Anda di halaman 1dari 18

PENATALAKSANAAN KEDARURATAN

CEDERA KRANIOSEREBRAL

PENDAHULUAN
Dinamakan cedera kranioserebral karena cedera ini melukai baik bagian kranium
(tengkorak) maupun serebrum (otak). Cedera tersebut dapat mengakibatkan luka
kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak, kerusakan pembuluh
darah intra- maupun ekstraserebral, dan kerusakan jaringan otaknya sendiri.
Cedera ini dapat terjadi akibat kecelakaan lalu lintas (terbanyak), baik pejalan
kaki maupun pengemudi kendaraan bermotor. Selain itu, cedera kranioserebral
dapat juga terjadi akibat jatuh, peperangan (luka tembus peluru), dan lainnya.
Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami kondisi kritis seperti tidak sadarkan
diri pada saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah saat perawatan karena jika
penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau kecacatan berat.

DEFINISI
Cedera

kranioserebral

termasuk

dalam

ruang

lingkup

cabang

ilmu

neurotraumatologi, yang mempelajari/meneliti pengaruh trauma terhadap sel otak


secara struktural maupun fungsional dan akibatnya baik pada masa akut maupun
sesudahnya. Akibat trauma dapat terjadi pada masa akut (kerusakan primer) dan
sesudahnya (kerusakan sekunder), oleh karena itu manajemen segera dan
intervensi lanjut harus sudah dilaksanakan sejak saat awal kejadian guna
mencegah/meminimalkan kematian maupun kecacatan pasien.

KLASIFIKASI
Klasifi kasi cedera kranioserebral berdasarkan patologi yang dibagi dalam
komosio serebri, kontusio serebri, dan laserasi. Di samping patologi yang terjadi
pada otak, mungkin terdapat juga fraktur tulang tengkorak. Fraktur ini ada yang di
basis kranium, dan ada yang di temporal, frontal, parietal, ataupun oksipital.
Fraktur bisa linear atau depressed, terbuka atau tertutup. Klasifi kasi berdasarkan
lesi bisa fokal atau difus, bisa kerusakan aksonal ataupun hematoma. Letak
hematoma bisa ekstradural atau dikenal juga sebagai hematoma epidural (EDH),
bisa hematoma subdural (SDH), hematoma intraserebral (ICH), ataupun
perdarahan subaraknoid (SAH).
Klasifi kasi yang sering dipergunakan di klinik berdasarkan derajat kesadaran
Skala Koma Glasgow (tabel 1).

Dari

empat

tersebut,
berdasarkan

klasifikasi

klasifi

kasi
derajat

kesadaran yang banyak dipakai di klinik karena mempunyai beberapa kelebihan,


yaitu
1. Penilaian SKG (Skala Koma Glasgow) dengan komponen E(ye) M(otor) dan
V(erbal) mempunyai nilai pasti dengan tampakan klinik yang mudah dinilai oleh
kalangan medis maupun paramedis (standar jelas) (Tabel 3),
2. Kategori dan prognosis pasien cedera kranioserebral dapat diperkirakan dengan
melihat nilai SKG yang meskipun diulang beberapa kali akan menghasilkan nilai
yang sama.

PATOLOGI & GEJALA KLINIS


Hematoma Ekstradural/Epidural (EDH) Sebagian besar kasus diakibatkan oleh
robeknya arteri meningea media. Perdarahan terletak di antara tulang tengkorak
dan duramater. Gejala klinisnya adalah lucid interval, yaitu selang waktu antara
pasien masih sadar setelah kejadian trauma kranioserebral dengan penurunan
kesadaran yang terjadi kemudian. Biasanya waktu perubahan kesadaran ini kurang
dari 24 jam; penilaian penurunan kesadaran dengan GCS. Gejala lain nyeri kepala
bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di sisi lesi akibat
herniasi unkal, hemiparesis, dan refl eks patologis Babinski positif kontralateral
lesi yang terjadi terlambat. Pada gambaran CT scan kepala, didapatkan lesi
hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah temporal berbentuk
cembung.
Hematoma Subdural (SDH)
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater atau
robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea.
SDH ada yang akut dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat
dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak,
mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala
berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan,
disebut higroma (hidroma) subdural.
Edema Serebri Traumatik
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di batang
otak dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga cairan lebih
mudah menembus dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang dapat
menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah sehingga menjadi
lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema.
Cedera Otak Difus

Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak, disertai
edema. Keadaan pasien umumnya buruk.
Hematoma Subaraknoid (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus cedera
kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan parietal
sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya darah di
dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di dalam rongga
subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai vasospasme, akan
timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan ini tampak pada
pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan. Penguncupan
pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung sampai 10
hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala hebat. Pada CT
scan otak, tampak perdarahan di ruang subaraknoid. Berbeda dengan SAH nontraumatik yang umumnya disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak (AVM
atau aneurisma), perdarahan pada SAH traumatik biasanya tidak terlalu berat.
Fraktur Basis Kranii
Biasanya merupakan hasil dari fraktur linear fosa di daerah basal tengkorak; bisa
di anterior, medial, atau posterior. Sulit dilihat dari foto polos tulang tengkorak
atau aksial CT scan. Garis fraktur bisa terlihat pada CT scan berresolusi tinggi dan
potongan yang tipis. Umumnya yang terlihat di CT scan adalah gambaran
pneumoensefal. Fraktur anterior fosa melibatkan tulang frontal, etmoid dan sinus
frontal. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yaitu adanya cairan likour
yang keluar dari hidung (rinorea) atau telinga (otorea) disertai hematoma
kacamata (raccoon eye, brill hematoma, hematoma bilateral periorbital) atau
Battle sign yaitu hematoma retroaurikular. Kadang disertai anosmia atau
gangguan nervi kraniales VII dan VIII. Risiko infeksi intrakranial tinggi apabila
duramater robek.

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan cedera kranioserebral dapat dibagi berdasarkan:
A. Kondisi kesadaran pasien
Kesadaran menurun
Kesadaran baik
B. Tindakan
Terapi non-operatif
Terapi operatif
C. Saat kejadian
Manajemen prehospital
Instalasi Gawat Darurat
Perawatan di ruang rawat
Terapi non-operatif pada pasien cedera kranioserebral ditujukan untuk:
1. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah kemungkinan
terjadinya tekanan tinggi intrakranial
2. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
3. Minimalisasi kerusakan sekunder
4. Mengobati simptom akibat trauma otak
5. Mencegah dan mengobati komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi
(antikonvulsan dan antibiotik)

Terapi operatif terutama diindikasikan untuk kasus:


1. Cedera kranioserebral tertutup
Fraktur impresi (depressed fracture)
Perdarahan epidural (hematoma epidural /EDH) dengan volume perdarahan
lebih dari 30mL/44mL dan/atau pergeseran garis tengah lebih dari 3 mm serta ada
perburukan kondisi pasien
Perdarahan subdural (hematoma subdural/SDH) dengan pendorongan garis
tengah lebih dari 3 mm atau kompresi/ obliterasi sisterna basalis
Perdarahan intraserebral besar yang menyebabkan progresivitas kelainan
neurologik atau herniasi

2. Pada cedera kranioserebral terbuka


Perlukaan kranioserebral dengan ditemukannya luka kulit, fraktur multipel, dura
yang robek disertai laserasi otak
Liquorrhea yang tidak berhenti lebih dari 14 hari
Pneumoencephali
Corpus alienum
Luka tembak

PASIEN DALAM KEADAAN SADAR (SKG=15)1-6


1. Simple Head Injury (SHI)

Pada pasien ini, biasanya tidak ada riwayat penurunan kesadaran sama sekali dan
tidak ada defi sit neurologik, dan tidak ada muntah. Tindakan hanya perawatan
luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Umumnya pasien SHI boleh
pulang dengan nasihat dan keluarga diminta mengobservasi kesadaran. Bila
dicurigai kesadaran menurun saat diobservasi, misalnya terlihat seperti mengantuk
dan sulit dibangunkan, pasien harus segera dibawa kembali ke rumah sakit.
2.

