Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit paru kronik semakin sering menjadi penyebab penyakit jantung,
dan sebaliknya, penyakit jantung yang disertai dekompensasi atau penyakit
vascular dapat mengakibatkan perubahan-perubahan pada struktur dan fungsi
paru. Salah satu penyakit paru yang dapat menyebabkan penyakit jantung adalah
PPOK.

PPOK sendiri bukan hanya sekedar penyakit paru melainkan suatu

penyakit sistemik yang melibatkan berbagai sistem organ diantaranya sistem


kardiovaskular. Selain itu, PPOK sendiri juga sudah diidentifikasi meningkatkan
terjadinya berbagai kelainan kardiovaskular 2-3 kali lebih tinggi tanpa
dipengaruhi faktor resiko lainnya seperti kebiasaan merokok yang telah dianggap
sebagai faktor risiko independen. Salah satu contoh dari kelainan kardiovaskular
yang diakibatkan oleh PPOK adalah Hipertensi pulmonal yang nantinya dapat
berkembang menjadi Cor Pulmonal hingga Gagal Jantung.
Oleh karena kejadian dari PPOK merupakan kejadian yang paling sering
terjadi di Indonesia, serta dapat berkembang menjadi gagal jantung, penting bagi
seorang calon dokter untuk mengetahui dan memahami pengertian dari PPOK itu
sendiri

(yang

sudah

dipelajari

di

modul

sebelumnya)

serta

kelainan

kardiovaskular yang disebabkan oleh PPOK maupun yang disebabkan hal


lainnya.
1.2 Tujuan
1. Mahasiswa mampu dan mengetahui dan menjelaskan definisi, etiologi,
pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan
penatalaksanaan dari:
a. Cor Pulmonal
b. Gagal Jantung

1.3 Manfaat
Dengan mempelajari kelainan kardiovaskular ini kita bisa mengetahui dan
memahami penyebab dan patogenesis serta penatalaksanaannya, yang menjadi
bekal bagi diri kita, sehingga dapat diaplikasikan saat berada di klinis yang akan
mendatang.

BAB II
ISI
Skenario
NAFASKU SESAK, BADANKU BENGKAK
Pak Rusadi (61 tahun) datang ke RS dengan keluhan sesak napas dan batuk. Keadaan
sesak tersebut memang sudah dirasakan bertahun-tahun dan hilang timbul. Sejak satu
bulan ini sesak bertambah berat terutama saat beraktivitas. Perut semakin lama
semakin membesar. Saat ia ingin menggunakan sepatu, ternyata kakinya tidak bisa
masuk ke dalam sepatu tersebut. Ia sudah pernah berobat ke spesialis paru dan
didiagnosis PPOK. Dari pemeriksaan fisik didapatkan penderita tampak sesak, dengan
tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 90x/menit, RR 34 x/menit. Pada pemeriksaan foto
thoraks: paru tampak emfisematous, tidak ada tanda-tanda perkabutan dan didapatkan
pembesaran jantung. Dokter juga meminta untuk dilakukan pemeriksaan labaratorium
dan EKG.
Step 1. Identifikasi Istilah
1. EKG : Elektrokardiogram, menggambarkan aktivitas jantung (gambaran
listrik jantung)
Step 2. Identifikasi masalah
1. Kenapa Pak Rusadi mengalami keluhan:
a. Sesak napas
b. Batuk
c. Edema tungkai dan perut membesar
2. Apakah ada hubungan keluhan Pak Rusadi dengan PPOK?
3. Kenapa sesak yang dialami Pak Rusadi hilang timbul?
4. Kenapa bisa terjadi pembesaran jantung?
5. Apakah interpretasi hasil pemeriksaan fisik dan penunjang?
3

