Anda di halaman 1dari 21

TINJAUAN PUSTAKA

1. Diabetes Mellitus Tipe 1


1.1 Definisi
Diabetes mellitus tipe 1 (DT1) adalah diabetes melitus yang disebabkan oleh
adanya destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin
(PERKENI, 2011).
Efek DM meliputi disfungsi, kegagalan dan kerusakan berbagai
macam organ yang berlangsung lama. DM dapat muncul dengan
gejala yang khas yaitu polidipsi, poliuri, polifagi (Trias Classic) serta
pandangan kabur dan penurunan berat badan. Pada kondisi yang
paling berat, dapat terjadi ketoasidosis maupun hiperosmolar nonketotik yang dapat memicu terjadinya stupor, koma, dan kematian
apabila terapi yang diberikan tidak efektif .
1.2 Epidemiologi
Insidensi DT1 sebesar 10% dari semua kasus DM. Terdapat
beberapa perbedaan insidensi berdasarkan geografisnya, dengan
insiden rata-rata per tahun sebesar 40 per 100000 anak di Finlandia, <
2 per 100000 anak di Jepang, sedangkan di Indonesia belum ada data
insidensi yang akurat (Al-Mutairi, et al, 2007; Khardori,2003). Insidensi
pada anak laki-laki sebesar 21,1 per 100000 anak, sedikit lebih tinggi
daripada anak perempuan yaitu sebesar 19 per 100000 anak (AlMutairi, et al, 2007). Bukti adanya etiologi autoimun DT1 ditemukan
pada 95% kasus, sisanya sebanyak 5% tidak ditemukan adanya
marker autoimun, oleh sebab itu diklasifikasikan sebagai DT 1B.
Berdasarkan studi terbaru, insidensi DT1 meningkat sebesar 40%
dari tahun 1997-2010 (Khardori,2003), atau meningkat sebesar 3% setiap
tahunnya (Al-Mutairi, et al, 2007). Peningakatan ini terutama diduga
karena adanya peranan lingkungan dalam epidemiologi DT1 (AlMutairi, et al, 2007). DT1 lebih sering terjadi pada kelompok umur 10-

13 tahun dan paling rendah pada kelompok umur 6-9 tahun. Kembar
monozigotik memiliki insidensi terkena DT1 rata-rata 30%-50%,
sedangkan kembar dizigotik memiliki rata-rata terkena DT1 sebesar
6%-10%. Sebanyak 18% kasus DT1 terjadi pada individu yang tidak
memiliki riwayat DT1 pada keluarga. Perbedaan resiko yang terjadi
juga dipengaruhi oleh orang tua yang menderita DM. Anak-anak yang
ibunya terkena DT1 hanya beresiko sebesar 2% untuk terjadinya DT1,
sedangkan anak-anak yang bapaknya menderita DT1 memiliki resiko
sebesar 7% (Al-Mutairi, et al, 2007).
1.3 Patofisiologi
DT1

merupakan

tipe

diabetes

yang

paling

berat

karena

membutuhkan injeksi insulin seumur hidup. Sebagian besar kasus DT1


terbukti disebabkan karena destruksi sel beta yang dimediasi autoimun
(Tipe 1A), sekitar 10%-20% kasus tidak ditemukan adanya antibody
(antibody negatif) sehingga disebut sebagai DT1 idiopatik (Tipe 1B).
Penurunan sekresi insulin diteliti selama lebih dari 12 tahun sebelum
terjadinya manifestasi klinis DT1. Inflamasi pada sel islet pancreas
(insulitis) yang melibatkan limfosit CD4+ dan CD8+, limfosit B dan
makrofag (Al-Mutairi, et al, 2007; Bougn 2008).
Terdapat 2 mekanisme onset terjadinya DT1 tang dikemukakan.
Mekanisme 1 menjelaskan bahwa faktor lingkungan memicu proses
autoimun, yang sering terjadi pada anak-anak umur <10 tahun.
Meskipun diagnosis DT1 biasanya didahului gejala yang tidak diketahui
selama beberapa minggu, tetapi pada kenyataannya manifestasi
klinisnya menjadi jelas hanya setelah periode prodormal yang panjang
karena

adanya

Mekanisme

ke-2

destruksi

sel

menjelaskan

beta

pancreas

bahwa

secara

terdapat

bertahap.

suatu

reaksi

superantigen yang mengakibatkan dektruksi sel beta pancreas secara


cepat dalam waktu beberapa minggu sampai 1 bulan, yang memulai

onset klinis (Al-Mutairi, et al, 2007; Khardori,2003; Lernmark, 1999; Bougn


2008).
Oresic et al membandingkan profil serum metabolit antara anakanak yang memiliki diabetes tipe 1 dan mereka yang sehat bebas
autoantibodi.

