Anda di halaman 1dari 9

Latar belakang:

Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan jenis terparah dari dengue fever. yang ditandai
dengan pendarahan dan kebocoran plasma. faktor resiko DHF telah diketahui. Namun, faktor
resiko tidak
memonitor

terlalu umum bagi suatu populasi dan suatu daerah tertentu, apalagi untuk
dan menagem klinis

dari pasien yang memiliki faktor resiko DHF. Studi ini

menjelaskan mengenai demografi dan faktor resiko bagi penderita DHF dewasa di Singapur pada
tahun 2006 (lebih dominan serotype 1) dan tahun 2007 -2008 (lebih dominan serotype 2)
Metode :
Studi control kasus restroprktif telah dilakukan terhadap 149 penderita DHF dan 326 penderita
demam berdarah (DF) pada tahun 2006, dan 669 penderita DHF dan 1141 penderita DF pada
tahun 2007-2008. Demografi dan faktor resiko data telah dikumpulkan dari pasien secara
berkala. Kami melakukan multivarian regresi logistik untuk tiap sampel , yakni pasien DHF
dengan demografis serta faktor resikonya tahun 2006 dan tahun 2007 2008 secara berturutturut.
Hasil :
Chinese (peluang rasio [AOR] = 1.90; 95% confidence interval [CI]: 1.013.56)pada tahun
2006,Kontras usia sekitar 3039 tahun(AOR = 1.41; 95% CI:1.091.81), 4049 tahun(AOR =
1.34; 95% CI:1.091.81), perempuan (AOR = 1.57; 95% CI:1.281.94), Chinese (AOR = 1.67;
95% CI:1.242.24), diabetes (AOR = 1.78; 95% CI:1.062.97), diabetes dengan hipertensi
(AOR = 2.16; 95%CI:1.183.96) yang di mana di lakukan pada tahun 20072008.hipertensi di
ajukan sebagai kasus DHF yang bisa di perbaiki nemun di luar dari penyerta berupa Diabetes
Melitus. Chinese disertai dengan hipertensi dan diabetes.2.1 (95% CI:1.074.12), di simpulkan
Chinese dengan hipertensi dan DM memiliki faktor resiko tinggi terhadap DHF.
Kesimpulan:
Pasien demam berdarah dewasa berumur 30 -49 tahun di Singapura, keturunan Cina, perempuan,
menderita diabetes atau diabetes dengan hipertensi adalah memiliki faktor resiko DBD dengan
didominasi dengue serotipe 2. Faktor resiko ini dapat digunakan sebagai panduan untuk pasien
agar dapat mengecek kondisi secara klinis dan mendapat perawatan lebih awal di Singapura

Introduction :
Demam berdarah adalah penyakit yang biasa dialami manusia yang hidup di daerah tropis dan
subtropis di dunia. Biasanya ditemukan di area kota dan pasiennya mengalami gejala demam
yang berbeda-beda, Demam berdarah (DB) akan menjadi Demam Berdarah dengue (DBD) dan
demam berdarah shock syndrome (DSS). Hal ini diidentifikasikan sekitar 50 juta penderita,
50.000 kasus DHF dan 22.000 kasus mengalami kematian. Di beberapa Negara Asia, demam
berdarah adalah penyakit yang paling banyak menyebabkan penderita harus dirawat di rumah
sakit dan kematian anak anak yang berumur 1- 3 tahun. Namun demikian, Di singapura, jumlah
pasien demam berdarah anak dengan umur dibawah 15 tahun

mengalami penurunan dan

peningkatan jumlah pasien bertambah pada orang dewasa yang berumur diatas 25 tahun sejak
tahun 1982. Demam berdarah Dengue dapat terlihat melalui perdarahan dan bocornya plasma
dan menyebabkan shock bila tidak cepat ditangani. Faktor molekul penentu (DHF) seperti variasi
virus, yang disebabkan oleh virus dan peningkatan antibody dependent enlargement (ADE),
antigen nya sendiri cytokine storm. Dan plasma diusulkan sebagai faktor pathophysiology
DHF.Bagaimanapun, mendiagnosa atau mencegah kejadian DHF bisa di lakukan dengan
mengidentifikasi faktor resiko untuk DHF yang dapat memudahkan awal deteksi klinis melalui
pencegahan dan penyembuhan. Dari hasil data epidemiologi faktor resiko
dengueserotype 2, yakni adalah

