Anda di halaman 1dari 14

BAB I PENDAHULUAN PENATALAKSANAAN ASITES PADA SIROSIS HEPATIS Sirosis hati (live

r cirrhosis) merupakan perjalanan patologi akhir berbagai macam penyakit hati. I


stilah sirosis diperkenalkan pertama kali oleh Laennec pada tahun 1826. Diambil
bahasa Yunani scirrhus atau kirrhos yang artinya warna oranye dan dipakai untuk
menunjukkan warna oranye atau kuning kecoklatan permukaan hati yang tampak saat
otopsi. Banyak bentuk kerusakan hati yang ditandai dengan fibrosis. WHO memberi
batasan histologi sirosis sebagai proses kelainan hati yang bersifat difus, dita
ndai fibrosis dan perubahan bentuk hati normal ke bentuk nodul-nodul yang abnorm
al. Batasan fibrosis sendiri adalah penumpukan berlebihan matriks ekstraseluler
(seperti kolagen, glikoprotein, proteoglikan) dalam hati. Respon fibrosis terhad
ap kerusakan hati bersifat reversibel. Namun pada sebagian besar pasien sirosis,
proses fibrosis biasanya tidak reversible. Keseluruhan insiden sirosis di Ameri
ka diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat peny
akit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutk
an perlemakan hati akan mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH, preval
ensi 4%) dan berakhir dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3%. Di Indonesia d
ata prevalensi sirosis hati belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat
pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hati berki
sar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 t
ahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati seb
anyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam. Lebih dari 4
0% pasien sirosis asimptomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemerik
saan rutin kesehatan atau pada waktu autopsi. Pasien sirosis juga dapat mengalam
i keluhan dan gejala akibat komplikasi dari sirosis hatinya. Pada beberapa pasie
n, komplikasi ini dapat menjadi gejala pertama yang membawa pasien pergi ke dokt
er. Pasien sirosis dapat berjalan kompensata selama bertahun-tahun, sebelum beru
bah menjadi dekompensata. Sirosis dekompensata dapat dikenal dari timbulnya berm
acam komplikasi, salah satunya asites.

Dengan makin beratnya sirosis dan semakin banyak garam dan air yang diretensi, a
ir akhirnya akan mengumpul dalam rongga abdomen antara dinding perut dan organ d
alam perut. Penimbunan cairan ini disebut asites yang berakibat pembesaran perut
, keluhan rasa tak enak dalam perut dan peningkatan berat badan. Bila asites sed
emikian besar dapat menimbulkan keluhan nyeri akibat distensi abdomen, dan keluh
an bernafas karena keterbatasan gerakan diafragma, semua hal ini menyebabkan ket
idaknyamanan bagi pasien sirosis hepatis. Dengan penatalaksanaan asites yang tep
at, yaitu dengan bed rest total, membatasi asupan garam dan air, pemberian obatobatan diuretik yang tepat dan terapi parasintesis, dapat mengurangi aistes dan
memberikan rasa nyaman pada pasien sirosis hepatis. Oleh karena itu referat ini
dibuat untuk memberikan informasi mengenai bagaimana penatalaksanaan asites pada
pasien sirosis hepatis.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Definisi Sirosis Hepatis Sirosis adalah suatu keadaan pa
tologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progr
esif yang ditandai dnegan distorsi dari arsitektur hepar dan pembentukan nodulus
regeneratif. Gambaran ini terjadi akibat nekrosis hepatoselular. Jaringan penun
jang retikulin kolaps disertai deposit jaringan ikat, distorsi jaringan vaskular
, dan regenerasi nodularis parenkim hati. Patofisiologi Fibrosis Terjadinya fibr
osis hati menggambarkan kondisi ketidakseimbangan antara produksi matriks ekstra
seluler dan proses degradasinya. Matriks ekstraseluler, yang merupakan tempat pe
rancah (scaffolding) normal untuk hepatosit, terdiri dari jaringan kolagen (teru
tama tipe I, III, dan V), glikoprotein, dan proteoglikan. Sel-sel stelata berada
dalam ruangan perisinusoidal, merupakan sel penting untuk memproduksi matriks e
kstraseluler. Sel-sel stelata, dulu bernama sel Ito, juga liposit, atau sel-sel
perisinusoidal, dapat mulai diaktivasi menjadi sel pembentuk kolagen oleh berbag
ai faktor parakrin. Beberapa faktor dapat dilepas atau diproduksi oleh sel-sel h
epatosit, sel-sel Kupfer, dan endotel sinusoid pada saat terjadi kerusakan hati
. sebagai contoh,
Tatalaksana Asites dan Edema Untuk mengurangi edema dan asites, pasien dianjurka
n membatasi asupan garam dan air. Jumlah diit garam yang dianjurkan biasanya sek
itar dua gram per hari, dan cairan sekitar satu liter sehari. Kombinasi diuretik
spironolakton dan furosemide dapat menurunkan dan menghilangkan edema dan asite
s pada sebagian besar pasien. Bila pemakaian diuretik tidak berhasil (asites ref
rakter), dapat dilakukan parasentesis abdomen untuk mengambil cairan asites seca
ra langsung dari rongga perut. Bila asites sedemikian besar sehingga menimbulkan
keluhan nyeri akibat distensi abdomen, dan atau kesulitan bernafas karena keter
batasan gerakan diafragma, parasentesis dapat dilakukan dalam jumlah lebih dari
5 liter (large volume

