standar Nasional 2010. Klasifikasi penutup lahan. Jakarta (ID),
Badan Standar Nasional: 32 hlm.
Burnett C, Blaschke T. 2003. A multi-scale segmentation/object relationship
modelling methodology for landscape analysis. Ecol Model. 168(3): 233-249.
Cannicci S, Burrows D, Fratini S, Smith Iii TJ, Offenberg J, Dahdouh-Guebas F.
2008. Faunal impact on vegetation structure and ecosystem function in
mangrove forests: A review. Aquat Bot. 89(2): 186-200.
Cardoso GF, Souza Jr C, Souza-Filho PWM. 2014. Using spectral analysis of
Landsat-5 TM images to map coastal wetlands in the Amazon River mouth,
Brazil. Wetl Ecol Manag. 22(1): 79-92.
Carney J, Gillespie TW, Rosomoff R. 2014. Assessing forest change in a priority
West African mangrove ecosystem: 1986-2010. Geoforum. 53: 126-135.
Carrasquilla-Henao M, Gonzlez Ocampo HA, Luna Gonzlez A, Rodrguez
Quiroz G. 2013. Mangrove forest and artisanal fishery in the southern part of
the Gulf of California, Mexico. Ocean Coast Manage. 83(0): 75-80.
Chadwick J. 2011. Integrated LiDAR and IKONOS multispectral imagery for
mapping mangrove distribution and physical properties. Int J Remot Sens.
32(21): 6765-6781.
Chakravortty S, Choudhury AS, 2012. Application of unsupervised end member
detection algorithms for spectral unmixing of hyperspectral data for
mangrove species discrimination. Di dalam: editor. International Conference
on Communications, Devices and Intelligent Systems, 2012 28-29 Des 2012;
Kolkata (IN). p 81-84.
Cingolani AM, Renison D, Zak MR, Cabido MR. 2004. Mapping vegetation in a
heterogeneous mountain rangeland using landsat data: An alternative method
to define and classify land-cover units. Remote Sens Environ. 92(1): 84-97.
Clarke KR. 1993. Non-parametric multivariate analyses of changes in community
structure. Aust J Ecol. 18(1): 117-143.
Clifton DS. 2005. Classification and regression tree, bagging and boosting.
Handbook of Statistics. Di dalam: Rao CR, Wegman EJ, Solka JL, editor.
Handbook of statistic 24. Data Mining and Data Visualization. Amsterdam
(NL): Elsevier B.V. 618 p.
Conchedda G, Durieux L, Mayaux P. 2008. An object-based method for mapping
and change analysis in mangrove ecosystems. ISPRS J Photogramm Remote
Sens. 63(5): 578-589.
76
Congalton RG, Green K. 2009. Assessing the Accuracy of Remotely Sensed Data:
Principles and Practices. Boca Raton (US): CRC Press.
Coppin P, Jonckheere I, Nackaerts K, Muys B, Lambin E. 2004. Digital change
detection methods in ecosystem monitoring: A review. Int J Remot Sens.
25(9): 1565-1596.
Dahdouh-Guebas F, Koedam N. 2006. Emperical estimate of the relibility of the
use of the Point-Centre Qurter Method (PCQM). Solution to ambigous field
situation and description of the PCQM+ protocol. For Ecol Manage. 228: 118.
Danoedoro P. 2012. Pengantar penginderaan jauh digital. Yogyakarta [ID]: Andi
Press.
Datta D, Chattopadhyay RN, Guha P. 2012b. Community based mangrove
management: A review on status and sustainability. J Environ Manag. 107:
84-95.
De Laet V, Paulissen E, Meuleman K, Waelkens M. 2009. Effects of image
characteristics on the identification and extraction of archaeological features
from Ikonos-2 and Quickbird-2 imagery: case study Sagalassos (southwest
Turkey). Int J Remot Sens. 30(21): 5655-5668.
de Santiagoa F, Kovacs JM, Lafrance P. 2013. An object-oriented classification
method for mapping mangroves in Guinea, West Africa, using multipolarized
ALOS PALSAR L-band data. Int J Remot Sens. 34(2): 563-586.
