Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SOSIOLOGI KEHUTANAN

PENGAKUANHAK-HAK PERDATA YANG BERBASIS


MASYARAKAT

DELVITA
RAHMAD S. MULUNGAN
MELINDA SARI
NOLITA
IMAL WAHYU
FIRKA WISDIATI

L 131 15 006
L 131 15 019
L 131 15 039
L 131 15 040
L 131 15
L 131

JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS TADULAKO

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di tahap awal proses penjajahan oleh bangsa Eropa, hak-hak penguasahan
berbasis masyarkat sudah diakui, paling tidak secara teoritis. Landasan untuk ini
diletakkan oleh Santo Thomas Aguinas dua abad sebelum penjajahan dimulai.
Aquinas berpendapat bahwa peraturan temporal muncul dari alam yang mana
perintah-perintahnya berlaku universal dan beliau percaya bahwa hukum alam
berlaku baik bagi orang Kristen maupon non-Kristen. Namun di bawah prinsip-

prinsip

hukum Romawi (yang mejadi dasar bagi kekuasan menjajah dalam

hukum nasional ), kepemilikan dan kekuasaan atau ewenangan (dominion) sangat


jaang di bedakan dari kedaulatan (sovereign) dan hak- hak imperial. Baik menurut
aliran romawi ataupun thomas, hak-hak ini dianggap berasal dari hukum alam.
Pada tahun 1975 mahkamah internasiaonal menolak doktrin teritorium
nullius ini pada kasus sahara barat. Kasus yang menyolok ini mengakui
keberadaan dan legitimasi hak- hak masyarakat pribumi di bekas koloni Spanyol
di sahara barat. Mahkamah internasional menyimpulkan, pada waktu penjajahan
sekitar pertengahan tahun 1980- an, sahar barat di huni oleh sekelompok
masyarakat yang meskipun nomadik, tetapi mereka sangat terorganisir secara
sosial dan politik di bawah pemimpin pemimpin yang kompeten dalam
mewakili kelompok ini. Dengan mengakui kesahihan dari struktur pemerintahan
yang berbasis pada proses dan kelembagaan lokal yang non barat, kasus sahara
barat ini mencerminkan perubahan fundamental dalam hukum internasional. Tentu
saja, sebelum tahun 1975, banyak sistem- sistem pemerintahan tradisional yang
kompeten yang sudah di abaikan dan di hancurkan. Bagaimanapun, keputusan ini
telah melekatkan landasan moderen untuk mengakui hak dan lembaga adat secara
legal yang tidak mengambil legitimasinya dari sistem negara modern.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pengakuan Hak-Hak Perdata Yang Berbasis Masyarakat ?
2. Bagaimana Perbedaan Antara Pengakuan oleh Negara dan Pemberian oleh
Negara ?
3. Bagaimana Hak-Hak Pedata Berbasis Masyarakat ?
1.3 Tujuan
1. Agar mahasiswa mengetahui Pengakuan Hak-Hak Perdata Yang Berbasis
Masyarakat

2. Agar mahasiswa mengetahui Perbedaan Antara Pengakuan oleh Negara dan


Pemberian oleh Negara
3. Agar mahasiswa mengetahui Hak-Hak Pedata Berbasis Masyarakat
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi
tentang legitimasi hak-hak tradisisonal berbasis masyrakat atau secara permanen
mengalihkan hak-hak pengambilan keputsan pengelolaan seacara lokal,maka
kebanyakan penghuni hutan ini tunggal memiliki sedikat pilihan, kecuali mereka
harus berbuat yang tebaik.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengakuan Hak-Hak Perdata Yang Berbasis Masyarakat

