Anda di halaman 1dari 27

BAB II

PEMBAHASAN
A. HADIS PADA MASA RASULULLAH SAW (Periode
Pertama)
Pada masa Rasulullah SAW merupakan masa awal
pertumbuhannya hadis. Rasulullah merupakan sumber dari
hadis yang terkait langsung pribadi beliau , dari mulai
ucapan, perbuatan, hingga takrirnya beliau.
Rasul SAW membina umatnya selama 23 tahun. Masa
ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus
diwurukannya hadis. Wahyu yang diturunkan Allah kepada
Rasulullah

dijelaskannya

melalui

perkataan

(aqwal),

perbuatan (afal), dan taqrirnya. Sehingga apa yang didengar


dan dilihat oleh para sahabat merupakan pedoman bagi
mereka. Dalam hal ini rasul merupakan contoh satu-satunya
bagi

para

sahabat,

karena

beliau

memiliki

sifat

kesempurnaan dan keutamaan selaku Rasul Allah SWT yang


berbeda dengan manusia lainnya.
Pada masa Rasulullah merupakan masa yang memiliki
keistimewaan yang membedakan dengan masa lainnya.
Umat

islam

pada

masa

ini

dapat

secara

langsung

memperoleh hadis dari Rasul SAW sebagai sumber hadis.


Pertemuan antara kedua belah pihak sangatlah terbuka
dalam banyak kesempatan. Tempat yang biasa digunakan
Rasul SAW cukup bervariasi, seperti di masjid, rumahnya
sendiri, pasar, serta ketika dalam perjalanan.
Ada beberapa cara Rasul SAW dalam menyampaikan
hadis kepada para sahabat, yaitu :
- Melalui para jamaah pada pusat pembinaannya yang
disebut majlis al-ilmi. Melalui majlis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadis,
sehingga

mereka

berusaha

untuk

selalu

mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatannya.


Namun para sahabat pada saat menghadiri majelis tidak
secara bersamaan ada yang tetap menghadiri seperti Abu
Bakar dan Abu Hurairah dan ada pula yang tidak selalu
menghadiri. Sahabat yang tidak menghadiri majelis,
mereka

selalu

bertanya

kepada

sahabat

lain

yang

menghadiri majelis nabi tentang apa-apa yang telah nabi


-

sampaikan.
Dalam
banyak

kesempatan

Rasul

SAW

juga

menyampaikan hadis melalui para sahabat tertentu, yang


kemudian disampaikannya kepada orang lain. Hal ini
karena terkadang ketika ia mewurudkan hadis, para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik
karena disengaja oleh Rasul SAW sendiri atau secara
kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang
saja, bahkan hanya satu orang. Untuk hal-hal yang sensitif
yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
biologis (terutama yang menyangkut hubungan suami
istri), beliau sampaikan melalui istri-istrinya. Begitu juga
dengan sikap para sahabat jika ada hal-hal yang berkaitan
dengan soal diatas, karena segan bertanya kepada Rasul
-

SAW, seringkali ditanyakan melalui istri-istrinya.


Cara lain yang dilakukan Rasul SAW adalah melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka seperti ketika Haji
Wada dan futuh Makkah.
Al-quran dan Hadis selalu dijaga kemurnian dan

kemaslahatannya, sebagai sumber ajaran Islam. Pada masa


Rasulullah, beliau menempuh jalan yang berbeda terhadap
Al-quran dan Hadis. Terhadap Al-quran Rasulullah secara
resmi

mengintruksikan

kepada

sahabat

supaya

ditulis

disamping dihafal, sedangkan terhadap hadis beliau hanya


menyuruh

hanya

menghafalnya

saja

dan

melarang

menulisnya secara resmi. Maka segala hadis yang diterima


dari Rasulullah SAW oleh para sahabat diingat dengan
sungguh-sungguh dan hati-hati.
Hadis Abu Said al-Khuzri
Janganlah kalian tulis apa saja dariku selain Al-quran.
Barang siapa yang telah menulis dariku selain Al-quran,
hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku,
itu tidak mengapa. Barang siapa yang berdusta atas namaku
dengan sengaja hendaklah ia menempati tempat duduknya di
neraka.
Kegiatan menghafal yang dilakukan oleh para sahabat
ini selain didorong karena kegiatan menghafal merupakan
budaya bangsa Arab juga mendapatkan dorongan dari
Rasulullah yang selalu memberikan spirit melalui doa-doanya
serta beliau seringkali menjanjikan kebaikan akhirat kepada
mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada
orang lain.
Dibalik
ternyata

larangan

ditemukan

rasulullah

sejumlah

dalam

sahabat

menulis
yang

hadis,

melakukan

penulisan hadis, diantaranya :


1. Abdullah bin Amr bin al-As. Ia memiliki catatan hadis
yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah
SAW, sehingga diberinya nama as-sahifah as-sadiqah.
Hadis yang terhimpun dalam catatannya ini sekitar seribu
hadis yang menurut pengakuannya diterima langsung dari
Rasulullah SAW ketika mereka berdua tanpa ada orang
lain yang menemaninya.
2. Jabir bin Abdillah bin Amr al-Anshari. Ia memiliki catatan
hadis dari Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadishadisnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya
ini dikenal dengan sahifah Jabir.

