Anda di halaman 1dari 8

HEPATITIS B

No. ICPC-2 : D72 Viral Hepatitis


No. ICD-10 : B16 Acute Hepatitis B
Tingkat Kemampuan 3A
Masalah Kesehatan
Hepatitis B adalah virus yang menyerang hati, masuk melalui darah ataupun cairan tubuh dari seseorang
yang terinfeksi. Virus ini tersebar luas di seluruh dunia dengan angka kejadian yang berbeda-beda.
Tingkat prevalensi hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi berkisar 2,5% di Banjarmasin sampai
25,61% di Kupang, sehingga tinggi.
Infeksi hepatitis B dapat berupa keadaan yang akut dengan gejala yang berlangsung kurang dari 6 bulan.
Apabila perjalanan penyakit berlangsung lebih dari 6 bulan maka kita sebut sebagai hepatitis kronik (5%).
Hepatitis B kronik dapat berkembang menjadi sirosis hepatis, 10% dari penderita sirosis hepatis akan
berkembang menjadihepatoma.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Umumnya tidak menimbulkan gejala terutama pada anak-anak.
2. Gejala timbul apabila seseorang telah terinfeksi selama 6 minggu, antara lain: a. gangguan
gastrointestinal, seperti: malaise, anoreksia, mual dan muntah;
b. gejala flu: batuk, fotofobia, sakit kepala, mialgia.
3. Gejala prodromal seperti diatas akan menghilang pada saat timbul kuning, tetapi keluhan anoreksia,
malaise, dan kelemahan dapat menetap.
4. Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap. Pruritus (biasanya ringan dan sementara)
dapat timbul ketika ikterus meningkat. Pada saat badan kuning, biasanya diikuti oleh pembesaran hati
yang diikuti oleh rasa sakit bila ditekan di bagian perut kanan atas. Setelah gejala tersebut akan timbul
fase resolusi.
Faktor Risiko
1. Mempunyai hubungan kelamin yang tidak aman dengan orang yang sudah terinfeksi hepatitis B.
2. Memakai jarum suntik secara bergantian terutama kepada penyalahgunaan obat suntik.
3. Menggunakan alat-alat yang biasa melukai bersama-sama dengan penderita hepatitis B.
4. Orang yang bekerja pada tempat-tempat yang terpapar dengan darah manusia.
5. Orang yang pernah mendapat transfusi darah sebelum dilakukan pemilahan terhadap donor.
6. Penderita gagal ginjal yang menjalani hemodialisis.

7. Anak yang dilahirkan oleh ibu yang menderita hepatitis B.


Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Konjungtiva ikterik
2. Pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati
3. Splenomegali dan limfadenopati pada 15-20% pasien
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan urin (bilirubin di dalam urin) .Pemeriksaan darah : peningkatan kadar bilirubin dalam darah,
kadar SGOT dan SGPT 2x nilai normal tertinggi, dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang lebih lengkap.
3. HBsAg (di pelayanan kesehatan sekunder)
PenegakanDiagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis Banding
Perlemakan hati, penyakit hati oleh karena obat atau toksin, hepatitis autoimun, hepatitis alkoholik,
obstruksi akut traktus biliaris
Komplikasi
Sirosis hepar, Hepatoma
Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Asupan kalori dan cairan yang adekuat
2. Tirah baring
3. Pengobatan simptomatik
a. Demam: Ibuprofen 2 x 400 mg/hari.
b. Mual: antiemetik seperti Metoklopramid 3 x 10 mg/hari atau Domperidon 3 x 10 mg/hari.
c. Perut perih dan kembung: H2 Bloker (Simetidin 3 x 200 mg/hari atau Ranitidin 2 x 150 mg/hari) atau
Proton Pump Inhibitor (Omeprazol 1 x 20 mg/hari).
Rencana Tindak Lanjut
Kontrol secara berkala untuk menilai hasil pengobatan.
Kriteria Rujukan

