Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN CEDERA KEPALA


DI INSTASI GAWAT DARURAT
RSUD ULIN BANJARMASIN
Tanggal 17 Oktober s/d 29 Oktober 2016

Oleh:
Sovia Yunida, S.Kep
NIM. I4B112225

PROGRAM PROFESI NERS ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2016

LEMBAR PENGESAHAN
NAMA

Sovia Yunida, S.Kep

NIM
JUDUL LP

:
:

I4B112225
Asuhan Keperawatan Pada Klien Cedera Kepala Di Instasi Gawat
Darurat RSUD Ulin Banjarmasin

Banjarmasin, 17 Oktober 2016


Mengetahui,
Pembimbing Akademik

Pembimbing Lahan

Abdurahman Wahid, S.Kep.,Ns, M.Kep


NIP. 19831111 200812 1 002

M. Fadli, S.kep, Ns
NIP. 19670610 199003 1 022

A. Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
B. Epidemiologi
Cidera kepala berat merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalulintas. Kejadian cidera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari cidera kepala ringan
sebanyak 296.678 orang (59,3%) , cidera kepala sedang sebanyak 100.890 orang
(20,17%) dan cidera kepala berat sebanyak 102.432 orang (20,4%). Dari
sejumlah kasus tersebut 10% penderitanya meninggal sebelum tiba di Rumah
Sakit
C. Etiologi
Benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan:
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak.
Kekuatan benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat
percepatan, perlambatan dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba
terhadap kepala dan jaringan otak. Trauma tersebut bisa menimbulkan
kompresi dan regangan yang bisa menimbulkan robekan jaringan dan
pergeseran sebagian jaringan terhadap jaringan otak yang lain.
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam.
Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur suatu benda yang keras,
maka akan terjadi perlambatan yang tiba-tiba, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan di tempat benturan dan pada sisi yang berlawanan. Pada
tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi, sedang pada tempat yang
berlawanan terdapat tekanan negative paling rendah sehingga terjadi rongga
dan akibatnya dapat terjadi robekan.
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain dibentur
oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Pada kepala yang tergencet pada awalnya dapat terjadi retak atau hancurnya
tulang tengkorak. Bila gencetannya hebat tentu saja dapat mengakibatkan
hancurnya otak.
D. Manifestasi klinis
1. Riwayat trauma langsung pada kepala atau deselerasi
2. Pasien harus di nilai penuh untuk trauma lainnya

3. Tingkat kesadaran di tentuka dengan GCS


4. Ketidaksimetrisan pupil atau refleks cahaya yang abnormal menunjukkan
perdarahan intrakranial
5. Sakit kepala, mual, muntah, frekuensi nadi menurun, dan peningkatan tekanan

1.
2.
3.
1.

darah menunjukkan edema serebral


Cedera kepala ringan
Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah cedera.
Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah laku
Cedera kepala sedang
Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan atau

hahkan koma
2. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
Cedera kepala berat
1. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
2. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
3. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
4. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.

E. Patofisiologi
1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan atau pada sisi yang
berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai
dinding yang berlawanan.
2. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, dan rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak.
3. Tabrakan
Otak sering kali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat.
4. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
F. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis cedera


kepala diklasifikasikan berdasarkan: Mekanisme, beratnya dan morfologi cedera
kepala.
1. Mekanisme cedera kepala
a. Cedera kepala tumpul
1) Kecepatan tinggi berhubungan dengan kecelakaan mobil atau motor.
2) Kecepatan rendah, biasanya disebabkan jatuh dari ketinggian atau
dipukul dengan benda tumpul.
b. Cedera kepala tembus
1)
Cedera peluru
2)
Cedera tusukan
2. Beratnya cedera kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif
kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya
penderita cedera kepala. Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen diantaranya
respon membuka mata, respon motorik dan respon verbal.