3. Abu Hurairah ad-Dausi. Ia memiliki catatan hadis yang


dikenal dengan as-Sahifah as-sahihah. Hasil karyanya ini
diwariskan kepada anaknya bernama Hammam.
4. Abu Syah (Umar bin Saad al-Anmari) seorang penduduk
Yaman. Ia meminta kepada Rasul SAW dicatatkan hadis
yang disampaikannya ketika pidato pada peristiwa futuh
Makkah (penaklukan kota Makkah) sehubung dengan
terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari
Bani Khuzaah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais.
Disamping nama-nama diatas masih banyak lagi nama-nama
yang juga mengaku memiliki catatan hadis dan dibenarkan
Rasul SAW seperti Rafi bin Khadir, Amr bin Hazm, Ali bin Abi
Thalib, dan Ibn Masud.
B. HADIS PADA MASA SAHABAT RASUL (Periode Kedua)
Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat
lagi

mendengar

sabda-sabda,

menyaksikan

perbuatan-

perbuatan Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau juga


meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman
hidup, yaitu Al-Quran dan Hadits (as-Sunnah) yang harus
dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
kendali kepemimpinan ummat islam berada ditangan
sahabat

Nabi.

Sahabat

Nabi

yang

pertama

menerima

kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq (wafat 13 H =


634 M), kemudian disusul oleh Umar bin al-Khaththab (wafat
23 H = 644 M), Usman bin Affan (wafat 35 H = 656 M), dan
Aliy bin Abiy Thalib (wafat 40 H = 661 M), keempat khalifa ini
dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa al-Rasyidin
dan periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa alKhulafa al-Rasyidun sejak tahun 11 H sampai 40 H, belum
begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat

masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Quran


dan

mereka

berusaha

membatasi

periwayatan

hadits

tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan


memperketat periwayatan (al-tatsabbut wa al-iqlah min alriwayah). Pada sisi lain, meskipun perhatian sahabat terpusat
pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Quran, tidak berarti
mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang
mereka diterima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka
sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan
hadits itu.
Berikut ini dikemukakan sikap al- Khulafa al-Rasyidin
tentang periwayatan hadis Nabi.
Abu Bakar al-Shiddiq
Menurut muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat
748 H = 1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi
yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam
periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan
atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus
waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang
nenek menghadap kepada Khalifa Abu Bakar, memintah
hak waris dari harta yang ditinggal oleh cucunya. Abu
Bakar menjawab, bahwa dia tidak melihat petunjuk Quran
dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris
kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya

kepada para

sahabat. Al-Mughirah bin Syubah menyatakan kepada


Abu Bakar, bahwa nabi telah memberikan bagian waris
kepada nenek sebesar seperenam bagian.
Kasus diatas memberikan petunjuk, bahwa Abu Bakar
ternyata

tidak

bersegara

sebelum

meneliti

menerima

periwayatannya.

riwayat

Dalam

hadis,

melakukan

penelitian, Abu Bakar meminta kepada periwayat hadis


untuk menghadirkan saksi.
6

Karena

Abu

Bakar

sangat

berhati-hati

dalam

periwayatan hadis, maka dapat dimaklumi bila jumlah


hadis yang diriwayatkan relatif tidak banyak.Padahal dia
seorang sahabat yang telah bergaul lama dengan dan
sangat akarab dengan Nabi, mulai dari zaman sebelum
Nabi hijrah ke Madinah sampai Nabi wafat. Dalam pada itu
harus pula dinyatakan, bahwa sebab lain sehingga Abu
Bakar hanya sedikit meriwayatkan hadis karena: (a) dia
selalu dalam keadaan sibuk ketika menjabat Khalifah; (b)
kebutuhan akan hadis tidak sebanyak pada zaman
sesudahnya; (c) jarak waktu antara kewafatannya dengan
kewafatan Nabi sangat singkat.
Umar bin al-Khaththab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan
hadis. Hal ini terlihat, misalny, ketika Umar mendengar
hadis yang disampaikan kepada Ubay bin Kaab. Umar
barulah bersedia menerima riwayat hadis dai Ubay,
setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr
menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang
apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya
Umar berkata kepada Ubay: Demi Allah, sungguh saya
tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian,
karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis
Nabi.
Kabajikan
memperbanyak

Umar

melarang

periwayatan

para
hadis,

sahabat

Nabi

sesungguhnya

tidaklah berarti bahwa Umar sama sekali melarang para


sahabat meriwayatkan hadis. Laranga Umar tampaknya
tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi
dimaksudkan: (a) Agar masyarakat lebih berhati-hati

dalam

periwayatan

hadis;

dan

(b)

agar

perhatian

masyarakat terhadap Quran tidak terganggu.


Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu
Bakar dan Umar menggariskan bahwa hadits dapat
diterima

apabila

diserta

saksi

atau

setidak-tidaknya

periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut alSibai, sampai wafatnya Umar juga menerima beberapa
hadits

meskipun

hanya

diriwayatkan

oleh

seorang

periwayat hadits. Untuk masalah tertentu sering kali


Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang
tertentu, seperti hadits-hadits dari Aisyah. Manurut alSibai, sampai wafatnya Umar hadits belum banyak yang
tersebar dan masih dalam keadaan terjaga di hati para
sahabat. Baru pada masa Utsman ibn Affan, periwayatan
hadits diperlonggar.
Usman bin Affan
Secara umum,kebijakan Usman tentang periwayatan
hadis tidak jauh berbedah dengan apa yang telah
ditempuh oleh kedua Khalifa pendahulunya. Hanya saja,
langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar bin alKhaththab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, Usman memintah
kepada para sahabat agat tidak banyak meriwayatkan
hadis yang mereka tidak pernah mendengar hadis itu
pada zaman Abu Bakar dan Umar. Pernyataan Usman ini
menunjukkan pengakuan Usman atas hati-hati kedua
Khalifah

pendahulunya.

