Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

SYOK ANAFILAKTIK

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepanitraan Klinik Stase


Anestesiologi di RSUD DR. ADHYATMA Tugurejo Semarang

Pembimbing:
dr. Kiswono Basuki, Sp.An

Disusun oleh :
Devi Isella (H2A008008)
Puji Rahayu (H2A008030)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA TUGUREJO
SEMARANG
2013

HALAMAN PENGESAHAN
Nama

: DEVI ISELLA

Nim

: H2A008008

Nama

: PUJI RAHAYU

Nim

: H2A008030

Fakultas

: Kedokteran Umum

Universitas

: Universitas Muhammadiyah Semarang

Bidang pendidikan

: Anestesiologi

Judul Referat

: Syok Anafilaktik

Pembimbing

: dr. Kiswono Basuki, Sp.An

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal

Februari 2013

Mengetahui :
Ketua SMF Anestesiologi
RSUD Tugurejo Semarang

dr. Endang W, Sp. An

Pembimbing

dr. Kiswono Basuki, Sp.An

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan karunianya, sehingga referat dengan judul Syok Anafilaktik ini
dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Referat ini disusun
dalam rangka memenuhi syarat Kepanitraan Klinik Stase Anestesiologi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang periode 11 Februari 2013 s/d
23 Februari 2013.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Endang W, Sp An, selaku kepala instalasi Anestesiologi dan
Pembimbing Kepanitraan Klinik Anestesiologi di RSUD Tugurejo
Semarang.
2. dr. Kiswono Basuki, Sp. An, selaku Pembimbing Kepanitraan Klinik
Anestesiologi di RSUD Tugurejo Semarang.
3. dr. Merry, Sp An, selaku Pembimbing Kepanitraan Klinik Anestesiologi di
RSUD Tugurejo Semarang.
4. Staff Anestesiologi RSUD Tugurejo Semarang.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam Referat ini,
maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua
pihak agar Referat ini dapat menjadi lebih baik, dan dapat berguna bagi semua
yang membacanya.
Semarang,

Februari 2013
penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Tahun 2641 SM Raja Menes, seorang Pharao meninggal mendadak tidak


lama setelah disengat tawon. Tahun 1902, Richet dan Portier menemukan
fenomena yang sama, mereka menginjeksi anjing dengan ekstrak anemon laut,
setelah beberapa lama diinjeksi ulang dengan ekstrak yang sama anjing itu
mendadak mati. Fenomena ini mereka sebut aldquo yang berarti anaphylaxis. Jika
seseorang sensitif terhadap suatu antigen dan kemudian terjadi kontak lagi
terhadap antigen tersebut, akan timbul reaksi hipersensitivitas yang merupakan
suatu reaksi anafilaksis yang dapat berujung pada syok anafikaktik.1,2
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas
sebesar 1-3 tiap satu juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di Bali,
angka kematian dilaporkan 2 kasus tiap 10.000 total pasien anafilaksis pada tahun
2005 dan mengalami peningkatan 2 kali lipat pada tahun 2006.2,3
Anafilaksis paling sering disebabkan oleh makanan, obat-obatan, sengatan
serangga, dan lateks. Gambaran klinis anafilaksis sangat heterogen dan tidak
spesifik. Reaksi awalnya cenderung ringan membuat masyarakat tidak
mewaspadai bahaya yang akan timbul, seperti syok, gagal nafas, henti jantung,
dan kematian mendadak.4,5
Walaupun jarang terjadi, syok anafilaktik dapat berlangsung sangat cepat,
tidak terduga, dan dapat terjadi di mana saja yang potensial berbahaya sampai
menyebabkan kematian. Identifikasi awal merupakan hal yang penting, dengan
melakukan anamnesis, pemerikasaan fisik, dan penunjang untuk menegakkan
suatu diagnosis serta penatalaksanaan cepat, tepat, dan adekuat suatu syok
anafilaktik dapat mencegah keadaan yang lebih berbahaya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Secara harafiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan
phylaxis yang berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya
melindungi (prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari
pada melindungi (anti-phylaxis atau anaphylaxis).1,6
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah
jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya
suatu reaksi antigen-antibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang
sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi
klinis dari anafilaksis yang merupakan syok distributif, ditandai oleh adanya
hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada pembuluh darah dan
disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya kematian.
Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk
menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat
dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama
obstruksi saluran napas.2,5,6
2.2. Epidemiologi
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa
angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk,

paling

banyak akibat penggunaan antibiotik golongan penisilin dengan kematian


terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan 13/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk.
Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus
anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan
mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total
pasien anafilaksis.2,3
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai

risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan


umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada
orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.3,5
2.3. Faktor Predisposisi dan Etiologi
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah
sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah
makanan, obat-obatan, serum kuda (yang digunakan pada beberapa jenis vaksin),
sengatan serangga, dan lateks. Pada alergi saluran pernafasan, alergen dapat
berupa tungau, debu, kutu rumah atau kutu hewan. Alergen tersebut terhirup
melalui udara pernafasan, kemudian masuk ke dalam saluran pernafasan. Pada
alergi makanan terutama makanan yang mengandung protein tinggi seperti udang,
kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan
susu biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa
menyebabkan anafilaksis seperti antibiotik khususnya penisilin, sefalosporin,
tetrasiklin, eritromisin, streptomisin, obat anestesi seperti prokain, lidokain,
kokain, thiopental, dan propofol, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat,
produk darah dan anti sera (anti rabies, anti tetanus, anti toksin, anti difteri, anti
bisa ular) dan lain-lain. Media kontras intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan
cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.1,4,5

Tabel 1. Golongan alergen yang dapat menimbulkan Reaksi anafilaksis


2.4. Patofisiologi
Coomb

dan

Gell

(1963)

mengelompokkan

anafilaksis

dalam

hipersensitivitas tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui


2 fase, yaitu fase sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang
dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada
permukaan mastosit (sel mast) dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan
waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama sampai
timbulnya gejala.1,4,5,6
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan ditangkap oleh Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen
tersebut kepada Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13)
yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel
plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada
reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.1,4,5,6
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang
menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik

dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara
lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula
yang di sebut dengan istilah preformed mediators.1,4,5,6
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari
membran sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG)
yang terjadi beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed
mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan
aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi,

meningkatkan

permeabilitas

kapiler

yang

nantinya

menyebabkan edema, sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan


permeabilitas vaskuler dan Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.
Platelet activating factor (PAF) berefek bronkospasme dan meningkatkan
permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit. Beberapa faktor
kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.1,4,5,6
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan
terjadinya fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini
menyebabkan penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang
diikuti dengan penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan
perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi
pada keaadan syok yang membahayakan penderita.2,6

Gambar. 1. Patofisiologi syok anafilaktik

Gambar. 2. Anafilaktik dan Reaksi Anafilaktoid


2.5. Manifetasi Klinis
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3
tipe dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai
1 jam setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24
jam setelah terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam
setelah terpapar dengan alergen.6,7

10

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga
dibagi dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan
keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak di mulut dan tenggorok.
Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersinbersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah
pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah
bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan
mengi. Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi.
Awitan gejala-gejala sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan
yang sangat mendadak dengan tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti
yang telah disebutkan diatas disertai kemajuan yang pesat kearah bronkospame,
edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada
abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti jantung dan koma jarang
terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia ventrikel atau
renjatan yang irreversible.5,6,8
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat
terjadi pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi,
gastrointestinal, kulit, mata, susunan saraf pusat dan sistem saluran kencing, dan
sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa
takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada
tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.1,4,5
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang
berlebihan. Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di
bawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung
bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda, misalnya: allergic salute yaitu
pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah
atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease
garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic facies terdiri
dari pernapasan mulut, allergic shiners dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam
hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema,

11

polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal,
urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.4,6
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,
penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan
penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah
atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor Suara bisa serak bahkan tidak ada
suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang
komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas
mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau
edema mukosa.Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersinbersin.4,6
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran
sampai terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda
iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi
ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri)
akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan
kandungan elektrolit pada urine.4,6
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis
sel sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul
pada sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan
spasme otot polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang
kadang dijumpai perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus.4,6
Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati,
gangguan fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi.
Sementara gangguan pada system neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi
kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental.
Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob
sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi

12

keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran

sel.4,6
Tabel 2. Manifestasi klinis reaksi Anafilaksis
2.6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan

laboratorium

diperlukan

karena

sangat

membantu

menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan


digunakan untuk memonitor hasil pengobatan serta mendeteksi komplikasi lanjut.
Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau meningkat, demikian halnya dengan
IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan ini berguna untuk
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu IgE
spesifik dengan RAST (radioimmunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test ), namun memerlukan biaya yang mahal.1,4,5
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen
penyebab yaitu denganuji cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (skin end-point
titration/ SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan dan dapat
ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal
(SET) akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan

13

gula darah, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi,
rontgen thorak, dan lain-lain.1,4,5
2.7. Diagnosis
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ
atau lebih setelah terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan
diagnosis maka American Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah
membuat suatu kriteria.5,7
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit
hingga beberapajam) dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya
(misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan,
pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan salah satu dari respiratory compromise
(misalnya sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing , penurunan PEF,
hipoksemia) dan penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan
disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia).5,7
Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak
setelah terpapar alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit
hingga beberapa jam), yaitu keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintikbintik kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibirlidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya sesak nafas, bronkospasme,
stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan tekanan darah atau
gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan gejala
gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).5,7
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada
alergen yang diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik).
Pada bayi dan anak-anak, tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan
darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah sistolik lebih dari 30%
dari tekanan darah awal.5,7

14

Gb. 3. Algoritme diagnosis anafilaksis


Kriteria Anafilaksis sebagai berikut 13:
1. Secara tiba-tiba onsetnya dan progresi yang cepat dari gejala
- Pasien terlihat baik atau tidak baik
- Kebanyakan reaksi terjadi dalan beberapa menit, jarang reaksi terjadi
-

lebih lambat dari onset


Waktu onset reaksi anfilaksis tergantung tipe trigger. Trigger intravena
akan lebih cepat onsetnya daripada sengatan, dan cenderung

disebabkan lebih cepat onsetnya dari trigger ingesti oral


- Pasien biasanya cemas dan dapat mengalami sense of impending
2. Life-threatening Airway and/or Breathing and/or Circulation Problems
Pasien dapat mengalami masalah A atau B atau C atau kombinasinya.
Airway Problem :

15

Pembengkakan jalan nafas seperti tenggorokan dan lidah membengkak


(faring/laring edem). Pasien sulit bernafas dan menelan dan merasa

tenggorokan tertutup.
Suara Hoarse
Stridor, tingginya suara inspirasi karena saluran nafas atas yang
mengalami obstruksi.

Breathing Problems :
-

Nafas pendek, pengingkatan frekuensi nafas


Wheezing
Pasien menjadi lelah
Kebingungan karena hipoksia
Sianosis (muncul biru), ini biasanya pada late sign
Respiratory arrest

Circulation problem
-

Tanda syok, pucat, berkeringat.


Peningkatan frekuensi nadi (takikardi)
Tekanan darah rendah (hipotensi), merasa ingin jatuh (dizziness),

kolaps.
Penurunan tingkat kesadaran atau kehilangan kesadaran
Anafilaksi dapat menyebabkan iskemik myokardial dan ECG berubah

walaupun individu dengan normal arteri kononer.


- Cardiac arrest
3. Perubahan Kulit dan/atau Mukosa
Sering muncul gambaran pertama dan muncul lebih dari 80% dari reaksi
anafilaksis.
- Dapat berlangsung halus atau secara dramatis.
- Mungkin hanya perubahan kulit, hanya perubahan
-

mukosa, atau

keduanya
Mungkin eritema setengahnya atau secara general, rash merah.
Mungkin urtikaria yang muncul dimana saja pada tubuh, berwarna
pucar, merah muda, atau merah dan mungkin menunjukan seperti

sengatan.
Angioedema mungkin seperti urtikaria tetapi termasuk pada jaringan
lebih dalam sering pada kelopak mata dan bibir, kadang pada mulut
dan tenggorokan.

16

2.8. Diagnosis Banding


Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis
yang tidak spesifik dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan
dengan penyakit lainnya yang memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena
anafilaksis mempengaruhi seluruh system organ pada tubuh manusia sebagai
akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast dan basofil, dimana
masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada setiap
reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis
dan syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi
hipoglikemik, reaksi histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome,
asma bronkiale, dan rhinitis alergika.1,6
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan.
Pasien tampak pingsan, pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi
anafilaktik, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis.
Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak
terlalu rendah seperti anafilaktik. Sementara infark miokard akut, gejala yang
menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering
17

diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.1,6
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau
sebab lain. Pasien tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan
darah kadang-kadang menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran
napas. Sedangkan pada reaksi anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas.
Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai adanya tanda-tanda gagal napas,
hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan meskipun hanya
sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.1,6
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan,
nyeri kepala, diare, serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant
syndrome, dapat dijumpai beberapa keadaan seperti mual, pusing, dan muntah
pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG lebih dari 1gr, bila penggunaan
lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan darah, kecepatan denyut
nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi makanan
tanpa MSG.1,6
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk
berdahak, dan suara napas mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor
pencetus seperti debu, aktivitas fisik, dan makanan, dan lebih sering terjadi pada
pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini menyebabkan gejala seperti pilek, bersin,
buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul, mata berair yang disebabkan
karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.1,6
2.9. PenatalaksanaanTindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik
peroral maupun parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan
adalah mengidentifikasi dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga
menyebabkan reaksi anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras.
Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik
vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan
darah.1,2,4,5,6,9