Kebetuhan kelompok masyrakat yang bergantung pada sumber daya alam


untuk mendpatkan informasi yang lebih baik, tentu saja bukan merupakan hal
yang unik di Papua Nugini. Yang menjadikannya unik adalah masyarakat yang
bergantung pada sumber daya hutan ini paling tidak dapat mengharapkan untuk

berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolahan sumber daya


alam yang akan membawa dampak pada mereka. Dalam hal ini,papua nugini dan
negara-negara lain di kepulauan fasifik merupakan suatu anomali dalam
paradigmaa global. Diseluru asia dan kebanyakan negara maju masyarakat hutan
biasanya dipandang sebagi penghuni liar diatas tanah milik negara ,bahkan ketika
mereka mendami (teritori) ada.
Meskipun muncul retorika baru yang lebih berpihak pada pengelolangaan
sumber

daya

alam

yang

berbasis

masyarakat,dan

semakin

banyak

progaram,proyek bahkan kadang juga kebijakan dan undang-undang yang


berkaitan dengan semangat ini hanyabeberapa negara saja yang mengakui secara
luas hak-hak penguasa sumber daya alam berabasis masyarakat dan kontribusi
masayrakat

penghuni

hutan

pada

pelestarian

dan

pengelolaan

yang

berkelanjutan.begitu pula, hanya beberapa negara yang dengan serius melibatkan


masyarakat lokal dalam pengambilankeputusan yang menyangkut konservasi dan
pengelolaan sumber daya setempat. Meskipun perlindungan secar hukum
internasional semakin jelas pengruhnya masih sedikit.
Dari sudut pandang masayarakat penghuni hutan di asia pemerintahnya
sudah banyak memperoleh keuntungan berlimpah Secara hukum. Daalam kondisi
seperti ini, hibah dan konsesi-konsesi legal lainnya dari pemerointah barangkali
akan meropakan suatu hal yanag paling diharapkan oleh sebagaian besar
masyarakat hutan dalam waktu dekat. Jika pemerintah mengakui legitimasi hakhak tradisisonal berbasis masyrakat atau secara permanen mengalihkan hak-hak
pengambilan keputsan pengelolaan seacara lokal,maka kebanyakan penghuni
hutan ini tunggal memiliki sedikat pilihan, kecuali mereka harus berbuat yang
tebaik.dari program-program yang ada serta mengupayakan perbaikannya.
Tentu saja, hak-hak dan pengelolahan hutan berbasis masyarakat sering kali
eksis bahkan ketika status legalnyatidak didukung oleh pemerintah. Di negaranegara Asia yang di bahas di buku ini, mandat pemerintah untuk mengelolah dan
mengontrol sumber daya hutan jauh melebihi kapasitas kelembagaan dan

logistiknya. Akibatnya, puluhan juta masyarakat, banyak sudah menghuni


tanahnya selama beberapa generasi, mengelolah dan menduduki areh hutan dan
sekarang di anggap memiliki dan di kelolah oleh pemerintahnya. Biarpun sedikit,
tetapi masih ada yang mengelolah sumber daya alam yang berkelanjutan.
Hukum-hukum dan kebijakan yang mengabaikan hak-hak dan sistem
pengelolahaan yang ada, serta menpromosikan ketidak pastian penguasaan
masyaraka hutan, telah mengabaikan satu hal penting :
Manusia

yang

berakal,

tidak

peduli

apa

statusnya

atau

tingkat

pendidikannya, dampaknya tidak dilibatkan baik tenaga kerja dan sumber


manusianya dalam pengelolahan yang berkelanjutan, tanpa jaminan bahwa
mereka dan keturunannya akan memperoleh bagian keuntunganya. Bukti-bukti
emperis baik dari negara-negara yang dibahas dalam buku ini maupu dari tempat
lain menunjukan bahwa masyarakat desa meresa skeptis pada program-program
pemerintah yang hanya memberikan kepada mereka penguasaan terbatas atas
sumber daya hutan setempat dan sumber-sumber daya alam lainnya.
Di mana masyarakat lokal mempraktekan pengelolaan yang berkelanjuta,
atau paling tidak mendapatkan apresiasinya, dan meningkatkan pengakuan dari
pemerintah akan hak-hak kekayaan mereka berbasis masyarakat, biasanya ada
komponen-komponen

dasar untuk inisiatif pengelolaan yang berhasil antara

masyarakat dan pemerintah. Jika kerjasama yang saling menguntungkan dan


perjanjiaan yang mendukung itu tercapai, rintangan dalam melindungi sumbersumber daya alam di tangan masyarakat akan meningkatkat. Suatu perjanjian
dapat memberikan alternatif yang murah untuk pendekatan pemerintah dalam
pengelolahan yang biasanya gagal. Kecuali kemungkinan di India, Nepal, dan
Philipina skenario berbasis masyarakat

ini nampaknya tidak akan segera

menyebar di Asia Selatan dan Tenggara.