Penderita

mengalami

penurunan

kesadaran

sesaat

setelah

trauma

kranioserebral, dan saat diperiksa sudah sadar kembali. Pasien ini kemungkinan
mengalami cedera kranioserebral ringan (CKR).

PASIEN DENGAN KESADARAN MENURUN


1. Cedera kranioserebral ringan (SKG=13-15)1-6
Umumnya didapatkan perubahan orientasi atau tidak mengacuhkan perintah,
tanpa disertai defi sit fokal serebral. Dilakukan pemeriksaan fi sik, perawatan
luka, foto kepala, istirahat baring dengan mobilisasi bertahap sesuai dengan
kondisi pasien disertai terapi simptomatis. Observasi minimal 24 jam di rumah
sakit untuk menilai kemungkinan hematoma intrakranial, misalnya riwayat lucid
interval, nyeri kepala, muntah-muntah, kesadaran menurun, dan gejala-gejala
lateralisasi (pupil anisokor, refleksi patologis positif ). Jika dicurigai ada
hematoma, dilakukan CT scan. Pasien cedera kranioserebral ringan (CKR) tidak
perlu dirawat jika:
a. orientasi (waktu dan tempat) baik
b. tidak ada gejala fokal neurologik
c. tidak ada muntah atau sakit kepala
d. tidak ada fraktur tulang kepala
e. tempat tinggal dalam kota

f. ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah, dan bila dicurigai ada
perubahan kesadaran, dibawa kembali ke RS

2. Cedera kranioserebral sedang (SKG=9-12)


Pasien dalam kategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner.
Urutan tindakan:
a. Periksa dan atasi gangguan jalan napas (Airway), pernapasan (Breathing), dan
sirkulasi (Circulation)
b. Pemeriksaan singkat kesadaran, pupil, tanda fokal serebral, dan cedera organ
lain. Jika dicurigai fraktur tulang servikal dan atau tulang ekstremitas, lakukan fi
ksasi leher dengan pemasangan kerah leher dan atau fi ksasi tulang ekstremitas
bersangkutan
c. Foto kepala, dan bila perlu foto bagian tubuh lainnya
d. CT scan otak bila dicurigai ada hematoma intrakranial
e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, dan defi sit fokal serebral lainnya

3. Cedera kranioserebral berat (SKG=3-8)


Pasien dalam kategori ini, biasanya disertai cedera multipel. Bila didapatkan
fraktur servikal, segera pasang kerah fiksasi leher, bila ada luka terbuka dan ada
perdarahan, dihentikan dengan balut tekan untuk pertolongan pertama. Tindakan
sama dengan cedera kranioserebral sedang dengan pengawasan lebih ketat dan
dirawat di ICU. Di samping kelainan serebral juga bisa disertai kelainan sistemik.
Pasien cedera kranioserebral berat sering berada dalam keadaan hipoksi,
hipotensi, dan hiperkapni akibat gangguan kardiopulmoner.

TINDAKAN DI UNIT GAWAT DARURAT & RUANG RAWAT4-6


1. Resusitasi dengan tindakan A = Airway, B = Breathing dan C = Circulation
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala
ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal. Bersihkan sisa
muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika muntah, pasien dibaringkan miring.
Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi
muntahan.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer.
Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang ditandai dengan pola
pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi neurogenik sentral, atau ataksik.
Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru,
atau infeksi.
Tata laksana:
Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
Cari dan atasi faktor penyebab
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat meningkatkan
risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi akibat faktor