Daz BM, Blackburn GA. 2003. Remote sensing of mangrove biophysical
properties: Evidence from a laboratory simulation of the possible effects of
background variation on spectral vegetation indices. Int J Remot Sens. 24(1):
53-73.
Donato DC, Kauffman JB, Murdiyarso D, Kurnianto S, Stidham M, Kanninen M.
2011. Mangroves among the most carbon-rich forests in the tropics. Nature
Geosci. 4(5): 293-297.
Drgu L, Tiede D, Levick SR. 2010. ESP: a tool to estimate scale parameter for
multiresolution image segmentation of remotely sensed data. Int J Geogr Inf
Syst. 24(6): 859-871.
Dungan JL. 2006. Toward a Comprehensive View of Uncertainty in Remote
Sensing Analysis. Di dalam: Foody MG, Peter MA, editor. Uncertainty in
remote sensing and GIS. Queensland (AU): John Wiley & Sons Ltd. p 25-35.
Duro DC, Franklin SE, Dub MG. 2012. A comparison of pixel-based and objectbased image analysis with selected machine learning algorithms for the
classification of agricultural landscapes using SPOT-5 HRG imagery. Remote
Sens Environ. 118: 259-272.
English S, Wilkinson C, Baker V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. 2nd Edition. Townsville: Australian Institute of Marine Science.
Faith DP, Minchin PR, Belbin L. 1987. Compositional dissimilarity as a robust
measure of ecological distance. Vegetation. 69: 57-68.
[FAO] Food and Agriculture Organization 2007. The World's Mangrove 1980 2005. Rome (ITA), FAO.
Fatoyinbo TE, Simard M, Washington-Allen RA, Shugart HH. 2008. Landscapescale extent, height, biomass, and carbon estimation of Mozambique's
mangrove, forests with Landsat ETM+ and Shuttle Radar Topography
Mission elevation data. J Geophys Res Biogeosci. 113(2).
77
Felde GW, Anderson GP, Cooley TW, Matthew MW, Adler-Golden SM, Berk A,
Lee J, 2003. Analysis of Hyperion Data with the FLAASH Atmospheric
Correction Algorithm. In: editor. 2003 21-25 Juli 2003. IEEE IGARSS:
Learning From Earth's Shapes and Colours; Toulouse (US). p 90-92.
Ferreira MA, Andrade F, Bandeira SO, Cardoso P, Mendes RN, Paula J. 2009.
Analysis of cover change (1995-2005) of Tanzania/Mozambique transboundary mangroves using Landsat imagery. Aquat Conserv Mar Freshw
Ecosys. 19(SPEC. ISS.): S38-S45.
Flores De Santiago F, Kovacs JM, Lafrance P. 2012. An object-oriented
classification method for mapping mangroves in Guinea, West Africa, using
multipolarized ALOS PALSAR L-band data. Int J Remote Sens. 34(2): 563586.
Gao J. 1999. A comparative study on spatial and spectral resolutions of satellite
data in mapping mangrove forests. Int. J. Remot. Sens. 20(14): 2823-2833.
Gao J. 2010. Digital analysis of remotely sensed imagery. New York (USA):
McGraw-Hill Professional.
Ghimire B, Rogan J, Miller J. 2010. Contextual land-cover classification:
Incorporating spatial dependence in land-cover classification models using
random forests and the Getis statistic. Remote Sens Lett. 1(1): 45-54.
Ghosh A, Sharma R, Joshi PK. 2014. Random forest classification of urban
landscape using Landsat archive and ancillary data: Combining seasonal
maps with decision level fusion. Appl Geog. 48(0): 31-41.
Giesen W, Wulffraat S, Zieren M, Scholten L. 2006. Mangrove guidebook for
southeat asia. Bangkok (TH): FAO dan Wetlands International.
Gilman EL, Ellison J, Jungblut V, Van Lavieren H, Wilson L, Areki F, Brighouse
G, Bungitak J, Dus E, Henry M, et al. 2006. Adapting to Pacific Island
mangrove responses to sea level rise and climate change. Clim Res. 32(3):
161-176.