2.2 Perbedaan Antara Pengakuan oleh Negara dan Pemberian oleh Negar
Meskipun pemerintah memandang tanah dan sumber daya hutan sebagai
milik umum, masyarakat yang bergantung pada sumber daya hutan sering

menganggapnya sebagai milik perdata . Apakah hak-hak penguasaan dianggap


sebagai milik perdata atau umum sangat tergantungpada sudut pandang dari para
pihak yang berkepentingan . Di negara-negara Asia yang dibahas dalam buku ini,
pemerintah menganggap sejumlah kawasan hutan yang sangat syarakat sluas
[termasuk yang sudah gundul tetapi masih di peruntukan hutan], beserta air dan
sumber daya mineral di dalamnya sebagai milik umum . Sebaliknya,
masyarakat lokal yang bergantung dan hidup di dekat kawasan ini menganggap
sumber daya tersebut sebagai milik perdata dan masyarakat hutan yang sudah
lebih mapan percaya bahwa, apakah mereka memilikinya atau tidak, sumber daya
alam itu kepunyaan mereka. Dalam hal ini, ada kesenjangan yang sangat besar
antara apa yang dikatakan oleh hukum nasional dan apa yang sesunggunya terjadi.
Kepastian penguasaan yang dibutuhkan untuk pengelolaan hutan berbasis
masyarakat yang efektif tidak mensyaratkan bahwa harus ada hak-hak mengenai
status yang terdokumentasikan dan mengadung sanksi pemerintah. Yang lebih
penting adalah pemerintah memenuhi tangung jawabnya untuk membantu
masyarakat hutan dalam mempertahankan dan menarik keuntungan dari sumber
daya hutan, entah itu milik umum atau perdata, yang dikelolah secara
berkelanjutan. Hak-hak atas kekyaan bukanlah dan juga tidak perlu menjadi
bagian yang tergantung didalam hak pemberian pemerintah atau dokumentasi
formal. Hak-hak kekayaan yang berbasis masyarakat secara definisi berasal dari
masyarakat.dengan demikian untuk banyak kasus akan lebih tepat bagi
pemerintah untuk mengakui hak-hak berbasis masyarakat yang sudah ada dari
pada menghibakan hak hak berdasarkan klaim atau kepemilikan dari pemerintah.
Di beberapa daerah di Flipina pemerintah sedang mempersiapkan untuk
menentapkan batas-batas wilayah yang dihuni oleh masyarakat asli yang
menyetujui ide untuk menerbitkan bentuk tentatifdari pengakuan, yaitu sertifikat
sebagai bukti kepemilikan atas wilayah warisan leluhur pada masyrakat ini. Jika
hal ini terjadi, pengakuan ini akn mempromosikan suatu kemitraan dan menolong
masyarakat untuk memelihara dan mengadaptasikan hak-hak berbasis masyarakat
di dalam wilyah mereka yang mereka tempati sebagai milik swasta. Namun

