Anda di halaman 1dari 9

Tata Cara Mitoni/Tingkeban

UBO RAMPE MITONI/TINGKEBAN


(Selamatan Tujuh Bulanan)

Mitoni atau selamatan tujuh bulanan, dilakukan setelah kehamilan seorang ibu genap usia
7 bulan atau lebih. Dilaksanakan tidak boleh kurang dari 7 bulan, sekalipun kurang sehari.
Belum ada neptu atau weton (hari masehi + hari Jawa) yang dijadikan patokan pelaksanaan, yang
penting ambil hari selasa atau sabtu. Tujuan mitoni atau tingkeban agar ibu dan janin selalu
dijaga dalam kesejahteraan dan keselamatan (wilujeng, santosa, jatmika, rahayu).

PERSYARATAN:

1. Bubur 7 macam
Kombinasi 7 macam:
(1) bubur merah (6) merah disilang putih
(2) bubur putih (7) baro-baro (bubur putih diatasnya
(3) merah ditumpangi putih dikasih parutan kelapa dan sisiran
(4) putih ditumpangi merah gula jawa).
(5) putih disilang merah
Bubur putih dimakan oleh sang Ayah. Bubur merah dimakan sang Ibu. Bubur yang lain
dimakan sekeluarga.

Bahan:
Bubur putih gurih (dimasak pakai santen) dan
bubur merah (dimasak pakai gula jawa).
Bubur ditaruh di piring kecil-kecil.
2. Gudangan Matang
Bahan: sayur 7 macam, harus ada kangkung dan kacang. Kangkung dan kacang panjang
jangan dipotong-potong, dibiarkan panjang saja. Semua sayuran direbus. Bumbu
gudangannya pedas.
3. Nasi Megono
Nasi dicampur bumbu gudangan pedas lalu dikukus.
4. Jajan Pasar
Biasanya berisi 7 macam makanan jajanan pasar tradisional.
5. Rujak
Bumbunya pedas dengan 7 macam buah-buahan.
6. Ampyang
Ampyang kacang, ampyang wijen, dll (7 macam ampyang). Apabila kesulitan
mendapatkan 7 macam ampyang, boleh sedapatnya saja.
7. Aneka Ragam Kolo
Kolo kependem (kacang tanah, singkong, talas), kolo gumantung (pepaya), kolo
merambat (ubi/ketela rambat), kacang tanah, singkong, talas, ketela, pepaya. Direbus
kecuali pepaya yang sudah masak. Masing-masing jenis kolo tidak harus semua, tetapi
bisa dipilih salah satu saja. Misalnya, kolo kependem, ambil saja salah satu misalnya
kacang tanah. Jika kesulitan mencari kolo yang lain, yang penting ada dua macam kolo,
yakni cangelo: kacang tanah dan ketela (ubi jalar).
8. Ketan
Dikukus lalu dibuat bulatan sebesar bola bekel (diameter 3-4 cm), warna putih, merah,
hijau, cokelat, dan kuning.
9. Tumpeng Nasi Putih
Kira-kira cukup untuk makan 7,11 atau 17 orang.
10. Telur
Telur ayam 7 butir.
11. Pisang
Pisang raja dan pisang raja pulut, masing-masing satu lirang/sisir.
12. Tumpeng 7 Warna
Tumpeng dibuat kecil-kecil dengan warna yang berbeda-beda. Bahan: nasi biasa yang
diwarnai.

TATA CARA
Tumpeng diletakkan di atas kalo (saringan santan yang baru). Bawahnya dialasi daun
pisang. Di bawah kalo dialasi cobek agar tidak menggelimpang. Sisa potongan daun pisang
diletakkan di antara cobek dan pantat kalo.