DHF pada

Genotype Asia, pernah terinfeksi dengue tipe lain,anak

anak,usia >65 tahun, wanita dan berkulit putih. Analisa integratif mengidentifikasi faktor resiko
ini bersama-sama dengan faktor penentu DHF yang molekular, hal ini dapat memudahkan
pemahaman yang lebih baik menyangkut pathophysiology DHF.faktor resiko lain termasuk
anemia sel bulan sabit, asma, hipertensi, uremia, alergi ,penggunaan korticosteroid dan DM,
faktor resiko yang tidak dapat di hindari dari faktor faktor resiko tersebut adalah serotypes.
Lagipula, kebanyakan faktor resiko dikenali dari analisa univariat sebagai gantinya tentang
multivariate analisa untuk melakukan penyesuaian untuk potensi confounders. Pada studi ini,
kita menyelidiki demografis dan faktor resiko yang di lakukan pada penderita DHF di Singapura
pada tahun 2006 dimana demam berdarah serotype 1 yang mendominasi dan pada tahun 2007
dan 2008 di mana demam berdarah serotype 2 mendominasi.

Metoda
Suatu studi control kasus retrospektif yang dilakukan menggunakan data yang
dikumpulkan dari semua pasien orang dewasa yang terjangkit demam berdarah,dilaksanakan
pada tanggal 1 Januari 2006 sampai 31 Desember 2008 di Rumah Sakit Tan Tock Seng (TTSH)
yang merupakan rumah sakit paling besar di Singapura untuk perawatan pasien demam berdarah
dimana yang terstandardisasi diperuntukan untuk pasien dmam .Dari data yang dianalisa,bahwa
demam berdarah didapatkan suhu >380C disertai: sakit kepala, nyeri retro-orbital, myalgia,
arthralgia, ruam, manifestasi perdarahan, atau leukopenia. Pasien demam berdarah yang akut
serologinya positif setelah dilakukan rapit strip Test IgM dan IgG (Panbio Diagnostik,
Queensland,Australia ) dan diagnosis klinis demam berdarah menurut WHO. Tes igG ini adalah
untuk mendeteksi karakteristik dari infeksi virus sekunder dan telah ditetapkan untuk mendeteksi
infeksi/peradangan sekunder akut. Pasien yang positif demam berdarah juga dapat dikonfirmasi
dengan PCR dan diagnostik klinis demam berdarah menurut WHO pada tahun 1997. Demam
berdarah dengue di diagnosa ketika semua keempat criteria seperti demam, manifestasi
perdarahan, thrombocytopenia (<100 x 109 / L) dan kebocoran plasma (hematocrit 20%,
hypoproteinemia ).
Pasien dengan diagnosa DHF dan DF diklasifiksikan sebagai group kasus dan group
kontrol. Dalam membandingkan demografis dan co-morbidas pasien DHF dan DF, data diambil
dari tinjauan table sebelumnya. Data demografis adalah umur, jenis kelamin dan etnis. Data
comorbidas adalah DM, hipertensi, asma, hyperlipidemia, stroke, PPOK, penggunaan
kortikosteroid dan HIV/AIDS. Bagaimanapun, penyakit PPOK, penggunaan kortikosteroid dan
HIV/AIDS tidak di masukan di analisa karena comorbidnya yang tidak terlapor dan hanya ada
sedikit kasus (DBD) atau (DB). Pasien dengan DM cenderung untuk mempunyai co-morbidas,
dan efek resiko DM dengan co-morbidas tambahan pada DHF.
Metode statistik
Karena ini merupakan analisa deskriptif, test Pearson chi-square dan Fisher test
digunakan untuk membandingkan variabel mutlak, dan Mannwhitney U tes digunakan untuk
membandingkan variabel berlanjut dengan distribusi yang tidak merata. Fungsi Univariate Dan
multivariate digunakan untuk mengkalkulasi dan disesuaikan dengan perbandingan rasio (COR,
AOR), berturut-turut, dan 95% conviden interval (CI) digunakan untuk menilai asosiasi dari
variabel dengan DHF. Efek diperkecil dengan melakukan multivariate fungsi dan menyesuaikan

