PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu produk makanan seperti mie basah memiiki kadar air yang tergolong
tinggi sehingga daya awetnya rendah. Penyimpanan mie basah pada suhu kamar
selama 40 jam menyebabkan tumbuhnya kapang. Untuk itu, dalam pembuatan
mie basah diperlukan bahan pengawet agar mie bisa bertahan lebih lama.
Mungkin karena faktor ketidaktahuan banyak produsen yang menggunakan
formalin sebagai pengawet. Selain memberikan daya awet, bahan tersebut juga
murah harganya dan dapat memperbaiki kualitas produk makanan. Menurut
beberapa produsen, penggunaan formalin pada produk makanan akan
menghasilkan produk yang lebih awet, yaitu dapat disimpan hingga 4 hari.
Menurut Winarno dan Rahayu (1994), pemakaian formalin pada makanan dapat
menyebabkan keracunan pada tubuh manusia. Gejala yang biasa timbul antara
lain sukar menelan, sakit perut akut disertai muntah-muntah, mencret berdarah,
timbulnya depresi susunan saraf, atau gangguan peredaran darah. Konsumsi
formalin pada dosis sangat tinggi dapat mengakibatkan konvulsi (kejang-kejang),
haematuri (kencing darah), dan haimatomesis (muntah darah) yang berakhir
dengan kematian injeksi formalin dengan dosis 100 gram dapat mengakibatkan
kematian dalam waktu 3 jam. Oleh karena itu perlu diakukan praktikum tentang
uji formalin pada beberapa produk makanan.
1.2 Tujuan
1.
Mengetahui cara mengidentifikasi formalin dalam bahan pangan dan
makanan.
2.
Pengertian Formalin
Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk.
Didalam formalin mengandung sekitar 37 persen formaldehid dalam air,
biasanya ditambah methanol hingga 15 persen sebagai pengawet. Formalin
dikenal sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan
dalam industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene aldehyde,
Paraforin, Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal,
Formoform, Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith ( Astawan, 2006 ).
2.2
Karakteristik Formalin
Berat Molekul Formalin adalah 30,03 dengan Rumus Molekul HCOH. Karena
kecilnya molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh.
Gugus karbonil yang dimilikinya sangat aktif, dapat bereaksi dengan gugus NH2
dari protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap
(Harmita, 2006).
Menurut Hart (1983), formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya
sangat menusuk. Di dalam larutan formalin terkandung 30-50% gas formaldehid
dan ditambahkan metanol sebanyak 10-15% untuk mencegah terjadinya
polimerisasi formaldehid.
Formaldehid merupakan bentuk aldehid yang paling sederhana. Formaldehid
bersifat mudah terbakar, berbau tajam, tidak berwarna, dan mudah
dipolimerisasi pada suhu ruang. Formadehid bersifat larut di dalam air, aseton,
benzene, dietil eter, kloroform, dan etanol (IARC, 1982).
Pada suhu 150C, formaldehid mudah terdekomposisi menjadi metanol dan
karbonmonoksida. Formaldehid mudah dioksidasi oleh oksigen di atmosfer
membentuk asam format, yang kemudian diubah menjadi karbondioksida oleh
sinar matahari (WHO, 2002). Karakteristik fisiko kimia formaldehid menurut WHO
(2002) :
Nama
Struktur
Rumus kimia
H2CO
Berat molekul
30.03
Titik leleh
-118 to -92 C
Titik didih
-21 to -19 C
Triple point
155.1 K (-118.0 C)
Densitas
2.3
Fungsi Formalin
2.4
Karakteristik Sampel
2.5.1 Tahu
Tahu merupakan produk kedelai non-fermentasi yang disukai dan digemari di
Indonesia seperti halnya tempe, kecap, dan tauco. Tahu adalah salah satu produk
olahan kedelai yang berasal dari daratan Cina. Pembuatan tahu dan susu kedelai
ditemukan oleh Liu An pada zaman pemerintahan Dinasti Han, kira-kira 164
tahun sebelum Masehi (Shurtlef dan Aoyagi 2001). Kata tahu berasal dari
bahasa Cina yaitu tao-hu, teu-hu/tokwa. Kata tao/teu berarti kacang untuk
membuat tahu, orang menggunakan kacang kedelai kuning (putih) yang disebut
wong-teu (wong = kuning). Hu/kwa itu artinya rusak, lumat, hancur, menjadi
bubur. Kedua istilah itu digabungkan menjadi tahu. Pengertian tahu adalah
makanan yang terbuat dari kedelai yang dilumatkan atau dihancurkan menjadi
bubur (Kastyanto 1999).
Tahu adalah suatu produk makanan berupa padatan lunak yang dibuat melalui
proses pengolahan kedelai (Glycne species) dengan prinsip pengendapan
protein, dengan atau tidak ditambah bahan lain yang diizinkan (SNI 1998).
Sedangkan menurut Shurtlef dan Aoyagi (2001), tahu adalah gumpalan protein
dari susu kedelai yang telah dipisahkan dari bagian yang tidak menggumpal
(whey) dengan cara pengepresan.
Tahu terdiri dari berbagai jenis, yaitu tahu putih, tahu kuning, tahu sutra, tahu
cina, tahu keras, dan tahu kori (Sarwono dan Saragih 2003). Perbedaan dari
berbagai jenis tahu tersebut ialah pada proses pengolahannya dan jenis
penggumpal yang digunakan.
Komposisi zat gizi dalam tahu cukup baik. Tahu mempunyai kadar protein
sebesar 8-12%, sedangkan mutu proteinnya yang dinyatakan sebagai NPU
sebesar 65% (Shurtlef dan Aoyagi 2001). Tahu juga mempunyai daya cerna
yang sangat tinggi karena serat dan karbohidrat yang bersifat larut dalam air
sebagian besar terbuang pada proses pembuatannya. Dengan daya cerna
sekitar 95%, tahu dapat dikonsumsi dengan aman oleh semua golongan umur
dari bayi hingga orang dewasa, termasuk orang yang mengalami gangguan
pencernaan (Shurtlef dan Aoyagi 2001)..
Komposisi
Satuan
Jumlah
Energi
Kal
68
Air
84.8
Protein
7.8
Lemak
4.6
Karbohidrat
1.6
Kalsium
mg
124.0
Fosfor
mg
63.0
Besi
mg
0.8
Vitamin B1
mg
0.06
Komposisi kimia dalam 100 g tahu (Direktorat Gizi Depkes RI 1981)
2.5.2 Lontong
Lontong adalah makanan khas Indonesia yang terbuat dari beras dibungkus
dalam daun pisang dan direbus dalam air selama beberapa jam dan jika air habis
dituangkan air lagi demikian berulang samapi beberapa kali. Cara pembuatan
lontong lebih mudah dari ketupat. Karena direbus dalam daun pisang, lontong
dapat berwarna hijau di luarnya, sedangkan berwarna putih didalamnya. Lontong
banyak ditemui diperbagai daerah di Indonesia sebagai makanan alternative
pengganti nasi putih. Walau juga dibuat dari beras, lontong memiliki aroma yang
khas.
2.5.3 Ikan Asin
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung
asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai
biologisnya mencapai 90 persen, dengan jaringan pengikat sedikit sehigga
mudah dicerna (Adawyah, Rabiatul, 2007). Ikan merupakan komoditi ekspor yang
mudah mengalami pembusukan dibandingkan produk daging, buah dan sayuran.
Pembusukan pada ikan terjadi karena beberapa kelemahan dari ikan yaitu tubuh
ikan mengandung kadar air tinggi (80%) dan pH tubuh mendekati netral,
sehingga memudahkan tumbuhnya bakteri pembusuk, daging ikan mengandung
asam lemak tak jenuh berkadar tinggi yang sifatnya mudah mengalami proses
oksidasi sehingga seringkali menimbulkan bau tengik, jaringan ikat pada daging
ikan sangat sedikit sehingga cepat menjadi lunak dan mikroorganisme cepat
berkembang.
Oleh karena beberapa kelemahan tersebut, para produsen melakukan
penghambatan kebusukan dari ikan dengan membuat kondisi lingkungan yang
tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba, sehingga mikroba dapat ditekan
pertumbuhannya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan proses
penggaraman dan pengeringan yang kemudian hasil produksinya disebut
dengan ikan asin. Ikan asin diproduksi dari bahan ikan segar atau ikan setengah
basah yang ditambahkan garam 15-20%. Walaupun kadar air didalam tubuh ikan
masih tinggi 30-35 persen, namun ikan asin dapat disimpan agak lama karena
penambahan garam yang relatif tinggi tersebut. Untuk mendapatkan ikan asin
berkualitas bahan baku yang digunakan harus bermutu baik, garam yang
digunakan biasanya garam murni berwarna putih bersih. Garam ini mengandung
kadar natrium chlorida (NaCl) cukup tinggi, yaitu sekitar 95 %. Komponen yang
biasa tercampur dalam garam murni adalah MgCl2 (magnesium chlorida), CaCl2
(calsium chlorida), MgSO4 (magnesium sulfat), CaSO4 ( calsium sulfat), lumpur,
dll. Jika garam yang digunakan Mg (magnesium) dan Ca (calsium) akan
menghambat proses penetrasi garam ke dalam daging ikan, akibatnya daging
ikan berwarna putih, keras, rapuh dan rasanya pahit. Jika garam yang digunakan
mengandung Fe (besi) dan Cu (tembaga) dapat mengakibatkan ikan asin
berwarna coklat kotor atau kuning (Djarijah, 1995).
2.5.4 Cilok
Pentol cilok adalah makanan ringan yang menyerupai pentol dan terbuat dari
tepung kanji, berasa gurih dan kenyal. Awalnya makanan ini merupakan khas
dari Jawa Barat, namun sekarang sudah mulai merambah kedaerah lain. Cilok
termasuk makanan jajanan. Makanan jajanan menurut FAO didefisinikan sebagai
makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki lima di
jalanan dan di tempat tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan
atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut.
Perlu diwaspadai akan kemananpangan dari pentol cilok tersebut, karena
biasanya pentol cilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan dalamwaktu
yang lama, sehingga memungkinkan terjadinya cemaran oleh mikroba. Cemaran
oleh mikroba pada pentol cilok juga dipengaruhi oleh sanitasi selama proses
pengolahan serta higiene dari penjamah makanan. Selain cemaran oleh mikroba,
keamanan pangan pentol cilok juga dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan, kualitas dari bahan-bahan tersebut, penggunaan bahan tambahan
makanan serta keberadaan bahan berbahaya dalam pembuatan pentol cilok.
2.5.5 Mie Basah
Menurut Astawan (1999), mie basah adalah jenis mie yang mengalami proses
perebusan setelah tahap pemotongan dan sebelum dipasarkan. Kadar air
mencapai 52 % sehingga daya tahan simpannya relatif singkat yaitu 40 jam
dalam suhu kamar.
Zat Gizi
Mie Basah
Zat Gizi
Mie Basah
Energy (kal)
86
Besi
0,8
Protein (g)
0,6
Vitamin A
Lemak (g)
3,3
Vitamin B1 (mg)
Karbohidrat (g)
14
Vitamin C (mg)
Kalsium (mg)
13
Air (mg)
80
Komposisi Gizi Mie Basah per 100 g Bahan
Menurut Astawan, (1999), mie basah yang baik adalah mie yang secara kimiawi
mempunyai nilai kimia yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh
Departemen Perindustrian melalui SII 2046-90.
2.5.6 Bakso
Bakso merupakan produk dari protein daging, baik daging sapi, ayam ikan
maupun udang. Bakso dibuat dari daging giling dengan bahan tambahan utama
garam dapur (NaCl), tepung tapioka, dan bumbu berbentuk bulat seperti
kelereng dengan berat 25-30 gr per butir. Setelah Bakso memiliki tekstur kenyal
seperti ciri spesifiknya, kualitas bakso sangat bervariasi karena perbedaan bahan
baku dan bahan tambahan yang digunakan, proporsi daging dan tepung dan
proses pembuatannya (Widyaningsih, 2006).
b.
Beakker Glass 50 ml
c.
Spatula Pengaduk
d.
Cawan Petri
e.
f.
Gelas Ukur 10 ml
g.
Tabung Reaksi
h.
i.
Sentrifugator
j.
Penangas Listrik
k.
Keranjang Plastik
l.
Sendok Plastik
3.1.2 Bahan
a.
Tahu
b.
Lontong
c.
Ikan Asin
d.
Cilok
e.
Mie Basah
f.
Bakso
g.
HCl
h.
Cairan Reagent
i.
Air Mendidih
j.
Tissue
k.
Label
Formalin
Boraks
Hasil Uji
Warna
Hasil Uji
Warna
Tahu
Lontong
Ikan Asin
++++
Cilok
Mie Basah
++
++++
Bakso
+++
Formalin
Boraks
Hasil Uji
Warna
Hasil Uji
Warna
Tahu
Lontong
Ikan Asin
++++
Cilok
Mie Basah
Bakso
++
Keterangan :
-
Maksimal hingga 4+
BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai
berikut :
a.
uji.
b.
Pada perlakuan tanpa perendaman, sampel yang hasil ujinya terbukti
mengandung formalin adalah ikan asin, mie basah dan bakso.
c.
Sampel ikan asin memiliki warna yang paling ungu pada kedua perlakuan
yakni tanpa perendaman dan dengan perendaman.
d.
Pada perlakuan perendaman dengan air panas diketahui bahwa sampel
yang positif mengandung formalin adalah ikan asin dan bakso.
e.
Pada perlakuan perendaman dengan air panas sampel mie basah tidak
terdetksi kandungan formalinnya.
f.
Proses perendaman menggunakan air panas dapat mempengaruhi
kandungan formalin, yaitu dapat menurunkan kandungan formalinnya.
6.2 Saran
Sebaiknya praktikan tidak gaduh pada saat melakukan praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Astawan ,M. 1999. Membuat mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
Astawan, M., 2006. Membuat Mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
BSNI. 1998. SNI 01-3142-1998 : Syarat Mutu Tahu. Jakarta : Badan Standarisasi
Nasional Indonesia.
Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan
Makanan: Jakarta
Ditjen POM. 1979. Farmakope Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta : Depertemen
Kesehatan RI.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan ikan alami . Yogyakarta : Kanisius
Harmita,APT. 2006. Analisis Fisikokimia. Jakarta :UI Press.
Hart H. 1983. Kimia Organik. Suminar Achmadi (penerjemah). Jakarta : Erlangga.
International Agency for Research on Cancer (IARC). 1982. Some Industrials
Chemicals and Drystufs. IARC Monograph.
a.
Untuk mengetahui cara mengindetifikasi formalin dalam bahan pangan
dan makanan
b.
Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau menusuk,
uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan rasa membakar.
Bobot tiap mililiter adalah 1,08 gram. Dapat bercampur dengan air dan alkohol,
tetapi tidak bercampur dengan kloroform dan eter (Norman and Waddington,
1983). Didalam formalin mengandung sekitar 37% formaldehid dalam air,
biasanya ditambah methanol hingga 15% sebagai pengawet. Formalin dikenal
sebagai bahan pembunuh hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam
industri. Nama lain dari formalin adalah Formol, Methylene aldehyde, Paraforin,
Morbicid, Oxomethane, Polyoxymethylene glycols, Methanal, Formoform,
Superlysoform, Formaldehyde, dan Formalith (Astawan, Made, 2006). Berat
Molekul Formalin adalah 30,03 dengan Rumus Molekul HCOH. Karena kecilnya
molekul ini memudahkan absorpsi dan distribusinya ke dalam sel tubuh. Gugus
karbonil yang dimilikinya sangat aktif, dapat bereaksi dengan gugus NH2 dari
protein yang ada pada tubuh membentuk senyawa yang mengendap (Harmita,
2006).
Rumus bangun formalin:
O
H
C
H
2.2
Karakteristik Formalin
c.
Bahan pembuat sutra bahan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan
peledak.
d.
Dalam dunia fotografi digunakan sebagai pengeras lapisan gelatin dan
kertas.
e.
f.
g.
h.
i.
(Oke, 2008).
Larutan formaldehid adalah disinfektan yang efektif melawan bakteri vegetatif,
jamur atau virus tetapi kurang efektif melawan spora bakteri. Formaldehid
bereaksi dengan protein dan hal tersebut mengurangi aktivitas mikroorganisme.
Efek sporosidnya meningkat, yang meningkat tajam dengan adanya kenaikan
suhu. Larutan 0,5 % formaldehid dalam waktu 6 12 jam dapat membunuh
bakteri dan dalam waktu 2 4 hari dapat membunuh spora, sedangkan larutan
8% dapat membunuh spora dalam waktu 18 jam. Formaldehid memiliki daya
antimicrobial yang luas yaitu terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aerogenosa, Pseudomonas florescens,
Candida albicans, Aspergillus niger, atau Penicillium notatum. Mekanisme
formaldehid sebagai pengawet diduga bergabung dengan asam amino bebas
dari protoplasma sel atau mengkoagulasikan protein (Cahyadi, 2006).
Formaldehid membunuh bakteri dengan membuat jaringan dalam bakteri
dehidrasi (kekurangan air) sehingga sel bakteri akan kering dan membentuk
lapisan baru di permukaan. Artinya formalin tidak saja membunuh bakteri, tetapi
juga membentuk lapisan baru yang melindungi lapisan di bawahnya supaya
tahan terhadap serangan bakteri lain. Bila desinfektan lainnya mendeaktifasikan
serangan bakteri dengan cara membunuh maka formalin akan bereaksi secara
kimiawi dan tetap ada di dalam materi tersebut untuk melindungi dari serangan
berikutnya (Cipta Pangan, 2006)
Mekanisme formalin sebagai pengawet adalah jika formaldehid bereaksi dengan
protein sehingga membentuk rangkaian-rangkaian antara protein yang
berdekatan. Akibat dari reaksi tersebut protein mengeras dan tidak dapat larut
(Herdiantini, 2003). Sifat penetrasi formalin cukup baik, tetapi gerakan
penetrasinya lambat sehingga walaupun formaldehid dapat digunakan untuk
mengawetkan sel-sel tetapi tidak dapat melindungi secara sempurna, kecuali jika
diberikan dalam waktu lama sehingga jaringan menjadi keras (Herdiantini, 2003).
2.4
terjadinya perubahan warna khas. FMR (formalin main reagent) merupakan salah
satu jenis kit tester kandungan formalin. Kit tester tersebut merupakan salah
satu penemuan dari dosen FMIPA UB Malang. Produk kit FMR tersebut ditunjukan
dalam Gambar 1.
2.5
Karakteristik Sampel
2.5.1 Tahu
Tahu merupakan hasil olahan dari bahan dasar kacang kedelai melalui proses
pengendapan dan penggumpalan oleh bahan penggumpal. Tahu ikut berperan
dalam pola makan sehari-hari sebagai lauk pauk maupun sebagai makanan
ringan. Kacang kedelai sebagai bahan dasar tahu mempunyai kandungan protein
sekitar 30-45%. Dibandingkan dengan kandungan protein bahan pangan lain
seperti daging (19%), ikan (20%) dan telur (13%), ternyata kedelai merupakan
bahan pangan yang mengandung protein tertinggi. Penggunaan CaSO4
merupakan cara penggumpalan tradisional yang dapat menghasilkan tahu yang
bermutu baik (Tim Pengajar Pendidikan Industri Tahu, 1981).
Tahu termasuk bahan makanan yang berkadar air tinggi. Besarnya kadar air
dipengaruhi oleh bahan penggumpal yang dipakai pada saat pembuatan tahu.
Bahan penggumpal asam menghasilkan tahu dengan kadar air lebih tinggi
dibanding garam kalsium. Bila dibandingkan dengan kandungan airnya, jumlah
protein tahu tidak terlalu tinggi, hal ini disebabkan oleh kadar airnya yang sangat
tinggi. Makanan-makanan yang berkadar air tinggi umumnya kandungan protein
agak rendah. Selain air, protein juga merupakan media yang baik untuk
Unsur gizi
Energi (kal)
79
2
Protein (g)
7,8
3
Mineral (g)
2,2
4
Kalsium (mg)
124
5
Fosfor (mg)
63
6
0,8
7
Vitamin A (mcg)
0
8
Vitamin B (mg)
0.06
9
Air
12,5
Sumber : (Bayuputra, 2011)
2.5.2 Lontong
Lontong merupakan salah satu cara penyajian nasi berbahan dasar beras.
Lontong berbentuk nasi yang dipadatkan karena dimasak dengan air namun
ditekan dengan pembungkus biasanya daun pisang atau plastik. Lontong
mempunyai tekstur kenyal dan lembut serta dapat bertahan hingga dua hari jika
disimpan dalam lemari pendingin (Tarwodjo,1998).
Pada proses pembuatan lontong dapat dilakukan dengan memasukkan beras ke
dalam panci. Tuangkan air hingga setinggi satu ruas jari dari permukaan beras.
Masak sampai menjadi aron. Ambil selembar daun pisang, taruh 3 hingga 4
sendok makan beras aron di atasnya. Gulung hingga berbentuk bulat panjang
bergaris tengah 4 cm. Semat kedua ujungnya dengan lidi. Lakukan hingga semua
beras aron terbungkus. Didihkan air yang banyak dalam panci, masukkan
gulungan beras ke dalamnya hingga terendam air. Rebus selama 4 jam, bila air
berkurang tambahkan air panas secukupnya. Setelah lontong matang, angkat,
tiriskan kemudian didinginkan.
2.5.3 Ikan asin
Ikan sebagai bahan makanan yang mengandung protein tinggi dan mengandung
asam amino essensial yang diperlukan oleh tubuh, disamping itu nilai
biologisnya mencapai 90%, dengan jaringan pengikat sedikit sehigga mudah
dicerna (Adawyah, 2007). Ikan merupakan komoditi ekspor yang mudah
mengalami pembusukan dibandingkan produk daging, buah dan sayuran.
Pembusukan pada ikan terjadi karena beberapa kelemahan dari ikan yaitu tubuh
ikan mengandung kadar air tinggi (80%) dan pH tubuh mendekati netral,
sehingga memudahkan tumbuhnya bakteri pembusuk, daging ikan mengandung
asam lemak tak jenuh berkadar tinggi yang sifatnya mudah mengalami proses
oksidasi sehingga seringkali menimbulkan bau tengik, jaringan ikat pada daging
ikan sangat sedikit sehingga cepat menjadi lunak dan mikroorganisme cepat
berkembang.
Oleh karena beberapa kelemahan tersebut, para produsen melakukan
penghambatan kebusukan dari ikan dengan membuat kondisi lingkungan yang
tidak sesuai dengan pertumbuhan mikroba, sehingga mikroba dapat ditekan
pertumbuhannya. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan proses
penggaraman dan pengeringan yang kemudian hasil produksinya disebut
dengan ikan asin. Ikan asin diproduksi dari bahan ikan segar atau ikan setengah
basah yang ditambahkan garam 15-20%. Walaupun kadar air didalam tubuh ikan
masih tinggi 30-35 persen, namun ikan asin dapat disimpan agak lama karena
penambahan garam yang relatif tinggi tersebut. Untuk mendapatkan ikan asin
berkualitas bahan baku yang digunakan harus bermutu baik, garam yang
digunakan biasanya garam murni berwarna putih bersih. Garam ini mengandung
kadar natrium chlorida (NaCl) cukup tinggi, yaitu sekitar 95 %. Komponen yang
biasa tercampur dalam garam murni adalah MgCl2 (magnesium chlorida), CaCl2
(calsium chlorida), MgSO4 (magnesium sulfat), CaSO4 (calsium sulfat), lumpur,
dll. Jika garam yang digunakan Mg (magnesium) dan Ca (calsium) akan
menghambat proses penetrasi garam ke dalam daging ikan, akibatnya daging
ikan berwarna putih, keras, rapuh dan rasanya pahit. . Jika garam yang
digunakan mengandung Fe (besi) dan Cu (tembaga) dapat mengakibatkan ikan
asin berwarna coklat kotor atau kuning (Djarijah, 1995).
2.5.4 Cilok
Pentol cilok adalah makanan ringan menyerupai pentol yang terbuat dari tepung
kanji, berasa gurih dan kenyal. Awalnya makanan ini merupakan khas dari Jawa
Barat, namun sekarang sudah mulai merambah ke daerah-daerah lain. Perlu
diwaspadai akan kemanan pangan dari pentol cilok tersebut, karena biasanya
pentol cilok dijual dalam keadaan terbuka dan dibiarkan dalam waktu yang lama,
sehingga memungkinkan terjadinya cemaran oleh mikroba. Cemaran oleh
mikroba pada pentol cilok juga dipengaruhi oleh sanitasi selama proses
pengolahan serta higiene dari penjamah makanan. Selain cemaran oleh mikroba,
keamanan pangan pentol cilok juga dipengaruhi oleh bahan-bahan yang
digunakan, kualitas dari bahan-bahan tersebut, penggunaan bahan tambahan
makananan serta keberadaan bahan berbahaya dalam pembuatan pentol cilok.
2.5.5 Mie basah
Mie basah adalah jenis mi yang mengalami proses perebusan, dimana kadar
airnya tinggi dapat mencapai 52% sehingga memiliki daya tahan yang singkat.
Salah satu jenis mi yang termasuk dalam mi basah adalah mi tiaw. Mi basah
memiliki daya tahan yang singkat, karena mengandung kadar air yang cukup
tinggi. Dimana pada suhu kamar mie basah hanya bertahan selama 10-12 jam,
sehingga perlu ditambahkan bahan pengawet untuk meningkatkan daya
simpannya (Widyaningsih & Murtini, 2006). Komposisi gizi mie basah secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
Mie Basah
Energy (kal)
Protein (g)
Lemak (g)
Karbohidrat (g)
Kalsium (mg)
Besi
Vitamin A
Vitamin B1 (mg)
Vitamin C (mg)
Air (mg)
86
0,6
3,3
14
13
0,8
80
Sumber : Astawan, (1999)
Menurut Astawan, (1999), mie basah yang baik adalah mie yang secara kimiawi
mempunyai nilai kimia yang sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh
Departemen Perindustrian melalui SII 2046-90. Persyaratan tersebut data dilihat
pada Tabel 3.
Satuan
Persyaratan
1.
Keadaan :
a.
Bau
b.
Warna
c.
Rasa
Normal
Normal
Normal
2.
Kadar air
%, b/b
20-35
3.
Abu
%, b/b
Maksimum 3
4.
Protein
%, b/b
Maksimum 8
5.
a.
b.
Pewarna
c.
Formalin
Tidak boleh
Yang diizinkan
Tidak boleh
6.
Pencemaran logam:
a.
Timbale (Pb)
b.
Tembaga (Cu)
c.
Seng (Zn)
d.
Raksa (Hg)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maksimum 1,0
Maksimum 10,0
Maksimum 40,0
Maksimum 0,05
7.
Pencemaran mikrobia:
a.
b.
E.coli
c.
Kapang
Koloni/g
APM/g
Koloni/g
Maksimum 10
Maksimum 1,0 x 104
b.
c.
Cawan petri
d. Gelas ukur 10 ml
e.
Spatula kaca
f.
Beaker glass 50 ml
g.
h.
Vortex
i.
Sendok
j.
Rak plastik
3.1.2 Bahan
a.
Tahu
b.
Lontong
c.
Ikan asin
d. Cilok
e.
Mie basah
f.
Bakso
g.
Label
h.
Air mendidih
i.
Aquades
j.
Reagen A dan B
Formalin
Boraks
Hasil Uji
Warna
Hasil Uji
Warna
Tahu
Lontong
Ikan Asin
++++
Cilok
Mie Basah
++
++++
Bakso
+++
b. P2
Sampel
Formalin
Boraks
Hasil Uji
Warna
Hasil Uji
Warna
Tahu
Lontong
Ikan Asin
++++
Cilok
Mie Basah
Bakso
++
Keterangan :
Maksimal hingga 4+
dengan 4 tetes reagen A dan reagen B sebagai peraksi agar dapat terjadi
perubahan warna pada larutan sampel untuk menunjukkan ada atau tidaknya
formalin dalam bahan pangan tersebut. Selanjutnya, dilakukan pengocokan
menggunakan vortex untuk menghomogenkan larutan. Setelah itu ditunggu
antara 5 sampai 10 menit agar reaksi dalam larutan optimal. Tahap terakhir
adalah dilakukan pengamatan terhadap perubahan warna pada larutan tersebut.
Apabila larutan berubah menjadi ungu maka larutan positif mengandung
formalin. Kemudian dilakukan pencatatan terhadap hasilnya.
lebih pekat dari pada sampel bakso. Perbedaan ini mungkin dikarenakan
konsentrasi formalin yang terdapat pada sampel tersebut berbeda. Semakin
pekat warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa semakin banyak pula
konsentrasi formalin yang terapat pada sampel. Sedangkan sampel tahu,
lontong, cilok, dan mie basah tidak mengandung formalin. Hal ini didukung
dengan hasil uji yang menyatakan negatif (-) dan tidak berwarna ungu. Hal ini,
mungkin dikarenakan adanya perlakuan dengan perendaman pada air mendidih.
Perendaman dengan air mendidih dapat menurunkan kadar formalin yang
terdapat pada sampel. Hal ini juga dapat diketahui bahwa kandungan formalin
yang sebelumnya ada pada sampel mie basah dan sekarang tidak ada
menunjukkan bahwa kadarnya sedikit.
BAB 6. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.
Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna dengan bau
menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan dan rasa
membakar
b.
Formaldehid (formalin) adalah larutan tidak berwarna, reaktif, dan dapat
membentuk polimer pada suhu normal pada saat berwujud gas
c.
Formalin banyak digunakan dalam berbagai jenis industri seperti
pembuatan perabot dan juga digunakan sebagai bahan campuran dalam
pembuatan bangunan
d.
Metode Spot Test yaitu metode analisa kimia dengan menggunakan
reagent kit (kit tester).
e.
Sensor warna TCS 3200 adalah sensor warna buatan TAOS Parralax. TCS
3200 merupakan produk penyempurnaan dari produk sebelumnya yaitu TCS 230
f.
AVR merupakan salah satu jenis mikrokontroler yang di dalamnya terdapat
berbagai macam fungsi khusus seperti ADC, EEPROM kapasitas 128 byte sampai
dengan 512 byte
g.
Pada perlakuan tanpa perendaman dengan air mendidih, sampel ikan asin,
mie basah dan bakso mengandung formalin. Sedangkan sampel tahu, lonton,
dan cilok tidak mengandung formalin
h.
Pada perlakuan dengan perendaman pada air mendidih, sampel ikan asin
dan bakso masih mengandung formalin. Sedangkan sampel tahu, lontong, mie
basah, dan cilok tidak mengandung formalin
i.
Semakin pekat warna ungu pada sampel maka menunjukkan bahwa
semakin banyak pula konsentrasi formalin yang terapat pada sampel
j.
Perendaman dengan air mendidih dapat menurunkan kadar formalin yang
terdapat pada sampel.
6.2 Saran
a.
Sebaiknya praktikan mengurangi bicara agar praktikum dapat berjalan
tenang dan lancar
b.
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta: Bumi Aksara
Astawan. 1999. Membuat Mei dan Bihun. Jakarta: Penerbit Swadaya
Astawan, Made. 2006. Mengenal Formalin dan bahayanya. Jakarta: Penebar
Swadya
Bayuputra, 2011. Kandungan Gizi Tahu. http://bayuputra.com [Diakses pada 02
Januari 2014].
Cahyadi, W., 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi
Aksara, Jakarta.
Cipta Pangan, 2006. Formalin Bukan Formal.
http://www.ciptapangan.com/files/downloadsmodule/@random4413d85398188/1
142501871_buletin_cp_jan06.pdf [Diakses pada 02 Januari 2014].
Djarijah, Abbas Siregar. 1995. Teknologi Tepat Guna : lkan Asin. Yogyakarta:
Kanisius.
Hamid, H., 2012. Teknologi Rekayasa Chitosan sebagai Pengawet dan Peningkat
Kadar Protein pada Tahu. http://www.blogspot.com [Diakses pada 02 Januari
2014].
Harmita. 2006. Buku Ajar Analisis Fisikokimia. Depok: departemen farmasi FMIPA
Universitas Indonesia
Herdiantini, E., 2003. Analisis Bahan Tambahan Kimia (Bahan Pengawet Dan
Pewarna) Yang Dilarang Dalam Makanan. Bandung: Fakultas Teknik Universitas
Pasundan.
Mahdi, C dan Mubarrak, Shofi A. 2008. Uji Kandungan Formalin, Borak dan
Pewarna Rhodamin pada Produk Peternakan Dengan Metode Spot Test. Berkala
Ilmiah Perikanan Vol.3. Malang: Universitas Brawijaya.
Noor, Etty D. 2010. Pembuatan Alat Pendeteksi Kadar Beta Karoten
Menggunakan Sensor Warna TCS230. Skripsi. Malang: Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim Malang.
Norman, R.O.C and D.J. Waddington, 1983. Modern Organic Chemistry. New York:
Colliens Educational.
Oke, 2008. Mengenal Formalin. http://www.oke.or.id.[ Diakses pada 03 Januari
2014]
DAFTAR PUSTAKA
Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Astawan, M. 1999. Membuat mie dan Bihun. Jakarta : Penebar Swadaya.
Balai Besar POM. 2007. Instruksi kerja : Identifikasi Boraks Dalam Makanan.
Medan.
British Pharmacopoeia. 1988. British Pharmacopoeia, Volume I & II. London:
Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA). Page 4788.
BSNI. 1998. SNI 01-3142-1998 : Syarat Mutu Tahu. Jakarta : Badan Standarisasi
Nasional Indonesia.
Cahyadi, W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan.
Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.
Clarke, E. G. C., Mofat, A. C., Osselton, M. D., Widdop, B. 2004. Clarkes Analysis
of Drugs and Poisons. London : Pharmaceutical Press.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 1981. Daftar Komposisi Bahan
Makanan : Jakarta.
Djarijah, A.S. 1995. Pakan ikan alami . Yogyakarta : Kanisius.
Helrich, K.C., (ed), 1990, Official Methods of Analysis Association of Official
Analytical Chemist (AOAC) 15th Ed., 780-781, Association of Official Analytical
Chemicts Inc, USA.
Kastyanto, F.W.1999. Membuat Tahu. Jakarta : Penebaran Swadaya.
Khamid, 1993. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Jakarta : Penerbit Kompas
Khamid, I.R. 2006. Bahaya Boraks Bagi Kesehatan. Jakarta. Penerbit Kompas.
Sarwono,S dan Saragih Y.P.2003. Membuat Aneka Tahu. Jakarta : Penebar
Swadaya.
Shurtlef W, Aoyagi A. 2001. Tofu and Soymilk Producton, The Book of Tofu Vol II.
Lafayete: Soyinfo Center.
United State Pharmacopeia. 1990. USP 29-NF 24. Rockville.
Vepriati,N. 2007. Surveilans Bahan Berbahaya pada Makanan di Kabupaten Kulon
Progo. Kulon Progo : Dinkes Kulon Progo.
Widyaningsih, D.T., Murtini, E.S. 2006. Alternatif Pengganti Formalin Pada
Produk Pangan. Surabaya : Trubus Agriarana.
Winarno F.G, Rahayu TS. 1994. Bahan Tambahan Untuk Makanan dan
Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar.
Zulharmita A. 1995. Kandungan Boraks pada Makanan Jenis Mie yang Beredar di
Kotamadya Padang : Cermin Dunia Kedokteran. Padang Universitas Andalas.