Analisis

ini

menemukan

perubahan

karakteristik

metabolik pada anak-anak yang kemudian muncul diabetes tipe 1,


melibatkan diantaranya fosfolipid yang menurun dan peningkatan
asam glutamat. Masih belum jelas seberapa tinggi kadar glutamat
yang normalnya dapat menyebabkan inisiasi diabetes tipe 1. Sulit juga
untuk menggambarkan bagaimana perubahan ini dapat terjadi.

Glutamat yang meningkat pada anak dalam perjalanan kearah


diabetes terdapat dalam makanan, namun secara kuantitas tidak
dapat meningkatkan kadar serum sampai berlebihan (32 kali di atas
normal). Peningkatan glutamat serum bersamaan dengan penurunan
-ketoglutarat dapat juga diakibatkan dari peningkatan katabolisme
otot atau gangguan pada jalur glutamat-dehidrogenase hepar dan
ureagenesis. Glutamine dan glutamat plasma hanya terdiri dari fraksi
kecil kumpulan glutamat intraseluler total. Orang yang mengkonsumsi
monosodium glutamat 10 g atau lebih memiliki kadar glutamat plasma
normal dua kali lipat dan konsentrasi insulin yang lebih tinggi.
Glutamat juga disintesis secara endogen sebanyak 48 g/hr pada orang
dewasa. Sel dilengkapi dengan reseptor dan transporter glutamat
dan

merespon

glutamat

dengan

peningkatan

sekresi

insulin.

Peningkatan glutamat dalam sel meningkatkan aktivitas GAD65,


salah satu antigen sel utama. Maka, dapat disimpulkan bahwa
peningkatan sementara glutamat dan peningkatan aktifitas GAD dapat
memicu atau meningkatkan kerusakan
proses autoimun.

sel melalui sitolitik atau

1.4 Diagnosis
Kriteria diagnosis untuk diabetes melitus tipe 1 hampir sama sama dengan diabetes
mellitus tipe 2, yaitu (American Diabetes Association, 2009);
1. Gejala klasik diabetes (poliuria, polidipsi, polifagi, dan penurunan berat badan tanpa
sebab yang jelas) ditambah dengan konsentrasi glukosa darah sewaktu >200 mg/dl
(11,1 mmol/l)
2. Gula darah puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol)
3. Gula darah 2 jam post prandial > 200 mg/dl (11,1 mmol/l) selama oral glucose
tolerance test (OGTT). Tes dilakukan sesuai prosedur WHO, yaitu menggunakan
glukosa sebanyak 75 g glukosa anhidrat dilarutkan dalam air.
4. Hb A1C > 6,5%

Oleh karena kriteria yang digunakan sama, penting untuk mengetahui perbedaan
karakteristik diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 , yaitu (Crandall, 2007) :

Karakteristik

DM tipe 1

DM tipe 2

o
Onset usia
Berhubungan dengan obesitas
Kecenderungan terjadi ketoasidosis

Umumnya

<

tahun
Tidak

30

Umumnya > 30 tahun


Ya

yang membutuhkan insulin sebagai Ya

Tidak

control dan survive


Variatif
Kadar insulin dalam plasma

Sangat

rendah normal,

mungkin

sampai tergantung

tidak terdeteksi

dapat
atau

rendah,

meningkat,

pada

derajat

resistensi insulin dan defek


sekresi insulin

Berhubungan dengan antigen HLAD spesifik


Antibodi sel islet pada diagnosis

Ya

Tidak

Ya

Tidak

Insulitis,
Patologi sel islet

kehilangan sel beta


secara selektif

Lebih kecil, normal sel islet ;


