Anda di halaman 1dari 42

BAB 1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu produk makanan seperti mie basah memiiki kadar air yang tergolong
tinggi sehingga daya awetnya rendah. Penyimpanan mie basah pada suhu kamar
selama 40 jam menyebabkan tumbuhnya kapang. Untuk itu, dalam pembuatan
mie basah diperlukan bahan pengawet agar mie bisa bertahan lebih lama.
Mungkin karena faktor ketidaktahuan banyak produsen yang menggunakan
formalin sebagai pengawet. Selain memberikan daya awet, bahan tersebut juga
murah harganya dan dapat memperbaiki kualitas produk makanan. Menurut
beberapa produsen, penggunaan formalin pada produk makanan akan
menghasilkan produk yang lebih awet, yaitu dapat disimpan hingga 4 hari.
Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pemakaian formalin pada makanan dapat
menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Gejala yang biasa timbul antara
lain sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah,
timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah. Konsumsi
formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang),
haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir
dengan kematian injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan
kematian dalam waktu 3 jam. Oleh karena itu perlu diakukan praktikum tentang
uji formalin pada beberapa produk makanan.

1.2 Tujuan
1.
Mengetahui cara mengidentifikasi formalin dalam bahan pangan dan
makanan.
2.

Mengetahui ciri-ciri makanan yang mengandung formalin.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1

Pengertian Formalin

Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk.
Didalam formalin mengandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air,
biasanya ditambah methanol hingga 15 persen sebagai pengawet. Formalin
dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan
dalam industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene aldehyde,
Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal,
Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith ( Astawan, 2006 ).
2.2

Karakteristik Formalin

Berat Molekul Formalin adalah 30,03 dengan Rumus Molekul HCOH. Karena
kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh.
Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif, dapat bereaksi dengan gugus NH2

dari protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap
(Harmita, 2006).
Menurut Hart (1983), formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya
sangat menusuk. Di dalam larutan formalin terkandung 30-50% gas formaldehid
dan ditambahkan metanol sebanyak 10-15% untuk mencegah terjadinya
polimerisasi formaldehid.
Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana. Formaldehid
bersifat mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, dan mudah
dipolimerisasi pada suhu ruang. Formadehid bersifat larut di dalam air, aseton,
benzene, dietil eter, kloroform, dan etanol (IARC, 1982).
Pada suhu 150C, formaldehid mudah terdekomposisi menjadi metanol dan
karbonmonoksida. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfer
membentuk asam format, yang kemudian diubah menjadi karbondioksida oleh
sinar matahari (WHO, 2002). Karakteristik fisiko kimia formaldehid menurut WHO
(2002) :

Nama

Formaldehid,metanal, metil aldehid,


metilen oksida

Struktur

Rumus kimia

H2CO
Berat molekul

30.03
Titik leleh

-118 to -92 C
Titik didih

-21 to -19 C
Triple point

155.1 K (-118.0 C)
Densitas

1.13 x 103 kg/m3


Tekanan Uap

(Pa, 25C) 516000


Kelarutan

(mg/liter, 25C) 400000 - 550000


Faktor konversi

1 ppm = 1.2 mg/m3

2.3

Fungsi Formalin

Penggunaan formalin antara lain sebagai pembunuh kuman sehingga digunakan


sebagai pembersih lantai, gudang, pakaian dan kapal, pembasmi lalat dan
serangga lainnya, bahan pembuat sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan
bahan peledak. Dalam dunia fotografi biasanya digunakan untuk pengeras
lapisan gelatin dan kertas, bahan pembentuk pupuk berupa urea, bahan
pembuatan produk parfum, bahan pengawet produk kosmetik dan pengeras
kuku, pencegah korosi untuk sumur minyak, bahan untuk isolasi busa, bahan
perekat untuk produk kayu lapis (playwood), dalam konsentrasi yang sangat kecil
( < 1 % ) digunakan sebagai pengawet, pembersih rumah tangga, cairan pencuci
piring, pelembut, perawat sepatu, shampo mobil, lilin dan karpet ( Astawan,
2006 ).

2.4

Macam-macam Metode Uji Formalin

2.4.1 Uji kualitatif


a. Dengan Fenilhidrazina
Menimbang seksama 10 gram sampel kemudian memotong kecil-kecil, dan
memasukkan ke dalam labu destilat, menambahkan aquadest 100 ml kedalam
labu destilat, mendestilasi dan menampung filtrat dengan menggunakan labu
ukur 50 ml. Mengambil 2-3 tetes hasil destilat sampel, menambahkan 2 tetes
Fenilhidrazina hidroklorida, 1 tetes kalium heksasianoferat (III), dan 5 tetes HCl.
Jika terjadi perubahan warna merah terang (positif formalin) (Ditjen POM, 1979).

b. Dengan asam kromatofat


Mencampurkan 10 gram sampel dengan 50 ml air dengan cara menggerusnya
dalma lumpang. Campuran dipindahkan ke dalam labu destilat dan diasamkan
dengan H3PO4. Labu destilat dihubungkan dengan pendingin dan didestilasi.
Hasil destilasi ditampung.
Larutan pereaksi Asam kromatofat 0,5% dalam H2SO4 60% (asam 1,8
dihidroksinaftalen 3,6 disulfonat) sebanyak 5 ml dimasukkan dlam tabung reaksi,
ditambahkan 1 ml larutan hasil destilasi sambil diaduk. Tabung reaksi
dimasukkan dalam penagas air yang mendidih selam 15 menit dan amati
perubahan warna yang terjadi. Adanya HCHO ditunjukkan dengan adanya warna
ungu terang sampai ungu tua (Cahyadi, 2008).
c. Dengan Larutan Schif
Menimbang 10 gram sampel dan dipotong potong kemudian dimasukkan
kedalam labu destilat, ditambahkan 50 ml air, kemudian diasamkan dengan 1 ml
H3PO4. Labu destilat dihubungkan dengan pendingin dan didestilasi. Hasil
destilasi ditampung labu ukur 50 ml. Diambil 1 ml hasil destilat dalam tabung
reaksi, ditambahkan 1 ml H2SO4 1:1 (H2SO4 pekat) lewat dinding, kemudian
ditambahkan 1 ml larutan schif, jika terbentuk warna ungu maka positif
formalin.
4.2.2 Uji Kuantitatif
a. Dengan metode Asidialkalimetri
Dipipet 10,0 ml hasil destilat dipindahkan ke erlenmeyer, kemudian ditambah
dengan campuran 25 ml hidrogen peroksida encer P dan 50 ml natrium
hidroksida 0,1 N. Kemudian dipanaskan di atas penangas air hingga pembuihan
berhenti, dan dititrasi dengan asam klorida 0,1 N menggunakan indikator larutan
fenolftalein P. Dilakukan penetapan blanko, dipipet 50,0 ml NaOH 0,1 N,
ditambah 2-3 tetes indikator fenolftalein, dititrasi dengan HCl 0,1 N. Dimana 1 ml
natrium hidroksida 0,1 N ~ 3,003 mg HCHO (Ditjen POM, 1979).
b. Dengan metode Spektrofotometri
1. Asam Kromatofat
Dibuat larutan baku induk dari konsentrasi 1000 ppm dari formalin 37 %,
kemudian diencerkan dalam labu takar 100 ml dengan aquadest sampai tanda
batas, kemudian larutan tersebut dibuat larutan baku standar. Larutan pereaksi
asam kromatofat 5 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan 1 ml larutan standar formalin sambil diaduk tabung reaksi ditangas
selam 15 menit dalam penangas air yang mendidih, angkat dan didinginkan.
Penetapan kadar formalin sampel, mencampurkan 10 g sampel dengan 50 ml
aquadest dengan cara menggerusnya didalam lumpang. Kemudian didestilat dan
diasamkan dengan H3PO4, ditampung dengan labu ukur 50 ml. Ditambahkan 5
ml asam kromatofat. Kemudian diukur absorbansi sampel dan standar dengan
panjang gelombang 560 nm dan dihitung kadar formalinnya (Cahyadi, 2008).
2. Larutan Schif