10

ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam,
trauma dada disertai tamponade jantung/pneumotoraks, atau syok septik.
Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan isotonik
NaCl 0,9%.
2. Pemeriksaan fi sik
Setelah resusitasi ABC, dilakukan pemeriksaan fi sik yang meliputi kesadaran,
tensi, nadi, pola dan frekuensi respirasi, pupil (besar, bentuk dan reaksi cahaya),
defi sit fokal serebral dan cedera ekstrakranial. Hasil pemeriksaan dicatat dan
dilakukan pemantauan ketat padahari-hari pertama. Bila terdapat perburukan salah
satu komponen, penyebabnya dicari dan segera diatasi.
3. Pemeriksaan radiologi
Dibuat foto kepala dan leher, bila didapatkan fraktur servikal, collar yang telah
terpasang tidak dilepas. Foto ekstremitas, dada, dan abdomen dilakukan atas
indikasi. CT scan otak dikerjakan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila
secara klinis diduga ada hematoma intrakranial.
4. Pemeriksaan laboratorium
Hb, leukosit, diferensiasi sel
Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat dipakai sebagai salah
satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio (CKR). Leukosit
>17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal,5 sedangkan angka leukositosis
>14.000 menunjukkan kontusio meskipun secara klinis lama penurunan kesadaran
<10 menit dan nilai SKG 13-15 adalah acuan klinis yang mendukung ke arah
komosio.6 Prediktor ini bila berdiri sendiri tidak kuat, tetapi di daerah tanpa
fasilitas CT scan otak, dapat dipakai sebagai salah satu acuan prediktor yang
sederhana.
Gula darah sewaktu (GDS) (10)

11

Hiperglikemia reaktif dapat merupakan faktor risiko bermakna untuk kematian


dengan OR 10,07 untuk GDS 201-220mg/ dL dan OR 39,82 untuk GDS >220 mg/
dL.

Ureum dan kreatinin


Pemeriksaan fungsi ginjal perlu karena manitol merupakan zat hiperosmolar yang
pemberiannya berdampak pada fungsi ginjal. Pada fungsi ginjal yang buruk,
manitol tidak boleh diberikan.
Analisis gas darah
Dikerjakan pada cedera kranioserebral dengan kesadaran menurun. pCO2 tinggi
dan pO2 rendah akan memberikan luaran yang kurang baik. pO2 dijaga tetap >90
mm Hg, SaO2 >95%, dan pCO2 30-35 mm Hg.
Elektrolit (Na, K, dan Cl)
Kadar elektrolit rendah dapat menyebabkan penurunan kesadaran.
Albumin serum (hari 1)
Pasien CKS dan CKB dengan kadar albumin rendah (2,7-3,4g/dL) mempunyai
risiko kematian 4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan kadar albumin normal.
Trombosit, PT, aPTT, fibrinogen
Pemeriksaan dilakukan bila dicurigai ada kelainan hematologis. Risiko late
hematomas perlu diantisipai. Diagnosis kelainan hematologis ditegakkan bila
trombosit <40.000/mm3, kadar ffi brinogen <40mg/mL, PT >16 detik, dan aPTT
>50 detik.
5. Manajemen tekanan intrakranial

12

(TIK) meninggi5,6 Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri


dan/atau hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor
TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mmHg sudah harus diturunkan
dengan cara:
a. Posisi tidur:
Bagian kepala ditinggikan 20- 30 derajat dengan kepala dan dada pada satu
bidang.
b. Terapi diuretik:
Diuretik osmotik
(manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB, diberikan dalam 30 menit. Untuk
mencegah rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB
dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm.
Loop diuretic (furosemid)
Pemberiannya

bersama

manitol,

karena

mempunyai

efek

sinergis

dan

memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.

6. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-2,5 kali
normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Kebutuhan energi rata-rata
pada cedera kranioserebral berat meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang
dibutuhkan

25-30

kkal/kgBB/hari.