umumnya deposisi amyloid

Kecenderungan terjadi komplikasi


(retinopati,

nefropati,

aterosklerosis,

neuropati,

dan

cardiovascular)
Respon
terhadap

penyakit
obat

antihiperglikemia

oral

Ya

Ya

Tidak

Ya

1.5 Tatalaksana
Manajemen pasien Diabetes Mellitus (DM) tipe 1 ini dilakukan secara multidisipliner,
yaitu pendekatan oleh dokter, perawat, dan ahli gizi (Loghmani,2005).
1) Diet
Langkah pertama untuk mengatur diabetes mellitus tipe 1 adalah kontrol diet.
Menurut ADA (American diabetes association), terapi diet diatur berdasarkan penilaian
status gizi dan tujuan dari terapi itu sendiri. Diet harus dibuat sesuai dengan kebiasaan
makan dan gaya hidup pasien.
Manajemen diet termasuk edukasi tentang waktu, besarnya, banyaknya, serta
komposisi makanan yang dimakan untuk menghindari terjadinya hipoglikemia atau
hiperglikemia setelah makan. Pasien yang menggunakan insulin harus mendapat diet
yang komprehensif termasuk kebutuhan kalori sehari-hari; kebutuhan karbohidrat, lemak,
dan protein; dan pembagian kalori antara makan dan snack.

Distribusi kalori sangat penting pada pasien DM tipe 1. Pembagiaannya didasarkan


pada kebutuhan kalori pasien selama satu hari. Jumlah yang disarankan adalah 20%
untuk makan pagi, 35% untuk makan siang, 30% untuk makan malam, dan 15% untuk
snack sore.
a. Kebutuhan protein minimal adalah 0,9 g/kg/hari
b. Kebutuhan lemak dibatasi sampai 30% atau kurang dari total kalori dan rendah
kolesterol
c. Pasien disarankan mengkonsumsi sediaan sukrosa dan meningkatkan konsumsi sayur.
Snack diberikan di antara makan pagi-siang dan makan siang-malam untuk mencegah
hipoglikemia.
2) Aktivitas
Olahraga sangat penting sebagai manajemen pasien diabetes. Pasien harus
dimotivasi untuk olahraga secara teratur. Edukasi terhadap pasien tentang efek olahraga
terhapa kadar gula darah. Olahraga terlalu berlebih dapat menimbulkan hipoglikemia
pada pasien. Untuk menghindarinya maka pemberian dosis insulin dikurangi 10-20%
atau dengan pemberian snack tambahan. Pasien juga harus memperhatikan kebutuhan
cairan selama olahraga.
3) Terapi Insulin
Sedangkan menurut Guidelines for Adolescent Nutrition Services
(2005), terapi insulin diberikan sebagai berikut :
Insulin merupakan satu-satunya medikamentosa yang efektif
dalam menurunkan kadar gula darah pada pasien DT1. Penggunaan
insulin memerlukan manajemen harian mengenai faktor-faktor yang
dapat memepengaruhi dosis insulin yang dibutuhkan seperti makanan,
aktivitas fisik, penyakit, stress. Insulin kerja cepat dapat diberika
sebelum, saat maupun segera setelah makan. Pemberian insulin
setelah makan membantu menurunkan hiperglikemia postprandial
yang berhubungan dengan makanan kaya lemak.

