LP Cedera Kepala
LP Cedera Kepala
Oleh:
Sovia Yunida, S.Kep
NIM. I4B112225
LEMBAR PENGESAHAN
NAMA
NIM
JUDUL LP
:
:
I4B112225
Asuhan Keperawatan Pada Klien Cedera Kepala Di Instasi Gawat
Darurat RSUD Ulin Banjarmasin
Pembimbing Lahan
M. Fadli, S.kep, Ns
NIP. 19670610 199003 1 022
A. Definisi
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau
deselerasi terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
B. Epidemiologi
Cidera kepala berat merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan
lalulintas. Kejadian cidera kepala di Amerika Serikat setiap tahunnya
diperkirakan mencapai 500.000 kasus, yang terdiri dari cidera kepala ringan
sebanyak 296.678 orang (59,3%) , cidera kepala sedang sebanyak 100.890 orang
(20,17%) dan cidera kepala berat sebanyak 102.432 orang (20,4%). Dari
sejumlah kasus tersebut 10% penderitanya meninggal sebelum tiba di Rumah
Sakit
C. Etiologi
Benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan:
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak.
Kekuatan benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat
percepatan, perlambatan dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba
terhadap kepala dan jaringan otak. Trauma tersebut bisa menimbulkan
kompresi dan regangan yang bisa menimbulkan robekan jaringan dan
pergeseran sebagian jaringan terhadap jaringan otak yang lain.
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam.
Kepala yang sedang bergerak kemudian membentur suatu benda yang keras,
maka akan terjadi perlambatan yang tiba-tiba, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan di tempat benturan dan pada sisi yang berlawanan. Pada
tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi, sedang pada tempat yang
berlawanan terdapat tekanan negative paling rendah sehingga terjadi rongga
dan akibatnya dapat terjadi robekan.
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyender pada benda lain dibentur
oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Pada kepala yang tergencet pada awalnya dapat terjadi retak atau hancurnya
tulang tengkorak. Bila gencetannya hebat tentu saja dapat mengakibatkan
hancurnya otak.
D. Manifestasi klinis
1. Riwayat trauma langsung pada kepala atau deselerasi
2. Pasien harus di nilai penuh untuk trauma lainnya
1.
2.
3.
1.
hahkan koma
2. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit neurologik,
perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik,
kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan pergerakan.
Cedera kepala berat
1. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
2. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
3. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
4. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area tersebut.
E. Patofisiologi
1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan atau pada sisi yang
berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai
dinding yang berlawanan.
2. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, dan rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang
menyerang titik-titik tulang dalam tengkorak.
3. Tabrakan
Otak sering kali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat.
4. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
F. Klasifikasi
G. Pemeriksaan
Penilaian terhadap status neurologis pasien cedera kepala merupakan tindakan
utama yang harus dilakukan sebelum pengobatan diberikan. Perawat yang
bertugas sebaiknya juga mampu melakukan penilaian tersebut untuk membantu
dokter dalam mengobservasi pasien. Adanya perubahan status neurologist pasien
sangat penting untuk diketahui. Perubahan tersebut dapat berlangsung dalam
beberapa menit hingga beberapa jam bahkan beberapa bulan tergantung
penyebabnya (Auken, 1998). Jika penurunan kondisi pasien yang terjadi tidak
disadari, maka hasil akhirnya adalah fatal.
Pemeriksaan status neurologis pasien mencakup beberapa hal, antara lain:
skala koma Glasgow (GCS), ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya,
respons motorik anggota gerak tubuh, dan tanda-tanda vital. Untuk melakukan
penilaian neurologis yang akurat, semua pemeriksaan ini harus dilakukan dan
hasilnya dinilai sebagai satu kesatuan.