1. Penegakan diagnosis dengan pemeriksaan penunjang laboratorium di pelayanan kesehatan sekunder


2. Penderita hepatitis B dengan keluhan ikterik yang menetap disertai keluhan yang lain.
Konseling dan Edukasi
1. Memberi edukasi pada keluarga untuk ikut mendukung pasien agar teratur minum obat karena
pengobatan jangka panjang.
2. Pada fase akut, keluarga ikut menjaga asupan kalori dan cairan yang adekuat, dan membatasi aktivitas
fisik pasien.
3. Pencegahan penularan pada anggota keluarga dengan modifikasi pola hidup untuk pencegahan
transmisi dan imunisasi.
Peralatan
Laboratorium darah rutin, urin rutin dan pemeriksaan fungsi hati
Prognosis
Prognosis sangat tergantung pada kondisi pasien saat datang, ada/tidaknya komplikasi, dan
pengobatannya. Pada umumnya, prognosis pada hepatitis B adalah dubia, untuk fungtionam dan
sanationamdubia ad malam.
Referensi
1. Dienstaq, J.L. Isselbacher, K.J. Acute Viral Hepatitis. In: Braunwald, E. et al. Harrisons Principles of
Internal Medicine. 16th Ed. McGraw-Hill. New York. 2004.
2. Sherlock, S. Hepatitis B virus and hepatitis delta virus. In: Disease of Liver and Biliary System.
Blackwell Publishing Company. 2002: p.285-96.
3. Sanityoso, Andri. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4. Jakarta: FK UI. 2006: Hal 42933.
4. Soemohardjo, Soewignjo. Gunawan, Stephanus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke 4.
Jakarta: FK UI. 2006:Hal 435-9.
5. Panduan Pelayanan Medik Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM. 2004. Hal 15-17.

STRONGILOIDIASIS
No. ICPC II : D96 Worms/other parasites

No. ICD X : B78.9 Strongyloidiasis


Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Strongiloidiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh Strongyloides stercoralis, cacing yang
biasanya hidup di kawasan tropik dan subtropik. Sekitar 100 juta orang diperkirakan terkena penyakit ini
di seluruh dunia. Infeksi cacing ini bisa menjadi sangat berat dan berbahaya pada mereka yang dengan
status imun menurun seperti pada pasien HIV/AIDS, transplantasi organ serta pada pasien yang
mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
Pada infestasi ringan Strongyloides pada umumnya tidak menimbulkan gejala khas.
Gejala klinis
1. Rasa gatal pada kulit
2. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan gejala seperti ditusuk-tusuk di daerah epigastrium dan tidak
menjalar
3. Mual, muntah
4. Diare dan konstipasi saling bergantian
Faktor Risiko
1. Kurangnya penggunaan jamban.
2. Tanah yang terkontaminasi dengan tinja yang mengandung larva Strongyloides stercoralis.
3. Penggunaan tinja sebagai pupuk.
4. Tidak menggunakan alas kaki saat bersentuhan dengan tanah.
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)
Pemeriksaan Fisik
1. Timbul kelainan pada kulit creeping eruption berupa papul eritema yang menjalar dan tersusun
linear atau berkelok-kelok meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm per hari.Predileksi penyakit ini
terutama pada daerah telapak kaki, bokong, genital dan tangan.
2. Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium.
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik: menemukan larva rabditiform dalam tinja segar, atau
menemukan cacing dewasa Strongyloides stercoralis.

2. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat ditemukan eosinofilia atau hipereosinofilia, walaupun pada
banyak kasus jumlah sel eosinofilia normal.
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditemukannya larva atau cacing
dalam tinja.
Diagnosis Banding: Komplikasi: Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
Penatalaksanaan
1. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan, antara lain:
a. Menggunakan jamban keluarga.
b. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktifitas.
c. Menggunakan alas kaki.
d. Hindari penggunaan pupuk dengan tinja.
2. Farmakologi
a. Pemberian Albendazol menjadi terapi pilihan saat ini dengan dosis 400 mg, 1-2 x sehari, selama 3 hari,
atau
b. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama 2 atau 4 minggu.

