Anda di halaman 1dari 5

Adab Bertamu Dalam Islam

Para pembaca rahimakumullah, acap kali kita mendengar dan membaca tentang
kewajiban memuliakan tamu, sehingga masalah ini bukan suatu hal yang asing bagi kita dan
masyarakat secara keumuman. Namun pembahasan yang berkaitan dengan orang yang akan
bertamu jarang kita dapatkan. Oleh karena itu, pada kajian kali ini akan disajikan beberapa
perkara yang hendaknya diperhatikan ketika bertamu.
Para pembaca rahimakumullah, bertamu merupakan kegiatan sosial yang telah diatur
adab dan etikanya dalam Islam. Di antara adab dan etika ketika bertamu adalah sebagai
berikut:
1. Memilih Waktu Berkunjung
Hendaknya bagi orang yang ingin bertamu memilih waktu yang tepat untuk
bertamu. Karena waktu yang kurang tepat terkadang bisa menimbulkan perasaan yang
kurang enak bagi tuan rumah bahkan terkadang mengganggunya. Dikatakan oleh sahabat
Anas bin Malik radhiyallahu anhu,
Rasulullah tidak pernah mengetuk pintu pada keluarganya pada waktu malam.
Beliau biasanya datang kepada mereka pada waktu pagi atau sore. (HR. al-Bukhari no.
1706 dan Muslim no. 1928)
2. Meminta Izin kepada Tuan Rumah
Hal ini merupakan pengamalan dari perintah Allah subhanahu wa taala di dalam
firman-Nya:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan
rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat. (An-Nur: 27)
Di antara hikmah yang terkandung di dalam permintaan izin adalah untuk
menjaga pandangan mata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Meminta izin itu dijadikan suatu kewajiban karena untuk menjaga pandangan mata.
(HR. al-Bukhari no.5887 dan Muslim no. 2156 dari sahabat Sahl bin Saad as-Saidi
radhiyallahu anhu)
Rumah itu seperti penutup aurat bagi segala sesuatu yang ada di dalamnya
sebagaimana pakaian sebagai penutup aurat bagi tubuh. Jika seorang tamu meminta izin
terlebih dahulu kepada penghuni rumah, maka ada kesempatan bagi penghuni rumah
untuk mempersiapkan kondisi di dalam rumahnya. Di antara mudharat yang timbul jika
seseorang tidak minta izin kepada penghuni rumah adalah bahwa hal itu akan
menimbulkan kecurigaan dari tuan rumah, bahkan bisa-bisa dia dituduh sebagai pencuri,
perampok, atau yang semisalnya, karena masuk rumah orang lain secara diam-diam
merupakan tanda kejelekan. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa taala melarang kaum
mukminin untuk memasuki rumah orang lain tanpa seizin penghuninya. (Lihat Taisirul
Karimir Rahman)
Adapun tata cara meminta izin adalah sebagai berikut:
a. Mengucapkan salam
Seseorang yang bertamu diperintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dahulu,
sebagaimana ayat 27 dari surah An-Nur di atas. Pernah salah seorang sahabat dari
Bani Amir meminta izin kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang ketika