Sikap

hati-hati

itu

ingin

dilanjutkan pada zaman kekhalifahannya.


Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis
dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis
dikalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat
8

peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadits :


pertama, para sahabat, sebagaimana dirintis oleh alKhulafa al-Rasyidun, bersikap cermat dan berhati-hati
dalam

menerima

meriwayatkan

suatu

hadits

riwayat.

Nabi

Ini

merupakan

dikarenakan
hal

penting,

sebagai wujud kewajiban taat kepadanya. Berhubung


tidak setiap periwayat menerima riwayat langsung dari
Nabi,

maka

dibutuhkan

perantara

antara

periwayat

setelah sahabat, bahkan antara sahabat sendiri dengan


Rasulullah SAW. Karena tidak dimungkinkan pertemuan
langsung dengannya. Kedua, para sahabat melakukan
penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi
riwayat itu sendiri. Ketiga, para sahabat sebagaimana
dipelopori oleh Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi
dalam

periwayatan

hadits.

Keempat,

para

sahabat,

sebagaimana dipelopori Ali bin Abi Thalib, meminta


sumpah dari periwayat hadits. Kelima, para sahabat
menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.
Keenam, diantara para sahabat terjadi penerimaan dan
periwayatan hadits tanpa pengecekan terlebih dahulu
apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain
dikarenakan mereka memiliki agama yang kuat sehingga
tidak mungkin pendusta.
Sahabat Umar bin al-Khathab juga pernah ingin
mencoba

menghimpun

hadits

tetapi

setelah

bermusyawarah dan beristikharah selama satu bulan


beliau berkata :
sesungguhnya aku punya hasrat menulis sunnah,
aku telah menyebutkan suatu kaum sebelum kalian yang
menulis

beberapa

buku

kemudian

mereka

sibuk

dengannya dan meninggalkan kitab Allah SWT. Demi Allah

sesungguhnya aku tidak akan mencampur adukkan kitab


Allah dengan sesuatu yang lain selamanya.
Kekhawatiran

Umar

bin

al-Khathab

dalam

pembukuan hadits adalah tasyabbuh atau menyerupai


dengan

ahli

kitab

yakni

Yahudi

dan

Nasrani

yang

meninggalkan kitab Allah dan menggantikannya dengan


kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi
mereka di dalam kitab Tuhan mereka. Umar khawatir
umat islam meninggalkan Al-Quran dan hanya membaca
hadits. Jadi Abu Bakar dan Umar tidak berarti melarang
pengkodifikasian

hadits

tetapi

melihat

kondisi

pada

masanya belum memungkinkan untuk itu.


Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih
terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al- Quran, maka
periwayatan

hadis

belum

begitu

berkembang,

dan

kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa


ini

oleh

para

ulama

dianggap

sebagai

masa

yang

menunjukkan adanya pembatasan periwayatan ( at-tasabbut


wa al- iqlal min ar- riwayah).
1. Menjaga pesan rasul SAW
Pada masa menjelang akhir kerasulannya, Rasul SAW
berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh
kepada al-Quran dan hadis serta mengajarkannya kepada
orang lain, sebagaimana sabdanya ang artinya :
Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak
akan sesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu
kitab Allah (al-Quran) dan sunnahku (Al-Hadis).
Pesan- pesan rasul SAW ini sangat mendalam pengaruhnya
kepada
tercurah

para

sahabat,

semta-

sehingga

mata

untuk

segala

perhatiannya

melaksanakan

dan

memelihara pesan- pesannnya. Kecintaan mereka kepada

10

Rasul SAW dibuktikannya dengan melaksanakan segala


yang dicontohkannya.
2. Berhati- hati dalam meriwayatkan dan menerima hadis.
Perhatian para sahabat pada masa ini terutama
sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan
al- Quran. Ini terlihat bagaimana Al-Quran dibukukan pada
masa abu bakar atas saran umar bin khatab. Usaha
pembukuan ini diulang juga pada masa usman bin Affan,
sehingga melahirkan mushaf usmani. Satu disimpan di
madinah ynag dinamai mushaf al-imam, yang empat buah
lagi masing- masing disimpan di makkah, basrah, siria, dan
kuffah. Sikap memusatkan perhatian terhadap al-Quran
tidak berarti mereka lalai dan tidak menaruh perhatian
terhadap hadis. Mereka memegang hadis seperti halnya
yang diterimanya dari Rasul SAW secara utuh ketika ia
masih hidup. Akan tetapi dalam meriwayatkan mereka
sangat berhati hati dan membatasi diri.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwayatan
yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka
khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka
sadari bahwa hadis merupakan sumber tasyri setelah AlQuran, yang harus terjaga dari kekeliruannya sebagaimana
al-Quran. Oleh karenanya, para sahabat khususnya khulafa
ar-rasyidin (Abu bakar, umar, usman, dan Ali) dan sahabat
lainnya,seperti az-Zubbair, ibn Abbas, dan Abu ubaidah
berusaha

memperketat

periwayatan

dan

penerimaan

hadis.
Abu

bakar

menunjukkan

sebagai

perhatiannya

Menururt

az-Zhabi,

pertama

sekali

abu

khalifah
dalam

bakar

menerima

yang

memelihara

adalah

hadis

pertama

sahabat

dengan

hadis.
yang

hati-hati.

Diriwayatkan oleh ibn syihab dari qabisah bin zuaib, bahwa


seorang nenek bertanya kepada abu bakar soal bagian

11

warisan untuk dirinya. Ketika ia menyatakan bahwa hal itu


tidak ditemukan hukumnya, baik dalam al-Quran maupun
hadis,

al-Mughirah

menyebutkan,

bahwa

rasul

SAW

memberinya seperenam. Abu bakar kemudian meminta


supaya al- mugirah mengajukan saksi lebih dahulu baru
kemudian hadisnya diterima. Setelah Rasul SAW wafat Abu
bakar

pernah

mengumpulkan

para

sahabat.

