Anda di halaman 1dari 29

1

BAB I
PENDAHULUAN
Beragam pendapat telah diutarakan dalam pemahaman preeklampsia secara mendasar dan
telah dilakukan pula berbagai peneltian untuk memperoleh penatalaksanaan yang dapat dipakai
sebagai dasar pengobatan untuk preeklampsia. Namun demikian, preeklampsia tetap menjadi
satu di antara banyak penyebab morbiditas dan mortalitas ibu dan janin di Indonesia, sehingga
masih menjadi kendala dalam penanganannya. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang
merupakan tingkat pendahuluan eklampsia, serta penanganannya perlu segera dilaksanakan
untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia
ringan dengan hipertensi, edema, dan proteinuri sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan;
pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting
dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia, di samping pengendalian terhadap
faktor-faktor predisposisi yang lain.
Preeklampsia merupakan suatu gangguan kehamilan spesifik yang berkomplikasi sekitar
5% dari seluruh kehamilan dan merupakan penyakit glomerulus yang paling umum di dunia,
dimana penyebab awalnya masih tidak diketahui, namun perkembangan terbaru menjelaskan
mekanisme molekuler melatarbelakangi manifestasinya terutama perkembangan abnormal,
hipoksia plasenta, disfungsi endotel. Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas di seluruh dunia. Pada ibu dapat berkomplikasi sebagai hemolysis, elevated liver
enzymes, dan thrombocytopenia (HELLP Syndrome), gagal ginjal, kejang, gangguan hati,
stroke, penyakit jantung hipertensi, dan kematian sedangkan pada fetus dapat mengakibatkan
persalinan preterm, hipoksia neurogenik, dan kematian.
Preeklampsia dikelompokkan menjadi preeklampsia berat dan ringan. Preeklampsia ringan
dipandang tidak memiliki resiko bagi ibu dan janin, tetapi tidaklah lepas dari kemungkinan
terjadinya berbagai masalah akibat dari preeklampsia itu sendiri. Preeklampsia berat membawa
resiko bagi ibu janin yang lebih besar yang membutuhkan penanganan medicinal atau bahkan
sampai pada pertimbangan untuk terminasi kehamilan.

Berbagai keadaan dapat membawa ibu atau janin menjadi keadaan yang lebih buruk dan
membahayakan keduanya. Bagi ibu sendiri dapat terjadi ablation retina, DIC, gagal ginjal,
pendarahan otak, edema paru atau gagal jantung. Sehingga dalam pengawasan menjadi hal
terpenting untuk diperhatikan benar terhadap keluhan dan gejala ynag mengarah kepada keadaan
di atas untuk mencegah komplikasi lebih buruk.
Hemolisis, kelainan tes fungsi hati dan jumlah trombosit yang rendah sudah sejak lama
dikenal sebagai komplikasi dari preeklampsi-eklampsi (Chesley 1978; Godlin 1982; Mc Kay
1972). Godlin menamakan sindrom ini EPH Gestosis tipe II, MacKennan dkk. menganggapnya
sebagai suatu misdiagnosis preeklampsi, sedangkan penulis lain menyebutkannya sebagai bentuk
awal preeklampsi berat, variasi unik dari preeklampsi. Pada 1982, Weinstein melaporkan 29
kasus preeklampsi berat, eklampsi dengan komplikasi trombositopeni, kelainan sediaan apus
darah tepi, dan kelainan tes fungsi hati. Ia menyatakan bahwa kumpulan tanda dan gejala ini
benar-benar terpisah dari preeklampsi berat dan membentuk satu istilah: Sindrom HELLP; H
untuk Hemolysis, EL untuk Elevated Liver Enzymes, dan LP untuk Low Platelet.
Sibai dkk. menunjukkan adanya perbedaan nyata dalam hal terminologi, insidens,
penyebab, diagnosis dan penatalaksanaan sindrom ini. Insidens dilaporkan sekitar 2-12%,
kisaran ini menggambarkan perbedaan kriteria diagnosis dan metode yang digunakan. Ada
perbedaan besar mengenai saat terjadi, tipe, dan derajat kelainan laboratorium yang digunakan
untuk mendiagnosis sindrom ini. Ada yang mendiagnosis jika pasien saat masuk sudah ada
kelainan, ada yang jika kelainannya timbul selama penanganan konservatif; yang lain jika
kelainannya muncul post partum. Bukti adanya hemolisis telah dilaporkan pada beberapa studi
dan definisi trombositopeni berkisar dari <75.000/mm sampai < 150.000/mm. Belum ada
konsensus mengenai peranan tes fungsi hati untuk mendiagnosis sindrom HELLP. Banyak
penulis mendukung agar nilai laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin dimasukkan untuk
mendiagnosis sindrom ini.

BAB II
PEMBAHASAN
2. 1

DEFINISI
Preeklamsia adalah suatu sindroma yang spesifik pada kehamilan yang biasanya terjadi

sesudah umur kehamilan 20 minggu, pada wanita yang sebelumnya normotensi. Keadaan ini
ditandai oleh peningkatan tekanan darah yang disertai oleh proteinuria. Peningkatan tekanan
darah gestasional didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik > 140 mmHg atau diastolik > 90
mmHg pada wanita yang normotensi sebelum kehamilan 20 minggu. Pada keadaan tanpa
proteinuria, tetap dicurigai sebagai preeklamsia jika peningkatan tekanan darah disertai gejala:
sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri abdomen, atau hasil laboratorium yang tidak normal
terutama bila ada trombositopenia dan peningkatan tes fungsi hati. (Cunningham, et al., 2002,
Noris M, et al., 2005).
Preeklamsia berat ialah preeklamsia dengan salah satu atau lebih gejala ini : Desakan
darah : pasien dalam keadaan istirahat, desakan sistolik > 160 mmHg dan desakan diastolik
110 mmHg.-Proteinuria : 3 gr/jumlah urin selama 24 jam atau dipstik : 3+-Peningkatan kadar
enzim hati atau ikterus-Hemolisis mikroangioptik (peningkatan LDL)-Oliguria : produksi urin <
400 cc/24 jam-Trombositopenia : < 100.000/mm2-Nyeri epigastrium dan nyeri kuadran atas
kanan abdomen-Edema pulmonum-Gangguan otak dan visus : perubahan kesadaran, nyeri
kepala,skotoma dan pandangan kabur. (Noris, et al.,2005)
HELLP syndrome merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda:
hemolisis, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel
sistemik. Keadaan ini merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia dengan faktor risiko
partus preterm, hambatan pertumbuhan janin, serta partus perabdominam.
Pada penderita preeklampsia, Sindroma HELLP merupakan suatu gambaran adanya
Hemolisis (H), Peningkatan enzim hati (Elevated Liver Enzym-EL), dan trombositopeni (Low
Platelets-LP). Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan trimester dua sampai
beberapa hari setelah melahirkan.

