Anda di halaman 1dari 3

Permasalahan Praktek PSAK di Perbankan Syariah

Salah satu yang sangat disayangkan oleh para praktisi perbankan syariah di Indonesia adalah
praktek transaksi murabahah yang terjadi di tinjau dari aspek pembayarannya. Dalam standar
PSAK ketika terjadi transaksi murabahah nasabah diwajibkan mau tidak mau harus mencicil
harga beli tadi dengan hitungan perbulan dengan cicilan harga pokok ditambahkan dengan
margin. Sedangkan kalau dilihat dari aspek pembayaran, si nasabah berhak memilih apakah
mau membayar margin terdahulu dan harga pokok dibayarkan di akhir. Dari kasus ini kita
bisa menyimpulkan bahwa variasi pembayaran yang ditetapkan oleh PSAK hanya satu aspek
pembayaran, akan tetapi kalau di tinjau dari aspek fikih, pihak bank seharusnya bisa
menawarkan dua pilihan, apakah ingin membayar cicilan bulanan itu pokok plus margin atau
dia bisa memilih mau membayar cicilan margin terlebih dahulu dan pokoknya dibayarkan di
akhir.
Secara fikih, syariah memberikan otoritas penuh kepada nasabah dan pihak bank dalam
melakukan model pembayaran, apakah mau secara cash (baik cash secara langsung, ataupun
cash yang akan dibayar setelah beberapa hari) ataupun cicilan (dimana caranya bisa
ditentukan oleh kedua belah pihak).
Kasus kedua adalah yang terjadi di produk take over. Hal ini terjadi ketika si nasabah ingin
memindahkan pembiayaannya dari satu bank syariah ke bank syariah lainnya
(resecheduling). Contoh nasabah A melakukan kontrak pembiayaan murabahah rumah
misalnya dengan bank syariah A dalam tempo 10 tahun, 5 tahun kemudian nasabah A ingin
memindahkan pembiayaannya kepada Bank syariah B dikarenakan beberapa faktor, nah
bagaimanakah penulisannya dalam standar PSAK? Dalam prakteknya di perbankan syariah,
pembiayaan nasabah A tadi akan masuk dalam Qardh, sedangkan dalam Qardh itu tidak boleh
ada tambahan uang sedikitpun, jika ada tambahan maka akan ada riba di dalamnya. Dari kaca
mata bank, ini akan merugikan dikarenakan tidak boleh mendapatkan keuntungan.
Kalau kita berkaca pada peraturan DSN MUI No. 31, DSN MUI memberikan 4 alternatif
proses pembiayaan dengan beberapa kontrak (hybrid contract). Permasalahannya adalah
standar PSAK hanya me-recognize satu kontrak saja, yaitu qardh (hutang). Seperti salah satu
contohnya pada fatwa DSN-MUI No. 31 ayat 2, pertama bank syariah B akan mengadakan
syirkah milk dimana bank syariah B akan bersama-sama nasabah (partnership) membeli
rumah tersebut contoh (iB 30%-Nasabah 70%) maka selanjutnya Bank akan menjual sharenya (30%) kepada Nasabah A dengan dibayar secara kredit (cicilan), kontrak kedua adalah
bay (jual beli), ketiga, Bank Syariah akan menjual ini dengan memakai akad murabahah,
dimana bank syariah akan men-disclose capital plus profit-nya kepada customer.
Dilihat dari kewajiban pencatatan yang sesuai dengan syariah, maka harus ada 3 akuntansi
disana. Sedangkan didalam standar PSAK tidak bisa menyediakan pencatatan ini sesuai
dengan kontrak yang dilaksanakan. Jika ditinjau dari aspek shariah compliant, maka standar
PSAK pada kasus ke 2 tidak sesuai dengan syariah (non-shariah compliant accounting).
Dasar Syariah Dalam Penulisan PSAK
Setelah kita menjelaskan dua kasus akuntansi di atas yang sebenarnya masih banyak kasuskasus yang terjadi perbankan syariah di mana PSAK-nya menyalahi ketentuan ketentuan
syariah. Namun dalam kesempatan ini kami hanya membahas beberapa contoh dari praktekpraktek yang terdapat di perbankan syariah.