paracentesis = LVP). Pengobatan lain untuk asites refrakter adalah TIPS (Transju
gular Intravenous Portosystemic Shunting) atau transplantasi hati.
ASITES Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum. Asi
tes dapat disebabkan oleh banyak penyakit. Pada dasarnya penimbunan cairan di ro
ngga peritoneum dapat terjadi melalui 2 mekanisme dasar yakni transudasi dan eks
udasi. Asites yang ada hubungannya dengan sirosis hati dan hipertensi porta adal
ah salah satu contoh penimbunan cairan di rongga peritoneum yang terjadi melalui
mekanisme transudasi. Asites jenis ini paling sering dijumpai di Indonesia. Asi
tes merupakan tanda prognosis yang kurang baik pada beberapa penyakit. Asites ju
ga menyebabkan pengelolaan penyakit dasarnya menjadi semakin kompleks. Infeksi p
ada cairan asites akan memperberat perjalanan penyakit dasarnya oleh karena itu
asites harus dikelola dengan baik. Pada bagian ini terutama akan dibahas lebih d
alam asites akibat sirosis hati dan hipertensi porta.
PATOFISIOLOGI Ada beberapa teori yang menerangkan patofisiologi asites transudas
i. Teori-teori itu misalnya underfilling, overfilling, dan periferal vasodilatio
n. Menurut teori underfilling, asites dimulai dari volume cairan plasma yang men
urun akibat hipertensi porta dan hipoalbuminemia. Hipertensi porta akan meningka
tkan tekanan hidrostatik venosa ditambah hipoalbuminemia akan menyebabkan transu
dasi, sehingga volume cairan intravaskular menurun. Akibat volume cairan intrava
skular menurun, ginjal akan bereaksi dengan melakukan reabsorpsi air dan garam m
elalui mekanisme neurohormonal. Sindrom hepatorenal terjadi bila volume cairan i
ntravaskular sangat menurun. Teori ini tidak sesuai dengan hasil penelitian sela
njutnya yang menunjukkan bahwa pada pasien sirosis hati terjadi vasodilatasi per
ifer, vasodilatasi splanchnic bed, peningkatan volume cairan intravaskular dan c
urah jantung.

