Anda di halaman 1dari 35

BAB I

TINJAUAN TEORI
1.1 Definisi
Gagal ginjal krnosi adalah proses kerusakan ginjal selama rentang
waktu lebih dari tiga bulan. Gagal ginjal kronis dapat mrnimbulkan
simtoma, yaitu laju filtrasi glomerular berada dibawah 60 ml/men/1.73m2,
atau di atas nilai tersebut yang disertai dengan kelainan sedimen urine.
Selain itu, adanya batu ginjal juga dapat menjadi indikasi gagal ginjal kronis
pada penderitaa kelainan bawaan, seperti hioerokssaluria dan sistinuria.
Menurut Brunner dan Suddarth, gagal ginjal kronis atau penyalit renal
tahap akhir merupakan gangguang fungsi renal yang progressif dan
irreversibel (tubuh gagal dalam mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit), sehingga menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Gagal ginjal kronis merupakan
perkembangan gagal ginjal progressif dan lambat (biasanya berlangsung
selama beberapa tahun).
Barbara C. Long menjelaskan bahwa kegagalan ginjal kronis terjadi
bila ginjal sudah tidak mampu memepertahannkan lingkungan internal yang
konssisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi yang tidak dimulai.
Pada banyak kasus, transisi dari kondidi sehat ke status kronis (penyalit
yang menetap) sangat lamban, bahkan membutuhkan waktu selama
beberapa tahun.
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pada
penderita penyakit ginjal kronis terjadi penurunan fungsi ginjal secara
perlahan. Dengan demikian, gagal ginjal merupakan stadium terberat dari
ginjal kronis. Oleh karena itu, penderita harus menjalani terapi pengganti
ginjal, yaitu cuci darah (hemodialisis) atau cangkok ginjal yang memerlukan
biaya mahal.
Biasanya, penderita gagal ginjal kronis akan keholangan fungsi
ginjalnya secara bertahap. Menurut Prof. Dr. Dr. Endang Susalit, Sp.PDKGH dari Divivi Ginjal Hipertensi, FKUI, penyakit ginjal disebut kronis
jika kerusakannya sudah terjasi selama lebih dari tiga bulan. Selain itu, hasil
pemeriksaan juga menunjukkan adanya kelainan struktur atau fungsi ginjal.

(Muhammad, Asadi. 2012. Serba Serbi Gagal Ginjal. Yogyakarta:


DIVA Press)
1.2 Etiologi
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama gagalginjal kronis
dimasa lalu. Saat ini etiologi dasar yang lebih sering ditemukan adalah
nefropati diabetik dan hipertensif. Hal ini bisa jadi merupakan konsekuensi
dari pencegahan dan pengobatan glomerulonefritis yang lebih efektif atau
penurunan angka kematian karena penyakit lain dikalangan subjek dengan
diabetes dan hipertensi. Hipertensi sering menyebabkan gagal ginjal kronis
pada

lansia

dimana

iskemia

renal

kronis

akibat

penyakit

vaskularrenovaskular bisa jadi merupakan kontribusi tambahan yang belum


diketahui untuk proses patofisiologi ini.
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh indonesian
renal registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi
terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%),
hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%)

Proteinuria
Proteinuria dimaksudkan dalam gagal ginjal kronis karena proteinuria

merupakan penanda kerusakan ginjal dan merupakan salah satu faktor


resiko yang mempengaruhi perkembangan penyakit ginjal kronis serta
angka kematian dan kesakitan vaskularkardiovaskular.
Dinding pembuluh filter normal mempertahankan sel-sel darah dan
protein didalam darah. Pada pasien dengan proteinuria, protein bocor di
sepanjang dinding dan masuk ke urine. Di bawahnya terdapat penghambat
yang menjaga agar protein dan sel-sel drah tidak memasuki urine. Sel-sel
ini merupakan sel-sel endothelium, membran dasar , dan sel-sel epithelial
(podosit). Sel-sel epitelium (podosit) adalah yang terpenting . Cedera
terhadap penyangga ini membuat protein dan darah bocor dan memasuki
urine.
Diperlukan adanya proteinuria pada dua dari tiga sampel urine
berurutan untuk mengetahui priteinuria persisten dengan LFG berapapun.
Metode yang lebih dianjurkan untuk skrining proteinuria adalah pengukuran

rasio protein dengan kreatinin didalam urine secara acak tunggal atau rasio
albumin dengan kreatinin. Saat ini, skrining proteinuria berbasis populasi
tidak lagi direkomendasikan . ACE inhibitor maupun angiotensin-reseptor
blocker efektif untuk menurunkan ekskresi protein. Terapi nonfarmakologi
tidak begitu efektif. Tingkat proteinuria yang memerlukan ACE inhibitor
atau angiotensin-reseptor blocker

telah ditetapkan untuk pasien dengan

hipertensi dan diabetes. Untuk pasien tanpa hipertensi atau diabetes, belum
ada bukti yang memadai untuk mengukur tingkat proteinuria yang
memerlukan terapi ACE inhibitor atau angiotensin-reseptor blocker. Namun,
sebuah percobaan skala besar menemukan manfaat pengobatan dengan ACE
inhibitor dibandingkan terapi antihipertensi biasa pada pasien yang memiliki
1 gram atau lebih proteinuria per hari (rasio protein dengan kreatinin sekitar
100mg/mmol).
(Syamsudin. 2011. Farmakoterapi Kardiovaskular dan Renal.
Jakarta: Salemba Medika)
1.3 Patofisiologi
Patofisiologi gagal ginjal kronis melibatkan mekanisme pemicu yang
bersifat khas untuk etiologi dasar serta serangkaian mekanisme progresif
yang merupakan konsekuensi lazim setelah penurunan massa renal dalam
jangka panjang, apapun etiologinya. Penurunan massa renal menyebabkan
hipertrofi nefron yang masih bertahan secara struktural dan fungsional.
Hipertrofi pengimbang ini dimediasi oleh molekul-molekul vasoaktif,
sitokin, dan faktor-faktor pertumbuhan. Hipertrofi ini awalnya terjadi karena
hiperfiltrasi adaptif, dan kemudian dimediasi oleh peningkatan tekanan dan
aliran kapiler glomerulus. Pada akhirnya, adaptasi jangka pendek ini
terbukti maladaptif karena memicu terjadinya sklerosis populasi nefron
yang masih tersisa. Jalur akhir yang biasa digunakan untuk atrisi fungsi
residual nefron bisa bertahan meskipun proses penyakit dasar sudah tidak
aktif lagi. Peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin di dalam ginjal
dapat mempengaruhi hiperfiltrasi adaptif awal dan hipertrofi maladaptif
berikutnya, serta sklerosis. Aktivasi aksis renin-angiotensin jangka panjang
ini dimediasi melalui faktor-faktor pertumbuhan hilir seperti faktor

pertumbuhan transformasi. Variasi antarindividu dalam hal risiko dan


kecepatan perkembangan CRD bisa dijelaskan melalui variasi komponen
penanda gen yang terlibat dalam fibrosis dan sklerosis tubulointerstitial dan
glomerular.
(Syamsudin. 2011. Farmakoterapi Kardiovaskular dan Renal. Jakarta:
Salemba Medika)
1.4 Prognosis
Proses Pencangkokan
Transplantasi (cangkok) ginjal adalah proses pencangkokan ginjal ke
dalam tubuh seseorang melalui tindakan pembedahan. Ginjal baru bersama
ginjal lama yang fungsinya sudah memburuk akan bekerja bersama-sama
untuk mengeluarkan sampah metabolisme dari dalam tubuh. Proses
tranplantasi ginjal ini memerlukan dua langkah, yaitu:
Pertama, pasien akan diberi imunosupresant untuk menekan sistem
imun, melemahkan sel-sel yang terauto-sensitisasi. Lalu, tepat sebelum
operasi dimulai, imunosupresant diinjeksikan intervena dengandosis
tertentu, dengan tujuan:
a.
b.
c.
d.

Agar ginjal cangkok dapat ditoleransi dengan baik


Untuk mengurangi efek samping
Membatasi kerusakan selanjutnya terhadap jaringan donor ginjalnya
Mencegah penolakan dari sel-sel ginjal yang dimasukkan.
Kedua, kemudian dokter mencangkokkan ginjal donor, dengan

menghubungkan pembuluh darah donor ke pembuluh darah penerima.


Demikian juga menghubungkan ureter donor ke saluran kencing penerima
ginjal donor. Biasanya, donor dapat pulang beberapa hari setelah operasi
pengambilan ginjal. Prosesur ini membutuhkan anestesi (zat pengilang rasa
sakit) umum.