6. Apa indikasi pemeriksaan lab, EKG?

Step 3. Analisis masalah


1. a) sesak terjadi karena Pak Rusadi sebelumnya telah didiagnosis PPOK
dimana kebutuhan dari O2 akan meningkat saat aktivitas, PPOK menyebabkan
kerusakan pada dinding alveolar sehingga udara akan terperangkap dan sulit
untuk melakukan inspirasi dan ekspirasi secara normal, adanya gangguan pada
alveolus juga menyebabkan daya elastic recoil alveolus berkurang atau hilang
sehingga saat mengembang alveolus tidak akan kembali ke bentuk semula dan
saat terus bernapas akan menyebabkan gambaran emfisematous lung.
Kerusakan yang terjadi pada paru mengakibatkan kompensasi tubuh untuk
meningkatkan ventilasi guna mencukupi kebutuhan O2.
b) batuk terjadi karena adanya hipersensitivitas bronkus dan juga hipersekresi
mukus
c) edema tungkai dan perut membesar terjadi karena adanya penyakit kor
pulmonal atau karena adanya gagal jantung kanan yang disebabkan oleh (1)
berkurangnya vaskular paru karena terdesak pembuluh darah, (2) penyakit
paru kronis menyebabkan asidosis, (3) hipoksia alveolar menyebabkan
vasokontriksi paru, (4) penyakit paru menyebabkan polisitemia menyebabkan
hiperviskositas darah. Bengkak terjadi karena adanya peningkatan tekanan
hidrostatik pembuluh darah sehingga cairan merembes keluar jaringan
intersitial. Hipoksia sendiri menimbulkan vasokontriksi ginjal, sehingga
mengurangi eksresi Na urin yang menyebabkan edema.
2. PPOK menyebabkan kerja jantung meningkat karena akan meningkatkan
kebutuhan terhadap O2 sebagai kompensasi
3. Sesak yang hilang timbul dapat terjadi tergantung pada pemicu terjadinya
sesak dan yang mengurangi terjadinya sesak, karena bersifat subjektif
4. Pembesaran jantung terjadi sebagai kompensasi karena jantung bekerja lebih
berat sehingga terjadi hipertrofi dan/atau dilatasi jantung (khususnya ventrikel
kanan)
5.

TD = 130/90 (hipertensi diastolik tingkat I); Nadi normal; RR takipneu; foto


thorax: emfisematous lung & kardiomegali

6. Gambaran klinis edema tungkai untuk indikasi kadar albumin, EKG untuk
mengetahui aktivitas listrik jantung

Step 4. Strukturalisasi Konsep

PPOK

HIPERTENSI PULMONAL

HIPERTROFI &/ DILATASI VENTRIKEL KANAN


PEM. LAB DAN EKG
GAGAL JANTUNG KANAN

SESAK, BATUK, EDEMA TUNGKAI DAN PERUT

Step 5. Learning Objective


1. Mahasiswa Mampu Mengetahui dan Menjelaskan Cor Pulmonale
2. Mahasiswa Mampu Mengetahui dan Menjelaskan Heart Failure
Step 6: Belajar Mandiri
1. Mahasiswa melakukan belajar mandiri

Step 7.
LO 1. COR PULMONALE
DEFINISI
Gangguan struktur dan fungsi dari ventrikel kanan (hipertrofi, dilatasi,
disfungsi sistole dan diastole) akibat hipertensi pulmonal yang terkait dengan kelainan
pada paru. (Nixon, 2010)
Sinonim: Gagal jantung kanan karena penyakit paru.
EPIDEMIOLOGI
Cor Pulmonale paling sering ditemukan pada pasien berusia lanjut. Pada usia
diatas 50 tahun, Cor Pulmonale berada pada urutan ke-3 dalam daftar penyakit
jantung paling terbanyak (setelah Penyakit Jantung Koroner dan Hypertensive Heart
Disease). 6-7% dari total penyakit jantung di Amerika Serikat disebabkan oleh Cor
Pulmonale, dan merupakan 10-30% dari penyebab gagal jantung di Amerika Serikat.
(Nixon, 2010)
84% kasus Cor Pulmonale disebabkan oleh COPD, dimana etiologi tersering
dari Cor Pulmonale adalah Acute Massive Pulmonary Embolism (PE), menyebabkan
sekitar 50.000 kematian per tahun. (Nixon, 2010)
Di Indonesia sendiri, angka kejadian Cor Pulmonale banyak ditemukan pada
pasien dengan COPD.
FAKTOR RESIKO
Genetik merupakan faktor resiko Cor Pulmonale. Kelainan genetik yang
menyebabkan kelainan paru menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal dan
akhirnya menyebabkan Cor Pulmonale (Nixon, 2010)
ETIOLOGI

