Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu gangguan metabolisme yang secara genetik
dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat
(Price & Lorraine,2007). Peningkatan prevalensi penyakit diabetes melitus erat
hubungannya dengan berat badan, misalnya diabetes melitus tipe 2 umumnya terjadi pada
pasien yang gemuk atau mengalami obesitas. Hal ini terjadi akibat dari perubahan pola
makan yang telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak
karbohidrat dan serat dari sayuran ke pola makan ke barat-baratan, dengan komposisi
makanan yang terlalu banyak mengandung protein, lemak, gula, garam dan mengandung
sedikit serat. Komposisi makanan seperti ini terutama terdapat pada makanan siap santap
yang akhir-akhir ini sangat digemari terutama oleh anak-anak muda. Faktor risiko yang
berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan
lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan
hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang
berhubungan dengan terjadinya diabetes melitus tipe 2 (Suyono, 2009).
Diabetes Melitus (DM) adalah salah satu penyakit tidak menular yang akan
meningkat jumlahnya di masa datang. Diabetes merupakan salah satu ancaman utama bagi
kesehatan umat manusia di dunia. Pada tahun 2003, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun
berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025,
jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang (Suyono, 2009).
Meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus di beberapa negara berkembang akibat
peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, peningkatan pendapatan perkapita dan
perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar yang menyebabkan peningkatan
prevalensi

penyakit

degeneratif,

seperti

penyakit

jantung

koroner,

hipertensi,

hiperlipidemia dan diabetes Melitus. Laporan statistik International Diabetes Federation


(IDF) menyebutkan bahwa sekarang sudah terdapat sekitar 230 juta penderita diabetes.
1

Setiap tahun angka kejadiannya meningkat 3% atau bertambah 7 juta orang. Pada 2025,
diperkirakan akan meningkat menjadi 350 juta dan lebih dari separuhnya berada di Asia,
terutama di India, Cina, Pakistan dan Indonesia (Suyono, 2009).
Dalam Diabetes Atlas edisi kedua tahun 2003 yang diterbitkan oleh International
Diabetes Federation (IDF), prevalensi diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah 1,9%
(2,5 juta orang) dengan prediksi bahwa di tahun 2025 berturut-turut akan menjadi 2,8%
(5,2 juta orang). Secara epidemiologis, Indonesia diperkirakan di tahun 2000 dikatakan
sebagai nomor 4 terbanyak penderita diabetes (8,4 juta orang) pada tahun 2030 akan tetap
nomor 4 di dunia tetapi dengan 21,3 juta penderita diabetes

(Depkes RI, 2008).

Prevalensi diabetes melitus berdasarkan diagnosa oleh tenaga medis dan gejala
menurut provinsi, prevalensi tertinggi terdapat di DKI Jakarta yaitu sebesar 2,6% dan
prevalensi terendah terdapat di Maluku, Bengkulu dan Sumatera Selatan yaitu sebesar
0,5%, sedangkan provinsi Nusa Tenggara Barat termasuk salah satu provinsi yang
memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional yaitu 4,1%. Prevalensi nasional penyakit
diabetes melitus adalah 1,1% (Riskesdas Nasional, 2007).

BAB II
PEMBAHASAN
2.1

Laporan Kasus
I.

II.

Identitas Pasien
Nama

: Tn.X

No. RM

: 251466

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Umur

: 61 tahun

Alamat

: Sandubaya, Selong

Suku

: Sasak

Bangsa

: Indonesia

Agama

: Islam

Status

: Buruh

Pendidikan terakhir

: SMP

Pekerjaan

: Buruh

Tgl MRS

: 28 November 2013

Anamnesa
Keluhan Utama :
Penurunan Kesadaran.
Riwayat Penyakit Sekarang :
MRS dengan penurunan kesadaran sejak tadi pagi pukul 08.00 Wita. Sebelum
tidak sadar di rumah pasien mengeluh lemas dan demam 5 hari yang lalu. Demam
dirasakan terus menerus. Pasien juga mengeluh sakit kepala dan berdenyut-

denyut.mual (-), muntah (-), batuk (-), pilek (-), nyeri menelan (-), nyeri dada (-),
nyeri perut (-),kejang (-), BAK (+), BAB (-) sejak masuk RS.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat HT (-)
Riwayat DM tidak diketahui
Riwayat Stroke (-)
Riwayat kejang (-)
Riwayat alergi obat (-)
Riwayat penyakit ginjal ataupun jantung (-)
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat diabetes mellitus (-)
Objektif :

Keadaan umum : tidak sadar


Kesadaran
: GCS E2V3M4 .
BMI : kurus
Vital sign
:
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi
: 120 x/menit
Suhu
: 38C
Pernafasan
: 28 x/menit
Kepala & Leher :
Konjungtiva anemis
: (-/-)
Sklera ikterik
: (-/-)
Peningkatan JVP
: (-)
Pembesaran KGB
: (-)
Thorax :
Paru :
o
o
o
o

I : simetris kanan dan kiri


P : gerakan nafas hemithorax kanan dan kiri simetris
P : perkusi paru sonor kanan dan kiri
A : suara nafas dasar vesikuler, wheezing -/-, rhonki -/-

Jantung :
o I : iktus kordis tidak terlihat
4

o P : iktus kordis teraba dan kuat angkat


o P : batas jantung normal, batas kiri ICS 5 midclavicula sinistra, batas
kanan ICS 3 parasternal dextra, pinggang jantung ICS 3 parasternal

sinistra
o A : bunyi jantung I dan II regular, murmur (-),gallop (-)
Abdomen
:
I : perut datar
A : bising usus (+) normal
P : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
P : timpani
Ekstremitas :
Akral hangat (+)
Edema (-)
Capillary refill <2 detik
Daftar Masalah :
Dari anamnesis
1.
2.
3.
4.