Diambil 5,0 ml hasil destilat kemudian ditambahkan ditambahkan 1 ml H2SO4


1:1 (H2SO4 pekat) lewat dinding, kemudian ditambahkan 1,0 ml larutan schift.
Dibaca dengan spektrofotometri. Dibuat juga blanko serta baku seri. Dengan
dicari panjang gelombang optimum, lama waktu kestabilan pada
spektrofotometer, dan kurva baku standar formalin.
2.5

Karakteristik Sampel

2.5.1 Tahu
Tahu merupakan produk kedelai non-fermentasi yang disukai dan digemari di
Indonesia seperti halnya tempe, kecap, dan tauco. Tahu adalah salah satu produk
olahan kedelai yang berasal dari daratan Cina. Pembuatan tahu dan susu kedelai
ditemukan oleh Liu An pada zaman pemerintahan Dinasti Han, kira-kira 164
tahun sebelum Masehi (Shurtlef dan Aoyagi 2001). Kata tahu berasal dari
bahasa Cina yaitu tao-hu, teu-hu/tokwa. Kata tao/teu berarti kacang untuk
membuat tahu, orang menggunakan kacang kedelai kuning (putih) yang disebut
wong-teu (wong = kuning). Hu/kwa itu artinya rusak, lumat, hancur, menjadi
bubur. Kedua istilah itu digabungkan menjadi tahu. Pengertian tahu adalah
makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau dihancurkan menjadi
bubur (Kastyanto 1999).
Tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui
proses pengolahan kedelai (Glycne species) dengan prinsip pengendapan
protein, dengan atau tidak ditambah bahan lain yang diizinkan (SNI 1998).
Sedangkan menurut Shurtlef dan Aoyagi (2001), tahu adalah gumpalan protein
dari susu kedelai yang telah dipisahkan dari bagian yang tidak menggumpal
(whey) dengan cara pengepresan.
Tahu terdiri dari berbagai jenis, yaitu tahu putih, tahu kuning, tahu sutra, tahu
cina, tahu keras, dan tahu kori (Sarwono dan Saragih 2003). Perbedaan dari
berbagai jenis tahu tersebut ialah pada proses pengolahannya dan jenis
penggumpal yang digunakan.
Komposisi zat gizi dalam tahu cukup baik. Tahu mempunyai kadar protein
sebesar 8-12%, sedangkan mutu proteinnya yang dinyatakan sebagai NPU
sebesar 65% (Shurtlef dan Aoyagi 2001). Tahu juga mempunyai daya cerna
yang sangat tinggi karena serat dan karbohidrat yang bersifat larut dalam air
sebagian besar terbuang pada proses pembuatannya. Dengan daya cerna
sekitar 95%, tahu dapat dikonsumsi dengan aman oleh semua golongan umur
dari bayi hingga orang dewasa, termasuk orang yang mengalami gangguan
pencernaan (Shurtlef dan Aoyagi 2001)..
Komposisi

Satuan

Jumlah
Energi

Kal

68
Air

84.8
Protein

7.8
Lemak

4.6
Karbohidrat

1.6
Kalsium

mg

124.0
Fosfor

mg

63.0
Besi

mg

0.8
Vitamin B1

mg

0.06
Komposisi kimia dalam 100 g tahu (Direktorat Gizi Depkes RI 1981)

2.5.2 Lontong
Lontong adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari beras dibungkus
dalam daun pisang dan direbus dalam air selama beberapa jam dan jika air habis
dituangkan air lagi demikian berulang samapi beberapa kali. Cara pembuatan
lontong lebih mudah dari ketupat. Karena direbus dalam daun pisang, lontong
dapat berwarna hijau di luarnya, sedangkan berwarna putih didalamnya. Lontong
banyak ditemui diperbagai daerah di Indonesia sebagai makanan alternative
pengganti nasi putih. Walau juga dibuat dari beras, lontong memiliki aroma yang
khas.
2.5.3 Ikan Asin
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung
asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai
biologisnya mencapai 90 persen, dengan jaringan pengikat sedikit sehigga
mudah dicerna (Adawyah, Rabiatul, 2007). Ikan merupakan komoditi ekspor yang
mudah mengalami pembusukan dibandingkan produk daging, buah dan sayuran.
Pembusukan pada ikan terjadi karena beberapa kelemahan dari ikan yaitu tubuh
ikan mengandung kadar air tinggi (80%) dan pH tubuh mendekati netral,
sehingga memudahkan tumbuhnya bakteri pembusuk, daging ikan mengandung
asam lemak tak jenuh berkadar tinggi yang sifatnya mudah mengalami proses
oksidasi sehingga seringkali menimbulkan bau tengik, jaringan ikat pada daging
ikan sangat sedikit sehingga cepat menjadi lunak dan mikroorganisme cepat
berkembang.
Oleh karena beberapa kelemahan tersebut, para produsen melakukan
penghambatan kebusukan dari ikan dengan membuat kondisi lingkungan yang
tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba, sehingga mikroba dapat ditekan
pertumbuhannya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan proses
penggaraman dan pengeringan yang kemudian hasil produksinya disebut

dengan ikan asin. Ikan asin diproduksi dari bahan ikan segar atau ikan setengah
basah yang ditambahkan garam 15-20%. Walaupun kadar air didalam tubuh ikan
masih tinggi 30-35 persen, namun ikan asin dapat disimpan agak lama karena
penambahan garam yang relatif tinggi tersebut. Untuk mendapatkan ikan asin
berkualitas bahan baku yang digunakan harus bermutu baik, garam yang
digunakan biasanya garam murni berwarna putih bersih. Garam ini mengandung
kadar natrium chlorida (NaCl) cukup tinggi, yaitu sekitar 95 %. Komponen yang
biasa tercampur dalam garam murni adalah MgCl2 (magnesium chlorida), CaCl2
(calsium chlorida), MgSO4 (magnesium sulfat), CaSO4 ( calsium sulfat), lumpur,
dll. Jika garam yang digunakan Mg (magnesium) dan Ca (calsium) akan
menghambat proses penetrasi garam ke dalam daging ikan, akibatnya daging
ikan berwarna putih, keras, rapuh dan rasanya pahit. Jika garam yang digunakan
mengandung Fe (besi) dan Cu (tembaga) dapat mengakibatkan ikan asin
berwarna coklat kotor atau kuning (Djarijah, 1995).

2.5.4 Cilok
Pentol cilok adalah makanan ringan yang menyerupai pentol dan terbuat dari
tepung kanji, berasa gurih dan kenyal. Awalnya makanan ini merupakan khas
dari Jawa Barat, namun sekarang sudah mulai merambah kedaerah lain. Cilok
termasuk makanan jajanan. Makanan jajanan menurut FAO didefisinikan sebagai
makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di
jalanan dan di tempat tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan
atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut.
Perlu diwaspadai akan kemananpangan dari pentol cilok tersebut, karena
biasanya pentol cilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan dalamwaktu
yang lama, sehingga memungkinkan terjadinya cemaran oleh mikroba. Cemaran
oleh mikroba pada pentol cilok juga dipengaruhi oleh sanitasi selama proses
pengolahan serta higiene dari penjamah makanan. Selain cemaran oleh mikroba,
keamanan pangan pentol cilok juga dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan, kualitas dari bahan-bahan tersebut, penggunaan bahan tambahan
makanan serta keberadaan bahan berbahaya dalam pembuatan pentol cilok.
2.5.5 Mie Basah
Menurut Astawan (1999), mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses
perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air
mencapai 52 % sehingga daya tahan simpannya relatif singkat yaitu 40 jam
dalam suhu kamar.