Penyakit-penyakit pada parenkim paru atau vaskular paru, atau kondisi


sistemik yang mempengaruhi paru, akan menyebabkan hipertensi pulmonal, dan akan
memicu terjadinya Cor Pulmonal. (Nixon, 2010)
1. Penyakit parenkim paru:
COPD
Cystic fibrosis
Interstitial and infiltrative lung diseases
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
2. Penyakit vaskular paru:
Pulmonary thromoboembolism (darah, tumor, sickle cell)
Pulmonary arterial hypertension
Pulmonary veno-occlusive disease
Inflamasi (schistosomiasis, sarcoid)
3. Kelainan ventilasi:
Hipoventilasi sentral
Obesity hypoventilation
Sleep apnea
4. Kelainan neuromuskuloskeletal yang menyebabkan penyakit paru restriktif.
Guillian Barre Syndrome
(Nixon, 2010)
PATOFISIOLOGI
Secara skematik sederhana, patofisiologi terjadinya cor pulmonal adalah sebagai
berikut:
Kelainan paru hipoksia akut vasokonstriksi vaskular paru hipertensi
pulmonal sekunder kerja jantung kanan meningkat dilatasi dan hipertrofi
ventrikel kanan gagal jantung kanan
Kelainan paru akan menyebabkan terjadinya hipoksia akut. Hipoksia akan
menyebabkan terjadinya inhibisi produksi NO, dan hambatan pada saraf simpatis
menurun. Secara normal, kerja dari saraf simpatis pada pembuluh darah ditekan,
sehingga parasimpatis lebih dominan. Namun, ketika terjadi hipoksia, hambatan itu
menurun sehingga terjadi vasokonstriksi vaskular paru
Pada hipoksia kronik, seperti yang terjadi pada pasien dengan kelainan paru,
vasokonstriksi jangka panjang akan memicu terjadinya remodeling vaskular meliputi
hipertrofi tunika media dan fibrosis tunika intima menggantikan endotel normal. Pada
7

kelainan paru juga akan berakibat terjadinya penurunan vascular bed paru akibat
capillary loss (COPD), obstructive (emboli), dan penebalan tunika intima.
Asidosis akibat kelainan difusi alveolar dan hiperviskositas terjadi, namun
tidak terlalu menjadi penyebab hipertensi pulmonal. Hiperviskositas disebabkan oleh
penurunan cardiac output jantung kanan, yang akan menyebabkan COP total
menurun. Penurunan ini akan menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun, sehingga
ginjal akan memproduksi eritropoietin untuk merangsang sum-sum tulang
memproduksi lebih banyak sel darah merah, akibatnya akan terjadi peningkatan
viskositas, dan akan terjadi peningkatan resistensi vaskular sistemik.
Akibat terjadinya vasokonstriksi kronik pada paru agar aliran darah ke paru
meningkat, maka resistensi pembuluh darah meningkat, dan terjadilah hipertensi
pulmonal.
Ketika terjadi hipertensi pulmonal, ventrikel kanan jantung akan melakukan
kompensasi terhadap peningkatan afterload dengan cara hipertrofi muskularis dan
dilatasi ventrikel. Lama kelamaan, akan terjadi dekompensasi ventrikel kanan akibat
beban afterload yang sangat tinggi, dan akhirnya darah tidak sepenuhnya diejeksikan
ke arteri pulmonalis. Darah terakumulasi di ventrikel kanan akan menyebabkan
tekanan atrium meningkat, sehingga menyebabkan peningkatan End Diatolik
Pressure. Peningkatan EDV akan menyebabkan pengisian atrium kanan menjadi lebih
sulit, sehingga aliran darah balik akan terakumulasi di vena cava. (Nixon, 2010).
MANIFESTASI KLINIS

Dyspnea pada aktivitas, kapasitas latihan menurun.


Sering mengalami presinkop/sinkop akibat ketidakmampuan untuk meningkatkan

COP.
Rasa tidak nyaman pada kuadran kanan atas
Anoreksia
Edema perifer (ekstremitas) dan ascites.
Penurunan orientasi mental, penurunan pengeluaran urin.
Angina pectoris bila terjadi iskemi ventrikel kanan atau regangan arteri

pulmonalis.
Pleuritic chest pain: lebih sering ditemukan pada cor pulmonale akut dan infark
pulmonal akibat emboli paru.

Pada beberapa kondisi, dapat terjadi hemoptysis akibat peningkatan tekanan arteri
pulmonalis, dan karena kompresi nervus laringeal reccurrent sinistra oleh arteri
pulmonalis yang melebar

(Nixon, 2010).
Nixon, J. V. (2010). The AHA Clinical Cardiac Consult (3rd ed.). New York:
Lippincott William & Wilkins.