Sayur 7 macam yang direbus diletakkan mengelilingi tumpeng, letakkan bumbu


gudangannya melingkari tumpeng juga. Telur ayam (boleh ayam kampung atau ayam petelur)
jumlahnya 7 butir, direbus lalu dikupas, diletakkan mengelilingi tumpeng. Masing-masing telur
boleh dibelah menjadi dua. Pucuk tumpeng dikasih sate yang berisi: cabai merah, bawang merah,
telur utuh dikupas kulitnya, cabai merah besar, tancapkan vertikal. (Urutan ini dari bawah ke
atas. Lihat gambar). Tusuk satenya dari bambu, posisi berdiri di atas pucuk tumpeng: urutan dari
bawah, cabai merah besar posisi horisontal, bawang merah dikupas, telur kupas utuh, bawang
merah lagi, paling atas cabai merah besar posisi vertikal.
Pisang, jajan pasar, 7 macam kolo, dan 7 macam ampyang ditata dalam satu wadah
tersendiri, namanya tambir atau tampah tanpa bingkai yang lebar. Tambirnya juga yang baru,
jangan bekas. Tampah pantatnya rata datar, sedangkan tambir pantatnya sedikit agak cembung.
Tumpeng tujuh macam warna ukuran mini, ditaruh mengelilingi tumpeng besar. Boleh
diletakkan di atas sayuran yang mengelilingi tumpeng besar.

Setelah ubo rampe semua selesai disiapkan, maka dimulailah berdoa. Doa boleh dengan
tata cara atau agama masing-masing. Inilah fleksibilitas dan toleransi dalam ajaran Jawa. Berikut
ini contoh doa menurut tradisi Jawa.

Diucapkan oleh orang tua jabang bayi (ayah dan ibu):


Niat ingsun nylameti jabang bayi, supaya kalis ing rubeda, nir ing sambikala, saka kersaning
Gusti Allah. Dadiyo bocah kang bisa mikul dhuwur mendhem jero wong tuwa, migunani marang
sesama, ambeg utama, yen lanang kadya Raden Komajaya, yen wadon kadya Dewi
Komaratih..kabeh saka kersaning Gusti Allah.

Apabila orang tua beragama Islam, setelah doa secara tradisi, lalu bacakan surat Maryam
atau surat Yusuf. Pilih di antara keduanya sesuai keinginan hati nurani. Jika feeling anda ingin
membaca surat Maryam, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila yang dibaca surat Yusuf,
biasanya jabang bayi lahir laki-laki.

Dalam tradisi Jawa, yang membuat bumbu rujak dilakukan oleh ibu jabang bayi. Jika
bumbunya rasanya asin, biasanya jabang bayi lahir perempuan. Bila tidak kasinen (kebanyakan
garam), biasanya lahir laki-laki. Akan tetapi, karena teknologi medis sudah sedemikian canggih,
sampai ditemukan USG empat dimensi, jenis kelamin bayi sudah dapat diketahui lebih dini.

Acara mitoni atau tingkeban yang kami paparkan di atas adalah tatacara sederhana. Akan
tetapi bukan berarti tidak absah, hanya tidak lengkap saja. Sedangkan tatacara yang lengkap yang
biasanya masih dilakukan di keraton-keraton dan masyarakat Jawa yang masih kuat memegang
tradisi. Rangkaian acara untuk upacara mitoni secara lengkap urut-urutannya yaitu:
1) Siraman, memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain calon ibu dilakukan oleh calon
bapak, ganti baju tujuh kali, brojolan (memasukkan kelapa gading muda), memutus benang
lawe atau lilitan benang (atau janur), memecah wajan dan gayung, mencuri telur dan
terakhir kendhuri.

Catatan;
Acara siraman hanya diselenggarakan untuk mitoni anak pertama.

Selamat melaksanakan mitoni atau tingkeban semoga menjadi anak yang linuwih, mikul dhuwur
mendhem jero pada orang tua, berguna untuk sesama, masyarakat, agama, dan negara.
http://sabdalangit.wordpress.com/tag/tujuh-bulanan/
HUKUMNYA MENGADAKAN TUJUH BULANAN