Kepada

mereka, ia berkata : kalian meriwayatkan hadis- hadis


Rasul SAW

yang dipersilisihkan orang-orang. Padahal

orang- orang setelah kalian akan lebih banyak berselisish


karenanya. Makan janganlah kalian meriwayatkan hadis
(tersebut)..
Sikap kehati- hatian juga ditunjukkan oleh umar bin
khattab. Ia seperti

halnya abu bakar, suka meminta

diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadis.


Akan tetapi untuk masalah tertentu

acapkali iapun

menerima periwayatan tanpa syahid dari orag tertentu,


seperti hadis- hadis dari aisyah. Sikap kedua sahabat diatas
juga diikuti oleh usman dan Ali. Ali, selain dengan caracara diatas, juga terkadang mengujinya dengan sumpah.
Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini
belum ada ushaa secara resmi untuk menghimpun hadis
dalam

suatu

disebabkan

kitab,

agar

seperti

tidak

halnya

al-

memalingkan

Quran.hal

perhatian

ini

atau

kekhususan mereka(umat islam ) dalam mempelajari alQura. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banayk
menerima hadis dari Rasul Saw sudah tersebar ke berbagai
daerah

kekuasaan islam, dengan kesibukannya masing-

masing

sebagai Pembina masyarakat. Sehingga dengan

kondisi seperti ini, ada kesulitan mengumpulkan mereka


secara

lengkap.

membukukan

Pertimbangan

hadis,

dikalangan

12

lainnya,
para

bahwa

sahabat

soal

sendiri

terjadi perselisihan pendapat. Belum

lagi terjadinya

perselisihan soal lafaz, dan kesahihannya.


3. Periwayatan hadis dengan lafaz dan makna
Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadis,
yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehatihatiannya,

tidak

hadis-

hadis

batas-

batas

tertentu

khususnya

yang

diriwayatkan.dalam
dirirwayatkan,

berarti

rasul

tidak

hadis

berkaitan

itu

dengan

kebutuhan hidup masyarakat sehari- harinya dalam soal


ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan
setelah diteliti secaar ketat pembawa hadis tersebut dan
kebearan isi matannya.
Ada dua jalan para sahabat dalam meriwayatkan hadis
dari Rasul SAW. Pertama dengan jalan periwayatan an- lafzi
(redaksinya persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW ),
dan kedua, dengan jalan periwayatan maknawi (maknanya
saja).
a. Periwayatan lafzi
Seperti telah dikatakan, bahwa periwayatan lafzi,
adalah

periwayatan

hadis

yang

redaksinya

matannya persis seperti yang diwurudkan

atau

Rasul SAW.

Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa


yang disabdakan Rasul SAW.
Kebanyaakn para sahabat menempuh periwaayatan
hadis

melalui

jalan

ini.

Mereka

berusaha

periwayatan hadis sesuai dengan redaksi

agar

dari Rasul

SAW bukan menurut redaksi mereka. Bahkan menurut


Ajjaj

al-khatib,

sebenarnya,

seluruh

sahabat

menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan


dengan maknawi. Sebagian dari mereka secara ketat
melarang meriwayatkan hadis dengan maknanya saja
(maknawi) bahkan satu huruf atau satu katapun tidak
boleh diganti. Begitu pula tidak boleh mendahulukan

13

sususnan kata yang disebut rasul dibelakang atau


sebaliknya, atau meringankan bacaan yang tadinya
siqal (berat) dan sebaliknya. Dalam hal ini umar bin
khatab pernah berkata: barang siapa yang mendengar
hadis dari Rasul SAW kemudian ia meriwayatkannnya
sesuai dengan yang ia dengar, orang itu selamat.
Diantara
para
sahabat
yang
paling
keras
mengharuskan periwayatan hadis dengan jalan lafzi
adalah ibn umar. Ia seringkali menegur sahabat yang
membacakan hadis yang berbeda (walau satu kata)
dengan yang pernah didengarnya dari Rasul SAW,
seperti

yang

dilakukannya

terhadap

ubaid

bin

amir.suatu ketika seorang sahabat menyebutkan hadis


tentang 5 prinsip dasar islam dengan meletakkan puasa
ramadhan pada urutan ketiga. Ibn umar serentak
menyuruh

agar

meletakkannya

pada

urutan

keempat,sebagaimana yang didengarnya dari Rasulullah


SAW.
b. Periwayatan maknawi
Di antara para

sahabat

lainnya

ada

yang

berpendapat , bahwa dalam keadaan darurat, karena


tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul SAW ,
boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan
maknawi artinya, priwayatan hadis yang matannya
tidak persis sama dengan yang didengarnya dari rasul
SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga
sacara utuh,sesuai dengan yang dimaksudkan oleh
Rasul SAW tanpa ada perubahan sedikitpun.
Meskipun demikian, para sahabat melakukannya
dengan sangat hati- hati. Ibn masud misalnya, ketika ia
meriwayatkan hadis, ada term-term tertentu yang
digunakannya
penukilannya,

untuk
seperti

14

menguatkan
dengan

kata

penukilan
:

qala

rasul

SAW.hakaza ( rasul SAW telah bersabda begini), atau


qala rasul SAW qariban min haza.
Periwayatan
hadis
dengan

maknawi

akan

mengakibatkna munculnya hadis- hadis yang redaksi


nya antara satu hadis dengan hadis lainnya berbedabeda, meskipun maksud atau maknanya tetap sama.
Hal ini sangat tergantung kepada para sahabat atau
generasi berikutnya yang meriwayatkan hadis- hadis
tersebut.
C. HADIS PADA MASA TABIIN (Periode Ke Tiga)
Periode ini disebut Ashr Intisyar al-Riwayah ila AlAmshar (masa perkembangan dan meluasnya periwayatan
hadis). Pada masa ini, daerah Islam sudah meluas, yakni ke
negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93
H,

meluas

sampai

Spanyol.