DIAGNOSA
Diagnosa kor pulmonal pada PPOK ditegakkan dengan menemukan tanda
PPOLK asidosis dan hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah;
hipertenssi pulmonal, hipertrofi/dilatasi ventrikel kanan dan gagal jantung kanan.

PPOK : adanya PPOK dapat didufa/ditegakkan dengan pemeriksaan klinis


(anamnesis dan pemeriksaan jasmani), laboratorium, foto toraks, tes faal

paru
Asidosis, hiperkapnia, hipoksia, polisitemia dan hiperviskositas darah :
kelainan ini dapat dikenal terutama dengan pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan klinis
Hipertensi pulmonal : tanda HP bisa didapatkan dari pemeriksaan klinis,
elektrokardiografi dengan pulmonal dengan deviasi aksis ke kanan dan
hipertrofi ventrikel kanan, foto toraks terdapat pelebaran daerah cabang
paru di hilus, ekokardiografi dengan ditemukan hipertrofi ventrikel kanan

dan kateterisasi jantung


Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan : dengan pemeriksaan foto toraks,
EKG, ekokardiografi, radionuclide ventriculography, thalium imaging : CT

scan dan magnetic resonance imaging (MRI)


Gagal jantung kanan : ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, biasanya
dengan adanya peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, asites
maupun edema tungkai

(Buku Ilmu Penyakit Dalam, 2016)

PENATALAKSANAAN
9

Obat yang diberikan untuk kor pulmonal tergantung pada penyebab yang
mendasari. Penyebab kor pulmonal 80-90% adalah PPOK. Tujuan pengobatan kor
pulmonal pada PPOK ditinjau dari aspek jantung sama dengan pengobatan kor
pulmonal pada umumnya untuk (1) Mengoptimalkan efisiensi pertukaran gas; (2)
Menurunkan hipertensi pulmonal; (3) Meningkatkan kelangsungan hidup; (4)
Pengobatan penyakit dasar dan komplikasinya.
Pengobatan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan
hipertensi pulmonal, pengobatan gagal jantung kanan dan meningkatkan
kelangsungan hidup. Untuk tujuan tersebut pengobatan yang dapat dilaksanakan
diawali dengan menghentikan merokok serta secara umum terdapat obat first line dan
second line untuk mengurangi gejala dari kor pulmonal:
First line:
Kor pulmonal akut dengan kolaps sirkulasi:

Vasopressor, inotropik.
Antikoagulan dan / atau trombolitik untuk PE (Pulmonary Embolism).

Kor pulmonal kronik:

Bronkodilator: meningkatkan pertukaran gas, mengurangi hipoksia


vasokonstriksi.
Diuretik: meringankan retensi cairan tapi tidak ada manfaat yang jelas untuk
hemodinamik paru pada tidak adanya kegagalan LV. Perhatian dengan lebihdiuresis, karena dapat membahayakan cardiac output serta mendorong
alkalosis metabolik, menurun berkendara ventilasi.
Antikoagulasi: Untuk hipertensi paru tromboemboli, dan untuk profilaksis di
hipertensi paru primer.

Second line:
Kor pulmonal kronik

Digitalis: biasanya untuk kegagalan LV bersamaan.


Teofilin: Terapi tambahan untuk PPOK.
Vasodilators: vasodilator sistemik (calcium channel blockers, nitrat, ACE
inhibitor) tidak memiliki manfaat yang jelas, dan dapat menyebabkan
hipotensi. Jarang, calcium channel blockers dapat digunakan dengan hati-hati.

Terapi Tambahan:
Langkah-langkah umum

Tujuan utama harus mengobati gangguan paru yang mendasari.


Oksigen: dapat mengurangi mortalitas pada PPOK, mengurangi vasokonstriksi
hipoksia. harus diberikan untuk setiap pasien dengan PaO2 dari <55mmHg
10

Phlebotomy: Jika hematokrit > 55%, proses mengeluarkan darah dikaitkan


dengan penurunan rata-rata tekanan arteri dan resistensi pembuluh darah paru.
Biasanya diperuntukkan sebagai terapi tambahan untuk pasien nyata
polycythemic dengan dekompensasi akut kor pulmonal.

Operasi / prosedur lainnya:

Kor pulmonal karena hipertensi pulmonal tromboemboli kronis dapat diobati


dengan thromboendarterectomy paru.
Transplantasi paru ditawarkan untuk beberapa penyakit stadium akhir paruparu (PPOK, fibrosis kistik, fibrosis paru idiopatik). Namun sangat jarang
dilakukan karena prosedur yang sulit dan sulit mencari pendonor.