a. Conventional therapy : 2 injeksi perhari mixed insulin (insulin cepat atau kerja
pendek dan insulin kerja menengah) sebelum sarapan dan makan malam.
b. Conventional therapy with a split night-time dose : 1 kali injeksi mixed insulin
sebelum sarapan, 1 kali injeksi insulin kerja cepat atau kerja pendek sebelum makan
malam dan 1 kali injeksi insulin kerja menengah sebelum makanan ringan menjelang
tidur. Regimen ini digunakan untuk menurunkan hiperglikemia puasa yang
berhubungan dengan jangka waktu yang panjang antara sarapan dan makan malam,
serta durasi kerja insulin kerja menengah dan untuk memfasilitasi manajemen
fenomena dawn.
c. Multiple daily injections (MDI) of rapid- or short-acting insulin before every meal
(and sometimes large snacks) with intermediate- or long-acting insulin once or twice
a day. Pemberian insulin kerja cepat atau kerja pendek sebelum makan siang
membantu menurunkan pre-supper hiperglikemia dengan sedikit resiko hipoglikemia
yang berhubungan dengan dosis insulin kerja menengah sebelum sarapan yang terlalu
tinggi. Dengan pengecualian makanan ringan (snek) saat akan tidur untuk mencegah
hipoglikemia saat malam hari, snek biasanya tidak diperlukan dengan MDI- suatu
keuntungan bagi remaja yang sibuk dan bagi remaja yang berharap berat badan
targetnya tetap terjaga. Hal ini dapat disebut sebagai terapi intensif yang bergantung
pada kadar glikemia kontrol yang ditargetkan.
d. Intensive therapy with a continuous subcutaneous insulin infusion (CSII or insulin
pump) insulin kerja capat diberikan secara konstan sesuai kebutuhan basal tubuh
untuk menekan produksi glukosa oleh hati. Dosis insulin bolus diberikan sebelum
makan dan snek berdasarkan jumlah karbohidrat yang dimakan dan kadar gula darah
yang diukur. Regimen ini ditujukan untuk remaja yang berharap melakukan tes secara
frekuen (>4x perhari), memonitor intake karbohidrat secara akurat, penambahan dosis
insulin.
Dosis insulin tergantung pada kebutuhan basal, intake makanan
(terutama

jumlah

total

karbohidrat)

dan

jumlah

aktivitas

fisik.

Perubahan dalam insulin kerja cepat atau kerja pendek dapat dibuat
berdasarkan sliding scale yaitu meningkatkan dosis pada kadar gula
darah yang meningkat dan menurunkan dosis saat gula darah turun. Di
samping itu, rata-rata kadar gula darah pada berbagai macam waktu

dalam sehari dapat dihitung untuk rekomendasi pemberian dosis insulin


lebih lanjut.
Tes kadar gula darah sendiri direkomendasikan sebelum setiap kali
makan dan saat snek menjelang tidur untuk membantu menaksir dosis
dan membuat perubahan apabilsdiperlukan. Tes kadar gula darah pada
jam 02.00-03.00 bermanfaat untuk mengevaluasihipoglikemia saat
malam hari dan hiperglikemia puasa (fenomena dawn).

Gambar1. Farmakokinetik sediaan insulin berdasarkan waktu kerja

1.6 Komplikasi
Komplikasi DM tipe-1 dapat digolongkan sebagai komplikasi akut dan komplikasi
kronik baik reversibel maupun ireversibel. Sebagian besar komplikasi akut bersifat
reversibel sedangkan yang kronik bersifat ireversibel tetapi perjalanan penyakitnya dapat
diperlambat melalui intervensi. Secara umum, komplikasi kronik disebabkan kelainan
mikrovaskular (retinopati, neuropati dan nefropati) dan makrovaskular. Komplikasi
jangka pendek yang sering terjadi adalah hipoglikemia dan ketoasidosis diabetikum.
Komplikasi jangka panjang diabetes mellitus terjadi akibat perubahan-perubahan
mikrovaskuler (retinopati, nefropati, dan neuropati) dan makrovaskular (UKK
endokrinologi anak dan remaja, 2009).
1.7 Prognosis
Gula darah, HbA1c, kolesterol, tekanan darah, dan berat badan yang terkontrol sangat
penting sebagai faktor penentu prognosis dan perkembangan penyakit diabetes sendiri
terutama komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular. Pasien DM tipe 1 yang dapat
survive dalam waktu 10-20 tahun setelah onset tanpa komplikasi, pasien tersebut
memiliki prognosis yang baik. Factor lain yang berpengaruh terhadap prognosis penyakit
ini adalah edukasi dan motivasi, kesadaran pasien, serta tingkat pendidikan pasien
(University of Cincinnati College of Medicine, 2001).
2. Ketoasidosis Diabetikum (KAD)
2.1 Definisi
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang
serius, suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi. Merupakan komplikasi metabolik
yang paling serius dari Diabetes Mellitus Tipe 1. KAD memerlukan pengelolaan yang
cepat dan tepat, mengingat angka kematiannya yang tinggi. Pencegahan merupakan
upaya penting untuk menghindari terjadinya KAD.
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut

diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat
diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai
menyebabkan syok.
2.2 Epidemiologi
Di negara maju dengan sarana yang lengkap, angka kematian KAD berkisar 9-10%,
sedangkan di klinik dengan sarana sederhana dan pasien usia lanjut angka kematian dapat
mencapai 25-50%. Angka kematian menjadi lebih tinggi pada beberapa keadaan yang
menyertai KAD seperti sepsis, syok yang berat, infark miokard akut yang luas, pasien
usia lanjut, kadar glukosa darah awal yang tinggi, uremia dan kadar keasaman darah yang
rendah. Kematian pada pasien KAD usia muda, umumnya dapat dihindari dengan
diagnosis cepat, pengobatan yang tepat dan rasional, serta memadai sesuai dengan dasar
patofisiologinya. Pada pasien kelompok usia lanjut, penyebab kematian lebih sering
dipicu oleh faktor penyakit dasarnya.
Jumlah pasien KAD dari tahun ke tahun relatif tetap/tidak berkurang dan angka
kematiannya juga belum menggembirakan. Mengingat 80% pasien KAD telah diketahui
menderita DM sebelumnya, upaya pencegahan sangat berperan dalam mencegah KAD
dan diagnosis dini KAD.
Tahun
1983-1984 (9 bulan)
1984-1988 (48 bulan)
1995 (12 bulan)
1997 (6 bulan)
1998-1999 (12 bulan)

Jumlah Kasus
14
55
17
23
37

Angka Kematian (%)


13,4
40
18,7
51

2.3 Klasifikasi
Ketoasidosis Diabetikum (KAD) diklasifikasikan menjadi empat yang masing-masing
menunjukkan tingkatan atau stadiumnya.
H

Stadium
1. Ringan
2. Sedang
3. Berat
4. Sangat Berat

Macam, KAD
KAD ringan
Perkoma Diabetik
Koma Diabetik (KD)
KD Berat

pH Darah
7,30-7,35
7,20-7,30
6,90-7,20
<6,90

Bikarbonat Darah
15-20 mEq/l
12-15 mEq/l
8-12 mEq/l
< 8 mEq/l

2.4 Faktor Pencetus


Ada sekitar 20% paseien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama
kali. Pada pasien KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80% dapat dikenali
adanya faktor pencetus ini penting untuk pengobatan dan pencegahan ketoasidosis
berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark
miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, mengehentikan, atau
mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20% pasien KAD tidak ditemukan faktor
pencetus.
2.5 Patofisiologi
KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan
peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, ketokolamin, kortisol, dan hormone
pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan
utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan
hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun
gejala dan tanda klinis KAD dapat dkelompokkan menjadi dua bagian yaitu (gambar 1) :

Akibat hiperglikemia
Akibat ketosis

Gambar 2. Patofisiologi KAD

Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem homeostasis tubuh
terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi
hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra
regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak.
Akibat lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam
lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat
menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan
3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan normal kadar 3HB meliputi 75-85% dan
aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia
bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa.
Hanya insulin yang dapat menginduksi transpor glukosa ke dalam sel, memberi
signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen , menghambat lipolisis pada sel
lemak (menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat glukoneogenesis pada sel

hati serta mendorong proses oksidasi melalui siklus Krebs dalam mitokondria sel. Melalui
proses oksidasi tersebut akan dihasilkan adenin trifosfat (ATP) yang merupakan sumber
energi utama sel.
Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin
relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas,
hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam-basa dapat mengganggu
sensitivitas insulin.
Peranan Hormon :

Peranan Insulin
Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap hormon kontra regulasi
yang berlebihan (glukagon, epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan). Defisiensi insulin
dapat disebabkan oleh resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang
berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut, menyebabkan 3 proses patofisiologi yang
nyata pada 3 organ, yaitu sel-sel lemak, hati dan otot. Perubahan yang terjadi terutama
melibatkan metabolisme lemak dan karbohidrat.

Peranan Glukagon
Diantara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan dalam
ketogenesis KAD. Glukagon mengahambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan
malonyl CoA adalah suatu penghambat cartnitine acyl transferase (CPT 1 dan 2) yang
bekerja pada transfer asam lemak bebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian
peningkatan glukagon akan merangsang oksidasi beta asam lemak dan ketogenesis.
Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak teregulasi dengan baik, bila kadar
insulin rendah maka kadar glukagon darah sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi
kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati.