A. Bagaimana hukumnya mengadakan tujuh bulanan pada anak pertama & kita tidak mampu?
Sedang menurut orang2 tua bahwa tujuh bulanan anak pertama wajib & bagaimana kalau
kita mengadakannya hanya berdua dgn istri?
Jawab: Acara 7 bulanan itu merupakan suatu hal yang bukan Fardhu atau wajib. Hal ini
diadakan oleh kaum muslimin dengan tujuan mulia, yaitu selamatan dan tasyakuran
serta doa agar Allah menyelamatkan kelahiran itu dan melimpahi keberkahan, hal ini
boleh-boleh saja, dengan landasan dalil hadits Rasul saw: "Barangsiapa yang
mengadakan suatu kebiasaan baru yang baik dalam Islam maka baginya pahalanya
dan pahala mereka yang mengikutinya, dan barangsiapa yang mengadakan kebiasaan
baru yang buruk dalam Islam maka baginya dosanya dan dosa yang mengikutinya"
(Shahih Muslim Hadits no.1017). Namun sesekali janganlah kita menganggap hal-
hal ini menjadi kewajiban yang bila ditinggalkan akan membawa musibah, bala, dan
dosa.
B. Masalah aqiqah, bolehkah kita melaksanakannya pada waktu 40 hari setelah anak kita
lahir atau 7 hari?
Jawab: Aqiqah dilakukan Rasul saw pada hari ketujuh setelah kelahiran, lalu menggunting
rambutnya lalu diberi nama. (Shahih Almunntaqa Ibn Jarud hadits no.910, Shahih
Ibn Hibban hadits no.5311)
C. Memberi nama anak, afdolnya pada waktu 7 hari atau 40 hari?
Jawab: Sebaiknya diberi nama pada hari ketujuh. Sebagaimana hadits di atas semoga selalu
keberkahan terlimpah atas Rezal yang dimuliakan Allah, agar Allah mencurahkan
kebahagiaan baginya dunia dan akhirat, dan melepaskan segala rintangan dalam
hidupnya dan membimbingnya selalu dalam cahaya keluhuran-Nya.
http://carauntuk.com/hukumnya-mengadakan-tujuh-bulanan-pada-anak-pertama-kita-tidak-mampu

Tujuh Bulanan Adat Jawa


Wong Jowo atau orang Jawa itu kreatif dan pandai memaknai segala sesuatunya. Telinga
ini dibilangnya kuping, diartikan sebagai sesuatu yang kaku njepiping, sesuatu yang kaku.
Cengkir alias kelapa muda diterjemahkan sebagai kencenging pikir atau tekad yang keras. Tebu
diartikan sebagai antebing kalbu. Pisang ayu disimbolkan sebagai harapan akan kehidupan yang
tata tentrem kerta rahayu, kehidupan yang indah, bahagia, tentram, dan sejahtera. Para pahlawan
disebut kusuma bangsa atau bunga bangsa, sementara para koruptor dicap sebagai kusuma
bangsatttt!. Putri solo yang lemah gemulai diibaratkan lumakune koyo macan luwe, berjalan
kalem seperti harimau lapar, sementara putri yang sedang hamil tua dikatakan seperti bulus
angrem, seperti kura-kura sedang mengeram.

Begitu luasnya daya imajinasi itu sehingga melahirkan banyak ragam tata upacara adat
yang syarat dengan makna simbolik, di antaranya yang menandai siklus kehidupan manusia
sejak masa prakelahiran. Salah satunya adalah upacara untuk memperingati usia kehamilan tujuh
bulan yang biasa disebut mitoni.

Orang Jawa menamai usia kehamilan tujuh bulan itu SAPTA KAWASA JATI. Sapta-
tujuh, kawasa-kekuasaan, jati-nyata. Pengertiannya, jika Yang Maha Kuasa menghendaki, dapat
saja pada bulan ketujuh bayi lahir sehat dan sempurna. Bayi yang lahir tujuh bulan sudah
dianggap matang alias bukan prematur. Namun, apabila pada bulan ketujuh itu bayi belum lahir,
maka calon orang tua atau eyangnya akan membuat upacara mitoni, yaitu upacara selamatan atau
mohon keselamatan dan pertolongan kepada Yang Maha Kuasa agar semuanya dapat berjalan
lancar, agar bayi di dalam kandungan beserta ibunya tetap diberi kesehatan serta keselamatan.