Pemantauan pasien:

Tergantung pada penyebab yang mendasari.


Saturasi oksigen harus dipantau secara berkala untuk menentukan apakah
pasien akan mendapat manfaat dari oksigen tambahan.
Fungsi paru harus dinilai.
Jika antikoagulan, INR perlu dipantau.
Jika pada diuretik atau digoxin, fungsi dan digoxin tingkat ginjal harus secara
berkala diperiksa secara.

Diet
Pasien dengan overload volume sekunder untuk kegagalan RV harus memiliki
pembatasan cairan dan garam (biasanya 2 L garam cairan 2g per hari).
Pendidikan pasien:

Menekankan kepatuhan terhadap terapi medis, untuk mencegah rawat inap


berulang.
Aktivitas dibatasi oleh gejala.
Pentingnya oksigen tambahan jika diindikasikan.
Pencegahan perkembangan dengan berhenti merokok jika relevan.

PROGNOSIS

Variabel, tergantung pada etiologi dan keparahan penyakit paru-paru yang


mendasari dan seberapa parah hipertensi pulmonal.
Pasien dengan PPOK yang mengembangkan pulmonale cor memiliki 50%
mortalitas pada 2-3 tahun, meskipun ini mungkin dapat ditingkatkan dengan
oksigen.

Sumber:
Nixon, J. V. (2010). The AHA Clinical Cardiac Consult (3rd ed.). New York:
Lippincott William & Wilkins
11

LO 2. GAGAL JANTUNG
DEFINISI
Gagal jantung adalah kumpulan gejala yang kompleks dimana seorang pasien
harus memiliki taampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas pendek yang tipikal
saat istirahat atau saat melakukan aktivitas disertai / tidak kelelahan); adanya bukti
objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat istirahat. (PERKI, 2015)
KLASIFIKASI
Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik,
kemampuan aktivita fisik menurn dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguang relaksasi dan gangguan pengisian
ventrikel. Gagal jantung kanan didefenisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi
ejeksilebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Dopplerekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Ada 3 macam
gangguan diastolik :
-

Gangguan relaksasi
Pseudo-normal
Tipe restriktif
Penatalaksanaan ditujukan untuk mnghilangkan atau mengurangi penyebab
gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi atau iskemia.

Low Output dan High Output Heart Failure


Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan
katup dan perikard. High output HF ditemukan pada penurunan resistensi
vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beriberi, penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.
Gagal Jantung Akut dan Kronik
Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan daun katup secara
tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung
yang menurun ssecara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa
disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronis (GJK) adalah kardiomiopati dilatasi atau
kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesti perifer
sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.
Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri
12

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena


pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea. Gagal
jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan, seperti
pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga
terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali,
dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung
terjadi pada miokard kedua ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung
yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda.
ETIOLOGI
Kondisi yang dapat menyebabkan gagal jantung mencakup:
Penyakit jantung koroner - dimana arteri yang memasok darah ke jantung
tersumbat dengan zat-zat lemak (aterosklerosis), yang dapat menyebabkan angina
atau serangan jantung
Tekanan darah tinggi - dapat menempatkan tekanan ekstra pada jantung, yang
dari waktu ke waktu dapat menyebabkan gagal jantung
Kardiomiopati - kondisi yang mempengaruhi otot jantung
Masalah ritme jantung (aritmia) - seperti atrial fibrilasi
Kerusakan atau masalah lain pada katup jantung
Penyakit jantung kongenital - cacat lahir yang mempengaruhi kerja normal
jantung
Kadang-adang anemia, konsumsi alkohol yang berlebihan, tiroid yang terlalu
aktif, atau tekanan tinggi di paru (hipertensi pulmonal) juga dapat menyebabkan gagal
jantung.
Sumber:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta.

Indonesia.

2015.