Teori overfilling mengatakan bahwa asites dimulai dari ekspansi cairan plasma ak
ibat reabsorbsi air oleh ginjal. Gangguan fungsi itu terjadi akibat peningkatan
aktifitas hormon anti-diuretik (ADH) dan penurunan aktifitas hormon natriuretik
karena penurunan fungsi hati. Teori overfilling tidak dapat menerangkan kelanjut
an asites menjadi sindrom hepatorenal. Teori ini juga gagal menerangkan gangguan
neurohormonal yang terjadi pada sirosis hati dan asites. Evolusi dari kedua teo
ri itu adalah teori vasodilatasi perifer. Menurut teori ini, faktor patogenesis
pembentukan asites yang amat penting adalah hipertensi porta yang sering disebut
sebagai faktor lokal dan gangguan fungsi ginjal yang sering disebut faktor sist
emik. Akibat vasokonstriksi dan fibrotisasi sinusoid terjadi peningkatan resiste
nsi sistem porta dan terjadi hipertensi porta. Peningkatan resistensi vena porta
diimbangi dengan vasodilatasi splanchnic bed oleh vasodilatasi endogen. Peningk
atan resistensi sistem porta yang diikuti oleh peningkatan aliran darah akibat v
asodilatasi splanchnic bed menyebabkan hipertensi porta menjadi menetap. Hiperte
nsi porta akan meningkatkan tekanan transudasi terutama di sinusoid dan selanjut
nya kapiler usus. Transudat akan terkumpul di rongga peritoneum. Vasodilator end
ogen yang dicurigai berperan antara lain: glukagon, nitric oxide (NO), calcitoni
ne gene related peptide (CGRP), endotelin, faktor natriuretik atrial (ANF), poli
peptida vasoaktif intestinal (VIP), substansi P, prostaglandin, enkefalin, dan t
umor necrosis factor (TNF). Vasodilator endogen pada saatnya akan memengaruhi si
rkulasi arterial sistemik; terdapat peningkatan vasodilatasi perifer sehingga te
rjadi proses underfilling relatif. Tubuh akan bereaksi dengan meningkatkan aktif
itas sistem saraf simpatik, sistem renin-angitensinaldosteron dan arginin vasopr
esin. Akibat selanjutnya adalah peningkatan reabsorpsi air dan garam oleh ginjal
dan peningkatan indeks jantung.
DIAGNOSIS

Asites lanjt amat mudah dikenali. Pada inspeksi akan tampak perut membuncit sepe
rti perut katak, umbilikus seolah bergerak ke arah kaudal mendekati simpisis os
pubis. Sering dijumpai hernia umbilikalis akibat tekanan intraabdomen yang menin
gkat. Pada perkusi, pekak samping meningkat dan terjadi shiffting dullness. Asit
es yang masih sedikit belum menunjukkan tanda-tanda fisis yang nyata. Diperlukan
cara pemeriksaan khusus misalnya dengan pudle sign untuk menemukan asites. Peme
riksaan penunjang yang dapat memberikan informasi untuk mendeteksi asites adalah
unltrasonografi. Untuk menegakkan diagnosis asites, ultrasonografi mempunyai ke
telitian yang tinggi. Parasentesis diagnostik sebaiknya dilakukan pada setiap pa
sien asites baru. Pemeriksaan cairan asites dapat memberikan informasi yang sang
at penting untuk pengelolaan selanjutnya, misalnya: 1. Gambaran makroskopik. Cai
ran asites hemoragik sering dihubungkan dengan keganasan. Warna kemerahan dapat
juga dijumpai pada asites karena sirosis hati akibat ruptur kapiler peritoneum.
Chillous ascites merupakan tanda ruptur pembuluh limfe, sehingga cairan limfe tu
mpah ke peritoneum. 2. Gradien nilai albumin serum dan asites (serum ascites alb
umine gradient). Pemeriksaan ini sangat penting untuk membedakan asites yang ada
hubungannya dengan hipertensi porta atau asites eksudat
PENGOBATAN Pengobatan asites transudat sebaiknya dilakukan secara komprehensif,
meliputi: 1. Tirah baring. Tirah baring dapat memperbaiki efektifitas diuretika,
pada pasien asites transudat yang berhubungan dnegan hipertensi porta, perbaika
n efek diuretika tersebut berhubungan dengan perbaikan aliran darah ginjal dan f
iltrasi glomerulus akibat tirah baring. Tirah baring akan menyebabkan aktifitas
simpatis dan sistem reninangiotensin-aldosteron menurun. Yang dimaksud tirah bar
ing disini bukan istirahat