Hormon kontra regulator insulin lain


Kadar epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon pertumbuhan (GH)
pada awal terapi KAD kadarnya kadang-kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan
pemberian insulin.

Keadaan stres sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada akhirnya akan
menstimulasi pembentukan benda-benda keton, glukonoegenesis serta potensial sebagai
pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan terjadi stress berkepanjangan.
2.6 Gejala Klinis
Gejala-gejala dari KAD berupa: (1) dehidrasi: kekeringan di mulut dan hilangnya
elastisitas kulit, (2) napas berbau kecut/asam, (3) mual-mual, muntah-muntah, dan rasa sakit
di perut, (4) napas berat, (5) tarikan napas meningkat, (6) merasa sangat lemah dan
mengantuk.
Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri, dan
polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin,
demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada
KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan
gastroparesis-dilatasi lambung.
Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi
sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan
kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol).
Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Walaupun faktor pencetusnya
adalah infeksi, kebanyakan pasien tidak mengalami demam.bila dijumpai nyeri abdomen
perlu dipikirkan kemungkinan kolesistisis, iskemia usus, apendisitis, divertikulitis, atau
perforasi usus. Bila pasien tidak menunjukkan respons yang baik terhadap pengobatan KAD
maka perlu dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirektal).
2.7 Diagnosis
Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun hiperglikemia
hiperosmolar nenketotik. Langkah pertama yang harus diambil pada pasien dengan KAD
terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama
memperhatikan patensi jalan napas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan
status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium
yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya
penundaan.

Pemeriksaan laboratorium yang penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah
dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah
dengan glucose sticks dan pemeriksaan urin dengan mengunakan urine strip untuk melihat
secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urin. Pemeriksaan
laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi
kadar HCO3, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksan kadar AcAc dan
laktat serta 3HB.
Kriteria diagnosis untuk Ketoasidosis Diabetikum adalah sebagai berikut:
1) Klinis : poliuria, polidipsia, mual dan atau muntah, pernapasan Kussmaul (dalam dan
frekuens), lemah, dehidrasi, hipotensi sampai syok, kesadaran terganggu sampai koma
2) Darah : hiperglikemia lebih dari 300 mg/dl (biasanya melebihi 500 mg/dl). Bikarbonat
kurang dari 20 mEq/l (dan pH < 7,35)
3) Urine : glukosuria dan ketonuria
Kriteria Diagnosis KAD
Kadar glukosa darah > 250 mg%
pH < 7,35
Anion Gap yang tinggi
Keton serum positif

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah :
1) Penggantian cairan dan garam yang hilang
2) Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati dengan pemberian
insulin
3) Mengatasi stres sebagai pencetus KAD
4) Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan
serta penyesuaian pengobatan.
Pengobatan KAD ada 6 hal yang perlu diperhatikan: 5 diantaranya ialah: cairan,
garam ,insulin, kalium dan glukosa.
1) Cairan

Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam fisiologis. Berdasarkan


perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada
jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter dan selanjutnya sesuai
protokol.
Tujuannya ialah untuk memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon
kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan
larutan yang mengandung glukosa (dekstrosa 5% atau 10%).
2) Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang
memadai. Pemberian insulin akan ,menurunkan hormon glukagon sehingga dapat
menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak,
pelepasan asam amino dari jaringan otot, dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh
jaringan. Tujuan pemberian insulin ini bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa
normal tetapi untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena itu bila kadar glukosa
kurang dari 200 mg% insulin diteruskan dan untuk mencegah hipoglikemia diberikan
cairan yang mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih kembali.
3) Kalium
Pada awal KAD biasanya kadar ion K serum meningkat. Hiperkalemia yang fatal
sangat jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila
pada elektro kardiogram ditemukan gelombang T ya ng tinggi, pemberian cairan dan
insulin dapat segera mengatsi keaadan hiperkalemia tersebut.

4) Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah
akan

turun.

Selanjutnya

dengan

pemberian

insulin

diharapkan

terjadi

penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/ jam. Bila kadar glukosa mencapai
kurang dari 200 mg% maka dapat dimulai infus yang mengandung glukosa.
Perlu ditekankan tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar glukosa
tapi untuk menekan ketogenesis.

