Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit infeksi jamur, masih memiliki prevalensi yang cukup tinggi di Indonesia,
mengingat negara kita beriklim tropis yang mempunyai kelembapan tinggi. Jamur bisa hidup dan
tumbuh di mana saja, baik di udara, tanah, air, pakaian, bahkan di tubuh manusia. Jamur bisa
menyebabkan penyakit yang cukup parah bagi manusia. Penyakit tersebut antara lain mikosis
yang meyerang langsung pada kulit, mikotoksitosis akibat mengonsumsi toksin jamur yang ada
dalam produk makanan, dan misetismus yang disebabkan oleh konsumsi jamur beracun1.
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang
berlangsung seumur hidup. Lesi akut dapat terbatas pada daerah genitor-krural saja, atau meluas
ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain.
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi
lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang
primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun dapat berupa bercak hitam
disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan.2
Kebanyakan Tinea cruris penyebarannya pada musim panas dan banyak berkeringat.
Paling banyak di daerah tropis. Penyebab terseringnya Epidermophyton Floccosum, namun
dapat pula oleh T. Rubrum dan T. Mentagrophytes, yang ditularkan secara langsung atau tak
langsung. Laki-laki sering dijumpai daripada perempuan dengan perbandingan 3:1. 3 Pada orang
dewasa lebih sering dijumpai daripada anak-anak. Pada daerah yang kebersihannya kurang
diperhatikan juga beresiko serta lingkungan yang kotor dan lembap.4
Penulisan makalah laporan kasus dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
dokter muda mengenai penegakan anamnesa Tinea Cruris dalam anamnesa, pemeriksaan fisik,
penunjang, penatalaksanaan, serta penanganan prognosis yang tepat.

BAB II
PRESENTASI KASUS
I

II

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Ny. S

Jenis Kelamin

: Perempuan

Usia

: 54 tahun

Pendidikan

: SLTA

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Suku bangsa

: Sasak

Agama

: Islam

Status

: Menikah

Alamat

: Mataram

ANAMNESIS (Autoanamnesis tanggal 27 agustus 2015)


Keluhan Utama:
Bruntus-bruntus merah yang terasa gatal pada lipatan paha kanan dan kiri sejak 1 bulan
yang lalu.
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke poliklinik kulit kelamin RSU Kota Mataram dengan keluhan timbul
bruntus merah disertai rasa gatal pada lipatan paha kanan dan kiri sejak 1 bulan yang
lalu.

Pasien

mengeluh timbul gatal terutama saat berkeringat sehingga os sering

menggaruknya. Awalnya bruntus merah tersebut timbul bulat sebesar koin kemudian
menjadi bertambah disekitarnya. Pasien sebelumnya pernah berobat ke dokter dan diberi
obat salep dan obat minum, namun pasien tidak ingat apa nama obatnya. Setelah
2

memakai obat tersebut, keluhan tidak berkurang. Pasien mengaku mandi dan mengganti
celana dalam dua kali sehari, dan tidak pernah bergantian pakaian dengan orang lain.
Keluhan bruntus - bruntus kemerahan di daerah lipatan tubuh lain disangkal, keluhan
bruntus-bruntus merah disertai sisik yang tebal disangkal, keluhan bruntus-bruntus
kemerahan disertai panas badan disangkal. Keluhan gatal yang sangat hebat sampai panas
seperti terbakar disangkal. Riwayat penggunaan jamu-jamuan untuk pegal linu dalam
jangka waktu yang lama disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat pernah menderita penyakit kulit yang sama diakui 1 tahun yang lalu.
Riwayat pernah menderita Diabetes Melitus disangkal.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama seperti pasien.
III

PEMERIKSAAN FISIK
1

Status Dermatologikus
Distribusi

: Regional

At Regio

: Lipat paha kanan dan kiri

Sifat lesi

: Multipel , ukuran numular, sirkumkripta, diskret, permukaan


kasar, kering, menimbul, tepi aktif, cental healing.