itu sedang berada di rumahnya. Orang tersebut mengatakan, Bolehkah saya masuk?
Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahkan pembantunya
dengan sabdanya, Keluarlah, ajari orang itu tata cara meminta izin, katakan
kepadanya, Assalamu alaikum, bolehkah saya masuk? Sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tersebut didengar oleh orang tadi, maka dia
mengatakan, Assalamu alaikum, bolehkah saya masuk? Akhirnya, Nabi
shallallahu alaihi wa sallam pun mempersilakannya untuk masuk ke rumah beliau.
(HR. Abu Dawud no. 5177)
Perhatikanlah wahai pembaca rahimakumullah, perkataan bolehkah saya masuk
atau yang semisalnya saja belum cukup, bahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan untuk mengucapkan salam terlebih dulu. Bahkan mengucapkan salam
ketika bertamu juga merupakan adab yang pernah dicontohkan oleh para malaikat
(yang menjelma sebagai tamu) yang datang kepada Nabi Ibrahim alaihis salaam
sebagaimana yang disebutkan oleh Allah subhanahu wa taala di dalam firman-Nya
(yang artinya):
Ketika mereka (para malaikat) masuk ke tempatnya (Ibrahim) lalu mengucapkan
salam. (Adz-Dzariyat: 25)
b. Meminta izin sebanyak tiga kali
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Meminta izin itu tiga kali, jika
diizinkan maka masuklah, jika tidak, maka pulanglah. (HR. al-Bukhari no. 5891
dan Muslim no. 2153 dari sahabat Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu)
Hadits tersebut memberikan bimbingan kepada kita bahwa batasan akhir meminta izin
itu tiga kali. Jika penghuni rumah mempersilahkan masuk maka masuklah, jika tidak
ada jawaban atau keberatan untuk menemui pada waktu itu maka pulanglah. Yang
demikian itu bukan suatu aib bagi penghuni rumah tersebut dan bukan celaan bagi
orang yang hendak bertamu, jika alasan penolakan itu dibenarkan oleh syariat.
Bahkan merupakan penerapan dari firman Allah subhanahu wa taala (yang artinya):
Jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk
sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu, Kembalilah, maka
hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan. (An-Nur: 28)
c. Jangan mengintip ke dalam rumah.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda: Barang siapa mengintip
ke dalam rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka sungguh telah halal bagi
mereka untuk mencungkil matanya. (HR. Muslim no. 2158 dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu anhu)
Dalam hadits ini, terdapat ancaman keras dari Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bagi seseorang yang bertamu dengan mengintip atau melongok ke dalam
rumah yang ingin dikunjungi. Maka bagi tuan rumah berhak untuk mengamalkan
hadits ini ketika ada seseorang yang berbuat demikian tanpa harus memberi
peringatan terlebih dahulu pada seseorang tersebut dan tidak ada baginya keharusan
untuk membayar diyat (harta tebusan) ataupun qishash (hukuman balas) terhadap apa
yang dia lakukan terhadap orang tersebut.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
Ibnu Hibban dan yang lainnya juga dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu anhu
bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Barang siapa melongok ke dalam rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka
mereka boleh mencungkil matanya, tanpa harus membayar diyat dan tanpa qishash.
(Lihat Syarh Shahih Muslim dan Fathul Bari)
3. Mengenalkan Diri
Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menceritakan tentang kisah Isra` Miraj,
beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Kemudian Jibril naik ke langit dunia
dan meminta izin untuk dibukakan pintu langit. Jibril ditanya, Siapa anda? Jibril
menjawab, Jibril. Kemudian ditanya lagi, Siapa yang bersama anda? Jibril
menjawab, Muhammad. Kemudian Jibril naik ke langit kedua, ketiga, keempat, dan
seterusnya di setiap pintu langit, Jibril ditanya, Siapa anda? Jibril menjawab,
Jibril. (Muttafaqun alaihi)
Dari kisah ini, al-Imam an Nawawi rahimahullah dalam kitabnya yang terkenal,
Riyadhush Shalihin membuat bab khusus, Bab bahwasanya termasuk sunnah jika
seorang yang minta izin (bertamu) ditanya namanya, Siapa anda? maka harus dijawab
dengan nama atau kunyah (panggilan dengan abu fulan/ ummu fulan) yang sudah
dikenal, dan makruh jika hanya menjawab, Saya atau yang semisalnya. Ummu Hani`
radhiyallahu anha, salah seorang sahabiyah mengatakan, Aku mendatangi Nabi ketika
beliau sedang mandi dan Fathimah menutupi beliau. Beliau bersabda, Siapa ini? Aku
katakan, Saya Ummu Hani`. (Muttafaqun alaihi)
Demikianlah bimbingan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang langsung dipraktikkan
oleh para sahabatnya, bahkan beliau pernah marah kepada salah seorang sahabatnya
ketika kurang memperhatikan adab dan tata cara yang telah beliau shallallahu alaihi wa
sallam bimbingkan ini. Sebagaimana dikisahkan oleh Jabir radhiyallahu anhu,
Aku mendatangi Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kemudian aku mengetuk pintunya,
beliau bersabda: Siapa ini? Aku menjawab, Saya. Maka beliau pun bersabda, Saya,
saya. Seolah-olah beliau tidak menyukainya. (Muttafaqun alaihi)
4. Menyebutkan Keperluannya
Di antara adab seorang tamu adalah menyebutkan urusan atau keperluan dia kepada tuan
rumah supaya tuan rumah lebih perhatian dan menyiapkan diri ke arah tujuan kunjungan
tersebut, serta dapat mempertimbangkan dengan waktu dan keperluannya sendiri. Hal ini
sebagaimana kisah para malaikat yang bertamu kepada Nabi Ibrahim alaihis salaam.
Allah subhanahu wa taala berfirman (yang artinya):
Ibrahim bertanya, Apakah urusanmu wahai para utusan? Mereka menjawab,
Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa. (Adz-Dzariyat: 32)
5. Memintakan izin untuk tamu yang tidak diundang.
Jika bertamu dalam rangka memenuhi undangan, namun ada orang lain yang tidak
diundang ikut bersamanya, maka hendaknya mengabarkan kepada tuan rumah dan
memintakan izin untuknya. Hal ini pernah dialami oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam, sebagaimana kisah sahabat Abu Masud radhiyallahu anhu,