2. 2

INSIDEN
Insidens sindroma hellp pada kehamilan berkisar antara 0,2-0,6 %, 4-12% pada

preeklampsia berat, dan menyebabkan mortalitas maternal yang cukup tinggi (24 %), serta
mortalitas perinatal antara 7,7%-60%. Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan
kehamilan trimester dua sampai beberapa hari setelah melahirkan.
Sindrom HELLP terjadi pada 2-12% kehamilan. Sebagai perbandingan, preeklampsi
terjadi pada 5-7% kehamilan. Superimposed sindrom HELLP berkembang dari 4-12% wanita
preeklampsi atau eklampsi. Tanpa preeklampsi, diagnosis sindrom ini sering terlambat.

2. 3

FAKTOR RESIKO
Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsi. Pasien sindrom HELLP

secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsi-eklampsi
tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). lnsiden sindrom ini juga lebih tinggi pada
populasi kulit putih dan multipara lain juga mempunyai observasi serupa.
Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ke tiga, walaupun pada 11% pasien muncul
pada umur kehamilan <27 minggu; di masa antepartum pada sekitar 69% pasien dan di masa
postpartum pada sekitar 31%. Pada masa post partum, saat terjadinya khas, dalam waktu 48 jam
pertama post partum.
Faktor risiko preeklamsia meliputi kondisi medis yang berpotensi menyebabkan kelainan
mikrovaskular, seperti diabetes melitus, hipertensi kronis dan kelainan vaskular serta jaringan
ikat, sindrom antibodi fosfolipid dan nefropati. Faktor risiko lain berhubungan dengan kehamilan
itu sendiri atau dapat spesifik terhadap ibu atau ayah dari janin (Sunaryo R, 2008).

Berbagai faktor risiko preeklamsia (American Family Physician, 2004):

1) Faktor yang berhubungan dengan kehamilan


Kelainan kromosom
Mola hydatidosa
Hydrops fetalis
Kehamilan multifetus
Inseminasi donor atau donor oosit
Kelainan struktur kongenital
2) Faktor spesifik maternal
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Primigravida tua risiko lebih tinggi untuk pre-eklampsia berat.
Ibu hamil berusia diatas 35 tahun atau diatas 40 tahun. Ibu hamil berusia diatas 35 tahun
dapat terjadi hipertensi laten.
Ibu hamil usia remaja, yaitu usia dibawah 20 tahun. Ibu hamil berusia dibawah 25 tahun
insidens > 3 kali lipat.
Ibu hamil dengan kehamilan kembar.
Ibu hamil yang sebelum kehamilannya memiliki penyakit darah tinggi atau penyakit
ginjal.
Riwayat preeklamsia pada keluarga, yaitu ibunya atau saudara perempuannya pernah
mengalami preeklamsia. Jika ada riwayat preeklamsia pada ibu/nenek penderita, factor
risiko meningkat sampai 25%.
Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya.
Ras kulit hitam.
Diet / gizi. Tidak ada hubungan bermakna antara menu / pola diet tertentu (WHO).
Penelitian lain: kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi.
Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese / overweight.
Iklim / musim. Di daerah tropis insidens lebih tinggi.
Kebiasaan merokok. Insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok selama
hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat yang jauh lebih
tinggi.
Aktifitas fisik selama hamil. Istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi
kemungkinan / insidens hipertensi dalam kehamilan.
Hidrops fetalis: berhubungan, mencapai sekitar 50% kasus.
Diabetes mellitus: angka kejadian yang ada kemungkinan patofisiologinya bukan
preeclampsia murni, melainkan disertai kelainan ginjal / vaskular primer akibat
diabetesnya.
Mola hidatidosa: diduga degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan
preeklampsia.
Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini / pada usia kehamilan
muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada preeklampsia.

Nullipara.
Kondisi medis khusus: diabetes gestational, diabetes tipe 1, obesitas, hipertensi kronis,
penyakit ginjal, trombofilia.
Stress.
3) Faktor spesifik paternal
Primipatemitas
Patner pria yang pernah menikahi wanita yang kemudian hamil dan mengalami
preeklamsia
Tabel. Faktor resiko
Sindroma HELLP
Multipara

Preeklampsia
Nullipara

Usia ibu > 25 tahun

Usia ibu < 20 tahun atau > 40 tahun

Ras kulit putih

Riwayat keluarga preeklampsi

Riwayat keluarga kehamilan yang jelek

Asuhan mental (ANC) yang minimal


Diabetes Melitus
Hipertensi kronik
Kehamilan multiple

2. 4

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Sampai saat ini etiologinya yang pasti belum diketahui. Terdapat beberapa hipotesis

mengenai etiologi preeclampsia.


Pada saat ini ada 4 hipotesa patogenesis dari preeklampsia, sebagai berikut dari (Dekker GA.,
Sibai BM.,1998 cit Roeshadi RH., 2006).:
1. Iskemia Plasenta.
Peningkatan deportasi sel tropoblast yang menyebabkan kegagalan invasi ke arteri
spiralis dan akan mengakibatkan iskemia pada plasenta.
2. Mal Adaptasi Imun.
Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel tropoblast pada

arteri spiralis, dan terjadinya disfungsi endotel di picu oleh pembentukkan sitokin, enzim
proteolitik, dan radikal bebas.
3. Genetik Inpreting.
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif tunggal
atau gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin tergantung
pada genotip janin.
4. Perbandingan VLDL (Very Low Density Lipoprotein) dan TxPA (Toxicity Preventing
Activity).
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak nonesterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin yang rendah,
pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak kedalam hepar akan
menurunkan aktifitas antitoksin albumin sampai pada titik dimana VLDL terekspresikan. Jika
kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan muncul.
Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan
dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia (Dekker GA., Sibai BM.,
1998 cit Roeshadi RH., 2006). Tahap pertama terjadinya hipoksia plasenta oleh karena
berkurangnya aliran darah dalam arteri spiralis. Hal ini terjadi karena kegagalan invasi sel
tropoblast pada dinding arteri spiralis pada awal dan trimester kedua kehamilan sehingga arteri
spiralis tidak dapat melebar dengan sempurna dengan akibat penurunan aliran darah dalam ruang
intervilus di plasenta sehingga terjadilah hipoksia plasenta.
Hipoksia plasenta yang berkelanjutan ini akan membebaskan zat-zat toksik seperti
sitokin, radikal bebas dalam bentuk lipid peroksidase dalam sirkulasi darah ibu, dan akan
menyebabkan terjadinya oxidative stress yaitu suatu keadaan, dimana radikal bebas jumlahnya
lebih dominan dibanding antioksidan. Oxidative stress pada tahap berikutnya bersama dengan zat
toksik yang beredar dapat merangsang terjadinya kerusakan pada sel endotel pembuluh darah
yang disebut sebagai disfungsi endotel, dimana dapat terjadi kerusakan pada seluruh permukaan
endotel pembuluh darah dan organ-organ penderita preeclampsia.