5) Bikarbonat
Terapi bikarbonat pada KAD menjadi topik perdebatan selama
beberapa tahun. Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang
berat. Hal ini disebabkan karena pemberian bikarbonat dapat :
o

Menurunkan pH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas


bikarbonat

menimbulkan efek negatif pada disosiasi oksigen di jaringan

hipertonis dan kelebihan natrium

meningkatkan insiden hipokalemia

gangguan fungsi serebral

terjadi alkaliemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto


Saat ini

bikarbonat diberikan bila pH kurang dari 7,1 namun

walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang


mengancam tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat.
Disamping hal tersebut diatas pengobatan umum tak kalah penting
yaitu :
1. antibiotik yang adekuat
2. oksigen bila tekanan O2 kurang dari 80 mmHg
3. heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (lebih dari 380
mOsm/liter)
2.9 Komplikasi
1. Hipoglikemia dan hipokalemia
Sebelum penggunaan protokol insulin dosis rendah, kedua komplikasi ini dapat
dijumpai pada kurang lebih 25% pasien yang diterapi dengan insulin dosis tinggi.
Kedua komplikasi ini diturunkan secara drastis dengan digunakannya terapi insulin
dosis rendah. Namun, hipoglikemia tetap merupakan salah satu komplikasi potensial
terapi yang insidensnya kurang dilaporkan secara baik. Penggunaan cairan infus
menggunakan dekstrosa pada saat kadar glukosa mencapai 250 mg/dL pada KAD
dengan diikuti penurunan laju dosis insulin dapat menurunkan insidens hipoglikemia
lebih lanjut. Serupa dengan hipoglikemia, penambahan kalium pada cairan hidrasi
dan pemantauan kadar kalium serum ketat selama fase-fase awal KAD dapat
menurunkan insidens hipokalemia.
2. Edema Serebral

Peningkatan tekanan intrakranial asimtomatik selama terapi KAD telah dikenal


lebih dari 25 tahun. Penurunan ukuran ventrikel lateral secara signifikan, melalu
pemeriksaan eko-ensefalogram, dapat ditemukan pada 9 dari 11 pasien KAD selama
terapi. Meskipun demikian, pada penelitian lainnya, sembilan anak dengan KAD
diperbandingkan sebelum dan sesudah terapi, dan disimpulkan bahwa pembengkakan
otak biasanya dapat ditemukan pada KAD bahkan sebelum terapi dimulai. Edema
serebral simtomatik, yang jarang ditemukan pada pasien KAD dan HHS dewasa,
terutama ditemukan pada pasien anak dan lebih sering lagi pada diabetes awitan
pertama. Tidak ada faktor tunggal yang diidentifikasikan dapat memprediksi kejadian
edema serebral pada pasien dewasa. Namun, suatu studi pada 61 anak dengan KAD
dan serebral edema yang dibandingkan dengan 355 kasus matching KAD tanpa
edema serebral, menemukan bahwa penurunan kadar CO2 arterial dan peningkatan
kadar urea nitrogen darah merupakan salah satu faktor risiko untuk edema serebral.
Untuk kadar CO2 arterial ditemukan setiap penurunan 7,8 mmHg PCO2
meningkatkan risiko edema serebral sebesar 3,4 kali (OR 3,4; 95% CI 1,9 6,3, p
p=0,003). Suatu pengalaman lebih dari 20 tahun penanganan pasien KAD dengan
edema serebral pada sebuah rumah sakit Australia menyimpulkan langkah yang dapat
dilakukan untuk mencegah KAD. Disarankan protokol yang menggunakan hidrasi
lambat dengan cairan isotonik direkomendasikan untuk menangani pasien dengan
KAD. Beberapa studi lain juga menemukan hubungan antara edema serebral dengan
laju pemberian cairan yang tinggi, terutama pada jam-jam pertama resusitasi cairan.
Rekomendasi terkini adalah membatasi pemberian cairan pada 4 jam pertama terapi
dengan < 50 ml/kgbb cairan isotonik.
3. Sindrom distres napas akut dewasa (adult respiratory distress syndrome)
Suatu komplikasi yang jarang ditemukan namun fatal adalah sindrom distres
napas akut dewasa (ARDS). Selama rehidrasi dengan cairan dan elektrolit,
peningkatan tekanan koloid osmotik awal dapat diturunkan sampai kadar subnormal.
Perubahan ini disertai dengan penurunan progresif tekanan oksigen parsial dan
peningkatan gradien oksigen arterial alveolar yang biasanya normal pada pasien
dengan KAD saat presentasi. Pada beberapa subset pasien keadaan ini dapat