total di tempat tidur sepanjang hari, tetapi tidur terlentang, kaki sedikit dian
gkat, selama beberapa jam setelah minum obat diuretika.
2. Diet. Diet rendah garam ringan sampai sedang dapat membantu diuresis. Konsums
i garam (NaCl) perhari sebaiknya dibatasi hingga 40-60meq/hari. Hiponatremia rin
gan sampai sedang bukan merupakan kontraindikasi untuk memberikan diet rendah ga
ram, mengingat hiponatremia pada pasien asites transudat bersifat relatif. Jumla
h total Na dalam tubuh sebenarnya di atas normal. Biasanya diet rendah garam yan
g mengandung NaCl kurang dari 40 mEq/ hari tidak diperlukan. Konsentrasi NaCl ya
ng sangat rendah justru dapat mengganggu fungsi ginjal.
3. Diuretika. Diuretika yang dianjurkan adalah diuretika yang bekerja sebagai
antialdosteron, misalnya spironolakton. Diuretika ini merupakan diuretika hemat
kalium, bekerja di tubulus distal dan menahan reabsorpsi Na. Sebenarnya potensi
natriuretik diuretika distal lebih rendah dari pada diuretika loop bila etiologi
peningkatan air dan garam tidak berhubungan dengan hiperaldosteronisme. Efektif
itas obat ini lebih bergantung pada konsentrasinya di plasma, semakin tinggi sem
akin efektif. Dosis yang dianjurkan antara 100-600 mg/hari. Jarang diperlukan do
sis yang lebih tinggi lagi. Diuretika loop dibutuhkan sebagai kombinasi. Diureti
ka ini sebenarnya lebih berpotensi daripada diuretika distal. Pada sirosis hati,
karena mekanisme utama reabsorpsi air dan natrium adalah hiperaldosteronisme, d
iuretika loop menjadi kurang efektif. Target yang sebaiknya dicapai dengan terap
i tirah baring, diet rendah garam dan terapi diuretika adalah peningkatan diures
is sehingga berat badan turun 400-800 gram/hari. Pasien yang disertai edema peri
fer penurunan berat badan dapat sampai 1500 gram/hari. Sebagian besar pasien ber
hasil baik dengan terapi kombinasi tirah baring, diet rendah garam dan diuretika
kombinasi. Setelah cairan asites dapat dimobilisasi, dosis diuretika dapat dise
suaikan. Biasanya diet rendah garam dan spironolakton masih tetap diperlukan unt
uk mempertahankan diuresis dan natriuresis sehingga asites tidak terbentuk lagi.