Zat Gizi

Mie Basah

Zat Gizi

Mie Basah
Energy (kal)

86

Besi

0,8
Protein (g)

0,6

Vitamin A

Lemak (g)

3,3

Vitamin B1 (mg)

Karbohidrat (g)

14

Vitamin C (mg)

Kalsium (mg)

13

Air (mg)

80
Komposisi Gizi Mie Basah per 100 g Bahan

Menurut Astawan, (1999), mie basah yang baik adalah mie yang secara kimiawi
mempunyai nilai kimia yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh
Departemen Perindustrian melalui SII 2046-90.
2.5.6 Bakso
Bakso merupakan produk dari protein daging, baik daging sapi, ayam ikan
maupun udang. Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama
garam dapur (NaCl), tepung tapioka, dan bumbu berbentuk bulat seperti
kelereng dengan berat 25-30 gr per butir. Setelah Bakso memiliki tekstur kenyal
seperti ciri spesifiknya, kualitas bakso sangat bervariasi karena perbedaan bahan
baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dan tepung dan
proses pembuatannya (Widyaningsih, 2006).

BAB 3. METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


3.1.1 Alat
a.

Beakker Glass 500 ml

b.

Beakker Glass 50 ml

c.

Spatula Pengaduk

d.

Cawan Petri

e.

Cawan Porselin dan Mortar

f.

Gelas Ukur 10 ml

g.

Tabung Reaksi

h.

Rak Tabung Reaksi

i.

Sentrifugator

j.

Penangas Listrik

k.

Keranjang Plastik

l.

Sendok Plastik

3.1.2 Bahan
a.

Tahu

b.

Lontong

c.

Ikan Asin

d.

Cilok

e.

Mie Basah

f.

Bakso

g.

HCl

h.

Cairan Reagent

i.

Air Mendidih

j.

Tissue

k.

Label

3.2 Skema Kerja


3.2.1 Uji Formalin
10 gram Sampel

Cincang dan Haluskan


20 ml Air Mendidih
(+) Jika warna Berubah menjadi Ungu
Tunggu sampai Dingin
Ambil Filtratnya
+ 4 Tetes Reagen A dan B
Ambil Filtratnya
Kocok dan Amati

BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN


4.1 Hasil Pengamatan
a. Tanpa Perendaman Air Panas
Sampel

Formalin

Boraks
Hasil Uji

Warna

Hasil Uji

Warna
Tahu

Lontong

Ikan Asin

++++

Cilok

Mie Basah

++

++++
Bakso

+++

b. Dengan Perendaman Air Panas


Sampel

Formalin

Boraks
Hasil Uji

Warna

Hasil Uji

Warna
Tahu

Lontong

Ikan Asin

++++

Cilok

Mie Basah

Bakso

++

Keterangan :
-

Formalin semakin + semakin ungu

Boraks semakin + semakin merah bata

Maksimal hingga 4+

3.2 Hasil Perhitungan


Dalam praktikum tidak dilakukan perhitungan.
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Pada praktikum uji kandungan formalin sampel yang digunakan adalah tahu,
lontong, ikan asin, cilok, mie basah dan bakso. Pertama sampel tersebut
disiapkan sebanyak 10 gram. Kemudian diberikan dua perlakuan yang berbeda
pada sampel tersebut yaitu dilakukan perendaman dan tanpa perendaman. Hal
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perendaman terhadap kandungan
formalin dalam sampel. Kemudian sampel dicincang dan dihaluskan supaya
pelarutan zat-zat yang terdapat dalam sampel menjadi lebih mudah. Selanjutnya
ditambahkan 20 ml air mendidih. Hal ini bertujuan untuk mempermudah
pelarutan zat-zat yang terdapat di dalam sampel karena pengaruh suhu tinggi
yang dapat mepercepat laju reaksi.
Setelah itu ditunggu sampai campuran tersebut dingin supaya kandungan
dalam sampel benar-benar bereaksi dengan air. Selanjutnya diambil filtratnya
kemudian ditetesi dengan 4 tetes reagen A dan reagen B. Reagen ini berfungsi
sebagai peraksi agar dapat terjadi perubahan warna pada larutan sampel untuk
menunjukkan ada atau tidaknya kandungan formalin pada sampel. Selanjutnya,
dilakukan pengocokan menggunakan vortex untuk menghomogenkan larutan.
kemudian ditunggu 5 sampai 10 menit agar reaksi yang terjadi dalam larutan
lebih optimal. Terakhir adalah dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna
pada larutan tersebut. Apabila larutan berubah menjadi ungu maka dapat
disimpulkan bahwa sampel tersebut positif mengandung formalin.

5.2 Analisis Data


Berdasarkan data pengamatan, dapat diketahui bahwa pada perlakuan tanpa
perendaman, sampel yang hasil ujinya terbukti positif mengandung formalin
adalah ikan asin, mie basah dan bakso. Setelah dilakukan pengujian dan
pengamatan warna, sampel ikan asin memiliki warna yang paling ungu,
kemudian bakso agak ungu dan mie basah sedikit ungu. Hal ini menunjukkan
bahwa pada sampel ikan asin memiliki kandungan formalin yang paling banyak,
karena semakin berwarna ungu maka kandungan formalin pada sampel tersebut
semakin banyak.
Sedangkan pada perlakuan perendaman dengan air panas menunjukkan bahwa
sampel yang positif mengandung formalin adalah ikan asin dan bakso. Setelah
dilakukan pengujian sampel ikan asin memiliki warna yang paling ungu dan pada
sampel bakso agak ungu. Hal ini menunjukkan bahwa sampel ikan asin memiliki
kandungan formalin yang paling banyak, karena semakin berwarna ungu maka
kandungan formalin dalam sampel tersebut semakin banyak. Pada perlakuan
perendaman dengan air panas, sampel mie basah tidak terdeteksi kandungan
formalinnya. Hal ini menunjukkan bahwa proses perendaman menggunakan air
panas dapat mempengaruhi kandungan formalin, yaitu dapat menurunkan
kandungan formalinnya.

BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
a.
uji.

Sampel yang positif mengandung formalin akan berwarna ungu setelah di

b.
Pada perlakuan tanpa perendaman, sampel yang hasil ujinya terbukti
mengandung formalin adalah ikan asin, mie basah dan bakso.
c.
Sampel ikan asin memiliki warna yang paling ungu pada kedua perlakuan
yakni tanpa perendaman dan dengan perendaman.
d.
Pada perlakuan perendaman dengan air panas diketahui bahwa sampel
yang positif mengandung formalin adalah ikan asin dan bakso.
e.
Pada perlakuan perendaman dengan air panas sampel mie basah tidak
terdetksi kandungan formalinnya.
f.
Proses perendaman menggunakan air panas dapat mempengaruhi
kandungan formalin, yaitu dapat menurunkan kandungan formalinnya.