Cedera kepala dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS, yaitu:


a. CKR (cedera kepala ringan)
GCS > 13, Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak, Tidak memerlukan
tindakan operasi, Lama dirawat di RS < 48 jam
b. CKS (cedera kepala sedang)
GCS 9-13, Ditemukan kelainan pada CT scan otak, Memerlukan tindakan
operasi untuk lesi intracranial, Dirawat di RS setidaknya 48 jam
c. CKB (cedera kepala berat) bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai
GCS < 9

G. Pemeriksaan
Penilaian terhadap status neurologis pasien cedera kepala merupakan tindakan
utama yang harus dilakukan sebelum pengobatan diberikan. Perawat yang
bertugas sebaiknya juga mampu melakukan penilaian tersebut untuk membantu
dokter dalam mengobservasi pasien. Adanya perubahan status neurologist pasien
sangat penting untuk diketahui. Perubahan tersebut dapat berlangsung dalam
beberapa menit hingga beberapa jam bahkan beberapa bulan tergantung
penyebabnya (Auken, 1998). Jika penurunan kondisi pasien yang terjadi tidak
disadari, maka hasil akhirnya adalah fatal.
Pemeriksaan status neurologis pasien mencakup beberapa hal, antara lain:
skala koma Glasgow (GCS), ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya,
respons motorik anggota gerak tubuh, dan tanda-tanda vital. Untuk melakukan
penilaian neurologis yang akurat, semua pemeriksaan ini harus dilakukan dan
hasilnya dinilai sebagai satu kesatuan.
1. Skala koma Glasgow

Tingkat kesadaran, sebelum adanya skala koma Glasgow (GCS) pada 1974,
dibedakan dengan berbagai istilah seperti stupor, semi koma, dan koma
dalam, tetapi istilah ini tidak dapat didefinisikan secara konsisten untuk
membedakan tingkat kesadaran dan sering memberikan hasil yang berbedabeda jika pemeriksanya berbeda (Hickey, 1986). Sistem GCS ini dibuat untuk
mengurangi keragaman hasil pemeriksaan, untuk membedakan berat
ringannya keadaan pasien dan mengevaluasi penatalaksanaan, serta berguna
untuk memperkirakan prognosis pasien (Jennet, 1976). Salah satu peranan
GCS yang sangat penting dan sering tidak disadari adalah untuk
berkomunikasi, karena skala ini memiliki nilai objektivitas yang baik dan
pemeriksaannya sederhana. Pemeriksaan GCS tersebut mencakup tiga
komponen yaitu reaksi membuka mata, reaksi motorik, dan reaksi verbal,
masing-masing diberi nilai sebagai berikut:
Untuk reaksi membuka mata (E), jika membuka mata spontan maka
nilainya 4, jika membuka mata
bila ada rangsang suara/ dipanggil maka nilainya 3, jika membuka mata
karena rangsangan nyeri maka nilainya 2, dan jika tidak membuka mata walau
dirangsang nyeri maka nilainya 1.
Untuk reaksi motorik (M), jika gerakan mengikuti perintah misalnya
mengangkat kaki diberi nilai 6, jika hanya mampu melokalisasi rangsang
nyeri dengan menolak rangsangan maka nilainya 5, jika hanya mampu
menarik bagian tubuhnya bila dirangsang nyeri nilainya 4, jika timbul fleksi
abnormal bila dirangsang nyeri maka nilainya 3, jika timbul ekstensi abnormal
bila dirangsang nyeri maka nilainya 2, dan jika tidak ada gerakan dengan
rangsang apapun maka nilainya 1.
Untuk reaksi verbal (V), jika komunikasi verbal baik, menjawab tepat,
orientasi baik maka nilainya 5, jika bingung dan disorientasi maka nilainya 4,
jika menjawab tidak sesuai pertanyaan, hanya berupa kata-kata maka nilainya
3, jika hanya mengerang bila dirangsang nyeri maka nilainya 2, dan jika tidak
ada suara dengan rangsang apapun maka nilainya 1.
Hasil pemeriksaan masing-masing komponen dijumlahkan, rentang
nilainya berkisar antara 3-15. Jika nilai GCS 14-15 disebut cedera kepala

