Anda di halaman 1dari 3

24 Agustus 2016

Bioetik PPDS Semester Awal


Mouris Titin Dwiputra
C104216112
08114447687
mouris_dwiputra@yahoo.com

Kasus:
1. Pemerintah meminta partisipasi dokter dalam melakukan pemeriksaan kondisi
narapidana yang telah dieksekusi dengan cara ditembak mati
2. Pemerintah meminta dokter untuk berperan aktif dalam tindakan kebiri
narapidana dengan kasus pemerkosaan anak
3. Pemerintah meminta dokter untuk berperan aktif dalam melakukan eksekusi mati
narapidana
Pendapat dan referensi:
1. Secara pribadi mendukung penghukuman berat terhadap pelaku kekerasan
seksual pada amak. Namun untuk berperan aktif dalam eksekusi sangat tidak
setuju karena itu bertentangan dengan etik dan disiplin profesi kedokteran.
Dimana dalam kode etik kedokteran, tugas seorang dokter itu menyembuhkan
pasien, bukan melakukan penghukuman yang membuat pasien menderita.
Dalam pasal 11 ayat 4 (KODEKI tahun 2012) dijelaskan bahwa Seorang
dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk meringankan
penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.
2. Tidak setuju jika dokter untuk berperan aktif dalam tindakan kebiri narapidana
dengan kasus pemerkosaan anak. Hal tersebut berarti bahwa dokter telah
turut serta dalam penyiksaan (torture) atau other forms of cruel, inhuman atau
degrading procedures. Dalam Deklarasi Tokyo disebutkan bahwa seorang
dokter tidak boleh berpartisipasi, membantu, atau menerima/menyetujui
tindakan penyiksaan atau other forms of cruel, inhuman atau degrading
procedures, baik korban dicurigai, dituduh, ataupun bersalah, dan apapun
kepercayaan atau motif korban, dan pada seluruh situasi, termasuk konflik
bersenjata dan konflik sipil. Dokter juga tidak boleh menyediakan dasar
pikiran, instrumen, substansi, atapun pengetahuan untuk memfasilitasi
pelaksanaan torture atau other forms of cruel, inhuman atau degrading

procedures atau untuk melemahkan kemampuan korban untuk mengatasi


perlakuan tersebut.2
Penyiksaan (torture) berarti segala tindakan yang menyebabkan rasa sakit
hebat atau penderitaan, baik fisik ataupun mental, yang bertujuan secara
sengaja pada seseorang untuk tujuan memperoleh informasi atau pengakuan
dari orang tersebut atau orang ke tiga, menghukum orang tersebut untuk
tindakan yang telah orang tersebut atau orang ke tiga lakukan atau dicurigai
dilakukan, atau mengintimidasi atau memaksa orang tersebut atau orang ke
tiga atau untuk alasan apapun berdasarkan diskriminasi apapun, jika rasa
sakit atau penderitaan ditimbulkan oleh atau saat investigasi atau dengan izin
atau persetujuan resmi publik atau orang lain yang berkapasitas resmi. Hal ini
tidak termasuk nyeri atau penderitaan yang hanya berasal dari inheren atau
insidental terhadap sanksi hukum.3
3. Tidak setuju jika dokter berperan aktif dalam melakukan eksekusi mati
narapidana. Sebagaimana yang telah dilafalkan dalam sumpah dokter yang
tertuang dalam pasal 1, dan dalam pasal 11 Kode Etik Kedokteran Indonesia,
untuk menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan, maka peran
aktif dalam tindakan eksekusi mati merupakan suatu hal yang melanggar
kode etik dokter.4 Demikian pula dalam Deklarasi Tokyo oleh World Medical
Association disebutkan bahwa penghargaan sepenuhnya untuk hidup
manusia hendaknya dijaga meskipun di bawah ancaman, dan tidak
menggunakan pengetahuan kedokteran yang dimiliki untuk hal-hal yang
bertentangan dengan kemanusiaan.5
Dalam Resolution on Physician Participation in Capital punishment atau death
penalty yang dikeluarkan oleh World Medical Association disebutkan bahwa
adalah tidak etis bagi dokter untuk berpartisipasi pada hukuman mati, dalam
bentuk apapun, atau selama tahap apapun dalam proses eksekusi. 5
Partisipasi dokter membuat dokter berperan sebagai wasit hukuman mati atau
penyiksaan, sementara dokter memiliki kewajiban untuk menggunakan ilmu
yang dimiliki demi kemanusiaan dan harus menjaganya dari eksploitasi
penggunaan pengetahuan tersebut di jalan yang dapat mengganggu aspirasi

profesi dokter. Inilah alasan mengapa pengetahuan dan keterampilan dokter


hendaknya tidak digunakan untuk pelaksanaan hukuman mati, baik dalam
menentukan metode hukuman mati tertentu ataupun mengarahkan caranya. 6
Referensi:
1. Konsil Kedokteran Indonesia, 2011, Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia
Tahun 2011, Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia.
2. World Medical Association, 1975, WMA Declaration of Tokyo - Guidelines
for Physicians Concerning Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment in Relation to Detention and Imprisonment,
Tokyo: World Medical Association.
3. World Medical Association, 2012, White Paper on Ethical Issues
Concerning Capital Punishment, Perancis: World Medical Association.
4. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, 2012, Kode Etik Kedokteran
Indonesia, Jakarta: PB IDI.
5. Amnesty International, 2000, Ethical Codes and Declarations Relevant to
the Health Professions, London: Amnesty International.
6. Bonnie RJ, 1992, The Death Penalty, When Doctors Must Say No, BMJ
305: 381-382.

Anda mungkin juga menyukai