Para

sahabat

yang

ingin

mengetahui hadis-hadis Nabi SAW diharuskan berangkat ke


seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan
hadis kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar di
wilayah tersebut. Dengan demikian pada masa ini, di
samping tersebarnya periwayatan hadis ke pelosok daerah
Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari hadis pun menjadi
ramai.
Karena meingkatnya periwayatan hadis, muncullah
bendaharawan

dan

lembaga-lembaga

(Centrum

Perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Di


antara

bendaharawan

hadis

banyak

yang

menerima,

menghapal, dan mengembangkan atau meriwayatkan hadis


adalah:
1. Abu Hurairah, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau meriwayatkan
5374

hadis,

sedangkan

menurut

Al-Kirmany,

meriwayatkan 5364 hadis.


2. Abdulla Ibn Umar meriwayatkan 2630 hadis.

15

beliau

3.
4.
5.
6.

Aisyah, istri Rasul SAW meriwayatkan 2276 hadis.


Abdullah Ibn Abbas meriwayatkan 1660 hadis.
Jabir Ibn Abdullah meriwayatkan 1540 hadis.
Abu Said Al-Khudri meriwayatkan 1170 hadis.
Adupun lembaga-lembaga hadis yang menjadi pusat

bagi usaha panggalina, pendidikan, dan pengembangan hadis


terdapat di
1. Madinah, dengan tokoh-tokohnya: Abu Bakar, Umar, Ali,
Abu Hurairah, Aisyah, Ibn Umar, Said Al-Khudri,Zaid Ibn
Tsabit (dari kalangan sahabat), Urwah, Said Az-Zuhri,
Abdullah Ibn Umar, Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi
Bakar, Nafi, Abu Bakar Ibn Ad Ar-Rahman Ibn Hisyam, dan
Abu Zinad (dari kalangan tabiin).
2. Mekah, dengan tokoh-tokohnya: Ali, Abdullah Ibn Masud,
Saad Ibn Abi Waqas, Said Ibn Zaid, Khabbah Ibn Al-Arat,
Salman

Al-Farisi,

Abu

Juhaifah

(sahabat),

Masruq,

Ubaididah, Al-Aswad, Syuriah, Ibrahim, Said Ibn Jubair,


Amir Ibn Syurahil, Asy-Syabi (tabiin).
3. Bashrah, dengan tokoh-tokohnya: Anas Ibn Malik, Utbah,
Imran Ibn husain, Abu Barzah, Maqil Ibn Yasar, Abu
Bakrah, Abd Ar-Rahman Ibn Sumirah, Abdullah Ibn
Syikhkhir, Jariyah Ibn Qudamah (sahabat),Abu al-Aliyah,
Rafi Ibn Mihram Al-Riyahi, Al-Hasan Al-Bishri, Muhammad
Ibn Sirin, Abu Syatsa, Jabir Ibn Zaid, Qatadah, Mutharraf
Ibn Abdullah Ibn Syikhkhir, Abu Bardah Raja Ibn Abi Musa
(tabiin).
4. Syam, dengan

tokoh-tokohnya:

Muadz

Ibn

Jabbal,

Ubaidah Ibn Tsamit, Abu Darda (sahabat), Abu Idris AlKhaulani, Qasibah Ibn Dzuaib, Mukhul, Raja Ibn Haiwah
(tabiin).
5. Mesir, dengan tokoh-tokohnya: Abdullah Ibn Amr, Uqbah
Ibn Amir, Kharijah Ibn Hudzaifah, Abdullah Ibn Harits, Abu
Basyrah, Abu Saad Al-Khair, Martsad Al-Yaziri, Yazid Ibn Abi
Habib (tabiin).

16

Pada periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh


orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi
setelah wafatnya Ali r.a. pada masa ini, umat Islam mulai
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan. Terpecahnya
umat Islam tersebut, memacu orang-orang yang tidak
bertanggung
keterangan

jawab
yang

untuk

mendatangkan

berasal

dari

keterangan-

Rasulullah

SAW

untuk

mendukung golongan mereka: Pertama, golongan Ali Ibn Abi


Thalib yang kemudian dinamakn golongan Syiah. Kedua,
golongan

khawarij,

Muawiyah,

dan

yang

menetang

ketiga,

golongan

Ali,

dan

jumhur

golongan
(golongan

pemerintah pada masa itu). Oleh sebab itulah, mereka


membuat

hadis

palsu

dan

menyebarkan

nya

kepada

masyarakat.
D. PERKEMBANGAN HADIS PADA ABAD II DAN III HIJRIAH
(Periode Ke Empat)
Periode ini disebut Ashr Al-Kitabah wa Al-Tadwin (masa
penulisan dan pembukuan). Masa pembukuan secara resmi
dimuali pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan
Khalifah Umar Ibn Abdul Azis tahun 101 H. Sebagai khalifah,
Umar Ibn Aziz sadar bahwa para perawi yang menghimpun
hadis dalam hapalannya semakin banyak yang meninggal.
Beliau

khawatir

apanila

tidak

membukukan

dan

mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari para perawinya,


ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari
permukaan

bumi

bersamaan

dengan

kepergian

para

penghapalannya ke alam barzakh.


Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H,
Khalifah meminta kepada Gubernur Madinah, Abu Bakar Ibn
Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru
Mamar- Al-Laits, Al-Auzai, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi
Dzibin untuk membukukan hadis Rasul yang terdapat pada

17

[enghapal wanita yag terkenal, yaitu Amrah binti Abdir


Rahman Ibn Saad Ibn Saad Ibn Zurarah Ibn Ades, seorang
ahli fiqh, murid Aisyah r.a. (20 H/642 M-98 H/716 M atau 106
H/724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim Ibn
Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorag
pemuka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh.
Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada
gubernur

yang

ada

di

bawah

kekuasaannya

untuk

membukukan hadis yang ada pada ulama yang tinggal di


wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang
membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr
Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri,
seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadis. Beliau
adalah guru Malik, Al-Auzai, Mamar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan
Ibnu Abi Dzibin. Mereka ini lah ulama yang bermula-mula
membukukan hadis atas anjuran khalifah. Kitab hadis yang
dituliskan oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis
pertama yang ditulis atas perintah kepala negara, tidak
sampai kepada kita, dan kitab itu tidak membukukan seluruh
hadisyang ada di Madinah. Pembukuan seluruh hadis yang
ada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim
Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai seorang
ulama besar dari ulama-ulama hadis pada masanya.
Setelah

itu,

para

ulama

besar

berlomba-lomba

membukukan hadis atas anjuran Abu Abbas As-Saffah dan


anak-anaknya dari khalifah-khalifah Abbasiyah. Akan tetapi,
tak dapat diketahui lagi siapakah ulama yang mula-mula
membukukan hadis sesudah Az-Zuhri karena ulama-ulama
yang datang sesudah Az-Zuhri seluruhnya hidup pada satu
zaman.
Sekalipun demikian, yang dapat ditegaskan sejarah
sebagai pengumpul hadis adalah:

18

1. Pengumpulan pertama di kota Mekah, Ibnu Juraji (80-150


H)
2. Pengumpulan pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (w.
150 H)
3. Pengumpulan pertama di kota Bashrah, Al-Rabi Ibn
Shabih (w. 160 H)
4. Pengumpulan pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (w.
161 H)
5. Pengumpulan pertama di Syam, Al-Auzai (w. 95 H)
6. Pengumpulan pertama di Wasith, Husyain Al-Wasithy (104188 H)
7. Pengumpulan pertama di Yaman, Mamar Al-Azdy (95-153
H)
8. Pengumpulan pertama di Rei, Jarir Adh Dhabby (110-188
H)
9. Pengumpulan pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181
H)
10.

Pengumpulan pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Saad (w.

175 H)
Semua ulama yang membukukan hadis ini terdiri dari
ahli-ahli pada abad kedua Hijriah.
Kitab

Az-Zuhri

dan

Ibnu

Juraij

itu

tidak

diketahui

rimbanya sekarang. Adapun kitab yang paling tua yang ada di


tangan umat Islam dewasa ini adalah Al-Muwaththa susunan
Imam Malik. Kitab ini disusun atas permintaan Khalifah AlMansur ketika ia menunailkan ibadah haji pada tahun 144 H
(141 H).
Kemudian, Ibnu Ishaq menyusun kitab Al-Maghazi wa AsSiyar (Hadis-hadis mengenai sirah Rasul SAW). Kitab AlMaghazi ini adalah dasar pokok bagi kitab-kitab sirah Nabi.
Para ulama abad kedua membukukan hadis tanpa
menyaringnya, yakni mereka tidak hanya membukukan
hadis-hadis saja, tetapi fatwa-fatwa sahabat pun di masukkan
ke dalam bukunya. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab itu
terdapat hadis-hadis marfu , hadis-hadis mauquf, dan hadis-

19

hadis maqthu. Kitab hadis seperti itu dan mudah kita


dapatkan adalah Al-Muwaththa, susunan Imam Malik.
Kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan di kumpulkan
dalam abad kedua ini, jumlah cukup banyak. Akan tetapi,
yang masyhur di kalangan ahli hadis adalah:
1. Al-Muwaththa, susunan Imam Malik (95 H-179 H)
2. Al-Maghazi wal Siyar, susunan Muhammad Ibn Ishaq (150
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

H)
Al-Jami, susunan Abdul Razzaq As-Sanany (211 H)
Al-Mushannaf, susunan Sybah Ibn Hajjaj (160 H)
Al-Mushannaf, susunan Sufyan Ibn Uyainah (198 H)
Al-Mushannaf, susunan Al-Laits Ibn Saad (175 H)
Al-Mushannaf, susunan Al-Auzai (150 H)
Al-Mushannaf, susunan Al-Humaidy (219 H)
Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhamad Ibn Waqid Al-