untuk potensi confounders yang dikenali pada sistem analisa deskriptif. Potensi confounders
adalah ekspose yang ditemukan berbeda secara statistik (p,0.05) antara pasien DHF dan DF
dalam Tabel 1 dan bentuk yang sesuai dengan multivariate diuji menggunakan likelihood-ratio.
Di Singapura, infeksi demam berdarah sebagian besar didominasi dengan demam berdarah
serotype 1 ( yang dideteksi 75% dari 100% demam berdarah dimana sampel dikumpulkan tiap
bulan) sepanjang tahun 2006, dan demam berdarah serotype 2 ( yang dideteksi sampai 91%
tentang demam berdarah) sepanjang di tahun 2007 dan 2008 yang sedang mewabah. Dengan
demam berdarah yang berbeda serotypenya menyebabkan penyakit yang berbeda, data dari tahun
2006 dan data dari tahun 2007-2008 diteliti secara terpisah untuk memperkecil pengaruh dalam
kaitan dengan demam berdarah yang berbeda serotypes. stratifikasi analisa yang dilakukan untuk
mengevaluasi efek antara DM dan co-morbid yang lain berresiko DHF. Semua analisa statistik
dilakukan menggunakan Stata 10.0 ( Stata Corp., Perguruan tinggi Setasiun, TX, 2005). Semua
test diselenggarakan di 5% pada level signifikan, dengan OR, P-Value dan 95% convinden
interval.
Persetujuan etika
Penelitian ini telah di setujui oleh domain specific review board, National Healthcare
Group, Singapore (DSRB-E/08/567) dengan tanpa melakukan inform consent karena ini
merupakan studi retrospektif dan data dianalisa dengan tanpa nama
Hasil
Demografis Dan co-morbidas profil DHF& DF pasien, keduanya mewabah di tahun
2006, ada 149 pasien DBD dan 326 pasien DB. Di antara pasien tersebut, ada 131 ( 27.6%)
pasien yang PCR positif dan 344 ( 72.4%) pasien yang serology positif tetapi PCR negatif. ratarata Umur adalah 37.3 (12.8) tahun dan 34.0 ( 11.0) tahun untuk pasien DBD dan pasien DB.
Antara pasien DBD, ada 67.8% laki-laki dan 77.2% beretnis Cina. Sedangkan 326 pasien DF,
71.5% adalah laki-laki dan 62.9% adalah etnis Cina ( Tabel 1).
Di tahun 2007 dan 2008, ada 669 pasien DBD dan 1,141 pasien DB. Di antara pasien itu,
ada 590 ( 32.6%) pasien yang PCR positif dan 1220 ( 67.4%) pasien yang serology positif tetapi
PCR negatif. Rata-rata umur adalah 38.4 ( 13.4) tahun dan 36.2 ( 12.9) tahun untuk pasien
DBD dan pasien DB. Di antara pasien DBD, ada 58.7% laki-laki dan 77.1% etnis Cina.
Sedangkan 1,141 pasien DB,