Menangani Longistik
Selama proses transplantasi, institusi rumah sakit mempunyai bebean
yang kompleks dan mungkin saja bisa terjadi kesalahan. Kerenanya, pasien
dituntut untuk berperan aktif seakan sebagai Direkturk Longistik bagi

dirinya sendiri. Untuk itu, perlu menangani longistik dari seluruh proses in
yang meliputi:
a. Mengkoordinasikan pengobatan
b. Bersama dengan anggota keluarga, susunlah perencanaan apa saja yang
perlu dilakukan selama proses transplantasi.
c. Susunlah pembagian tugas, siapa bertugas melakukan apa.
Selama proses tranplantasi, harus tahu:
a. Kapan saatnya menjalani tes darah
b. Kapan berkonsultasi dengan dokter spesialis
c. Jika mulai menerima obat atau perawatan baru
Pada fase pemulihan dalam pemakaian imunosupresan, dalam kondisi
imunokompromais, dimana sistem imunnya tidak mampu bekerja baik
sehingga mudah terserang infeksi. Produksi sumsum tulangnya berubah
hingga banyak terjadi perubahan sel (baik jumlah maupun kualitasnya).
Salah satunya adalah sel darah putih atau leukosit (sel yang melawan
infeksi), contohnya:
a. Sel leukosit diproduksi lebih lambat dari normal
b. Sel-sel yang malfungsi tersebut tidak dapat melawan infeksi, sehingga
orang dengan pemakai imunosupresant mudah diserang penyakit yang
mengancam-jiwa (life-threatening), seperti pneumonia (radang paru) dan
sepsis (infeksi yang sangat berat)
Itulah sebabnya, mengapa sangat perlu untuk memonitor darah
lengkap yang bersangkutan supaya berada pada rentang yang optimal. Salah
satu cara untuk melakukannya adalah dengan mengurangi dosisi obat.
Waktu pemulihan setelah dilakukan transplantasi sekitar dua minggu (untuk
transplantasi syngeneic) dan empat minggu (untuk transplantasi ginjal
allogenik). Selama pemulihan sebaiknya pasien harus tinggal di ruangan
dengan sistem higienis khusus dan memperoleh antibiotik untuk mencegah
infeksi sesuai indikasi.
Pada fae kunjungan ke rumah sakit untuk melakukan kontrol,
misalnya suasana diruang tunggu yang penuh dengan orang sakit bisa
membuat suasana kurang nyaman. Jika di antara para pasien diruang tunggu

itu ada yang mengidap penyakit menular, harus hati-hati. Sebab, sistem
imun di tubuh masih lemah.
Tim yang diperlukan untuk dapat membantu mengurus teransplantasi
bisa terdiri atas:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Dokter muda atau Co-ass


Dokter spesialis
Dokter konsultan (super-spesialis)
Perawat/paramedis
Ahli gizi
Ahli terkait lainnya
Dalam pelaksanaan tranplantasi ginjal, koordinator transplantasi

mempuyai tugas:
a. Penghubung pasien dengan dokter dan yang lain
b. Memberi jadwal tahapan yang berkaitan dengan transplantasi
c. Menerangkan prosedur terkait transplantasi
Kelompok pendukung
Saat dinyatakan gagal ginjal tahap akhir, mungkin akan muncul
beberapa masalah. Bisa jadi banyak orang mulai menjauhi kehidupan,
dengan beberapa kemungkinan alasan:
a. Mungkin takut atau tidak tahu, bagaimana bersikap saat didekat anda
b. Jika penyakit adalah gagal ginjal, mungkin bisa membuat takut banyak
orang hanya karena mendengarnya
c. Komplikasi medis
Sebelum dan sesudah dilakukan transplantasi perlu ,mendapat
perhatian, karena kemungkinan bertahannya hidup akan tergantung pada:
a. Skill (keterampilan) tim medis transplantasi
b. Perilaku pasien
c. Kecocokan organ
Jika tim operasi dan dokter yang memimpin tim sangat baik dalam
pengobatan, posisi anda bisa disebut sudah mencapai base pertama.
Selanjutnya, bila anda mempunyai sikap teguh untuk berpartisipasi aktif
dalam transplantasi dengan harapan berhasil dapat dikatakan posisi anda
sudah mencapai base kedua. Dikatakan mencapai base ketiga, jika donornya
cocok dengan tubuh anda, meski ini bisa merupakan hal yang sulit untuk
dicapai. Harus dipahami bahwa lebih dari 70% orang yang membutuhkan
transplantasi tidak dapat menemukan donor yang cocok dengan tubuhnya.

Prosedur Pembedahan Transplantasi Ginjal


Untuk pembedahan transplantasi ginjal, ada beberapa prosedur
yang harus dijalani:
a. Pasien diberi imunosupresent intravena, tepatnya sebelum operasi
dimulai, untuk menekan sistem imun, melemahkan sel-sel yang terauto-sensitisasi. Cara ini ditujukan untuk mengurangi kerusakan
terhadap jaringan donor ginjal.
b. Prosedur anestesi umum.
c. Pengirisan mulai dari kulit lalu ke jaringan bawah kulit, sampai otot
perut, sehingga mendapatkan daerah fossa iliaka kanan terbuka. Lalu
ginjal donor dilletakkan pada posisinya yang sesuai di dalam perut.
d. Kemudian pembuluh darah ginjal donor didekatkan ke pembuluh darah
resipien untuk menentukan posisi yang paling sesuai untuk
penyambungan. Pembuluh darah arteri ginjal dianastomosekan ke
erteri hipogastrik atau iliaka eksterna. Demikian juga pembuluh darah
vena ginjal dianastomosekan ke vena iliaka.
e. Ureter dihubungkan ke kandung kemih atau dianastomosekan ke ujung
ke ureter asli resipien atau dianastomosekan ke saluran ileal yang
diciptakan sebelumnya.
f. Manfaat penempatan ginjal donor pada fossa iliaka adalah:
Kemudahan penempatan vaskuler dan uretra.
Membfasilitasi diagnosis aktivitas penolakan (nyeri tandur dengan

mudah dinilai pasca-transplantasi)


Kebutuhan menyingkirkan nefrektomi asli pratransplantasi.

(Santoso, Djoko. 2011. Siapkan Diri Anda untuk Cangkok Ginjal.


Surabaya: Jaring Pena)
1.5 Manifestasi Klinis
Terlepas dari penyebab gagal ginjal kronis, manifestasi klinis gagal
ginjal kronis semakin jelas terlihat karena penurunan laju filtrasi
glomelurus yang progresif. Gejala awal insufisiensi renal dimulai pada
stadium 3 ketika sudah terjadi kerusakan pada minimal 50% fungsi nefron.
Terjadi hipertensi, kenaikan kadar ureum dan kreatini, serta anemia. Pada
stadium lebih lanjut akan ditemukan gejala edema, ketidakseimbangan
elektrolit, asidosis metabolik, dan efek multisistemik yang ditimbulkan

oleh uremia. Manifestasi klinis yang sering ditemukan diuraikan di bawah


ini, yang banyak diantaranyan pada aktifitasnya mengancam jiwa.
1. Perubahan Berkemih
Pada stadium awal gagal ginjal, poliuria dan nokturia tampak jelas
karena ginjal tidak mampu memekatkan urin, khususnya dimalam
hari. Berat jenis urin secara BERTAHAP menetap pada nilai disekitar
1,010

(konsentrasi

osmolar

plasma)

yang

mencerminkan

ketidakmampuan ginjal untuk mengencerkan/ memekatkan urin.


Apabila gagal ginjal kronis memburuk, terjadi oliguria (haluaran urin
400 ml/24jam). Jika pasien masih menghasilkan urin, gejala
hematuria, proteinuria, dan endapan silinder dapat ditemukan
bergantung pada penyebab penyakit ginjal.
2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa
Peningkatan pretensi cairan menyebabkan penurunan ekskresi urin.
Keparahan gejala bergantung pada tingkat kelebihan. Dapat terjadi
edema dan hipertensi. Kelebihan cairan pada akhirnya dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif, edema paru, dan efusi
perikardium serta efusi pleura. Pada keadaan ini terdapat pula
sejumlah gangguan keseimbangan
elektrilit yang dsebabkan oleh disfungsi ginjal. Ekskresi natrium akan
terganggu dan retensi natrium terjadi bersama dengan retensi air.
Retensi natrium turut menyebabkan edema, hipertensi, gagal jantung
kongestif. Hiperkalemia merupakan gangguan elektrolit yang paling
serius terkait dengan gagal ginjal kronis. Disritmia yang mengancam
jiwa dapat terjadi jika kadar kalium serum mencapai 7 hingga
8mmol/liter. Hiperkalemea, terutama terjadi karena penurunan
ekskresi kalium oleh ginjal asidosis metabolik. Abnormalitas kalsium,
fosfat, dan magnesium juga terjadi. Akhirnya, pada gagal ginjal, ginjal
tidak mampu mengekskresi muatan asam yang terbentuk dari fungsi
sel. Akibatnya, kadar bikarbonat plasma biasanya turun hingga 16
20mmol/liter yang menyebabkan asidosis metabolik.
3. Sindrom Uremia
Ginjal merupakan organ yang bertanggungjawab untuk mengeksresi
ureum, yaitu produk akhir metabolis protein, dan kreatinin, yaitu
produk akhir metabolisme otot. Pada gagal ginjal terjadi peningkatan
8

ureum dan kreatini kendati kenaikan kadar kreatinin serum merupakan


indikator terbaik untuk menunjukan gagal ginjal. Retensi ureum daan
kreatini memengaruhi semua sistem tubuh dan keadaan ini disebut
sindrourinea. Manifestasi klinis utama berupa mual, muntah, letargi,
keletihan, gangguan proses berfikir, dan sakit kepala.
4. Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi merupakan gangguan kardiovaskular yang paling sering
terjadi dan bertanggung jawab atas percepatan penyakit arterosklerosis
vaskular, hipertrofi ventrikel kiri, dan gagal jantung
kongestif. Ha tersebut merupakan penyebab utama kematian pada
pasien gagal ginjal kronis. Perikardidis uremik dapat pula terjadi,
kendati jarang, dapat berlanjut menjadi efusi perikardium dan
tamponade jantung.
5. Gangguan Pernapasan
Dispnea akibat kelebihan cairan, edema paru, pleuritis (pleurisi)
uremia, dan efusi pleura sering ditemukan pada pasien gagal ginjal.
6. Gangguan Neurologi
Perubahan neurologi dapat berkisar dari keletihan dan kesulitan
konsentrasi hingga kejang, stupor, dan koma. Neuropati perifer juga
terjadi pada pasien mengeluhkan restless leg syndrome dan parestesia
(rasa terbakar) pada kedua kaki.
7. Gangguan metabolik dan endokrin
Gagal ginjal dikaitkan dengan beberapa gangguan metabolik dan
endokrin. Gangguan ini meliputi: hiperglikemia, hiperinsulinemia,
abnormalitas uji toleransi glukosa, dan hiperlipidemia. Gangguan
metabolik

dan

endokrin

lain

berkaitan

dengan

abnormalitas

muskuloskeletal.
8. Disfungsi hematologi dan imunologi
Anemia merupakan manifestasi klinis yang sering ditemukan karena
gagal ginjal menyebabkan gangguan produksi eritropoietin yang
diperberat oleh abnormalitas trombosit. Anemia mengakibatkan
kemunduran keadaan umum pasien dam menjadi penyebab primer
hipertrofi ventrikel kiri pada gagal ginjal. Sel darah putih juga
mengalami perubahan karena retensi ureum, yang menyebabkan
imunodefisiensi sehingga pasien lebih rentan terhadap infeksi.
Meskipun jumlah trombosit normal, fungsinya menjadi abnormal
karena uremia, sehingga timbul kecenderungan perdarahan.
9. Gangguan Gastrointestinal
9