Kebutuhan

protein

1,5-2g/kgBB/hari,

minimum karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/hari, lipid 10-40% dari kebutuhan


kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10-30 mg/hari, cuprum 1-3
mg, selenium 50-80mikrogram, kromium 50-150 mikrogram, dan mangan 25-50
mg. Beberapa vitamin juga direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribofl
avin, dan vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi.

13

Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang setelah


terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar untuk mencegah
regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada perdarahan lambung. Bila
pemberian nutrisi peroral sudah baik dan cukup, infus dapat dilepas untuk
mengurangi risiko flebitis.

7. Neurorestorasi/rehabilitasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas
digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Kondisi
kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow
sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi amnesia Galveston (GOAT). Bila
GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai
kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination
(MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan
konsultasi ke klinik memori bagian neurologi.

8. Komplikasi
a. Kejang
Kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah trauma disebut early seizure,
dan yang terjadi setelahnya disebut late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi
risiko tinggi, yaitu ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, kontusio di daerah
korteks; diberi profi laksis fenitoin dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari.
b. Infeksi
Profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi infeksi, seperti pada fraktur
tulang terbuka, luka luar, fraktur basis kranii. Pemberian profi laksis antibiotik ini

14

masih kontroversial. Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik


dengan dosis meningitis.
c. Demam
Setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi penyebabnya. Dilakukan tindakan
menurunkan suhu dengan kompres dingin di kepala, ketiak, dan lipat paha, atau
tanpa memakaibaju dan perawatan dilakukan dalam ruangan dengan pendingin.
Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis sesuai berat badan.

d. Gastrointestinal
Pada pasien cedera kranio-serebral terutama yang berat sering ditemukan gastritis
erosi dan lesi gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah. Kelainan
tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran cerna bagian atas karena
berbagai kelainan patologik atau stresor yang dapat disebabkan oleh cedera
kranioserebal. Umumnya tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini
dicegah dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor blockers
(simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1 ampul IV selama 5 hari.
e. Gelisah
Kegelisahan dapat disebabkan oleh kandung kemih atau usus yang penuh, patah
tulang yang nyeri, atau tekanan intrakranial yang meningkat. Bila ada retensi urin,
dapat dipasang kateter untuk pengosongan kandung kemih. Bila perlu, dapat
diberikan penenang dengan observasi kesadaran lebih ketat. Obat yang dipilih
adalah obat peroral yang tidak menimbulkan depresi pernapasan.

9. Proteksi serebral (neuroproteksi)


Adanya tenggang waktu antara terjadinya cedera otak primer dengan timbulnya
kerusakan sekunder memberikan kesempatan untuk pemberian neuroprotektor.
Manfaat obat-obat tersebut sampai saat ini masih terus diteliti. Obat-obat tersebut

15

antara lain golongan antagonis kalsium (mis., nimodipine) yang terutama


diberikan pada perdarahan subaraknoid (SAH) dan sitikolin untuk memperbaiki
memori. Dari beberapa percobaan penting, terungkap bahwa agen neuroprotektor
yang diberikan setelah cedera otak dapat menekan kematian dan menambah
perbaikan fungsi otak. Dahulu, pemberian neuroprotektor ini masih diragukan
kegunaannya.
Manajemen harus sudah mendeteksi sejak awal dan melakukan pencegahan efek
sekunder dengan cara memperhatikan kemungkinan terjadinya komplikasi
sekunder dan kemungkinan adanya perbaikan dengan terapi intervensi nonfarmasi (terapi gizi). Hal yang perlu dipantau dari awal untuk proteksi serebral
adalah kemungkinan terjadinya hipoksia, hipotensi, maupun demam yang dapat
memperburuk kondisi iskemia serebral. Manajemen intensif dengan obat proteksi
serebral berdasarkan patofi siologi mekanisme kerja yang spesifi k menjanjikan
perbaikan luaran (outcome) pasien cedera kranioserebral.