70.9% adalah laki-laki dan 62.8% adalah etnis Cina ( Tabel 1).
Tentang variabel yang demografis, perbedaan secara statistik ( P,0.05) ditemukan antara
DBD dan DB berkenaan dengan umur (P = 0.008), kelompok umur ( P= 0.017) dan ethnis (P=
0.021) di tahun 2006, dan umur (P=0.001), kelompok umur ( P = 0.002), jenis kelamin (P=0.001)
dan ethnis ( P=0.001) di tahun 2007 dan 2008 (Tabel 1). Penggunaan banyaknya hari demam
sebelum dirawat rumah sakit sebagai pengganti index dalam health-seeking perilaku antara
pasien DBD dan DB, tidak ada perbedaan penting adalah yang diamati di keduanya tahun 2006
( P= 0.941) seperti halnya tahun 20072008 ( P= 0.308) ( Tabel 1). Khususnya, perbedaan secara
statistik penting ditemukan antara DBD dan DB berkenaan dengan hipertensi ( P= 0.036) dan
DM ( P= 0.004) di tahun 2007 dan 2008 tetapi bukan tahun 2006 ( Tabel 1).
Faktor resiko untuk DHF
Etnis Cina adalah satu-satunya faktor resiko penting yang berhubungan dengan DBD di
tahun 2006, setelah penyesuaian untuk faktor resiko univariate ( Tabel 2). Walaupun secara garis
besar, kemungkinan ( AOR) dari perkembangan DBD pada pasien Cina adalah 1.90 ( 95%
CI:1.013.56) yang lebih tinggi dibanding yang beretnis bukan Cina, Orang India atau Melayu.
Di tahun 2007 dan 2008, kelompok umur, jenis kelamin dan etnis diamati untuk dihubungkan
dengan DBD, mengikuti penyesuaian untuk faktor resiko univariate ( Tabel 2). kemungkinan
( AOR) dari suatu individu adalah usia 30 - 39 tahun dan 40 - 49 tahun perkembangan DBD
adalah 1.41 ( 95% CI:1.091.81) dan 1.34 ( 95% CI:1.091.81) yang lebih tinggi dibanding
bahwa dari suatu individu di bawah 30 tahun. Wanita mempunyai 1.57 ( 95% CI:1.281.94) yang
lebih tinggi resiko DBD dibanding pria. Sebagai tambahan, kemungkinan (AOR) dari suatu
Pasien Cina dengan DBD adalah 3.15 ( 95% CI:2.344.23) dan 1.67 ( 95% CI:1.242.24) lebih
tinggi dibandingkan dengan Orang India dan etnis lain. ( Tabel 2).
co-morbidas, setelah penyesuaian untuk faktor resiko univariate, hanya DM yang tetap
merupakan suatu faktor resiko untuk DBD ( AOR= 1.78; 95% CI:1.062.97) di tahun 2007 dan
2008 ( Tabel 3). Pasien penyakit gula cenderung mempunyai co-morbidas. Kami menyelidiki
efek resiko DBD pada pasien yang mempunyai;DM dengan hipertensi, hyperlipidemia atau sakit
asma. DM dengan hipertensi ( COR= 2.43; 95% CI:1.424.15), DM dengan hyperlipidemia
( COR= 1.82; 95% CI:1.063.12) dan DM dengan tidak ada sakit asma ( COR= 1.74; 95%
CI:1.102.76) adalah yang diamati untuk hubungan dengan DBD ( Tabel 4). Bagaimanapun, DM
dengan hipertensi ( AOR= 2.16; 95% CI:1.183.96) dan DM dengan tidak ada sakit asma

