Anda di halaman 1dari 23

POLIO

(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen KLB dan


Bencana)

Oleh:
Widya Rizki Septianingtyas, S.KM
152520102005

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS JEMBER

2016

POLIO (POLIOMYELITIS ANTERIOR AKUT)

Poliomyelitis
kelumpuhan

anterior

dengan

akut

kerusakan

adalah
motor

penyakit

neuron

pada

dengan
cornu

anterior dari sumsum tulang belakang akibat infeksi virus


neurotopik (tipe I, II, dan III). Virus poliomielitis mempunyai
afinitas khusus pada sel-sel kornu anterior medula spinalis dan
inti saraf motorik tertentu di batang otak. Sel-sel saraf yang
terkena mengalami nekrosis dan otot-otot yang disuplainya
menjadi paralisis (Krol, 1996).

Penyakit ini telah lama dikenal oleh manusia. Selain


ditemukannya mumi dengan gambaran klinik polio, pada salah
satu inskripsi Mesir kuno (1580-1350 SM) terdapat gambaran
seorang pendeta muda dengan kaki sebelah kiri yang memendek
dan mengecil, telapak kaki pada posisi equinus, yang merupakan
gambaran keadaan klinik lumpuh layu. Pada tahun 1789 Michael
Underwood membuat deskripsi penyakit polio sebagai suatu
kesatuan klinik yang utuh, disusul pleh Heine pada tahun 1840

merinci kelainan klinisnya dan tahun 1870 Medin melaporkan


gambaran epidemiologisnya. Penyakit ini dilaporkan sebagai
kejadian luar biasa pertama kali pada tahun 1948 dan laporan
terakhir virus polio liar di Indonesia tahun 2006.

Penyakit polio dibedakan menjadi 3 jenis, maka masingmasing dari jenis penyakit polio tersebut memiliki gejala atau
tanda-tanda sendiri.
1. Polio non-paralisis
Polio non-paralisis menyebabkan demam, muntah, sakit
perut, lesu, dan sensitif. Terjadi kram otot pada leher dan
punggung, otot terasa lembek jika disentuh (Andareto, 2015).
Hal ini berlangsung 2-10 hari dan akan sembuh sempurna
(Cahyono, 2010).
2. Polio paralisis spinal
Strain poliovirus ini menyerang saraf tulang belakang,
menghancurkan

sel

tanduk

anterior

yang

mengontrol

pergerakan pada batang tubuh dan otot tungkai. Pada


penderita

yang

tidak

memiliki

kekebalan

atau

belum

divaksinasi, virus ini biasanya akan menyerang seluruh


bagian batang saraf tulang belakang dan batang otak. Namun
penderita yang sudah memiliki kekebalan biasanya terjadi
kelumpuhan pada kaki (Andareto, 2015). Kelumpuhan pada
kaki menyebabkan tungkai menjadi lemas atau disebut
dengan acute flaccid paralysis (AFP). Kelumpuhan tersebut
bersifat asimetris (salah satu sisi) sehingga menimbulkan
deformitas

(gangguan

bentuk

tubuh)

yang

cenderung

menetap atau bahkan menjadi lebih berat. Kelumpuhan itu


berjalan bertahap dan memakan waktu 2hari hingga 2 bulan.
sekitar 50%-70% fungsi otot pulih dalam waktu 6-9 bulan.

kemudian setelah dua tahun, diperkirakan tidak terjadi lagi


perbaika kekuatan otot (Cahyono, 2010).
3. Polio bulbar
Polio jenis ini disebabkan oleh tidak adanya kekebalan alami
sehingga

batang

otak

ikut

terserang.

Batang

otak

mengandung syaraf motorik yang mengatur pernapasan dan


saraf kranial, yang mengirim sinyal ke berbagai syaraf yang
mengontrol pergerakan bola mata; saraf trigeminal dan saraf
muka yang berhubungan dengan pipi, kelenjar air mata, gusi,
dan otot muka; saraf auditori yang mengatur pendengaran;
saraf glossofaringeal yang membantu proses menelan dan
berbagai fungsi di kerongkongan; pergerakan lidah dan rasa;
dan saraf yang mengirim sinyal ke jantung, usus, paru-paru,
dan saraf tambahan yang mengatur pergerakan leher. Polio
jenis ini dapat menyebabkan kematian (Andareto, 2015).
A.