Aslamy
10.
Al-Musnad, susunan Abu Hanifah (150 H)
11.
Al-Musnad, susunan Zaid Ibn Ali
12.
Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafii (204 H)
13.
Mukhtalif Al-Hadis, susunan Al-Imam Asy-Syafii
Keadaan seperti ini menyebabkan sebagian ulama
mempelajari keadaan rawi-rawi hadis dan dalam masa ini
telah banyak rawi-rawi yang lemah. Pada periode ini muncul
tokoh-tokoh Jarh wa Tadil, di antaranya adalah Syubah Ibn
Al-Hajjaj (160 H), Mamar, Hisyam Ad-Dastaway (154 H), AlAuzai (156 H), Sufyan Ats-Tsauri (161 H), dan masih banyak
tokoh lainnya.
Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua hijriah
adalah Malik, Yahya Ibn Said Al-qaththa, Waki Ibn Al-Jarrah,
Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syubah Ibnu Hajjaj, Abdul
Ar-Rahman Ibn Mahdi, Al-Auzai, Abu Hanifah, dan Asy-Syafii.
E. PERKEMBANGAN HADIS PADA MASA MEN-TASHIH-KAN
HADIS DAN PENYUSUNANNYA (Periode Kelima)
Abad
ketiga
Hijriah
merupakan
puncak

usaha

pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab


Muwaththa

Al-Malik

tersebar

20

dalam

masyarakat

dan

disambut

dengan

gembira,

kemauan

menghapal

hadis,

mengumpulkan, dan membukukannya semakin meningkat


dan mulailak ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke
tempat lain daei sebuah negeri ke negeri lain untuk mencari
hadis.
Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadis-hadis
yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian
kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk
kepentingan pengumpulan hadis.
Keadaan ini diubah oleh Al-Bukhari. Beliaulah yang mulamula

meluaskan

daerah-daerah

yang

dikunjungi

untuk

mencari hadis. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad,


Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah,
Asqalani, dan Himsh.
Imam

Bukhari

membuat

terobosan

dengan

mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagadi daerah.


Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk
menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadis dari para rawi
lalu menulis ke dalam kitabnya, tanpa mengadakan syaratsyarat menerinya dan tidak memerhatikan sahih-tidaknya.
Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadis dan adanya
upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis,
para ulama pun melakukan hal-hal berikut:
a. Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari
segi keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b. Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari hadis yang dhaif
yakni dengan men-tashih-kan hadis.
Ulama

hadis

yang

mula-mula

menyaring

dan

membedakan hadis-hadis yang sahihdari yang palsu dan


yang lemah adalah Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imanm
hadis yang sangat termasyhur.

21

Pekerjaan yang mulai ini kemudian diselenggarakan


dengan

sempurna

oleh

Al-Imam

Al-Bukhari.

Al-Bukhari

menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama AlJamius Shahih. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan
hadis-hadis yang dianggap sahih. Kemudian, usaha AlBukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu
Imam Muslim.
Sesudah

Shahih

Bukhari

dan

Shahih

Muslim,

bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan


Muslim, di antaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai.
Mereka menyusun kitab-kitab hadis yang dikenal dengan
Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan
At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasai. Kitab-kitab itu kemudian
dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul AlKhamsyah.
Disamping itu, Ibnu Majah menyusun Sunan-nya. Kitab
sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke dalam
kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk itu menjadi
enam buah, yang kemudian dikenal nama Al-Kutub AlSittah.

Di

bawah

kitab

yang

enam

ini,

para

menempatkan Musnad Ahmad.


Tokoh-tokoh hadis yang lahir dalam masa ini adalah:
1. Ali Ibnul Madany
2. Abu Hatim Ar-Razy
3. Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari
4. Muhammad Ibn Saad
5. Ishaq ibnu Rahawaih
6. Ahmad
7. Al-Bukhari
8. Muslim
9. An-Nasai
10. Abu Dawud
11. At-Tirmidzi
12. Ibnu Majah
13. Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri

22

ulama

Kitab-kitab sunnah yabg tersusun dalam abad ketiga,


antara lain:
1. Al-Musnad, susunan Musa Ibn Abdillah Al-Absay
2. Al-Musnad, susunan Musaddad Ibn Musarhad
3. Al-Musnad, susunan Asad Ibn Musa
4. Al-Musnad, susunan Abu Daud Ath-Thayalisy
5. Al-Musnad, susunan Nuaim Ibn Hammad
6. Al-Musnad, susunan Abu Yaala Al-Maushuly
7. Al-Musnad, susunan Al-Humaidy
8. Al-Musnad, susunan Ali Al-Madaidi
9. Al-Musnad, susunan Abid Ibn Humaid (249 H)
10. Al-Musnad Al-Muallal, susunan Al-Bazzar
11. Al-Musnad, susunan Baqiy Ibn Makhlad (201 H-296 H)
12. Al-Musnad, susunan Ibnu Rahawaih (237 H)
13. Al-Musnad, susunan Ahmad Ibn Ahmad
14. Al-Musnad, susunan Muhammad Ibn Nashr AlMarwazy
15. Al-Musnad, susunan Abu Bakr Ibn Abi Syaibah (235
H)
16. Al-Musnad, susunan Abu Al-Qasim Al-Baghdawy (239
H)
17. Al-Musnad, susunan Utsman Ibn Abi Syaibah (239 H)
18. Al-Musnad, susunan Abdul Husain Ibn Muhammad AlMasarkhasy (289 H)
19. Al-Musnad, susunan Ad-Darimi
20. Al-Musnad, susunan Said Ibn Mansur (227 H)
21. Tahdzibu Al-Atsarm, susunan Al-Imam Ibnu Jarir
22. Al-Jamiu Ash-Shahih, susunan Bukhari
23. Al-Jamiu Ash-Shahih, susunan Muslim
24. As-Sunan, susunan An-Nasai
25. As-Sunan, susunan Abu Dawud
26. As-Sunan, susunan At-Tirmidzi
27. As-Sunan, susunan Ibnu Majah
28. Al-Muntaqa, susunan Ibnu Al-Jarud
29. Ath-Thabaqat, susunan Ibu Saad
F. PERKEMBANGAN HADIS DARI ABAD IV HINGGA 656 H
Periode keenam ini dimulai dari abad IV hingga tahun
656 H, yaitu pada masa Abasiyyah angkatan kedua. Perioe
ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa
Al-Jami.