ringan, 9-13 disebut cedera kepala sedang dan 8 atau kurang disebut cedera
kepala berat (Hickey, 1989 & Hickey, 1997). Penurunan nilai GCS 2 atau
lebih menunjukkan perburukan yang bermakna dan harus segera dilaporkan
pada dokter yang merawat.
2. Bentuk dan ukuran pupil
Pupil yang normal akan sama antara mata kiri dan kanan, berukuran 2-4
mm. Pupil pinpoint tanpa keracunan opiate menunjukkan adanya perdarahan
pons. Pupil yang mengalami dilatasi dan terfiksir, menunjukkan kematian
batang otak dan hipoksia berat pada tingkat akhir. Bentuk pupil yang normal
adalah bulat. Pupil yang berbentuk oval mungkin merupakan tanda awal
herniasi tentorial. Pupil berbentuk key hole dapat ditemukan pada pasien
setelah operasi katarak. Secara normal, pupil memberikan reaksi yang cepat
terhadap cahaya terang, karena pupil berfungsi sebagai diafragma yang
mengatur jumlah sinar yang sampai ke retina. Jika reaksi tersebut lambat,
menunjukkan adanya penekanan parsial pada nervus III , sedangkan jika
penekanan tersebut komplit maka reaksi tersebut tidak akan dijumpai. Pupil
yang unisokor pada orang yang sadar penuh tidak menunjukkan efek massa,
tapi tetap harus dikonfirmasikan kepada dokter yang merawat.
3. Tanda vital
Tanda vital sangat penting dalam observasi pasien cedera kepala karena
dapat memberikan banyak informasi mengenai keadaan intrakranial.
Perubahan intrakranial biasanya akan didahului dengan perubahan tanda-tanda
vital terlebih dahulu. Tanda vital tersebut mencakup suhu, nadi, dan tekanan
darah.
a. Suhu
Pada cedera kepala berat biasanya akan terjadi gangguan pengaturan
suhu tubuh karena kerusakan pusat pengatur suhu di hipotalamus.
Metabolisme meningkat sekitar 10% untuk setiap derajat peningkatan suhu
tubuh. Hal ini sangat berdampak buruk terhadap pasien tersebut yang
memang sudah mengalami gangguan suplai oksigen dan glukosa. Salah

satu hasil metabolisme tubuh adalah CO2 yang merupakan vasodilator dan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
b. Nadi
Bradikardia dapat ditemukan pada cedera kepala yang disertai dengan
cedera spinal, atau dapat juga dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan
tekanan intrakranial. Takikardia sebagai respons autonom terhadap
kerusakan hipotalamus juga dapat dijumpai pada tahap akhir dari
peningkatan tekanan intrakranial. Aritmia dapat ditemukan jika terdapat
darah dalam CSF atau lesi fossa posterior.
c. Tekanan Darah
Hipotensi dapat memperburuk keadaan cedera kepala. Perfusi otak yang
kurang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak secara menyeluruh. Jika
hal ini terjadi, maka otak akan mengalami swelling (pembengkakan secara
menyeluruh), dengan hasil akhir peningkatan tekanan intrakranial dan
kematian.
d. Frekuensi pernafasan
Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran tentang
keadaan intrakranial. Jika frekwensi nafasnya cepat (> 28 kali permenit)
dan tidak teratur, merupakan keadaan emergensi yang harus segera
dilaporkan kepada dokter. Tidak selamanya keadaan ini disebabkan oleh
masalah dalam paru-paru. Tetapi untuk tindakan awalnya dapat segera
dinaikkan jumlah oksigen yang diberikan.
4. Amnesia pascatrauma
Indeks lain yang digunakan secara luas untuk menentukan tingkat cedera
kepala adalah durasi amnesia pascatrauma (PTA). PTA didefinisikan sebagai
lamanya waktu setelah cedera kepala saat pasien merasa bingung, disorientasi,
konsentrasi menurun, dan atau ketidakmampuan untuk membentu memori
baru.