1. Skala koma Glasgow
Tingkat kesadaran, sebelum adanya skala koma Glasgow (GCS) pada 1974,
dibedakan dengan berbagai istilah seperti stupor, semi koma, dan koma
dalam, tetapi istilah ini tidak dapat didefinisikan secara konsisten untuk
membedakan tingkat kesadaran dan sering memberikan hasil yang berbedabeda jika pemeriksanya berbeda (Hickey, 1986). Sistem GCS ini dibuat untuk
mengurangi keragaman hasil pemeriksaan, untuk membedakan berat
ringannya keadaan pasien dan mengevaluasi penatalaksanaan, serta berguna
untuk memperkirakan prognosis pasien (Jennet, 1976). Salah satu peranan
GCS yang sangat penting dan sering tidak disadari adalah untuk
berkomunikasi, karena skala ini memiliki nilai objektivitas yang baik dan
pemeriksaannya sederhana. Pemeriksaan GCS tersebut mencakup tiga
komponen yaitu reaksi membuka mata, reaksi motorik, dan reaksi verbal,
masing-masing diberi nilai sebagai berikut:
Untuk reaksi membuka mata (E), jika membuka mata spontan maka
nilainya 4, jika membuka mata
bila ada rangsang suara/ dipanggil maka nilainya 3, jika membuka mata
karena rangsangan nyeri maka nilainya 2, dan jika tidak membuka mata walau
dirangsang nyeri maka nilainya 1.
Untuk reaksi motorik (M), jika gerakan mengikuti perintah misalnya
mengangkat kaki diberi nilai 6, jika hanya mampu melokalisasi rangsang
nyeri dengan menolak rangsangan maka nilainya 5, jika hanya mampu
menarik bagian tubuhnya bila dirangsang nyeri nilainya 4, jika timbul fleksi
abnormal bila dirangsang nyeri maka nilainya 3, jika timbul ekstensi abnormal
bila dirangsang nyeri maka nilainya 2, dan jika tidak ada gerakan dengan
rangsang apapun maka nilainya 1.
Untuk reaksi verbal (V), jika komunikasi verbal baik, menjawab tepat,
orientasi baik maka nilainya 5, jika bingung dan disorientasi maka nilainya 4,
jika menjawab tidak sesuai pertanyaan, hanya berupa kata-kata maka nilainya
3, jika hanya mengerang bila dirangsang nyeri maka nilainya 2, dan jika tidak
ada suara dengan rangsang apapun maka nilainya 1.
Hasil pemeriksaan masing-masing komponen dijumlahkan, rentang
nilainya berkisar antara 3-15. Jika nilai GCS 14-15 disebut cedera kepala
ringan, 9-13 disebut cedera kepala sedang dan 8 atau kurang disebut cedera
kepala berat (Hickey, 1989 & Hickey, 1997). Penurunan nilai GCS 2 atau
lebih menunjukkan perburukan yang bermakna dan harus segera dilaporkan
pada dokter yang merawat.
2. Bentuk dan ukuran pupil
Pupil yang normal akan sama antara mata kiri dan kanan, berukuran 2-4
mm. Pupil pinpoint tanpa keracunan opiate menunjukkan adanya perdarahan
pons. Pupil yang mengalami dilatasi dan terfiksir, menunjukkan kematian
batang otak dan hipoksia berat pada tingkat akhir. Bentuk pupil yang normal
adalah bulat. Pupil yang berbentuk oval mungkin merupakan tanda awal
herniasi tentorial. Pupil berbentuk key hole dapat ditemukan pada pasien
setelah operasi katarak. Secara normal, pupil memberikan reaksi yang cepat
terhadap cahaya terang, karena pupil berfungsi sebagai diafragma yang
mengatur jumlah sinar yang sampai ke retina. Jika reaksi tersebut lambat,
menunjukkan adanya penekanan parsial pada nervus III , sedangkan jika
penekanan tersebut komplit maka reaksi tersebut tidak akan dijumpai. Pupil
yang unisokor pada orang yang sadar penuh tidak menunjukkan efek massa,
tapi tetap harus dikonfirmasikan kepada dokter yang merawat.
3. Tanda vital
Tanda vital sangat penting dalam observasi pasien cedera kepala karena
dapat memberikan banyak informasi mengenai keadaan intrakranial.
