PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolisme yang secara genetik
dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat
(Price & Lorraine,2007). Peningkatan prevalensi penyakit diabetes melitus erat
hubungannya dengan berat badan, misalnya diabetes melitus tipe 2 umumnya terjadi pada
pasien yang gemuk atau mengalami obesitas. Hal ini terjadi akibat dari perubahan pola
makan yang telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak
karbohidrat dan serat dari sayuran ke pola makan ke barat-baratan, dengan komposisi
makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung
sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap santap
yang akhir-akhir ini sangat digemari terutama oleh anak-anak muda. Faktor risiko yang
berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan
lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan
hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang
berhubungan dengan terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Suyono, 2009).
Diabetes Melitus (DM) adalah salah satu penyakit tidak menular yang akan
meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes merupakan salah satu ancaman utama bagi
kesehatan umat manusia di dunia. Pada tahun 2003, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun
berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025,
jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang (Suyono, 2009).
Meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus di beberapa negara berkembang akibat
peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, peningkatan pendapatan perkapita dan
perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar yang menyebabkan peningkatan
prevalensi
penyakit
degeneratif,
seperti
penyakit
jantung
koroner,
hipertensi,
Setiap tahun angka kejadiannya meningkat 3% atau bertambah 7 juta orang. Pada 2025,
diperkirakan akan meningkat menjadi 350 juta dan lebih dari separuhnya berada di Asia,
terutama di India, Cina, Pakistan dan Indonesia (Suyono, 2009).
Dalam Diabetes Atlas edisi kedua tahun 2003 yang diterbitkan oleh International
Diabetes Federation (IDF), prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah 1,9%
(2,5 juta orang) dengan prediksi bahwa di tahun 2025 berturut-turut akan menjadi 2,8%
(5,2 juta orang). Secara epidemiologis, Indonesia diperkirakan di tahun 2000 dikatakan
sebagai nomor 4 terbanyak penderita diabetes (8,4 juta orang) pada tahun 2030 akan tetap
nomor 4 di dunia tetapi dengan 21,3 juta penderita diabetes
Prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosa oleh tenaga medis dan gejala
menurut provinsi, prevalensi tertinggi terdapat di DKI Jakarta yaitu sebesar 2,6% dan
prevalensi terendah terdapat di Maluku, Bengkulu dan Sumatera Selatan yaitu sebesar
0,5%, sedangkan provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk salah satu provinsi yang
memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional yaitu 4,1%. Prevalensi nasional penyakit
diabetes melitus adalah 1,1% (Riskesdas Nasional, 2007).
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Laporan Kasus
I.
II.
Identitas Pasien
Nama
: Tn.X
No. RM
: 251466
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 61 tahun
Alamat
: Sandubaya, Selong
Suku
: Sasak
Bangsa
: Indonesia
Agama
: Islam
Status
: Buruh
Pendidikan terakhir
: SMP
Pekerjaan
: Buruh
Tgl MRS
: 28 November 2013
Anamnesa
Keluhan Utama :
Penurunan Kesadaran.
Riwayat Penyakit Sekarang :
MRS dengan penurunan kesadaran sejak tadi pagi pukul 08.00 Wita. Sebelum
tidak sadar di rumah pasien mengeluh lemas dan demam 5 hari yang lalu. Demam
dirasakan terus menerus. Pasien juga mengeluh sakit kepala dan berdenyut-
denyut.mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), nyeri menelan (-), nyeri dada (-),
nyeri perut (-),kejang (-), BAK (+), BAB (-) sejak masuk RS.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat HT (-)
Riwayat DM tidak diketahui
Riwayat Stroke (-)
Riwayat kejang (-)
Riwayat alergi obat (-)
Riwayat penyakit ginjal ataupun jantung (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)
Objektif :
Jantung :
o I : iktus kordis tidak terlihat
4
sinistra
o A : bunyi jantung I dan II regular, murmur (-),gallop (-)
Abdomen
:
I : perut datar
A : bising usus (+) normal
P : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
P : timpani
Ekstremitas :
Akral hangat (+)
Edema (-)
Capillary refill <2 detik
Daftar Masalah :
Dari anamnesis
1.