Peningkatan kadar lipid peroksidase juga akan mengaktifkan sistem koagulasi, sehingga
terjadi agregasi trombosit dan pembentukan trombus. Secara keseluruhan setelah terjadi
disfungsi endotel di dalam tubuh penderita preeklampsia, jika prosesnya berlanjut dapat terjadi
disfungsi endotel dan kegagalan organ seperti pada:

Ginjal: hiperuricemia, proteinuria dan gagal ginjal


Penyempitan pembuluh darah sistemik ditandai dengan hipertensi
Perubahan permeabilitas pembuluh darah ditandai dengan oedema paru dan oedema

menyeluruh
Pada darah dapat terjadi trombositopeni dan coagulopathi
Pada hepar dapat terjadi perdarahan dan gangguan fungsi hati
Pada susunan syaraf pusat dan mata dapat menyebabkan kejang, kebutaan, pelepasan retina,

dan perdarahan
Pada plasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin, hipoksia janin, dan solusio
plasenta
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan pada

penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi.
Sampai sekarang tidak ditemukan faktor pencetusnya. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir
dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit
intravaskuler; akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya
terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik mikroangiopati
merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang
endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan hapusan darah tepi ditemukan spherocytes,
schistocytes, triangular cells dan burr cells. Peningkatan kadar enzim hati diperkirakan sekunder
akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan
nekrosis periportal dan pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom
subkapsular atau ruptur hati. Nekrosis periportal dan perdarahan merupakan gambaran
histopatologik yang paling sering ditemukan.
Trombositopeni ditandai dengan peningkatan pemakaian dan/atau destruksi trombosit.
Banyak penulis tidak menganggap sindrom HELLP sebagai suatu variasi dari disseminated
intravascular coagulopathy (DIC), karena nilai parameter koagulasi seperti waktu prothrombin
(PT), waktu parsial thromboplastin (PTT), dan serum fibrinogen normal. Secara klinis sulit

mendiagnosis DIC kecuali menggunakan tes antitrombin III, fibrinopeptide-A, fibrin monomer,
D-Dimer, antiplasmin, plasminogen, prekallikrein, dan fibronectin. Namun tes ini memerlukan
waktu dan tidak digunakan secara rutin. Sibai dkk. mendefinisikan DIC dengan adanya
trombositopeni, kadar fibrinogen rendah (fibrinogen plasma < 300 mg/dl) dan fibrin split
product > 40 g/ml.

Semua pasien sindrom HELLP mungkin mempunyai kelainan dasar

koagulopati yang biasanya tidak terdeteksi.

Kegagalan invasi trofoblast ke dalam A.Spiralis


Vasokonstriksi A.Spiralis
Iskemia Plasenta
Produksi Radikal bebas/Oxidant
Disfungsi Endotel

Prostasiklin
me
Ektravasasi
plasma
Agregasi
trombosit
me
Tromboxan Me
Pean kepekaan vaskuler terhadap bahan vaso a
Vasokonstriksi lumen pembuluh darah
Aliran darah regional me
Skema 1: Garis Besar Patofisiologi pre eclampsia berdasar teori pre eclampsia.

10

2. 5

KLASIFIKASI
Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama berdasarkan

jumlah kelainan yang ada. Dalam sistem ini, pasien diklasifikasikan sebagai sindrom HELLP
parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga kelainan ada).
Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan
dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total
seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang parsial dapat diterapi
konservatif.
Klasifikasi kedua HELLP syndrome menurut klasifikasi Mississippi berdasar kadar
trombosit darah terdiri dari:

Kelas 1: Kadar trombosit: 50.000/ml


LDH 600 IU/l
AST dan/atau ALT 40 IU/l
Kelas 2: Kadar trombosit > 50.000 100.000/ml
LDH 600 IU/l
AST dan/atau ALT 40 IU/l
Kelas 3: Kadar trombosit > 100.000 150.000/ml
LDH 600 IU/l
AST dan/atau ALT 40 IU/l

Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post
partum, keluaran maternal dan perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP
kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas ibu lebih tinggi dibandingkan pasien kelas II dan
kelas III.

11

2. 6

MANIFESTASI KLINIS
Pasien sindrom HELLP dapat mempunyai gejala dan tanda yang sangat bervariasi, dari

yang bernilai diagnostik sampai semua gejala dan tanda pada pasien preeklampsi-eklampsi yang
tidak menderita sindrom HELLP.
Sibai (1990) menyatakan bahwa pasien biasanya muncul dengan keluhan nyeri
epigastrium atau nyeri perut kanan atas (90%), beberapa mengeluh mual dan muntah (50%),
yang lain bergejala seperti infeksi virus. Sebagian besar pasien (90%) mempunyai riwayat
malaise selama beberapa hari sebelum timbul tanda lain.
Dalam laporan Weinstein, mual dan/atau muntah dan nyeri epigastrium diperkirakan
akibat obstruksi aliran darah di sinusoid hati, yang dihambat oleh deposit fibrin intravaskuler.
Pasien sindrom HELLP biasanya menunjukkan peningkatan berat badan yang bermakna dengan
oedem menyeluruh. Hal yang penting adalah bahwa hipertensi berat (sistolik 160 mmHg,
diastolik 110 mmHg) tidak selalu ditemukan. Walaupun 66% dari 112 pasien pada penelitian
Sibai dkk (1986) mempunyai tekanan darah diastolik 110 mmHg, 14,5% bertekanan darah
diastolik 90 mmHg.
Dalam laporan awal Weinstein (1952) atas 29 pasien, kurang dari setengah (13 pasien)
mempunyai tekanan darah saat masuk rumah sakit 160/110 mmHg. Jadi sindrom HELLP dapat
timbul dengan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnosis, dan dapat
diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan seperti apendisitis, gastroenteritis,
glomerulonefritis, pielonefritis dan hepatitis virus.
Perlemakan hati akut (AFLP) jarang terjadi tapi potensial menjadi komplikasi yang fatal
pada kehamilan trimester ke tiga. Pada awalnya, perlemakan hati akut dalam kehamilan sukar
dibedakan dari sindrom HELLP. Pasien AFLP mempunyai gejala khas berupa: mual, muntah,
nyeri abdomen, dan ikterus. Sindrom HELLP dan AFLP keduanya ditandai dengan peningkatan
tes fungsi hati, tapi pada sindrom HELLP peningkatannya cenderung lebih besar. PT dan PTT
biasanva memanjang pada AFLP tapi normal pada sindrom HELLP. Pemeriksaan mikroskopik
hati merupakan tes diagnosis untuk menentukan AFLP. Panlobular microvesicular fatty change
(steatosis) difus derajat rendah merupakan gambaran patognomonik AFLP. Penanganan AFLP
meliputi pengakhiran kehamilan segera, atasi hiperglikemi atau koagulopati bila timbul.