Perubahan intrakranial biasanya akan didahului dengan perubahan tanda-tanda
vital terlebih dahulu. Tanda vital tersebut mencakup suhu, nadi, dan tekanan
darah.
a. Suhu
Pada cedera kepala berat biasanya akan terjadi gangguan pengaturan
suhu tubuh karena kerusakan pusat pengatur suhu di hipotalamus.
Metabolisme meningkat sekitar 10% untuk setiap derajat peningkatan suhu
tubuh. Hal ini sangat berdampak buruk terhadap pasien tersebut yang
memang sudah mengalami gangguan suplai oksigen dan glukosa. Salah
satu hasil metabolisme tubuh adalah CO2 yang merupakan vasodilator dan
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
b. Nadi
Bradikardia dapat ditemukan pada cedera kepala yang disertai dengan
cedera spinal, atau dapat juga dijumpai pada tahap akhir dari peningkatan
tekanan intrakranial. Takikardia sebagai respons autonom terhadap
kerusakan hipotalamus juga dapat dijumpai pada tahap akhir dari
peningkatan tekanan intrakranial. Aritmia dapat ditemukan jika terdapat
darah dalam CSF atau lesi fossa posterior.
c. Tekanan Darah
Hipotensi dapat memperburuk keadaan cedera kepala. Perfusi otak yang
kurang dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak secara menyeluruh. Jika
hal ini terjadi, maka otak akan mengalami swelling (pembengkakan secara
menyeluruh), dengan hasil akhir peningkatan tekanan intrakranial dan
kematian.
d. Frekuensi pernafasan
Pola dan frekwensi pernafasan dapat memberikan gambaran tentang
keadaan intrakranial. Jika frekwensi nafasnya cepat (> 28 kali permenit)
dan tidak teratur, merupakan keadaan emergensi yang harus segera
dilaporkan kepada dokter. Tidak selamanya keadaan ini disebabkan oleh
masalah dalam paru-paru. Tetapi untuk tindakan awalnya dapat segera
dinaikkan jumlah oksigen yang diberikan.
4. Amnesia pascatrauma
Indeks lain yang digunakan secara luas untuk menentukan tingkat cedera
kepala adalah durasi amnesia pascatrauma (PTA). PTA didefinisikan sebagai
lamanya waktu setelah cedera kepala saat pasien merasa bingung, disorientasi,
konsentrasi menurun, dan atau ketidakmampuan untuk membentu memori
baru.
5. Pemeriksaan penunjang
a. CT-Scan kepala. Standar baku untuk mendeteksi perdarahan intracranial.
Semua pasien dengan GCS < 15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CTScan, sedangkan pada pasien dengan GCS > 15, CT-Scan dilakukan hanya
dengan indikasi tertentu seperti:
1) Nyeri kepala hebat
2) Ada riwayat cedera yang berat
3) Muntah lebih dari 1 kali
4) Kejang
5) Gangguan keseimbangan berjalan
b. MRI kepala. MRI adalah teknik yang lebih sensitive dibandingakn CTScan, kelainan yang tidak tampak pada CT-Scan dapat dilihat oleh MRI.
H. Penatalaksanaan kegawatdarutan
1. Cedera kepala yang tidak parah umumnya tidak perlu pembedahan, hanya saja
memerlukan pengawasan yang ketat.
2. Sedangkan cedera kepala yang berat memerlukan tindakan pembedahan.
Penurunan kesadaran
Gangguan daya ingat
Nyeri kepala hebat
Mual dan muntah
Fraktur melalui foto kepala maupu CT-Scan
Maka penderita dapat meninggalkan rumah sakit dan melanjutkan
perawatan dirumah.
I. Algoritma
J. Prognosis
Pasien dengan GCS yang rendah pada 6 sampai 24 jam setelah trauma,
prognosisnya lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.
