Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling
sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang tengkorak
yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai
pembungkus yang disebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinussinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika seorang mendapat
benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan
dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah
yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah mengalami robekan maka
darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang tengkorak, keadaan inilah
yang dikenal dengan sebutan epidural hematom (EDH).

EDH sebagai keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan
dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan
perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena
dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal
artery yang terletak di bawah tulang temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang
epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.

B. TUJUAN
Agar mahasiswa dapat memahami dan mengerti tentang Epidural Hematoma atau
Cedera Kepala serta dapat menegakan Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan
Epidural Hematoma dengan tepat.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering
terjadi karena fraktur tulang tengkorak.
An epidural hematoma (EDH) occurs when blood accumulates between the skull and
the duramater, the thick membrane covering the brain.
B. ETIOLOGI
Hematoma Epidural dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa
keadaan yang bisa menyebabkan EDH adalah misalnya benturan pada kepala pada
kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya
berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.
C. PATOFISOLOGI
Pada EDH, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan durameter. Perdarahan ini
lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea media
robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang
terjadi menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan
durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.

Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus


temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial
lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan
timbulnya tanda-tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis
di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei
saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi
pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik
pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respon motorik kontralateral, refleks
hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong ke arah
yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda
lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan
tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar
hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam ,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar
setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena
cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma
cedera primernya hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak
pernah mengalami fase sadar.

Sumber perdarahan :
-

Artery meningea ( lucid interval : 2 3 jam )


Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisi kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena
diploica

Hematom epidural akibat perdarahan arteri meningea media,terletak antara duramater


dan lamina interna tulang pelipis. Os Temporale (1), Hematom Epidural (2), Duramater
(3), Otak terdorong kesisi lain (4)
Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di bedah saraf karena
progresifitasnya yang cepat karena durameter melekat erat pada sutura sehingga
langsung mendesak ke parenkim otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra
tentorial. Karena itu setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala
yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di rawat dan
diperiksa dengan teliti.
D. GAMBARAN KLINIS
Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif. Pasien dengan
kondisi seperti ini sering kali tampak memar di sekitar mata dan di belakang telinga.
Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran hidung atau telinga. Pasien seperti
ini harus diobservasi dengan teliti.
Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera
kepala. Berikut gejala yang sering muncul pada pasien dengan cedera kepala :

Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

Bingung

Penglihatan kabur

Susahbicara

Nyeri kepala yang hebat

Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

Nampak luka yang dalam atau goresan pada kulit kepala.

Mual

Pusing

Berkeringat

Pucat

Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai hemiparese atau
serangan epilepsi fokal. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal
dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah
terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada
tahap akhir, kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga
mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya
lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul
berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak.
Jika EDH di sertai dengan cedera otak seperti memar otak, interval bebas tidak akan
terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya menjadi kabur.

E. GAMBARAN DIAGNOSTIK
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala lebih mudah
dikenali.
1. Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan potensi
cedera intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk
bikonveks, paling sering di daerah temporo - parietal. Densitas darah yang
homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral.
Terdapat pula garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi

pada stage yang akut ( 60 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari
pembuluh darah.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser posisi
duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnos

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. PENGKAJIAN
Nama

: Seorang Laki-laki

Umur

: 20 Tahun

B. RIWAYAT KESEHATAN
1. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien di rawat di RS karena kecelakaan lalu lintas, Pasien mengalami perdarahan di
hidung, mulut, dan telinga. Terdapat lebam pada kedua mata (raccoon eye) dan pasien
tidak bisa membuka matanya. Bicara merancau dan tidak dimengerti. Hasil CT scan
menunjukan ada perdarahan di area temporo parietal. Terdapat luka lecet di lengan
kanan, dada atas, dan panggul.
C. TANDA-TANDA VITAL
Kesadaran

: Samnolen

GCS

: E2M4V3

Tekanan Darah

: 140/90 mmHg

Nadi

: 104x/menit

RR

: 26x/menit

Suhu

: 37,5C

D. PEMERIKSAAN FISIK
-

Kepala

: terdapat perdarahan di hidung, mulut, telinga, dan

terdapat lebam (raccoon eye) pasien tidak bisa membuka matanya, bicara
merancau dan tidak bisa dimengerti, pasien mengalami muntah-muntah dan pasien
menjerit-jerit kesakitan.
-

Dada

: terdapat luka lecet

Ekstrimitas Atas : terdapat luka lecet, hiperrefleks di ekstrimitas kir atas, menurut
keluarga pasien bergerak-gerak tanpa di sadari

Panggul

: terdapat luka lecet

Perfis Saraf

: Tidak ada gangguan saraf kranialis

Motorik

: 5555

5555

5555

5555

Fungsi Saraf Otonom

: terpasang kateter, BAB belum ada

Sensibilitas

: Hiperstesis (-), Sensoris tidak dapat dikaji karena tidak

komunikatif

Reflek Fisiologis

Reflek Patologis

: +2

+2

+2

+2

: Babinski --/--

Tanda Peningkatan TIK : sakit kepala, pusing, TD meningkat, RR meningkat.

E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Hasil ST-scan menunjukan ada perdarahan di area temporo-parietal
F. PENATALAKSANAAN MEDIS
-

Ketorolac i.v 4 x 40 mg

Dexametason i.v 3 x 50 mg

Ranitidine i.v 3 x 50 mg

G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau
hematoma dan perdarahan otak.
2. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan
3. Perubahan persepsi sensorik yang berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
tranmisi, dan atau integrasi ( trauma / deficit neurologist).
4. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler.
H. RENCANAKEPERAWATAN

1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan adanya edema atau


hematoma dan perdarahan otak.
Tujuan : Perfusi jaringan cerebral optimal secara bertahap setelah di lakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 7 x 24 jam
Dengan criteria :
Kesadaran pasien compos mentis
TTV dalam batas normal ( TD : 100-130/60-90mmHg, P:12-20x/mnt, N : 60-

100x/mnt, S: 36C-37C).
Pasien tampak rileks.

Intervensi :
1) Kaji keluhan, observasi TTV tiap 2-4 jam dan kesadaran klien
Rasional : Untuk mengetahui keadaan umum pasien sebagai standar
dalam menentukan intervensi yang tepat
2) Kaji karakteristik nyeri (intensitas,

lokasi,

frekuensi

dan

faktor

yang

mempengaruhi).
Rasional :Penurunan tanda dan gejala neurologis atau kegagalan dalam
pemulihannya merupakan awal pemulihan dalam memantau TIK.
3) Kaji capillary refill, GCS, warna dalam kelembapan kulit.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK
4) Kaji tanda peningkatan TIK ( kaku kuduk, muntah proyektil dan penurunan
kesadaran.
Rasional :
Untuk mengetahui potensial peningkatan TIK.
5) Berikan klien posisi semifowler, kepala ditinggikan 30 derajat.
Rasional : Memberi rasa nyaman bagi klien
6) Anjurkan orang terdekat ( keluarga ) untuk bicara dengan klien walaupun hanya
lewat sentuhan.
Rasional : Ungkapan keluarga yang menyenangkan memberikan efek
menurunkan TIK dan efek relaksasi bagi klien.
7) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therapi obat-obatan neurologis.
Rasional : Sebagai therapi terhadap kehilangan kesadaran akibat
kerusakan otak, kecelakaan lalu lintas dan operasi otak.
2. Nyeri berhubungan dengan trauma jaringan

Tujuan : Nyeri berkurang setelah di lakukan tindakan keperawatan dalam waktu 1 x


24 jam
Dengan criteria :
- Pasien tidak mengeluh kesakitan
- TTV dalam batas normal ( TD : 100-130/60-90mmHg, P:12-20x/mnt, N : 60100x/mnt, S: 36C-37C).
Intervensi :
1) Kaji TTV
Rasional : Memantau adanya peningkatan TIK
2) Kolaborasi dalam pemberian anti nyeri
Rasional : Agar nyeri berkurang
3. Perubahan persepsi sensorik yang berhubungan dengan perubahan persepsi sensori,
tranmisi, dan atau integrasi ( trauma / deficit neurologist) ditandai oleh :
disorientasi waktu, tempat orang, perubahan repon terhadap rangsang.
Tujuan
: Persepsi sensori dapat kembali optimal secara bertahap setelah dilakukan
tindakan keperawatan 3 x 24 jam dengan criteria :
- Orientasi terhadap waktu,tempat, orang
- Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi
Intervensi :
1) Evaluasi/ pantau secara teratur orientasi, kemampuan berbicara dan sensorik.
Rasional : fungsi serebral bagian atas biasanya terpengaruh lebih dulu oleh adanya
gangguan sirkulasi, oksigenasi, kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau
kadang-kadang.
2) Hilangkan suara bising/ stimulasi yang berlebihan sesuai kebutuhan.
Rasional : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/ bingung yang
berhubungan dengan sensorik yang berlebihan.
3) Bicara dengan suara lembut dan pelan, gunakan kalimat yang pendek dan
sederhana, pertahankan kontak mata.
Rasional : Pasien mungkin mengalami keterbatasan perhatian/ pemahaman selama
fase akut dan penyembuhan dan tindakan ini membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
4) Buat jadwal istirahat yang adekuat/ periode tidur tanpa ada gangguan.
Rasional :
mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan
kesempatan untuk tidur.
5) Kolaborasi dengan ahli fisiotherapy.
Rasional : Pendekatan antara disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan
integrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan /ketidakmampuan secara

individu yang unik dengan berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik,
kognitif, dan keterampilan aktual.
4. Resiko tinggi pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler.
Tujuan
: bersihan jalan nafas kembali efektif setelah dilakukan tindakan
keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam dengan criteria :
Pola nafas kembali normal dan irama teratur
Intervensi :
1) Kaji keluhan TTV
Rasional : mengetahui keadaan umum dan standar untuk menentukan intervensi
selanjutnya.
2) Auskutasi bunyi nafas, frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan.
Rasional : perubahan dapat menandakan luasnya keterlibatan otak.
3) Berikan klien posisi yang nyaman; posisi semi fowler.
Rasional : memberikan kemudahan klien dalam bernafas dan Memberikan rasa
nyaman.

BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).
Trauma atau cedera kepala adalah di kenal sebagai cedera otak gangguan fungsi
normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh masa
karena hemoragik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca Fransisca,
2008, hal 96).

B. DAFTAR PUSTAKA
1. Arif Muttaqin, (2008), Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan
Gangguan Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
2. Batticaca Fransisca B, (2008), Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan, Jakarta : Salemba Medika
3. Brunner and Suddarth (2000). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
EGC.

Anda mungkin juga menyukai