2.
3.
4.
Non Ketotik
Planning diagnostik :
Darah lengkap
Gula Darah Sewaktu
Ureum / kreatinin
EKG
Hasil Gula Darah Sewaktu : 527 mg/dl
Planning Terapi :
Regulasi Insulin cepat 3 IU/jam cek GDS /4 jam
Piracetam 3 x 3 gr i.v
Ranitidin 2 x 50 gr i.v
Ceftriakson 2 x 2 gr i.v
Planning Supportif :
Infuse NS loading 1000 cc
Infus NS 20 tpm (lanjut)
O2 kanul nasal 4 liter per menit
Pasang DC
28/11/2013
Normal
HB
14,5
L:14.0-18.0 g/dL
Leukosit
17.000
4.000-11.000/L
Eritrosit
4.66
L:4.5-6.0[10^6/ L]
Trombosit
374.000
150-400 [10^3/ L]
HCT/PCV
41.9
L : 42 54
MCH
31,1
26.0-32.0 pg
MCV
89,9
80-100 fL
MCHC
34,6
32-36 g/dL
RDW-SD
35-57 fL
RDW-CV
11-14.5 %
Parameter
SGOT
SGPT
28/11/2013
41
17.5
Normal
<41 U/L
<40 U/L
28/11/2013
527
Normal
<200 mg/dl
427
<126 mg/dl
28/11/2013
172
Normal
50 200 mg/dl
GDP
28/11/2013
Kalium
6,3
Natrium
131
Chlorida
107,94
28/11/2013
124
1,79
Normal
20 42 mg/dl
0,50 1,1 mg/dl
EKG
A. HASIL FOLLOW UP
TANGGAL
29/11/2013 -
S
Demam (+)
Sakit kepala (+) Sesak (-)
Mual (-)
Muntah (-)
Badan
lemas
(+)
- BAK
normal
- BAB (+)
O
A
GCS : E4V5M6
- DM tipe 2
Tampak sakit sedang - KHONK
Tanda vital :
TD
:
100/60
mmHg
N : 96 x/mnt
RR : 20 x/mnt
(+)
S : 37,9 C
- Kepala dan leher :
CA / SI : -/- Thorax :
Paru :
I : simetris, kulit
ikterik
P : simetris
P : sonor +/+
A : vesikuler +/+,
wheezing
rhonki -/Jantung :
I
: IC
P
- Planning terapi
Infuse NS 20
tpm
Inj.
Ceftriakson 2
x 2 gr
Inj. Ranitidin
3x1
PCT 3 x 500
mg
Regulasi cepat
insulin
-/-,
tidak
terlihat
P : IC teraba dan
kuat angkat
P : batas jantung
normal
A : S1,S2 regular,
murmur (-)
- Abdomen :
I : perut datar
A : bising usus (+)
normal
P : nyeri tekan (-),
hepar
dan
lien
tidak teraba
9
P : timpani
- Ekstremitas :
Edema (-)
: 0 cc/jam
: 1cc/jam
: 2cc/jam
: 3cc/jam
: 4 cc/jam
TANGGAL
30/11/2013 -
S
Demam (-)
Sakit kepala (+) Sesak (-)
Mual (-)
Muntah (-)
O
A
GCS : E4V5M6
- DM tipe 2
Tampak sakit sedang - KHONK
Tanda vital :
TD
:
100/60
mmHg
N : 84 x/mnt
RR : 20 x/mnt
S : 36,5 C
- Kepala dan leher :
CA / SI : -/- Thorax :
Paru :
I : simetris, kulit
P
- Planning terapi
Infuse NS 20
tpm
Inj.
Ceftriakson 2
x 2 gr
Inj. Ranitidin
3x1
Regulasi
lambat actrafit
ikterik
P : simetris
P : sonor +/+
A : vesikuler +/+,
wheezing
-/-,
10
rhonki -/Jantung :
I
: IC
tidak
terlihat
P : IC teraba dan
kuat angkat
P : batas jantung
normal
A : S1>S2 regular,
murmur (-)
- Abdomen :
I : perut datar
A : bising usus (+)
normal
P : nyeri tekan (-),
hepar
dan
lien
tidak teraba
P : timpani
- Ekstremitas :
Edema (-)
: 0 IU
: 4 IU
: 8 IU
: 12 IU
: 16 IU
regulasi lambat
11
TANGGAL
01/12/2013 -
S
Lemas (+)
Demam (-)
Sakit kepala (+) Sesak (-)
Mual (-)
Muntah (-)
O
A
GCS : E4V5M6
- DM tipe 2
Tampak sakit sedang - KHONK
Tanda vital :
TD
:
110/70
mmHg
N : 80 x/mnt
RR : 16 x/mnt
S : 36,8 C
- Kepala dan leher :
CA / SI : -/- Thorax :
Paru :
I : simetris, kulit
P
- Planning terapi
Infuse NS 20
tpm
Inj.
Ceftriakson 2
x 2 gr
Inj. Ranitidin
3x1
Regulasi
lambat actrafit
ikterik
P : simetris
P : sonor +/+
A : vesikuler +/+,
wheezing
rhonki -/Jantung :
I
: IC
-/-,
tidak
terlihat
P : IC teraba dan
kuat angkat
P : batas jantung
normal
A : S1>S2 regular,
murmur (-)
- Abdomen :
I : perut datar
A : bising usus (+)
normal
P : nyeri tekan (-),
hepar
dan
lien
12
tidak teraba
P : timpani
- Ekstremitas :
Edema (-)
: 0 IU
: 4 IU
: 8 IU
: 12 IU
: 16 IU
regulasi lambat
GDS pukul 09.00 251 mg/dl ( 8 IU)
GDS pukul 15.00 380 mg/dl (16 IU)
GDS pukul 21.00 281mg/dl (8 IU)
TANGGAL
02/12/2013 -
S
Lemas (-)
Demam (-)
Sakit kepala (+) Sesak (-)
Mual (-)
Muntah (-)
O
A
GCS : E4V5M6
- DM tipe 2
Tampak sakit sedang - KHONK
Tanda vital :
TD
:
120/70
mmHg
N : 88 x/mnt
RR : 16 x/mnt
S : 37 C
GDS :220 mg/dl
- Kepala dan leher :
CA / SI : -/- Thorax :
Paru :
I : simetris, kulit
P
- BPL
- Planning terapi
Lantus insulin
(0-0-10)
Ranitidine 150
mg 2 x 1
Cefadroxile
500 mg 2 x 1
ikterik
P : simetris
P : sonor +/+
A : vesikuler +/+,
wheezing
-/-,
rhonki -/13
Jantung :
I
: IC
tidak
terlihat
P : IC teraba dan
kuat angkat
P : batas jantung
normal
A : S1>S2 regular,
murmur (-)
- Abdomen :
I : perut datar
A : bising usus (+)
normal
P : nyeri tekan (-),
hepar
dan
lien
tidak teraba
P : timpani
- Ekstremitas :
Edema (-)
2.2 Pembahasan
2.2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang akan diderita seumur hidup.
Dalam perjalanan penyakitnya, dapat terjadi penyulit akut yang merupakan kegawatan
dan penyulit menahun yang dapat menimbulkan kecacatan. Dalam pengelolaan
penyakit tersebut selain dokter, perawat, ahli gizi serta tenaga kesehatan lain, peran
pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya
guna memahami lebih jauh tentang perjalanan penyakit DM, pencegahan penyulit
DM, dan penatalaksanaannya akan sangat membantu keikutsertaan mereka dalam
usaha memperbaiki hasil pengelolaan (Aru, Sudoyo: 2006).
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai seluruh organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan ,sehingga pasien tidak menyadari
14
akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil
lebih sering ataupun berat badan yang menurun.
berlangsung lama sampai orang tersebut pergi ke dokter. Terkadang pula gambaran
klinisnya tidak jelas, asimtomatik dan diabetes baru ditemukan pada saat pemeriksaan
penyaring atau pemeriksaan untuk penyakit lain (Arif, Mansjoer: 2001).
2.2.1.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, DM merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
2.2.1.2 Klasifikasi
1. DM Tipe I
Destruksi sel beta pankreas dan umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
(Autoimun / Idiopatik)
2. DM Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 disebut juga diabetes melitus tidak tergantung
insulin (NIDDM), disebabkan oleh penurunan sensitifitas jaringan target terhadap
efek metabolik insulin. Penurunan sensitifitas terhadap insulin ini seringkali
disebut sebagai resistensi insulin (Guyton & Hall, 2007). Pada tahap awal, kondisi
tidak normal yang paling utama adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin
dalam darah. Pada tahap ini hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai cara dan
obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau
mengurangi produksi glukosa dari hepar. Seiring bertambah parahnya penyakit
tersebut, sekresi insulin pun semakin berkurang dan kadang dibutuhkan terapi
insulin (Sutanto, 2010).
3. DM tipe lain
4. DM Gestasional
Nama lama
DM tipe 1
DM Juvenil
DM tipe 2
DM dewasa
Umur (th)
Berat
Ringan
15
Kadar insulin
Berat badan
Biasanya kurus
Terapi
Pada kasus ini, pasien memiliki faktor risiko umur tua, kurang aktifitas
fisik dan menderita dislipidemia
2.2.1.4 Diagnosis
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan-keluhan sebagai
berikut (Arif, Mansjoer: 2001):
1. Keluhan Klasik
Gejala berupa 3P (poliuria, polidipsia, polifagia) disertai penurunan berat
badan yang tidak diketahui penyebabnya
2. Keluhan Lain
Badan lemas, kesemutan, gatal (pruritus), pandangan kabur, disfungsi ereksi
pada pria, pruritus vulva pada wanita, luka sulit sembuh.
Jika keluhan ditemukan pada penderita, langkah selanjutnya adalah dengan
pemeriksaan kadar gula darah (vena / perifer) yang terdiri dari:
1. Glukosa Darah Sewaktu (GDS)
16
GDPT
Bia setelah pemeriksaan didapatkan kadar GDP 100-125 mg/dL
Diabetes Melitus
Gejala klasik DM + GDS > 200 mg/dL, dan atau
Gejala klasik DM + GDP > 126 mg/dL, dan atau
Gejala klasik DM + TTGO > 200 mg/dL
<126
110-125
110-199
<110
>126
TTGO
GD 2 pp
<126
140-199
Diabetes Melitus
TGT
<140
GDPT
Normal
17
hiperinsulinemia.
Kedua
keadaan
ini,
hiperglisemia
dan
&
terhambatnya
progresivitas
penyulit
mikroangiopati,
Perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan.
Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik
tersedia).
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau
hipoglikemia.
Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
Pentingnya perawatan diri.
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.
Perencanaan Makanan
20
untuk wanita
Kebutuhan kalori sesuai aktivitas / kalori yang dikeluarkan dalam
C. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama 30 menit) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani.
Dianjurkan latihan jasmani 3-4 kali tiap minggu selama 30menit (kurang
lebihnya) yang bersifat CRIPE (Suryono, Slamet: 1996).
Continous :
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus
tanpa henti. Contoh jogging 30 menit tanpa istirahat.
Rytmical :
Latihan olahraga harus dipilih yang berirama yaitu otot-otot
berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
21
Interval :
Latihan olahraga selang-seling antara gerak cepat dan lambat.
Contoh : jalan cepat diselangi jalan lambat
Progressive :
Latihan secara bertahan sesuai dengan kemampuan dari intensitas
ringan hingga mencapai 30-60 menit. Sasaran Heart rate 75-85% dari
Maksimum Heart Rate dimana Maksimum heart rate = 220-umur (dalam
tahun).
Endurance :
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi seperti jalan santai/cepat sesuai umur, jogging, berenang
dan bersepeda.
1. Intervensi Farmakologis
a. Anti Diabetik Oral (ADO)
Insulin sekretagog :
a) Sulfonilurea (Glibenklamid, Glimepirid, Glikuidon)
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang (PERKENI, 2011).