Giri C, Ochieng E, Tieszen LL, Zhu Z, Singh A, Loveland T, Masek J, Duke N.
2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth
observation satellite data. Glob Ecol Biogeogr. 20(1): 154-159.
Godinho S, Gil A, Guiomar N, Neves N, Pinto-Correia T. 2014. A remote sensingbased approach to estimating montado canopy density using the FCD model:
a contribution to identifying HNV farmlands in southern Portugal. Agrofor
Syst.1-12.
Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote sensing handbook for
tropical coastal management. Paris (FR): UNESCO.
Grodecki J, 2001. IKONOS stereo feature extraction-RPC approach. In: editor.
ASPRS annual conference, 2001. St. Louis (US). p
Grodecki J, Dial G. 2003. Block adjustment of high-resolution satellite images
described by Rational Polynomials. Photogramm Eng Remote Sens. 69(1):
59-68.
Harter HL. 1960. Critical Values for Duncan's New Multiple Range Test.
Biometrics. 16(4): 671-685.
Hartini S, Saputro GB, Yulianto M, Suprajaka, 2010. Assessing the used of
remotely sensed data for mapping mangroves Indonesia. Di dalam: Fujia H,
Sasaki J, editor.6th WSEAS international conference on remote sensing, 2010
4-6 Oktober 2010; Iwate (JP). p 210-215.
78
79
80
81
Moghaddam M, Dungan JL, Acker S. 2002. Forest variable estimation from fusion
of SAR and multispectral optical data. IEEE Trans Geosci Remote Sens.
40(10): 2176-2187.
Mumby PJ, Harborne AR. 1999. Development of a systematic classification scheme
of marine habitats to facilitate regional management and mapping of
Caribbean coral reefs. Biol Conserv. 88(2): 155-163.
Myint SW, Giri CP, Wang L, Zhu Z, Gillette SC. 2008. Identifying Mangrove
Species and Their Surrounding Land Use and Land Cover Classes Using an
Object-Oriented Approach with a Lacunarity Spatial Measure. GISci Remote
Sens. 45(2): 188-208.
Nagelkerken I, Blaber SJM, Bouillon S, Green P, Haywood M, Kirton LG,
Meynecke JO, Pawlik J, Penrose HM, Sasekumar A, et al. 2008. The habitat
function of mangroves for terrestrial and marine fauna: A review. Aquat Bot.
89(2): 155-185.
Nandy S, Kushwaha SPS. 2011. Study on the utility of IRS 1D LISS-III data and
the classification techniques for mapping of Sunderban mangroves. J Coastal
Conserv. 15(1): 123-137.
Nascimento Jr WR, Souza-Filho PWM, Proisy C, Lucas RM, Rosenqvist A. 2013.
Mapping changes in the largest continuous Amazonian mangrove belt using
object-based classification of multisensor satellite imagery. Estuar Coast
Shelf Sci. 117(0): 83-93.
Nayak S, Bahuguna A. 2001. Application of remote sensing data to monitor
mangroves and other coastal vegetation of India. Indian J Mar Sci. 30(4):
195-213.
Neukermans G, Dahdouh-Guebas F, Kairo JG, Koedam N. 2008. Mangrove species
and stand mapping in Gazi Bay (Kenya) using QuickBird satellite imagery. J
Spat Sci. 53(1): 75-86.
Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. Bogor (ID): PHKA/WI-IP.
Nursal, Yuslim F, Ismiati. 2005. Struktur dan komposisi vegetasi mangrove
Tanjung Sekodi Kabupaten Bengkalis Riau. J Biogen. 2(1): 1-7.
Opa ET. 2010. Analisis perubahan luas lahan mangrove di kabupaten Pohuwato
propinsi Gorontalo dengan menggunakan citra Landsat. JPKT. 6(2): 79-82.
Ostling JL, Butler DR, Dixon RW. 2009. The biogeomorphology of mangroves and
their role in natural hazards mitigation. Geogr Comp. 3(5): 1607-1624.