5. Pemeriksaan penunjang
a. CT-Scan kepala. Standar baku untuk mendeteksi perdarahan intracranial.
Semua pasien dengan GCS < 15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CTScan, sedangkan pada pasien dengan GCS > 15, CT-Scan dilakukan hanya
dengan indikasi tertentu seperti:
1) Nyeri kepala hebat
2) Ada riwayat cedera yang berat
3) Muntah lebih dari 1 kali
4) Kejang
5) Gangguan keseimbangan berjalan
b. MRI kepala. MRI adalah teknik yang lebih sensitive dibandingakn CTScan, kelainan yang tidak tampak pada CT-Scan dapat dilihat oleh MRI.
H. Penatalaksanaan kegawatdarutan
1. Cedera kepala yang tidak parah umumnya tidak perlu pembedahan, hanya saja
memerlukan pengawasan yang ketat.
2. Sedangkan cedera kepala yang berat memerlukan tindakan pembedahan.

3. Selain melakukan pengawasan dalam perawatan pasien cedera kepala, para


perawat juga harus memperhatikan hal-hal lain dalam perawatan pasien yang
tidak sadar (koma). Hal-hal tersebut mencakup:
a. Pada pasien cedera kepala, tempat tidur penderita diposisikan sedemikian
rupa sehingga kepala penderita berada 30 derajat lebih tinggi dari jantung
penderita. Posisi demikian akan mempermudah drainage aliran darah balik
yang berasal dari intrakranial. Posisi ini akan mengurangi tekanan
intrakranial (Hickey, 1986).
b. Jika terjadi perubahan tanda vital sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
perawat harus segera melaporkan keadaan tersebut kepada dokternya
sehingga tindakan dapat segera dilakukan.
c. Jika terjadi hipertermia, lakukan surface cooling, dapat dilakukan dengan
menggunakan air maupun alkohol. Hal ini dapat membantu menurunkan
kebutuhan oksigen pada sel otak. Idealnya hipertermia maupun hipotermia
harus ditangani dengan selimut pengatur suhu, apakah penghangat atau pun
pendingin.
d. Kebersihan rongga mulut dan gigi. Hal ini sangat penting karena penderita
yang tidak sadar akan mengalami retensi air ludah dan tidak mengunyah
makanan sehingga terjadi kolonisasi kuman terutama kuman komensal.

Jika terjadi aspirasi akan menimbulkan risiko pneumonia. Sebaiknya mulut


dibersihkan dengan larutan antiseptik kumur dua kali sehari dengan
menggunakan kasa.
e. Pasien koma biasanya akan terpaku pada satu posisi tidur dalam waktu
yang lama, sehingga dapat menimbulkan luka dekubitus pada tempattempat
yang merupakan tumpuan berat. Keadaan ini akan memperbesar resiko
infeksi dan merupakan media yang baik untuk kolonisasi kuman. Keadaan
ini dapat dicegah dengan memiringkan posisi penderita setiap 2 jam ke kiri
dan ke kanan secara bergantian (Hickey, 1986). Dapat juga dibuat bantalan
dari sarung tangan karet (surgical glove) yang diisi dengan air, dan
ditempatkan di daerah yang menjadi titik tumpuan anggota gerak misalnya
pada persendian. Lakukan fisioterapi paru sesegera mungkin untuk
mengurangi risiko pneumonia (HAP=Hospital Acquired Pneumonia). Cara
yang mudah dengan menepuk-nepuk dada depan dan belakang untuk
memberikan vibrasi secukupnya pada rongga dada.
f. Setiap selang yang dimasukkan ke dalam saluran tubuh, misalnya kateter,
NGT, maupun kanula infus, harus diganti untuk jangka waktu tertentu.
Perawat sebaiknya mengingatkan dokter tentang jadwal penggantian selang
tersebut.
4. Survei primer
a. Jalan napas: memaksimalkan oksigen dan ventilasi. Daerah tulang servikal
harus dimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck colar.
b. Pernapasan: pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan,
memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot
pernapasan tambahan.
c. Sirkulasi: resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic seperti RL atau
NaCl (20 ml/kgBB)
d. Defisit neurologis: dinilia dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil.
5. Survei sekunder
Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila
telah di pastikan penderitaan CKR tidak memiliki masalah dengan jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah

penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda-tanda


vital dan defisit neurologis.
Bila setelah 24 jam tidak tidak ditemukan kelaina neurologis berupa:
a.
b.
c.
d.
e.