demikian, pemerintah Filipina nampaknya masih terus menganggap bahwa tanah


dan hutan seharusnya milik umum.
2.3 Hak-Hak Perdata Berbasis Masyarakat
Lporan ini menyimpulkan bahwa program-program kehutanan masyarakat
yang disponsori pemerintah berdasarkan pemberian hak dari pemerintah yang
dapat dibatalkan sewaktu-waktu tidak memberikan insentif yang cukup untuk
mengelolah sumber daya hutan berbasis masyarakat yang berkelanjutan. Cara
terbaik untuk menyediakan dan memastikan insentif ini adalah untuk menbuat
pejabat dan instansi pemerintah yang tepat untuk mengakui hak-hak berbasis
masyarakat yang ada dan menganggab sebagai hak perdata. Dengan demikian
pemegang hak seperti ini akan mendapatkan perlindungan yang sama seperti
pemegang hak kekayaan swasta lainnya. Pemerintah dapat menunjukan komitmen
untuk melakukan ini melalui penetapan kebijakan dan undang-undang nasional
sebelum kegiatan apapun yang dilakukan. Tetapi batas-batas tata ruang dari sistem
pengelolaan berbasis masyarakat harus ditetapka secepatnya.
Disamping memberikan jaminan yang lebih besar daripa program yang ada
sekarang bahwa masyrakat akan mendapatkan bagian keuntungan dari waktu dan
tenaga yang mereka investasikan pengakuan akan hak-hak perdata akan berbasis
masyarakat akan memberikan sumbangan yang penting bagi kerjasama yang baik
antara masyarakat lokal dan pemerintah. Hal ini juga akan memberikan masyrakat
kewenangaggan yang diperkuat oleh sanksi pemerintah untuk mencegah
perpindahan penduduk ke dalam kawasan hutan mereka. Bantuan teknis untuk
mengembangkan kapasitas organisasi dan dukungan terhadap pengelolahan yang
berkelanjutan, serta program-program kredit rakyat yang diperluas, akan
melengkapi tindakan di atas.
Pengakuan akan hak-hak perdata berbasis masyarakat dapat membantu
memodifikasi dan mengimbangkan dengan lebih baik hubungan antara
pemerintah dan masyarakat lokal. Di Papua Nugini, sudah ada keseimbangan
yang cukup mantap meskipun terancam. Sebagai pemegang hak perdata,

masyarkat secara hukum dapat mewajibkan pemerintahnya untuk berkonsultasi


dulu dengan mereka sebelum memulai program konservasi atau inisiatif
pembangunan guna mencapai kerjasama, dan juga untuk memberitahukan dan
memberikan kompensasi sebelum mengalihkan hak-hak untuk tujua-tujuan
umum.
Tidak ada hak-hak kekayaan yang mutlak. Semua hak-hak kekayaan milik
perdata dan umum dalam suatu negara diatur sampai batas tertentu. Tetapi
praktek-praktek nyata umat manusia pada akhirnya mendefinisian batas dan arah
dari semua prinsip-prinsip penguasan dari upah dan sewa dan hak pakai lebih
lengkap dari pada kerangka hokum formal. Realita pemberlakuan tata ruang dan
kepemilikan lahan adalah lebih rumit dan kontradiksi dari pada prinsip-prinsip
yang berpusat pada negara dengan pendekatan top-down yang tegantung di dalam
sebagian besar struktur hukum nasional.
Entah itu milik umum atau swasta, penguasaan sumber daya alam
mencangkup sejumlah hak-hak. Istilah hakmilik dan hak sewa seringkali
dipakai oleh orang luar untuk menggambarkan hak-hak penguasaan berbasis
masyarakat menunjukan kosep barat mengenai kepemilikan secara umum yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip dan praktek penguasaan berbasis masyarakat.
Sistem-sistem penguasaan sangat kompleks dan memperinci dalam keadaan
bagaiman dan sampai jauh apa sumber daya alam tertentu tersedia bagi individu
dan masyarakat untuk dihuni, untuk dipanen, untuk dieariskan, untuk diburu, dan
dikumpulkan serta seterusnya.
Pemerintah yang mengakui atau menghibakan hak-hak penguasaan pada
masyarakat, atau tepat mempromosikan status quonya harus terus mengupayakan
agar tujuan-tujuan sektor kehutanan yang berkelanjutan akan dipenuhi, dan harus
terlibat jika mereka belum. Hukum mengenai permintakataan menjadi contoh dari
hak prerogative pemerintah. Pengakuan hak-hak perdata berbasis masyarakat juga
akan membantu pemerintah meningkatkan penghasilan. Salah satu pilihan adalah
dengan memungut pajak, meskipun penilaian terhadap pajak tidak pernah boleh