Pelaksanaan
Mitoni berasal dari kata pitu yang artinya angka tujuh. Dasar kreatif, kata bilangan itu
kemudian dipakai oleh orang Jawa sebagai simbol yang mewakili kata kerja. Pitu menjadi
pitulungan, bermakna mohon berkat pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Tahap pelaksanaannya berurutan, bermula dari siraman, brojolan dan terakhir pemakaian
busana. Sangat cocok dilaksanakan pada sore hari, ngiras mandi sore. dan dihadiri oleh segenap
sanak kadang, para tetangga, serta handai taulan.

a. Siraman
Siram artinya mandi. Siraman berarti memandikan. Dimaksudkan untuk
membersihkan serta menyucikan calon ibu dan bayi yang sedang dikandung, lahir maupun
batin. Siraman dilakukan di tempat yang disiapkan secara khusus dan didekor indah yang
disebut krobongan. Atau bisa juga dilakukan di kamar mandi.
Sesuai tema, jumlah angka tujuh atau pitu kemudian dipakai sebagai simbol. Air
yang digunakan diambil dari tujuh sumber, atau bisa juga dari air mineral berbagai merek,
yang ditampung dalam jambangan, yaitu sejenis ember bukan dari plastik tapi terbuat dari
terakota atau kuningan yang ditaburi kembang setaman atau sritaman yaitu bunga mawar,
melati, kanthil, serta kenanga. Aneka bunga ini melambangkan kesucian. Tujuh orang
bapak dan ibu teladan dipilih untuk tugas memandikan. Seolah tanpa saingan, yang pasti
terpilih adalah calon kakek dan neneknya.
Tanpa tetek bengek perhiasan seperti anting, ataupun gelang akar bahar, dan hanya
mengenakan lilitan jarit (kain batik), calon ibu dibimbing menuju ke tempat permandian
oleh pemandu atau dukun wanita yang telah ditugasi.
Siraman diawali oleh calon kakek, berikutnya calon nenek, dilanjutkan oleh yang
lainnya. Dilakukan dengan cara menuangkan atau mengguyurkan air yang berbunga-bunga
itu ke tubuh calon ibu dengan menggunakan gayung yang dibuat dari batok kelapa yang
masih berkelapa atau masih ada dagingnya.
Bunga-bunga yang menempel disekujur badan dibersihkan dengan air terakhir dari
dalam kendi. Kendi itu kemudian dibanting ke lantai oleh calon ibu hingga pecah. Semua
yang hadir mengamati. Jika cucuk atau paruh kendi masih terlihat mengacung, hadirin
akan berteriak: Cowok! Laki! Jagoan! Harno! dan komentar-komentar lain yang
menggambarkan anaknya nanti bakal lahir cowok. Namun jika kendi pecah berkeping-
keping, dipercaya anaknya nanti bakal cewek.
Acara ini bisa berlangsung sangat meriah. Para tamu berdesak ingin melihat dan
ramai berkomentar, sementara sang MC dengan bersemangat menyiarkan berita seputar
pandangan mata. Siraman selesai, sang calon ibu yang basah kuyup dari ujung rambut
hingga ujung kaki segera dikeringkan dengan handuk dan hair dryer supaya tidak perlu
kerokan, masuk angin.