Anoreksia,

mual,

dan

muntah

menyertai

gagal

ginjal

dan

menyebabkan penurunan berat badan dan malnutrisi yang dialami oleh


banyak pasien. Setiap bagian sistem gastrointestinal terpengaruh
akibat inflamasi mukosa yang disebabkan oleh kadar ureum berlebih.
Stomatitis, ulserasi oral, rasa logam dalam mulut, dan fetor uremia
(bau napas uremik, seperti bau buah) umum ditemukan. Selain itu,
perdarahan gastrointestinal, diare dan/ atau konstipasi dapat pula
terjadi karena retensi produk uremia.
10. Gangguan Muskuloskeletal
Gagal ginjal mengganggu proses pengaktifan vitamin D. Vitamin D
aktif diperlukan dalam saluran cerna untuk membantu absorpsi
kalsium. Pada gagal ginjal ginjal, keadaan ini mengakibatkan
hipokalsemia. Hormon paratiroid (PTH) kemudian disekresikan untuk
mengimbangi sekresi hormon paratiroid merangsang demineralisasi
tulang sehingga kalsium terlepas dari tulang untuk menaikkan kadar
kalsium serum. Fosfat juga dilepas oleh tulang, yang memperberat
keadaan hiperfosfatemia yang sudah terjadi. Kerja hormon paratiroid
pada tulang menyebabkan osteodistrofi ginjal- suatu sindrom
perubahan skeletal yang terjadi pada penyakit ginjal kronis.
11. Gangguan Integumen
Perubahan paling mencolok pada pasien yang mengalami penurunan
fungsi ginjal adalah perubahan warna kulit menjadi kuning kusan
karena absorpsi dan retensi pigmen urine. Kulit juga menjadi pucat
(karena anemia), dan kering serta bersisik (karena penurunan aktivitas
kelenjar minyak dan keringat). Pruritus terjadi karena peningkatan
kadar ureum dan deposit kalsium-fosfat dalam kulit. Rasa gatal begitu
hebat sehingga menyebabkan perdarahan atau infeksi sekunder akibat
garukan. Rambut kering serta rapuh dan kuku tipis dan beralur. Pada
akhirnya, dapat terjadi petekia dan ekimosis yang disebabkan oleh
abnormalitas trombosit.
12. Disfungsi Reproduksi
Fungsi repreduksi normal juga berubah pada gagal ginjal. Hormon
pria dan wanita menurun dan mereka mengalami penurunan libido
serta masalah infertilitas.

10

(Chang, E, Daly, J, & Elliot, Doug. 2010. Patofiiologi Aplikasi pada


Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC)
1.6 Tatalaksana Terapi
Tujuan dari penatalaksanaan adalah untuk mengembalikan fungsi
ginjal dan mempertahankan homeostatis selama mungkin. Semua faktor
yang menunjang PGTA dan yang faktor menunjang PGTA dan yang faktor
penunjang yand dapat pulih (misal obstruksi) diidentifikasi
1. Intervensi diet diperlukan dengan pengaturan yang cermat terhadap
masukan protein, masukan cairan untuk menyeimbangkan kehilangan
cairan, masukan natrium, dan pembatasan kalium
2. Pastikan masukan kalori dan suplemen vitamin yang adekuat.
3. Batasi protein karena kerusakan klirens ginjal terhadao urea, kreatinin,
asam urat, dan asam organik. Masukan protein yang diperbolehkan
harus tinggi kandungan biologisnya : produk yang berasal dari susu,
telur, daging.
4. Cairan yang dioperbolehkan adalah 500-600 ml atau lebih dari
haluaran urine 4 jam.
5. Atasi hiperfosfatemia dan hipokalsemia dengan antasid mengandung
alumunium atau kalsium karbonat ; keduanya harus diberikan dengan
makanan.
6. Suplai kalori dengan karbohidrat dan lemak untuk mencegah pelisutan
otot.
7. Berikan suplemen vitamin.
8. Tangani hipertensi dengan kontrol volume intravaskular dan obat
antihipertensif.
9. Atasi gagal jantung kongestif dan edema pulmonal dengan pembatasan
cairan, diet rendah natrium, diuretik, preparat inotropik (mis : digitalis
atau dobutamin), dan dialisis
10. Atasi asidosis metabolik jika perlu dengan suplemen natrium
bikarbonat atau dialisis.
11. Atasi hiperkalemia dengan dialisis; pantau pengobaatan dengan
kandungan kalium; berikan kayexelate sesuai kebutuhan.
12. Amati terhadap tanda dini abnormalitas neurologis (mis : berkedut,
sakit kepala, delirium, atau aktivitas kejang).
13. Lindungi terhadap cedera dengan memberikan bantalan pada pagar
tempat tidur.

11

14. Catat awitan, tipe, durasi, dan efek umum kejang pada pasien; segera
beritahu dokter
15. Berikan diazepam intravena (valium) atau fenitoin (dilantin) untuk
mengontrol kejang.
16. Atasi anemia dengan rekombinan eritopoietin manusia (epogen) :
pantau hematokrit pasien dengan sering. Sesuaikan pemberian heparin
sesuai keperluan untuk mencegah pembekuan aliran dialisis selama
tindakan.
17. Pantau kadar besi serum dan transferin untuk mengkaji status keadaan
besi (besi penting untuk memberikan respons yang adekuat terhadap
eritropoetin).
18. Pantau tekanan darah dan kadar kalium serum
19. Rujuk pasien pada pusat dialisis dan transplantasi di awal perjalanan
penyakit ginjal progresif
20. Lakukan dialisis saat pasien tidak dapat mempertahankan gaya hidup
yang diperlukan dengan pengobatan konservatif.
(Hackley, D. C. (1996). Handbook for Brunner and Suddath's Textbook of
Medical-Surgical Nursing. Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher.)
1.7 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1.

Aktivitas / Istirahat

Gejala :

Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise.

Tanda : Kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.


2.

Sirkulasi

Gejala :

Riwayat hipertensi lama atau berat; palpasi; nyeri dada (angina).

Tanda : Hipertensi; nadi kuat, edema jaringan dan pitting; disritmia jantung;
fiction sub perikardial (respon terhadap akumulasi sisa); pucat; kulit
coklat kehijauan, kuning; kecenderungan perdarahan.
3.

Integritas Ego

Gejala :

Faktor stress, perasaan tidak berdaya, tak ada harapan, tidak ada
kekuatan.

12

Tanda : Menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang, perubahan


kepribadian.
4.

Eliminasi

Gejala :

Penurunan frekuensi urin, oliguri atau anuria; distensi abdomen


atau konstipasi.

Tanda : Perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat), oliguri, atau
anuria.
5.

Makanan / Cairan

Gejala : Peningkatan berat badan (edema), penurunan berat badan


(malnutrisi) anoreksia, nyeri ulu hati, mual, muntah, rasa bau
amoniak.
Tanda : Distensi abdomen (asites), pembesaran hati (hematomegali);
perubahan turgor kulit, lembab, edema, ulserasi gusi, perdarahan
gusi atau lidah, penurunan otot, penurunan lemak subkutan,
penampilan tak berdaya.
6.

Neurosensori

Gejala :

Sakit kepala, penglihatan kabur


Kram otot (kejang), rasa terbakar pada telapak kaki.
Kesemutan dan kelemahan, khususunya ekstremitas bawah
(neuropati perifer)

Tanda : Gangguan status mental


Tanda chuostek dan trauseau positif
Kejang, fasikulasi otot, aktivitas kejang
Rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
7.

Nyeri / Kenyamanan

Gejala :

Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki.

Tanda : Perilaku berhati-hati (distraksi), gelisah.


8.

Pernapasan

Gejala :

Napas pendek, noktural paroxysmal dispnea, batuk dengan atau


tanpa sputum kental.

Tanda : Takipnea, dispnea, peningkatan kusmaul (cepat dan dalam).

13

Batuk produktif dengan sputum merah mudah dan encer (edema


paru)
9.

Keamanan

Gejala :

Kulit gatal, ada atau berulangnya infeksi.

Tanda : Pruritus, demam (karena sepsis atau dehidrasi) ptekie, ekimosis


10. Seksualitas
Gejala :

Penurunan libido; amenorhea, infertilitas.

