Anda di halaman 1dari 6

HUKUM NIKAH TANPA WALI, JANDA ATAU PERAWAN

1. Hanafi: gadis maupun janda boleh nikah tanpa wali, dg syarat wanita tersebut
dewasa dan suaminya sekufu. Di Mesir, gadis umur 21 tahun boleh nikah tanpa wali
.
2. Maliki: gadis maupun janda harus dengan izin wali.
3.Syafii: gadis maupun janda harus dengan izin wali.
4.Hanbali: gadis maupun janda harus dengan izin wali.
5. Mazhab Syiah: sama dengan mazhab imam abu hanifah. bagi gadis sebaiknya denga
n wali.
Rinciann
ya:
1. Jumhur (mayoritas-kebanyakan) ulama mazhab menyatakan bahwa wali dalam pernik
ahan adalah rukun nikah. Artinya tidak sah nikah tanpa wali. Berdasarkan beberap
a hadits ; Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari ayahnya radliyallhu anhuma-, dia ber
kata, Rasulullah Shallallhu alaihi Wa Sallam bersabda, Tidak (shah) pernikahan kecu
ali dengan wali. Dalam hadits lain ; Dari Imran bin al-Hushain secara marfu : Tidak
(shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang saksi. Dan dari Aisyah
radliyallhu anha, dia berkata, Rasulullah Shallallhu alaihi Wa Sallam bersabda, Siap
a saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika d
ia (suami) sudah berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar
sebagai imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka su
ltan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi orang yang tid
ak memiliki wali.
Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat Imam hadit
s, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy, Abu Daud dan Ibn Maj
ah). Hadits tersebut dinilai shahh oleh Ibn al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn
Hibban yang menganggapnya memiliki illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya ma
ta rantai jalur transmisinya setelah seorang dari Tabi in, seperti bila seorang Ta
b iy berkata, Rasulullah bersabda, demikian ).
Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari al-Hasan dar
i Imran bin al-Hushain secara marfu (sampai kepada Rasulullah). Menurut Syaikh Abdu
llah bin Abdurrahman al-Bassam, kualitas hadits ini adalah Shahh dan dikeluarkan o
leh Abu Daud, at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hkim, al
-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahh oleh Ibn al-Madiniy, A
hmad, Ibn Ma in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan al-Hkim serta disetujui
oleh Imam adz-Dzahabiy.
Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah Hasan. Hadits t
ersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi iy, Abu Daud, at-Turmudziy, Ibn Maj
ah, ad-Daruquthniy, al-Hkim dan al-Baihaqiy serta selain mereka dari jalur yang b
anyak sekali melalui Ibn Juraij dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari Urwah
dari Aisyah. Rijl (Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya
Tsiqt dan termasuk Rijl Imam Muslim.
2. Sebagian Ulama menyatakan bahwa wali tidak menjadi syarat atau rukun sebuah p
ernikahan. Artinya pernikahan dianggap sah walau tanpa wali apabila wanita yang
akan menikah tersebut sudah dewasa ( janda atau perawan ). Dan Pendapat ini dipe
gang oleh Imam Abu Hanifah.
Al-Imam Muhammad ibn Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahwa hadits
ini ( Larangan nikah tanpa wali ) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi be
rsambung atau terputus sanad.
Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn a
l-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama Abu Ishaq
al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang disebut oleh Ibn Hi

bban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tet
api hanya mawquf pada Abu Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang peraw
i bernama al-Hajjaj ibn Arta ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbl berkat hamper
semua riwaytanya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Htaim al
-Razi berkata beliau saduq tetapi yudallis dari du`afa .
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wali tidak diambil secara mut
lak dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang artinya, Wanita y
ang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya dari walinya. Riw
ayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya d
engan lelaki yg sekufu.
Abu Hanifah menangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhsi
s atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir atau
mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas k
arena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuiny
a dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadits riwayat Ibn Maj
ah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al- Ataki.
Abu Hanifah dan al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas iaitu apabila wanita be
bas dalam aqad jual beli dan urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas tentang
aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan aqad
yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri se
ndiri setelah aqil baligh.
Al-Imam Malik ibn Anas
Malik ibn Anas membenarkan wanita yang tidak cantik, tidak berharta, tidak berke
turunan mulia untuk nikah tanpa wali. Dawud al-Zahiri membolehkan nikah tanpa wa
li bagi janda dan mensyaratkan wali bagi wanita perawan.
Al-Imam al-Shafii
Yunus ibn Abd al-A`la mengatakan bahwa al-Imam al-Shafi`i sendiri mengatakan bahw
a sekiranya seorang wanita dalam musafir dan ketiadaan wali, lalu ia tahkim yait
u menyerahkan perkawinannya kepada seorang lelaki, maka itu adalah boleh. al-Naw
awi menyokong perkara itu dengan syarat lelaki itu mesti adil. al-Nawawi mengata
kan bahawa Yunus seorang yang thiqah.
Shaykh Abd al-Rahman al-Jaziri seorang faqih terkemuka al-Azhar mengatakan bahawa
kedua-dua bentuk pernikahan adalah sah, amat perlu dalam masyarakat Islam dan b
eliau menyokong hujah-hujah Hanafiyyah. Beliau berpendapat bahawa perkara ini me
nunjukkan kekekalan, kesyumulan dan kesesuaian Islam untuk menyelesaikan masalah
masyarakat pada setiap masa dan tempat sehingga tidak ada seorang pun yang tera
niaya. Kedua-dua pendapat adalah bagus, boleh diamalkan dan diterima akal. Menur
ut beliau, apabila aqad mengikut mazhab jumhur terhalang karena sesuatu sebab, u
mat Islam perlu menggunakan pendapat yang kedua (Pendapat Abu Hanifah) dan hal t
ersebut tidak tercela.
Mazhab al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i
Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa boleh bagi wanita muslimah mewalikan di
rinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum hadits, Mana-mana perem
puan yang bernikah tanpa izin walinya . kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan
atau janda adalah pendapat Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpen
dapat wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. A
bu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan
keizinan wali.