Gambaran Klinis
Manifestasi klinis Polio dapat berupa:
1. Inapparent infection, tanpa gejala klinik, yang terbanyak
terjadi (72%)
2. Infeksi klinik yang ringan, sering terjadi (24%), dengan panas,
lemas, malaise, pusing, mual, muntah, tenggorokan sakit dan
gejala kombinasi
3. Abortive poliomyelitis, jarang terjadi (4%), didahului dengan
panas, malaise, pusing , muntah dan sakit perut. Merupakan
tanda klinik pertama dari perjalanan klinik yang bifasik. 1-2
hari setelahnya, timbul iritasi meningen, termasuk kaku
kuduk, muntah, nyeri kepala. Proses ini setelah 2-10 hari akan
membaik tanpa gejala sisa, kecuali pada beberapa kasus
terjadi kelemahan otot yang transient.
4. Aseptic meningitis (non paralytic poliomyelitis) akibat virus
polio tidak dapat dibedakan dengan aseptic meningitis akibat
virus lain. Anak demam, lemas, sakit otot, hiperesthesia atau

paraesthesia, mual muntah, diare, pada pemeriksaan fisik


didapatkan kaku kuduk, tanda spinal, tanda head drop tanda
Brudzinsky dan Kernig positif, perubahan refleks permukaan
dan

dalam.

Hasil

pungsi

lumbal

menunjukkan

adanya

kenaikan sel, pada permulaan PMN dan kemudian berubah


menjadi mononuclear, protein normal atau sedikit meningkat,
kadar glukosa normal.
5. Paralytic poliomyelitis dimulai dari gejala seperti pada infeksi
klinik yang ringan (minor), diseling dengan periode 1-3 hari
tanpa gejala, lalu disusul dengan nyeri otot, kaku otot, dan
demam. Dengan cepat (beberapa jam) keadaan klinik cepat
memburuk (mayor) dan menimbulkan kelumpuhan yang
maksimal dalam 48 jam saja. Pada tipe spinal kelumpuhan
yang terjadi biasanya tidak lengkap, kaki lebih sering terkena
dibanding dengan tangan, terutama terjadi pada bagian
proksimal, tidak simetrik dan menyebar dari bagian proksimal
kearah distal (descending paralysis). Kelumpuhan lebih sering
terjadi pada otot yang besar di bagian proximal, dibanding
dengan otot distal yang kecil. Jenis kelumpuhan dan beratnya
kelumpuhan

sangat

tergantung

pada

lokasi

kerusakan,

namun selalu bersifat layu (flaccid), otot lembek (floppy)


tanpa tonus otot. Jenis klinik spinal sering mengenai otot
tangan, kaki dan torso. Terdapat kasus bulbar (jarang) akibat
kerusakan motorneuron pada batang otak, sehingga terjadi
insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak lewat
hidung,

kesulitan

makan,

kelumpuhan

pita

suara

dan

kesulitan bicara. Saraf otak yang terkena adalah saraf V, IX,


X, XI dan kemudian VII. Kasus ensefalitis (jarang) sukar
dibedakan secara klinik dengan ensefalitis akibat virus lain.
Kerusakan pada SSP ini, seperti pada penyakit saraf yang
lain, tidak dapat diganti atau diperbaiki, sehingga akan terjadi
kelumpuhan yang permanen. Perbaikan secara klinik terjadi

akibat kompensasi otot lain atau perbaikan sisa otot yang


masih berfungsi.
6. Post Polio Syndrome (PPS) adalah bentuk manifestasi lambat
(15-40 tahun) setelah infeksi polio, dengan gejala klinik polio
paralitik yang akut. Gejala yang muncul adalah nyeri otot
yang luar biasa, paralisis yang rekuren atau timbul paralisis
baru.
B.

Etiologi
Poliomielitis adalah penyakit lumpuh yang disebabkan oleh
virus polio, yang termasuk dalam kelompok enterovirus, famili
Picornavirus. Virus polio sangan tahan terhadap alkohol dan lisol,
namun peka terhadap formaldehide dan larutan klor. Suhu yang
tinggi dapat cepat mematikan virus tetapi dlaam keadaan beku
masa hidupnya dapat bertahun-tahun (Cahyono, 2010). Virus
terdiri dari 3 strain yaitu strain-1 (Brunhilde), strain-2 (Lansig),
dan strain-3 (Leon), termasuk family Picornaviridae. Perbedaan
tiga jenis strain terletak pada sekuen nukleotidanya. VP1 adalah
antigen

yang

paling

dominan

dalam

membentuk

antibodi

netralisasi. Strain-1 adalah yang paling paralitogenik dan sering


menimbulkan wabah, sedang strain-2 paling jinak.

C.

Masa Inkubasi
Masa inkubasi biasanya memakan waktu 3-6 hari, dan
kelumpuhan terjadi dalam waktu 7-21 hari.

D.