berkembang menjadi ARDS. Dengan meningkatkan tekanan atrium kiri dan


menurunkan tekanan koloid osmotik, infus kristaloid yang berlebihan dapat
menyebabkan pembentukan edema paru (bahkan dengan fungsi jantung yang
normal). Pasien dengan peningkatan gradien AaO2 atau yang mempunyai rales paru
pada pemeriksaan fisis dapat merupakan risiko untuk sindrom ini. Pemantauan PaO2
dengan oksimetri nadi dan pemantauan gradien AaO2 dapat membantu pada
penanganan pasien ini. Oleh karena infus kristaloid dapat merupakan faktor utama,
disarankan pada pasien-pasien ini diberikan infus cairan lebih rendah dengan
penambahan koloid untuk terapi hipotensi yang tidak responsif dengan penggantian
kristaloid.
2.10

Pencegahan
Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai

dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses
pada system pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif
terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare,
demam, luka).
Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masamasa sakit, dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah dan keton urin sendiri. Di
sinilah pentingnya edukator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutama
pada keadaan sulit.
2.11 Prognosis
Prognosis baik selama terapi adekuat dan selama tidak ada penyakit lain yang fatal
(sepsis, syok septik, infark miokard akut, thrombosis serebral, dll).
DAFTAR PUSTAKA
ke Lernmark. 1999. Type 1 Diabetes. Clinical Chemistry 45, No. 8(B), 1999
Al-Mutairi Hanan F, Ameer M Mohsen1, Zaidan M Al-Mazidi.2007. Genetics of Type 1
Diabetes Mellitus. Kuwait : Kuwait Medical Journal 2007, 39 (2):107-115

Crandall, 2007. Diabetes Mellitus. http://www.merck.com/mmpe/sec12/ch158/ch158b.html.


Diabetes. University of Cincinnati College of Medicine. 2001. Pancreas and Islet
Transplantation for Patients with Type 1 : www.health-alliance.com/e-book file
Hussain.

2010.

Diabetes

Mellitus,

Type

1:

Treatment

&

Medication,.

http://emedicine.medscape.com/article/117739-treatment (diakses pada : 3/11/15 19:21)


Loghmani Emily, Stang J, Story M (eds).2005.DIABETES MELLITUS: TYPE 1 AND TYPE .
Guidelines

for

Adolescent

Nutrition

Services

(2005).

http://www.epi.umn.edu/let/pubs/adol_book.shtm
Misnadiarly,

2006,

Diabetes

Mellitus:

Gangren,

Ulcer,

Infeksi.

Mengenal

Gejala,

Menanggulangi, dan Mencegah Komplikasi, Pustaka Populer Obor, Jakarta.


Pierre Bougn res and Alain-Jacques Valleron. 2008. Causes of early-onset type 1 diabetes:
toward data-driven environmental approaches. JEM VOL. 205, December 22, 2008
R Khardori, ME Pauza. 2003. Type 1 Diabetes Mellitus: Pathogenesis And Advances In Therapy.
Int. J. Diab. Dev. Countries (2003), Vol. 23
Soewondo P, 2006, Ketoasidosis Diabetik, Dalam: Buku Ajar Penyakit Dalam, Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
pp. 1874-1877.
Tjokroprawiro A, Hendromartono, Sutjahjo A, et al,.2007.Diabetes Mellitus, Dalam: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Airlangga RS Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya,
Airlangga University Press, Surabaya, pp. 29-76.
UKK Endokrinologi Anak Dan Remaja, IDAI.2009. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes
Mellitus Tipe 1. Koordinator Penerbitan UKK Endokrinologi Anak Dan Remaja
University of Cincinnati College of Medicine. 2001. Pancreas and Islet Transplantation for
Patients with Type 1 Diabetes. www.health-alliance.com/e-book file

Anda mungkin juga menyukai