Anda di halaman 1dari 7

Belajar Bahasa Inggris = Tidak Nasionalis?

Sejak belajar di negeri yang terkenal dengan cokelat dan jam tangannya, saya sudah termasuk
jarang membaca dan mengikuti berita di Indonesia, karena kebanyakan berita yang saya baca
hanya membuat saya merasa miris dan meningkatkan rasa apatis serta pesimis bahwa bangsa
ini bisa diperbaiki. Paling-paling saya hanya membaca berita kasus yang sedang heboh
kejadiannya di Indonesia, itupun tidak secara langsung di website media yang bersangkutan,
melainkan seringkali melalui situs jejaring sosial.
Namun hari ini, saya memutuskan untuk mengunjungi situs salah satu surat kabar ternama
dan bersakala nasional di Indonesia, dan ada satu berita yang membuat saya merasa pedih
dan tergerak untuk menulis artikel tandingan. Berita itu berjudul Hapuskan Pelajaran
Bahasa Inggris di SD yang membuat saya mempertanyakan di mana logika para pembuat
kebijakan politik kita untuk memutuskan hal seperti itu.
Saya tahu, tentu tidak semua pembaca sependapat dengan artikel tersebut, pun dengan artikel
balasan yang saya tulis ini. Dan semuanya tentu berhak untuk mengemukakan pendapatnya
masing-masing, selama masih dengan cara-cara yang santun dan tidak menyerang pribadi
orang lain. Saya juga masih muda dan belum berpengalaman seperti para warga Baltyra
lainnya, oleh itu semua diskusi, opini, saran, masukan dan pendapat tentu disambut baik di
sini, terutama berkaitan dengan tulisan saya ini.
Ada beberapa argumen yang hendak saya kemukakan di sini.

Pertama, disebutkan di artikel tersebut bahwa masa pendidikan di sekolah dasar (SD)
merupakan masa yang paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Dari kalimat
tersebut, saya merasa bahwa sistim pendidikan di Indonesia itu termasuk berat, namun juga

tidak relevan dalam konteks sekarang. Masa pendidikan awal, dari pra-sekolah, taman kanakkanak (TK), dan SD harusnya adalah masa untuk bersenang-senang bagi anak-anak.
Tentu senang-senang dalam artian yang mendidik. Anak diajari belajar dengan metodemetode yang kreatif, yang memancing, mendorong serta memuaskan rasa ingin tahu anak.
Dalam masa-masa itu, anak seharusnya belajar dengan cara yang menyenangkan, having fun
pokoknya. Kalau anak sampai stress, akan sangat susah untuk menumbuhkan kembali
semangat dan kecintaan anak terhadap yang namanya belajar.
Sepanjang saya bersekolah di Swiss, saya banyak berinteraksi dari teman-teman dari negara
lain. Dari saling bertukar cerita itulah, saya menemukan bahwa rata-rata sekolah di Eropa
(yang tergolong negara maju) lebih menekankan aspek fun kepada murid-muridnya,
setidaknya sampai kelas 3 SD. Tidak ada penjejalan pelajaran nasionalisme ataupun
kebangsaan, beda dengan di Indonesia yang masih dari kelas 1 SD sudah diberi pelajaran
PPKn (Pendidikan Kewarganegaraan).
Otak saya yang juga tidak seberapa ini jadi mikir, emang anak SD tahu apa sih soal
nasionalisme dan kebangsaan? Saya merasa bahwa semua itu lama-lama hanya jadi beban
karena murid-murid kebanyakan cuma disuruh menghafal tanpa benar-benar mengerti esensi
dari apa yang dipelajari. Hal ini lantas membuat saya berpikir lagi, sebenarnya tujuan kita
mendidik anak-anak kita itu untuk apa? Kalau melihat artikel di surat kabar tersebut, tersirat
bahwa tujuan utama dari pendidikan kita adalah untuk menanamkan nilai-nilai kebangsaan
atau nasionalisme. Lhah ini kok seperti mundur di jaman pascakemerdekaan tahun 50-an
dulu? Ini sudah zaman globalisasi, tapi kenapa esensi atau tujuan utama dari pendidikan
malah mundur? Ini akan saya jelaskan lebih lanjut di argumen berikutnya.