b. Brojolan
Calon ibu kini berbusana kain jarit yang diikat longgar dengan letrek yaitu sejenis
benang warna merah putih dan hitam. Merah melambangkan kasih sayang calon ibu, putih
melambangkan tanggung jawab calon bapak atau bokap bagi kesejahteraan keluarganya
nanti. Warna hitam melambangkan kekuasaan Yang Maha Kuasa yang telah
mempersatukan cinta kasih kedua orang tuanya. Tidak ada letrek, janur pun jadi.
Calon nenek memasukkan tropong (alat tenun) kedalam lilitan kain jarit kemudian
dijatuhkan kebawah. Ini dimaksudkan sebagai pengharapan agar proses kelahirannya
kelak, agar sang bayi dapat lahir dengan lancar. Tidak ada tropong, telur ayam pun jadi.
Dilanjutkan dengan acara membrojolkan atau meneroboskan dua buah kelapa
gading yang telah digambari lewat lilitan kain jarit yang dikenakan oleh calon ibu.
Sepasang kelapa gading tersebut bisa ditato gambar Kamajaya dan Dewi Ratih atau
Harjuna dan Sembadra atau Panji Asmara Bangun dan Galuh Candra Kirana. Kita tinggal
pilih. Para selebriti pewayangan tersebut dikenal berwajah cantik dan ganteng. Harapannya
adalah agar anak yang lahir kelak bisa keren seperti mereka. Kelapa yang mbrojol
ditangkap oleh salah seorang nenek dari ibu untuk nantinya diberikan kepada calon bapak.
Calon bapak bertugas memotong letrek yang mengikat calon ibu tadi dengan keris
yang ujungnya telah diamankan dengan ditutupi kunyit, atau bisa juga menggunakan
parang yang telah dihiasi untaian bunga melati. Ini melambangkan kewajiban suami untuk
memutuskan segala rintangan dalam kehidupan keluarga.
Setelah itu calon bapak akan memecah salah satu buah kelapa bertato tadi dengan
parang, sekali tebas. Apabila buah kelapa terbelah menjadi dua, maka hadirin akan
berteriak: Perempuan! Apabila tidak terbelah, hadirin boleh berteriak: laki-laki! Dan
apabila kelapa luput dari sabetan, karena terlanjur menggelinding sebelum dieksekusi
misalnya, maka adegan boleh diulang.

c. Pemakaian Busana
Selesai brojolan, calon ibu dibimbing keruangan lain untuk dikenakan busana kain
batik atau jarit berbagai motif, motif sido luhur, sido asih, sido mukti, gondo suli, semen
raja, babon angrem dan terakhir kain lurik motif lasem. Kain lurik motif lasem
melambangkan cinta kasih antara bapak dan ibunya. Kain-kain yang tujuh motif tersebut
dikenakan bergantian urut satu persatu.
Setiap berganti hingga kain yang ke enam, pemandu akan bertanya kepada hadirin
sudah pantas atau belum, dan hadirin akan menjawab serentak: belum! Ketika kain ke
tujuh atau terakhir dikenakan, yaitu kain lurik motif lasem, barulah hadirin menjawab
sudah. Sudah pantas dan selayaknya.
Keenam kain lainnya yang tidak layak pakai itu kemudian dijadikan alas duduk
calon bapak ibunya. Gaya pendudukan seperti ini disebut angreman, bukan
menggambarkan bapak melainkan menggambarkan ayam yang sedang mengerami
telurnya.

http://riaskuntik.wordpress.com/upacara-tradisional/mitoni-atau-tingkeban/tujuh-bulanan-adat-jawa/
Ritual Tujuh Bulanan Adat Jawa
Tatacara upacara Mitoni atau ritual tujuh bulanan yang lengkap yang biasanya masih dilakukan
di keraton-keraton dan masyarakat Jawa yang masih kuat memegang tradisi.

Rangkaian acara untuk upacara mitoni secara lengkap urut-urutannya yaitu:


a) Siraman (pemandian calon ibu)
b) Pendandanan calon ibu
c) Angreman

Tempat, berbagai barang/ubarampe termasuk sesaji, hendaknya sudah tersedia lengkap.


