CEDERA KRANIOSEREBRAL
PENDAHULUAN
Dinamakan cedera kranioserebral karena cedera ini melukai baik bagian kranium
(tengkorak) maupun serebrum (otak). Cedera tersebut dapat mengakibatkan luka
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, kerusakan pembuluh
darah intra- maupun ekstraserebral, dan kerusakan jaringan otaknya sendiri.
Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (terbanyak), baik pejalan
kaki maupun pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu, cedera kranioserebral
dapat juga terjadi akibat jatuh, peperangan (luka tembus peluru), dan lainnya.
Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami kondisi kritis seperti tidak sadarkan
diri pada saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah saat perawatan karena jika
penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau kecacatan berat.
DEFINISI
Cedera
kranioserebral
termasuk
dalam
ruang
lingkup
cabang
ilmu
KLASIFIKASI
Klasifi kasi cedera kranioserebral berdasarkan patologi yang dibagi dalam
komosio serebri, kontusio serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi
pada otak, mungkin terdapat juga fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang di
basis kranium, dan ada yang di temporal, frontal, parietal, ataupun oksipital.
Fraktur bisa linear atau depressed, terbuka atau tertutup. Klasifi kasi berdasarkan
lesi bisa fokal atau difus, bisa kerusakan aksonal ataupun hematoma. Letak
hematoma bisa ekstradural atau dikenal juga sebagai hematoma epidural (EDH),
bisa hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun
perdarahan subaraknoid (SAH).
Klasifi kasi yang sering dipergunakan di klinik berdasarkan derajat kesadaran
Skala Koma Glasgow (tabel 1).
Dari
empat
tersebut,
berdasarkan
klasifikasi
klasifi
kasi
derajat
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai
edema. Keadaan pasien umumnya buruk.
Hematoma Subaraknoid (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera
kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal
sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di
dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga
subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan
timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada
pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan
pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10
hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT
scan otak, tampak perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH nontraumatik yang umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM
atau aneurisma), perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.
Fraktur Basis Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa
di anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak
atau aksial CT scan. Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan
potongan yang tipis. Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran
pneumoensefal. Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus
frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour
yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma
kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau
Battle sign yaitu hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau
gangguan nervi kraniales VII dan VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila
duramater robek.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan:
A. Kondisi kesadaran pasien
Kesadaran menurun
Kesadaran baik
B. Tindakan
Terapi non-operatif
Terapi operatif
C. Saat kejadian
Manajemen prehospital
Instalasi Gawat Darurat
Perawatan di ruang rawat
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan
terjadinya tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)
Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan
tidak ada defi sit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan
luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh
pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila
dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk
dan sulit dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.
2.
Penderita
mengalami
penurunan
kesadaran
sesaat
setelah
trauma
kranioserebral, dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan
mengalami cedera kranioserebral ringan (CKR).
f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada
perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS
10
ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik
NaCl 0,9%.
2. Pemeriksaan fi sik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fi sik yang meliputi kesadaran,
tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya),
defi sit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan
dilakukan pemantauan ketat padahari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah
satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, collar yang telah
terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas
indikasi. CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila
secara klinis diduga ada hematoma intrakranial.
4. Pemeriksaan laboratorium
Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah
satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit
>17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal,5 sedangkan angka leukositosis
>14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran
<10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah
komosio.6 Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa
fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang
sederhana.
Gula darah sewaktu (GDS) (10)
11
12
bersama
manitol,
karena
mempunyai
efek
sinergis
dan
6. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata
pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang
dibutuhkan
25-30
kkal/kgBB/hari.
Kebutuhan
protein
1,5-2g/kgBB/hari,
13
7. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas
digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Kondisi
kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow
sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi amnesia Galveston (GOAT). Bila
GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai
kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination
(MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan
konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.
8. Komplikasi
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure,
dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi
risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah
korteks; diberi profi laksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur
tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profi laksis antibiotik ini
14
d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis
erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan
tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena
berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera
kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini
dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers
(simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah
tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin,
dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat
diberikan penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih
adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.
15
KONTROVERSI MANAJEMEN
Steroid
Pemberian kortikosteroid untuk cedera kranioserebral ini masih kontroversial.
Ada yang mengatakan tidak ada gunanya dan ada yang mengatakan boleh saja
diberikan. Efek yang jelas terlihat dan berguna ialah pada kasus cedera spinal.
Terapi kortikosteroid yang menjanjikan di masa datang adalah 21 aminosteroid
(lazaroid) yang masih diteliti.
PREDIKSI LUARAN
Luaran cedera kranioserebral secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan
meninggal. Untuk prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bisa dipakai beberapa
sistem penskoran, antara lain (yang dikembangkan di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo) adalah penskoran MNM (Mata, Napas, Motorik).
16
Penskoran yang lebih komprehensif dalam menilai kematian dan kondisi hidup
dengan tingkatan kecacatan adalah Glasgow Outcome Score. Prediksi luaran
pasien cedera kranioserebral bergantung pada banyak faktor, antara lain umur,
beratnya cedera berdasarkan klasifi kasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas,
hipotensi, dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak
adekuat dapat memperburuk luaran. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah
adanya amnesia pascacedera yang menetap lebih dari 1 jam (pemeriksaan GOAT),
fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik (salah satu caranya dengan pemeriksaan
MMSE) atau gejala neurologik saat keluar dari rumah sakit, yang akan
memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan merekayang keluar
tanpa adanya gejala tersebut di atas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
PERDOSSI, 2006.
2. Teasdale G, Jennett B. Management of head injuries. Davis Co., Philadelphia,
1981.
3. Ling GSF, Grimes J. Pathophysiology and initial prehospital management.
AAN Hawaii, 2011.
4. Marion DW. Head injury. Powner DJ. Nutrition/metabolism in the trauma
patient. In: The Trauma Manual. Peitzman AB et al. (eds.). Lippincott Raven,
1998.
5. Andrews PJD. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R
(ed.). 3rd ed. BMJ books, 2000.
6. Marshall SA. Management of moderate and severe traumatic brain injury. AAN
Hawaii, 2011.
7. Musridatha E, Jannis J, Soertidewi L. Modifi kasi revised trauma score pada
pasien dewasa cedera kranioserebral sedang. Tesis Bagian Neurologi
FKUI/RSCM, 2006.
17
8. Emril RD. Leukositosis sebagai salah satu indikator adanya lesi struktural
intrakranial pada penderita cedera kepala tertutup dengan skala koma
Glasgow awal 13-15. Penelitian Bagian
Neurologi, FKUI/RSCM, 2003.
9. Syarif I, Soertidewi L,Yamanie N. Hubungan antara leukositosis dan
peningkatan suhu tubuh dengan CKS dan CKB tertutup selama 3 hari onset di
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tesis. Bagian Neurologi
FKUI/RSCM, 2001.
10. Handisurya I. Nilai prognostik kadar glukosa darah sewaktu pada cedera
kranioserebral
berat
tertutup
fase
akut.
Tesis.
Bagian
Neurologi,
FKUI/RSCM, 1996.
11. Dewati E, Soertidewi L, Yamanie N. Kadar albumin serum dan keluaran
penderita cedera kranioserebral. Tesis. Bagian Neurologi, FKUI/RSCM,
1999.
12. Gunawan A, Soertidewi L, Musridatha E. Uji prognostik: skor motorik,
frekuensi nafas, dan membuka mata (MNM skor) untuk memprediksi
keluaran dalam tiga hari pada pasien dewasa trauma kapitis sedang-berat.
Tesis Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2011.
18