Sumber dan Cara Penularan


Virus ditularkan oleh infeksi droplet dari orofaring (saliva)
atau tinja penderita yang infeksius. Virus masuk ke dalam tubuh
melalui

mulut

ketika

seseorang

memakan

makanan

atau

minuman yang terkontaminasi tinja penderita dan bisa juga dari


air liur penderita. Selanjutnya, virus menginfeksi usus kemudian
memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat yang
menyebabkan

melemahnya

otot

dan

kadang-kadang

menyebabkan kelumpuhan (Cahyono, 2010). Penularan terutama


terjadi dari penularan langsung manusia ke manusia (fekal oral
atau oral-oral) pada waktu 3 hari sebelum dan sesudah masa
prodromal.
E.

Pencegahan
Virus polio sangat menular dan tidak bisa disembuhkan.
Virus ini menyerang seluruh tubuh (termasuk otot dan sistem
saraf) dan bisa menyebabkan kelemahan otot yang sifatnya
permanen dan kelumpuhan total dalam hitungan jam saja.
Beberapa cara pencegahan penyakit polio:
1. Imunisasi polio biasanya dilakukan saat bayi atau anak-anak.
Vaksin polio ada 2 jenis yaitu vaksin salk (vaksin virus polio
yang tidak aktif) dan vaksin sabin (vaksin virus polio yang
aktif) (Andareto, 2015).
Pemberian imunisasi polio pada anak di bawah 5 tahun
sebaiknya sudah mendapat 5 kali, yaitu saat pulang dari RS
setelah lahir, kemudian pada usia 2,3,4 bulan, pada usia 1
tahun, usia 5-6 tahun, dan pada usia 15 tahun (Lumenta,
2006).
2. Bila memasak air harus mendidih dengan sempurna. Dengan
suhu yang tinggi dapat mematikan virus polio, sebaliknya bila

keadaan beku atau suhu yang rendah virus ini bisa bertahan
hidup bertahun-tahun (Andareto, 2015).
3. Biasakan menjalani pola hidup yang sehat (Andareto, 2015).
4. Sanitasi yang baik dan bersih (Andareto, 2015).

F.

Pengobatan
Tatalaksana kasus lebih ditekankan pada tindakan suportif
dan pencegahan terjadinya cacat, sehingga anggota gerak
diusahakan kembali berfungsi senormal mungkin. Sebaiknya
penderita dirawat inap selama minimal 7 hari atau sampai
penderita melampaui masa akut.
Polio abortif memerlukan analgesik atau sedativa, diet
yang adekuat dan istirahat sampai panas turun, aktifitas minimal
selama 2 minggu dan pemeriksaan neuromuskuloskeletal yang
teliti setelah 2 bulan. Polio nonparalitik sama dengan polio
abortif,

ditambah

penggunaan

kompres

untuk

mengurangi

spasme otot. Penderita polio paralitik harus dirawat di rumah


sakit sampai fase akut dilewati. Perawatan khusus diperlukan
pada penderita dengan kelumpuhan bulbar atau ensefalitis,
sesuai dengan derajat berat penyakitnya.
G.

Epidemiologi

Pada tahun 2005-2006 terjadi Kejadian Luar Biasa Polio di


Indonesia. Kasus pertama dilaporkan dari kab. Sukabumi (Jawa
Barat). Dalam kurun waktu 10 bulan Virus Polio Liar menyebar ke
47 Kab./Kota dan 10 Provinsi di Jawa dan Sumatera, dengan
jumlah kasus 303 pada tahun 2005 dan 2 kasus pada tahun
2006. Kasus terakhir yang dilaporkan berasal dari Aceh Tenggara
pada tanggal 26 Februari 2006 dan kasus tambahan yang
diambil spesimennya pada tanggal 13 April 2006 menunjukkan
hasil positif virus polio liar tipe 1.
Pada tanggal 9 Juni 2005 terjadi Kejadian Luar Biasa VDPV
pertama kali di 5 Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur, dengan
total 46 kasus.
H.

Kejadian Luar Biasa


Definisi KLB: ditemukannya satu kasus polio liar atau cVDVP.
Kejadian KLB polio dapat dinyatakan berakhir setelah paling
sedikit selama enam bulan sejak ditemukan virus polio terakhir,
tidak ditemukan virus polio. Keadaan tersebut sebagai hasil dari
serangkaian

upaya

penanggulangan

dan

berdasarkan

pemantauan ketat melalui pelaksanaan surveilans AFP dan virus


polio.
1. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi kasus polio adalah serangkaian
kegiatan yang dilakukan secara sistematis (pengumpulan
data dan informasi, pengolahan dan analisis) di lokasi
kejadian untuk :
a) Identifikasi adanya penularan setempat
b) Identifikasi wilayah dan populasi berisiko terjadinya kasus
atau daerah risiko tinggi terjadinya penularan
c) Identifikasi desa yang perlu segera dilaksanakan Imunisasi
Polio Terbatas (ORI)
d) Identifikasi Provinsi yang akan melaksanakan imunisasi
mopping up