a) Upacara Siraman
Biasanya pelaksanaan siraman diadakan di kamar mandi atau ditempat khusus yang
dibuat untuk siraman, di halaman belakang atau samping rumah. Siraman berasal dari kata
siram artinya mandi. Pada saat mitoni adalah pemandian untuk sesuci lahir batin bagi calon
ibu/orang tua beserta bayi dalam kandungan. Yang baku, di tempat siraman ada bak atau
tempat air yang telah diisi air yang berasal dari tujuh sumber air yang dicampur dengan
bunga sritaman, yang terdiri dari mawar, melati, kenanga, dan kantil. Di pagi hari atau sore
hari yang cerah, ada terdengar alunan suara gamelan yang semarak, mengiringi
pelaksanaan siraman.
Di depan tempat siraman yang disusun apik, duduk calon kakek, calon nenek dan
ibu-ibu yang akan ikut memandikan. Mereka semua berpakaian tradisional Jawa, bagus,
dan rapi. Tentu saja sisaksikan oleh para undangan yang hadir untuk menyaksikan dan
memberi restu kepada calon ibu. Calon ibu dengan berpakaian kain putih yang praktis
tanpa mengenakan aksesoris seperti gelang, kalung, subang dsb, datang ketempat siraman
dengan diiringi oleh beberapa ibu. Dia langsung didudukkan di atas sebuah kursi yang
dialasi dan dihiasi dengan sebuah tikar tua, maksudnya orang wajib bekerja sesuai
kemampuannya dan dedaunan seperti : opok-opok, alang-alang, oro-oro, dadap serep,
awar-awar yang melambangkan keselamatan dan daun kluwih sebagai perlambang
kehidupan yang makmur.
Orang pertama yang mendapat kehormatan untuk memandikan adalah calon kakek,
kemudian calon nenek dan disusul oleh beberapa ibu yang sudah punya cucu. Sesuai
kebiasaan, jumlah yang memandikan adalah tujuh orang. Diambil perlambang positifnya,
yaitu tujuh, bahasa Jawanya pitu, supaya memberi pitulungan, pertolongan.
Sesudah selesai dimandikan dengan diguyur air suci, terakhir dikucuri air suci dari
sebuah kendi sampai airnya habis. Kendi yang kosong dibanting ketanah. Dilihat
bagaimana pecahnya. Kalau paruh atau corot kendi tidak pecah, hadirin ramai-ramai
berteriak: Lanang! Artinya bayi yang akan lahir laki-laki. Apabila pecah, yang akan lahir
wadon, perempuan.
Perlu diketahui bahwa suasana selama pelaksanaan siraman adalah sakral tetapi
riang. Pada masa kini, upacara siraman dipandu oleh seorang ibu yang profesional dalam
bidangnya, disertai seorang M.C. sehingga upacara berjalan runut, lancar dan bagus.
b) Peluncuran tropong
Ada kalanya, sesudah selesai pecah kendi, sebuah tropong, alat tenun dari kayu
diluncurkan ke dalam kain tekstil yang mempunyai tujuh warna. Ini perlambang kelahiran
bayi dengan lancar dan selamat. Peluncuran tropong, pada masa kini jarang sekali
dilakukan.

Siraman gaya Mataraman


Siraman gaya Mataraman atau Yogyakarta kuno, sekarang boleh dibilang tidak
dilakukan lagi. Pada siraman tersebut yang dimandikan tidak hanya calon ibu, tetapi
jugas calon ayah, secara berbarengan.

c) Pendandanan Calon Ibu


Di sebuah ruangan yang telah disiapkan untuk upacara pendandanan, beberapa ibu
dengan disaksikan hadirin, mendandani calon ibu dengan beberapa motif kain batik dan
lurik. Ada 6 (enam) motif kain batik, antara lain motif kesatrian, melambangkan sikap
satria; wahyu tumurun, yaitu wahyu yang menurunkan kehidupan mulia, sidomukti,
maksudnya hidup makmur, sidoluhur-berbudi luhur dsb.
Satu per satu kain batik itu dikenakan, tetapi tidak ada yang sreg atau sesuai. Lalu
yang ketujuh dikenakan kain lurik bermotif lasem, dengan semangat para hadirin berseru:
Ya, ini cocok! Lurik adalah bahan yang sederhana tetapi kuat, motif lasem mewujudkan
perajutan kasih yang bahagia, tahan lama. Begitulah perlambang positif dari upacara
pendandanan.
Lurik yang dikenakan calon ibu tersebut diikat dengan tali yang terdiri dari benang
dan anyaman daun kelapa. Tali itu dipotong oleh calon ayah dengan menggunakan sebilah
keris yang ujungnya ditutup kunyit. Ini perlambang bahwa semua kesulitan yang dihadapi
keluarga, akan diatasi oleh sang ayah. Sesudah memotong tali, sang ayah mengambil tiga
langkah ke belakang, membalikkan badan dan lari keluar. Ini melambangkan kelahiran
yang lancar dan selamat, bagi bayi dan ibu.