Hujah-hujah Mazhab al-Imam Abu Hanifah r.a.


1. Hadith wali dhaif (lemah)
al-Imam Abu Hanifah r.a. mengganggap hadiths wali ( larangan nikah tanpa wali) a
dalah dhaif (lemah) lalu tidak mewajibkan wali bagi seseorg muslimah baik perawa
n atau janda.
Al-Imam Muhammad ibn Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan bahawa hadits
ini (larangan nikah tanpa wali) tidak sunyi dari pertikaian yaitu dari segi ber
sambung atau terputus sanad. Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufya
n al-Thawri dan Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seo
rang perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis sep
erti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semu
a perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat seorang peraw
i bernama al-Hajjaj ibn Arta ah seorang daif dan mudallis. Ibn Hanbal berkata hamp
er semua riwayatnya mempunyai ziyadah, Ibn al-Madini meninggalkannya. Abu Hatim
al-Razi berkata beliau saduq tetapi mudallis dari du`afa .
2. Hujah hadits sahih
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahawa wali tidak diambil secara mu
tlak (karena hadits hadits wali tidak sahih) dan tidak perlu keizinan wali berda
sarkan hadits sahih yang maknanya, Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebi
h berhak terhadap dirinya dari walinya. Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Ay
yim menurut bahasa ialah setiap wanita yg tidak bersuami baik ia perawan atau ja
nda. Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yang sekufu (sepad
an).
Sekiranaya hadits-hadits wali adalah sahih, maka ia hanya khusus untuk wanita yg
masih kecil belum baligh dan wanita gila. Adapun muslimah yg telah baligh ( dew
asa) maka ia berhak mewalikan dirinya sendiri (haqq al-tasurruf). Beliau dan pen
gikutnya dari kalngan ulama hanfiyyah mentafsirkan hadits Tiada nikah melainkan
dgn wali sebagai tidak sempurna nikah , bukan tidak sah nikah.
3. Zhahir ayat-ayat al-Quran
Al-Imam Abu Hanifah berhujah dgn zahir ayat2 al-Quran yg menyatakan perempuan it
u menikahkan dirinya sendiri iaitu 230, 232 dan 234 surah al-Baqarah ;
230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempu
an itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudia
n jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (be
kas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan
dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya
kepada kaum yang (mau) mengetahui.
232. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janga
nlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabi
la telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma ruf.
234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-ist
eri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber iddah) empat bulan sepul
uh hari. kemudian apabila telah habis iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali
) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah menge
tahui apa yang kamu perbuat.