( AOR= 1.68; 95% CI:1.022.76) diamati untuk dihubungkan dengan DBD setelah penyesuaian
untuk faktor resiko univariate yang penting ( Tabel 4). Kemungkinan itu (AOR) dari suatu
individu yang mempunyai;DM dengan sakit asma DBD adalah 4.38 ( 95% CI:0.80 23.85) yang
lebih tinggi dibandingkan dengan orang tidak punya DM dengan tidak ada sakit asma.
Bagaimanapun, tidak ada arti statistik dan hampir bisa dipastikan dalam kaitan dengan sample
yang sedikit hanya 7 subjek yang mempunyai; DM dengan sakit asma ( Tabel 4). Dalam
mengkonfirmasikan ini, diamati studi lebih lanjut dengan lebih besar sample yang diperlukan.
Sebagai tambahan, antar pasien dengan hipertensi, kemungkinan ( AOR) tentang DBD dalam
kaitan dengan DM adalah yang lebih tinggi ( AOR= 2.39; 95% CI:1.214.71) dibandingkan
untuk pasien tanpa hipertensi ( AOR = 1.28; 95% CI:0.562.93; Tabel 5). Bukti persiapan
disajikan tentang modifikasi efek antara DM dan hipertensi atas resiko DBD. Lebih dari itu,
diamati bahwa hari opname lebih panjang untuk pasien penyakit gula ( 4.993.34 hari)
dibandingkan dengan pasien tidak berpenyakit gula ( 4.041.62 hari; P= 0.001). Perbedaan
penting juga diamati pada hari opname antara DBD dengan DM dan DBD dengan tidak DM
( DBD dengan DM: 5.213.12 hari; DBD dengan tidak DM: 4.331.75 hari; P= 0.046) (data
tidak ditunjukkan).
Bagian Analisa pasien dengan data IGg dan Pasien Cina akan dilaksanakan. Di bagian
jenis analisa 1,220 ( 67.4%) pasien opname sepanjang tahun 20072008 mempunyai data IGg
lebih lanjut menunjukkan DM itu (AOR: 1.92; 95% CI: 1.023.61) seperti halnya DM dengan
hipertensi ( AOR: 4.41; 95% CI: 1.1616.82) yang sebagai faktor resiko tetap DBD ( Tabel S1).
Lagipula, di dalam suatu bagian jenis analisa kasus ( DBD) dan kontrol ( DB) yang diidentifikasi
etnis Cina di tahun 2007 dan 2008, DM ( AOR= 2.23; 95% CI:1.214.11), DM dengan hipertensi
( AOR= 2.1; 95% CI:1.074.12), DM dengan tidak ada hyperlipidemia ( AOR = 3.75; 95%)
CI:1.2711.02) dan DM dengan tidak ada sakit asma ( AOR= 1.96; 95% CI:1.093.52) dengan
bebas dihubungkan dengan DBD , setelah penyesuaian untuk kelompok umur, jenis kelamin, dan
hipertensi ( data tidak ditunjukkan).
Diskusi
Hasil dari studi ini menunjukkan wanita Cina, kelompok umur antara 30 sampai 49
tahun, pre-existing DM atau DM disertai hipertensi adalah faktor resiko mengidap DBD
sepanjang tahun 2007 dan 2008 manakala demam berdarah serotype 2 mewabah. Di lain pihak,
etnis Cina adalah satu-satunya yang memiliki faktor berisiko sepanjang tahun 2006 manakala

demam berdarah serotype 1 mewabah. Ini berkaitan dengan demam berdarah yang berbeda tipe
sepanjang keduanya mewabah. Khususnya, demam berdarah serotype 2 dikenal sebagai dengan
demam berdarah yang lebih parah dibanding serotype 1. Dalam suatu analisa pada tahun 2006,
2007 dan 2008 yang mewabah, semua faktor resiko dikenali di tahun 20072008 seperti faktor
resiko mandiri kecuali DM ( Tabel S2). Ini boleh dijadikan sebagai potensi dari yang berbeda
serotypes. Lagipula, kita tidak boleh langsung menghubungkan antara pengamatan umur, jenis
kelamin dan co-morbidas dengan DBD hasil dari suatu studi dimana sebelumnya 1,973 pasien
orang dewasa demam berdarah di tahun 2004 mewabah manakala demam berdarah serotype 1
merupakan penyakit yang paling mewabah. Bagaimanapun, tidaklah mungkin dengan
meyakinkan DM dengan Hipertensi pada Demam berdarah menunjukkan perbedaan serotype
selama penyakit mewabah seperti faktor yang membukukan perbedaan dalam faktor resiko di
studi ini. Di luar lingkup dari studi ini untuk menyoroti faktor potensi lain, seperti perubahan
iklim, genotype yang disebabkan kuman virus yang berubah seperti halnya perubahan dalam
perilaku yang mungkin telah juga mengakibatkan perbedaan.
Tidak mengejutkan etnis Cina terutama yang wanita adalah yang lebih bresiko DBD
daripada yang tinggal di Cuba dan Brazil seperti halnya di Vietnam untuk demam berdarah shock
sindrom ( DSS).
Kelompok umur antara 30 - 39 dan antara 40 - 49 adalah yang memiliki faktor resiko DBD pada
orang dewasa demam berdarah. Pengamatan ini berbeda dari studi sebelumnya di Cuba dan di
Singapura dimana anak-anak dengan usia 14 tahun mempunyai resiko yang lebih tinggi
mengidap DBD dibandingkan dengan orang dewasa