12

2. 7

DIAGNOSIS
Diagnosis Sindroma HELLP secara obyektif lebih berdasarkan hasil laboratorium,

sedangkan manifestasi klinis bersifat subyektif, kecuali jika keadaan sindroma HELLP semakin
berat. Berdasarkan hasil laboratorium dapat ditemukan anemia hemolisis, disfungsi hepar, dan
trombositopeni.
Sampai saat ini diagnosis Sindroma hellp lebih berdasarkan parameter laboratorium, dan
parameter yang digunakan selama ini lebih mengarah pada keadaan sindroma hellp lanjut,
dimana morbiditas dan mortalitas ibu mau pun janin cukup tinggi.
Sindrom HELLP ditandai:
1. Hemolisis
Tanda hemolisis dapat dilihat dari ptekie, ekimosis, hematuria dan secara laboratorik adanya
Burr cells pada apusan darah tepi.
2. Elevated liver enzymes
Dengan meningkatnya SGOT, SGPT (> 70 iu) dan LDH (> 600 iu) maka merupakan tanda
degenerasi hati akibat vasospasme luas. LDH > 1400 iu, merupakan tanda spesifik akan kelainan
klinik.
3. Low platelets
Jumlah trombosit < 100.000/mm3 merupakan tanda koagulasi intravaskuler.

13

Tiga kelainan utama pada sindrorn HELLP berupa hemolisis, peningkatan kadar enzim
hati dan jumlah trombosit yang rendah. Banyak penulis mendukung nilai laktat dehidrogenase
(LDH) dan bilirubin agar diperhitungkan dalam mendiagnosis hemolisis. Derajat kelainan enzim
hati harus didefinisikan dalam nilai standar deviasi tertentu dan nilai normal di masing-masing
rumah sakit. Di University of Tennessee, Memphis, digunakan nilai potong > 3 SD.
Tabel. Kriteria diagnosis sindrom HELLP (University of Tennessee, Memphis)
Hemolisis
-kelainan hapusan darah tepi
-total bilirubin >1,2 mg/dl
-laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Peningkatan fungsi hati
-serum aspartate aminotransferase (AST) > 70 U/L
-laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L
Jumlah trombosit yang rendah
-hitung trombosit < 100.000/mm

2. 8

DIAGNOSIS BANDING
Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang

tidak bernilai diagnostik pada preeklampsi berat. Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti
dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan.
Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi:
- Perlemakan hati akut dalam kehamilan
- Apendistis
- Gastroenteritis
- Kolesistitis
- Batu ginjal
- Pielonefritis

14

- Ulkus peptikum
- Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik
- Trombositipeni purpura tromboti
- Sindrom hemolitik uremia
- Ensefalopati dengan berbagai etiologi
- Sistemik lupus eritematosus (SLE)
2. 9

KOAGULOPATI DAN HELLP SYNDROME


Pada preeklampsia, endotel injury menjadi manifestasi dari koagulopati derajat rendah

dengan peningkatan fibronektin, agregasi platelet, pemendekan kemampuan hidup platelet, dan
penekanan derajat antitrombin III. HELLP syndrome berkembang lebih dari 10% kehamilan
dengan preeklampsia berat, bukti keberadaannya memberi kesan bahwa fenomena hipertensi
berat pada kehamilan ini tidaklah sederhana. Konsentrasi plasma sel fibronektin menetap lebih
tinggi selama kehamilan pada ibu yang berkembang menjadi preeklampsia (Hladunewich M. et
al.,2007).

2. 10

KOMPLIKASI
Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%; 1-25% berkomplikasi

serius seperti DIC, solusio plasenta, adult respiratory distress syndrome, kegagalan hepatorenal,
oedem paru, hematom subkapsular, dan rupture hati.
Angka kematian bayi berkisar 10-60%, disebabkan oleh solusio plasenta, hipoksi
intrauterin, dan prematur. Pengaruh sindrom HELLP pada janin berupa pertumbuhan janin
terhambat (IUGR) sebanyak 30% dan sindrom gangguan pernapasan (RDS).

2. 11

PENCEGAHAN
Untuk dapat mencegah suatu penyakit harus diketahui etiologi, pathogenesis dan factor-

faktor resikonya. Mengingat etiologi pre eklampsia belum diketahui, maka metode untuk
memprediksi terjadinya pre-eclampsia juga masih rendah.
Beberapa metode dibawah ini dapat menggambarkan cara-cara pencegahan preeclampsia:

15

a. Istirahat tirah baring


Istirahat tirah baring pada wanita hamil tidak mencegah preeclampsia ringan. Namun
istirahat baring dapat mencegah pre eklampsia ringan menjadi pre eklampsia berat.
b. Diet rendah garam dan pemberian diuretik
Restriksi garam pada kehamilan tidak mencegah terjadinya pre eklampsia. Pemberian
diuretik juga tidak dapat mencegah terjadinya pre eklampsia, sekedar menghilangkan edema
dan penurunan tekanan darah.
c. Suplementasi Magnesium
Peranan magnesium dalam pencegahan terjadinya pre eklampsia masih kontroversi.
d. Defisiensi Zinc
Defisiensi zinc mempunyai hubungan dengan pathogenesis pre eklampsia. Hal ini terbukti
bahwa pada pre eklampsia kadar zinc dalam plasma, leukosit, dan plasenta menurun.
e. Suplementasi Minyak Ikan
Telah dilakukan penelitian pemberian minyak ikan pada wanita hamil yang secara teoritis
dapat memungkinkan terjadinya insidens pre eklampsia. Minyak ikan ini mengandung asam
lemak tidak jenuh yang berpengaruh terhadap metabolisme prostaglandin sehingga tidak
terbentuk

thromboxane A2,

tetapi

terbentuk

thromboxane A3

yang

merupakan

vasokonstriktor lemah.
f.

Suplementasi Kalsium
Pada pre eklampsia terjadi penurunan eskresi kalsium dalam urine. Namun terjadi hal yang
sebaliknya bila terjadi defisiensi kalsium maka resiko terjadinya pre eklampsia lebih besar.

g.

Pemberian Aspirin Dosis Rendah


Beberapa peneliti telah melaporakan bahwa pemberian anti thrombotik berupa Aspirin dosis
rendah, dapat menurunkan insidens pre eklampsia dan pertumbuhan janin terlambat. Dosis
yang diberikan berkisar antara 50 mg 150 mg/hari. Hasil penelitian dari beberapa center
menggambarkan hasil yang kontroversi. Hasil uji klinik ini membuktikan tidak ada

16

perbedaan bahwa antara pemberian aspirin dan pemberian placebo setelah terjadinya
preeclampsia, pertumbuhan janin terhambat dan penyulit ibu yang lain (misal: solusio
plasenta).
h.