Konseling dan Edukasi


Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri dan
lingkungan, yaitu antara lain:
1. Sebaiknya setiap keluarga memiliki jamban keluarga.
2. Menghindari kontak dengan tanah yang tercemar oleh tinja manusia.
3. Menggunakan sarung tangan jika ingin mengelola limbah/sampah.
4. Mencuci tangan sebelum dan setelah melakukan aktifitas dengan menggunakan sabun.
5. Menggunakan alas kaki.
Kriteria Rujukan: Pasien strongyloidiasis dengan keadaan imunokompromais seperti penderita AIDS Peralatan
Peralatan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah dan feses.

Prognosis
Pada umumnya prognosis penyakit ini adalah bonam, karena jarang menimbulkan kondisi klinis yang
berat.
Referensi
1. Gandahusada, S. 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Ganesh S, Cruz RJ. Review Strongyloidiasis: a multifaceted diseases. Gastroenetrology & hepatology
2011;7:194-6. (Ganesh & Cruz, 2011)
3. King CH. Hookworms. In: Berhman RE, Kliegman RM, Arvin AM, editors. Nelsons Tetxbook of
Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: W.B.Saunders Company; 2012. p.1000-1.

HIPERMETROPIA
No. ICPC-2 : F91 Refractive error
No. ICD-10 : H52.0 Hypermetropia ringan
Tingkat Kemampuan 4A
Masalah Kesehatan
Hipermetropia (rabun dekat) merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar
sejajar jauh tidak cukup kuat dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Kelainan ini
menyebar merata di berbagai geografis, etnis, usia dan jenis kelamin.
Hasil Anamnesis (Subjective)
Keluhan
1. Penglihatan kurang jelas untuk objek yang dekat.
2. Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada penggunaan mata yang lama dan membaca
dekat. Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif = eye strain) terutama bila melihat pada jarak yang
tetap dan diperlukan penglihatan jelas pada jangka waktu yang lama, misalnya menonton TV dan lainlain.
3. Mata sensitif terhadap sinar.
4. Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia. Mata juling dapat terjadi karena
akomodasi yang berlebihan akan diikuti konvergensi yang berlebihan pula.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (Objective)


Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan visus dengan Snellen Chart
Pemeriksaan refraksi dengan trial lens dan trial frame
Pemeriksaan Penunjang
Tidak diperlukan
Penegakan Diagnostik (Assessment)
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan refraksi.
1. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi
2. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit
sudut bilik mata
3. Ambliopia
Penatalaksanaan Komprehensif(Plan)
Penatalaksanaan
Koreksi dengan lensa sferis positif terkuat yang menghasilkan tajam penglihatan terbaik.
Konseling dan Edukasi
Memberitahu keluarga jika penyakit ini harus dikoreksi dengan bantuan kaca mata. Karena jika tidak,
maka mata akan berakomodasi terus menerus dan menyebabkan komplikasi.
Kriteria rujukan
Rujukan dilakukan jika timbul komplikasi.
Peralatan
1. Snellen chart
2. Satu set trial frame dan trial frame
Prognosis
1. Ad vitam : Bonam
2. Ad functionam : Bonam
3. Ad sanationam : Bonam
Referensi
1. Gondhowiardjo, T.D. Simanjuntak, G. Panduan Manajemen Klinis Perdami, 1th Ed. Jakarta: CV Ondo.
2006.

2. Sidarta, I. Ilmu Penyakit Mata. Edisi III. Cetakan V. Jakarta:Balai Penerbit FK UI. 2008.
3. Vaughan, D.G. Oftalmologi Umum. Edisi 14. Cetakan I. Jakarta: Widya Medika. 2000

Anda mungkin juga menyukai