2. Penanggulangan KLB
Merupakan

serangkaian

kegiatan

untuk

menghentikan

transmisi virus polio liar atau cVDPV di seluruh wilayah


Indonesia, dan upaya pencegahan kecacatan yang lebih berat
karena menderita poliomielitis anterior akut. Penanggulangan
KLB meliputi tatalaksana kasus dan pemberian imunisasi.
a) Penatalaksaaan Kasus Polio
Penatalaksaan kasus meliputi:
1) Penemuan dini dan perawatan dini untuk mempercepat
kesembuhan dan mencegah bertambah beratnya cacat.
2) Mencegah terjadinya penularan ke orang lain melalui
kontak langsung (droplet) dan pencemaran lingkungan
(fecal-oral) pengendalian infeksi
3) Rehabilitasi medik

b) Imunisasi
1) Respon Imunisasi OPV Terbatas (Outbreak Response
Immunization).
Imunisasi

OPV

Terbatas

atau

disebut

Outbreak

Response Immunization (ORI) adalah pemberian 2 tetes


vaksin polio oral (OPV) kepada setiap anak berumur <5
tahun di desa/kelurahan berisiko penularan virus polio
(terutama desa tempat tinggal kasus dan desa-desa
sekitarnya)

tanpa

melihat

status

imunisasi

polio

sebelumnya, sesegera mungkin (3x24 jam pertama)


dan

selambat-lambatnya

minggu

pertama

sejak

terdeteksi adanya kasus atau virus polio. Imunisasi OPV


Terbatas (ORI) tidak dilakukan lagi dalam seminggu
terakhir sebelum pelaksanaan Imunisasi Mopping up.

Tujuan

Imunisasi

OPV

Terbatas

untuk

mencegah

timbulnya penyakit polio pada anak-anak yang kontak


erat serumah, sepermainan (penularan langsung) dan
anak-anak

yang

kemungkinan

tertular

virus

polio

melalui pencemaran virus polio secara fekal-oral


2) Pelaksanaan Imunisasi Mopping Up
Imunisasi moppingup dilaksanakan pada wilayah yang
telah bebas polio, yang kemudian terjadi transmisi virus
polio

secara

terbatas

yang

dibuktikan

melalui

surveilans AFP yang memenuhi standar kinerja WHO.


Imunisasi mopping-up adalah pemberian 2 tetes vaksin
OPV (Oral Polio Vaccine) monovalen yang spesifik untuk
satu tipe virus polio (mOPV) yang diberikan secara
serentak pada setiap anak berusia < 5 tahun tanpa
melihat

status

imunisasi

polio

sebelumnya

serta

dilaksanakan sebagai kampanye intensif dari rumah ke


rumah dan mencakup daerah yang sangat luas.
Seringkali untuk memudahkan pemahaman masyarakat
tentang

tindakan

imunisasi

ini,

maka

Imunisasi

mopping-up pada satu atau beberapa Provinsi disebut


sebagai

Sub

Pekan

Imunisasi

Nasional

(Sub-PIN),

sementara Imunisasi Mopping Up di seluruh wilayah


Indonesia disebut sebagai Pekan Imunisasi Nasional
(PIN).

I.

Sistem Kewaspadaan Dini KLB


Untuk meningkatkan sensitifitas dalam mengidentifikasi
kemungkinan masih adanya kasus polio dan penularan virus
polio liar di suatu wilayah, maka pengamatan dilakukan pada
semua kelumpuhan yang terjadi secara akut dan sifatnya layuh
(flaccid), seperti sifat kelumpuhan pada poliomielitis, dan terjadi

pada anak berusia kurang dari 15 tahun. Penyakit-penyakit yang


mempunyai sifat kelumpuhan seperti poliomielitis disebut kasus
Acute Flaccid Paralysis (AFP). Dan pengamatannya disebut
Surveillans AFP (SAFP).
Secara garis besar, tujuan surveilans AFP adalah:
a. Identifikasi daerah risiko tinggi
b. Monitoring program eradikasi polio
c. Sertifikasi bebas polio
Adanya laporan kasus dari negara-negara yang berpotensi
menyebarkan virus polio juga merupakan kewaspadaan dini
polio. Kementerian Kesehatan RI akan membuat surat edaran ke
provinsi dan kabupaten/kota untuk meningkatkan kewaspadaan
dengan

melakukan

penyuluhan

kepada

masyarakat

dan

meningkatkan surveilans AFP.