11. Interaksi sosial


Gejala :

Kesulitan menentukan kondisi, (misalnya : tak mampu bekerja


atau mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarg

DIAGNOSA KEPERAWATAN

KURANG PENGETAHUAN (KEBUTUHAN


BELAJAR),
PROGNOSIS

TENTANG
DAN

PENGOBATAN
Keterbatasan kognitif
Kurang terpajan atau

Dapat dihubungkan dengan:

pertanyaan salah konsep


Tidak akurat mengikuti
YANG

DIHARAPKAN

KEBUTUHAN

mengingat,

interpretasi informasi
Pertanyaan atau permintaan

Kemungkinan dibuktikan oleh:

HASIL

KONDISI,

salah

informasi,

instruksi

atau

terjadinya komplikasi yang dapt dicegah


ATAU Menyatakan pemahaman kondisi atau proses

KRITERIA EVALUASI, PASIEN AKAN :

penyakit dan pengobatan


Melakukan dengan benar prosedur yang perlu
dan menjelaskan untuk tindakan
Menunjukkan atau melakukan perubahan pola
hidup yang perlu
Berpartisipasi dalam program pengobatan

TINDAKAN ATAU INTERVENSI


RASIONAL
Mandiri
Kaji ulang proses penyakt atau prognosis dan Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien
kemungkinan yang akan dialami
dapat membuat pilihan berdasarkan informasi
Kaji ulang pembatasan diet, termasuk fosfat Pembatasan fosfat merangsang kelenjar
(contoh produk susu, jagung, kacang) dan paratiroid untuk pergeseran kalsium dan tulang

14

magnesium (contoh produk gandum, polong- dan akumulasi magnesium dapat mengganggu
polongan)
fungsi neurologis dan mental
Diskusikan masalah nutrisi lain, contoh Metabolik yang terakumulasi dalam darah
pengaturan

masukan

protein

sesuai menurunkan

dengantingkat fungsi ginjal

hampir

keseluruhan

dari

katabolisme protein, bila fungsi ginjal menurun

protein mungkin dibatasi proporsinya


Dorong pemasukan kalori tinggi, khususnya Penyimpanan protein mencegah penggunaan
dari karbohidrat
dan memberikan energi
Diskusikan terapi obat, termasuk tambahan Mencegah komplikasi serius, contoh penurunan
kalsium dan tingkatkan fosfat,

absorpsi fosfat dari trakstus GI dan pengiriman


kalsium untuk mempertahankan kadar normal
serum,

menurunkan

resiko

demineralisasi

tulang atau fraktur, tetani. Penggunaan produk


yang mengandung alumunium harus diawasi,
namun

karena

akumulasi

dalam

tulang

potensial osteodistrofi. Produk magnesium


potensial resiko hipermaknesia
Tekankan pentingnya membaca semua label Ini sulit untuk mempertahankan keseimbangan
produk

(obat

dan

makanan

)dan

tidak elektrolit bila pemasukan eksogenus bukan

meminum obat tanpa menanyakan pada faktor


pemberi perawatan

dalam

pembatasan

hiperkalsemiadapat

diet,

contoh

diakibatkan

oleh

penggunaan suplemen rutin dalam kombinasi


dengan peningkatan pemasukan diet makanan
yang

diperkaya

kalsium

mengandung kalsium
Kaji ulang untuk mencegah pendarahan, Menurunkan resiko

dan

obat

sehubungan

yang
dengan

contoh penggunaan sikat gigi halus, pencukur perubahan faktor pembekuan atau penurunan
elektrik,

hindari

konstipasi,

hidung dengan keras


Instruksikan dalam

menghembus jumlah trombosit

observasi

pengaasa TD, termasuk

diri

dan Insiden hipertensi meningkat pada DGK, sering

jadwal istirahat memerlukan penanganan dengan obat anti

sebelum mengukur TD, menggunakan lengan hipertensi, perlu untuk observasi ketat terhadap
atau posisi yang sama

efek pengobatan , contoh respon vaskuler


terhadap obat

15

Waspadakan tentang terpajan

pada suhu Neuropati perifer dapat terjadi, khususnya pada

eksternal ekstrim, contoh bantalan panas atau ekstermitas bawah, mengganggu sensai perifer
salju
dan potensial resiko cedera jaringan
Buat program latihan rutin dalam kemampuan Membantu dalam mempertahanakan tonus otot
individu,

menyelingi

periode

istirahatan dan kelenturan sendi. Menurunkan resiko

dengan aktivitas

sehubungan dengan imobilisasi dan mencegah

Perhatikan masalah seksual

kelemahan
Efek fisiologis uremia atau terapi anti hipertensi
dapat , mengganggu hasrat atau penampilan
seksual

Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan


evaluasi medic segera, contoh :
Demam derajat rendah, menggigil, perubahan Depresi sistem imun, anemia, malnuitrisi,
karakteristik

urine

atau

sputum, semua meningkatkan resiko infeksi

pembengkakan jaringan atau drainase, ulkus


oral
Kebas atau kesemutan pada jari, abdominal Urenia dan penurunan absorpsi kalsium dapat
atau kram otot, spasme, karpopedal
menimbukan neuropati perifer
Pembengkakan sendi atau
nyeri tekan, Hiperfosfatonia dengan pergeseran kalsium
penurunan ROM, penurunan kekuatan otot

dapat mengakibatkan deposisi kelebihan fosfat


kalsium sebagai kalsifikasi dalam sendi dan
jaringan lunak. Gejala pada tulang rangka
sering terlihat sebelum gangguan pada fungsi

Sakit

kepala,

penglihatan

kabur,

periorbital atau sacral, mata merah

organ
edema Dugaan terjadinya atau kontrol hipertensi buruk
dan

atau

perubahan

pada

mata

yanag

disebabkan oleh kalsium


Kaji ulang strategi untuk mencegah konstipasi, Menurunkan pemasukan cairan, perubahan
termasuk melunak feses dan laksatif bulk pada pola diet. Dan penggunaaan produk ikatan
tetapi menghndari produk magnesium

fosfat sering mengakibatkan konstipasi yan g


tidak responsif terhadap intervensi non medikal
penggunaan produk mengandung magnesium
meningkatkan resiko hipermagnesemia

(Doenges, Marilynn dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC)

16

1.8 Uraian Obat yang Diberikan


Farmakologi yang diterapkan
1. Pasien gagal ginjal kronis memerlukan sejumlah obat untuk
mengendalikan gejala yang menyertai disfungsi ginjal. Obat ini
me;iputi: preparat antihipertensi, pengikat fosfat berbasis-kalsium
seperti kalsium seperti kalsium karbonat (misalnya caltrate),
eritopoietin (eprex), natrium bikarbonat, natrium (atau kalsium)
polistiren sulfonat (resonium), resin penukar-kation, dan vitamin D
(calcitriol).
2. Pada gagal ginjal dapat terjadi kelambatan atau penurunan eliminasi
obat yang menimbulkan penumpukan obat di dalam tubuh.
Diperlukan penyesuaian takaran obat dan frekuensi pemberian. Obat
yang perlu mendapat perhatian khusus meliputi digoksin, gentamisi,
vankomisin, dan opiat. Petidin tidak boleh diberikan kepada pasien
gagal ginjal kronis karena dapat bertumpuk dalam tubuh dan
menimbulkan kejang.
(Chang, E, Daly, J, & Elliot, Doug. 2010. Patofiiologi Aplikasi pada
Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.)
Pengobatan Penyakit Gagal Ginjal Kronis
Berikut adalah pengobatan dari penyakit gagal ginjal kronis:
1. Diet rendah protein untuk membatasi akumulasi produk akhir
metabolisme protein yang tidak dapat disekresi ginjal.
2. Restriksi natrium, kalium, cairan untuk mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
3. Diuretik kuat (furosemid) untuk mempertahankan keseimbangan
cairan.

17

4. Glikosida jantung (digoksin) untuk memobilisasi cairan yang


mneyebabkan edema; monitor secara cermata apakah ada toksisitas.
5. Kalsium karbonat atau kalsium asetat untuk mengobati osteodistrofi
ginjal dengan mengikat fosfat dan menambahkan kalsium.
6. Antihipertensi (ACE inhibitor) untuk mengontrol tekanan darah dan
edema.
7. Famotidin dan ratidinin untuk mengurangi iritasi lambung.
8. Suplemen besi dan folat atau transfusi sel darah merah untuk anemia
9. Eritropoietin sintetik untuk menstimulasi sumsum tulang
memproduksi sel darah merah
10. Suplemen besi, estrogen konjugata, dan desmopresin untuk melawan
efek hematologik
11. Dialisis peritoneal

atau

hemodialisis

untuk

mengobati

ketidakseimbangan cairan dan membantu mengontrol penyakit ginjal


stadium akhir
12. Transplantasi ginjal (biasanya pengobatan pilihan jika tidak ada
donor) untuk menggantikan ginjal yang tidak berfungsi
(Williams, L & Walkins. 2013. Buku Saku Patofisiologi Menjadi Sangat
Mudah. Jakarta: EGC)
Monitoring Evaluasi
Obat Immunosupresif
1. Obat cangkok prakondisi
Pemberian obat menjelang dan saat operasi transplantasi dengan dosis
tinggi, namun periodenya singkat. Tujuannya untuk mencegah reaksi
penolakan akut. Obatnya disebut antibody antilimfosit T, yang bekerja
melumpuhkan sel limfosit T.
2. Obat pemeliharaan
Inilah terapi pemeliharaan harian yang diberikan sepanjang umur, untuk
mencegah kerusakan ginjal cangkok. Obatnya bernama sandemun, yang
dikombinasi dengan azatiprin dan atau tanpa kortikosteroid. Dosisnya
makin hari makin menurun, bersamaan dengan menurunnya resiko
penolakan akut.
3. Obat untuk penolakan akut
Mengingat biang keladi reaksi penolakan akut adalah sel limfosit T, maka
obatnya adalah yang bisa menundukkan sel limfosit T. yang termasuk
golongan ini adalah injeksi korikosteroid dosis tinggi, antibody penakluk
limfosit T.
18