Efloresensi

Makula

eritem,

skuama

halus,

papul

eritema,

makula

hiperpigmentasi.
IV

Resume
Seorang perempuan 54 tahun datang ke poli kulit RSU Kota Mataram dengan keluhan
utama bruntus merah disertai dengan rasa gatal pada lipatan paha kiri dan kanan. Keluhan
tersebut muncul

sekitar 1 bulan yang lalu. Keluhan gatal dirasakan terutama saat

berkeringat, sehingga pasien selalu menggaruknya. Awalnya bruntus merah tersebut


timbul bulat sebesar biji koin kemudian menjadi bertambah disekitarnya. Keluhan
3

pengobatan diakui, tetapi keluhan tidak berkurang. Pasien mengaku mandi dan mengganti
celana dalam dua kali sehari, dan tidak pernah bergantian pakaian dengan orang lain.
Riwayat keluhan sebelumnya diakui. riwayat mempunyai penyakit diabetes mellitus
disangkal.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologikus, pada regio inguinalis sinistra
dan regio inguinalis dekstra didapatkan makula eritema, sirkumkripta, tepi lebih aktif
berupa papul eritem multiple, nummular, diskret dan adanya central healing. Permukaan
kasar dan kering ditutupi skuama halus.

Diagnosis Banding
Tinea cruris
Eritrasma
. Kandidiasis

VI

Diagnosis Kerja
Tinea cruris

VII

Pemeriksaan Anjuran
Kultur dan tes resistensi anti jamur

VIII

Penatalaksanaan
Umum:
1

Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit ini adalah penyakit yang disebabkan
oleh jamur.

Memberi tahu pasien untuk menggunakan obat secara teratur dan tidak menghentikan
pengobatan tanpa seizin dokter.

Menjaga kebersihan tubuh.

Menganjurkan pasien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat.

Khusus:
Sistemik :
1

Antimikotik oral : Ketokonazol 2 x 200 mg/hari selama 2 minggu.

Topikal :
1

Asam salisil 3%
Mikokonazol 10 g
Gentamisin 5 g
m.fla cr da in pot no 1
ue (2x)

IX

Prognosis
Quo ad vitam

: ad bonam

Quo ad functionam

: ad bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad bonam

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi
Menurut Budimulja (1999), Siregar R.S. (2004), Graham-Brown (2008), Murtiastutik
(2009), dan Berman (2011) Tinea kruris adalah penyakit dermatofitosis (penyakit pada
jaringan yang mengandung zat tanduk) yang disebabkan infeksi golongan jamur dermatofita
pada daerah kruris (sela paha, perineum, perianal, gluteus, pubis) dan dapat meluas ke daerah
sekitarnya. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke
daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain.
Tinea cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin,
dhobie itch
Berikut ini adalah gambar predileksi terjadinya Tinea kruris :

Predileksi Tinea Kruris


3.2 ETIOLOGI

Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan Epidermophython
fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%), Trichopyhton tonsurans (6%) (Boel,
Trelia.Drg. M.Kes.2003)

3.3 EPIDEMIOLOGI
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka
kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak
ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang
yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab

3.4 Patogenesis
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan
langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia,
binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi
jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan
pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan
tinea manum.6
Penularan langsung yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang luka,
jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya artrospora atau
konidia. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada stratum korneum,
lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi pada tempat yang
terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari tempat infeksi sehingga patogen
akan mencari tempat yang baru di bagian tubuh. Perpindahan organisme inilah yang
menyebabkan gambaran klinis yang khas berupa central healing. 7
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena stratum
korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan untuk pertumbuhan
miselia jamur. Infeksi dermatofita dapat terjadi melalui tiga tahap : adhesi pada keratinosit,
penetrasi dan perkembangan respon host.7
1

Adhesi pada keratinosit

Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia sebagai elemen yang
infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme ini harus dapat bertahan dari efek sinar
ultraviolet, variasi suhu dan kelembapan, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang
dihasilkan oleh keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat
fungistatik.
2

Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi pada stratum
korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim musinolitik yang
juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini. Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi
dan merupakan faktor yang penting juga pada patogensis tinea. Mannan yang terdapat pada
dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit. Pertahanan yang baru
timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam, termasuk kompetisi besi oleh transferin yang
belum tersaturasi dan dapat menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh
progesteron.