Penanggulangan

KLB

Polio

ditujukan

pada

upaya

pengobatan penderita untuk mencegah komplikasi yang berat


serta sekaligus menghilangkan sumber penularan.

ALGORITMA RESPONS KLB AFP/ POLIO

RESPONS KLB
AFP (LUMPUH LAYUH MENDADAK)

Respons tatalaksana
kasus:
Respons sistem pelaporan:
Respons
Kesehatan Masyarakat:
Pengawasan ketat penderita W1
Lakukan kunjungan ulangLakukan
60FP1
hari. Penyelidikan Epidemiologi.
Surveilans Intensif
FPS
Perlindungan terhadap kontak
Hasil pemeriksaan laboratorium
Pengambilan specimen untuk diperiksa di Laboratorium r
KIE kepada masyarakat agar segera melaporkan kasus A
KIE kepada masyarakat tentang pentingnya imunisasi po
Pemberian Imunisasi Polio Tambahan Mopping Up Polio a

Formulir Pelacakan Kasus AFP (FP1)

Kabupaten/kota:

Propinsi:

Nomor EPID:

Laporan dari : 1. RS: ...

3. Dokter praktek :

2. Puskesmas: ....

4. Lainnya

Tanggal laporan diterima:

Tanggal pelacakan:

: .

I. Identitas Penderita
Nama penderita:

Jenis kelamin: L

Tanggal lahir:

Umur: ..tahun; ..bulan; ..hari

Alamat:

RT:

Kelurahan/desa:

RW:

Kecamatan:

Nama orang tua:


II. Riwayat Sakit
Tanggal mulai sakit:

Tanggal mulai lumpuh:

Tanggal meninggal (bila penderita meninggal):


Sebelum
dilaporkan
Apakah penderita

Ya

Tidak

Nama unit pelayanan :


Tanggal berobat

Diagnosis :No. rekam medik:


berobat ke unit
Apakah kelumpuhan sifatnya akut (1-14 hari)?
Ya

Tidak

Tidak Jelas

Apakah kelumpuhan sifatnya layuh (flaccid)?

Tidak

Tidak Jelas

Ya

Stop pelacakan
Apakah kelumpuhan disebabkan ruda
Ya
Tidak
Tidak Jelas
paksa/trauma?
Bila
kelumpuhan akut, layuh, tidak disebabkan rudapaksa, lanjutkan pelacakan, beri nomor EPID
III. Gejala/Tanda
Apakah penderita demam sebelum lumpuh?
Anggota gerak

Ya

Tidak

Kelumpuhan

Gangguan rasa raba

Tungkai kanan
kamkanan
Tungkai kiri

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Lengan kanan

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Lengan kiri

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Lain-lain, sebutkan: Muka, leher, ....................................................................................


IV. Riwayat Kontak

NO. EPID :

Dalam satu bulan terakhir sebelum


sakit, apakah penderita pernah

Lokasi :
Ya
Tanggal pergi :
Tidak

Dalam satu bulan terakhir sebelum


sakit, apakah penderita pernah
berkunjung ke rumah anak yang baru
mendapat imunisasi polio?
V. Status Imunisasi polio
Jumlah dosis

Imunisasi
rutin

Sumber
informasi

PIN,
Mopup,
ORI,
BIAS Polio

Jumlah dosis

1x
Tahu

Tidak tahu

Ya

2x

Tidak

3x

KMS/catatan Jurim
1x

2x

3x

Belum pernah
Sumber
informasi

Catatan

4x

Tidak tahu

Belum pernah

Ingatan responden
4x

5x

6x

Tak Tahu

Ingatan responden

Tanggal imunisasi polio yang paling akhir: Tidak tahu


VI. Pengumpulan spesimen
Kabupaten/kota

Propinsi

Tanggal ambil:

Tanggal kirim:

Tanggal kirim:

Tanggal ambil:

Tanggal kirim:

Tanggal kirim:

Tak diambil spesimen, alasan:

Tak

INDONESIA

BEBAS

POLIO,

TETAPI

KASUS

TETAP

BERMUNCULAN
Oktober 22, 2015 by Dokter Anak Indonesia

Angka kejadian penyakit yang dapat dicegah oleh imunisasi


khususnya Polio memang telah menurun drastis, namun kejadian
penyakit tersebut ada yang masih cukup tinggi di negara lain.
Kuman penyakit tersebut dapat dibawa masuk secara tidak
sengaja dan dapat menimbulkan wabah di daerah yang dianggap
bebas Polio.
Hal itu terjadi ketika muncul KLB polio di Indonesia pada tahun
2005 yang lalu. Padahal sejak tahun 1995, tidak ada kasus polio
yang disebabkan oleh virus polio liar. Pada bulan April 2005,
Laboratorium Biofarma di Bandung mengkonfirmasi adanya virus
polio liar tipe 1 pada anak berusia 18 bulan yang menderita
lumpuh layuh akut pada bulan Maret 2005. Anak itu tidak pernah
mendapat imunisasi polio sebelumnya. Virus polio liar tersebut
selanjutnya menyebar dan menyebabkan wabah yang merebak
ke 10 propinsi dan 48 kabupaten. Sampai bulan April 2006
tercatat 349 kasus polio, termasuk 46 kasus VDPV (vaccine
derived polio virus) di Madura. Dari analisis genetik virus,
diketahui bahwa virus berasal dari Afrika Barat. Analisis lebih
lanjut menunjukkan bahwa virus sampai ke Indonesia melalui
Nigeria Sudan dan sama seperti virus yang diisolasi di Arab Saudi
dan Yaman.
Ketika bulan April 1955 telah diumumkan keberhasilan uji klinik
vaksin

polio

pertama

yang

belum

lama

ditemukan

dan

dipergunakan untuk mengatasi dan mencegah kelumpuhan


(bahkan

kematian)

akibat

penyakit

polio.

Lalu

18

bulan

kemudian, disajikan kepada dunia foto bintang rock n roll


terkenal

Elvis

Presley

yang

tersenyum

lebar

dan

sedang

menerima suntikan vaksin polio sebagai bagian dari program


edukasi massal tentang kampanye anti penyakit polio dan
vaksinasi polio di Amerika. Maka pada tahun 1979, sebuah
penyakit poliomyelitis yang selama 27 tahun telah membuat
cacat dan melumpuhkan 21,269 anak dinyatakan di-eliminasi
atau disingkirkan dari negara Amerika Serikat.
Kasus terakhir yang disebabkan oleh virus polio liar di Amerika
adalah 12 tahun kemudian setelah Amerika dinyatakan bebas
polio. Dalam waktu beberapa dekade berikutnya polio vaksin
telah mencapai sukses demi sukses untuk mengenyahkan
penyakit polio dari benua Eropa, negara China dan beberapa
bagian lagi dari dunia. Tahun 2000 ditargetkan oleh WHO atau
Baadan Kesehatan Dunia, sebagai tahun dimana penyakit polio
telah dienyahkan dari seluruh dunia (Polio End Game). Namun
pada tahun 2002, terjadi kasus penolakan imunisasi polio di
beberapa bagian dari India, yang menyebabkan terjadinya
kembali KLB polio disana. Juga penolakan vaksinasi karena
alasan agama

dan

budaya

telah

menyebabkan

terjadinya

gangguan terhadap kampanye bebas penyakit polio didunia.


Kondisi itu diperparah dengan munculnya gerakan anti vaksinasi
di

berbagai

kawasan.

Di

Pakistan

dan

Nigeria,

misalnya,

pembunuhan para petugas pemberi vaksin polio pada 2012.


Sekelompok pria bersenjata di Karachi, Pakistan, menembak mati
tiga petugas kesehatan yang membantu vaksinasi polio anakanak.

Sejumlah

laporan

menyebutkan

penyerang

melepas

tembakan ke arah petugas kesehatan saat melakukan program


vaksinasi
penduduk.

pemerintah
Kelompok

dengan
militan

mendatangi
Taliban

rumah-rumah

menentang

program

vaksinasi

dan

sudah beberapa

kali

membunuh

petugas

kesehatan yang terlibat. Serangan terbaru ini terjadi hanya


beberapa

hari

setelah

organisasi

kesehatan

dunia,

WHO,

mengeluarkan peringatan bahwa kota Peshawar, di barat laut


Pakistan, merupakan salah satu pusat virus polio yang terbesar
di dunia. Pakistan merupakan satu dari tiga negara yang masih
menghadapi wabah polio, bersama Afghanistan dan Nigeria.
Namun

upaya

kekerasan

dari

vaksinasi
kelompok

massal
Taliban

terganggu
dalam

oleh

serangan

beberapa

tahun

belakangan. Taliban berpendapat bahwa vaksinasi merupakan


upaya mata-mata yang terselubung dan berpendapat vaksin
polio

bisa

menyebabkan

kemandulan.