ynag umurnya lebih muda atau yang

berusia diatas 15 tahun. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi perbedaan ini berkaitan dengan
imunitas yang diturunkan dan perubahan pola transmisi. Orang yang berumur diatas 65 tahun di
Taiwan yang lebih berisiko tinggi mengidap DBD. Bagaimanapun, umur yang digolongkan 60
tahun tidak memiliki faktor resiko DBD (Tabel 2) dalam studi yang sekarang. Co-Morbidas
seperti hipertensi, DM, hyperlipidemia dan sakit asma adalah di antara minoritas yang
memimpin penyebab angka kematian dan keadaan tidak sehat di Asia. Comorbidas ditunjukkan
untuk d ijadikan hubungan dengan klinis beberapa penyakit yang cepat menyebar seperti SARS,
influensa H1N1, TBC, hepatitis C dan infeksi community-acquired. Banyak studi asosiasi yang
ditemukan antara berbagai co-morbid dan tetapi hanya satu studi dilaksanakan dengan
multivariate analisa untuk melakukan penyesuaian untuk potensi confounders. Lagipula, tidak

ada apapun yang telah mengevaluasi efek resiko comorbidas dan modifikasi efek antara dua comorbidas pada hasil DBD. Di studi ini, kami menunjukkan DM dihubungkan dengan DBD
sebagai hasil yang diamati oleh studi lainnya. Sebagai tambahan, kami mengamati bahwa tiap
individu yang mempunyai DM dengan hipertensi yang resikonya lebih tinggi terhadap DBD
bandingkan dengan individu yang tidak ada DM dan tidak ada hipertensi. Studi kami ini
mungkin adalah yang pertama yang menyediakan bukti sinergi resiko yang mempengaruhi antara
DM dan hipertensi pada hasil

DBD (Tabel 4&5). Studi kami menunjukkan DM dengan

hipertensi sebagai suatu faktor resiko untuk DBD di sejumlah besar orang dewasa dengan kasus
DBD di Singapura, dan mendukung awal bukti asosiasi antara yang diopname dengan suatu
hasil diagnosa DBD dan DM di Brazil. Bagaimanapun, pathophysiology pada DM yang
mendorong ke arah hasil DBD tidak dengan memahami sekaligus, sebenarnya banyak studi telah
mengusulkan DM itu dapat mengakibatkan kekebalan dan endothelial kelainan fungsi tubuh.
Mengidentifikasi faktor resiko untuk DBD dapat dilihat dari klinis ke triage demam
berdarah pasien untuk kebenarannya pada monitoring dan awal intervensi dengan resusitasi
cairan. Didalam suatu wabah di mana healthcare sumber daya mungkin diregangkan,
pengambilan resiko faktor untuk DBD dapat diopname bila mengidap demam berdarah. Dalam
studi, kami mengamati pasien penyakit DM itu dengan DBD yang memerlukan opname yang
lebih lama dan, kiranya, memerlukan perhatian lebih dari segi medis di