Tidak sadarkan diri


Lemas
Demam
Sakit kepala

Dari Pemeriksaan Fisik


1. Kesadaran
: GCS E2V3M4
2. BMI : kurus
3. Vital sign
:
Tekanan Darah: 190/110 mmHg
Nadi
: 120 x/menit
Suhu
: 38C
Pernafasan
: 28 x/menit
Assessment :
Gangguan metabolic :
a) Hiperglikemia : Koma Hiperosmolar Hiperglikemik

Non Ketotik

(HONK) dan KAD


b) Hipoglikemia
Obs. Penurunan Kesadaran susp. SH dd SNH
Planning :

Planning diagnostik :
Darah lengkap
Gula Darah Sewaktu
Ureum / kreatinin
EKG
Hasil Gula Darah Sewaktu : 527 mg/dl

Planning Terapi :
Regulasi Insulin cepat 3 IU/jam cek GDS /4 jam
Piracetam 3 x 3 gr i.v
Ranitidin 2 x 50 gr i.v
Ceftriakson 2 x 2 gr i.v
Planning Supportif :
Infuse NS loading 1000 cc
Infus NS 20 tpm (lanjut)
O2 kanul nasal 4 liter per menit
Pasang DC

Laboratorium tanggal 28 November 2013


a. Hasil pemeriksaan Darah Lengkap :
Parameter

28/11/2013

Normal

HB

14,5

L:14.0-18.0 g/dL

Leukosit

17.000

4.000-11.000/L

Eritrosit

4.66

L:4.5-6.0[10^6/ L]

Trombosit

374.000

150-400 [10^3/ L]

HCT/PCV

41.9

L : 42 54

MCH

31,1

26.0-32.0 pg

MCV

89,9

80-100 fL

MCHC

34,6

32-36 g/dL

RDW-SD

35-57 fL

RDW-CV

11-14.5 %

b. Hasil Pemeriksaan Kimia Klinik :

Parameter
SGOT
SGPT

28/11/2013
41
17.5

Normal
<41 U/L
<40 U/L

c. Hasil Pemeriksaan diabetes :


Parameter
GDS

28/11/2013
527

Normal
<200 mg/dl

427

<126 mg/dl

28/11/2013
172

Normal
50 200 mg/dl

GDP

d. Hasil Pemeriksaan lemak:


Parameter
Cholesterol total

e. Hasil Pemeriksaan elektrolit


Parameter

28/11/2013

Kalium

6,3

Natrium

131

Chlorida

107,94

f. Hasil Pemeriksaan ginjal :


Parameter
Ureum
Kreatinin

28/11/2013
124
1,79

Normal
20 42 mg/dl
0,50 1,1 mg/dl

EKG

A. HASIL FOLLOW UP
TANGGAL
29/11/2013 -

S
Demam (+)
Sakit kepala (+) Sesak (-)
Mual (-)
Muntah (-)
Badan
lemas

(+)
- BAK
normal
- BAB (+)

O
A
GCS : E4V5M6
- DM tipe 2
Tampak sakit sedang - KHONK
Tanda vital :
TD
:
100/60

mmHg
N : 96 x/mnt
RR : 20 x/mnt
(+)
S : 37,9 C
- Kepala dan leher :
CA / SI : -/- Thorax :
Paru :
I : simetris, kulit

ikterik
P : simetris
P : sonor +/+
A : vesikuler +/+,
wheezing

rhonki -/Jantung :
I
: IC

P
- Planning terapi
Infuse NS 20

tpm
Inj.
Ceftriakson 2

x 2 gr
Inj. Ranitidin

3x1
PCT 3 x 500

mg
Regulasi cepat
insulin

-/-,

tidak

terlihat
P : IC teraba dan

kuat angkat
P : batas jantung

normal
A : S1,S2 regular,

murmur (-)
- Abdomen :
I : perut datar
A : bising usus (+)

normal
P : nyeri tekan (-),
hepar

dan

lien

tidak teraba
9

P : timpani
- Ekstremitas :
Edema (-)

Regulasi cepat insulin (cek / 6 jam)

GDS < 200


GDS 200-250
GDS 250 300
GDS 300 350
GDS > 350

: 0 cc/jam
: 1cc/jam
: 2cc/jam
: 3cc/jam
: 4 cc/jam

Jika drip habis regulasi lambat

GDS pukul 09.00 311 mg/dl ( 3 cc/jam)


GDS pukul 15.00 68 mg/dl (0 cc/jam)
GDS pukul 21.00 385 mg/dl (4 cc/jam)
GDS pukul 03.00 56 mg/dl (0 cc/jam)

TANGGAL
30/11/2013 -

S
Demam (-)
Sakit kepala (+) Sesak (-)
Mual (-)
Muntah (-)

O
A
GCS : E4V5M6
- DM tipe 2
Tampak sakit sedang - KHONK
Tanda vital :
TD
:
100/60

mmHg
N : 84 x/mnt
RR : 20 x/mnt
S : 36,5 C
- Kepala dan leher :
CA / SI : -/- Thorax :
Paru :
I : simetris, kulit

P
- Planning terapi
Infuse NS 20

tpm
Inj.
Ceftriakson 2

x 2 gr
Inj. Ranitidin

3x1
Regulasi
lambat actrafit

ikterik
P : simetris
P : sonor +/+
A : vesikuler +/+,
wheezing

-/-,
10

rhonki -/Jantung :
I
: IC

tidak

terlihat
P : IC teraba dan

kuat angkat
P : batas jantung

normal
A : S1>S2 regular,

murmur (-)
- Abdomen :
I : perut datar
A : bising usus (+)

normal
P : nyeri tekan (-),
hepar

dan

lien

tidak teraba
P : timpani
- Ekstremitas :
Edema (-)

Regulasi lambat actrafit (cek / 6 jam)

GDS < 200


GDS 200-250
GDS 250 300
GDS 300 350
GDS > 350

: 0 IU
: 4 IU
: 8 IU
: 12 IU
: 16 IU

regulasi lambat

GDS pukul 09.00 375 mg/dl ( 16 IU)


GDS pukul 15.00 327 mg/dl (12 IU)
GDS pukul 21.00 360mg/dl (16 IU)
GDS pukul 03.00 50 mg/dl (0 IU)

11

TANGGAL
01/12/2013 -

S
Lemas (+)
Demam (-)
Sakit kepala (+) Sesak (-)
Mual (-)
Muntah (-)

O
A
GCS : E4V5M6
- DM tipe 2
Tampak sakit sedang - KHONK
Tanda vital :
TD
:
110/70

mmHg
N : 80 x/mnt
RR : 16 x/mnt
S : 36,8 C
- Kepala dan leher :
CA / SI : -/- Thorax :
Paru :
I : simetris, kulit

P
- Planning terapi
Infuse NS 20

tpm
Inj.
Ceftriakson 2

x 2 gr
Inj. Ranitidin

3x1
Regulasi
lambat actrafit

ikterik
P : simetris
P : sonor +/+
A : vesikuler +/+,
wheezing

rhonki -/Jantung :
I
: IC

-/-,

tidak

terlihat
P : IC teraba dan

kuat angkat
P : batas jantung

normal
A : S1>S2 regular,

murmur (-)
- Abdomen :
I : perut datar
A : bising usus (+)

normal
P : nyeri tekan (-),
hepar

dan

lien
12

tidak teraba
P : timpani
- Ekstremitas :
Edema (-)

Regulasi lambat actrafit (cek / 6 jam)

GDS < 200


GDS 200-250
GDS 250 300
GDS 300 350
GDS > 350

: 0 IU
: 4 IU
: 8 IU
: 12 IU
: 16 IU

regulasi lambat
GDS pukul 09.00 251 mg/dl ( 8 IU)
GDS pukul 15.00 380 mg/dl (16 IU)
GDS pukul 21.00 281mg/dl (8 IU)
TANGGAL
02/12/2013 -

S
Lemas (-)
Demam (-)
Sakit kepala (+) Sesak (-)
Mual (-)
Muntah (-)

O
A
GCS : E4V5M6
- DM tipe 2
Tampak sakit sedang - KHONK
Tanda vital :
TD
:
120/70

mmHg
N : 88 x/mnt
RR : 16 x/mnt
S : 37 C
GDS :220 mg/dl
- Kepala dan leher :
CA / SI : -/- Thorax :
Paru :
I : simetris, kulit

P
- BPL
- Planning terapi
Lantus insulin

(0-0-10)
Ranitidine 150

mg 2 x 1
Cefadroxile
500 mg 2 x 1

ikterik
P : simetris
P : sonor +/+
A : vesikuler +/+,
wheezing

-/-,

rhonki -/13

Jantung :
I
: IC

tidak

terlihat
P : IC teraba dan

kuat angkat
P : batas jantung

normal
A : S1>S2 regular,

murmur (-)
- Abdomen :
I : perut datar
A : bising usus (+)

normal
P : nyeri tekan (-),
hepar

dan

lien

tidak teraba
P : timpani
- Ekstremitas :
Edema (-)

2.2 Pembahasan
2.2.1 Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang akan diderita seumur hidup.
Dalam perjalanan penyakitnya, dapat terjadi penyulit akut yang merupakan kegawatan
dan penyulit menahun yang dapat menimbulkan kecacatan. Dalam pengelolaan
penyakit tersebut selain dokter, perawat, ahli gizi serta tenaga kesehatan lain, peran
pasien dan keluarga menjadi sangat penting. Edukasi kepada pasien dan keluarganya
guna memahami lebih jauh tentang perjalanan penyakit DM, pencegahan penyulit
DM, dan penatalaksanaannya akan sangat membantu keikutsertaan mereka dalam
usaha memperbaiki hasil pengelolaan (Aru, Sudoyo: 2006).
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini
dapat mengenai seluruh organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan.
Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan ,sehingga pasien tidak menyadari
14

akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil
lebih sering ataupun berat badan yang menurun.

Gejala-gejala tersebut dapat

berlangsung lama sampai orang tersebut pergi ke dokter. Terkadang pula gambaran
klinisnya tidak jelas, asimtomatik dan diabetes baru ditemukan pada saat pemeriksaan
penyaring atau pemeriksaan untuk penyakit lain (Arif, Mansjoer: 2001).
2.2.1.1 Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, DM merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
2.2.1.2 Klasifikasi
1. DM Tipe I
Destruksi sel beta pankreas dan umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut
(Autoimun / Idiopatik)
2. DM Tipe 2
Diabetes melitus tipe 2 disebut juga diabetes melitus tidak tergantung
insulin (NIDDM), disebabkan oleh penurunan sensitifitas jaringan target terhadap
efek metabolik insulin. Penurunan sensitifitas terhadap insulin ini seringkali
disebut sebagai resistensi insulin (Guyton & Hall, 2007). Pada tahap awal, kondisi
tidak normal yang paling utama adalah berkurangnya sensitifitas terhadap insulin
dalam darah. Pada tahap ini hiperglikemia dapat diatasi dengan berbagai cara dan
obat anti diabetes yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap insulin atau
mengurangi produksi glukosa dari hepar. Seiring bertambah parahnya penyakit
tersebut, sekresi insulin pun semakin berkurang dan kadang dibutuhkan terapi
insulin (Sutanto, 2010).
3. DM tipe lain
4. DM Gestasional

Nama lama

DM tipe 1
DM Juvenil

DM tipe 2
DM dewasa

Umur (th)

Biasa<40 (tapi tak selalu)

Biasa>40 (tapi tak selalu)

Keadaan klinik saat diagnosis

Berat

Ringan
15

Kadar insulin

Tak ada insulin

Insulin cukup / tinggi

Berat badan

Biasanya kurus

Biasanya gemuk / normal

Terapi

Insulin, diet, olah raga.

Diet, olah raga, tablet, insulin

Pada kasus ini, pasien termasuk ke dalam Diabetes Mellitus tipe 2

2.2.1.3 Faktor Resiko


A. Faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi

Riwayat keluarga dengan DM


Umur
Riwayat pernah menderita DM gestasional
Riwayat lahir dengan BB tinggi

B. Faktor risiko yang bisa dimodifikasi

Berat badan lebih


Kurang aktifitas fisik
Hipertensi
Dislipidemia

Pada kasus ini, pasien memiliki faktor risiko umur tua, kurang aktifitas
fisik dan menderita dislipidemia
2.2.1.4 Diagnosis
Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan-keluhan sebagai
berikut (Arif, Mansjoer: 2001):
1. Keluhan Klasik
Gejala berupa 3P (poliuria, polidipsia, polifagia) disertai penurunan berat
badan yang tidak diketahui penyebabnya
2. Keluhan Lain
Badan lemas, kesemutan, gatal (pruritus), pandangan kabur, disfungsi ereksi
pada pria, pruritus vulva pada wanita, luka sulit sembuh.
Jika keluhan ditemukan pada penderita, langkah selanjutnya adalah dengan
pemeriksaan kadar gula darah (vena / perifer) yang terdiri dari:
1. Glukosa Darah Sewaktu (GDS)
16

2. Glukosa Darah Puasa (GDP)


3. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO), dengan pemberian 75 gr glukosa setelah
puasa (minimal 8 jam) dan diperiksa kadar gula darah 2 jam kemudian.
Diagnosis DM tergantung dari hasil yang diperoleh, yaitu :

GDPT
Bia setelah pemeriksaan didapatkan kadar GDP 100-125 mg/dL

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)


Bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan kadar glukosa darah 140-199
mg/dL

Diabetes Melitus
Gejala klasik DM + GDS > 200 mg/dL, dan atau
Gejala klasik DM + GDP > 126 mg/dL, dan atau
Gejala klasik DM + TTGO > 200 mg/dL

Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu:


Keluhan klinis DM

Keluhan khas (+)


GDS atau GDP >126

<126

Keluhan khas (-)


GDS atau GDP >126

110-125
110-199

<110

Ulang GDS atau GDP

GDS atau GDP

>126

TTGO
GD 2 pp

<126

140-199

Diabetes Melitus

TGT

<140

GDPT

Normal

17

Pada kasus ini, pasien didiagnosis DM :


Anamnesa hanya ditemukan keluhan tidak khas berupa badan lemas.
Pemeriksaan Gula Darah Sewaktu : 527 mg/dl dan GDP 427 mg/dl
2.2.1.5 Patofisiologi
Ketika glukosa masuk ke dalam jaringan, keseimbangan antara produksi glukosa
endogen dan ambilan glukosa oleh jaringan pun menjadi tidak seimbang.
Peningkatan glukosa plasma merangsang pelepasan insulin oleh sel-sel beta,
menyebabkan

hiperinsulinemia.

Kedua

keadaan

ini,

hiperglisemia

dan

hiperinsulinemia akan merangsang ambilan glukosa oleh jaringan splanknik (saluran


cerna dan hati) dan jaringan perifer terutama otot lurik serta meneken produksi
glukosa endogen. Sebagian besar glukosa (80-85%) yang terambil oleh jaringan
perifer akan terkonsentrasi pada otot lurik. Toleransi glukosa akan tetap terjaga
normal selama masih dapat dikompensasi oleh peningkatan sekresi insulin. Jadi, sel
beta pankreas yang masih berfungsi normal mampu menduga keparahan resistensi
insulin serta mengatur sekresi insulin untuk mempertahankan kenormalan toleransi
glukosa. Kelainan yang tergambar pada diabetes melitus tipe 2 berupa resistensi
insulin dan penurunan fungsi sekretorik sel-sel beta. Ketidakpekaan insulin dalam
merespon peningkatan gula darah menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh
hati serta penurunan ambilan glukosa oleh jaringan. Peningkatan kadar glukosa
plasma dalam keadaan puasa merupakan cerminan dari pengurangan ambilan
glukosa oleh jaringan atau peningkatan glukoneogenesis. Jika kadar glukosa darah
meningkat sedemikian tinggi, ginjal tidak mampu lagi menyerap balik glukosa yang
tersaring sehingga glukosa akan keluar ke dalam urin (glukosuria). Ketidakpekaan
insulin di sel-sel hati dan jaringan perifer, terutama otot rangka, mengakibatkan
produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terbendung, sementara ambilan dan
penggunaan glukosa berkurang. Mekanisme tersebut terjadi terkait dengan defek
pengikatan reseptor insulin atau penurunan kemampuan insulin post reseptor.
Ketidakpekaan insulin semakin diperberat oleh peningkatan kadar asam lemak bebas
dalam darah dan berdampak lebih buruk pada kinerja sel-sel beta dalam
menyekresikan insulin/ lipotoksisitas (Arisman, 2010).
2.2.1.6 Penatalaksanaan
18

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup


penyandang DM. Tujuan penatalaksanaan terdiri dari (Arif, Mansjoer: 2001):
1. Jangka Pendek
Hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman, dan
tercapainya target pengendalian glukosa darah
2. Jangka Panjang
Tercegah

&

terhambatnya

progresivitas

penyulit

mikroangiopati,

makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya


morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian kadar
glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid melalui pengelolaan
pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan
perilaku. Pilar penatalaksanaan DM terdiri dari (1) edukasi; (2) terapi gizi medis;
(3) latihan jasmani; (4) intervensi farmakologis. Penatalaksanaan DM dimulai
dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4
minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan Anti Diabetik Oral (ADO) dan atau suntikan
insulin (Aru, Sudoyo: 2006).
Pengelolaan DM dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani
selama beberapa waktu ( 2 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum
mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan Anti Diabetik Oral
(ADO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, ADO dapat segera
diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam
keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala
hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan
pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah
mendapat pelatihan khusus. (Aru, Sudoyo: 2006)
A. Edukasi
19

Menurut Mansjoer Arif edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi


pemahaman tentang :

Perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan.
Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik

oral atau insulin serta obat-obatan lain.


Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah
atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak

tersedia).
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau

hipoglikemia.
Pentingnya latihan jasmani yang teratur.
Pentingnya perawatan diri.
Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

B. Terapi gizi medis (TGM)


Setiap diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya
guna mencapai target terapi. Prinsip pengaturan makan pada diabetes hampir
sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang
seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing
individu. Pada diabetis perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam
hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang
menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin (Suryono, Slamet:
1996).

Perencanaan Makanan

20

Dengan komposisi seimbang antara KH, protein, dan lemak.


Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress
akut dan kesegaran jasmani untuk mencapai berat badan ideal.
Jumlah kalori dihitung seimbang berdasarkan BB idaman x kebutuhan
basal + kebutuhan kalori untuk aktivitas.
Dengan catatan :

Status Gizi = BB aktual x 100% / TB (cm) 100


BB idaman = (TB 100) 90%
Kebutuhan basal 30 kkal/kgBB untuk laki-laki dan 25 kkal/kgBB

untuk wanita
Kebutuhan kalori sesuai aktivitas / kalori yang dikeluarkan dalam

kegiatannya : ringan 30 %, sedang 20 % dan berat 10 %


Jumlah kandungan kolesterol 300 mg/hari, jumlah kandungan serat +/25 g/hari diutamakan serat yang larut. Konsumsi garam dibatasi bila
hipertensi serta pemanis dapat digunakan secukupnya.

C. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama 30 menit) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan
DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan
memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa
latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan
berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status
kesegaran jasmani.
Dianjurkan latihan jasmani 3-4 kali tiap minggu selama 30menit (kurang
lebihnya) yang bersifat CRIPE (Suryono, Slamet: 1996).

Continous :
Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus
tanpa henti. Contoh jogging 30 menit tanpa istirahat.

Rytmical :
Latihan olahraga harus dipilih yang berirama yaitu otot-otot
berkontraksi dan berelaksasi secara teratur.
21

Interval :
Latihan olahraga selang-seling antara gerak cepat dan lambat.
Contoh : jalan cepat diselangi jalan lambat

Progressive :
Latihan secara bertahan sesuai dengan kemampuan dari intensitas
ringan hingga mencapai 30-60 menit. Sasaran Heart rate 75-85% dari
Maksimum Heart Rate dimana Maksimum heart rate = 220-umur (dalam
tahun).

Endurance :
Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi seperti jalan santai/cepat sesuai umur, jogging, berenang
dan bersepeda.