Mekanisme kerja obat ini adalah :


a. Membunuh sel limfosit T. efek ini dimiliki oleh obat antibody
monoclonal dan poliklonal.
b. Menghambat aktivitas sel limfosit T.
c. Menghambat berkembangnya populasi sel limfosit T agar tidak
mudah memperbanyak diri.
4. Obat penghambatan aktivitas sel limfosit T
Sel limfosit T akan aktif jika ada 3 rangsangan sinyal, yaitu :
Sinyal 1 : adanya pengenalan antigen dengan sel limfosit T. Rangsangan
sinyal 1 adalah bertemunya ginjal cangkok dengan sel limfosit T, hingga
enzim phosphatase (kalsineurin) aktif didalam sel limfosit T.
Sinyal 2 : adanya rangsangan bantuan yang disebut kostimulasi. Sinyal ke
2 ini muncul setelah sinyal 1 aktif.
Sinyal 3 : adanya zat pertumbuhan sel limfosit T yang menyebabkan bisa
memperbanyak diri secara cepat. Rangsangan sinyal 3 (sinyal yang
berefek memperbanyak diri) muncul mengikuti sinyal 1 dan sinyal 2.
Efeknya adalah mengaktifasi gen-gen yang penting untuk pembelahan sel
limfosit T. Aktifnya ketiga sinyal ini akan menghasilkan tingginya
hormone yang disebut Interleukin 2 (IL-2), reseptor IL-2 (CD25).
5. Obat penghentian pembelahan sel limfosit T
a. Obat antibodi anti-CD25 dan sirolimus dapat menghentikan
rangsangan pembelahan sel limfosit T yang hiperaktif.
b. Sebaliknya, obat azathioprine (antimetabolit) dan

mofetil

mikofenolat / asam mikofenolat bekerja pada jalur sinyal 3.


Obat Pemeliharaan Harian
Pemberian obat Timoglubin : dosis pemeliharaan obat ini di
turunkan untuk meminimalisir turunnya kadar sel darah putih. Untuk
kalsineurin, penurunan dosis dimaksudkan agar tidak terjadi keracunan
obat ini, terutama jika ginjal cangkok tidak berfungsi dengan baik.
Pemberian Timunoglobulin
Setelah pemberian dosis pertama dan kedua dari obat ATG ini,
akan terjadi pelepasan hormone sitokin yang menyebabkan badan menjadi
demam dan kaku. Efek samping yang lebih serius umumnya jarang terjadi
disbanding pada pemberian obat OKT3. Namun, jangan memberikan obat
ini kalau ada infeksi yang belum diterapi, atau ada penurunan trombosit
dan penurunan sel darah putih.
Pada dosis pertama, pastikanlah bahwa pasien tidak sedang
mengalami kelebihan cairan, sebab jika di langgar akan membawa dampak
19

yang serius. Dibutuhkan cuci darah untuk menarik air agar tidak terjadi
edema paru. Biasanya pemberian obat ini diawali 60 menit sebelumnya
dengan injeksi Hidrokortison, antihistamin, dan parasetamol per oral
100mg. perlu dipastikan pemberian obat, bahwa tidak untuk kasus yang
diduga ada penyakit paru serta jamur mulut. Pemberian obat ini
diencerkan dulu dan diberikan secara infus selama enam jam. Yang perlu
diawasi adalah kadar darah lengkap tiap hari.
Efek negative preparat ATG
Efek negative preparat ATG antara lain, terjadinya reaksi alergi
fatal dan pelepasan sitokin (namun lebih ringan dibandingkan OKT3, serta
umumnya terbatas pada dosis pertama). Bisa terjadi penurunan sel darah
putih dan trombosit. Selain itu, ada peningkatan keganasan kelenjar getah
bening. Efek sampingnya berupa serum sickness (tandanya demam, ruam
vaskulitis, arthralgia serta myalgia).
Kemanjuran
Timoglobulin efektiv untuk mencegah penolakan akut. Namun
untuk perbaikan survival pasien atau graft dalam jangka panjang, masih
belum jelas. Pada kasus penolakan, kemampuan timoglobulin dalam
menurunkan episode penolakan akut sebesar 90%. Meski demikian, injeksi
steroid bolus masih umum sebagai terapi pilihan pertama (pemberiannya
lebih mudah serta efek sampingnya lebih sedikit) hanya saja timoglobulin
menjadi alternative, ketika reaksi penolakan sangat resisten terhadap
steroid.
Farmakologi
Sandimmun, preparat awal dari siklosprin, saat ini sudah jarang
digunakan, karena berupa larutan berminyak yang tidak nyaman dan daya
serap di usus sangat bervariasi, bergantung empedu. Yang lebih baru
adalah Neoral, suatu bentuk mikroemulsi, yang paling banyak digunakan
saat ini. Penyerapan akan meningkat bila diberikan bersama makanan],
serta menurun bersamaan denganj terjadinya gangguan ginjal. Setelah 2-4
jam dari saat minum, obat ini akan terikat dengan sel darah merah,
sehingga sebagian kecil saja yang bebas dalam darah. Proses
metabolismenya tergantung enzim di hati serta dinding usus. Siklosprin,

20

takrolimus tidak dikeluarkan lewat ginjal, serta tidak dapat dikeluarkan


lewat cuci darah.
Sirolimus
Inhibitor

Kalsineurin

dan

Sirolimus

juga

bersaing

agar

dimetabolisir oleh enzim di hati. Kadar keduanya dalam darah dapat


meningkat beberapa kali lipat jika diberikan secara bersamaan. Tapi, efek
ini dapat diminimalisir jika sirolimus dikonsumsi empat jam setelah
inhibitor kalsineurin.
Mofetil Mikofenolat/Asam Mikofenolat
Siklosporin bisa mempengaruhi asam mikofenolat disaluran
pencernaan. Bahkan perlu dosis mofetil mikofenolat/asam mikofenolat
yang lebih tinggi bagi pasien yang mendapat terapi siklosporin.
Trakrolimus
Obat yang ada di pasar dikenal sebagai Prograf (diminimum 2x1
tablet sehari) dan Avagraf (1x1 sehari). Penyerapan dan metabolismenya
hampir sama dengan siklosporin. Avagraf merupakan bentuk takrolimus
lepas lambat yang digunakan sekali sehari. Sebaiknya hati-hati, terdapat
banyak interaksi antara inhibitor kalsineurin, serta obat yang terkait
dengan enzim di hati. Obat bentuk-bentuk dari siklosporin dan takrolimus
saat ini telah tersedia dengan sifat yang bervariasi pada masing-masing
merek. Sebaiknya jangan berganti-ganti merek, termasuk takrolimus. Ini
dimaksukan untuk menghindari kebingungan antara sediaan obat dua kali
sehari (Prograf), serta sekali sehari (Avagraf).
Monitoring Takrolimus Dan Siklosporin
Monitoring kedua obat tersebut sangat penting untuk memastikan
kadar obat terapeutik dalam darah dan meminimalisir efek toksik. Sebab,
siklosporin dan takrolimus memiliki ineks terapeutik yang sempit, yang
berarti bahwa antara dosis toksik tidak selisih banyak. Hindarilah obat
immunosupresi yang kurang maupun berlebihan dosis, saat obat yang
berinteraksi diresepkan.
Estimasi Paparan Inhibitor Kalsineurin

21

Pengukuran kadar inhibitor kalsineurin yang ideal adalah pada


daerah dibawah kurva konsentrasi-waktu (AUC), setelah pemberian suatu
osis oral. Namun cara ini inilai tidak praktis, mengingat pengambilan
sampel

darah

dilakukan

beberapa

kali

secara

rutin,

formula

penghitungannya sangat kompleks. Maka, estimulasinya diperkirakan


engan pengukuran tunggal dari salah satu diantara konsentrasi inhibitor
kalsineurin terenah (Co) maupun puncak (C2).
Paparan Siklosporin
Kadar siklosp]orin terendah (C0) masih tetap digunakan secara luas
untuk menentukan pemberian dosis siklosporin, meski hal ini tidak ideal.
Kadar siklosporin yang diukur 2 jam setelah pemberian tablet siklosporin
(C2) memi]liki kolerasi yang lebih baik lagi, khususnya alam beberapa
minggu pertama setelah transplantasi ginjal. Target kadar siklosporin (C 2)
biasanya 1200-1600 mg/ml. Tetapi, target kaar C2 tidak akan dapat dicapai
pada 20% hingga 40% pasien, meski]pun telah diberikan dosis siklosporin
yang sangat tinggi. Ada kesulitan praktis dalam memperoleh sampel yang
akurat. Saat ini pengukuran level C0 masih merupakan bentuk yang paling
umum dari monitoring siklosporin.
Paparan Takrolimus
Pengukuran kadar takrolimus C0 bisa digunakan secara teratur
untuk memonitor Prograf (12 jam setelah pemberian dosis), serta Advagraf
(24 jam setelah pemberian dosis). Interaksi obat dengan siklosporin an
takrolimus. Banyak interaksi obat yang secara klinis signifikan dengan
inhibitor kalsineurin. Yang penting adalah golongan obat cholestrol,
karena obat ini juga dimetabolisir oleh enzim dihati. Walaupun inhibitor
kalsineurindan statin sama-sama tidak memp]engaruhi aktivitas enzim
tersebut, mereka bersaing satu sama lain untuk dimetabolisir. Siklosporin
bisa meningkatkan risiko kerusakan otot (rhandomiolisi), karena bisa
meningkatkan kekuatan statin dalam darah pasien.
Obat-Obatan

Yang

Meningkatan

Nefrotoksisitas

Inhibitor

Kalsineurin.