Komplikasi diuretika pada pasien sirosis hati harus diwaspadai. Komplikasi itu m
isalnya: gagal ginjal fungsional, gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asa
mbasa, dan ensefalopati hepatikum. Spironolakton dapat menyebabkan libido menuru
n, ginekomastia pada laki-laki, dan gangguan menstruasi pada perempuan. Hemat ka
lium Diuretik yang mempertahankan kalium menyebabkan diuresis tanpa kehilangan k
alium dalam urine. Yang termasuk dalam klompok ini antara lain aldosteron, traim
teren dan amilorid. Antagonis Aldosteron Aldosteron adalah mineralokortikoid end
ogen yang paling kuat. Peranan utama aldosteron ialah memperbesar reabsorbsi nat
rium dan klorida di tubuli serta memperbesar ekskresi kalium. Yang merupakan ant
agonis aldosteron adalah spironolakton dan bersaing dengan reseptor tubularnya y
ang terletak di nefron sehingga mengakibatkan retensi kalium dan peningkatan eks
kresi air serta natrium. Obat ini juga meningkatkan kerja tiazid dan diuretik lo
op. Diuretik yang mempertahankan kalium lainnya termasuk amilorida, yang bekerja
pada duktus pengumpul untuk menurunkan reabsorpsi natrium dan ekskresi kalium d
engan memblok saluran natrium, tempat aldosteron bekerja. Diuretik ini digunakan
bersamaan dengan diuretik yang menyebabkan kehilangan kalium serta untuk pengob
atan edema pada sirosis hepatis. Efek diuretiknya tidak sekuat golongan diuretik
kuat. Mekanisme kerja Penghambatan kompetitif terhadap aldosteron. Bekerja di t
ubulus renalis rektus untuk menghambat reabsorpsi Na+, sekresi K+ dan sekresi H+
Farmakokinetik 70% spironolakton oral diserap di saluran cerna, mengalami sirku
lasi enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. Metabolit utamanya kankrenon.
Kankrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi kakreonat yang tidak aktif.
Efek samping Efek toksik yang paling utama dari spironolakton adalah hiperkalem
ia yang sering terjadi bila obat ini diberikan bersama-sama dengan asupan kalium
yang berlebihan. Tetapi efek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang bias
a diberikan bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal y
ang berat. Efek

samping yang lebih ringan dan reversibel diantranya ginekomastia, dan gejala sal
uran cerna. Indikasi Antagonis aldosteron digunakan secara luas untuk pengobatan
hipertensi dan udem yang refrakter. Biasanya obat ini dipakai bersama diuretik
lain dengan maksud mengurangi ekskresi kalium, disamping memperbesar diuresis. S
ediaan dan dosis Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg. D
osis dewasa berkisar antara 25-200mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100m
g dalam dosis tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara
spironolakton 25 mg dan hidraoklortiazid 25mg, serta antara spironolakton 25 mg
dan tiabutazid 2,5 mg. Loop Diuretik Termasuk dalam kelompok ini adalah asam et
akrinat, furosemid dan bumetanid. Asam etakrinat termasuk diuretik yang dapat di
berikan secara oral maupun parenteral dengan hasil yang memuaskan. Furosemid ata
u asam 4-kloro-Nfurfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong derivat sulfonam
id. Diuretik loop bekerja dengan mencegah reabsorpsi natrium, klorida, dan kaliu
m pada segmen tebal ujung asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa k
lorida. Obat ini termasuk asam etakrinat, furosemid da bumetanid, dan digunakan
untuk pengobatan hipertensi, edema, serta oliguria yang disebabkan oleh gagal gi
njal. Pengobatan bersamaan dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat ini.
Mekanisme kerja : Secara umum dapat dikatakan bahwa diureti kuat mempunyai mula
kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat terutama beke
rja pada Ansa Henle bagian asenden pada bagian dengan epitel tebal dengan cara m
enghambat kotranspor Na+/K+/Cl- dari membran lumen pada pars ascenden ansa henle
, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl- menurun. Farmakokinetik Ketiga obat mudah dis
erap melalui saluran cerna, dengan derajat yang agak berbeda-beda. Bioavaibilita
s furosemid 65 % sedangkan bumetanid hamper 100%. Diuretic kuat terikat pada pro
tein plasma secara ekstensif, sehingga tidak difiltrasi di glomerulus tetapi cep
at sekali disekresi melalui system transport asam organic di tubuli proksimal. K
ira-kira 2/3 dari asam etakrinat yang diberikan secara IV

diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi dengan senyawa s
ulfhidril terutama sistein dan N-asetil sistein. Sebagian lagi diekskresi melalu
i hati.sebagian besar furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian
kecil dalam bentuk glukuronid. Kira-kira 50% bumetanid diekskresi dalam bentuk
asal, selebihnya sebagai metabolit. Efek samping Efek samping asam etakrinat dan
furosemid dapat dibedakan atas : 1. Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit yang sering terjadi. 2. Efek samping yang tidak berhubunga
n dengan kerja utamanya jarang terjadi. Gangguan saluran cerna lebih sering terj
adi dengan asam etakrinat daripada furosemid. Tidak dianjurkan pada wanita hamil
kecuali bila mutlak diperlukan. Asam etakrinat dapat menyebabkan ketulian semen
tara maupun menetap. Ketulian sementara dapat terjadi pada furosemid dan lebih j
arang pada bumetanid. Ketulian ini mungkin sekali disebabkan oleh perubahan komp
osisi eletrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas merupakan suatu efek samping uni
k kelompok obat ini. Pada penggunaan kronis, diuretik kuat ini dapat menurunkan
bersihan litium. Indikasi Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam etakrin
at, karena ganguan saluran cerna yang lebih ringan. Diuretik kuat merupakan obat
efektif untuk pengobatan udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal. Sediaa
n Asam etakrinat. Tablet 25 dan 50 mg digunakan dengan dosis 50-200 mg per hari.
Sediaan IV berupa Na-etakrinat, dosisnya 50 mg, atau 0,5-1 mg/kgBB. Furosemid.
Obat ini tersedia dalam bentuk tablet 20,40,80 mg dan preparat suntikan. Umunya
pasien membutuhkan kurang dari 600 mg/hari. Dosis anak 2mg/kgBB, bila perlu dapa
t ditingkatkan menjadi 6 mg/kgBB. Bumetanid. Tablet 0.5mg dan 1 mg digunakan den
gan dosis dewasa 0.5-2mg sehari. Dosis maksimal per hari 10 mg. Obat ini tersedi
a juga dalam bentuk bubuk injeksi dengan dosis IV atau IM dosis awal antara 0,51 mg, dosis diulang 2-3 jam maksimum 10mg/kg.
4. Terapi Parasentesis.

Parasentesis sebenarnya merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno. Pa


da mulanya karena berbagai komplikasi. Beberapa tahun terakhir ini parasentesis
kembali dianjurkan karena mempunyai banyak keuntungan dibandingkan terapi konven
sional bila dikerjakan dengan baik. Untuk setiap liter cairan asites yang dikelu
arkan sebaiknya diikuti dengan substitusi albumin parenteral sebanyak 6-8 gram.
Setelah parasentesis sebaiknya terapi konvensional tetap diberikan. Parasentesis
asites sebaiknya tidak dilakukan pada pasien sirosis dengan Child-Pugh C, kecua
li asites tersebut refrakter. Pengobatan sirosis dekompensata. Asites: tirah bar
ing dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol
/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretik. Awalnya dengan
pemberian spironolaton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons diuretik
bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki
atau 1 kg/hari dengan adanya edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak
adekuat bisa dikombinasi dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian
furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respons, maksimal dosisnya 160
mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bis
a hingga 4-6 liter dan dilindungi dengan pemberian albumin. Asites. Etiologi. Ca
iran asites merupakan cairan eksudat atau cairan transudat. Asites eksudatif umu
mnya disebabkan oleh radang dan memiliki berat jenis cairan yang tinggi, dengan
kadar protein lebih atau sama dengan 3gr%. Asites transudatif, seperti yang terd
apat pada sirosis, disebabkan oleh transudasi kapiler darah atau sinusoid dan sa
luran limf hati ke dalam rongga peritoneum.
Organ hati dalam tubuh manusia banyak fungsinya. Selain menyimpan lemak dan berb
agai nutrisi yang diperlukan, hati juga menjadi penyaring zat-zat racun yang mem
bahayakan tubuh. Ketika fungsinya gagal, transplantasi hati menjadi pilihan tera
khir. Ascites untuk kasus transplantasi hati terutama terkait dengan prognosis y
ang buruk dalam jangka pendek dan menengah, yang tidak dapat dikendalikan dengan
terapi diuretik dan membutuhkan paracentesis berulang, transjugular intrahepati
k portosystemic shunt (TIPS), atau peritoneovenous shunt. Ensefalopati juga dapa
t