1. Intervensi Farmakologis
a. Anti Diabetik Oral (ADO)

Insulin sekretagog :
a) Sulfonilurea (Glibenklamid, Glimepirid, Glikuidon)
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin
oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat
badan normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan
berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada
berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi
serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang (PERKENI, 2011).
Berdasarkan lama kerjanya sulfonilurea (SU) dibagi menjadi generasi
pertama dan generasi kedua. Sulfonilurea generasi pertama adalah acetohexmide,
tolbutamid, tolazamid dan klorpropamid. Sulfonilurea generasi kedua adalah
glibenklamid, glimepirid, glipizid, gliburid dan glikazid. Glibenklamid, ada dua
dosis, 2,5 mg dan 5 mg. Dosis sehari antara 2,5 sampai 15 mg, obat ini memiliki
efek hipoglikemik yang cukup kuat. Lama kerjanya termasuk intermediate antara
22

5-8 jam yang diberikan 1-2 kali sehari, pagi dan siang hari. Tolbutamid, biasanya
tersedia dalam dosis 500 mg satu tablet, obat ini bekerja jangka pendek (short
acting) sekitar 4 jam yang diberikan 1-3 kali sehari, di pagi, siang dan sore hari.
Dosis sehari Tolbutamid antara 500-2000 mg. Gliklazid, dosis yang tersedia
adalah 80 mg. Lama kerja obat ini intermediate. Karena itu obat ini memiliki efek
hipoglikemik sedang sehingga jarang menimbulkan hipoglikemia, dosis sehari
antara 80 sampai 320 mg. Klorpropamid, dosis pemeliharaan rerata klorpropamid
200 mg/hari, yang diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari, tolazamid
sebanding dengan klorpropamid, tetapi lama kerjanya lebih pendek, jika
dibutuhkan dosis 500 mg/hari, dosis tersebut harus dibagi dan diberikan dua kali
sehari. Sulfoniluria golongan kedua seperti glimepirid telah disetujui untuk
digunakan sekali sehari sebagai monoterapi, dengan dosis sebesar 1 mg/hari
dengan dosis maksimal 8 mg. Gliburid, dosis awal yang biasa diberikan 2,5
mg/hari atau lebih kecil dan dosis pemeliharaan rerata 5-10 mg/ hari, yang
diberikan sebagai dosis tunggal pada pagi hari. Glipizid, dosis awal yang
dianjurkan adalah 5 mg/hari yang dapat dinaikkan sampai 15 mg/hari yang
diberikan sebagai dosis tunggal (Katzung, 2011).
b) Glinid (Repaglinid)
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea,
dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini
terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan
Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial

(PERKENI, 2011). Repaglinid, obat ini

diberikan dengan dosis 0,25-4 mg sesaat sebelum makan dengan dosis maksimum
16 mg/hari (Katzung, 2011).

Penambah sensitivitas terhadap insulin :


a) Tiazolidinedion (Rosiglitazon)
Tiazolidinedion berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.
Golongan

ini

mempunyai

efek

menurunkan

resistensi

insulin

dengan
23

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan


ambilan glukosa di perifer. Tiazolidinedion dikontraindikasikan pada pasien
dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan
dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
Tiazolidinedion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala (PERKENI,
2011). Terdapat dua tiazolidinedion kini tersedia yaitu pioglitazon dan
rosiglitazon. Pioglitazion dapat diberikan sekali sehari dengan dosis awal 15-30
mg. Rosiglitazon diberikan sehari atau dua kali sehari dengan dosis 4-8 mg
(Katzung, 2011).

Penghambat glukoneogenesis :
a) Biguanid (Metformin)
Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa
hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.
Terutama dipakai pada penyandang diabetes yang obesitas. Metformin
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Selain itu
harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara titrasi pada awal
penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut (PERKEN, 2011). Dosis metformin yang diberikan setelah makan sekali
sehari berkisar dari 500 mg sampai maksimum sebesar 2,25 g/hari (Katzung,
2011).

Penghambat absorbsi glukosa intestinal / penghambat -glukosidase : Acarbose


Penghambat glukosidase alfa seperti akarbose dan miglitol, diberikan sekali sehari
dengan dosis 25-100 mg sesaat sebelum menelan suapan pertama makanan (Katzung,
2011). Obat ini bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus, sehingga
mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak
menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering
ditemukan ialah kembung dan flatulens (PERKENI, 2011).

b) Insulin

24

Pada beberapa kondisi saat kebutuhan insulin sangat meningkat akibat adanya,
Penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia berat yang disertai ketosis,
ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan
asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal, stres berat (infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/diabetes melitus
gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal
atau hati yang berat, kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO(PERKENI, 2011).

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin) : Humalog, Apidra, Novorapid

Insulin kerja pendek (short acting insulin) : Actrapid, Humulin R

Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) : Insulatard, Humulin N

Insulin kerja panjang (long acting insulin) : Lantus, Levemir

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin) :


Humalog Mix 25, Novomix, Mixtard, Humulin 30/70

Pada kasus ini, pasien tidak mengalami gejala yang berarti dan tidak pernah cek kadar
gula darah dalam tubuhnya sehingga pasien tidak menjalani penatalaksanaan dengan
tepat sehingga timbul komplikasi akut berupa stress hiperglikemik.
2.2.1.6 Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori mayor
yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi vaskular kronik / jangka panjang
(Price & Lorraine, 2007).
A) Komplikasi Metabolik Akut
1.
KAD ( Ketoasidosis Diabetikum )
KAD adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh
trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin relatif atau absolut (Soewondo, 2009). Apabila kadar
insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan
glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis dan
peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda
keton (asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton). Peningkatan keton
dalam plasma menyebabkan ketosis. Peningkatan produksi keton
meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria
25

dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik


dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat
menjadi hipotensi dan syok, akhirnya, akibat penurunan penggunaan
oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal (Price &
2.

Lorraine, 2007).
HHNK (Koma Hiperosmolar Hiperglikemia Non Ketotik )
Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa
disertai ketosis. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolaritas, diuresis
osmotik dan dehidrasi berat. HHNK biasanya terjadi pada orang tua
dengan DM yang memiki penyakit penyerta yang menyebabkan
berkurangnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi dalam
enam kategori yaitu infeksi, pengobatan, non compliance, diabetes
melitus tidak terdiagnosis, penyalahgunaan obat dan penyakit penyerta

3.