6.2 Saran
Sebaiknya praktikan tidak gaduh pada saat melakukan praktikum.

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Astawan ,M. 1999. Membuat mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
Astawan, M., 2006. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
BSNI. 1998. SNI 01-3142-1998 : Syarat Mutu Tahu. Jakarta : Badan Standarisasi
Nasional Indonesia.
Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan
Makanan: Jakarta
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta : Depertemen
Kesehatan RI.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan ikan alami . Yogyakarta : Kanisius
Harmita,APT. 2006. Analisis Fisikokimia. Jakarta :UI Press.
Hart H. 1983. Kimia Organik. Suminar Achmadi (penerjemah). Jakarta : Erlangga.
International Agency for Research on Cancer (IARC). 1982. Some Industrials
Chemicals and Drystufs. IARC Monograph.

Kastyanto, F.W.1999. Membuat Tahu. Jakarta : Penebaran Swadaya.


Sarwono,S dan Saragih Y.P.2003. Membuat Aneka Tahu. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Shurtlef W, Aoyagi A. 2001. Tofu and Soymilk Producton, The Book of Tofu Vol II.
Lafayete: Soyinfo Center.
Widyaningsih, D.T., Murtini, E.S. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada Produk
pangan. Surabaya : Trubus Agriarana.
Winarno F.G, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan
Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
World Health Organization (WHO). 2002. Formaldehyde. Concise International
Chemical Assessment Document 40. Geneva
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, produk pangan semakin baragam bentuknya, baik itu dari segi
jenisnya maupun dari segi rasa dan cara pengolahannya. Namun seiring dengan
semakin pesatnya teknologi pengolahan pangan, penambahan bahan-bahan
aditif pada produk pangan sulit untuk dihindari. Akibatnya keamanan pangan
telah menjadi dasar pemilihan suatu produk pangan yang akan dikonsumsi.
Keamanan pangan merupakan hal yang sedang banyak dipelajari, karena
manusia semakin sadar akan pentingnya sumber makanan dan kandungan yang
ada di dalam makanannya. Hal ini terjadi karena adanya kemajuan ilmu
pengetahuan serta kemajuan teknologi, sehingga diperlukan suatu cara untuk
mengawasi keamanan pangan.
Dalam proses keamanan pangan, dikenal pula usaha untuk menjaga daya tahan
suatu bahan sehingga banyaklah muncul bahan-bahan pengawet yang bertujuan
untuk memperpanjang masa simpan suatu bahan pangan. Namun dalam
praktiknya di masyarakat, masih banyak yang belum memahami perbedaan
penggunaan bahan pengawet untuk bahan-bahan pangan dan non pangan.
Formalin merupakan salah satu pengawet non pangan yang sekarang banyak
digunakan untuk mengawetkan makanan.
Formalin adalah nama dagang dari campuran formaldehid, metanol dan air.
Formalin yang beredar di pasaran mempunyai kadar formaldehid yang
bervariasi, antara 20% - 40%. Formalin memiliki kemampuan yang sangat baik
ketika mengawetkan makanan, namun walau daya awetnya sangat luar biasa,
formalin dilarang digunakan pada makanan karena berbahaya untuk kesehatan
manusia. Bahaya yang ditimbulkan akibat penggunaan formalin bermacammacam, misal mual, muntah, bahakan dapat menyebabkan kanker. Hal ini
disebabkan oleh bahaya residu yang ditinggalkannya bersifat karsinogenik bagi
tubuh manusia.
Oleh karena itu perlu dilakukan uji formalin pada berbagai produk pangan seperti
bakso, mie basah, ikan asin dan lain-lain. Hal ini bertujuan agar kita dapat
mengetahui produk apa saja yang mengandung pengwet buatan (formalin).
1.2 Tujuan

a.
Untuk mengetahui cara mengindetifikasi formalin dalam bahan pangan
dan makanan
b.

Untuk ciri-ciri makanan yang mengandung formalin.

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi Formalin

Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau menusuk,
uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan rasa membakar.
Bobot tiap mililiter adalah 1,08 gram. Dapat bercampur dengan air dan alkohol,
tetapi tidak bercampur dengan kloroform dan eter (Norman and Waddington,
1983). Didalam formalin mengandung sekitar 37% formaldehid dalam air,
biasanya ditambah methanol hingga 15% sebagai pengawet. Formalin dikenal
sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam
industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene aldehyde, Paraforin,
Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform,
Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith (Astawan, Made, 2006). Berat
Molekul Formalin adalah 30,03 dengan Rumus Molekul HCOH. Karena kecilnya
molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh. Gugus
karbonil yang dimilikinya sangat aktif, dapat bereaksi dengan gugus NH2 dari
protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap (Harmita,
2006).
Rumus bangun formalin:
O
H

C
H

Formaldehid (formalin) adalah larutan tidak berwarna, reaktif, dan dapat


membentuk polimer pada suhu normal pada saat berwujud gas. Kalor
pembakaran untuk gas formalin 4,47 Kcal / gram. Daya bakar dilaporkan pada
rentang volume 12,5 80 % di udara. Campuran 65 70 % formaldehid di dalam
udara sangat mudah terbakar. Formaldehid dapat terdekomposisi menjadi
metanol dan karbonmonooksida pada suhu 150oC dan pada suhu 300C jika
dekomposisi tidak menggunakan katalis. Pada tekanan atmosfer formaldehid
mudah mengalami fotooksidasi menjadi karbondioksida (WAAC Newsletter,
2007). Larutan formaldehid atau larutan formalin mempunyai nama dagang
formalin, formol atau mikrobisida dengan rumus molekul CH2O mengandung 37
% gas formaldehid dalam air. Biasanya ditambahkan 10 15% metanol untuk
menghindari polimerisasi. Larutan ini sangat kuat dan dikenal dengan larutan
formalin 40% yang mengandung 40 gram formaldehid dalam 100 ml pelarut
(Cahyadi, 2006).

2.2

Karakteristik Formalin

Formalin atau Senyawa kimia formaldehida (juga disebut metanal), merupakan


aldehida berbentuknya gas dengan rumus kimia H2CO. Formaldehida awalnya
disintesis oleh kimiawan Rusia Aleksandr Butlerov tahun 1859, tapi diidentifikasi
oleh Hofman tahun 1867. Formaldehida bisa dihasilkan dari pembakaran bahan
yang mengandung karbon. Terkandung dalam asap pada kebakaran hutan,
knalpot mobil, dan asap tembakau. Dalam atmosfer bumi, formaldehida
dihasilkan dari aksi cahaya matahari dan oksigen terhadap metana dan
hidrokarbon lain yang ada di atmosfer. Formaldehida dalam kadar kecil sekali
juga dihasilkan sebagai metabolit kebanyakan organisme, termasuk manusia
(Reuss 2005).
Meskipun dalam udara bebas formaldehida berada dalam wujud gas, tetapi bisa
larut dalam air (biasanya dijual dalam kadar larutan 37% menggunakan merk
dagang formalin atau formol ). Dalam air, formaldehida mengalami
polimerisasi dan sedikit sekali yang ada dalam bentuk monomer H2CO.
Umumnya, larutan ini mengandung beberapa persen metanol untuk membatasi
polimerisasinya. Formalin adalah larutan formaldehida dalam air, dengan kadar
antara 10%-40%. Meskipun formaldehida menampilkan sifat kimiawi seperti
pada umumnya aldehida, senyawa ini lebih reaktif daripada aldehida lainnya.
Formaldehida merupakan elektrofil, bisa dipakai dalam reaksi substitusi aromatik
elektrofilik dan sanyawa aromatik serta bisa mengalami reaksi adisi elektrofilik
dan alkena. Dalam keberadaan katalis basa, formaldehida bisa mengalami reaksi
Cannizzaro, menghasilkan asam format dan metanol. Formaldehida bisa
membentuk trimer siklik, 1,3,5-trioksana atau polimer linier polioksimetilena.
Formasi zat ini menjadikan sifat-sifat gas formaldehida berbeda dari sifat gas
ideal, terutama pada tekanan tinggi atau udara dingin. Formaldehida bisa
dioksidasi oleh oksigen atmosfer menjadi asam format, karena itu larutan
formaldehida harus ditutup serta diisolasi supaya tidak kemasukan udara (Reuss
2005).
2.3 Fungsi Formalin
Oleh karena harganya yang terjangkau, formalin banyak digunakan dalam
berbagai jenis industri seperti pembuatan perabot dan juga digunakan sebagai
bahan campuran dalam pembuatan bangunan. Selain itu, formalin juga
digunakan sebagai bahan pengawet mayat dan agen fiksasi di laboratorium.
Bahan pengawet ini, menurut Kepala Pusat Penelitian Kimia LIPI, Dr. Leonardus
Broto Kardono (2006).
Penggunaan formalin diantaranya adalah sebagai berikut:
a.
Pembunuh kuman sehingga digunakan sebagai pembersih lantai, gudang,
pakaian dan kapal.
b.