berkembang tanpa terdeteksi pada kebanyakan pasien sehingga tidak mendapatkan te


rapi yang semestinya.
Hambatan sistem porta- Sirosis Hati. Seringkali, jumlah jaringan fibrosa berkemb
ang sangat hebat di dalam struktur hati, menghancurkan banyak sel parenkim dan a
khirnya berkontraksi di sekitar pembuluh darah, sehingga sangat menghambat darah
porta melalui hati. Proses penyakit ini dikenal sebagai sirosis hati. Penyakit
ini lebih umum disebabkan oleh alkoholisme, tetapi penyakit ini juga dapat mengi
kuti masuknya racun seperti karbon tetraklorida, penyakit virus seperti hepatiti
s infeksiosa, dan proses infeksius di dalam duktus biliaris. Sistem porta juga k
adang-kadang terhambat oleh suatu gumpalan besar yang berkembang di dalam vena p
orta atau cabang utamanya. Bila sistem porta tiba-tiba tersumbat, kembalinya dar
ah dari usus dan limpa melalui sistem aliran darah porta hati ke sirkulasi siste
mik menjadi sangat terhambat, tekanan kapiler di dalam dinding usus meningkat 15
sampai 20 mmHg di atas normal. Penderita sering meninggal dalam beberapa jam ka
rena kehilangan cairan yang banyak dari kapiler ke dalam lumen dan dinding usus.
Aliran Limfe yang sangat tinggi dari hati. Karena pori dalam sinusoid hati sang
at permeabel dan memungkinkan segera berlalunya cairan dan protein ke ruang Diss
e, aliran limfe dari hati biasanya mempunyai konsentrasi protein sekitar 6 gr/dl
, yang hanya kurang sedikit daripada konsentrasi protein plasma. Juga, permeabil
itas ekstrem dari epitelium sinusoid hati memungkinkan terbentuknya limfe dalam
jumlah besar. Oleh karena itu, kira-kira setengah dari limfe yang dibentuk di da
lam tubuh di bawah kondisi istirahat muncul di dalam hati. Pengaruh tekanan ting
gi pembuluh hati dalam menimbulkan transudasi cairan dari sinusoid hati dan kapi
ler porta ke rongga abdomen-Asites. Bila tekanan vena hepatika yang mengalir ke
vena cava meningkat hanya 3 sampai 7 mmHg di atas normal, mulai terjadi transuda
si sejumlah besar cairan ke saluran limfe dan juga kebocoran melalui permukaan l
uar simpai hati langsung ke rongga abdomen. Cairan tersebut hampir semuanya plas
ma, berisi 80 sampai 90 persen protein plasma normal. Pada tekanan vena yang tet
ap tinggi, yaitu 10 sampai 15 mmHg, aliran limfe hati meningkat sampai 20 kali d
ari normal, dan keluarnya cairan dari permukaan hati dapat sangat besar

sehingga menyebabkan sejumlah besar cairan bebas sehingga menyebabkan sejumlah b


esar cairan bebas di dalam rongga abdomen, yang disebut sebagai asites. Hambatan
aliran porta melalui hepar juga menyebabkan tekanan kapiler yang tinggi di selu
ruh sistem pembuluh porta dari saluran pencernaan, menimbulkan edema dalam dindi
ng usus dan transudasi cairan melalui serosa usus ke dalam rongga abdomen. Hal i
ni, juga, dapat menyebabkan asites tetapi lebih jarang dibandingkan keluarnya ca
iran dari permukaan hati sebab segera terbentuk saluran pembuluh kolateral dari
vena porta ke vena sistemik, sehingga mengurangi tekanan kapiler usus kembali ke
nilai yang aman.

Anda mungkin juga menyukai