Pemberian Antioksidant
Vitamin C, vitamin E, dan carotine

Tirah baring posisi


miring
Hilangnya tekanan uterus pada aorta dan
vena cava
Aliran darah balik Cardiac
Output
Aliran darah
utero plasenta

Vasospasme

Perbaikan
Janin

Norepinephrine

Reaktivitas vaskuler

Skema : Manfaat tirah baring posisi miring.

Aliran darah ginjal

GFR
Diuresis
Pengeluaran
garam

17

2. 12

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan untuk setiap kehamilan dengan penyulit pre eklampsia

penatalaksanaan pre eklampsia antara lain:


1. melindungi i bu dari efek peningkatan tekanan darah
2. mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta, pertumbuhan janin terhambat,
hipoksia sampai kematian janin)
4. melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat sesegera mungkin setelah
matur, atau imatur jika diketahui bahwa risiko janin atau ibu akan lebih berat jika
persalinan ditunda lebih lama.
Sindroma HELLP merupakan salah satu keadaan preeklampsia yang memburuk yang
dapat didiagnosis dengan parameter laboratorium, sementara proses kerusakan endotel juga
terjadi diseluruh sistem tubuh, karenanya diperlukan suatu parameter yang lebih dini dimana
preeklampsia belum sampai menjadi perburukan, dan dapat ditatalaksana lebih awal yang akan
menurunkan terutama morbiditas dan mortalitas ibu, dan mendapatkan janin se-viable mungkin.
Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada
penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsi. Prioritas pertama adalah
menilai dan menstabilkan kondisi ibu, khususnya kelainan pembekuan darah.
Pada pemeriksaan darah tepi terdapat bukti-bukti hemolisis dengan adanya kerusakan sel
eritrosit, antara lain burr cells, helmet cells. Hemolisis ini mengakibatkan peningkatan kadar
bilirubin dan lactate dehydrogenase (LDH). Disfungsi hepar direfleksikan dari peningkatan
enzim hepar yaitu Aspartate transaminase (AST/GOT), Alanin Transaminase (ALT/GPT), dan
juga peningkatan LDH. Semakin lanjut proses kerusakan yang terjadi, terdapat gangguan
koagulasi dan hemostasis darah dengan ketidak normalan protrombin time, partial tromboplastin
time, fibrinogen, bila keadaan semakin parah dimana trombosit sampai dibawah 50.000 /ml
biasanya akan didapatkan hasil-hasil degradasi fibrin dan aktivasi antitrombin III yang mengarah

18

terjadinya Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC). Insidens DIC pada sindroma hellp
4-38%.
Tabel. Penatalaksanaan sindrom HELLP pada umur kehamilan < 35 minggu (stabilisasi
kondisi ibu) (Akhiri persalinan pada pasien sindrorn HELLP dengan umur kehamilan 35
minggu).
1) Menilai dan menstabilkan kondisi ibu
a. Jika ada DIC, atasi koagulopati
b. Profilaksis anti kejang dengan MgSO
c. Terapi hipertensi berat
d. Rujuk ke pusat ksehatan tersier
e. Computerized tomography (CT scan) atau ultrasonografi (USG) abdomen bila diduga
hematoma subkapsular hati
2) Evaluasi kesejahteraan janin
a. Non stress test/tes tanpa kontraksi (NST)
b. Profil biofisik
c. USG
3) Evaluasi kematangan paru janin jika umur kehamilan <35 minggu
a. Jika matur, segera akhiri kehamilan
b. Jika immatur, beri kortikosteroid, lalu akhiri kehamilan
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO untuk mencegah kejang, baik
dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2
g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi urin dan diobservasi terhadap tanda dan
gejala keracunan MgSO. Jika terjadi keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv.
Terapi anti hipertensi harus dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di
samping penggunaan MgSO. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio
plasenta dan kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 - 100
mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine (Apresoline) iv dalam dosis
kecil 2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan
tercapai. Labetalol (Normodyne) dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik.
Karena efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSOdiberikan bersamaan. Diuretik
dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes
tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat.
Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan. Amniosentesis dapat

19

dilakukan pada pasien tanpa risiko perdarahan. Beberapa penulis menganggap sindrom ini
merupakan indikasi untuk segera mengakhiri kehamilan dengan seksio sesarea, namun yang lain
merekomendasikan pendekatan lebih konservatif untuk memperpanjang kehamilan pada kasus
janin masih immatur. Perpanjangan kehamilan akan memperpendek masa perawatan bayi di
NICU (Neonatal Intensive Care Unit), menurunkan insiden nekrosis enterokolitis, sindrom
gangguan pernafasan. Beberapa bentuk terapi sindrom HELLP yang diuraikan dalam literatur
sebagian besar mirip dengan penanganan preeklampsi berat.
Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 35 minggu, atau jika
ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka
terapi definitif ialah mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru
janin belum matur, dapat diberikan 2 dosis steroid untuk akselerasi pematangan paru janin, dan
kehamilan diakhiri 48 jam kemudian. Namun kondisi ibu dan janin harus dipantau secara kontinu
selama periode ini. Goodlin meneliti bahwa terapi konservatif dengan istirahat dapat
meningkatkan volume plasma. Pasien tersebut juga menerima infus albumin 5 atau 25%; usaha
ekspansi volume plasma ini akan menguntungkan karena meningkatkan jumlah trombosit.
Thiagarajah meneliti bahwa peningkatan jumlah trombosit dan enzim hati juga bisa dicapai
dengan pemberian prednison atau betametason.
Clark dkk. melaporkan tiga kasus sindrom HELLP yang dapat dipulihkan dengan
istirahat mutlak dan penggunaan kortikosteroid. Kehamilan pun dapat diperpanjang sampai 10
hari, dan semua persalinan melahirkan anak hidup; pasien-pasien ini mempunyai jumlah
trombosit lebih dari 100.000/mm atau mempunyai enzim hati yang normal. Dua laporan terbaru
melaporkan bahwa penggunaan kortikosteroid saat antepartum dan postpartum menyebabkan
perbaikan hasil laboratorium dan produksi urin pada pasien sindrom HELLP.
Deksametason l0 mg/12 jam iv lebih baik dibandingkan dengan betametason 12 mg/24
jam im, karena deksametason tidak hanya mempercepat pematangan paru janin tapi juga
menstabilkan sindrom HELLP. Pasien yang diterapi dengan deksametason mengalami penurunan
aktifitas AST yang lebih cepat, penurunan tekanan arteri rata-rata (MAP) dan peningkatan
produksi urin yang cepat, sehingga pengobatan anti hipertensi dan terapi cairan dapat dikurangi.
Tanda vital dan produksi urine harus dipantau tiap 6-8 jam. Terapi kortikosteroid dihentikan jika
gejala nyeri kepala, mual, muntah, dan nyeri epigastrium hilang dengan tekanan darah stabil