Penentangan

atas

vaksinasi polio meningkat setelah tewasnya Osama bin Laden


oleh pasukan khusus Amerika Serikat dalam serangan tahun
2011 di sebuah rumah di Abbotabad. Sebelum serangan pasukan
AS itu, dokter Shakil Afridi -yang sudah dijatuhi hukuman oleh
pemerintah Pakistan- melakukan vaksinasi atas keluarga Osama
di rumah itu. Selain itu, vaksinasi polio dilarang Pemerintah
Taliban dan Al-Shabab di Nigeria hingga kini.
Direktur Kebijakan, Advokasi, dan Komunikasi Internasional Pusat
Akses Vaksin Internasional Johns Hopkins Bloomberg School of
Public Health Lois Privor Dumm mengatakan, gerakan anti virus
itu bermunculan justru dari masyarakat berpendidikan tinggi. Itu
pernah ditemui di Amerika Serikat dan negara-negara lain.
Gerakan itu umumnya didasari keyakinan vaksin dan imunisasi
adalah bagian dari industri kesehatan yang berdampak buruk.
Meski relatif kecil, gerakan itu bisa membahayakan kekebalan
suatu komunitas dari penyakit menular. Kian banyak anggota
komunitas tak mendapat vaksin, makin besar kemungkinan
penyakit itu kembali menyebar.

Meskipun telah terjadi penolakan vaksinasi dan imunisasi polio


dibeberapa negara, jumlah kasus polio telah menurun hingga
hanya 291 kasus yang ditemukan tahun lalu. Dalam beberapa
bulan pertama tahun 2013 WHO atau Badan Kesehatan Dunia
telah menemukan adanya 22 kasus di 5 negara. Penurunan
jumlah kasus baru polio ini telah memberi keyakinan kepada
para ilmuwan untuk membuat target baru untuk mengeliminasi
atau mengenyahkan penyakit polio dari muka bumi. Lebih dari
400 illmuwan dari 80 negara telah menyatakan kesediaannya
untuk

mendukung

rencana

WHO

pada

tahun 2018 mengenyahkan penyakit polio dari seluruh dunia.


(WHO Year 2018 Polio End Game)
Dari pengalaman tersebut, terbukti bahwa anak tetap harus
mendapat imunisasi. Meski pada bulan Maret 2014, WHO untuk
kawasan Asia Tenggara, menyatakan bahwa kawasan Asia
Tenggara telah bebas polio, karena itu vaksinasi polio pada bayi
sudah tidak perlu diberikan lagi. Alasannya walaupun risiko
terkena penyakit adalah kecil, bila penyakit masih ada, anak
yang tidak terproteksi tetap masih dapat terinfeksi. Alasan kedua
adalah imunisasi anak penting untuk melindungi anak lain di
sekitarnya. Terdapat sejumlah anak yang tidak dapat diimunisasi
(misalnya karena alergi berat terhadap komponen vaksin) dan
sebagian kecil anak yang tidak memberi respon terhadap
imunisasi. Anak-anak tersebut rentan terhadap penyakit. Namun
anak tersebut dapat perlindungan dari orang-orang di sekitarnya
yang tidak sakit dan tidak menularkan penyakit kepadanya.
Tanggal 12 April 2015, menandai 60 tahun sejak vaksin polio Salk
dinyatakan aman, efektif dan ampuh. Pada waktu itu, jumlah
kasus polio telah menurun sebesar 99 persen di seluruh dunia.
Dengan hanya tiga negara yang tersisa endemik polio, kami lebih

dekat

daripada

sebelumnya

untuk

memberantas

penyakit

melumpuhkan ini.
Jonas Salk Inactivated Polio Vaccine (IPV) sangatlah penting
dalam membantu mencapai tujuan kami, dunia bebas polio.
Sebelum vaksin tersedia secara luas di Amerika Serikat saja,
polio melumpuhkan lebih dari 35.000 orang setiap tahun. di
tahun 1957, Dua tahun setelah pengenalan vaksin Salk, kasus di
Amerika Serikat telah berkurang hampir 90 persen dan di tahun
1979,

polio

telah

berhasil

diberantas

disana.

Dampak

penyebaran di seluruh lebih lama lagi. Pada tahun 1988, ketika


Rotary

International

mengeluarkan Global

Polio

Eradication

Initiative (GPEI) dengan mitra-mitranya di organisasi kesehatan


dunia, UNICEF, dan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
Amerika Serikat, polio terus melumpuhkan anak-anak di 125
negara. Hari ini, polio tetap endemik di hanya tiga negara:
Afghanistan, Nigeria, dan Pakistan. Dan itu sudah lebih dari
delapan bulan sejak kasus terakhir di Nigeria, yang membuat
Afrika bebas polio.
Vaksin Salks memainkan peran penting dalam strategi akhir
permainan