18

Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation


dari tahapan resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup
dasar. Airway, penilaian jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar
tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala
dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala, tarik mandibula
ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus
segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi. Breathing support segera memberikan bantuan napas buatan
bila tidak ada tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial. Penderita yang
mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong dengan obat-obatan, juga
harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter/menit. Circulation
support yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a. femoralis),
segera lakukan kompresi jantung luar.1,2,4,5,6,9
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk
mengobati syok anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan
darah, menyempitkan pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan
aktivitas otot jantung. Adrenalin bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin
dan mediator lain yang poten. Mekanisme kerja adrenalin adalah meningkatkan
cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga menghambat terjadinya degranulasi
serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain itu adrenalin mempunyai
kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus pembuluh darah
perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung
sehingga menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu
pendek.4,10
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun
sekitar lesi pada sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada

19

penatalaksanaan syok anafilaktik. Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah


pemberian

intramuskuler.

Pada

pasien

dalam

keadaan

syok,

absorbsi

intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian subkutan. Berikan
0,5 ml larutan 1:1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg BB untuk
anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan.4,6,10,11
Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan
tertentu saja misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama
anestesia. Pada saat pasien tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi
dan absorbsi injeksi intramuskuler yang benar-benar diragukan, adrenalin
mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan dosis 500 mcg (5ml
dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan 100
mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat
diberi dosis 10 mcg/kg BB(0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin
1:10000) dengan injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa
penulis menganjurkan pemberian infus kontinyu adrenalin 2-4ug/menit. Individu
yang mempunyai resiko tinggi untuk mengalami syok anafilaksis perlu membawa
adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu diajarkan cara penyuntikkan yang
benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps yang cepat orang lain
dapat memberikan adrenalin tersebut.4,6,10
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obatobat yang sering dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan
bronkodilator. Pemberian antihistamin berguna untuk menghambat proses
vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan
oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat reseptor-mediator
tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung beratnya
penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan
anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti
simetidin (300 mg) atau ranitidin (150mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl
0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila penderita mendapatkan terapi
teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai gantinya dipakai ranitidin.

20

Antihistamin yang juga dapat diberikan adalah dipenhidramin intravena 50 mg


secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48 jam.4,5,6,10,11
Kortikosteroid

digunakan

untuk

menurunkan

respon

keradangan,

kortikosteroid tidak banyak membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan
hanya digunakan pada reaksi sedang hingga berat untuk memperpendek episode
anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang. Glukokortikoid intravena baru
diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian. Metilprednisolon 125 mg
intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil (yang biasanya
tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB, dilanjutkan
dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.4,5,6,11
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin
intravena 4-7 mg/KgBB selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6
mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc
dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin, salbutamol). Larutan
salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl
0,99% diberikan melalui nebulisasi.4,5,6,11
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat
diberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin
1:1000 dalam 250 ml dextrose (konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4
mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan
dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10 mg/ml, atau aramin 2-5 mg
bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter dengan dekstrosa 5%
dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam secara infus
dengan dextrose 5%. 4,5,6,11
Terapi Cairan.
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena
untuk koreksi hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular
sebagai tujuan utama dalam mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan
meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis laktat.

21

Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada
dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat
diperkirakan terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan
bila diberikan larutan koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan
perkiraan kehilangan volume plasma.2,9,12
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga
bias melepaskan histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid
merupakan

pilihan

pertama

dalam

melakukan

resusitasi

cairan

untuk

mengembalikan volume intravaskuler, volume nterstitial, dan intra sel. Cairan


plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan tekanan onkotik
intravaskuler. 2,9,12
Observasi Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok
anafilaktik dikirim ke rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan.
Kalau terpaksa dilakukan, maka penanganan penderita di tempat kejadian harus
seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas yang tersedia dan transportasi penderita
harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus tetap dalam posisi telentang
dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi, penderita jangan
cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24 jam, 6
jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu
diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan
produksi urine), analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena
edema laring, gagal nafas, syok dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen
karena syok dan gangguan cardiovaskuler. Urtikaria dan angoioedema menetap
sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan gagal ginjal juga pernah
dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3 kali suntikan,
harus dirawat di rumah sakit.2,9,12