Pembasmi lalat dan serangga.

c.
Bahan pembuat sutra bahan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan
peledak.
d.
Dalam dunia fotografi digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan
kertas.

e.

Bahan pembentuk pupuk berupa urea.

f.

Bahan pembuatan produk parfum.

g.

Pencegah korosi untuk sumur minyak.

h.

Bahan untuk isolasi busa.

i.

Bahan perekat untuk produk kayu lapis (plywood)

(Oke, 2008).
Larutan formaldehid adalah disinfektan yang efektif melawan bakteri vegetatif,
jamur atau virus tetapi kurang efektif melawan spora bakteri. Formaldehid
bereaksi dengan protein dan hal tersebut mengurangi aktivitas mikroorganisme.
Efek sporosidnya meningkat, yang meningkat tajam dengan adanya kenaikan
suhu. Larutan 0,5 % formaldehid dalam waktu 6 12 jam dapat membunuh
bakteri dan dalam waktu 2 4 hari dapat membunuh spora, sedangkan larutan
8% dapat membunuh spora dalam waktu 18 jam. Formaldehid memiliki daya
antimicrobial yang luas yaitu terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aerogenosa, Pseudomonas florescens,
Candida albicans, Aspergillus niger, atau Penicillium notatum. Mekanisme
formaldehid sebagai pengawet diduga bergabung dengan asam amino bebas
dari protoplasma sel atau mengkoagulasikan protein (Cahyadi, 2006).
Formaldehid membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri
dehidrasi (kekurangan air) sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk
lapisan baru di permukaan. Artinya formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi
juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya supaya
tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan
serangan bakteri dengan cara membunuh maka formalin akan bereaksi secara
kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan
berikutnya (Cipta Pangan, 2006)
Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan
protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang
berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut protein mengeras dan tidak dapat larut
(Herdiantini, 2003). Sifat penetrasi formalin cukup baik, tetapi gerakan
penetrasinya lambat sehingga walaupun formaldehid dapat digunakan untuk
mengawetkan sel-sel tetapi tidak dapat melindungi secara sempurna, kecuali jika
diberikan dalam waktu lama sehingga jaringan menjadi keras (Herdiantini, 2003).
2.4

Macam-macam Metode Uji Formalin

2.4.1 Metode Spot Test


Beberapa metode analisa kimia yang sudah ada, untuk penetapan kandungan
formalin, borak, dan zat pewarna berbahaya salah satunya dapat dilakukan
dengan metode spot test. Yaitu metode analisa kimia dengan menggunakan
reagent kit (kit tester). Metode ini mempunyai keistimewaan antara lain cepat,
murah, pasti dan tidak memerlukan peralatan yang rumit dan dapat dilakukan
kapanpun dan dimanapun (Shofi A, 2008).
Prinsip kerjanya adalah dengan menambahkan cairan (reagent) pada bahan
makanan yang diduga menggunakan bahan yang diselidiki, dengan hasil akhir

terjadinya perubahan warna khas. FMR (formalin main reagent) merupakan salah
satu jenis kit tester kandungan formalin. Kit tester tersebut merupakan salah
satu penemuan dari dosen FMIPA UB Malang. Produk kit FMR tersebut ditunjukan
dalam Gambar 1.

Gambar 1. Reagen kit FMR (Shofi A, 2008).


2.4.2 Sensor Warna TCS 3200
Sensor warna TCS 3200 adalah sensor warna buatan TAOS Parralax. TCS 3200
merupakan produk penyempurnaan dari produk sebelumnya yaitu TCS 230.
Perbedaan antara TCS 3200 dan TCS 230 adalah konsumsi arusnya (Noor, 2010).
Bentuk fisik dari sensor warna ditunjukan dalam gambar 2.
Gambar 2. Modul Sensor Warna TCS 3200 (Noor, 2010)
2.4.3 Mikrokontroler AVR ATmega8

AVR merupakan salah satu jenis mikrokontroler yang di dalamnya terdapat


berbagai macam fungsi khusus seperti ADC, EEPROM kapasitas 128 byte sampai
dengan 512 byte. Mikrokontroller dengan konsumsi daya rendah ini mampu
mengeksekusi instruksi dengan kecepatan maksimum 16MIPS pada frekuensi
16MHz. Jika dibandingkan dengan ATmega8L perbedaannya hanya terletak pada
besarnya tegangan yang diperlukan untuk bekerja. ATmega8 tipe L, dapat
bekerja dengan tegangan antara 2,7 - 5,5 V sedangkan untuk ATmega8 hanya
dapat bekerja pada tegangan antara 4,5 5,5 V (Wasito S, 2004). Adapun
konfigurasi pin dari ATmega8 ditunjukan dalam gambar 3.
Gambar 3. Konfigurasi pin ATmega8 (Wasito S, 2004)

2.5

Karakteristik Sampel

2.5.1 Tahu
Tahu merupakan hasil olahan dari bahan dasar kacang kedelai melalui proses
pengendapan dan penggumpalan oleh bahan penggumpal. Tahu ikut berperan
dalam pola makan sehari-hari sebagai lauk pauk maupun sebagai makanan
ringan. Kacang kedelai sebagai bahan dasar tahu mempunyai kandungan protein
sekitar 30-45%. Dibandingkan dengan kandungan protein bahan pangan lain
seperti daging (19%), ikan (20%) dan telur (13%), ternyata kedelai merupakan
bahan pangan yang mengandung protein tertinggi. Penggunaan CaSO4
merupakan cara penggumpalan tradisional yang dapat menghasilkan tahu yang
bermutu baik (Tim Pengajar Pendidikan Industri Tahu, 1981).
Tahu termasuk bahan makanan yang berkadar air tinggi. Besarnya kadar air
dipengaruhi oleh bahan penggumpal yang dipakai pada saat pembuatan tahu.
Bahan penggumpal asam menghasilkan tahu dengan kadar air lebih tinggi
dibanding garam kalsium. Bila dibandingkan dengan kandungan airnya, jumlah
protein tahu tidak terlalu tinggi, hal ini disebabkan oleh kadar airnya yang sangat
tinggi. Makanan-makanan yang berkadar air tinggi umumnya kandungan protein
agak rendah. Selain air, protein juga merupakan media yang baik untuk

pertumbuhan mikroorganisme pembusuk yang menyebabkan bahan mempunyai


daya awet rendah (Hamid, 2012).
Tahu diproduksi dengan memanfaatkan sifat protein, yaitu akan menggumpal
bila bereaksi dengan batu tahu. Penggumpalan protein oleh batu tahu akan
berlangsung secara cepat dan serentak di seluruh bagian cairan sari kedelai,
sehingga sebagian besar air yang semula tercampur dalam sari kedelai akan
terperangkap di dalamnya. Pengeluaran air yang terperangkap tersebut dapat
dilakukan dengan memberikan tekanan. Semakin besar tekanan yang diberikan,
semakin banyak air dapat dikeluarkan dari gumpalan protein. Gumpalan protein
itulah yang kemudian disebut sebagai tahu (Bayuputra, 2011).
Kandungan air di dalam tahu ternyata bukan merupakan hal yang merugikan.
Oleh beberapa pengusaha, hal tersebut justru dimanfaatkan untuk memproduksi
tahu dengan tingkat kekerasan yang rendah (tahu gembur). Dalam proses
pembuatan tahu gembur, air yang dikeluarkan hanya sebagian kecil, selebihnya
dibiarkan tetap berada di dalam tahu. Dengan demikian, akan dihasilkan tahu
yang berukuran besar namun gembur (Bayuputra, 2011).