diterapkan dengan membabibuta pada semua area yang termasuk didalam sistem
pengelolahan hutan berbasis masyarakat. Pajak kekyaan dapat dibenarkan atas
tanah pertanian tetapi tidak pada area hutan yang dikelola secara berkelanjutan,
karena masyarakat sudah memberikan jasa besar sebanyak jika tidak lebih dari
pembayaran pajak. Di sisi lain, pajak atas penjualan hasil hutan, termasuk kayu,
boleh jadi memang tepat.
Hak-hak penguasaan milik perdata berbasis masyrakat tidak seharusnya
dipromosikan berdasarkan asumsi naif bahwa masyarakat selalu mengambil
keputusan ekologi yang tepat. Memang perjanjian-perjanjian hak pakai seperti
sertifikat, hak sewa, dan instrumen lainnya yang membatasi penguasan dapat
diberlakukan dalam keadaan tertentu, tetapi instrumen ini nampaknya tidak dapat
dipakai dengan efektif untuk mencapai tujuan keberlanjutan jangka panjang
karena beberapa pemegang hak sewa harus lebih banyak menanamkan modalnya
yang dibutuhkan untuk menjamin keuntungan jangka panjang.
Seperti terbukti di Papua Nugini, pengakuan hak-hak swasta berbasis
masyarakat juga tidak berarti bahwa kepentingan pemerintah atau sektor komersi
tidak boleh terlibat didalam pengelolaan sumber daya alam. Tetapi hal ini lebih
menunjukkan bahwa komitmen akan lebih membuat masyarakat lokal, yang
membantu melindungi dan mengembangkan sumber daya hutan secara
berkelanjutan, untuk sungguh-sungguh berpartisipasi dan berkontribusi dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan pengelolahan sumber daya
alam. Sederhananya, hak-hak swasta berbasis masyarakat cenderung untuk lebih
menyediaakan insentif jangka panjang dan menjadikannya lebih kuat tehhadap
penyerobotan oleh kepentingan dari luar, dari pada hak sewa didalam kawasan
hutan negara.
Satu kelemahan patut disebut disini. Kebijakan-kebijakan yang mengakui
hak-hak masyarkat bsa saja dibuat berdasarkan pola-pola alokasi sumber daya dan
hubungan kekuasaan yang tidak merata yang berbasis masyarakat. Di India,
contohnya, perjanjian PHB lebih menyingkirkan kelompok perempuan secara

ekonomi. Jelaslah, komitmen pada persamaan gender harus dimasukan didalam


struktur dan kebijakan kehutanan berbasis masyarakat, demikian juga kepedulian
kepada anak-anak, lanjut usia, dan kelompok-kelompok lain yang secara
tradisional selalu tersingkir dari masyarakat.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebetuhan kelompok masyrakat yang bergantung pada sumber daya alam
untuk mendpatkan informasi yang lebih baik, tentu saja bukan merupakan hal

yang unik di Papua Nugini. Yang menjadikannya unik adalah masyarakat yang
bergantung pada sumber daya hutan ini paling tidak dapat mengharapkan untuk
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai pengelolahan sumber daya
alam yang akan membawa dampak pada mereka. Dalam hal ini,papua nugini dan
negara-negara lain di kepulauan fasifik merupakan suatu anomali dalam
paradigmaa global. Diseluru asia dan kebanyakan negara maju masyarakat hutan
biasanya dipandang sebagi penghuni liar diatas tanah milik negara ,bahkan ketika
mereka mendami (teritori) ada.

3.1 Saran
Dapat memberikan informasi tentang legitimasi hak-hak tradisisonal
berbasis masyrakat atau secara permanen mengalihkan hak-hak pengambilan
keputsan pengelolaan seacara lokal,maka kebanyakan penghuni hutan ini tunggal
memiliki sedikat pilihan, kecuali mereka harus berbuat yang tebaik.

Anda mungkin juga menyukai