22

Obat anti-nyeri apat meningkatkan vasokonstriksi yang diperantai


obat inhibitor kalsineurin, sehingga menyebabkan gangguan ginjal.
Golongan obat darah tinggi ACE inhibitor akan menyebabkan tingginya
kadar kalium darah, karena obat inhibitor kalsineurin mengganggu ginjal
dalam mempertahankan zat HCO3Obat-obatan yang tergantung pada enzim hati.
1. Obat-obatan yang mengaktifkan enzim hati. Peningkatan aktivitas enzim
ini dapat bertahan selama bebrapa minggu setelah obat cangkok
dihentikan. Percepatan penetralan siklosporin, takrolimus, dan sirolimus
akan menurunkan efektivitas obat. Dengan demikian bisa menimbulkan
peningkatan risiko penolakan. Dosis obat cangkok yang diberikan
seringkali perlu diganakan, guna mempertahankan kadar terapeutik.
2. Obat-obatan yang menghemat enzim dihati
Obat-obatan seperti rifampisin, fenobarbital, carbamazepin, dan fenitoin,
akan menghambat aktivitas enxim hati. Aktivitas enzim kembali normal
dalam tempo beberapa hari setelah penghentian obat inhibitor.
Pengurangan dosis immunosupresi dibutuhkan untuk mencegah toksisitas.
Efek Negatif Penggunaan Penghambat Kalsineurin
Efek samping kosmetik mungkin tidak terlihat parah. Tetapi,
seringkali menimbulkan stres yang cukup berat, sehingga perlu ditangani
secara cepat (dosis diturunkan, atau obat tersebutdiganti dengan jelas
lainnya). Terdapat tiga efek: keracunan ginjal (nefrotoksisitas), timbulnya
diabetes setelah transplantasi, dan mudah terkena infeksi serta keganasan.
Dalam hal nefrotoksisitas, inhibitor kalsineurin akan menyebabkan
kapiler mengecil, sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal, namun
membedakannya dari penolakan akut dalam periode

awal post

transplantasi (dimana level inhibitor kalsineurin berada pada tingkat yang


paling tinggi). Obat-obatan darah tinggi (misal jenis pengeblok saluran
kalsium, juga obat impotensi seperti sildenafil), dapat menurunkan
penyempitan kapiler.
Nefrotoksisitas kronis inhibitor kalsineurin akan menyebabkan
kapiler mengecil, sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal, namun
bersifat reversibel. Hal ini penting diperhatikan, untuk membedakannya ari

23

penolakan akut alam perioe awal post transplantasi (dimana level inhibitor
kalsineurin berada pada tingkat yang paling tinggi). Obat-obatan darah
tinggi (misal jenis pengeblok saluran kalsium, juga obat impotensi seperti
sildenafil), dapat menurunkan penyempitan kapiler.
Nefrotoksisitas kronis inhibitor kalsineurin. Penggunaan inhibitor
kalsineurin dalam jangka panjang akan menyebabkan kerusakan ginjal
yang bersifat irreversible. Sebagian besar pasien transplantasi ginjal yang
menggunakan inhibitor kalsineurin lebih ari 10 tahun, mengalami
toksisitas inhibitor kalsineurin berupa kerusakan pembuluh darah, dan
pengecilan ginjal. Takrolimus mungkin tidak lebih toksis. Siklosporin
dihubungkan dengan peningkatan tumbuhnya jaringan parut-kelois.
Terdapat kecenerungan penggantian obat-obat inhibitor kalsineurin setlah
tahun pertama transplantasi.
Sirolimus
Sirolimus merupakan antibiotik f]g]olongan mikrolida yang secara
struktural berhubungan dengan takrolimus. Zat ini ]merupakan produk dari
organisme tanah Streptomyces higroscopicus, yang pertama

kali

diidentifikasi di Pulau Paskah. Everolimus merupakan metabolit dari


sirolinus dengan sifat immunosupreson sama, tetapi waktu pearuhnya lebih
singkat.
Mekanisme Kerja
Sama halnya dengan takrolimus membentuk ikatan dengan protein
di dalam sel. Ikatan kompleks ini secara irreversible akan menghambat
aktivitas enzim kinase mTOR sehingga bisa mengontrol pertumbuhan dan
pembelahan sel limfosit yang hioeraktif (gila).
Dosis Sirolimus
Diseiakan dalam bentuk tablet Rapanume 1 an 2 mg,serta sirup
oral 1 mg/ml. Sirolimus biasanya diberikan alam bentuk dosis pertama
tunggal, sebanyak 2 hingga 4 kali lipat dari dosis pemeliharaan,sehingga
total menjai sebesar 6 atau 12 mg. Selanjutnya diikuti oleh dosis
pemeliharaan mulai 24 jam, kemudian setiap hari sebanyak 2 sampai 4
mg.

24

Monitoring terapeutik
Kadar sirolimus terendah (24 jam setelah pemberian dosis atau
C0 ) berhubung dengan AUC (area di bawah kurva waktu-konsentrasi)
sirolimus. Tingkatan target:
1. 0 hingga 6 bulan setelah transplantasi, 8 sampai 12 ng/ml.
2. Lebih dari 6 bulan setelah transplantasi,6 sampai 10 ng/ml.
3. Karena waktu paruhnya yang panjang, berikanlah waktu 72 jam atau
0
lebih antarperubahan dosis serta pengukuran C

sirolimus.

Penting : dosis sirolimus pertama kali, dosis pemeliharaan awal, serta


tingkat target C0 akan tergantung pada waktu transplantasi,serta obat
immunosupresi lain yang digunakan.

Efek negative dari Sirolimus


Efek samping stelah pemberian sirolium umumnya terjadi 30%
hingga 50%. Pasien menghentikan terapi strolimus Karen mengalami efek
negative. Tidak seperti inhibitor kalsineurin, sirilimus tidak bersifat
nofrotoksik secara langsung, tetapi obat ini mendorong nefrotoksisitas
obat siklosporin, sehingga meningkatkan efek toksin siklosporin.
Sirolimus dapat menghambat masa pemulihan Gagal Ginjal AKut (tipe
nakrosis tubular akut). Sirolimus akan meningkatkan pengeluaran protein
ke dalam urin, mengarah pada terjadinya penurunan fungsi ginjal.
Gangguan penyembuhan luka serta angiogenesis
Pemberian sirolimus memunculkan efek antipembelahan sel, yang
akan menyebabkan lambannya penyembuhan lika (terjadi penurunan
pembelahan

jaringan

penurunan

pembentukan

darah

baru).

Konsekuensinya, terjadi peningkatan komplikasi pembedahan (luka tidak


sembuh dan mudah infeksi). Juga peningkatan pembentukan

linfokel,

sarian mulut (tipe ulserasi) yang nyeri. Efek lainnya adlah ruam pada kulit,
khususnya jerawat dan alergi, gangguan lemak (trigliserida meningkat),
penurunan trombosit, bengkak kaki, nyeri sendi, dan teratogenik.

25

Karenanya, pada masa kehamilan atau menyususi, obat ini sebaliknya


dihindari.
Pneumonia interstisasialt
Pneumonia inerstisial yang mengancam nyawa merupakan efek
merugikan, namun untungnya jarang terjadi(hanya 1 hingga 3% pasien
saja). Gemabaran klinisannya berupa bentuk, sesak napas, serta rasa lelah
dengan atau tampa disertai drmam. Foto dada seringkali menunjukkan
gambaran paru yang diselubungi awam. Kondisi ini sulit dibedakan
dengan pneumonia pneunnocystif carinii, sitomegalovirus, dan kelainan
limfoproliferatif

post-transplantai,

sehingga

membutuhkan

evaluasi

dengan Ct scen, bronkoskopi dengan lavage bronkoalveolar. Lkondisi ini


akan membaik dalam 1 hingga 3 minggu setelah sirolimus dihentikan.
Kapan menggunakan sirolimus?
Sirolimus dlam praktik klinis dikenal sebagai alternative dari
azathioprine/mofetil mikifrnolat, dalam terapi triplet berbaris siklosporin.
Walaupun efektif mencegah penolakan akut,namun bias terjadi penurunan
GFR pada terapi kombinasi siklosporin-sirolimus, di dinding dengan
siklosporin-azathaioprine/mofetil mikofenolat. Ini barang kali disebabkan
oleh pengaruh dari siolisum dalam meningkatkan nefroktoksisitas dari
siklosporin. Kombinasi siklosporin dengan sirolimus jarang digunakan.
Rendahnya nefrotoksisitas, membuat sirolimus menjadi alternative untuk
inhibitor kalsineurin dalam immunosupresi primer.
Immunosupresi pemeliharaan
Berawal denganimmunosupresi primer, terdapat beberapa alas an
untuk mempertimbangkan penggunaan sirolimus sebagai terapi alternative
dari inhibitor calsineurin dalam immunosupria pemeliharaan (lebihdari 1
tahun

setelah

transplantasi).