(Soewondo, 2009).
Hipoglikemia
Hipoglikemia dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti terlalu
banyak atau salah penggunaan insulin, terlalu banyak atau salah waktu
olahraga atau tidak cukup asupan makanan

khususnya glukosa

karbohidrat (Sutanto, 2010). Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan


pelepasan epinefrin yang mengakibatkan berkeringat, gemetar, sakit
kepala dan palpitasi, juga akibat kekurangan glukosa dalam otak yang
mengakibatkan tingkah laku yang aneh, sensorium tumpul dan koma
(Price & Lorraine, 2007).
B. Komplikasi Kronis
Komplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melitus
melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh1.

pembuluh sedang dan besar (makroangiopati) (Price & Lorraine, 2007).


Mikroangiopati
Merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan
arteriola retina (retinopati diabetikum), glomerulus ginjal (nefropati
diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetikum), otot-otot serta
kulit. Terdapat kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan insidens
dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa
mikroaneurisma atau pelebaran sakular yang kecil dari arteriola retina.
26

Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina


dapat mengakibatkan kebutaan. Neuropati disebabkan oleh gangguan
jalur poliol akibat defisiensi insulin. Terdapat penimbunan sorbitol
sehingga
2.

mengakibatkan

pembentukan

katarak

dan

dapat

mengakibatkan kebutaan (Price & Lorraine, 2007).


Makroangiopati
Gangguan vaskular ini dapat disebabkan karena penimbunan
sorbitol dalam intima vaskular, hiperlipoproteinemia, kelainan
pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan
mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri
perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang
disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta
insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena arteri koronaria dan
aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokard (Price &
Lorraine, 2007)

2.2.1.7 Pencegahan
Menurut WHO tahun 1994 upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap
yaitu :
1. Pencegahan primer : Semua aktifitas yang ditunjukkan untuk mencegah
timbulnya hiperglikemia pada individu yang berisiko untuk menjadi diabetes atau
pada populasi umum.
2. Pencegahan sekunder : Kegiatan menemukan DM sedini mungkin, misalnya
dengan tes penyaringan terutama pada populasi risiko tinggi. Dengan demikian
pasien diabetes yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring hingga
demikian dapat dilakukan upaya-upaya untuk mencegah komplikasi, kalaupun
sudah ada komplikasi masih reversibel.
3. Pencegahan tersier : Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan
akibat komplikasi itu.

Usaha ini meliputi mencegah timbulnya komplikasi,

mencegah progresi daripada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan


organ, dan mencegah kecacatan tubuh.
2.2.2 Koma Hiperosmolar Hiperglikemia Non Ketotik
27

Bentuk koma yang ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat
tanpa ketoasidosis. Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi
pada Diabetes Mellitus (DM), baik tipe 1 maupun tipe 2. Keadaan tersebut merupakan
komplikasi serius yang mungkin terjadi sekalipun pada DM yang terkontrol baik. Krisis
hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), statushiperosmolar
hiperglikemik (SHH) atau hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HONK). KAD adalah
keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan, sedangkan SHH atau HONK ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan
kadar glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni, didefinisikan sebagai
hiperglikemia extrim, osmolalitas serum yang tinggi dan dehidrasi berat tanpa ketosis dan
asidosis yang signifikan.
2.2.2.1 Epidemiologi
Untuk kasus SHH atau HHNK lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan. HHNK lebih sering ditemukan pada orang yang lanjut usia dengan
rata-rata onset pada usia ketujuh, mortalitas berkisar antara 10-20 % .
Pada kasus ini, pasien berjenis kelamin laki-laki dan lanjut usia.

2.2.2.2 Patofisiologi
Pada semua krisis hiperglikemik, hal yang mendasarinya adalah defisiensi insulin,
relatif ataupun absolut, pada keadaan resistensi insulin yang meningkat.Kadar insulin
tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan untuk
mensupres ketogenesis. Hiperglikemia sendiri selanjutnya dapat melemahkan
kapasitas sekresi insulin dan menambah berat resistensi insulin sehingga membentuk
lingkaran setan dimana hiperglikemia bertambah berat dan produksi insulin makin
kurang.
Pada KAD dan HONK, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi
juga peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan
28

hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi


glukosa oleh ginjal dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan,yang
mengakibatkan hyperglikemia dan perubahan osmolaritas extracellular.Kombinasi
kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormone kontrainsulin pada KAD juga
mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis)
ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (hydroxybutyrate [-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan
ketonemia dan asidosis metabolik. Pada sisi lain, HONK mungkin disebabkan oleh
konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak cukup untuk membantu ambilan
glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin, tetapi masih cukup adekuat
( dibuktikan dengan C-peptide) untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis;
akan tetapi bukti-bukti untuk teori ini masih lemah . KAD dan HONK berkaitan
dengan glikosuria, yang menyebabkan diuresis osmotik, sehingga air, natrium, kalium,
dan elektrolit lain keluar.

29

stres

Diuresis o

Sel pankreas terhambat


Peningkatan hormon glukagon

Penurunan cairan &


Peningkatan pembentukan glukosa
Sekresi insulin tidak adekuat
Penurunan pe

Penurunan pemakaian glukosa perifer


Peningkatan sek

Hiperglikemia

Hiperosm

Hiperosmolar hiperglikemik

2.2.2.3 Faktor Pencetus


Krisis hiperglikemia pada diabetes tipe 2 biasanya terjadi karena ada keadaan
yang
mencetuskannya. Faktor pencetus krisis hiperglikemia ini antara lain :
1.Infeksi :
meliputi 20 55% dari kasus krisis hiperglikemia dicetuskan oleh infeksi.

Infeksinya dapat berupa :


Pneumonia
30

Infeksi traktus urinarius


Abses
Sepsis, dan lain-lain.

2.Penyakit vaskular akut:

Penyakit serebrovaskuler
Infark miokard akut
Emboli paru
Thrombosis V.Mesenterika

3.Trauma, luka bakar, hematom subdural.


4.Heat stroke
5.Kelainan gastrointestinal:

Pankreatitis akut
Kholesistitis akut
Obstruksi intestinal

6.Obat-obatan : Diuretika, Steroid


Pada diabetes tipe 1, krisis hiperglikemia sering terjadi karena yang bersangkutan
menghentikan suntikan insulin ataupun pengobatannya tidak adekuat. Keadaan ini
terjadi pada 20-40% kasus KAD. Pada pasien muda dengan DM tipe 1,
permasalahan psikologis yang diperumit dengan gangguan makan berperan sebesar
20% dari seluruh faktor yang mencetuskan ketoasidosis. Faktor yang bisa
mendorong penghentian suntikan insulin pada pasien muda meliputi ketakutan akan
naiknya berat badan pada keadaan control metabolisme yang baik, ketakutan akan
jatuh dalam hipoglikemia, pemberontakan terhadap otoritas, dan stres akibat
penyakit kronis.
Pada kasus ini, pasien sebelumnya mengalami demam kemungkinan adanya
infeksi dan dilihat dari adanya leukositosis.