Perkembangan respon host


Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun penderita dan
organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel yang mengalami inflamasi
dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. Beberapa jamur menghasilkan kemotatik faktor
seperti yang dihasilkan juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui
jalur alternatif, yang kemudia menghasilkan faktor kemotatik berasal dari komplemen
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi dermatofita,
seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi dermatofita yang luas juga
menunjukkan titer antibodi yang meningkat namun tidak berperan untuk mengeliminasi
jamur ini. Akan tetapi, reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan
dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon Y yang diatur oleh sel
Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan paparan dermatofita sebelumnya, infeksi
primer akan menghasilkan inflamasi yang ringan. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan
skuama ringan, sebagai hasil dari perceptan tumbuhnya keratinosit.
Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon imun berupa reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1) atau tipe lambat (tipe IV) terjadi pada individu yang
berbeda. Antigen dari dermatofita menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi
9

hipersensitivitas tipe cepat, terutama pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam


prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast
kemudian menyebabkan cross linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya
degranulasi sel mast dan melepaskan histamin serta mediator proinflamasi lainnya.

3.5 Gejala Klinis


Gejala yang ditemukan pada pasien dengan tinea cruris adalah adanya rasa gatal dan
kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke
gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Riwayat pasien
sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang
beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktif
berolahraga, menderita diabetes mellitus.6
Pada pasien ini, didapatkan bahwa terdapat rasa gatal dan kemerahan di lipatan paha
sampai ke pantat, pasien tinggal di daerah yang beriklim agak lembap, higienitas tidak baik
dan pasien menyangkal adanya riwayat diabetes mellitus.
Adanya rasa gatal yang dialami oleh pasien disebabkan oleh antigen dari dermatofita
menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Dalam
prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan sel mast
kemudian menyebabkan cross linking dari IgE. Hal ini dapat menyebabkan terpicunya
degranulasi sel mast dan melepaskan histamin serta mediator proinflamasi lainnya.
Iklim yang lembap dan penggunaan pakaian dalam yang ketat dapat memicu
pertumbuhan jamur apabila higienitas daerah tubuh tersebut tidak terjaga dengan baik. Pada
penyakit diabetes mellitus, sistem imun menurun sehingga mudah terserang infeksi, termasuk
infeksi jamur. 7
3.6 Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis tinea cruris pada pasien ini, ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.6
1

Anamnesis

10

Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat
meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis
dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat.
Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada
pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan
orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang
pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena
dermatophytosis.6
2

Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder.
Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula.
Jika kronis atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi
dengan skuama diatasnya dan disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan
gambaran likenifikasi.6
Manifestasi tinea cruris :6
1

Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat


paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis.

Daerah bersisik

Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif. Sedangkan


pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
disertai likenifikasi

Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus


yang tersebar dan sedikit skuama

Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena

Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi mungkin


muncul karena garukan

Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga


tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula
folikuler

Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis


11

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk
mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya
dibersihkan dengan alkohol 70%.6
a

Pemeriksaan dengan sediaan basah


Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan
memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek glass tetesi KOH 10-15 % 1-2
tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan lihat di mikroskop dengan
pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh
sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang
lama atau sudah diobati, dan miselium

Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar


Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud
dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel)
untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi
jamur biasanya antara 3-6 minggu

Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitifitasnya dan
spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc AcidSchiff, jamur akan tampak
merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak
coklat atau hitam