Tabel 1. Kandungan gizi tahu


No

Unsur gizi

Kadar/100 g bahan tahu


1

Energi (kal)

79
2

Protein (g)

7,8
3

Mineral (g)

2,2
4

Kalsium (mg)

124
5

Fosfor (mg)

63
6

Zat besi (mg)

0,8
7

Vitamin A (mcg)

0
8

Vitamin B (mg)

0.06
9

Air

12,5
Sumber : (Bayuputra, 2011)

2.5.2 Lontong
Lontong merupakan salah satu cara penyajian nasi berbahan dasar beras.
Lontong berbentuk nasi yang dipadatkan karena dimasak dengan air namun
ditekan dengan pembungkus biasanya daun pisang atau plastik. Lontong
mempunyai tekstur kenyal dan lembut serta dapat bertahan hingga dua hari jika
disimpan dalam lemari pendingin (Tarwodjo,1998).
Pada proses pembuatan lontong dapat dilakukan dengan memasukkan beras ke
dalam panci. Tuangkan air hingga setinggi satu ruas jari dari permukaan beras.
Masak sampai menjadi aron. Ambil selembar daun pisang, taruh 3 hingga 4
sendok makan beras aron di atasnya. Gulung hingga berbentuk bulat panjang
bergaris tengah 4 cm. Semat kedua ujungnya dengan lidi. Lakukan hingga semua
beras aron terbungkus. Didihkan air yang banyak dalam panci, masukkan
gulungan beras ke dalamnya hingga terendam air. Rebus selama 4 jam, bila air
berkurang tambahkan air panas secukupnya. Setelah lontong matang, angkat,
tiriskan kemudian didinginkan.
2.5.3 Ikan asin
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung
asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai
biologisnya mencapai 90%, dengan jaringan pengikat sedikit sehigga mudah
dicerna (Adawyah, 2007). Ikan merupakan komoditi ekspor yang mudah
mengalami pembusukan dibandingkan produk daging, buah dan sayuran.
Pembusukan pada ikan terjadi karena beberapa kelemahan dari ikan yaitu tubuh
ikan mengandung kadar air tinggi (80%) dan pH tubuh mendekati netral,
sehingga memudahkan tumbuhnya bakteri pembusuk, daging ikan mengandung
asam lemak tak jenuh berkadar tinggi yang sifatnya mudah mengalami proses
oksidasi sehingga seringkali menimbulkan bau tengik, jaringan ikat pada daging
ikan sangat sedikit sehingga cepat menjadi lunak dan mikroorganisme cepat
berkembang.
Oleh karena beberapa kelemahan tersebut, para produsen melakukan
penghambatan kebusukan dari ikan dengan membuat kondisi lingkungan yang
tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba, sehingga mikroba dapat ditekan
pertumbuhannya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan proses
penggaraman dan pengeringan yang kemudian hasil produksinya disebut
dengan ikan asin. Ikan asin diproduksi dari bahan ikan segar atau ikan setengah
basah yang ditambahkan garam 15-20%. Walaupun kadar air didalam tubuh ikan
masih tinggi 30-35 persen, namun ikan asin dapat disimpan agak lama karena
penambahan garam yang relatif tinggi tersebut. Untuk mendapatkan ikan asin
berkualitas bahan baku yang digunakan harus bermutu baik, garam yang
digunakan biasanya garam murni berwarna putih bersih. Garam ini mengandung
kadar natrium chlorida (NaCl) cukup tinggi, yaitu sekitar 95 %. Komponen yang
biasa tercampur dalam garam murni adalah MgCl2 (magnesium chlorida), CaCl2
(calsium chlorida), MgSO4 (magnesium sulfat), CaSO4 (calsium sulfat), lumpur,
dll. Jika garam yang digunakan Mg (magnesium) dan Ca (calsium) akan
menghambat proses penetrasi garam ke dalam daging ikan, akibatnya daging
ikan berwarna putih, keras, rapuh dan rasanya pahit. . Jika garam yang
digunakan mengandung Fe (besi) dan Cu (tembaga) dapat mengakibatkan ikan
asin berwarna coklat kotor atau kuning (Djarijah, 1995).

2.5.4 Cilok
Pentol cilok adalah makanan ringan menyerupai pentol yang terbuat dari tepung
kanji, berasa gurih dan kenyal. Awalnya makanan ini merupakan khas dari Jawa
Barat, namun sekarang sudah mulai merambah ke daerah-daerah lain. Perlu
diwaspadai akan kemanan pangan dari pentol cilok tersebut, karena biasanya
pentol cilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan dalam waktu yang lama,
sehingga memungkinkan terjadinya cemaran oleh mikroba. Cemaran oleh
mikroba pada pentol cilok juga dipengaruhi oleh sanitasi selama proses
pengolahan serta higiene dari penjamah makanan. Selain cemaran oleh mikroba,
keamanan pangan pentol cilok juga dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan, kualitas dari bahan-bahan tersebut, penggunaan bahan tambahan
makananan serta keberadaan bahan berbahaya dalam pembuatan pentol cilok.
2.5.5 Mie basah
Mie basah adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan, dimana kadar
airnya tinggi dapat mencapai 52% sehingga memiliki daya tahan yang singkat.
Salah satu jenis mi yang termasuk dalam mi basah adalah mi tiaw. Mi basah
memiliki daya tahan yang singkat, karena mengandung kadar air yang cukup
tinggi. Dimana pada suhu kamar mie basah hanya bertahan selama 10-12 jam,
sehingga perlu ditambahkan bahan pengawet untuk meningkatkan daya
simpannya (Widyaningsih & Murtini, 2006). Komposisi gizi mie basah secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Gizi Mie Basah per 100 g Bahan


Zat gizi

Mie Basah
Energy (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Besi
Vitamin A
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (mg)

86
0,6
3,3
14
13
0,8
80
Sumber : Astawan, (1999)
Menurut Astawan, (1999), mie basah yang baik adalah mie yang secara kimiawi
mempunyai nilai kimia yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh
Departemen Perindustrian melalui SII 2046-90. Persyaratan tersebut data dilihat
pada Tabel 3.

Tabel 3. Syarat Mutu Mie Basah (SII 2046-90)


Kriteria Uji

Satuan

Persyaratan
1.

Keadaan :

a.

Bau

b.

Warna

c.

Rasa

Normal
Normal
Normal

2.

Kadar air

%, b/b

20-35
3.

Abu

%, b/b

Maksimum 3
4.

Protein

%, b/b

Maksimum 8
5.

Bahan tambahan makanan:

a.

Boraks dan asam sorbat

b.

Pewarna

c.

Formalin

Tidak boleh

Yang diizinkan
Tidak boleh
6.

Pencemaran logam:

a.