Diantaranya

alasan

itu

adalah

penurunannefrontoksisitas, penurunan kejadian keganasan. Karena terjadi


penurunan angka penolakan akut dalam hitungan bulan atau tahun setelah
transplantasi, sirolimus boleh digunakan pada dosis yang lebih rendah,
sehingga akan meperbaiki tolerabilias.
Azathioprine

26

Azathioprine telah digunakan sebagai agen imunnosupresi selama


lebih dari 40 tahun, baik untuk transplantasi organ maupun terapi penyakit
autoimun.
Mekanisme Kerja
Azathioprine merupakan bakal obat yang belum aktif. Setelah
diserap, ia akan menjalani proses metabolisme yang ekstensif di dalam
sebagian besar tipe sel. Metabolit aktifnya adalah 6-thioguanin (6-TG),
suatu analog purin yang digabungkan ke dalam suatu DNA replikasi, yang
akan menghambat pembentukan DNA, transkripsi RNA serta aktifitas
enzim yang terlibat dalam pembentukan purin. Juga menghambat
pembelahan seluruh sel, terutama pada limfosit yang membelah secara
cepat.
Farmakologi
Sedianya dalam bentuk tablet 25 dan 50mg. Bioavailibilitas antara
30% sampai 50% setelah dosis oral.
Metabolisme
Azathioprine dijadikan zat yang tidak aktif lagi oleh enzim tubuh
yang disebut xantim-oksidase (XO), serta thiopurin metil transferase
(TPMT). Allopurinol menghambat aktifitas dari enzim diatas, yang
berakibat terjadinya penumpukan azathioprine yang aktif. Maka,
pemberian allopurinol bersamaan azathioprine akan memperberat sumsum
tulang (mielosupresi),

dan terkadang bisa fatal. Dosis permulaan

azathioprine sekitar 1,5 hingga 2 mg/kg setiap hari. Tidak diperlukan


penyesuaian dosis untuk fungsi ginjal kecuali dengan allopurinol (obat
untuk kelebihan asam urat).
Monitoring Terapeutik
Penggunaan azathioprine perlu monitoring hitung darah lengkap.
Awalnya setiap minggu, kemudian ssetiap bulan. Penurunan dosis
azathiprine dilakukan apabila total hitung sel darah putih kurang dari 4,0 x
109/L, dan dihentikan sementara jika terjadi neutropil kurang dari dua x
109/L. Pada pasien yang stabil menggunakan azathioprine jangka panjang,

27

monitoring hitung darah lengkap (serta pemeriksaan fungsi hati) cukup 3


bulan.
Efek samping azathioprine
Azathioprine ini jarang menimbulkan efek negatif. Sedangkan efek
sampingnya adalah:

Penekanan sumsum tulang (mielosupresa). Lakukan monitoring hitung


darah

lengkap

seperti

yang

disebutkan

diatas

(azathioprine

selalumengakibatkan peningkatan CMF)

Hepatitis atau kolestatis, maka perlu pemeriksaan fungsi hati.

Kadang pankreatitis.

Peningkatan infeksi serta keganasan.

Asam Mikofenolat
Mikofenolat mofetil (MMF atau cellcept) pertama kali dikenal
tahun 1995. Obat ini dimetabolisir dengan cepat menjadi bahan aktifnya,
asam mikofenolat (MPA). mPA juga tersedia dalam bentuk garam
sodiumnya (myfortic). Kedua produk tersebut sebanding kemanjurannya.
Mekanisme kerja
Asam mikofenolat merupakan suatu inhibitor non kompetitif dari
enzim inosin monofosfat dehydrogenase (IMPDH). IMPDH merupakan
enzim pembatas dalam sintesis dari nukleotida. Sebagai konsekuensinya,
inhibisi IMPDH akan mendeplesi guanine selular serta mengeblok sintetis
DNA. Inhibisi poliferasi limfosit oleh asam mikofenolat (berkebalikan
dengan azathioprine yang bersifat non selektif). Asam mikofenolat
menurunkan pembelahan limfosit B dan T, menekan produksi antiboti,
serta membatasi aktifitas monosit untuk menekan inflamasi.
Farmakologi
Mikofenolat mofetil atau asam mikofenolat tidak bersifat
nefrotoksik. Asam mikofenolat dinetralisir menjadi zat yang tidak aktif
oleh enzim di hepar. Zat tidak aktif dari asam mikofenolat yang
dikeluarkan ke saluran cerna, diproses balik menjadi asam mikofenolat
oleh flora normal usus serta diserap kembali yang mengarah pada

28

konsentrasi asam mikofenolat darah, mencapai puncak kedua setelah 4


hingga 6 jam sejak pemberian pertama.
Peningkatan konsentrasi asam mikofenolat di dalam pencernaan
akan mengarah pada terjadinya efek samping gastrointestinal (saluran
cerna). Pemberian siklusporin akan mengarah pada terjadinya penurunan
resirkulasi entrohepatik dari MPAG, yang akan menyebabkan penurunan
pajanan asam mikofenolat (tidak adanya puncak kedua). Akibatnya,
dibutuhkan dosis mikofenolat mofetil serta asam mikofenolat yang lebih
tinggi, jika dibandingkan dengan pasien yang diberi takrolimus/ sirolimus.
Asam mikofenolat yang terdapat dalam sirkulasi terikat dengan protein
secara intensif, serta metabolisme MPA yang dipengaruhi oleh faktor yang
mengubah fraksi bebas dari asam mikofenolat, termasuk fungsi ginjal,
asidosis dan konsentrasi albumin serum. Banyaknya variabel yang
mungkin mempengaruhi pajanan asam mikofenolat, menunjukkan bahwa
asam mikofenolat terapeutik mungkin dapat menguntungkan.
Dosis mikofenolat kofetil/ asam mikofenolat
Paisen yang diterapi dengan siklosporin, mikofenolat mofetil hendaknya
dimulai dengan dosis 1000mg, dua kali sehari. Dosis mokofenolat mofetil
yang lebih tinggi (1500mg, dua kali sehari) mungkin diperlukan bagi
banyak pasien untuk mencapai pajanan asam mikofenolat terapeutik yang
dapat diandalkan, khususnya dalam periode awal setelah transplantasi.
Pasien yang diterapi dengan takrolimus (dan sirolimus), pajanan asam
mikofenolat lebih tinggi dibandingkan dengan siklosporin (baik takrolimus
maupun sirolimus sama sama tidak menginhibisi resirkulasi entrohepatik
asam mikofenolat). Bagi pasien yang diterapi dengan takrolimus, dosis
harian yang sebesar 1000mg dua kali sehari dapat diandalkan untuk
mencapai pajanan asam mikofenolat terapeutik. Sebagai konsekuensinya,
pemberian dosis mikofenolat mofetil yang baik dimulai dengan pemberian
mikofenolat mofetil pada 1000mg, dua kali sehari. Apabila kadar
takrolimus mencapai nilai terapeutik, turunkan dosis mikofenolat mofetil
menjadi 750mg, dua kali sehari. Pada pasien yang stabil, penurunan

29

mikofenolat mofetil menjadi 500mg, dua kali sehari dalam 6 hingga 12


bulan setelah transplantasi.
Dosis

Mikofenolat

Mofetil

atau

Asam

Nikofenolat

dalam

Kenyataan
Dosis maksimal ditentukan melalui tolerabilitas gastrointestinal
serta penurunan hitung sel darah putih. Efek samping gastrointestinal:
1. Terjadi diare pada 30% pasien
2. Mual, rasa kembung atau dyspepsia kepada sekitar 20% pasien.
Terjadinya efek samping saluran pencernaan. Tolerabilitas saluran
pencernaan juga dapat ditingkatkan melalui pemberian dosis lebih
kecil secara lebih sering (mikofenolat mofetil 1000 mg dua kali
sehari dijadikan 500 mg empat kali sehari).
Efek samping lainnya adalah penekanan sum-sum tulang
(berupa penurunan hemoglobin, penurunan sel darah putih serta
penurunan trombosit). Asam mikofenolat bersifat teratogenik sehingga
pasien hamil dan menyusui perlu menghindari mikofenolat mogetil
atau asam mikofenolat.
Kortikosteroid
Bentuk yang paling banyak digunakan prednisone dan
methylpredprednisolone sama seperti azathioprine, kortikosteroid
digunakan bagi pasien berusia diatas 40 tahun. Hingga sekarang
kortikosteroid dianggap sebagai obat yang tidak pernah tergantikan.
Mekanisme kerjanya meliputi:
1. Predisolone diserap konsentrasi tertinggi dalam adrah tercapi pada
satu hingga dua jam dan bertahan selama 24 jam.
2. Di inti sel limfosit T, prednisolone berikatan dengan pasangannya,
sehingga sel tersebut kehilangan daya reaktifnya, menurun
jumlahnya di lokasi ginjal cangkok.
3. Steroid dosis tinggi (500 mg metilprenisolon intravena) digunakan
untuk mengobati penolakan akut, sehingga sel limfosit T hancur.
4. Kortikosteroid membuat jaringan ginjal cangkok memungkinkan
lebih diterima.
Farmakologi