23

Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke-2 dan


ke-3, digelari Mutaqaddimin, yang menggumpulkan hadis
dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri, dengan menemuai para penghapalnya
yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru negara Arab,
Parsi, dan lain-lainnya.
Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad
ke-4. Para ulama pada abad ke-4 ini dan seterusnya digelari
Mutaakhirin.

Kebanyak

hadis

yang

mereka

kumpulkan

adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitan Mutaqaddmin,


hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri
kepada para penghapalnya.
Pada periode ini muncul kitab-kitab sahih yang tidak
terdapat dalam kitab sahih pada abad ketiga. Kitab-kitab itu
antara lain:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah


At-Taqsim wa Anwa, susunan Ibnu Hibban
Al-Mustadrak, susunan Al-Hakim
Ash-Shalih, susunan Abu Awanah
Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarud
Al-Mukhtarah, susunan Muhammad Ibn Abdul Wahid AlMaqdisy

Di antara usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam


periode ini adalah:
1. Mengumpulkan Hadis Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah
kitab.
Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis AlBukhari dan Muslim adalah Kitab Al-Jami Bain AshShahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan
nama Ibnu Al-Furat (414 H)., Muhammad Ibn Nashar AlHumaidy (448 H); Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul
Haq Al-Asybily (582 H).
2. Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab enam.

24

Di antara kitab yang mengumpulkan hadis-hadis kitab


enam adalah Tajridu As-Shihah oleh Razin Muawiyah,
Al-Jami oleh Abdul Haqq Ibn Abdul Ar-Rahman AsyAsybily, yang terkenal dengan nama Ibnul Kharrat (582
H).
3. Mengumpulkan

hadis-hadis

yang

terdapat

dalam

berbagai kitab.
Di antara kitab-kitab yang mengumpulka hadis-hadis
dari berbagai kitab adalah: (1) Mashabih As-Sunnah oleh
Al-Imam husain Ibn Masud Al-Baghawi (516 H); (2)
Jamiul Masanid wal Alqab, oleh Abdur Rahman Ibn Ali
Al-Juuzy (597 H); (30 Bahrul Asanid, oleh Al-Hafidh AlHasan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (491 H).
4. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun kitabkitab Athraf.
Di antara kitab-kitab yang mngumpulkan hadis hukum
adalah

(1)

Muntaqal

Akhbar,

oleh

Majduddin

Ibn

Taimiyah Al-Harrany (652 H); (2) As-Sunanul Kubra oleh


Al-Baihaqy (458 H); (3) Al-Ahkamus Sughra, oleh AlHafizh Abu Muhammad Abdul Haqq As-Asybily (Ibu
Kharrat) (582 H); (4) Umdatul Ahkam, oleh Abdul Ghany
Al-Maqdisy (600 H). Di samping itu, muncul kitab-kitab
Athraf, antara lain: (1) Athrafu Ash-Shahihain oleh
Ibrahim Ad-Dimasyqi (400 H); (2) Athrafu Ash-Shahihain
oleh Abu Muhammad Khalf Ibn Muhammad Al-Wasithy
(401 H); (3) Athrafu As-Shahihain oleh Abu Nuaim
Ahmad ibn Abdillah Al-Asfahani (430 H), dan lain-lain.
Pada periode ini muncul usaha-usaha istikhraj, umpamanya
mengambil

suatu

hadis

dari

Al-Bukhari

Muslim,

alu

meriwayatkan dengan sanad sendiri yang lain dari sanad AlBakhari atau Muslim. Di antara Mustakhraj untuk Shahih AlBukhari adalah (1) Mustakhraj Shahih Al-Bukhari oleh Hafidh
Al-Jurjany, (2) Mustakhraj Shahih Al-Bukhari oleh Al-Hafidz

25

Abu Bakr Al-Barqani (425 H)., dan lain-lain. Di antara


Mustakharaj Shahi Muslim, adalah Mustakharaj Shahi Muslim
oleh Al-Hafidz Abu Awanah (316 H); Mustakhraj Shahih
Muslim oleh Al-Hafidz Abu Bakr Muhammad Ibnu Raja, dan
sebagainya.
Pada periode ini muncul pula usaha istidrak, yakni
mengumpulkan

hadis-hadis

yang

memiliki

syarat-syarat

Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak


diriwayatkan atau disahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Kitab
ini mereka namai kitab mustadrak. Di antaranya Al-Mustadrak
oleh Abu Dzar Al-Harawy.

26

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan hadis pada masa Rasulullah bercorak
antar lisan dan mengalami pelarangan penulisan dengan
alasan kekhawatiran tercampur dengan Al-Quran. Pada masa
Khulafah Ar-Rasyidin, hadis mengalami pasang surut dengan
adanya pembatasan periwayatan pada masa Khalifah Abu
Bakar sampai Umar r.a dan peluasan periwayatan pada masa
Khalifah Usman sampai Ali r.a . Pada masa Tabiin hadis lebih
banyak diriwayatkan oleh perawi. Namun, pada masa itu
banyak bermunculan hadis-hadis palsu yang bernuansa
kepentingan politik golongan.

27

DAFTAR PUSTAKA
-

Hasbi Ash Shiddieqy. 1980 Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis.

Jakarta:Bulan Bintang.
http://denologis.blogspot.co.id/2008/03/Makalahku-sejarahperkembangan-hadis.html (Diakses pada 17 September 2015

pukul : 11.01)
Solahudin, Agus dan Agus Suyadi. 2008. Ulumul Hadis.
Bandung: Pustaka Setia

28

Anda mungkin juga menyukai