d) Brojolan
Dua buah kelapa gading diluncurkan ke dalam kain lurik yang dipakai calon ibu.
Kedua kelapa tersebut jatuh di atas tumpukan kain batik. Ini juga menggambarkan
kelahiran yang lancar dan selamat. Kedua buah kelapa gading itu diukir dengan gambar
Dewi Ratih dan Dewa Kamajaya, sepasang dewa dewi yang cantik, bagus rupanya dan
baik hatinya. Artinya tokoh, figur yang ayu, baik, luar dalam, lahir batin. Ini tentu dalam
menjalani kehidupan kedua orang tua juga bersikap demikian, demikian pula anak yang
dilahirkan, menjalani kehidupan yang baik, berbudi pekerti luhur dan mapan lahir batin.
Calon ayah mengambil salah satu kelapa tersebut dan memecahnya dengan
menggunakan golok. Kalau kelapa itu pecah jadi dua, hadirin berseru: Wadon, perempuan.
Kalau kelapa itu airnya menyembur keluar, hadirin berteriak riang: Lanang, lelaki. Anak
yang dilahirkan putra atau putri, sama saja, tetap akan diasuh, dibesarkan oleh orang
tuanya dengan penuh kasih dan tanggung jawab. Kelapa yang satunya, yang masih utuh,
diambil, lalu dengan diemban oleh calon nenek, ditaruh ditempat tidur calon orang tua.
e) Angreman
Angreman dari kata angrem artinya mengerami telur. Calon orang tua duduk diatas
tumpukan kain yang tadi dipakai, seolah mengerami telur, menunggu waktu sampai
bayinya lahir dengan sehat selamat. Mereka mengambil beberapa macam makanan dari
sesaji dan ditaruh di sebuah cobek. Mereka makan bersama sampai habis. Cobek itu
menggambarkan ari-ari bayi.
Perlu diperhatikan bahwa untuk ritual angreman gaya Yogyakarta, sesajinya tidak
ada yang berupa daging binatang yang dipotong. Ini memperkuat doa kedua calon orang
tua supaya bayi mereka lahir dengan selamat.
Kelapa dan tumpukan kain-kain itu berada di atas tempat tidur kedua calon orang
tua. Ini latihan kesabaran bagi keduanya sewaktu menjaga dan merawat bayi.
Di pagi harinya, calon ayah memecah kelapa tersebut. Ini biasanya yang terjadi. Tetapi
kalau di pagi hari ada seorang wanita hamil meminta kelapa tersebut, menurut adat, kelapa
itu harus diberikan. Lalu wanita dan suaminya yang akan memecah kelapa itu. Hal ini
melambangkan bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan
diri sendiri, saling menolong dan welas asih, haruslah diutamakan
http://budayanusantara2010.wordpress.com/upacara-adat-khas-nusantara/upacara-adat-mitoni-di-
jawa-tengah/ritual-tujuh-bulanan-adat-jawa/

Motif kain tersebut adalah:

Sidomukti (melambangkan kebahagiaan),


Sidoluhur (melambangkan kemuliaan),
Truntum (melambangkan agar nilai-nilai kebaikan selalu dipegang teguh),
Parangkusuma (melambangkan perjuangan untuk tetap hidup),
Semen rama (melambangkan agar cinta kedua orangtua yang sebentar lagi menjadi bapak-
ibu tetap bertahan selma-lamanya/tidak terceraikan),
Udan riris (melambangkan harapan agar kehadiran dalam masyarakat anak yang akan lahir
selalu menyenangkan),
Cakar ayam (melambangkan agar anak yang akan lahir kelak dapat mandiri dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya),
Kain terakhir yang tercocok adalah kain dari bahan lurik bermotif lasem dengan kemben
motif dringin.

http://citrawedding.multiply.com/journal/item/2/Tujuh_Bulanan_Mitoni?&show_interstitial=1&u=%2Fj
ournal%2Fitem

Anda mungkin juga menyukai