DELVITA
RAHMAD S. MULUNGAN
MELINDA SARI
NOLITA
IMAL WAHYU
FIRKA WISDIATI
L 131 15 006
L 131 15 019
L 131 15 039
L 131 15 040
L 131 15
L 131
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS TADULAKO
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di tahap awal proses penjajahan oleh bangsa Eropa, hak-hak penguasahan
berbasis masyarkat sudah diakui, paling tidak secara teoritis. Landasan untuk ini
diletakkan oleh Santo Thomas Aguinas dua abad sebelum penjajahan dimulai.
Aquinas berpendapat bahwa peraturan temporal muncul dari alam yang mana
perintah-perintahnya berlaku universal dan beliau percaya bahwa hukum alam
berlaku baik bagi orang Kristen maupon non-Kristen. Namun di bawah prinsip-
prinsip
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengakuan Hak-Hak Perdata Yang Berbasis Masyarakat
daya
alam
yang
berbasis
masyarakat,dan
semakin
banyak
penghuni
hutan
pada
pelestarian
dan
pengelolaan
yang
yang
berakal,
tidak
peduli
apa
statusnya
atau
tingkat
diterapkan dengan membabibuta pada semua area yang termasuk didalam sistem
pengelolahan hutan berbasis masyarakat. Pajak kekyaan dapat dibenarkan atas
tanah pertanian tetapi tidak pada area hutan yang dikelola secara berkelanjutan,
karena masyarakat sudah memberikan jasa besar sebanyak jika tidak lebih dari
pembayaran pajak. Di sisi lain, pajak atas penjualan hasil hutan, termasuk kayu,
boleh jadi memang tepat.
Hak-hak penguasaan milik perdata berbasis masyrakat tidak seharusnya
dipromosikan berdasarkan asumsi naif bahwa masyarakat selalu mengambil
keputusan ekologi yang tepat. Memang perjanjian-perjanjian hak pakai seperti
sertifikat, hak sewa, dan instrumen lainnya yang membatasi penguasan dapat
diberlakukan dalam keadaan tertentu, tetapi instrumen ini nampaknya tidak dapat
dipakai dengan efektif untuk mencapai tujuan keberlanjutan jangka panjang
karena beberapa pemegang hak sewa harus lebih banyak menanamkan modalnya
yang dibutuhkan untuk menjamin keuntungan jangka panjang.
Seperti terbukti di Papua Nugini, pengakuan hak-hak swasta berbasis
masyarakat juga tidak berarti bahwa kepentingan pemerintah atau sektor komersi
tidak boleh terlibat didalam pengelolaan sumber daya alam. Tetapi hal ini lebih
menunjukkan bahwa komitmen akan lebih membuat masyarakat lokal, yang
membantu melindungi dan mengembangkan sumber daya hutan secara
berkelanjutan, untuk sungguh-sungguh berpartisipasi dan berkontribusi dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan pengelolahan sumber daya
alam. Sederhananya, hak-hak swasta berbasis masyarakat cenderung untuk lebih
menyediaakan insentif jangka panjang dan menjadikannya lebih kuat tehhadap
penyerobotan oleh kepentingan dari luar, dari pada hak sewa didalam kawasan
hutan negara.
Satu kelemahan patut disebut disini. Kebijakan-kebijakan yang mengakui
hak-hak masyarkat bsa saja dibuat berdasarkan pola-pola alokasi sumber daya dan
hubungan kekuasaan yang tidak merata yang berbasis masyarakat. Di India,
contohnya, perjanjian PHB lebih menyingkirkan kelompok perempuan secara
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebetuhan kelompok masyrakat yang bergantung pada sumber daya alam
untuk mendpatkan informasi yang lebih baik, tentu saja bukan merupakan hal
yang unik di Papua Nugini. Yang menjadikannya unik adalah masyarakat yang
bergantung pada sumber daya hutan ini paling tidak dapat mengharapkan untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolahan sumber daya
alam yang akan membawa dampak pada mereka. Dalam hal ini,papua nugini dan
negara-negara lain di kepulauan fasifik merupakan suatu anomali dalam
paradigmaa global. Diseluru asia dan kebanyakan negara maju masyarakat hutan
biasanya dipandang sebagi penghuni liar diatas tanah milik negara ,bahkan ketika
mereka mendami (teritori) ada.
3.1 Saran
Dapat memberikan informasi tentang legitimasi hak-hak tradisisonal
berbasis masyrakat atau secara permanen mengalihkan hak-hak pengambilan
keputsan pengelolaan seacara lokal,maka kebanyakan penghuni hutan ini tunggal
memiliki sedikat pilihan, kecuali mereka harus berbuat yang tebaik.