Penurunan kesadaran
Gangguan daya ingat
Nyeri kepala hebat
Mual dan muntah
Fraktur melalui foto kepala maupu CT-Scan
Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan

perawatan dirumah.
I. Algoritma
J. Prognosis
Pasien dengan GCS yang rendah pada 6 sampai 24 jam setelah trauma,
prognosisnya lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.

K. Asuhan Keperawatan
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan
saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial:

Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
e. Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam
berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot
f. Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan
frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive
dan depresi
h. Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap
cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta
pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri
yang hebat, gelisah
l. Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot
hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh.
3. Pemeriksaan Penunjang

a. Scan CT (tanpa/denga kontras). Mengidentifikasi adanya sol, hemoragik,


menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
b. MRI. Sama dengan scan CT dengan atau tanpa kontras.
Nyeri akut

Resiko kekurangan volume cairan

Pain control, Pain level

Fluid Balance

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

Setelah dilakukan tindakan selama 1x24

selama 1 x 60 menit kecemasan pasien

jam, masalah teratasi dengan kriteria

teratasi dengan kriteria hasil:

hasil:

1. Mengenali serangan nyeri


2. Melaporkan nyeri
3. Ekspresi wajah akibat nyeri

1. Mempertahankan urin output dalam


batas normal
2. TD, nadi, suhu tubuh dalam batas
normal

Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
3. Kurangi faktor presipitasi nyeri
4. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
6. Ajarkan tentang teknik
nonfarmakologi
7. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

Fluid Management
1.
2.
3.
4.

Monitor vital sign


Kolaborasi pemberian cairan IV
Atur kemungkinan transfusi
Persiapan untuk transfusi

Hypovolemia Management
1. Monitor intake dan output cairan
2. Pelihara IV line
3. Monitor adanya kelebihan cairan

8. Tingkatkan istirahat
9. Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
10. Kolaborasikan dengan dokter untuk
memberikan farmakologi
mengurangi nyeri
Ketidakefekrtifan pola nafas

Risiko jatuh

Respiratory Status: Ventilation

Fall Prevention Behavior, Risk Control

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan

selama 1 x 10 menit, sesak nafas

selama 1 x 6 jam pasien tidak

berkurang, dengan kriteria hasil:

mengalami hal yang membuat terjatuh,


dengan kriteria hasil:

1. Tingkat pernapasan (kecepatan)


dalam rentang mendekati normal
2. Irama pernapasan regular

1. Menggunakan alat untuk membantu


penglihatan
2. Klien terbebas dari cedera
3. Klien mampu menjelaskan faktor
risiko dari lingkungan atau perilaku

Respiratory Monitoring

personal
4. Menggunakan fasilitas kesehatan

1. Monitor kecepatan, irama,

yang ada
5. Mampu mengenali perubahan status

kedalaman, dan usaha pada


pernapasan

kesehatan

Environment Management
Airway Management

1. Sediakan lingkungan yang aman

1. Posisikan pasien untuk

untuk pasien
2. Identifikasi kebutuhan keamanan

memaksimalkan ventilasi

pasien, sesuai dengan kondisi fisik


dan fungsi kognitif pasien dan
riwayat penyakit terdahulu pasien
3. Memberikan penerangan yang

Oxygen Therpy
1. Atur peralatan oksigenasi
2. Monitor aliran oksigen
3. Pertahankan posisi pasien

cukup
4. Menganjurkan keluarga untuk
menemani pasien.
5. Memindahkan barang-barang yang
dapat membahayakan
6. Berikan penjelasan pada pasien dan
keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
Iskandar Japardi. Pemeriksaan Dan Sisi Praktis Merawat Pasien Cedera Kepala.
Bagian Bedah Saraf FK USU Ka. UPF Bedah Saraf RS dr Pirngadi Medan.
NANDA International. Nursing Diagnosis: Definitions and Classification 2012
2014. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., et al. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). 4th ed. Mosbie
Elsevier: USA.
Bulechek, G.M., et al. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). 5th ed.
Mosbie Elsevier: USA.
Dewanto George, Dkk. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta:
EGC.
Pierce A. Grace, Neil R. Borley. 2006. At A Glance Ilmu Bedah. Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, Suzzane C. 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Ed. 8, Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai