Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan teknologi telah membuat dunia seolah tanpa batas.
Fenomena ini membawa konsekuensi dalam tata ekonomi dunia. Modal
dan keahlian mengalir dari satu kawasan ke kawasan lam. Mengacu pada
penanaman modal asing (PMA), timbul pertanyaan apakah ia membawa
manfaat nyata

bagi negara penerima ataukah hanya

menguntungkan

investor asing saja. Pertanyaan ini bukan semata ada di ranah ekonomi,
tetapi juga sosial, politik dan kedaulatan negara. Filosofi kebijakan
PMA adalah bahwa modal asing diperlukan guna melengkapi modal
dalam negeri yang tidak cukup kuat memutar roda perekonomian negara.
Tetapi

manakala

perekonomian

modal

nasional,

asing

itu

kemudian

mendominasi

dan menyebabkan ketergantungan ekonomi,

sering timbul sikap permusuhan terhadap PMA. Sikap tidak bersahabat ini
dapat diwujudkan dalam keputusan politik untuk menasionalisasi atau
mengambilalih modal asing. Nasionalisasi juga dapat dilatarbelakangi
oleh

dekolonisasi ekonomi,

yakni keinginan untuk mengubah

sistem

ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.


Dalam wacana tentang penanaman modal asing kontemporer,
nasionalisasi dan konsekuensi-konsekuensi hukum, ekonomi dan politiknya
memang bukan merupakan masalah utama. Jika menggunakan kuadran
manajemen risiko, maka kemungkinan terjadinya (likelihood) adalah kecil
(unlikely); akan tetapi apabila itu terjadi, maka dampaknya (impact) bagi
perusahaan yang bersangkutan sangat besar (severe).
Nasionalisasi dianggap sebagai salah satu risiko terbesar
PMA pascaperiode kolonialisme. Apalagi ketika negara asal modal asing
tidak bisa lagi memberikan perlindungankepada

investor

yang

bersangkutan dengan kekuatan angkatan perang, karena dilarang oleh


Piagam PBB dan juga kekhawatiran akan kutukan dunia internasional

terhadap penggunaan militer semacam itu. Perlindungan terhadap ancaman


nasionalisasi kemudian dilakukan melalui instrumeninstrumen hukum
internasional.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Nasionalisasi Perusahaan PMA
2. Kompensasi atas Nasionalisasi Perusahaan PMA
C. Tujuan
1. Untuk memahami nasionalisasi perusahaan penanaman modal asing
(PMA)
2. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Arbitrase dan ADR
D. Manfaat
Makalah ini bermanfaat sebagai acuan pembelajaran Hukum yang
lebih maksimal untuk masa yang akan datang, minimal untuk bahan kajian
yang mengacu kepada kemajuan dimasa yang akan datang. Serta dapat
menambah keilmuan kita dengan harapan agar dapat lebih mendekatkan diri
kepada Allah SWT sehingga mendapatkan ilmu yang manfaat.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian nasionalisasi
Nasionalisasi sering disamakan dengan konfikasi dan onteigening dan
pencabutan hak. Istilah nasionalisasi paling tidak mencakup tiga pengertian
Konfiskasi, Onteigening dan Pencabutan Hak. L. Erades memberikan
arti nasionalisasi, yakni suatu peraturan dengan mana pihak penguasa
memaksakan semua atau segolongan tertentu untuk menerima (dwingt te
godegen), bahwa hak-hak mereka atas semua atau beberapa macam benda
tertentu beralih kepada negara. Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu
cara peralihan hak dari pihak partekelir kepada negara secara paksa.
Nasionalisasi merupakan refers to the process of a government
taking control of a company or industry, which can occur for a variety of
reasons. When nationalization occurs, the former owners of the companies
may or may not be compensated for their loss in net worth and potential
income. Nationalization is most common in developing countries subject to
frequent leadership and regime changes. In these instances, nationalization is
often a way for a government to expand its economic resources and power.
The opposite of nationalization is privatization, when government-owned
companies are spun off into the private business sector.1
Nasionalisasi dipandang sebagai Species dari Genus pencabutan
hak dan Onteigening. Berkaitan dengan ketentuan di atas berarti setiap ada
pencabutan hak dan onteigening pada prinsipnya harus diikuti dengan ganti
rugi. Sementara itu jika tidak disertai dengan ganti rugi maka dia dapat
disebut dengan "konfiskasi. Konfiskasi ini mirip dengan pencabutan hak
(semacam onteigening), tetapi dengan corak khusus tanpa ganti rugi.

1 Investopedia, Nationalization, URL:


http://www.investopedia.com/terms/n/nationalization.asp,

Di Indonesia pada masa kabinet Karya Republik Indonesia


ketentuan tentang nasionalisasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 86 tahun
1958. Dalam istilah nasionalisasi termasuk didalamnya expropriation atau
Confiscatie. Dengan istilah nasionaliasi ini diartikan bahwa suatu
perusahaan menjadi milik negara. Perusahaan bersangkutan menjadi a nation
affair. Dalam hal nasionalisasi yang menjadikan objeknya perusahaanperusahaan. Kollewijn mengemukakan pendapatnya bahwa, There is said to
be nationalisation principally if an expropriation forms part a more or less
extensive reform of the social or economie structure of a country, sedangkan
Gouw Giok Siong dengan mengutip pendapat Wortley menegaskan bahwa
nationalitation is not a term of art, tetapi digunakan untuk menunjuk pada
expropriation in the pursuance of some national enterprises, or to strengthen, a
nationally controlled industry. Nationalization differ in its scope and extent
rather than in its judicial nature from other types of expropriation.2
Nasionalisasi Menurut UUPM
Klausula nasionalisasi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun
2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) mengakomodasi asas-asas hukum
umum yang telah diterima dalam hukum internasional bahwa nasionalisasi
harus dilakukan dengan undang-undang disertai pemberian kompensasi.
Ketentuan ini termuat dalam suatu Pasal sebagai berikut :
Pasal 7
(1).Pemerintah

tidak

pengambilalihan

akan

melakukan

tindakan

nasionalisasi

atau

hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan

undang-undang.
(2).Dalam hal Pemerintah

melakukan

tindakan

nasionalisasi

atau

pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat

2 Gouw Giok Siong, loc.cit, dikutip dari Wortley, 1980, The Foreign
Investment in Indonesia, 1st, Gunung Agung, Singapore, hal. 8.

(1),

Pemerintah

akan

memberikan kompensasi yang jumlahnya

ditetapkan berdasarkan harga pasar.


(3).Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang
kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.
Ketentuan tentang kompensasi ini jelas tidak sesuai dengan dua
teori utama tentang kompensasi untuk nasionalisasi yaitu Doktrin Calvo atau
Calvo Clause dan Doktrin Hull atau The Hull Formula. Klausula penyelesaian
sengketa yang langsung merujuk pada arbitrase tanpa keharusan untuk lebih
dahulu mengajukannya pada pengadilan nasional negara tuan rumah
berarti telah meninggalkan prinsip exhaustion of local remedies. Dengan
demikian tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa penanam modal
asing dirugikan oleh perlakuan tidak adil dari sistem hukum nasional negara
penerima investasi (host state).3
B. Kompensasi Menurut UUPM
Hukum penanaman modal di Indonesia, baik Undang Undang Nomor
25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (WPM) yang berlaku saat ini
maupun undang-undang yang pernah berlaku

pada

masa

lalu

tidak

membuat kategorisasi pengambilalihan (taking) ke dalam nasionalisasi dan


ekspropriasi ataupun pencabutan hak (onteigening) ke dalam pencabutan hak
secara global dan pencabutan hak secara individual. UUPM hanya
mengenal

istilah

tunggal nasionalisasi

atau

pengambilalihan

hak

kepemilikan penanam modal, sedangkan Undang Undang Nomor 1


Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA) menggunakan
istilah nasionalisasi/pencabutan
perusahaan-perusahaan modal
mengurangi

hak

menguasai

hak

milik

asing

atau

dan/atau

secara

menyeluruh

tindakan-tindakan

atas
yang

mengurus perusahaan yang

3 Rustanto, NASIONALISASI DAN KOMPENSASI, Fakultas Hukum Universitas


Kristen Maranatha Bandung

bersangkutan. Sementara itu, Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958


Tentang Penanaman Modal Asing mengistilahkannya sebagai pemilikan
perusahaan industri asing oleh negara atau pengubahan-perusahaan industri
asing menjadi milik nasional. Dengan demikian, dalam pemberian
kompensasi atas nasionalisasi itupun hukum Indonesia hanya mengenal satu
formula.
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2007 tidak secara spesifik
menentukan besaran kompensasi. Pasal 7 Ayat (2) Undang Undang ini
hanya menyebutkan bahwa, dalam hal pemerintah melakukan tindakan
nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan, pemerintah akan
memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga
pasar. Menurut Penjelasan atas Pasal 7 Ayat (2) ini, yang dimaksud harga
pasar adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara
internasional oleh penilai mdependen yang ditunjuk oleh para pihak. Jadi,
secara tidak langsung, besaran kompensasi akan ditentukan oleh pihak ketiga
tersebut berdasarkan formula mereka sendiri. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat (3)
Undang Undang ini, jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai
kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi, penyelesaiannya dilakukan
melalui arbitrase. Ketentuan pada Ayat (3) ini menyiratkan bahwa jumlah
kompensasi yang ditetapkan oleh penilai independen, yang ditunjuk oleh
para pihak tersebut,

belum bersifat final.

Jumlah

final adalah

yang

diputuskan oleh arbitrase yang disepakati para pihak. Keputusan lembaga


arbitrase tersebut dikatakan final karena atas keputusan itu tidak dapat
diajukan banding.
Tadi telah disebutkan bahwa, menurut Penjelasan atas Pasal 7 Ayat
(2) UUPM, yang dimaksud harga pasar adalah harga yang ditentukan
menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen
yang ditunjuk oleh para pihak. Bank Dunia (World Bank, dengan nama resmi
International Bank for Reconstruction and Development/IBRD) adalah salah

satu lembaga yang menawarkan cara menentukan harga pasar. Cara itu
termuat dalam World Bank Guidelines on the Treatment of Foreign Direct
Investment

1992,

Bagian

IV tentang Expropriation

and

Unilateral

Alterations or Termination of Contracts. Dalam hal ini, Bank Dunia


menyebut pengertian harga pasar yang wajar (fair market value).
Menurut Pedoman Bank Dunia tersebut, penentuan harga pasar yang
wajar dapat diterima apabila dilakukan dengan metode yang disetujui oleh
para pihak, yaitu negara yang melakukan nasionalisasi/ekspropriasi dan
investor asing yang bersangkutan, atau oleh pengadilan atau badan lain yang
ditunjuk oleh para pihak. Apabila para pihak tidak membuat persetujuan
termaksud,
maka harga pasar yang wajar dapat ditentukan oleh negara tersebut
berdasarkan kriteria yang pantas atau masuk akal (reasonable) terkait
dengan nilai pasar investas yakni suatu jumlah yang normalnya dibayarkan
oleh pembeli kepada penjual setelah mempertimbangkan sifat investasi,
perkiraan kondisi bisnis di masa mendatang dan karakteristik spesifik
yang ada, termasuk berapa lama perusahaan telah menjalankan bisnis,
proporsi

aset

berwujud

dalam

investasi keseluruhan dan faktor-faktor lain yang relevan. Selanjutnya


Pedoman Bank Dunia tersebut menyatakan bahwa penentuan nilai pasar
dari investasi itu dianggap reasonable jika dilakukan seperti berikut:
1. Untuk going concern dengan catatan laba yang nyata, berdasarkan
nilai discounted cash flow.
2. Untuk perusahaan yang tidak terbukti sebagai going concern
menunjukkan ketiadaan laba, berdasarkan nilai likuidasi (liquidation
value).
3. Untuk asest-aset lain, berdasarkan (a) nilai penggantian (replacement
value) atau (b) nilai

buku (book value) dalam hal nilai tersebut

baru saja ditaksir atau telah ditetapkan pada tanggal pengambilalihan

dan

oleh

karena

itu

dapat

dianggap

merepresentasikan

nilai

penggantian yang layak.


Hukum perdata di Indonesia menganut asas kepantasan dalam
menentukan besar kompensasi atau ganti rugi. Asas kepantasan dalam
penentuan jumlah ganti rugi ini dapat ditemukan penerapannya dalam
berbagai putusan pengadilan, antara lain dalam putusan Mahkamah Agung
Nomor 610K/SIB/1968 tanggal 29 April 1970 dengan pertimbangan bahwa
dalam hal pihak yang mengajukan tuntutan ganti rugi berhak untuk
mendapatkan ganti rugi, tetapi jumlah yang dituntutnya tidak pantas,
hakim berwenang menetapkan jumlah yang sepantasnya harus diberikan4

4 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Alumni, 2004), 130

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasionalisasi adalah suatu peraturan dengan mana pihak penguasa
memaksakan semua atau segolongan tertentu untuk menerima (dwingt te
godegen), bahwa hak-hak mereka atas semua atau beberapa macam benda
tertentu beralih kepada negara. Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu
cara peralihan hak dari pihak partekelir kepada negara secara paksa.
UUPM tidak memberikan definisi nasionalisasi. Tetapi hal ini
bukanlah

sesuatu

yang tidak lazim, sehingga dapat dibenarkan, karena

sejumlah perjanjian internasional dalam bidang investasi juga tidak


mencantumkan defmisi nasionalisasi.

Anda mungkin juga menyukai