Pedoman

Setiati, Siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Pusblishing.
http://www.nhs.uk/Conditions/Heart-failure/Pages/Introduction.aspx

Patofisiologi
Mekanisme dasar
Kelainan intrinsic pada kontraktilitas miokaridum yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan
ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi
volume sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan
meningkatnya volume akhir diastolic ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri. Dengan meningkatnya LVEDP terjadi pula peningkatan
13

tekanan atrium kiri sehingga peningkatan ini diteruskan ke belakang ke dalam


pembuluh darah paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru. Apabila
tekanann hidrostatik paru lebih tinggi dari tekanan onkotik pembuluh darah, akan
terjadi transudasi cairan ke interstisial dan akhirnya akan terjadi edema interstisial.
Respon kompensatorik
Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer yang dapat
dilihat :

Peningkatan aktivitas adrenergic simpatis


Menurunnya volume sekuncup pada

gagal

jantung

akan

membangkitkan respons simpatik kompensatorik. Meningkatnya


aktivitas adrenergic simpatis merangsang pengeluaran katekolamin
yang akan memicu peningkatan denyut jantung dan kontraksi sehingga
terjadi peningkatan curah jantung. Selain itu juga terjadi vasokonstriksi
arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume
darah dengan mengurangi aliran darah ke organ organ yang
metabolismenya rendah. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran
balik vena ke sisi kanan jantung, utuk selanjutnya menambah kekuatan
kontraksi jantung.
Peningkatan beban awal melalui system rennin-angiotensin

aldosteron
Penurunan curah jantung akan memulai serangkaian peristiwa
sebagai berikut :
o Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi
glomerulus
o Pelepasan rennin dari apparatus jukstaglomerulus
o Interaksi rennin dengan angiotensinogen dalam darah untuk

menghasilkan angiotensin I
o Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II
o Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal
o Retensi natrium dan air
Hipertrofi ventrikel
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi
miokardium atau bertambah tebalnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan
jumlah sarkomer dalam sel sel miokardium; sarkomer bertambah secara
parallel atau serial bergnatung pada jenis beban hemodinamik yang
mengakibatkan gagal jantung.

14

Manifestasi Klinis
Dalam gagal jantung, pasien yang datang biasanya dapat ditemukan
dalam keadaan seperti berikut:
1. Dispnea. Bertambah buruk jika pada saat aktivitas.
2. Ortopnea. Akibat dari restribusi cairan dari abdomen dan ektremitas bawah ke
dalam dada menyebabkan peningkatan diafragma.
3. Dispnea paroksismal (nokturnal). Serangan sesak napas dan batuk yang
umumnya terjadi pada malam hari, seringkali mrmbangunkan pasien dari tidur.
4. Pernapasan Cheyne-Stokes. Ditandai oleh berkurangnya sensitivitas pusat
pernapasan terhadap PCO2.
5. Kelelahan, kelemahan, dan berkurangnya kapasitas exercise. Berkaitan dengan
berkurangnya perfusi otot rangka.
6. Gejala serebral. Pada gagal jantung berat, terutama pada pasien lanjut usia
disertai dengan arteriosklerosis serebralis, berkurangnya perfusis serebral, dan
hipoksemia arterial.
TEKNIK DIAGNOSTIK
Uji diagnostik biasanya paling sensitif pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
rendah.Uji diagnostik sering kurang sensitf pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
normal. Ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam melakukan evaluasi
disfungsi sistolik dan diastolik
Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal
jantung.Abnormalitas EKG sering dijumpai pada gagal jantung (Tabel 4).Abnormalitas EKG
memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal,
diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).
Foto Toraks
Merupakan komponen penting dalam diagnosis gagal jantung. Rontgen toraks dapat
mendeteksi kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau
infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak nafas (Tabel 5). Kardiomegali dapat
tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik.