20

<160/110 mmHg tanpa terapi anti hipertensi akut serta produksi urine sudah stabil yaitu >50
ml/jam.
Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada hal-hal yang mengganngu
kesehatan ibu dan janin. Pasien tanpa kontraindikasi obstetri harus diizinkan partus pervaginam.
Sebaliknya, pada semua pasien dengan umur kehamilan > 32 minggu persalinan dapat dimulai
dengan infus oksitosin seperti induksi, sedangkan untuk pasien < 32 minggu serviks harus
memenuhi syarat untuk induksi. Pada pasien dengan serviks belum matang dan umur kehamilan
< 32 minggu, seksio sesarea elektif merupakan cara terbaik.
Analgesia ibu selama persalinan dapat menggunakan dosis kecil meperidin iv (25-50 mg)
intermiten. Anestesi lokal infiltrasi dapat digunakan untuk semua persalinan pervaginam.
Anestesi blok pudendal atau epidural merupakan kontraindikasi karena risiko perdarahan di area
ini. Anestesi umum merupakan metode terpilih pada seksio sesarea. Pasien dengan nyeri bahu,
syok, asites masif atau efusi pleura harus di USG atau CT scan hepar untuk evaluasi adanya
hematom subkapsular hati.
Ruptur hematom subkapsular hati merupakan komplikasi yang mengancam jiwa. Yang
paling sering adalah ruptur lobus kanan didahului oleh hematom parenkim. Kondisi ini biasanya
ditandai dengan nyeri epigastrium hebat yang berlangsung beberapa jam sebelum kolaps
sirkulasi. Pasien sering merasakan nyeri bahu, syok, atau asites yang masif, kesulitan bernafas
atau efusi pleura dan biasanya dengan janin yang sudah meninggal.
Ruptur hematom subkapsuler hati yang berakibat syok, memerlukan pembedahan
emergensi dan melibatkan multidisiplin. Resusitasi harus terdiri dari transfusi darah masif,
koreksi koagulasi dengan plasma segar beku (FFP) dan trombosit serta laparatomi segera. Pilihan
tindakan pada laparatomi meliputi: packing & draining, ligasi segmen yang mengalami
perdarahan, embolisasi arteri hepatika pada segmen hati yang terkena dan atau penjahitan
omentum atau penjahitan hati. Walaupun dengan penanganan tepat, kematian ibu dan bayi lebih
dari 50% terutama karena eksanguinisasi dan pembekuan. Risiko berikutnya adalah sindrom
gangguan pernafasan, udem paru, dan gagal ginjal akut pasca operasi.
Pembedahan direkomendasikan untuk perdarahan hati tanpa ruptur; namun pengalaman
akhir-akhir ini menunjukkan bahwa komplikasi ini dapat ditangani secara konservatif pada
pasien yang hemodinamiknya masih stabil. Penanganan harus meliputi: pemantauan ketat
keadaan hemodinamik dan koagulopati.

21

Diperlukan pemeriksaan serial USG atau CT scan terhadap hematoma subkapsuler,


penanganan segera bila terjadi ruptur atau keadaan ibu memburuk. Yang terpenting dalam
penanganan konservatif adalah menghindari trauma luar terhadap hati seperti: palpasi abdomen,
kejang atau muntah dan hati-hati dalam transportasi pasien. Peningkatan tekanan intraabdominal
yang tiba-tiba berpotensi menyebabkan ruptur hematom subkapsular. Pasien harus ditangani di
unit perawatan intensif (ICU) dengan pemantauan ketat terhadap semua parameter hemodinamik
dan cairan untuk mencegah udem paru dan atau kelainan respiratorik.
Transfusi trombosit diindikasikan baik sebelum maupun sesudah persalinan, jika hitung
trombosit < 20.000/mm. Namun tidak perlu diulang karena pemakaiannya terjadi dengan cepat
dan efeknya sementara. Setelah persalinan, pasien harus diawasi ketat di ICU paling sedikit 48
jam. Sebagian pasien akan membaik selama 48 jam postpartum; beberapa, khususnya yang DIC,
dapat terlambat membaik atau bahkan memburuk. Pasien demikian memerlukan pemantauan
lebih intensif untuk beberapa hari.
Sindrom HELLP dapat timbul pada masa postpartum. Sibai melaporkan dalam penelitian
304 pasien sindrom HELLP, 95 pasien (31%) hanya bermanifestasi saat postpartum. Pada
kelompok ini, saat terjadinya berkisar dari beberapa jam sampai 6 hari, sebagian besar dalam 48
jam postpartum. Selanjutnya 75 pasien (79%) menderita preeklampsi sebelum persalinan, 20
pasien (21%) tidak menderita preeklampsi baik antepartum maupun postpartum. Penanganannya
sama dengan pasien sindrom HELLP anteparturn, termasuk profilaksis antikejang. Kontrol
hipertensi harus lebih ketat.

22

Umur kehamilan
<32minggu

Pemberian kortikosteroid

Observasi respon klinik

umur kehamilan

umur kehamilan

32-34 minggu

>34 minggu

kortikosteroid

penanganan konservatif

terminasi

tidak
ya
konsul pasien untuk mendapatkan
kondisi pasien

kondisi pasien

pertolongan jika kehamilan dilanjutkan

menburuk

stabil

2minggu/lebih untuk kematangan paru janin

terminasi

pantau pasien di
fasilitas pusat pe-

transfer pasien ke fasilitas pusat


perawatan tersier yang mempunyai NICU

rawatan tersier
kondisi pasien

kondisi pasien

memburuk

baik

terminasi

pantau pasien di
fasilitas perawatan tersier

Skema penanganan sindroma HELLP


BAB III
KESIMPULAN

23

1. Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang ditandai dengan hipertensi, edema dan
proteinuria. Pada penderita preeklampsia, Sindroma HELLP merupakan suatu gambaran
adanya Hemolisis (H), Peningkatan enzim hati (Elevated Liver Enzym-EL), dan
trombositopeni (Low Platelets-LP). Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan
kehamilan trimester dua sampai beberapa hari setelah melahirkan. Keadaan ini
merupakan salah satu komplikasi dari preeklamsia dengan faktor risiko partus preterm,
hambatan pertumbuhan janin, serta partus perabdominam.
2. Faktor resiko terjadinya pre eklampsia antara lain: Usia, Paritas, Ras atau golongan etnik,
faktor keturunan, faktor gen, diet atau gizi, iklim atau musim, tingkah laku,
sosioekonomi, dan hiperplasentosis.
3. Diagnosis Sindroma hellp lebih berdasarkan parameter laboratorium, dan parameter yang
digunakan selama ini lebih mengarah pada keadaan sindroma hellp lanjut, dimana
morbiditas dan mortalitas ibu mau pun janin cukup tinggi.
4. Prioritas pertama penangan sindrom adalah menilai dan menstabilkan kondisi ibu,
khususnya kelainan pembekuan darah. Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis
MgSO untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Langkah selanjutnya
ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan menggunakan tes tanpa tekanan, atau
profil biofisik, biometri USG untuk menilai pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus
diputuskan apakah perlu segera mengakhiri kehamilan.