Pellegrini JAC, Soares MLG, Chaves FO, Estrada GCD, Cavalcanti VF. 2009. A
method for the classification of mangrove forests and sensitivity/vulnerability
analysis. J Coast Res. (SPEC. ISSUE 56): 443-447.
Phinn SR, Menges C, Hill GJE, Stanford M. 2000. Optimizing remotely sensed
solutions for monitoring, modeling, and managing coastal environments.
Remote Sens Environ. 73(2): 117-132.
Phinn SR, Roelfsema CM, Mumby PJ. 2012. Multi-scale, object-based image
analysis for mapping geomorphic and ecological zones on coral reefs. Int J
Remot Sens. 33(12): 3768-3797.
Polidoro BA, Carpenter KE, Collins L, Duke NC, Ellison AM, Ellison JC,
Farnsworth EJ, Fernando ES, Kathiresan K, Koedam NE, et al. 2010. The
loss of species: Mangrove extinction risk and geographic areas of global
concern. PLoS ONE. 5(4).
82
83
Rouse JJW, Haas RH, Shell JA, Deering DW. 1974. Monitoring Vegetation
Systems in the Great Plains with ERTS. Third Earth Resources Technology
Satellite-1 Symposium. p. 48-62
Roy DP, Wulder MA, Loveland TR, C.E W, Allen RG, Anderson MC, Helder D,
Irons JR, Johnson DM, Kennedy R, et al. 2014. Landsat-8: Science and
product vision for terrestrial global change research. Remote Sens Environ.
145: 154-172.
Saenger P. 2002. Mangrove ecology, silviculture and conservation. Lismore (AU):
Kluwer Academic.
Santos LCM, Matos HR, Schaeffer-Novelli Y, Cunha-Lignon M, Bitencourt MD,
Koedam N, Dahdouh-Guebas F. 2014. Anthropogenic activities on mangrove
areas (So Francisco River Estuary, Brazil Northeast): A GIS-based analysis
of CBERS and SPOT images to aid in local management. Ocean Coast
Manage. 89(0): 39-50.
Sarkar SK, Bhattacharya AK. 2003. Conservation of biodiversity of the coastal
resources of Sundarbans, Northeast India: an integrated approach through
environmental education. Mar Poll Bul. 47(16): 260-264.
Schiewe J, 2002. Segmentation of high resolution remotely sensed data concept,
applications and problems. In: Costas Armenakis YCL, editor. Geospatial
Theory, Processing and Applications; July 9-12, 2002; Ottawa (US): ISPRS.
Shimada M, Isoguchi O, Tadono T, Isono K. 2009. PALSAR Radiometric and
Geometric Calibration. IEEE Trans Geosci Remote Sens. 47(12): 3915-3932.
Sisodia PS, Tiwari V, Kumar A, 2014. Analysis of Supervised Maximum
Likelihood Classification for remote sensing image. In: editor. International
Conference on Recent Advances and Innovations in Engineering, ICRAIE
2014 9-11 Mei 2014. Jaipur(IN): p 1-4.
Son NT, Chen CF, Chang NB, Chen CR, Chang LY, Thanh BX. 2015. Mangrove
mapping and change detection in ca mau peninsula, vietnam, using landsat
data and object-based image analysis. IEEE J Appl Earth Observ Remote
Sens. 8(2): 503-510.
Suratman MN. 2014. Remote sensing technology. Rencen advancements for
mangrove ecosystems. New York (US): Springer.
Szantoi Z, Escobedo F, Abd-Elrahman A, Smith S, Pearlstine L. 2013. Analyzing
fine-scale wetland composition using high resolution imagery and texture
features. Int J Appl Earth Obs Geoinf. 23(0): 204-212.
Takeuchi S, Ohuro Y. 2003. A comprative study of coherence patterns in C-band
and L-band interferometric SAR from tropical rain forest areas. Advance
Space Res. 32(11): 2305-2310.
Tang H, Li Z-L. 2010. Quantitative remote sensing in thermal infrared. Theory and
applications. Heidelberg: Springer.