15

TABEL 4

16

ABNORMALITAS

PENYEBAB

INTERPRETASI

Sinus Takikardia

Gagal jantung dekompensasi,

KLINIS
Penilaian klinis

anemia, demam,

Pemeriksaan

hipertroidisme

laboratorium

Obat penyekat , anti aritmia,

Evaluasi terapi obat

hipotiroidisme, sindroma sinus

Pemeriksaan

sakit

laboratorium

Atrial

Hipertiroidisme, infeksi, gagal

Perlambat konduksi AV,

takikarida/fluter/fibrilasi

jantung dekompensasi, infark

konversi medik,

miokard

elektroversi, ablasi

Sinus Bradikardia

kateter, antikoagulasi
Aritmia Ventrikel

Iskemia/infark

Iskemia, infark, kardiomiopati,

Pemeriksaan

miokardits, hipokalemia,

laboratorium, tes latihan

hipomagnesemia, overdosis

beban, pemeriksaan

digitalis

perfusi, koroner, ICD

Penyakit jantung koroner

Ekokardiografi, troponin,
Angiografiikoroner,
revaskularisasi

Gelombang Q

Hipertrofi ventrikel kiri

Infark, kardiomiopati

Ekokardiografi,

hipertrofi, LBBB, preexitasi

angiografii koroner

Hipertensi, penyakit katup

Ekokardiografi, doppler

aorta, kardiomiopati hipertrofi

Blok atrioventrikular

Infark miokard, Intoksikasi

Evaluasi penggunaan

obat, miokarditis, sarkoidosis,

obat,pacu jantung,

Penyakit Lyme

penyakit sistemik

Obesitas, emfisema, efusi

Ekokardiograf, rontgen

perikard, amiloidosis

toraks

Durasi QRS > 0,12 detik

17
Disinkroni elektrik dan

Ekokardiograf, CRT-P,

dengan morfologi LBBB

mekanik

CRT-D

Mikrovoltase

LBBB = Lef Bundle Branch Block; ICD = Implantable Cardioverter Defbrillator CRT-P =
Cardiac Resynchronizaton Therapy-PACEImaker; CRT-D = Cardiac Resynchronizaton
Therapy-Defbrillator

TABEL 5
Kelainan
Kardiomegali

Penyebab
Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel kanan,

Implikasi Klinis
Ekhokardiografi, doppler

atria, efusi perikard


Hipertropi

Hipertensi,

ventrikel

kardiomiopati hipertropi

Kongesti

vena

stenosis

Peningkatan

aorta,

Ekhokardiografi, doppler

tekanan

pengisian

Gagal jantung kiri

tekanan

pengisian

Gagal jantung kiri

paru

ventrikel kiri

Edema

Peningkatan

interstisial

ventrikel kiri

Efusi pleura

Gagal jantung dengan peningkatan

Pikirkan

pengisian

kardiak

tekanan

jika

ditemukan

diagnosis

non

bilateral, infeksi paru, keganasan


Garis Kerley B

Peningkatan tekanan limfatik

Mitral stenosis atau gagal


jantung kronis

Area

paru

Emboli paru atau emifsemea

hiperlusen
Infeksi Paru

Pemeriksaan CT, Spirometri,


EKG

Pneumonia sekunder akibat kongesti

Tatalaksana kedua penyakit:

paru

gagal jantung dan infeksi


paru

Infiltrat paru

Penyakit sistemik

Pemeriksaan diagnostik
lanjutan

Pemeriksaan Laboratorium
18

Pemeriksaan laboratorium rutin pada pasien diduga gagal jantung adalah darah perifer
lengkap (hemo-globin, leukosit, trombosit), elektrolit, kreatinin, laju filtrasi glomerulus
(GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan laindipertimbangkan
sesuai tampilan klinis. Gangguan hematologis atau elektrolit yang bermakna jarang dijumpai
pada pasien dengan gejala ringan sampai sedang yang belum diterapi, meskipun anemia
ringan, hiponatremia, hiperkalemia dan penurunan fungsi ginjal sering dijumpai terutama
pada pasien dengan terapi menggunakan diuretik dan/atau ACEI (Angiotensin Converting
Enzime Inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), atau antagonis aldosterone.
Peptida Natriuretik
Terdapat bukti - bukti yang mendukung penggunaan kadar plasma peptidanatriuretik untuk
diagnosis, membuat keputusan merawat atau memulangkan pasien, dan mengidentifikasi
pasien pasien yang berisiko mengalami dekompensasi. Konsentrasi peptida natriuretik yang
normal sebelum pasien diobati mempunyai nilai prediktif negatif yang tinggi dan membuat
kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab gejala- gejala yang dikeluhkan pasien menjadi
sangat kecil (Gambar 1).
Kadar peptida natriuretik yang tetap tinggi walaupun terapi optimal mengindikasikan
prognosis buruk.Kadar peptidanatriuretik meningkat sebagai respon peningkatan tekanan
dinding ventrikel. Peptida natriuretik mempunyai waktu paruh yang panjang, penurunan tibatiba tekanan dinding ventrikel tidak langsung menurunkan kadar peptida natriuretik.
Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada penderita gagal jantung jika gambaran klinisnya
disertai dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan ringan kadar troponin kardiak sering
pada gagal jantung berat atau selama episode dekompensasi gagal jantung pada penderita
tanpa iskemia miokard.
Ekokardiografi
Istilah ekokardiograf digunakan untuk semua teknik pencitraan ultrasound jantung termasuk
pulsed and continuous wave Doppler, colour Doppler dan tissue Doppler imaging (TDI).
Konfirmasi diagnosis gagal jantung dan/atau disfungsi jantung dengan pemeriksaan
ekokardiografi adalah keharusan dan dilakukan secepatnya pada pasien dengan dugaan gagal
jantung. Pengukuran fungsi ventrikel untuk membedakan antara pasien disfungsi sistolik
dengan pasien dengan fungsi sistolik normal adalah fraksi ejeksi ventrikel kiri (normal > 45 50%).
19