Berdasarkan lama kerjanya sulfonilurea (SU) dibagi menjadi generasi
pertama dan generasi kedua. Sulfonilurea generasi pertama adalah acetohexmide,
tolbutamid, tolazamid dan klorpropamid. Sulfonilurea generasi kedua adalah
glibenklamid, glimepirid, glipizid, gliburid dan glikazid. Glibenklamid, ada dua
dosis, 2,5 mg dan 5 mg. Dosis sehari antara 2,5 sampai 15 mg, obat ini memiliki
efek hipoglikemik yang cukup kuat. Lama kerjanya termasuk intermediate antara
22
5-8 jam yang diberikan 1-2 kali sehari, pagi dan siang hari. Tolbutamid, biasanya
tersedia dalam dosis 500 mg satu tablet, obat ini bekerja jangka pendek (short
acting) sekitar 4 jam yang diberikan 1-3 kali sehari, di pagi, siang dan sore hari.
Dosis sehari Tolbutamid antara 500-2000 mg. Gliklazid, dosis yang tersedia
adalah 80 mg. Lama kerja obat ini intermediate. Karena itu obat ini memiliki efek
hipoglikemik sedang sehingga jarang menimbulkan hipoglikemia, dosis sehari
antara 80 sampai 320 mg. Klorpropamid, dosis pemeliharaan rerata klorpropamid
200 mg/hari, yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari, tolazamid
sebanding dengan klorpropamid, tetapi lama kerjanya lebih pendek, jika
dibutuhkan dosis 500 mg/hari, dosis tersebut harus dibagi dan diberikan dua kali
sehari. Sulfoniluria golongan kedua seperti glimepirid telah disetujui untuk
digunakan sekali sehari sebagai monoterapi, dengan dosis sebesar 1 mg/hari
dengan dosis maksimal 8 mg. Gliburid, dosis awal yang biasa diberikan 2,5
mg/hari atau lebih kecil dan dosis pemeliharaan rerata 5-10 mg/ hari, yang
diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Glipizid, dosis awal yang
dianjurkan adalah 5 mg/hari yang dapat dinaikkan sampai 15 mg/hari yang
diberikan sebagai dosis tunggal (Katzung, 2011).
b) Glinid (Repaglinid)
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial
diberikan dengan dosis 0,25-4 mg sesaat sebelum makan dengan dosis maksimum
16 mg/hari (Katzung, 2011).
ini
mempunyai
efek
menurunkan
resistensi
insulin
dengan
23
Penghambat glukoneogenesis :
a) Biguanid (Metformin)
Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes yang obesitas. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Selain itu
harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut (PERKEN, 2011). Dosis metformin yang diberikan setelah makan sekali
sehari berkisar dari 500 mg sampai maksimum sebesar 2,25 g/hari (Katzung,
2011).
b) Insulin
24
Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat meningkat akibat adanya,
Penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis,
ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan
asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/diabetes melitus
gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal
atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO(PERKENI, 2011).
Pada kasus ini, pasien tidak mengalami gejala yang berarti dan tidak pernah cek kadar
gula darah dalam tubuhnya sehingga pasien tidak menjalani penatalaksanaan dengan
tepat sehingga timbul komplikasi akut berupa stress hiperglikemik.
2.2.1.6 Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori mayor
yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular kronik / jangka panjang
(Price & Lorraine, 2007).
A) Komplikasi Metabolik Akut
1.
KAD ( Ketoasidosis Diabetikum )
KAD adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh
trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin relatif atau absolut (Soewondo, 2009). Apabila kadar
insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan
glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda
keton (asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton). Peningkatan keton
dalam plasma menyebabkan ketosis. Peningkatan produksi keton
meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria
25
Lorraine, 2007).
HHNK (Koma Hiperosmolar Hiperglikemia Non Ketotik )
Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa
disertai ketosis. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis
osmotik dan dehidrasi berat. HHNK biasanya terjadi pada orang tua
dengan DM yang memiki penyakit penyerta yang menyebabkan
berkurangnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi dalam
enam kategori yaitu infeksi, pengobatan, non compliance, diabetes
melitus tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat dan penyakit penyerta
3.
(Soewondo, 2009).
Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti terlalu
banyak atau salah penggunaan insulin, terlalu banyak atau salah waktu
olahraga atau tidak cukup asupan makanan
khususnya glukosa
mengakibatkan
pembentukan
katarak
dan
dapat
2.2.1.7 Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994 upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap
yaitu :
1. Pencegahan primer : Semua aktifitas yang ditunjukkan untuk mencegah
timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk menjadi diabetes atau
pada populasi umum.
2. Pencegahan sekunder : Kegiatan menemukan DM sedini mungkin, misalnya
dengan tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian
pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring hingga
demikian dapat dilakukan upaya-upaya untuk mencegah komplikasi, kalaupun
sudah ada komplikasi masih reversibel.
3. Pencegahan tersier : Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan
akibat komplikasi itu.
Bentuk koma yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat
tanpa ketoasidosis. Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi
pada Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Krisis
hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), statushiperosmolar
hiperglikemik (SHH) atau hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HONK). KAD adalah
keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan, sedangkan SHH atau HONK ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan
kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni, didefinisikan sebagai
hiperglikemia extrim, osmolalitas serum yang tinggi dan dehidrasi berat tanpa ketosis dan
asidosis yang signifikan.
2.2.2.1 Epidemiologi
Untuk kasus SHH atau HHNK lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. HHNK lebih sering ditemukan pada orang yang lanjut usia dengan
rata-rata onset pada usia ketujuh, mortalitas berkisar antara 10-20 % .
Pada kasus ini, pasien berjenis kelamin laki-laki dan lanjut usia.
2.2.2.2 Patofisiologi
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin,
relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.Kadar insulin
tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk
mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan
kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk
lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin
kurang.
Pada KAD dan HONK, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi
juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan
28
29
stres
Diuresis o
Hiperglikemia
Hiperosm
Hiperosmolar hiperglikemik
Penyakit serebrovaskuler
Infark miokard akut
Emboli paru
Thrombosis V.Mesenterika
Pankreatitis akut
Kholesistitis akut
Obstruksi intestinal
KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan HONK
cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan hiperosmolalitas.
Gejala tipikal untuk dehidrasi adalah membran mukosa yang kering, turgor kulit
menurun, hipotensi dan takikardia.Pada pasien tua mungkin sulit untuk menilai turgor
kulit. Demikian juga pasien dengan neuropati yang lama mungkin menunjukkan
respons yang berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Status mental dapat bervariasi dari
sadar penuh , letargi, sampai koma. Pada pasien-pasien HONK tertentu, gejala
neurologi fokal atau kejang mungkin merupakan gejala klinik yang dominan.
Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk KAD dan HONK, pasien
dapat normotermik atau bahkan hipotermik terutama oleh karena vasodilatasi perifer.
Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda buruknya prognosis.
Pada kasus ini, pasien sebelumnya mengeluhkan rasa lemah badan dan ada
penurunan kesadaran.
2.2.2.5 Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau HONK meliputi
penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit
(dengan anion gap), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik,
analisa gas darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan
elektrokardiogram.
Kultur bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan
dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi. A1c mungkin
bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini adalah akumulasi dari suatu
proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM yang tidak terkontrol ,atau suatu
episode akut pada pasien yang terkendali dengan baik. Konsentrasi natrium serum
pada umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik yang terjadi terus menerus
dari intrasellular ke ekstraselular dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium
serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium extracellular yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hipertonisitas, dan asidemia. Pasien
dengan konsentrasi kalium serum rendah atau low normal pada saat masuk, mungkin
32
akan kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium
dan perlu monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan
menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas efektif (
> 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab perubahan status
mental.Osmolalitas serum dihitung dengan rumus sebagai berikut : 2(Na)(mEq/L) +
glukosa (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2,8. Nilai normalnya adalah 290 5 mOsm/kg
air.Hiperglikemia pada HONK biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glukosa
darah > 600 mg/dL dan osmolalitas efektif ( > 320 mOsm/kg) biasanya dipakai
sebagai kriteria diagnostik. Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan
metoda nitroprusid pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial >
7,3.
Pada kasus ini, pasien ditemukan kadar glukosa: 527 mg/dl, , penurunan kadar
natrium, peningkatan kadar kalium, ureum dan kreatinin.