kebal

terhadap

polio,

ketika

120

negara

IPV

memperkenalkan ke dalam sistem imunisasi rutin polio mereka


tahun ini. Pemimpin upaya itu adalah mitra GPEI dan Gavi, Aliansi
global vaksin, bersama dengan Sanofi Pasteur, produsen terbesar
vaksin polio. lebih dari 120 negara di dunia memperkenalkan
IPV, kita mulai bab terakhir pemberantasan polio, kata Olivier
Charmeil, Sanofi Pasteur chief executive officer.
Imunisasi Polio IPV Dunia Bebas Polio
Dunia ditargetkan bebas dari penyebaran virus polio pada tahun
2020. Halitu akan tercapai bila semua negara didorong untuk

menarik vaksin oral polio dan menggantinya dengan vaksin polio


tak aktif. Namun, upaya pencegahan penularan virus tersebut
terkendala penolakan imunisasi oleh sejumlah komunitas di
beberapa negara. Sejumlah ahli kesehatan menemukan vaksin
tetes oral polio berisiko menyebabkan polio jenis baru yang bisa
mengakibatkan kelumpuhan. Oleh karena itu, vaksin oral polio
perlu ditarik, digantikan dengan vaksin polio inaktif yang
diberikan secara suntik. Kini, semua negara didorong mengganti
vaksin itu.
Mantan Kepala Departemen Virus dan Anak-anak di Christian
Medical College Vellore, India, T Jacob John mengatakan, pada
tahun 2012-2014, jumlah kasus polio akibat penggunaan vaksin
oral lebih tinggi daripada kasus polio karena penularan virus asli.
Sejak 2010, ada 400 kasus polio akibat pemakaian vaksin.
Adapun jumlah penderita polio karena penularan virus mencapai
223 kasus di lima negara pada 2012 dan ada 407 kasus di
delapan negara pada 2013.
Polio jenis baru ini merupakan polio sporadis karena virus aktif di
dalam vaksin tetes mulut atau oral. Penyakit ini disebut
kelumpuhan polio yang berasosiasi dengan vaksinasi (VAPP).
Angka kasusnya 1-5 per 1 juta anak atau 200-400 kasus per
tahun, lebih tinggi daripada jumlah kasus polio karena virus liar
pada 2012 dan 2013.
Vaksin tetes oral polio (OPV) adalah vaksin polio yang digunakan
di dunia. Adapun vaksin polio terbaru ialah vaksin polio inaktif
(inactivated polio vaccine/IPV) yang diberikan dengan cara
disuntikkan. Namun, harganya relatif mahal, 35-80 dollar AS atau
setara dengan Rp 400.000 hingga Rp 1 juta per dosis.

Kendati jumlah kasus polio amat kecil selama beberapa tahun


terakhir, polio masih mengancam. Hingga 2013, penularan polio
terjadi di negara-negara di Asia dan Afrika, seperti Pakistan,
Nigeria, Somalia, Suriah, dan Irak. Karena tingkat penularan
tinggi, selama kasus polio ada, semua negara terancam virus
penyebab kelumpuhan dan kematian itu.
Dunia bebas polio ditargetkan tercapai 2020. Untuk itu, negaranegara diharap memperkenalkan IPV pada 2016 dan menarik
vaksin oral polio secara total pada 2020. Itu penting sebagai
langkah akhir pemberantasan polio. Pada pertemuan tersebut,
Indonesia

menyatakan

siap

mengganti

vaksin

oral

secara

bertahap.
Filipina mulai mengganti pemakaian virus oral dengan IPV.
Penggantian ditargetkan dilakukan pada 2016 dan semua vaksin
oral ditarik pada 2020. Hingga kini, sejumlah komunitas menolak
imunisasi. Penolakan antara lain terkait dengan ketidaktahuan,
dianggap bertentangan dengan ajaran agama, dan tak sesuai
budaya setempat.

Sumber

https://mediaimunisasi.com/2015/10/22/indonesia-

bebas-polio-tetapi-kasus-tetap-bermunculan/
DAFTAR PUSTAKA
Andareto, O. 2015. Penyakit Menular di Sekitar Anda (Begitu
Mudah Menular dan Berbahaya, Kenali, Hindari, dan Jauhi
Jangan Sampai Tertular). Jakarta: Pustaka Ilmu Semesta
Cahyono, J.B.S.B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit
Infeksi.

Krol,

J.

1996.

Poliomielitis

dan

Dasar-Dasar

Pembedahan

Rehabilitasi. Jakarta:EGC
Lumenta,

N.A.

2006.

Kenali

Jenis

Penyakit

dan

Cara

Penyembuhannya: MANAJEMEN HIDUP SEHAT. Jakarta : PT.


Elex Media Komputindo
Kementerian

Kesehatan

Republik

Indonesia.

2011.

Buku

Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar


Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan

Anda mungkin juga menyukai