TATALAKSANA
TATALAKSANA NON-FARMAKOLOGI
MANAJEMEN PERAWATAN MANDIRI
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan pengobatan gagal
jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala gagal jantung, kapasitas
fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis. Manajemen perawatan mandiri dapat
didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik,
menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal
perburukan gagal jantung.

Ketaatan pasien berobat

Pemantauan berat badan mandiri


Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat
badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan
dokter (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti C)

Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (kelas
rekomendasi IIb, tingkatan bukti C)

Pengurangan berat badan


Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup (kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti C)
20

Kehilangan berat badan tanpa rencana

Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik stabil.
Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah sakit
atau di rumah

TERAPI FARMAKOLOGIS
ANGIOTENSIN-CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik
dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi perawatan rumah sakit karenaperburukan gagal jantung, dan meningkatkan angka
kelangsungan hidup (kelas rekomendasi I, tingkatan bukti A).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi
simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEIhanya diberikan pada pasien
dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Indikasi pemberian ACEI Fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, dengan atau tanpa gejala
PENYEKAT
Kecuali kontraindikasi, penyekat harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %. Penyekat memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, dan
meningkatkan kelangsungan hidup
ANTAGONIS ALDOSTERON
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron
mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan
kelangsungan hidup.
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKERS (ARB)
21

Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi
ejeksi ventrikel kiri 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB
memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi angka perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien
intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi angka kematian karena penyebab
kardiovaskular.
HYDRALAZINE DAN ISOSORBIDE DINITRATE (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 %, kombinasi H-ISDN
digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB

DIGOKSIN
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan untuk
memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti penyekat beta) lebih
diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi ejeksi ventrikel kiri 40 % dengan
22

irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala, menurunkan angka perawatan rumah sakit
karena perburukan gagal jantung,tetapi tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan
hidup.
B

DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau gejala kongesti
(kelas rekomendasi I, tingkatan bukit B).Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk
mencapai status euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu
harus diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan pada fungsi sistem pernapasan dapat pula diikuti oleh gangguan
fungsi dan perubahan fisiologis (adaptasi) ataupun patologis. Pada beberapa penyakit
paru seperti PPOK pada paru terjadi perubahan struktur dan penurunan fungsi
pernapasan secara kronik. Pada PPOK terjadi hipoksia, hiperkapnia, dan asidosis yang
terjadi secara kronik sehingga menyebabkan rangsangan kemoreseptor yang
kemudian menimbulkan berbagai regulasi neurohormonal melalui peningkatan
aktivitas simpatis. Salah satu perubahan tersebut adalah terjadinya vasokonstriksi
pada pembuluh darah paru sehingga pada waktu yang cukup lama menyebabkan
hipertensi pulmoner. Untuk menjaga perfusi jaringan dan keseimbangan sistem
cardiopulmonal akan terjadi berbagai mekanisme adaptasi dan kompensasi. Ventrikel
kanan meningkatkan kerjanya untuk mencukupi sirkulasi ke paru sehingga terjadi
perubahan struktur berupa dilatasi dan hipertropi. Kondisi tersebut disebut sebagai
Cor pulmonal. Sampai mekanisme tersebut berlanjut terus yang akan mengakibatkan
terjadinya kondisi gagal jantung kanan.

3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami

23

mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor
maupun dosen yang memberikan materi kuliah.

DAFTAR PUSTAKA

2015, P. D. (t.thn.). PEDOMAN TATALAKSANA GAGAL JANTUNG .


ILMU PENYAKIT DALAM. (2014).
Nixon, J. V. (2010). The AHA Clinical Cardiac Consult (3rd ed.). New York:
Lippincott William & Wilkins.
Siti, S. (2014). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

24

25

Anda mungkin juga menyukai