Dasar yang kami ambil dalam penilaian bahwa PSAK yang ada di Indonesia tidak sesuai
dengan syariah adalah dari al-Quran dan al-Sunnah.
Dalam surat Al Baqarah 282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang
yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya
Al-Maidah 1:
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (kontrak yang telah kalian
transaksikan)
Dari dua ayat al-Quran di atas, Allah SWT memerintahkan kita untuk menuliskan setiap
kontrak yang terjadi, baik itu di industri takaful, perbankan syariah dan pasar modal syariah.
Allah juga memerintahkan penulisan akuntansi setiap akad yang terjadi itu sesuai dengan
akad yang dilaksanakan setiap transaksi. Sebagai contoh, ketika terjadi kontrak kafalah
(penjaminan) dalam pembiayaan multi jasa, maka penulisannya harus akad kafalah. Jika
penulisan akuntansinya dituliskan dalam qardh, maka ini sudah tidak sesuai dengan syariah.
Perbedaan dalam penulisan akuntansi dalam setiap transaksi, tidak hanya berimplikasi pada
non shariah compliant produk tersebut, akan tetapi juga berimplikasi terhadap bank syariah
itu sendiri, ketika terjadi akad qardh, maka tidak boleh ada kelebihan dana (manfaah) yang
bisa bank syariah nikmati. Kalau ada, maka itu masuk dalam kategori riba.
Hadits nabi:
Rasulullah melarang jual beli Gharar
Unsur gharar terjadi dimana penulisan PSAK di atas akan menimbulkan dispute di masa
datang. Misalnya ketika terjadi default, maka berapakah yang harus nasabah tanggung,
apakah hanya pokoknya saja? Atau pokok plus profit? Jika akad yang dipakai dalam
akuntansi itu qardh, maka si nasabah berhak hanya membayar pokoknya saja, tentunya hal ini
akan
merugikan
pihak
bank
dan
mereka
akan
terdzalimi.
Urgensi Memiliki Shariah Committee dalam Penetapan Standar PSAK
Setelah kita menelaah kasus di atas dan bagaimana dasar penulisan PSAK secara umum
dalam al-Quran maupun al-Sunnah. Permasalahan yang ada dalam penulisan PSAK yang ada
saat ini disebabkan tidak terdapat ahli syariah dalam perumusan PSAK tersebut. Maka dari
itu, peran Shariah scholar ataupun dewan syariah sangat diperlukan sehingga tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
Kalau kita mau berkaca pada AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic
Financial Institution) di Bahrain dan juga IFSB (Islamic Financial Services Board) di
Malaysia, organisasi-oranisasi tersebut dalam menetapkan setiap akad pasti melibatkan

beberapa ulama yang ahli syariah sehingga meminimalkan terjadinya kesalahan dalam
penulisan yang tidak sesuai dengan syariah.
Oleh sebab itu, keberadaan dewan syariah di lembaga akuntansi di Indonesia bisa menjadi
WAJIB karena banyaknya permasalahan yang terjadi di standar PSAK yang menyebabkan
beberapa produk perbankan syariah kita tidak sesuai dengan syariah.
Pentingnya Sinergi antara Ahli Akuntansi dan Ahli Syariah
Dalam penetapan suatu hal baik itu standar akuntansi di perbankan syariah (PSAK), produkproduk di takaful maupun di pasar modal syariah seharusnya diserahkan kepada pihak yang
ahli. Dalam penetapan akuntansi, tidak hanya orang yang ahli akuntansi yang dibutuhkan,
akan tetapi tenaga ahli syariah juga sangat penting demi menghindari terjadinya dispute di
kemudian hari.
Oleh karena itu, seharusnya tim penetapan standar akuntansi syariah nasional yang ada harus
melibatkan beberapa tenaga ahli syariah yang kompeten (tidak hanya mengerti di bidang
syariah, tetapi juga memahami prinsip-prinsip akuntansi dan perbankan syariah, kalau
penetapannya terkait di bidang perbankan syariah. Sedangkan jika terkait dengan pasar modal
syariah, maka yang ahli di pasar modal syariah harus dilibatkan). Sehingga kritikan terhadap
standar akuntansi yang ada tidak menimbulkan permasalahan dan bisa jadi menyebabkan
produk
tersebut
tidak
sesuai
dengan
syariah.
Ditulis
oleh:
M.
Iman
Sastra
Mihajat
Pengamat
Perbankan
Syariah,
Takaful
dan
Pasar
Modal
Syariah
Kandidat Ph.D in Islamic Banking and Finance (IIiBF) International Islamic University
Malaysia

Anda mungkin juga menyukai