Tademir K, Milenov P, Tapsall B. 2012. A hybrid method combining SOM-based
clustering and object-based analysis for identifying land in good agricultural
condition. Comput Electron Agr. 83: 92-101.
Thampanya U, Vermaat JE, Sinsakul S, Panapitukkul N. 2006. Coastal erosion and
mangrove progradation of Southern Thailand. Estuar Coast Shelf Sci. 68(1):
75-85.
Thu PM, Populus J. 2007. Status and changes of mangrove forest in Mekong Delta:
Case study in Tra Vinh, Vietnam. Estuarine. Coast Shelf Sci. 71(1-2): 98-109.
84
Tomlinson PB. 1986. The botany of mangrove. New York (US): Cambridge
University Press.
Tso B, Mather PM. 2009. Classification methods for remotely sensed data. Second
edition. New York (USA): CRC Press.
Urrego LE, Molina EC, Surez JA. 2014. Environmental and anthropogenic
influences on the distribution, structure, and floristic composition of
mangrove forests of the Gulf of Urab (Colombian Caribbean). Aquat Bot
114(0): 42-49.
Vaiphasa C, Ongsomwang S, Vaiphasa T, Skidmore AK. 2005. Tropical mangrove
species discrimination using hyperspectral data: A laboratory study. Estuar
Coast Shelf Sci. 65(12): 371-379.
Vaiphasa C, Skidmore AK, de Boer WF. 2006. A post-classifier for mangrove
mapping using ecological data. ISPRS J. Photogramm. Remote Sens. 61(1):
1-10.
Van Beijma S, Comber A, Lamb A. 2014. Random forest classification of salt
marsh vegetation habitats using quad-polarimetric airborne SAR, elevation
and optical RS data. Remote Sens Environ. 149: 118-129.
Vo Q, Oppelt N, Leinenkugel P, Kuenzer C. 2013a. Remote Sensing in Mapping
Mangrove Ecosystems - An Object-Based Approach. Remote Sens. 5(1): 183201.
Vo Q, Oppelt N, Leinenkugel P, Kuenzer C. 2013b. Remote Sensing in Mapping
Mangrove Ecosystems. An Object-Based Approach. Remote Sens. 5(1): 183201.
Walters BB. 2005. Ecological effects of small-scale cutting of Philippine mangrove
forests. For Ecol Manag. 206(1-3): 331-348.
Wang L, Silvn-Crdenas JL, Sousa WP. 2008. Neural network classification of
mangrove species from multi-seasonal Ikonos imagery. Photogramm. Eng.
Remote Sens. 74(7): 921-927.
Wang L, Sousa WP. 2009. Distinguishing mangrove species with laboratory
measurements of hyperspectral leaf reflectance. Int J Remot Sens. 30(5):
1267-1281.
Wang L, Sousa WP, Gong P. 2004a. Integration of object-based and pixel-based
classification for mapping mangroves with IKONOS imagery. Int J Remot
Sens. 25(24): 5655-5668.
Wang L, Sousa WP, Gong P, Biging GS. 2004b. Comparison of IKONOS and
QuickBird images for mapping mangrove species on the Caribbean coast of
Panama. Remote Sens Environ. 91(3-4): 432-440.
Whiteside T, Ahmad T, 2005. A comparison of object-oriented and pixel-based
classification methods for mapping land cover in northern Australia. In:
editor. Spatial intelligence, innovation and praxis: The national biennial
Conference of the Spatial Sciences Institute; Melbourne (AU). p 1225-1231.
Whiteside TG, Boggs GS, Maier SW. 2011. Comparing object-based and pixelbased classifications for mapping savannas. Int J Appl Earth Obs Geoinf.
13(6): 884-893.
Witharana C, Civco DL. 2014. Optimizing multi-resolution segmentation scale
using empirical methods: Exploring the sensitivity of the supervised
discrepancy measure Euclidean distance 2 (ED2). ISPRS J Photogramm
Remote Sens. 87(0): 108-121.
85
All in-text references underlined in blue are linked to publications on ResearchGate, letting you access and read them immediately.