22

Gambar. 4. Algoritme Resusitasi Syok Anafilaksis

23

Gb. 5. Managemen pada Peerioperative Anafilaksis

24

Tabel 3. Penanganan Perioperative Anafilaksis


Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok
anafilaktik terutama yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis
riwayat alergi penderita dengan cermat akan sangat membantu menentukan
etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu yang mempunyai riwayat penyakit
asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap banyak obat,
mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.5,6
Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian
bahwa tes kulit negatif pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian
obat-obat tersebut, tetapi tidak berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi
anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif dan mempunyai riwayat alergi positif

25

mempunyai

kemungkinan

reaksi

sebesar

1-3%

dibandingkan

dengan

kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.5,6


Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila
pemberian dengan jalur subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena
dan observasi selama pemberian. Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi
yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang sering menyebabkan syok anafilaktik.
Catat obat penderita pada status yang menyebabkan alergi. Jelaskan kepada
penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan alergi. Hal
yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi
alergen spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.5,6
2.10. Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawat
daruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi
anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali akibat paparan antigen spesifik yang
sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah terjadinya serangan
anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas lagi.5
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi
anafilaksis yang akan menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu
umur, tipe alergen, atopi, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis,
asma, keseimbangan asam basa dan elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi
seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval waktu dari mulai terpajan oleh
alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi adrenalin.5

26

BAB III
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Ig E yang ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun
hebat.

Syok

anafilaktik

memang

jarang

dijumpai,

tetapi

mempunyai

angka mortalitas yang sangat tinggi. Beberapa golongan alergen yang sering
menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan, obat-obatan, dan bisa atau racun
serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko terjadinya anafilaksis,
yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan
paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I, terdiri
dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah
yang mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik. Manifestasi klinis
anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal
kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat
membantu menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa
pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil pengbatan dan mendeteksi
komplikasi lanjut.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang yang baik akan membantu
seorang dokter dalam mendiagnosis suatu syok anafilaktik. Penatalaksanaan syok
anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang menyebabkan
reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian
adrenalin dan obat-obat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik
penderita bila perlu berikan terapi cairan secara intravena, observasi keadaan
penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit. Pencegahan merupakan langkah
terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama yang disebabkan oleh
obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan kaedah
kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Longecker, DE. Anaphylactic reaction and Anesthesia dalam Anesthesiology.
2008; Chapter 88, hal 1948-1963.2.
2. Mangku, G. Diktat Kuliah : Syok, Bagian Anestesiologi dan Reanimasi FK
UNUD/RS Sanglah, Denpasar. 2007.3.
3. Anonim. Severe Allergic Reaction, Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20
Maret 2009].Available from: URL: www.emedicine.com.4.
4. Ewan, PW. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies; 1998. BMJ. Vol 316. Hal
1442-14455.
5. Suryana K. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunology. Divisi Alergi Imuno
logi Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah; 2003,
Denpasar.6.
6. Anonim. Anaphylactic Shock. 2008 [cited: 20 Maret 2009]. Available from:
URL: www.duniakedokteran.cq.bz.7.
7. Sampson HA, et al. Clinicl Immunologist and Allergist Pricess. Margaret and
Fremantle Hospitals, Western Australia; 20068.
8. Brown SGA. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy
Clinical Immunology. Hobart, Australia; 2004. pp.371-376.9.
9. Mangku, G. Diktat Kuliah Anestesiologi dan Reanimasi, Balai Penerbit Fakul
tas Kedokteran UNUD, Denpasar; 2002. hal 50-55; 57-58.10.

28

10. Anonim. Penggunaan Adrenalin dalam Pengobatan Anafilaksis. 2009 [cited:


20 Maret2009]. Available from: URL: www.farmakoterapi-info.htm.11.
11. Putra TR, Herman H. Reaksi Anafilaksis dalam Pedoman Diagnosis dan
Terapi

Penyakit Dalam. SMF Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana; 1994. hal 77-80.12.


12. Anonim. Syok dan Penanggulangannya. 2009 [cited: 20 Maret 2009].
Available from:URL: www.shineupyourlife.com.
13. Working Group of the Resuscitation Council (UK) Emergency treatment of
anaphylactic reactions Guidelines for healthcare providers. January 2008.
14. Hepner David L and Castells Mariana C.. Anaphylaxis During the
Perioperative Period Anesth Analg 2003;97:138195

29

Anda mungkin juga menyukai