2.2.2.6 Terapi
Keberhasilan pengobatan KAD dan HONK membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang
merupakan faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan
monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah
pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan dengan baik.
Terapi cairan:
Pasien Orang dewasa
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravaskular dan
extravaskular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan
kadar glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon
kontra insulin (dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin). Pada
keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 1520 ml/kg berat
badan/jam atau lebih besar pada jam pertama ( 11.5 liter untuk rata-rata orang
dewasa).Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi,
33
kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan
sebanyak 414 ml/kg/jam.jika sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9%
diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah. Selama fungsi ginjal
diyakini baik, maka perlu ditambahkan 2030 mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4)
sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.Keberhasilan penggantian cairan
dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah),
pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik. Penggantian cairan diharapkan
dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan osmolaritas serum
mestinya tidak melebihi 3 mOsm kg-1 H2O. Pada pasien dengan gangguan ginjal atau
jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal, dan status
mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari overload
yang iatrogenik.
Pasien berusia < 20 tahun
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravaskular dan
extravaskular ,dan mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan
volume vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena
pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat
isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 1020 ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi
berat, pemberian ini perlu diulang, tetapi awal pemberian kembali mestinya tidak
melebihi 50 ml/kg pada 4 jam pertama terapi. Terapi Cairan selanjutnya untuk
menggantikan defisit cairan dilakukan dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.450.9% (
tergantung pada kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari
kebutuhan pemeliharaan selama 24-h ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan
rehidrasi, dengan penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm kg-1 H2O. Sekali
lagi jika fungsi ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui, maka perlu diberikan
2040 mEq/l kalium ( 2/3 KCl atau potassium-acetate dan 1/3 KPO4). Jika glukosa
serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi dextrose 5% dan NaCl 0.45
0.75%, dengan kalium seperti diuraikan diatas.
Pada kasus ini, pasien diberikan infus NS 20 tpm.
Terapi Insulin
34
Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian cairan yang
adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan
akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps
vaskular, atau kematian. Dilakukan regulasi cepat insulin yang merupakan salah satu
indikasinya antara lain adalah KHONK dengan keuntungannya menurunkan kadar
glukosa darah secara cepat
2.2.2.7 Komplikasi
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/HONK dan
komplikasi akibat pengobatan,Penyulit KAD dan HONK yang paling sering adalah
hipoglikemia dalam kaitan dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia
dalam kaitan dengan pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan
hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin intravena setelah perbaikan tanpa
pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan. Biasanya, pasien yang sembuh dari
KAD menjadi hiperkhloremi disebabkan oleh penggunaan larutan saline berlebihan
untuk penggantian cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non-anion gap yang
sementara dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion yang hilang
dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia
ini adalah sementara dan secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal
akut atau oliguria yang ekstrim.
Kasus yang fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada HONK. Secara
klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan
sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang,
inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan gagal nafas. Gejala ini makin
menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat
walaupun papil edema tidak ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan
dan perubahan tingkah laku , angka kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 714%
pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen. Walaupun mekanisme dari edema
cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada
sistem saraf pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi
KAD atau HONK. Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi resiko edema
cerebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan penggantian defisit air dan
35
Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan anggota
keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti mengukur
dan mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah ketika glukosa
darah > 300 mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi
permenit, dan berat badan. Pengawasan yang cukup dan sangat membantu dari staff
atau keluarga dapat mencegah terjadinya HONK dalam kaitan dengan keadaan
dehidrasi pada individu tua yang tidak mampu untuk mengenali atau menghindari
kondisi ini. Edukasi yang baik harus diberikan sehingga pasien mengenai tanda dan
gejala newonset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan obat-obatan yang
memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring glukosa dapat mengurangi
kejadian dan beratnya HONK.
36
DAFTAR PUSTAKA
1.
2. Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran, edisi III, buku I, Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 2001
3. Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi IV, Jilid III, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta : 2006
4. Arifin, Augusta, dkk. Krisis Hiperglikemia pada Diabetes Melitus, Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran RS Hasan Sadikin, Bandung.
37