30

1. Dosis dan jadwal pemberian bervariasi, berdasar pemakaian bersama


obat cangkok lain.
2. Tablet prednisone tersedia 5 mg.
3. Metilprednisolon tersedia dalam bentuk suntikan sebesar 125 mg.
4. Metabolismenya dilakukan melalui enzim-enzim di hati, yang
dipengaruhi oleh banyak obat lainnya, serta bervariasi antar penderita.
5. Walaupun demikian, kortikosteroid seringkali diberikan dalam dosis
yang tetap dan tanpa monitoring terapeutik.
Dosis
1. Metilprednisolon injeksi selama 30 menit sebesar 500 mg untuk pasien
dewasa digunakan untuk terapi penolakan akut.
2. Tablet prednisolone bervariasi sangat luas dengan regimen dosis rendah
sebesar 20 mg sekali sehari, selama 4 minggu setelah transplantasi
kemudian diturunkan sebesar 2,5 mg setiap satu minggu hingga
akhirnya dosis pemeliharaan 5 mg sekali sehari.
3. Kemungkinan pertimbangan penghentian secara penuh.
Efek Negatif Steroid
1. Peningkatan resiko kardiovaskuler
2. Osteoporosis
3. Luka lambung
Catatan tentang Pemakaian Obat Imunosupresif
1. Saat ginjal cangkok ditanamkan saat itulah ada pertemuan antara organ
ginjal cangkok dengan tubuh penerima dan muncul reaksi penolakan
akut tubuh hingga ginjal cangkok bisa rusak. Oleh karean itu obat
siklosporin diberikan untuk pencegahan efektif sebelum ginjal
cangkok ditolak.
2. Selain obat cyclosporin, obat seperti takrolimus, mikofenolat
mofetil/asam serta penggunaan agen lain bisa sebagai obat induksi
untuk oenurunan lebih lanjut dari penolakan akut, meskipun daya
hidup dari ginjal cangkok maupun pasiennya dalam jangka panjang
masih dalam ketidakpastian.
3. Toksisitas dari obat cangkok immunosupresi yang mendapat perhatian
khusus, antara lain:
a. Nefrotoksisitas inhibitor kalsineriun.
b. Peningkatan risiko kardiovaskular
c. Perkembangan keganasan.

31

Protokol Obat Immunosupresi Modern


Protokol obat cangkoo immunodupresif yang efektif harus terdiri
atas :
1. Terapi primer yang berguna untuk memberikan pencegahan efektif
terhadap reaksi penolakan akut.
2. Terapi pemeliharaan yang cukup berguna untuk mencegah kerusakan
ginjal cangkok namun tetap membatasi toksisitas immunosupresif.
Resiko Induksi Antibodi
Resikonya terbatas pada efek negatif yang disebabkan oleh
antibodi pendeplesi sel T. Antibodi pendelpesi sel limfosit T makin banyak
digunakan untuk kondisi:
1. Pasien dengan resiko imunologis yang tinggi.
2. Transplasnt yang tidak kompatibel antibodi HLA nya.
3. Imunosupresi bebas steroid.
Takrolimus Sebagai Pengganti Siklosporin
Penurunan

penolakan

akut

dengan

pemberian

takrolimus.

Pemakaian takrolimus berkaitan dengan penurunan penolakan akut yang


berat dan penurunan pemakain terapi aantibodi guna mengobati penolakan
akut. Pemberian takrolimus dimaksudkan untuk menurunkan resiko
terjadinya kematian ginjal cangkok secara cepat, 50% lebih manjur
ddibandingkan dengan siklosporin.
Efek samping takrolimus serta siklosporin berbeda diantaranya:
1. Siklosporin memilik efek samping kosmetik, peningkatan tekanan
darah yang lebih jau serta gout.
2. Sedang takrolimus memili efek samping tremor, gangguan saluran
pencernaan serta peningkatan diabetes onset baru pasca transplantasi
Kelemahan takrolimus, yaitu menyebabkan peningkatan diabetes onset
baru setelah transplantasi (10% hingga 20%, jika dibandingkan 5% pada
penggunaan siklosporin). Jika terdapat risiko peningkatan diabetes,
sebaiknya menggunakan siklosporin saja.
Apakah inhibitor kalsine urin tidak tergantikan? Imunosupresi primer
Inhibitor

kalsine

urin

sebagai

immunosupresi

primer

banyak

digunakan, yaitu sebesar 95% dari total transplantasi ginjal yang


dilakukan. Saat ini keunggulan immunosupresi primer berbasis inhibitor
32

kalsine urin dalam mencegah reaksi penolakan akut, melebihi efek


negatifnya.
Immunosupresi pemeliharaan
Menghilangkan

pemakaian

inhibitor

kalsineurin

dari

terapi

immunosupresi pemeliharaan dalam jangka panjang, berdampak positif


dalam penurunan nefrotoksisitas, risiko kardiovaskular.
Mikofenolatmofetil/asammikofenolat sebagai pengganti azathioprine
Penurunan

penolakan

Mikofenolatmofetil/asammikofenolat.

akut

dengan

Mikofenolatmofetil

sebagai

bagian dari terapi triplet pengganti azathioprine (siklosporin, azathioprine


serta kortikosteroid) sudahterbukti. Penggunaan dosis 2000 mg sampai
3000 mg memiliki keefektifan yang sama. Tetapi, dengan efek samping
saluran cerna yang lebih besar pada kelompok yang diberikan dosis yang
lebih tinggi.
Konsekuensi

penggunaan

Mikofenolatmofetil/asammikofenolat

adalah penghindaran terhadap steroid, meminimalisasi penggunaan


inhibitor kalsineurin. Singkatnya, Mikofenolatmofetil/asam mikofenolat
sebagai anti metabolite pilihan dalam protokol-protokol immunosupresi
modern.
Kelemahan Mikofenolatmofetil/asam mikofenolat, biayanya mahal.
Terapi dengan Mikofenolatmofetil/asam mikofenolat membutuhkan biaya
sekitar 10 kali lipat dibanding menggunakan

zathioprine. Soal

kemanjuran, tidak semua studi menunjukkan kelebihan kehebatan


Mikofenolatmofetil atas azathioprine. Adapun dalama spektolerabilitas,
azathioprine ditoleransi dengan baik. Selain itu, efek samping saluran
pencernaan pada pemberian mikofenolatmofetil sering kali memerlukan
pengurangan dosis, sehingga menurunkan kemanjuran.
Azathioprine masih digunakan secara umum dalam protokolprotokol standar immunosupresi. Mikofenolatmofetil/asam mikofenolat
digunakan dalam menghindari penggunaan steroid, minimalisasi inhibitor
kalsineurin.
Steroid atau tidak steroid?

33

Yang sering dikeluhkan oleh pasien adalah efek negative dari terapi
steroid dalam jangk apanjang. Upaya untuk mengurangi penggunaan
steroid secara perlahan dari pasien yang telah stabil, kurang membawa
hasil yang menggembirakan. Penggunaan induksi antibody serta
Mikofenolatmofetil/asam

mikofenolat

bertujuan

untuk

menghindari

pemakaian steroid. Setidaknya, hanya setelah periode terapi yang pendek


(khususnya 1 minggu hingga penghentian steroid awal).
Penghentian steroid secarapelan
Lambatnya penghentian steroid dihubungkan dengan peningkatan
kecepatan menurunnya GFR, dan penurunan daya hidup ginjal cangkok.
Penghindaran steroid ataupenghentiancepat
Dengan obat cangkok tanpa steroid, angka penolakan akutnya
berkisar 15%-30% (khususnya di Amerika Serikat, dimana 34% pasien
tidak memperoleh terapi pemeliharaan steroid setelah diperbolehkan
pulang). Obat cangkok tanpa steroid mengakibatkan penurunan berat
badan, perbaikan pada tekanan darah serta kadar lipid. Begitu pula
penurunan keparahan diabetes (dosis insulin dikurangi dalam kelompok
bebas steroid).
Praktik saat ini
Obat cangkok tanpa kombinasi steroid sangat praktis, contohnya
takrolimus

kombinasi

mikofenolatmofetil

serta

induksi

antibody.

Penghentian steroid awal lebih dipilih dibandingkan penghentian lambat.


Sedangkan efek jangka panjang dari obat cangkok tanpa kortikosteroid
masih belum jelas. Meski demikian, masih dikhawatirkan terjadinya
peningkatan fibrosis interstisial serta atrofi tubular.
Risiko imunologik
Pasien yang berisiko tinggi terkena penolakan akut, sebaiknya di
identifikasi. Kriteria risiko imunologik yang tinggi adalah :
1. Kematian ginjal cangkok sebelumnya yang terkait penolakan akut.
2. Status kecocokan sidik jari jaringan (HLA-nya) buruk, terutama
ketidakcocokan pada sidik jari jaringan (tipe HLA DR)
3. Transplantasi donor hidup tanpa adanya hubungan keluarga.
4. Pasien yang tersensitisasi.
5. Pasien dengan kecocokan saling donor yang pernah positif, namun
sekarang negatif.

34

(Santoso, Djoko. 2011. Siapkan Diri Anda untuk Cangkok Ginjal.


Surabaya: Jaring Pena.)

DAFTAR PUSTAKA
Chang, E, Daly, J, & Elliot, Doug. 2010. Patofiiologi Aplikasi pada Praktik
Keperawatan. Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Hackley, D. C. (1996). Handbook for Brunner and Suddath's Textbook of
Medical-Surgical Nursing. Philadelphia: Lippincott-Raven Publisher.
Muhammad, Asadi. 2012. Serba Serbi Gagal Ginjal. Yogyakarta: DIVA Press.
Santoso, Djoko. 2011. Siapkan Diri Anda untuk Cangkok Ginjal. Surabaya: Jaring
Pena.
Syamsudin. 2011. Farmakoterapi Kardiovaskular dan Renal. Jakarta: Salemba
Medika.
Tambayong, Jan. 2014. Farmakologi Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Williams, L & Walkins. 2013. Buku Saku Patofisiologi Menjadi Sangat Mudah.
Jakarta: EGC.

35

Anda mungkin juga menyukai