2.2.2.4 Gejala Klinis


Keadaan dekompensasi metabolik akut biasanya didahului oleh gejala diabetes
yang tidak terkontrol. Gejala-gejalanya antara lain lemah badan, pandangan kabur,
poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan.
31

KAD berkembang dengan cepat dalam waktu beberapa jam, sedangkan HONK
cenderung berkembang dalam beberapa hari yang mengakibatkan hiperosmolalitas.
Gejala tipikal untuk dehidrasi adalah membran mukosa yang kering, turgor kulit
menurun, hipotensi dan takikardia.Pada pasien tua mungkin sulit untuk menilai turgor
kulit. Demikian juga pasien dengan neuropati yang lama mungkin menunjukkan
respons yang berbeda terhadap keadaan dehidrasi. Status mental dapat bervariasi dari
sadar penuh , letargi, sampai koma. Pada pasien-pasien HONK tertentu, gejala
neurologi fokal atau kejang mungkin merupakan gejala klinik yang dominan.
Walaupun infeksi adalah faktor presipitasi yang sering untuk KAD dan HONK, pasien
dapat normotermik atau bahkan hipotermik terutama oleh karena vasodilatasi perifer.
Hipotermia, jika ada, adalah suatu petanda buruknya prognosis.
Pada kasus ini, pasien sebelumnya mengeluhkan rasa lemah badan dan ada
penurunan kesadaran.
2.2.2.5 Pemeriksaan Laboratorium
Evaluasi laboratorium awal pasien dengan kecurigaan KAD atau HONK meliputi
penentuan kadar glukosa plasma, urea nitrogen/kreatinin serum, keton, elektrolit
(dengan anion gap), osmolaritas, analisa urine, benda keton urin dengan dipstik,
analisa gas darah pemeriksaan sel darah lengkap dengan hitung jenis, dan
elektrokardiogram.
Kultur bakteri dari air seni, darah, dan tenggorokan dan lain-lain harus dilakukan
dan antibiotik yang sesuai harus diberikan jika dicurigai ada infeksi. A1c mungkin
bermanfaat untuk menentukan apakah episode akut ini adalah akumulasi dari suatu
proses evolusiner yang tidak didiagnosis atau DM yang tidak terkontrol ,atau suatu
episode akut pada pasien yang terkendali dengan baik. Konsentrasi natrium serum
pada umumnya berkurang oleh karena perubahan osmotik yang terjadi terus menerus
dari intrasellular ke ekstraselular dalam keadaan hiperglikemia. Konsentrasi kalium
serum mungkin meningkat oleh karena pergeseran kalium extracellular yang
disebabkan oleh kekurangan hormon insulin, hipertonisitas, dan asidemia. Pasien
dengan konsentrasi kalium serum rendah atau low normal pada saat masuk, mungkin
32

akan kekurangan kalium yang berat pada saat perawatan sehingga perlu diberi kalium
dan perlu monitoring jantung yang ketat, sebab terapi krisis hiperglikemia akan
menurunkan kalium lebih lanjut dan dapat menimbulkan disritmia jantung.
Adanya stupor atau koma pada pasien DM tanpa peningkatan osmolalitas efektif (
> 320 mOsm/kg) perlu pertimbangan kemungkinan lain penyebab perubahan status
mental.Osmolalitas serum dihitung dengan rumus sebagai berikut : 2(Na)(mEq/L) +
glukosa (mg/dL) / 18 + BUN (mg/dL) / 2,8. Nilai normalnya adalah 290 5 mOsm/kg
air.Hiperglikemia pada HONK biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glukosa
darah > 600 mg/dL dan osmolalitas efektif ( > 320 mOsm/kg) biasanya dipakai
sebagai kriteria diagnostik. Pada umumnya keton serum negatif dengan pemeriksaan
metoda nitroprusid pada dilusi 1:2, bikarbonat serum > 20 mEq/L, dan pH arterial >
7,3.
Pada kasus ini, pasien ditemukan kadar glukosa: 527 mg/dl, , penurunan kadar
natrium, peningkatan kadar kalium, ureum dan kreatinin.

2.2.2.6 Terapi
Keberhasilan pengobatan KAD dan HONK membutuhkan koreksi dehidrasi,
hiperglikemia dan gangguan keseimbangan elektrolit; identifikasi komorbid yang
merupakan faktor presipitasi; dan yang sangat penting adalah perlu dilakukan
monitoring pasien yang ketat. Faktor presipitasi diobati, serta langkah-langkah
pencegahan rekurensi perlu dilaksanakan dengan baik.
Terapi cairan:
Pasien Orang dewasa
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravaskular dan
extravaskular dan mempertahankan perfusi ginjal. Terapi cairan juga akan menurunkan
kadar glukosa darah tanpa bergantung pada insulin, dan menurunkan kadar hormon
kontra insulin (dengan demikian memperbaiki sensitivitas terhadap insulin). Pada
keadaan tanpa kelainan jantung, NaCl 0.9% diberikan sebanyak 1520 ml/kg berat
badan/jam atau lebih besar pada jam pertama ( 11.5 liter untuk rata-rata orang
dewasa).Pilihan yang berikut untuk mengganti cairan tergantung pada status hidrasi,
33

