Terdapat beragam metode untuk mengukur soft competency, dari mulai yang bersifat
sederhana dan praktis hingga yang kompleks. Metode yang praktis adalah meminta atasan, rekan
kerja dan mungkin juga bawahan untuk menilai level kompetensi karyawan tertentu, dengan
menggunakan semacam kuesioner kompetensi.
Metode lain yang lebih kompleks adalah dengan menggunakan teknik yang disebut sebagai
competency assesment center. Dalam metode ini, karyawan diminta untuk melakukan bermacammacam tugas seperti melakukan simulasi peran, memecahkan suatu kasus atau juga menyusun
skala prioritas pekerjaan. Hasil kegiatan ini kemudian dievaluasi oleh para penilai yang biasanya
terdiri lebih dari satu orang. Meskipun obyektivitas dan validitasnya relatif tinggi, metode ini
membutuhkan biaya yang relatif besar serta waktu yang cukup panjang tergantung jumlah dan
tingkat kesulitan tugas yang diberikan.
Metode uji kompetensi lain yang kini juga banyak dilakukan adalah dengan menerapkan
sertifikasi kompetensi yang dikeluarkan oleh suatu badan yang independen dan kredibel. Di Amerika
Serikat misalnya, telah terdapat sertifikasi kompetensi untuk beragam profesi/posisi seperti untuk
posisi marketing, HR, keuangan, engineering, dan lain-lain. Dengan sertifikasi ini, maka seorang
karyawan benar-benar telah teruji level kompetensinya. Melalui metode-metode inilah, pihak
manajemen mampu mengetahui dengan cukup akurat potret kompetensi karyawannya. Dan
kemudian dapat disusun suatu employee development plan yang relevan.
Selain itu dalam upaya peningkatan soft competency karyawan dikenal juga istilah Soft
Competency Training. Soft Competency Training dalam hal ini merupakan sebuah training yang
didasarkan atas kompetensi yang telah ditetapkan yaitu soft competency yang harusnya dimiliki oleh
seorang karyawan, yang meliputi kepemimpinan, komunikasi, hubungan interpersonal, dan lain-lain.
Selain mempelajari konsep secara teoretis yang masuk dalam ranah kognitif berupa
pengetahuan, peserta training diharapkan juga untuk bisa mendapatkan perubahan sikap dan
keterampilan yang dimilikinya. Perubahan-perubahan perilaku tersebut mungkin terjadi, karena
dalam training setiap peserta diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman langsung dari
simulasi-simulasi yang disiapkan. Dari simulasi praktek ini, peserta training diminta untuk
merumuskan pengalamannya ke dalam konsep pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Pada awal
sesi, peserta diberikan pretest untuk melihat kemampuan awal mengenai dasar-dasar soft
competency. Di akhir sesi peserta diberikan posttest yang berisi hal yang sama dengan pretest.
Gambaran efektifitas training akan didapatkan dari pembandingan hasil pretest dan posttest yang
telah di kerjakan para peserta. Baik dalam pretest maupun posttest akan dilakukan pengambilan
data mengenai ketrampilan apa saja yang telah dikuasai peserta.
Diharapkan kedepannya dengan adanya pengukuran serta peningkatan soft competency,
akan tercipta pula karyawan-karyawan yang handal di bidangnya.
Referensi:
Edwin Antoni, 2007. Merumuskan profil kompetensi lunak (soft competence) jabatan dan karyawannya untuk
menentukan kesenjangan sebagai masukkan untuk program pengembangan karyawan di Departemen SCM Bisnis
chevron. Bandung. ITB.
Rulita Hendrayani, 2011. Mengembangkan Kompetensi Personal Mahasiswa Pendidikan Ekonomi sebagai Calon
Guru melalui Soft Competency Training. Seamarang. UNNES.