K. Asuhan Keperawatan
1. Riwayat kesehatan
Waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat
kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
2. Pemeriksaan fisik
a. Sistem respirasi:
Suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi,
ataksik), nafas berbunyi, stridor, tersedak, ronki, mengi positif
(kemungkinan karena aspirasi).
b. Kardiovaskuler:
Pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
c. Kemampuan komunikasi:
Kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia akibat kerusakan
saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
d. Psikososial:
Data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari
keluarga.
e. Aktivitas/istirahat
S : Lemah, lelah, kaku dan hilang keseimbangan
O : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, guadriparese, goyah dalam
berjalan (ataksia), cidera pada tulang dan kehilangan tonus otot
f. Sirkulasi
O : Tekanan darah normal atau berubah (hiper/normotensi), perubahan
frekuensi jantung nadi bradikardi, takhikardi dan aritmia.
g. Integritas Ego
S : Perubahan tingkah laku/kepribadian
O : Mudah tersinggung, delirium, agitasi, cemas, bingung, impulsive
dan depresi
h. Eliminasi
O : BAB/BAK inkontinensia/disfungsi.
i. Makanan/cairan
S : Mual, muntah, perubahan selera makan
O : Muntah (mungkin proyektil), gangguan menelan (batuk, disfagia).
j. Neurosensori
S : Kehilangan kesadaran sementara, vertigo, tinitus, kehilangan
pendengaran, perubahan penglihatan, diplopia, gangguan
pengecapan/pembauan.
O : Perubahan kesadara, koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, atensi dan kinsentarsi) perubahan pupil (respon terhadap
cahaya), kehilangan penginderaan, pengecapan dan pembauan serta
pendengaran. Postur (dekortisasi, desebrasi), kejang. Sensitive terhadap
sentuhan / gerakan.
k. Nyeri/Keyamanan
S : Sakit kepala dengan intensitas dan lokai yang berbeda.
O : Wajah menyeringa, merintih, respon menarik pada rangsang nyeri
yang hebat, gelisah
l. Keamanan
S : Trauma/injuri kecelakaan
O : Fraktur dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan ROM, tonus otot
hilang kekuatan paralysis, demam, perubahan regulasi temperatur tubuh.
3. Pemeriksaan Penunjang
Fluid Balance
hasil:
Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
3. Kurangi faktor presipitasi nyeri
4. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
5. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
6. Ajarkan tentang teknik
nonfarmakologi
7. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Fluid Management
1.
2.
3.
4.
Hypovolemia Management
1. Monitor intake dan output cairan
2. Pelihara IV line
3. Monitor adanya kelebihan cairan
8. Tingkatkan istirahat
9. Berikan informasi tentang nyeri
seperti penyebab nyeri, berapa lama
nyeri akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
10. Kolaborasikan dengan dokter untuk
memberikan farmakologi
mengurangi nyeri
Ketidakefekrtifan pola nafas
Risiko jatuh
Respiratory Monitoring
personal
4. Menggunakan fasilitas kesehatan
yang ada
5. Mampu mengenali perubahan status
kesehatan
Environment Management
Airway Management
untuk pasien
2. Identifikasi kebutuhan keamanan
memaksimalkan ventilasi
Oxygen Therpy
1. Atur peralatan oksigenasi
2. Monitor aliran oksigen
3. Pertahankan posisi pasien
cukup
4. Menganjurkan keluarga untuk
menemani pasien.
5. Memindahkan barang-barang yang
dapat membahayakan
6. Berikan penjelasan pada pasien dan
keluarga atau pengunjung adanya
perubahan status kesehatan dan
penyebab penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Iskandar Japardi. Pemeriksaan Dan Sisi Praktis Merawat Pasien Cedera Kepala.
Bagian Bedah Saraf FK USU Ka. UPF Bedah Saraf RS dr Pirngadi Medan.
NANDA International. Nursing Diagnosis: Definitions and Classification 2012
2014. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., et al. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). 4th ed. Mosbie
Elsevier: USA.
Bulechek, G.M., et al. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). 5th ed.
Mosbie Elsevier: USA.
Dewanto George, Dkk. 2009. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta:
EGC.
Pierce A. Grace, Neil R. Borley. 2006. At A Glance Ilmu Bedah. Jakarta: Erlangga.
Smeltzer, Suzzane C. 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Ed. 8, Jakarta: EGC.