DAFTAR PUSTAKA

24

1. C.P.J. Witsenburga, F.R. Rosendaal, J.M. Middeldorp, F.J.M. Van der Meer, S.A.
Scherjona, *Department of Obstetrics, Leiden University Medical Center, K6-27, PO
Box 9600 2300 RC Leiden, The Netherlands Department of Clinical Epidemiology,
Leiden University Medical Center, Leiden, The Netherlands Haemostasis and
Thrombosis Research Centre, Leiden University Medical Center, Leiden, The
Netherlands Received 22 March 2004; received in revised form 15 September 2004;
accepted 15 September 2004. Available online 12 October 2004.
2. Jesmin Ara Begum. Department of Gynaecology & Obstetrics, Kumudini Womens
Medical College & Hospital (KWMCH), Mirjapur 1940, Tangail, Bangladesh.
3. Ching-Ming Liu, Shuenn-Dyh Chang, Po-Jen Cheng and An-Shine Chao. Department of
Obstetrics and Gynecology, Chang Gung Memorial Hospital, Chang Gung University
College of Medicine, Taoyuan, Taiwan.
4. Gonca mir Yenicesu, clal zdemir Kol, Cem Yenicesu, Ali etin. Departments of
Obstetrics and Gynecology (Prof. A. etin, MD, Assist. Prof. A. G. . Yenicesu, MD) and
Anesthesiology and Reanimation (Assist. Prof. . zdemir Kol, MD), Cumhuriyet
University School of Medicine, TR-58140 Sivas; Department of Family Medicine (Cem
Yenicesu, MD, Specialist in Family Medicine), Cayiralan State Hospital, Yozgat.
5. Murat Kapana, Mehmet Siddik Evsen, Metehan Gumus, Akn Onder, Guven Tekbas.
Manuscript accepted for publication April 16, 2010. Department of General Surgery,
Dicle University Medical Faculty, Diyarbakr, Turkey. Department of Obstetric and
Gynaecology, Dicle University Medical Faculty, Diyarbakr, Turkey. Department of
Radiology, Dicle University Medical Faculty, Diyarbakr, Turkey. Corresponding author:
Dicle University, Tip Fakultesi, Genel Cerrahi AD., 21280, Diyarbakr, Turkey. Email:
drmuratkapan@gmail.com.
6. Ziya BAYRAKTAROLU, Fikret DEMRC, Ozcan BALAT, rfan KUTLAR, Vahap
OKAN, Gurol UUR.

Departments of Pediatrics and Transfusion Medicine,

Gastroenterology, Obstetrics and Gynecology and Internal Medicine, Gaziantep


University, School of Medicine, Gaziantep.

25

7. Jrat Kondrackien, Limas Kupinskas. Department of Gastroenterology, Kaunas


University of Medicine, Lithuania. Correspondence to J. Kondrackien, Department of
Gastroenterology, Kaunas University of Medicine, Eiveni 2,50009 Kaunas, Lithuania.
E-mail: jukond@takas.lt
8. Lawrence A. Zeidman, MD; Aleksandar Videnovic, MD; Lawrence P. Bernstein, MD;
Chimene A. Pellar, MD. Department of Neurology, Feinberg School of Medicine,
Northwestern University, Chicago, Ill (Drs Zeidman, Videnovic, and Bernstein); and
Departments of Neurology (Dr Bernstein) and Obstetrics-Gynecology (Dr Pellar),
Evanston Northwestern Healthcare, Evanston, Ill.
9. John O. Nunes, Mary Ann Turner, Ann S. Fulcher. Department of Radiology, Virginia
Commonwealth University/Medical College of VirginiaHospitals and Physicians, 1101 E
Marshall St., Sanger Hall, Rm. 4-050, PO Box 980470, Richmond, VA 23298-0470.
Address correspondence to A. S. Fulcher.
10. Denise HJ Delahaije, Sander MJ van Kuijk, Carmen D Dirksen, Simone JS Sep, Louis L
Peeters, Marc E Spaanderman, Hein W Bruinse, Laura D de Wit-Zuurendonk, Joris AM
van der Post, Johannes J Duvekot, Jim van Eyck, Marille G van Pampus, Mark ABHM
van der Hoeven, Luc J Smits.
11. Pre-eclampsie en het HELLP-syndroom Engels Pre-eclampsia and HELLP-syndrome.
www.isala.nl
12. Mehmet Armagan Osmanagaoglu, Selen Osmanagaoglu, Hlya Ulusoy, Hasan Bozkaya.
Department of Obstetrics and Gynecology, and Department of Anesthesiology and
Reanimation, Karadeniz Technical University, Trabzon, Turkey.

13. Dan Mihu, Nicolae Costin, Carmen Mihaela Mihu, Andrada Seicean, Rzvan Ciortea. 1)
Clinic of Obstetrics-Gynecology. 2) Department of Histology. 3) 3rd Medical Clinic,
University of Medicine and Pharmacy, Cluj-Napoca.

26

14. Brigitte LEENERS, Werner RATH, Sabine KUSE, Claudia IRAWAN, Bruno IMTHURN
and Peruka NEUMAIER-WAGNER. Department of Gynecology and Obstetrics,
University Hospital Aachen, Pauwelsstr. 30, 52074 Aachen, Germany, Department of
Gynecology and Obstetrics, University Hospital Zurich, Frauenklinikstr. 10, CH 8910
Zurich, Switzerland, and German pre-eclampsia self-help group (Arbeitsgemeinschaft
Gestose-Frauen e.V.), Geldener Strasse 45, 47661 Issum, Germany.