Kedua, artikel tersebut mengatakan bahwa,


di tengah arus globalisasi yang menguat saat ini, pendidikan justru menjadi tempat paling
efektif untuk menanamkan glokalisasi yakni mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa ke
pentas dunia.
Saya sependapat bahwa kita harus mengembangkan nilai-nilai luhur bangsa ke pentas dunia.
Selama di Swiss, saya juga senang bila ketemu dengan sesama orang Indonesia dan ikut
acara-acara yang berbau Indonesia, seperti Malam Indonesia, Indonesian Night, Indonesia
Festival, dan lain-lain. Itu membuat saya bangga sebagai orang Indonesia, dan saya juga
senang membicarakan dan mengenalkan negara saya yang gemah ripah loh jinawi itu kepada
teman-teman saya dari negara lain. Masalahnya, untuk bisa mengangkat nilai-nilai luhur
bangsa ke pentas dunia, dibutuhkan sarana komunikasi yang ampuh, dan media komunikasi
yang pertama dan terutama itu adalah bahasa. Nah, bahasa apa yang mampu membuat kita
berkomunikasi di pentas global? Tentu Bahasa Inggris!! Dan sekarang Bahasa Inggris mau
dihapuskan dari kurikulum SD? Jujur saya tidak mengerti dimana logikanya. Ini gak
nyambung.

Lagi-lagi, selama saya di Swiss, hampir 100% teman-teman saya di sini sudah bilingual sejak
kecil, bahkan sebelum SD. Selain karena berbicara dengan dua bahasa di rumahnya dan
dengan kedua orangtuanya, juga karena sistem pendidikan di negaranya yang mengajarkan
bahasa kedua selain bahasa ibu sejak dini. Malah, hampir semua warga Eropa bisa berbicara
dalam dua bahasa, banyak yang lebih. Saya rasa jumlah warga Eropa yang hanya bisa
berbicara dalam satu bahasa (alias bahasa ibu mereka) sedikit sekali persentasenya, rata-rata
juga warga generasi tua.

Ketiga, mengajarkan bahasa lain kepada anak-anak termasuk investasi yang menguntungkan
bagi masa depan anak. Kenapa? Penelitian telah membuktikan bahwa otak anak-anak itu
bagaikan spons dengan daya serap yang sangat tinggi, termasuk kemampuan berbahasa.
Semakin lambat anak berbicara bahasa lain, semakin tinggi tantangannya. Pengalaman saya
membuktikan, jauh lebih mudah mengajari anak SD, bahkan TK, belajar Bahasa Inggris
daripada murid SMP apalagi SMA yang pengetahuan Bahasa Inggrisnya masih nol.

Keempat, belajar bahasa asing mempunyai banyak kentungan.


Keuntungan bilingual atau polyglote (bisa lebih dari dua bahasa) memang tidak terasakan

secara langsung, namun itu merupakan bentuk investasi yang sangat besar dalam diri seorang
anak. Itu akan memudahkan dia untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Pepatah bilang, cara terbaik dalam mengenal budaya lain adalah dengan menguasai
bahasanya, dan saya sependapat. Sekarang ini kemampuan menguasai bahasa asing
merupakan syarat yang dicantumkan hampir di semua lowongan pekerjaan. Dulu, hanya
menguasai bahasa setempat sudah cukup. Tapi sekarang jaman globalisasi, lingkup
perusahaan tidak hanya lokal atau nasional, tapi juga sudah global. Nah, saya pikir, saat anak
sudah tumbuh besar, dia bisa fokus untuk mempelajari keahilan lain dan tidak usah terlalu
pusing untuk ambil kursus bahasa asing yang makan waktu, energi, dan biaya.
Saya sering sekali merasa iri dengan teman-teman saya yang bisa bicara dalam tiga, empat,
lima bahasa atau bahkan lebih. Sedangkan saya? Untuk bisa ya harus belajar dari nol, harus
ambil kursus. Buat saya, walaupun berguna, tapi ini juga buang-buang waktu dan uang. Perlu
diingat bahwa bahasa asing yang dikuasai tidak melulu Bahasa Inggris. Memang bahasa
Inggris merupakan bahasa pergaulan internasional, tetapi masih ada bahasa lain yang
memiliki banyak penutur, seperti bahasa Prancis, Spanyol, Jerman, dan Mandarin. (Bahasa
Indonesia juga iya, dan saya setuju jika bahasa Indonesia dijadikan sebagai bahasa pengantar
regional di Asia Tenggara, tapi ini untuk artikel lain lagi hehe). Intinya, orang yang bisa
berbahasa lain selain bahasa ibunya, akan lebih mudah berinteraksi dengan orang-orang dan
budaya lain.

Kelima, saya tidak melihat hubungan antara pelajaran Bahasa Inggris dengan rasa
nasionalisme seseorang. Aneh benar, masak rasa nasionalisme orang ditentukan dari mata
pelajaran apa yang diberikan di sekolah? Saya akan menjadikan diri saya sendiri sebagai
contoh. Sejak umur 4 tahun, mama saya sudah ngajarin saya Bahasa Inggris dikit-dikit.
Apanya yang salah dengan itu? Apakah waktu itu rasa nasionalisme saya lantas tergerus
pudar? Nggak tuh. Boro-boro pudar. Konsep nasionalisme aja saya belum ngerti waktu itu.
Ketika saya makin besar, saya juga belajar bahasa Mandarin. Lalu saya belajar bahasa Jepang
di sela-sela waktu kuliah. Sekarang di Swiss, saya belajar bahasa Prancis dan Jerman. Total
sudah ada 6 bahasa lain yang saya pelajari dan saya berbicara empat di antaranya. Apakah itu
membuat rasa nasionalisme saya pudar???!!! Kok saya tidak merasa pudar ya? Saya masih
cinta dengan Indonesia!! Justru di akhir Januari lalu, saya menjadi pembicara di
acaraIndonesian Night yang 98% semua pesertanya orang bule. Dengan bahasa apa saya
membawakan presentasi itu? Dengan bahasa Inggris! Mana mereka mengerti kalau saya
berbicara dalam bahasa Indonesia?
Saya tidak melihat adanya hubungan bahwa jika kita belajar bahasa lain, itu sama artinya
dengan kita lebih bangga dengan budaya mereka daripada budaya sendiri, seperti yang
dikatakan dalam artikel di surat kabar tersebut.
Intinya, menguasai bahasa asing itu lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya.
Penjelasannya adalah seperti ini. Bila kita menguasai bahasa asing, itu akan mendekatkan kita
kepada orang-orang dan kebudayaan bahasa tersebut. Kita akan lebih mudah masuk dan

bergaul dengan mereka, mengenal budaya mereka, dsb. Menurut saya, itu adalah pintu masuk
yang luar biasa untuk mengenalkan kebudayaan kita kepada mereka juga dan ini membawa
keuntungan kepada kedua belah pihah. Di pihak individu, wawasan kita jadi bertambah luas.
Kita juga tambah koneksi, tambah kenalan, dan lebih merasa sebagai global citizen. Di sisi
lain, identitas dan jati diri kita juga semakin dikenal oleh orang dan budaya lain. Disitulah
terjadi pertukaran budaya dimana kita bisa mengenalkan budaya Indonesia dan
mengangkatnya ke panggung dunia. Ini adalah keuntungan jangka panjangnya. Plus, kalau
ada orang asing masuk untuk mempelajari budaya dan juga Bahasa Indonesia, mereka kan
perlu diejelaskan dengan Bahasa Inggris dulu. Alasan kenapa bahasa Inggris lebih baik
diberikan saat SD dan tidak dihilangkan dari kurikulum sekolah, silakan lihat kembali alasan
nomor tiga dan empat di atas.