Timbale (Pb)

b.

Tembaga (Cu)

c.

Seng (Zn)

d.

Raksa (Hg)

mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg

Maksimum 1,0
Maksimum 10,0
Maksimum 40,0
Maksimum 0,05
7.

Pencemaran mikrobia:

a.

Angka lempeng total

b.

E.coli

c.

Kapang

Koloni/g

APM/g
Koloni/g

Maksimum 1,0 x 106

Maksimum 10
Maksimum 1,0 x 104

Sumber : Astawan, (1999)


2.5.6 Bakso
Bakso merupakan salah satu produk olahan yang sangat populer. Banyak orang
menyukainya, dari anak-anak sampai orang dewasa. Bakso tidak saja hadir
dalam sajian seperti sajian mie bakso maupun mie ayam. Bola-bola daging ini
juga biasa digunakan dalam campuran beragam masakan lainnya, sebut saja
misalnya nasi goreng, mie goreng, capcay, dan aneka sop (Widyaningsih, 2006).
Bakso merupakan produk dari protein daging, baik daging sapi, ayam ikan
maupun udang. Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama
garam dapur (NaCl), tepung tapioka, dan bumbu berbentuk bulat seperti
kelereng dengan berat 25-30 gr per butir. Bakso memiliki tekstur kenyal seperti
ciri spesifiknya, kualitas bakso sangat bervariasi karena perbedaan bahan baku
dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dan tepung dan proses
pembuatannya (Widyaningsih, 2006).
BAB 3.METODOLOGI PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
a.

Mortar dan alu

b.

Tabung reaksi dan rak tabung reaksi

c.

Cawan petri

d. Gelas ukur 10 ml
e.

Spatula kaca

f.

Beaker glass 50 ml

g.

Beaker glass 600 ml

h.

Vortex

i.

Sendok

j.

Rak plastik

3.1.2 Bahan
a.

Tahu

b.

Lontong

c.

Ikan asin

d. Cilok
e.

Mie basah

f.

Bakso

g.

Label

h.

Air mendidih

i.

Aquades

j.

Reagen A dan B

BAB 4. HASIL PENGAMATAN DAN PERHITUNGAN


4.1 Hasil Pengamatan
a. P1
Sampel

Formalin

Boraks
Hasil Uji

Warna

Hasil Uji

Warna
Tahu

Lontong

Ikan Asin

++++

Cilok

Mie Basah

++

++++
Bakso

+++

b. P2
Sampel

Formalin

Boraks
Hasil Uji

Warna

Hasil Uji

Warna
Tahu

Lontong

Ikan Asin

++++

Cilok

Mie Basah

Bakso

++

Keterangan :

Formalin semakin + semakin ungu

Boraks semakin + semakin merah bata

Maksimal hingga 4+

4.2 Hasil Perhitungan


Dalam praktikum ini tidak dilakukan perhitungan
BAB 5. PEMBAHASAN
5.1 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
Pada pengujian kandungan formalin, yang pertama dilakukan adalah menyiapkan
sampel sebanyak 10 gram. Sampel yang digunakan dalam praktikum ini adalah
tahu, lontong, ikan asin, cilok, mie basah dan bakso. Sampel tersebut kemudian
dilakukan dua perlakuan yang berbeda yaitu dilakukan perendaman dan tanpa
perendaman. Perbedaan perlakuan ini untuk mengetahui pengaruh perendaman
terhadap kandungan formalin dalam sampel. Kemudian sampel dicincang dan
dihaluskan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah pelarutan zat-zat yang
terdapat dalam sampel. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air mendidih yang
bertujuan untuk mempermudah pelarutan zat-zat yang terdapat di dalam sampel
karena pengaruh suhu tinggi yang dapat mepercepat laju reaksi. Kemudian
tunggu sampai campuran tersebut dingin agar kandungan dalam sampel benarbenar bereaksi dengan air tersebut. Setelah itu, diambil filtratnya dan ditetesi

dengan 4 tetes reagen A dan reagen B sebagai peraksi agar dapat terjadi
perubahan warna pada larutan sampel untuk menunjukkan ada atau tidaknya
formalin dalam bahan pangan tersebut. Selanjutnya, dilakukan pengocokan
menggunakan vortex untuk menghomogenkan larutan. Setelah itu ditunggu
antara 5 sampai 10 menit agar reaksi dalam larutan optimal. Tahap terakhir
adalah dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna pada larutan tersebut.
Apabila larutan berubah menjadi ungu maka larutan positif mengandung
formalin. Kemudian dilakukan pencatatan terhadap hasilnya.

5.2 Analisis Data


Penggunaan formalin pada bahan pangan berbahaya karena. Oleh sebab itu,
sangat dilarang menggunakan formalin sebagai bahan campuran dan pengawet
makanan. Dapat kita ketahui bahwa formalin merupakan senyawa kimia yang
biasanya digunakan sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai
keperluan jenis industri, pengawet produk kosmetika, pengeras kuku dan bahan
untuk insulasi busa dan masih banyak lainnya. Namun, penggunaan formalin
oleh sebagian orang disalah gunakan dengan menggunakannya pada bahan
pangan untuk mengawetkan makanan.
Pengujian kandungan formalin dilakukan terhadap beberapa sampel yaitu tahu,
lontong, cilok, bakso, mie basah, dan ikan asin dengan dua perlakuan yang
berbeda yaitu direndam dan tanpa perendaman. Analisis yang dilakukan
bertujuan untuk mengetahui adanya formalin dalam makanan dan untuk
mengetahui pengaruh tanpa perendaman dan perendaman dengan air mendidih.
Pada perlakuan tanpa perendaman dengan air mendidih, didapatkan sampel ikan
asin, mie basah dan bakso mengandung formalin karena hasil uji menunjukkan
positif (+). Pada sampel ikan asin menunjukkan warna yang paling ungu. Kedua
yaitu bakso dan yang terkecil yaitu mie basah. Perbedaan ini mungkin
dikarenakan konsentrasi formalin yang terdapat pada sampel tersebut berbeda.
Semakin pekat warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa semakin
banyak pula konsentrasi formalin yang terapat pada sampel. Menurut Yuliarti
(2007), pada ikan asin dalam industri perikanan, formalin digunakan
menghilangkan bakteri yang biasa hidup di sisik ikan. Formalin diketahui sering
digunakan dan efektif dalam pengobatan penyakit ikan akibat ektoparasit seperti
fluke dan kulit berlendir. Meskipun demikian, bahan ini juga sangat beracun bagi
ikan. Ambang batas amannya sangat rendah sehingga terkadang ikan yang
diobati malah mati akibat formalin daripada akibat penyakitnya. Formalin banyak
digunakan dalam pengawetan sampel ikan untuk keperluan penelitian dan
identifikasi. Namun para produsen mengunakannya secara sembarangan.
Sedangkan sampel tahu, lontong, dan cilok yang dianalisis ternyata tidak
menunjukkan hasil uji yang positif (+) dan tidak berwarna ungu. Hal tersebut
menunjukkan bahwa bahwa sampel tahu, lontong, dan cilok tersebut tidak
mengandung formalin. Namun, kemungkinan sampel tahu, lontong, dan cilok
yang dianalisis mengandung formalin, akan tetapi dalam konsentrasi yang
sangat sedikit, sehingga saat dianalisis kualitatif tidak menunjukkan hasil positif.
Pada perlakuan dengan perendaman pada air mendidih, menunjukan bahwa
sampel ikan asin dan bakso masih mengandung formalin karena hasil uji
menunjukkan positif (+). Pada sampel ikan asin menunjukkan warna ungu yang

lebih pekat dari pada sampel bakso. Perbedaan ini mungkin dikarenakan
konsentrasi formalin yang terdapat pada sampel tersebut berbeda. Semakin
pekat warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa semakin banyak pula
konsentrasi formalin yang terapat pada sampel. Sedangkan sampel tahu,
lontong, cilok, dan mie basah tidak mengandung formalin. Hal ini didukung
dengan hasil uji yang menyatakan negatif (-) dan tidak berwarna ungu. Hal ini,
mungkin dikarenakan adanya perlakuan dengan perendaman pada air mendidih.
Perendaman dengan air mendidih dapat menurunkan kadar formalin yang
terdapat pada sampel. Hal ini juga dapat diketahui bahwa kandungan formalin
yang sebelumnya ada pada sampel mie basah dan sekarang tidak ada
menunjukkan bahwa kadarnya sedikit.

BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.
Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau
menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan rasa
membakar
b.
Formaldehid (formalin) adalah larutan tidak berwarna, reaktif, dan dapat
membentuk polimer pada suhu normal pada saat berwujud gas
c.
Formalin banyak digunakan dalam berbagai jenis industri seperti
pembuatan perabot dan juga digunakan sebagai bahan campuran dalam
pembuatan bangunan
d.
Metode Spot Test yaitu metode analisa kimia dengan menggunakan
reagent kit (kit tester).
e.
Sensor warna TCS 3200 adalah sensor warna buatan TAOS Parralax. TCS
3200 merupakan produk penyempurnaan dari produk sebelumnya yaitu TCS 230
f.
AVR merupakan salah satu jenis mikrokontroler yang di dalamnya terdapat
berbagai macam fungsi khusus seperti ADC, EEPROM kapasitas 128 byte sampai
dengan 512 byte
g.
Pada perlakuan tanpa perendaman dengan air mendidih, sampel ikan asin,
mie basah dan bakso mengandung formalin. Sedangkan sampel tahu, lonton,
dan cilok tidak mengandung formalin
h.
Pada perlakuan dengan perendaman pada air mendidih, sampel ikan asin
dan bakso masih mengandung formalin. Sedangkan sampel tahu, lontong, mie
basah, dan cilok tidak mengandung formalin
i.
Semakin pekat warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa
semakin banyak pula konsentrasi formalin yang terapat pada sampel
j.
Perendaman dengan air mendidih dapat menurunkan kadar formalin yang
terdapat pada sampel.

6.2 Saran
a.
Sebaiknya praktikan mengurangi bicara agar praktikum dapat berjalan
tenang dan lancar
b.

Terima kasih kepada asisten yang baik hati J

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara
Astawan. 1999. Membuat Mei dan Bihun. Jakarta: Penerbit Swadaya
Astawan, Made. 2006. Mengenal Formalin dan bahayanya. Jakarta: Penebar
Swadya
Bayuputra, 2011. Kandungan Gizi Tahu. http://bayuputra.com [Diakses pada 02
Januari 2014].
Cahyadi, W., 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi
Aksara, Jakarta.
Cipta Pangan, 2006. Formalin Bukan Formal.
http://www.ciptapangan.com/files/downloadsmodule/@random4413d85398188/1
142501871_buletin_cp_jan06.pdf [Diakses pada 02 Januari 2014].
Djarijah, Abbas Siregar. 1995. Teknologi Tepat Guna : lkan Asin. Yogyakarta:
Kanisius.
Hamid, H., 2012. Teknologi Rekayasa Chitosan sebagai Pengawet dan Peningkat
Kadar Protein pada Tahu. http://www.blogspot.com [Diakses pada 02 Januari
2014].
Harmita. 2006. Buku Ajar Analisis Fisikokimia. Depok: departemen farmasi FMIPA
Universitas Indonesia
Herdiantini, E., 2003. Analisis Bahan Tambahan Kimia (Bahan Pengawet Dan
Pewarna) Yang Dilarang Dalam Makanan. Bandung: Fakultas Teknik Universitas
Pasundan.
Mahdi, C dan Mubarrak, Shofi A. 2008. Uji Kandungan Formalin, Borak dan
Pewarna Rhodamin pada Produk Peternakan Dengan Metode Spot Test. Berkala
Ilmiah Perikanan Vol.3. Malang: Universitas Brawijaya.
Noor, Etty D. 2010. Pembuatan Alat Pendeteksi Kadar Beta Karoten
Menggunakan Sensor Warna TCS230. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
Norman, R.O.C and D.J. Waddington, 1983. Modern Organic Chemistry. New York:
Colliens Educational.
Oke, 2008. Mengenal Formalin. http://www.oke.or.id.[ Diakses pada 03 Januari
2014]

Reuss G, W. Disteldorf, A.O.Gamer. 2005. Formaldehyde in Ullmanns


Encyclopedia of Industrial Chemistry Wiley-VCH.
http://en.wikipedia.org/wiki/Formaldehyde. [Diakses pada 03 Januari 2014].
Tarwotjo, I. 1998. Dasar-Dasar Gizi Kuliner. Jakarta: Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Tim Pengajar Pendidikan Industri Tahu. 1981. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor-Press.
WAAC Newsletter, 2007. Formaldehid: Detection and Mitigation.
http://www.wikipedia.com . [Diakses pada 03 Januari 2014].
Wasito S. 2004. Data Sheet Book 1. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Widyaningsih DT dan SM Erni. 2006 . Formalin. Surabaya : Penerbit Trubus
Agrisarana.
Widyaningsih, T.W, dan E.S. Murtini, 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Surabaya: Trubus Agirasana.
Yuliarti. 2007. Awas Bahaya Di Balik Lezatnya Makanan. Yogyakarta : Penerbit
Andi

DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Astawan, M. 1999. Membuat mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
Balai Besar POM. 2007. Instruksi kerja : Identifikasi Boraks Dalam Makanan.
Medan.
British Pharmacopoeia. 1988. British Pharmacopoeia, Volume I & II. London:
Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA). Page 4788.
BSNI. 1998. SNI 01-3142-1998 : Syarat Mutu Tahu. Jakarta : Badan Standarisasi
Nasional Indonesia.
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Clarke, E. G. C., Mofat, A. C., Osselton, M. D., Widdop, B. 2004. Clarkes Analysis
of Drugs and Poisons. London : Pharmaceutical Press.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan
Makanan : Jakarta.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan ikan alami . Yogyakarta : Kanisius.
Helrich, K.C., (ed), 1990, Official Methods of Analysis Association of Official
Analytical Chemist (AOAC) 15th Ed., 780-781, Association of Official Analytical
Chemicts Inc, USA.
Kastyanto, F.W.1999. Membuat Tahu. Jakarta : Penebaran Swadaya.
Khamid, 1993. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Kompas

Khamid, I.R. 2006. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Jakarta. Penerbit Kompas.
Sarwono,S dan Saragih Y.P.2003. Membuat Aneka Tahu. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Shurtlef W, Aoyagi A. 2001. Tofu and Soymilk Producton, The Book of Tofu Vol II.
Lafayete: Soyinfo Center.
United State Pharmacopeia. 1990. USP 29-NF 24. Rockville.
Vepriati,N. 2007. Surveilans Bahan Berbahaya pada Makanan di Kabupaten Kulon
Progo. Kulon Progo : Dinkes Kulon Progo.
Widyaningsih, D.T., Murtini, E.S. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Surabaya : Trubus Agriarana.
Winarno F.G, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan
Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar.
Zulharmita A. 1995. Kandungan Boraks pada Makanan Jenis Mie yang Beredar di
Kotamadya Padang : Cermin Dunia Kedokteran. Padang Universitas Andalas.

Anda mungkin juga menyukai