kadar elektrolit darah, dan banyaknya urin. Secara umum, NaCl 0.45% diberikan
sebanyak 414 ml/kg/jam.jika sodium serum meningkat atau normal; NaCl 0.9%
diberikan dengan jumlah yang sama jika Na serum rendah. Selama fungsi ginjal
diyakini baik, maka perlu ditambahkan 2030 mEq/l kalium ( 2/3 KCl dan 1/3 KPO4)
sampai pasien stabil dan dapat diberikan secara oral.Keberhasilan penggantian cairan
dapat dilihat dengan pemantauan hemodinamik (perbaikan dalam tekanan darah),
pengukuran input/output cairan, dan pemeriksaan fisik. Penggantian cairan diharapkan
dapat mengkoreksi defisit dalam 24 jam pertama. Perbaikan osmolaritas serum
mestinya tidak melebihi 3 mOsm kg-1 H2O. Pada pasien dengan gangguan ginjal atau
jantung, pemantauan osmolaritas serum dan penilaian jantung, ginjal, dan status
mental harus sering dilakukan selama pemberian cairan untuk menghindari overload
yang iatrogenik.
Pasien berusia < 20 tahun
Terapi cairan pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki volume intravaskular dan
extravaskular ,dan mempertahankan perfusi ginjal. Kebutuhan untuk mempertahankan
volume vaskuler harus disesuaikan untuk menghindari risiko edema cerebral karena
pemberian cairan yang terlalu cepat. Dalam 1 jam pertama cairan yang bersifat
isotonik (NaCl 0.9%) sebanyak 1020 ml/kgbb/jam. Pada pasien dengan dehidrasi
berat, pemberian ini perlu diulang, tetapi awal pemberian kembali mestinya tidak
melebihi 50 ml/kg pada 4 jam pertama terapi. Terapi Cairan selanjutnya untuk
menggantikan defisit cairan dilakukan dalam 48 jam. Secara umum NaCl, 0.450.9% (
tergantung pada kadar sodium serum) diberikan dengan kecepatan 1.5 kali dari
kebutuhan pemeliharaan selama 24-h ( 5 ml/kg/jam) akan mencukupi kebutuhan
rehidrasi, dengan penurunan osmolaritas tidak melebihi 3 mOsm kg-1 H2O. Sekali
lagi jika fungsi ginjal diyakini baik dan kalium serum diketahui, maka perlu diberikan
2040 mEq/l kalium ( 2/3 KCl atau potassium-acetate dan 1/3 KPO4). Jika glukosa
serum mencapai 250 mg/dl, cairan harus diubah menjadi dextrose 5% dan NaCl 0.45
0.75%, dengan kalium seperti diuraikan diatas.
Pada kasus ini, pasien diberikan infus NS 20 tpm.
Terapi Insulin
34

Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya pemberian cairan yang
adekuat terlebih dahulu. Jika insulin diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan
akan berpindah ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi, kolaps
vaskular, atau kematian. Dilakukan regulasi cepat insulin yang merupakan salah satu
indikasinya antara lain adalah KHONK dengan keuntungannya menurunkan kadar
glukosa darah secara cepat
2.2.2.7 Komplikasi
Komplikasi pada krisis hiperglikemik dapat terjadi akibat KAD/HONK dan
komplikasi akibat pengobatan,Penyulit KAD dan HONK yang paling sering adalah
hipoglikemia dalam kaitan dengan pemberian insulin yang berlebihan, hipokalemia
dalam kaitan dengan pemberian insulin dan terapi asidosis dengan bikarbonat, dan
hiperglikemia sekunder akibat penghentian insulin intravena setelah perbaikan tanpa
pemenuhan yang cukup dengan insulin subkutan. Biasanya, pasien yang sembuh dari
KAD menjadi hiperkhloremi disebabkan oleh penggunaan larutan saline berlebihan
untuk penggantian cairan dan elektrolit dan asidosis metabolik non-anion gap yang
sementara dimana khlorida dari cairan intravena menggantikan anion yang hilang
dalam bentuk sodium dan garam-kalium selama diuresis osmotik. Kelainan biokimia
ini adalah sementara dan secara klinik tidak penting kecuali jika terjadi gagal ginjal
akut atau oliguria yang ekstrim.
Kasus yang fatal dari edema cerebral ini telah pula dilaporkan pada HONK. Secara
klinis, edema cerebral ditandai oleh perubahan tingkat kesadaran, dengan letargi, dan
sakit kepala. Gangguan neurologi mungkin terjadi secara cepat, dengan kejang,
inkontinensia, perubahan pupil, bradikardia, dan gagal nafas. Gejala ini makin
menghebat jika terjadi herniasi batang otak. Perburukan ini terjadi sangat cepat
walaupun papil edema tidak ditemukan Bila terjadi gejala klinis selain dari kelesuan
dan perubahan tingkah laku , angka kematian tinggi (> 70%), dengan hanya 714%
pasien yang sembuh tanpa kelainan yang permanen. Walaupun mekanisme dari edema
cerebral tidak diketahui diduga diakibatkan oleh perubahan osmolaritas dari air pada
sistem saraf pusat dimana terjadi penurunan osmolaritas dengan cepat pada terapi
KAD atau HONK. Pencegahan yang mungkin dapat mengurangi resiko edema
cerebral pada pasien dengan resiko tinggi adalah dengan penggantian defisit air dan
35

natrium berangsurangsur dengan perlahan pada pasien yang hyperosmolar (maksimal


pengurangan osmolaritas 3 mOsm kg-1 H2O h-1) dan penambahan dextrose dalam
larutan hidrasi saat glukosa darah mencapai 250 mg/dl. Pada HONK, kadar glukosa
darah harus dipertahankan antara 250-300 mg/dl sampai keadaan hiperosmoler dan
status mental perbaikan, dan pasien menjadi stabil.
2.2.2.8 Pencegahan
Banyak kasus KAD dan HONK dapat dicegah dengan perawatan medic yang baik,
edukasi yang sesuai, dan komunikasi efektif dari tenaga kesehatan selama belum
timbulnya penyakit.Sick-day management harus mendapat perhatian. Hal ini meliputi
informasi spesifik pada:

kapan menghubungi sarana pelayanan kesehatan


target glukosa darah dan penggunaan short-acting insulin selama penyakit,
mengobati demam dan infeksi, dan
inisiasi dari suatu diet cairan yang mudah dicerna yang mengandung
karbohidrat dan garam.

Sick-Day Management yang berhasil tergantung pada keterlibatan pasien dan anggota
keluarganya. Pasien atau anggota keluarganya harus mampu dengan teliti mengukur
dan mencatat kadar glukosa darah, benda keton pada urin atau darah ketika glukosa
darah > 300 mg/dl, dosis insulin, suhu badan, frekuensi pernafasan dan denyut nadi
permenit, dan berat badan. Pengawasan yang cukup dan sangat membantu dari staff
atau keluarga dapat mencegah terjadinya HONK dalam kaitan dengan keadaan
dehidrasi pada individu tua yang tidak mampu untuk mengenali atau menghindari
kondisi ini. Edukasi yang baik harus diberikan sehingga pasien mengenai tanda dan
gejala newonset diabetes; kondisi-kondisi, prosedur, dan obat-obatan yang
memperburuk kendali kencing manis; dan monitoring glukosa dapat mengurangi
kejadian dan beratnya HONK.

36

DAFTAR PUSTAKA
1.

Sylvia A. Price, Loraine M. Wilson. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,


edisi IV, buku II, alih bahasa dr. Peter Anugrah, Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta,
1995

2. Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran, edisi III, buku I, Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 2001
3. Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi IV, Jilid III, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta : 2006
4. Arifin, Augusta, dkk. Krisis Hiperglikemia pada Diabetes Melitus, Bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran RS Hasan Sadikin, Bandung.

37

Anda mungkin juga menyukai