PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lupus atau yang biasa dikenal dengan Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) adalah penyakit inflamasi atau autoimun multiorgan yang penyebabnya
belum
secara
jelas
ditemukan.
Munculnya
SLE
dikarenakan
adanya
prevalensi SLE kira-kira 1 kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1
kasus per 10.000 populasi. Prevalensi penderita SLE di Cina adalah 1:1000.
Meskipun bangsa Afrika yang hidup di Amerika mempunyai prevalensi yang
tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata sangat jarang ditemukan pada orang
kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris, SLE mempunyai prevalensi 12
kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39 kasus per 100.000
populasi. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE secara tepat belum
diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE di Amerika
yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia, 2011). Prevalensi penyakit
iflamasi sistemik berdasar diagnosis naskes di Indonesia adalah 11,9%.
Prevalensi tertinggi di Bali 19,3%, Aceh 18,3%, Jawa Barat 17,5 dan Papua
15,4%. Prevalensi penyakit sendi beradasarkan jenis kelamin, diperoleh lebih
tinggi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki yaitu 13,4% dan 10,3%
(Riskesdas, 2013). Dari data Dinas kesehatan provinsi Bali diperoleh data
kasus sistemik lupus eritematosus pada tahun 2012 sebanyak 25 kasus dan
mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebanyak 75 kasus.
Penyebab munculnya penyakit ini belum bisa dipastikan, dapat karena
pengaruh lingkungan, hormonal atau genetik. Lupus eritematosus sistemik
(SLE) adalah penyakit yang timbul ketika tubuh melakukan reaksi yang
berlebihan terhadap stimulus asing dan memproduksi banyak antibodi maupun
protein-protein yang melawan jaringan tubuh. Oleh sebab itu, lupus disebut
dengan penyakit autoimun (Wallace, 2007).
Penderita lupus pada umumnya mengalami kemunduran baik secara
fisik maupun psikis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak negatif dari
SLE pada citra tubuh serta ketidakpuasan seksual akan meningkat ketika
pasien mengalami tingkat kelelahan dan gejala depresi yang tinggi (Seawell &
Burg, 2005). Manifestasi klinik yang dialami oleh penderita lupus umumnya
berbeda antara satu dan lainnya, akan tetapi kelainan kulit yang akut muncul
pada penderita Lupus berupa bercak malar yang menyerupai kupu-kupu.
Bercak yang paling sering ditemukan adalah bercak malar akut berupa eritema
menonjol, terasa gatal, ataupun nyeri. Beberapa jenis kelainan kulit yang
dialami biasanya bersifat sementara dan tidak meninggalkan bekas ketika
sembuh. Akan tetapi untuk kelainan kulit yang bersifat akut biasanya setelah
sembuh akan meninggalkan bekas di kulit dan susah hilang dalam jangka
waktu yang cukup lama (Darmawan, Nasution, Kalim, & Sidabutar, 1997).
Bentuk manifestasi klinik lainnya yang dialami oleh penderita Lupus
adalah apoleksia. Apoleksia adalah tanda yang umum terjadi pada SLE dimana
terjadi kerontokan rambut secara luas dan subtotal. Rambut yang rontok dapat
diasosiakan dengan kambuhnya SLE dan rambut yang rontok ini akan tumbuh
lagi setelah SLE dalam remisi. Kebotakan permanen yang dialami oleh pasien
SLE ini biasanya disebabkan karena kortikos teroid atau obat sitotosik. Secara
fisik, penderita SLE mengalami keluhan secara sistemik yang berhubungan
dengan fungsi fisiknya. Badan terasa lemas, lesu, dan mudah capek yang amat
sangat menjadi penghalang bagi penderita SLE untuk dapat melakukan
kegiatan normal sehari-harinya. Bentuk keluhan lain yang dirasakan adalah
demam 38 Celsius, badan terasa pegal dan nyeri otot serta penurunan berat
badan. Gangguan penyakit SLE yang meningkat dari waktu ke waktu dan
Abbott, & Teh, 2006) yang menyatakan bahwa lupus dapat menyebabkan
seseorang mengalami hambatan dalam peran sosial mereka sehingga
mengalami depresi dan memberikan dampak negatif pada kesejahteraan
psikologis odapus. Depresi ini terjadi ketika dampak penyakit lupus memiliki
pengaruh yang besar terhadap peran sosial odapus dan ketika odapus tidak
mampu menerima kondisinya saat itu.
Pada saat seseorang divonis menderita SLE, maka keadaan ini akan
mengubah pola hidup nya. Pasien yang divonis SLE mungkin akan mengalami
kehilangan pekerjaan, kehilangan kepercayaan diri yang dapat menjadi
penyebab terjadinya gangguan emosional. Tidak hanya itu saja, bagi pasien
wanita pada usia dewasa awal akan mengalami perubahan citra diri dan
konsep diri mereka, pada umumnya hal ini akan menyebabkan terjadinya
dampak psikologis yang berat bagi pasien terutama dalam penerimaan dirinya.
Perbedaan kondisi pasien sebelum dan sesudah divonis SLE pasti sangat
berbeda, sehingga pasien dituntut untuk dapat beradaptasi dengan baik
dengan kondisi yang dialaminya. Perubahan pola hidup yang disebabkan oleh
sakit ini dapat menjadi faktor sulitnya penerimaan diri pada pasien dengan SLE
(Hidayat, 2005).
Peran sosial secara khusus bagi wanita Bali berkaitan dengan budaya
dan adat yang sangat kental akan upacara dan tradisi keagamaaan (Tirtayani,
L. A., 2007). Seorang wanita memiliki peran ganda dalam lingkungan sosial nya
yaitu; a) peran domestik dimana wanita sebagai ibu dan istri b) peran
ekonomi,dimana wanita juga berperan dalam mendukung perekonomian rumah
tangga c) peran sosio-kultural dalam masyarakat yaitu dalam Banjar maupun
desa adat. Nilai-nilai budaya mengenai wanita dalam masyarakat Bali akan
membentuk wanita Bali dengan keunikannya. Konsep Arddhanisvarimurti,
sistim kapurusan, dan Karma Yoga marga membawa pemaknaan tersendiri
terhadap tugas-tugas yang dijalankan wanita Bali. Dalam menjalankan peran
sosio-kultural atau lebih dikenal dengan peran adat, wanita Bali sangat
tergantung pada status suami dalam kedudukan adat. Konsekuensi menikah
dengan suami yang tercatat sebagai krama arepan di Desa Adat Kuta
membawa wanita Bali pada kewajiban-kewajiban adat tertentu. Bila tidak
mampu menjalankan kewajibannya maka dianggap melanggar norma yang
telah disepakati, sehingga menerima sanksi. Dengan begitu banyaknya peran
wanita Bali khususnya dalam upacara adat di desa tempat tinggalnya, maka
wanita Bali dengan lupus akan mengalami kesulitan untuk bisa menjalankan
perannya. Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa kemunduran fisik
yang dialami meiliki kontribusi yang besar dalam peran dan tugas pasien SLE.
Reaksi lingkungan terhadap perubahan fisikpada pasien SLE dapat
mengakibatkan dampak perubahan psikis yang besar yang dialami oleh
penderita lupus. Dijauhkan dan dikucilkan oleh lingkungan akan membuat
odapus merasa dirinya diasingkan, merasa dirinya tidak berharga, merasa tidak
dapat diterima lagi oleh lingkungan, merasa rendah diri, malu, dan bersikap
tertutup serta perasaan negatif lainnya.
Fenomena pada penderita lupus wanita Bali usia dewasa awal yang
mengalami hambatan menjalankan tugas dan peran nya secara khusus
sebagai
wanita
Bali
yang
kental
dengan
upacara
keagamaan
ini
B. Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana proses penerimaan diri penderita lupus khususnya pada
wanita Bali.
b. Faktor apa saja yang mendukung penerimaan diri pada wanita Bali
pengidap lupus
c. Bagaimana dinamika psikologis yang mungkin muncul pada wanita Bali
yang mengidap lupus.
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Memahami dinamika psikologis yang ada pada wanita yang mengidap
lupus.
b. Untuk mengetahui proses dan faktor yang mempengaruhi penerimaan
diri pada wanita Bali pengidap lupus
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Praktis
Dari penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan
sumbangsih mengenai bagaimana deskripsi psikologis penerimaan diri
wanita pengidap lupus yang nantinya dapat menjadi acuan mencapai
kesejahteraan psikologi dalam fungsi dan peran nya di lingkungan
sosial.
10
b. Manfaat Teoritis
Dari penelitian yang dilakukan, diharapkan nantinya dapat memberikan
tambahan informasi dan pengetahuan khususnya bagi perkembangan
ilmu psikologi.
11
Van Houdenhove,
Mariman & Michielsen (2006) pada pasien sakit kronis menunjukkan bahwa
menerima sifat kronis penyakit mereka secara positif berhubungan dengan
kualitas hidup. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki apakah
penerimaan juga berhubungan dengan kesejahteraan pada pasien yang
menderita sindrom kelelahan kronis (CFS). Sembilan puluh tujuh pasien
menyelesaikan kuesioner yang mengukur kelelahan, gangguan fungsional,
tekanan psikologis, dan penerimaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penerimaan memiliki efek positif terhadap kelelahan dan aspek kesejahteraan
psikologis. Lebih khusus, penerimaan terkait dengan stabilitas secara
emosional dan tekanan psikologis yang kurang, di luar pengaruh variabel
demografis,
meningkatkan
dan
tingkat
penerimaan
keparahan
pada
kelelahan.
pasien
dengan
Kesimpulannya
CFS
mungkin
bahwa
lebih
12
melaporkan
gejala,
variabel
psikologis
(stres,
depresi
dan
13