Abu Hanifah mengangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak boleh ditakhs
is atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima hadith mutawatir ata
u mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah menolak hadith al-Zuhri di atas
karena apabila al-Zuhri ditanya tentang hadits tersebut beliau tidak mengetahuin
ya dan menafikan bahwa beliau meriwayatkannya. Dalam sanad hadith riwayat Ibn Ma
jah pula ada seorang pendusta bernama Jamil ibn Hasan al- Ataki.
4. Hujah qiyas
Al-Imam Abu Hanifah dan Ulama al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas yaitu apa
bila wanita bebas dalam aqad jual beli dan aqad urusan-urusan lain, maka mereka
juga bebas secara mutlak tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada perbed
aan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita deng
an lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh. Menghalang wanita yg
baligh dan aqil mengahwinkan diriny dgn mana2 lelkai yg sekufu adalah bersalaag
n dgn prinsip2 Islam yg asas (qawa`id al-Islam al- ammah).
Al-Hafiz Ibn Abi Shaybah meriwayatkan dengan dua sanad yang sahih dari Zuhri dan
Sha bi tentang nikah tanpa wali, keduanya berkata, Sekiranya dengan lelaki sekufu
ia adalah sah.
Al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa boleh bagi wanita muslimah mewa
likan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan mafhum (pemahaman) ha
dits, Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya
kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat Amir al-Sh
a`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan rukun sah nikah tapi
hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan a
l-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan keizinan wali.
NIKAH BERWALIKAN LELAKI SHALIH
Al-Imam Ibn Sirin
Al-Hafiz Ibn Hazm berkata telah sabit riwayatnya yang sahih dari Ibn Sirin, bahw
a perempuan yang tidak mempunyai wali lalu menyerahkan kewaliannya kepada lelaki
yang sholeh untuk mengaqadkannya maka itu adalah sah. Berdasarkan ayat 55 dari
al-Qur an surah al-maidah ; Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya me
reka tunduk (kepada Allah).
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak rukun dan ata
u syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Muh
ammad Saw. Adanya calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terl
aksananya ijab dan kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbe
da antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab 1ain; bukan di sini tempatnya untuk
diuraikan.
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat pernikahan dengan pria la
in, atau tidak dalam keadaan iddah (masa menunggu) baik karena wafat suaminya, at
au dicerai, hamil, dan tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinika
hi, sebagaimana disebutkan di atas.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf Berpendapat: Sesungguhnya wanita yang sudah dewasa dan
berakal sehat berhak mengurus sendiri `aqad pernikahannya, baik ia gadis maupun
janda. Tetapi yang sebaiknya ia menguasakan `aqad nikahnya itu kepada walinya, d
emi menjaga pandangan yang kurang wajar, dari pihak pria asing, seandainya ia se
ndiri yang melangsungkan aqad nikahnya itu. Tetapi wali `ashib (ahli waris) tida
klah mempunyai hak untuk menghalang halanginya bila mana seorang wanita menikah
dengan seorang pria dengan mahar yang kurang dari nilai mitsl (batas minimal).

Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat tanpa persetujuan wal
i ashibnya, menurut pendapat yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Abu Y usuf, per
nikahan tersebut tidak sah. Pendapat ini cukup beralasan karena tidak setiap wal
i dapat mengadukan perkaranya kepada Hakim, dan tidak setiap Hakim dapat memutus
kannya dengan adil.
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf berpendapat Bah
wa wali berhak menghalang-halangi perkawinan wanita dengan pria yang tidak seder
ajat dengan jalan permohonan kepada Pengadilan untuk membatalkannya. Dengan alas
an untuk menjaga `aib yang kemungkinan timbul dari pihak suaminya selama belum m
elahirkan atau belum hamil. Jika ternyata sudah hamil atau melahirkan, maka gugu
rlah haknya untuk meminta pembatalan Pengadilan, demi menjaga kepentingan anak d
in memelihara kandungannya. Tetapi jika pihak prianya sederajat, sedangkan mahar
nya kurang dari mahar mitsl, dan jika wali mau menerima calon suami ini, maka pe
rkawinannya boleh terus berlangsung. Sebaiknya, kalau ia menolak, yang bersangku
tan boleh mengadu kepada Hakim untuk meminta pembatalan.
Seandainya dari pihak wanita tidak mempunyai wali `ashib (ahli waris) yaitu sama
sekali tak mempunyai wali atau wali yang bukan wali `ashib, maka tak ada hak ba
gi seorangpun diantara mereka ini untuk menghalang-halangi aqad nikahnya, baik i
a kawin dengan pria sederajat atau tidak, dengan mahar mitsl atau kurang. Sebab
dalam keadaan demikian seluruh urusan dirinya menjadi tanggung jawabnya sendiri
sepenuhnya. Seandainya tidak ada seorang wali yang merasa terkenal, karena perka
winannya dengan pria yang tidak sederajat itu dengan sendirinya mahar mitslnya m
enjadi gugur, sebab ia sudah terlepas dari wewenang wali-walinya.
Kesimpulannya ; Dalam Fikih Abu Hanifah terdapat Konsep Wali nikah (tidak wajib)
yang kontradiktif dengan jumhur (kebanyakan) ulama fikih, yaitu la yustararul wa
liyu fi sihhatin nikah al-balighah. maksudnya adalah bolehnya nikah tanpa wali ba
gi wanita yang sudah dewasa (perawan atau janda), bahkan lebih lanjut dijelaskan
bahwa seorang wanita dewasa boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa peranta
ra walinya. Adapun argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah:
1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230; Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak y
ang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan s
uami yang lain . Dan Q.S. Al- Baqarah (2): 234 yakni Kemudian apabila telah habis idda
hnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri
mereka menurut yang patut
Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada pere
mpuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan sec
ara langsung (tanpa wali).
2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya, karena itu ia
bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan hokum antara akad nik
ah dengan akad-akad lainnya.
3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali bersifat khusu
s, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan dirinya itu tidak memenuhi s
yarat untuk bertindak sendiri, misalnya karena masih belum dewasa atau tidak mem
iliki akal sehat. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW : Orang-orang yang
tidak mempunyai jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, da
n gadis itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah d
iamnya (Hadits Bukhari Muslim).

: : {

21

<< :

Anda mungkin juga menyukai