Di kalangan kaum Anshar ada seseorang yang dikenal dengan panggilan Abu Syuaib.
Dia mempunyai seorang budak penjual daging. Abu Syuaib berkata kepadanya,
Buatlah makanan untukku, aku akan mengundang Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersama empat orang lainnya. Maka dia pun mengundang Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersama empat orang lainnya. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam datang bersama 4 orang lainnya, ternyata ada seorang lagi yang mengikuti
mereka, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya anda
mengundang kami berlima, dan orang ini telah mengikuti kami, jikalau anda berkenan
anda dapat mengizinkannya dan jika tidak anda dapat menolaknya. Maka Abu Syuaib
berkata, Ya, saya mengizinkannya. (HR. al-Bukhari no. 5118 dan Muslim no. 2036)
6. Tidak Memberatkan Tuan Rumah dan Segera Kembali ketika Urusannya Selesai.
Bagi seorang tamu hendaknya berusaha tidak membuat repot atau menyusahkan tuan
rumah dan segera kembali ketika urusannya selesai. Allah subhanahu wa taala
berfirman (yang artinya):
tetapi jika kalian diundang maka masuklah, dan bila telah selesai makan kembalilah
tanpa memperbanyak percakapan (Al-Ahzab: 53)
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:
Jamuan tamu itu tiga hari dan perjamuannya (yang wajib) satu hari satu malam. Tidak
halal bagi seorang muslim untuk tinggal di tempat saudaranya hingga menyebabkan
saudaranya itu terjatuh dalam perbuatan dosa. Para sahabat bertanya, Bagaimana dia
bisa menyebabkan saudaranya terjatuh dalam perbuatan dosa? Beliau menjawab,
Dia tinggal di tempat saudaranya, padahal saudaranya tersebut tidak memiliki sesuatu
yang bisa disuguhkan kepadanya. (HR. Muslim no. 48 dan Abu Dawud no. 3748 dari
sahabat Abu Syuraih al-Khuzai radhiyallahu anhu)
Disebutkan oleh para ulama bahwa perjamuan yang wajib dilakukan tuan rumah kepada
tamu hanya satu hari satu malam (24 jam). Jamuan tiga hari berikutnya hukumnya
mustahab (sunnah) dan lebih utama. Adapun jika lebih dari itu maka sebagai sedekah.
Maka dari itu, bagi tamu yang menginap kalau sudah lewat dari tiga hari hendaknya
meminta izin kepada tuan rumah. Kalau tuan rumah mengizinkan atau menahan dirinya
maka tidak mengapa bagi si tamu tetap tinggal, dan jika sebaliknya maka wajib bagi si
tamu untuk pergi. Karena keberadaan si tamu yang lebih dari tiga hari itu bisa
mengakibatkan tuan rumah terjatuh dalam perbuatan ghibah, atau berniat untuk
menyakitinya atau berburuk sangka. (Lihat Syarh Shahih Muslim)
7. Mendoakan Tuan Rumah
Hendaknya seorang tamu mendoakan tuan rumah atas jamuan yang dihidangkan
kepadanya. Di antara doa yang diajarkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam yaitu:

Ya Allah berikanlah barakah untuk mereka pada apa yang telah Engkau berikan rizki
kepada mereka, ampunilah mereka, dan rahmatilah mereka. (HR. Muslim no. 2042 dari
sahabat Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu)
Wallahu alam bish shawab.

Sumber: http://buletin-alilmu.com/2013/05/26/adab-bertamu/

Anda mungkin juga menyukai