3.7 DIAGNOSIS BANDING


Candidosis intertriginosa
Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida biasanya
oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut dan dapat mengenai mulut, vagina,
12

kulit, kuku, bronki.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur,
baik laki-laki maupun perempuan.
Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik endogen maupun
eksogen. Faktor endogen misalkan kehamilan karena perubahan pH dalam vagina,
kegemukan karena banyak keringat, debilitas, iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis
orang tua dan bayi, imunologik (penyakit genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas
dan kelembapan, kebersihan kulit kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air yang lama
menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur, kontak dengan penderita.
Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama ketiak, bagian bawah payudara,
bagian pusat, lipat bokong, selangkangan, dan sela antar jari; dapat juga mengenai daerah
belakang telinga, lipatan kulit perut, dan glans penis (balanopostitis). Pada sela jari
tangan biasanya antara jari ketiga dan keempat, pada sela jari kaki antara jari keempat
dan kelima, keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas seperti terbakar.
Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa bercak yang berbatas tegas,
bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian meluas, berupa lenting-lenting yang dapat
berisi nanah berdinding tipis, ukuran 2-4 mm, bercak kemerahan, batas tegas, Pada
bagian tepi kadang-kadang tampak papul dan skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh
lenting-lenting atau papul di sekitarnya berisi nanah yang bila pecah meninggalkan
daerah yang luka, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit
sela jari tampak merah atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang kronik, kulit
sela jari menebal dan berwarna putih.
Erytrasma
Erytrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan
oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai lesi berupa eritema dan skuama halus
terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier
sampai plakat. Lesi eritroskuamosa, berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan.
Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita. Tempat
predileksi kadang di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk. Perluasan
13

lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginose. Lesi tidak menimbul dan
tidak terlihat vesikulasi. Efloresensi yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh
lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan
pada perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi terlihat
berfluoresensi merah membara (coral red) (Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005)

Psoriasis
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik dan residif,
ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar,
berlapis-lapis dan transparan, disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner. Tempat
predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas ekstensor
terutama siku serta lutut dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema
yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi
pada stadium penyembuhan sering bagian di tengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan.
Besar kelainan bervariasi dapat lentikular, numular atau plakat, dapat berkonfluensi.
Dermatitis Seboroik
Dermatitis Seboroik merupakan penyakit inflamasi konis yang mengenai daerah
kepala dan badan. Prevalensi Dermatitis Seboroik sebanyak 1-5% populasi.Lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit ni dapat mengenai bayi sampa orang
dewasa. Umumnya pda bayi terjadi pada usia 3 bulan sedang pada dewasa pada usia 3060 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan dengan batas kurang tegas. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya
bercak-bercak berskuama dan berminyak disertai eksudat dan krusta tebal.
3.8 Penatalaksanaan

14

Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur topikal
saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa formulasi.
Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan jarang ditemukan efek
samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan
sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi
menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal,
intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih
dahulu interaksi obat-obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap fungsi hepar
apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.
Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam emapat golongan
yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti
siklopiros,tolnaftan, haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14
alpha demetylase (sebuah enzim yang berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana
truktur tersebut merupakankomponen penting dalam dinding sel jamur. Goongan Alynamin
menghambat keja dari squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke
ergosterol yang berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan
kematian sel. Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan
membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya
diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan
golongan azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan
sistemik:
Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah:
1.Golongan Azol
a.Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec)
Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena
bersifat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi
dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan
dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis.
15

Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream
1%, solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidakada kontraindikasi obat
ini, namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas, peradangan
infeksi yang luas dan hinari kontak mata.
b.Mikonazole (icatin, Monistat-derm)
Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat
biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%, solution, lotio, bedak.
Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa.
Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan
mata.
c.Econazole (Spectazole)
Mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu
menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas
dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat
dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali atau 4 kali dalam
sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas,
hindari kontak dengan mata.
d.Ketokonazole (Nizoral)
Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersifat broad spektrum
akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4
minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak
dengan mata.
e.Oxiconazole (Oxistat)