15. Attila Molvarec; Jnos Rig Jr.; Tams Bze; Zoltn Derzsy; Lszl Cervenak; Veronika
Mak; Tmea Gombos; Mikls Lszl Udvardy; Joln Hrsfalvi; Zoltn Prohszka.
Department of Obstetrics and Gynecology, Semmelweis University, Budapest, Hungary;
Research Group of Inflammation Biology and Immunogenomics, Hungarian Academy of
Sciences, Budapest, Hungary; Department of Internal Medicine and Szentgothai
Knowledge Center, Semmelweis University, Budapest, Hungary; Clinical Research
Center, University of Debrecen, Debrecen, Hungary.
16. WANG Yong-qing, WANG Jing, YE Rong-hua and ZHAO Yang-yu. Department of
Obstetrics and Gynecology, Peking University Third Hospital, Beijing 100191, China
(Wang YQ, Wang J, Ye RH and Zhao YY).
17. C.A. Kirkpatrick. Service de Gynecologie-Obstetrique, Erasme, Brussels.
18. Yinon Gilboa MD, Ron Bardin MD, Dov Feldberg MD and Gill N. Bachar MD.
Departments of Obstetrics and Gynecology and Radiology, Rabin Medical Center
(Beilinson Campus), Petah Tiqwa, Israel Affiliated to Sackler Faculty of Medicine, Tel
Aviv University, Ramat Aviv, Israel.
19. E. Gutirrez-Cafranga, F. J. Garca-Molina, R. Len-del-Pino, E. Montes-Posada, J. D.
Franco-Osorio and F. J. Mateo-Vallejo. Service of General and Digestive Surgery.
Hospital de Jerez.Cdiz, Spain.
20. Balint Nagy, Tibor Varkonyi, Attila Molvarec, Levente Lazar, Petronella Hupuczi,
Nandor Gabor Than and Janos Rigo Jr. First Department of Obstetrics and Gynecology,
Semmelweis University, Budapest, Hungary.

27

21. Woudstra

DM,

Chandra

S,

Hofmeyr

GJ,

Dowswell

T.

http://www.thecochranelibrary.com.
22. Andrea Luigi Tranquilli1, Alessandra Corradetti, Stefano Raffaele Giannubilo, Beatrice
Landi, Francesca Orici and Monica Emanuelli. Institute for Maternal and Child Sciences
and Institute for Biochemical Biotechnologies, Universit Politecnica delle Marche,
Ancona, Italy.
23. EMORY UNIVERSITY SCHOOL OF MEDICINE. Department of Human Genetics
Division of Medical Genetics www.genetics.emory.edu
24. Grgic, O., Radakovic, B., Bariic, D. (2008) Hyperreactio luteinalis could be a risk factor
for development of HELLP syndrome: case report. Fertility and Sterility, 90 (5). e13-e16.
http://medlib.mef.hr/.
25. ARUP LABORATORIES | 500 Chipeta Way | Salt Lake City, Utah 84108-1221 | (800)
522-2787 | www.arupconsult.com | www.aruplab.com.
26. J. Eileen Hay, Mayo Clinic, 200 First Street SW, Rochester, MN 55905. E-mail:
jhay@mayo.edu; fax: 507-266-2810.
27. Marie-Therese Vinnars, Liliane C.D. Wijnaendts, Magnus Westgren, Annemieke C.
Bolte, Nikos Papadogiannakis and Josefine Nasiell. http://hyper.ahajournals.org.
28. Hypertensive Emergencies. Baha M. Sibai.
29. Satpathy Hemant K, Satpathy Chabi, Donald Frey. Fellow, Division of MFM/OBGYN,
Assistant Professor Chairman. Department of family medicine, CUMC, Omaha, NE,
USA.
30. Ratcharat Khumsat MD, Thanyarat Wongwananurak MD, Dittakarn Boriboonhirunsarn
MD, M.P.H., Ph.D. Department of Obstetrics and Gynecology, Faculty of Medicine
Siriraj Hospital, Mahidol University, Bangkok 10700, Thailand.
31. Jun Hyeon Kim, M.D., Jang Su Park, M.D., Dong Jin Baek, M.D., Sang Il Lee, M.D., Ji
Yeon Kim, M.D., Won Joo Choe, M.D., Kyung Tae Kim, M.D., and Jung Won Kim,

28

M.D. Department of Anesthesiology and Pain Medicine, Ilsan Paik Hospital, College of
Medicine, Inje University, Goyang, Korea.
32. Wg Cdr RM Sharma, Wg Cdr GS Sandhu, VSM. Reader (Department of Anaesthesiology
& Critical Care), Reader (Department of Obstetrics & Gynaecology), AFMC, Pune-40.
33. Lt Col Y Singh, Col SPS Kochar, Col M Biswas, Lt Col KJ Singh. Associate Professor,
Professor & Head, Professor (Department of Obstetrics & Gynaecology), Associate
Professor (Department of Surgery), AFMC, Pune. yoginaral@yahoo.co.uk.
34. Haram, K, Svendson E, and Abildgaard U. The HELLP Syndrome: Clinical Issues and
Management. A review. BMC Pregnancy and Childbirth 2009, 9:8 doi:10.1186/14712393-9-8 and available at http://www.biomedcentral.com/1471-2393/9/8.
35. Vidaeff AC. Division of Maternal-Fetal Medicine, University of Texas Houston Medical
School USA.
36. Bas B. van Rijn, Arie Franx, Eric A. P. Steegers, Christianne J. M. de Groot, Rogier M.
Bertina, Gerard Pasterkamp, Hieronymus A. M. Voorbij, Hein W. Bruinse, Mark Roest.
Division of Perinatology and Gynecology, University Medical Center Utrecht, Utrecht,
The Netherlands,

Laboratory for Clinical Chemistry and Hematology, University

Medical Center Utrecht, Utrecht, The Netherlands,

Department of Experimental

Cardiology, University Medical Center Utrecht, Utrecht, The Netherlands, Department of


Obstetrics and Gynecology, St Elisabeth Hospital Tilburg, Tilburg, The Netherlands,
Division of Obstetrics and Prenatal Medicine, Erasmus Medical Center Rotterdam,
Rotterdam, The Netherlands, Department of Obstetrics and Gynecology, Medical Center
Haaglanden, The Hague, The Netherlands, Department of Hematology, Leiden University
Medical Center, Leiden, The Netherlands.
37. SM Pokharel, SK Chattopadhyay, R Jaiswal and P Shakya. Department of Obstetrics and
Gynaecology, College of medical sciences, Bharatpur, Chitwan, Nepal.
38. Dr D Le Thi Thuong, Departments of Internal Medicine, Groupe Hospitalier PitieSalpetrie`re, 47-83 Boulevard de lHopital, 75651 Paris cedex 13, France;
du.boutin@psl.ap-hop-paris.fr

29

39. Hye Yeon Kim, Yong Seok Sohn, Jae Hak Lim, Euy Hyuk Kim, Ja Young Kwon, Yong
Won Park, and Young Han Kim. Department of Obstetrics and Gynecology, 2Women's
Life Science Institute, Yonsei University College of Medicine, Seoul, Korea.
40. Katelyn Saltarelli. Smith_June_2008.doc.

Anda mungkin juga menyukai