KONTROVERSI MANAJEMEN
Steroid
Pemberian kortikosteroid untuk cedera kranioserebral ini masih kontroversial.
Ada yang mengatakan tidak ada gunanya dan ada yang mengatakan boleh saja
diberikan. Efek yang jelas terlihat dan berguna ialah pada kasus cedera spinal.
Terapi kortikosteroid yang menjanjikan di masa datang adalah 21 aminosteroid
(lazaroid) yang masih diteliti.

PREDIKSI LUARAN
Luaran cedera kranioserebral secara sederhana dibagi dua, yaitu hidup dan
meninggal. Untuk prediksi luaran hidup dan meninggal ini, bisa dipakai beberapa
sistem penskoran, antara lain (yang dikembangkan di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo) adalah penskoran MNM (Mata, Napas, Motorik).

16

Penskoran yang lebih komprehensif dalam menilai kematian dan kondisi hidup
dengan tingkatan kecacatan adalah Glasgow Outcome Score. Prediksi luaran
pasien cedera kranioserebral bergantung pada banyak faktor, antara lain umur,
beratnya cedera berdasarkan klasifi kasi GCS dan CT scan otak, komorbiditas,
hipotensi, dan/atau iskemia serta lateralisasi neurologik. Nutrisi yang tidak
adekuat dapat memperburuk luaran. Hal yang perlu juga diperhatikan adalah
adanya amnesia pascacedera yang menetap lebih dari 1 jam (pemeriksaan GOAT),
fraktur tengkorak, gejala neuropsikologik (salah satu caranya dengan pemeriksaan
MMSE) atau gejala neurologik saat keluar dari rumah sakit, yang akan
memberikan problem gejala sisa lebih sering dibandingkan merekayang keluar
tanpa adanya gejala tersebut di atas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
PERDOSSI, 2006.
2. Teasdale G, Jennett B. Management of head injuries. Davis Co., Philadelphia,
1981.
3. Ling GSF, Grimes J. Pathophysiology and initial prehospital management.
AAN Hawaii, 2011.
4. Marion DW. Head injury. Powner DJ. Nutrition/metabolism in the trauma
patient. In: The Trauma Manual. Peitzman AB et al. (eds.). Lippincott Raven,
1998.
5. Andrews PJD. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R
(ed.). 3rd ed. BMJ books, 2000.
6. Marshall SA. Management of moderate and severe traumatic brain injury. AAN
Hawaii, 2011.
7. Musridatha E, Jannis J, Soertidewi L. Modifi kasi revised trauma score pada
pasien dewasa cedera kranioserebral sedang. Tesis Bagian Neurologi
FKUI/RSCM, 2006.

17

8. Emril RD. Leukositosis sebagai salah satu indikator adanya lesi struktural
intrakranial pada penderita cedera kepala tertutup dengan skala koma
Glasgow awal 13-15. Penelitian Bagian
Neurologi, FKUI/RSCM, 2003.
9. Syarif I, Soertidewi L,Yamanie N. Hubungan antara leukositosis dan
peningkatan suhu tubuh dengan CKS dan CKB tertutup selama 3 hari onset di
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Tesis. Bagian Neurologi
FKUI/RSCM, 2001.
10. Handisurya I. Nilai prognostik kadar glukosa darah sewaktu pada cedera
kranioserebral

berat

tertutup

fase

akut.

Tesis.

Bagian

Neurologi,

FKUI/RSCM, 1996.
11. Dewati E, Soertidewi L, Yamanie N. Kadar albumin serum dan keluaran
penderita cedera kranioserebral. Tesis. Bagian Neurologi, FKUI/RSCM,
1999.
12. Gunawan A, Soertidewi L, Musridatha E. Uji prognostik: skor motorik,
frekuensi nafas, dan membuka mata (MNM skor) untuk memprediksi
keluaran dalam tiga hari pada pasien dewasa trauma kapitis sedang-berat.
Tesis Bagian Neurologi FKUI/RSCM, 2011.

18

Anda mungkin juga menyukai