16

Mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat broad spektrum akan menghambat sintesis
ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam bentk
cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama
dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas
dan hanya digunakan untuk pemakaian luar.

f.Sulkonazole (Exeldetm)
Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu
menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga
menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1% dan solutio.
Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa (dioleskan
pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari).
2.Golongan alinamin
a.Naftifine (Naftin)
Bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang
mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan
pertumbuhan sel amur terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu
jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan lotion. . Penggunaan
pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-4minggu).
b. Terbinafin (Lamisil)
Merupakan derifat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang
merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan
ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan
17

keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat ditoleransi penggunaanya pada anakanak. Digunakan selama 1-4 minggu
3.Golongan Benzilamin
a. Butenafine (mentax)
Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur
menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%,
diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan
sebanyak 4kali sehari.
4.Golongan lainnya
a. Siklopiroks (Loprox)
Memiliki sifat broad spektrum anti fungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA
b.Haloprogin (halotex)
Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1% cream. Digunakan selama 2-4minggu dan
dioleskan sebanyak 3kali sehari.
c.Tolnaftate
Tersedia

dalam

cream

1%,bedak,solution.

Dioleskan

2kali

sehari

selama

2-4

minggu(Wiederkehr, Michael. 2008).


Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal
dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan
tinea cruris:
a. Ketokonazole

18

Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yangberspektrum luas.
Kerja obat ini fungistatik. Pemberian 200mg/hari selama 2-4 minggu.
b. Itrakonazole
Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum
luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450
dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel
jamur.Pada penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseofulvin
dengan hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200mg po selam 1
minggu dan dosis dapat dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh melebihi
400mg/hari.Untuk anak-anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan
pada penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan cisapride
karena berhubunngan dengan aritmia jantung.
c.Griseofulfin
Termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat
mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole.
Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 24minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari
c.Terbinafine
Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian
secara oral disesuaikan dengan berat badan:
12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu
20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu
>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu
Edukasi kepada pasien di rumah :
19

1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering


2 .Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
3.

Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan
mengganti pakaian yang lembab

4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun,
tidak ketat dan ganti setiap hari.
5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita
harus segera dicuci dan direndam air panas.
3.9 Komplikasi
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada infeksi jamur
yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit
3.10 Prognosis
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan
kebersihan kulit selalu dijaga

20

BAB IV
PENUTUP
Pada kasus di atas kami mendiagnosa tinea cruris.Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada
sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan
dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada
daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut
bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton
rubrumCara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak langsung. Penularan langsung
dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau
tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian
debu. Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder. Makula
eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis
atau menahun maka efloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama
diatasnya dan disertai likenifikasi. Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta
pemeriksaan penunjang. Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti
jamur topikal saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa
formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100% dan jarang
ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi
21

dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah
lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal,
intoleransi dengan terapi topikal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah B, Tinea Kruris dalam: Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah

Sakit. Hal 74 76
Budimulja U, Kuswadji, Basuki S, dkk. Tinea Korporis dan Kruris dalam: Diagnosis dan
penatalaksanaan Dermatomikosis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Hal 47-52.
Mansjoer, A.dkk. Tinea Kruris dalam: Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Medis

4
5

Aesculapius. 2005. Hal 99-100.


Harahap, M. 2008. Tinea Kruris dalam: Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates. Hal 78.
Siregar, R.S. Tinea kruris dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit edisi 2 Jakarta:

EGC: 2004. Hal 29-30.


Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, dkk. Obat Anti Jamur dalam: Dermatomikosis

Superfisialis. Jakarta. Hal: 108-116.


Wolff, K. dkk. Tinea Cruris: Fitzpatrickss DERMATOLOGI IN GENERAL MEDICINE.

Seventh edition. United state of America: 2008. Page 1845-1857.


Tinea kruris diunduh dalam www.fkumyecase.com

22

23

Anda mungkin juga menyukai