rumah sakit

dibandingkan pasien yang tidak berpenyakit DM dengan DBD. Apalagi kebijaksanaan dapat
dibuat berdasarkan prioritas populasi yang menggolongkan pada resiko DBD seperti pasien
wanita, pasien dengan umur 30 49, dan pasien yang mempunyai DM atau DM dengan
hipertensi untuk vaksinasi manakala demam berdarah vaksin ada tersedia, terutama di negaranegara yang sumber daya rendah. Demografis Dan comorbidas merupakan faktor resiko yang
bisa membantu kesehatan masyarakat clinicians untuk meningkatkan kesadaran antar individu
yang beresiko untuk mengambil pencegahan untuk memerangi infeksi demam berdarah.
Karena ini adalah suatu studi retrospektif, mutu dari studi bergantung pada mutu dari data
yang tersedia dan dikumpulkan. Penyimpangan informasi diperkecil oleh penggunaan dari
terstandardisasi demam berdarah dengan mempedulikan alur untuk dokumentasi klinis konsisten.
Pelaporan penyimpangan diperkecil oleh fakta bahwa pasien dengan comorbidas cenderung
untuk mengetahui kondisi mereka dan akan terpasang pengobatan tetap dan berlanjut.
Bagaimanapun, hal ini yang menantang untuk mengeluarkan fakta bahwa tidak ada pasien yang

mengetahui comorbidas ketika studi ini dilakukan secara retrospektif. Sebagai penambahan,
mungkin ada penyimpangan pemilihan sebab pokok materi adalah semua pasien diopname dan
karenanya mungkin untuk mempunyai kesehatan dalam perilaku, dan dalam keadaan opname
pasien DBD yang tidak boleh sungguh-sungguh menghadirkan masalah dari populasi yang
umum itu.
Pasien DB tidak boleh mengunjungi seorang dengan DM atau co-morbidas yang ada di studi ini.
Bagaimanapun, secara teknis menantang untuk mengidentifikasi bahwa hal ini lebih sedikit aktif
karena pasien DB memiliki asymptomatic untuk dimasukkan dalam studi. Kita juga tidak
mempunyai patient-specific data demam berdarah serotype dan hanya bisa meramalkan
kemungkinan pengamatan kami dari populasi sebelumnya yang dipelajari di Singapura.
Akhirnya, kami memahami pentingnya akuntansi untuk infeksi atau peradangan sebagaimana
adanya suatu faktor resiko utama untuk DBD. Hasil test IgG yang dilaksanakan di dalam tujuh
hari serangan demam dapat digunakan untuk menggolongkan pasien dengan atau tanpa infeksi.
Bagaimanapun, kita hanya mempunyai hasil IgG 67.4% dari semua pasien sepanjang tahun
2007 2008. Di bagian jenis analisa, kita menunjukkan infeksi yang tidak dengan mantap yang
dihubungkan dengan DBD pada pasien orang dewasa ( Tabel S1). Lagipula, telah ditunjukkan
infeksi itu betul-betul dapat dihubungkan dengan DBD pada anak-anak di bawah 15 tahun.
Dengan kata lain, boleh dinyatakan bahwa DM seperti halnya DM dengan hipertensi mungkin
memiliki resiko faktor DBD pada orang dewasa, dengan tanpa melihat infeksi demam berdarah.
Studi lebih lanjut yang menyertakan jumlah lebih besar tentang pasien dengan infeksi sekunder
akut diperlukan untuk mengkonfirmasikan hipotesis ini.
Kesimpulannya, kami menemukan umur antara 30 - 49 tahun, jenis kelamin perempuan,
beretnis Cina, DM dan DM dengan hipertensi untuk faktor resiko DBD pada orang dewasa
mewabah dengan sebagian besar demam berdarah serotype 2. Dua co-morbidas nampak untuk
memodifikasi efek resiko DBD. Studi ini memerlukan konfirmasi pada penemuan ini. Temuan
kami mungkin asosiasi antara pathophysiology DM, demam berdarah dan hipertensi. Suatu
genom berkelanjutan pada asosiasi pembelajaran di Singapura dapat membantu menerangkan
azas keturunan dan kecenderungan demam berdarah mencakup peran DM.

Anda mungkin juga menyukai