Keenam, sekarang ini jamannya teknologi. Dan kita tahu, bahasa standar yang dijadikan
bahasa dalam pembelajaran dan penguasaan teknologi adalah Bahasa Inggris. Tentu nantinya
itu bisa diterjemahkan ke dalam bahasa lokal masing-masing, tetapi bahasa awalnya tetap
dalam Bahasa Inggris. Dan lebih lagi, saat ini anak-anak tidak dapat dipisahkan dari
teknologi. Beri saja anak usia dua atau tiga tahun iPad atau game di Samsung Galaxy kita
(tidak bermaksud promosi di sini), maka si anak dengan cepat akan menguasai cara bermain
di alat komunikasi tersebut. Kalau mau disambung-sambungin dengan bahasa, secara tidak
langsung anak juga sudah terpapar atau kalau dalam konteks surat kabar tersebut,
terkontaminasi dengan Bahasa Inggris. Mau dari game kek, internet kek, apapun itu, kita
tidak bisa lepas dari Bahasa Inggris. Itulah yang membuat saya tidak mengerti, kenapa
Bahasa Inggris harus dicabut dari kurikulum dengan alasan untuk menanamkan nilai-nilai
nasionalisme.

Ketujuh, rasa nasionalisme kita sama sekali tidak ditentukan oleh pelajaran Bahasa Inggris,
melainkan oleh bagaimana negara, melalui pemerintah, berpihak kepada warga negaranya.
Apakah rakyat bisa mengakses hak-hak dasarnya, seperti pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur berupa jalan dan jembatan? Apakah rakyat bisa mencari pekerjaan dengan
mudah? Apakah aparat pemerintah melakukan tugas mereka dengan baik layaknya pegawai
negara untuk melayani kebutuhan masyarakat? Apakah masih ada suap menyuap dalam
mengurus birokasi, seperti akte kelahiran, akte kematian, akta pernikahan, dan lain-lain? Bila
semua itu belum terasa, jangan heran dan jangan salahkan bila rakyat beralih rasa cinta dan
kesetiaannya kepada negara lain.
Oke gak usah bicara jauh-jauh soal mereka yang berhasil di luar negeri. Tengoklah saudarasaudara kita yang ada di Kalimantan Utara sana, yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
Mengutip artikel lain dari surat kabar yang sama, dada mereka mungkin masih merah putih
tapi perut mereka sudah menjadi perut Malaysia!! Perut mereka berisi nasi Malaysia dan
bahan-bahan makanan lain yang dibeli di Malayisa. Banyak yang mencari satu dua ringgit di
sana daripada rupiah di negeri sendiri, karena kondisi pekerjaan, jalan, dan infrastruktur lain

yang lebih baik. Apakah mereka bisa bicara Bahasa Inggris? Kok saya ragu. Kayaknya
enggak deh. Toh mereka juga masih sama-sama saudara serumpun dan masih mengerti
Bahasa Melayu. Apakah mereka masih bisa disebut nasionalis atau tidak? Silakan dipikir
sendiri jawabannya.

Kedelapan, bila kita ingin benar-benar mengerti dan memahami betul budaya bangsa, maka
berikanlah pelajaran yang benar-benar lokal. Seperti cara bahasa daerah, bertanam kedelai
atau tanaman lokal lain yang sesuai daerah masing-masing, cara bikin batik, cara memahat,
bikin genteng, dan kearifan lokal lain. Hilangkan saja sekalian pelajaran IPA atau materimateri lain yang dianggap antek-antek asing. Apa perlunya? Saya tahu saya bernada sangat
sarkastis di sini, tapi saya merasa gemas sekali saat mendengar penuturan Direktur Eksekutif
Reform Institute yang pendapatnya dikutip dalam artikel di surat kabar tersebut.

Akhirnya, saya telah mengemukakan delapan argumen mengapa saya tidak setuju Bahasa
Inggris dihapus dari SD. Pembelajaran Bahasa Inggris tentu juga perlu disesuaikan dengan
usia dan tingkat pendidikan anak, dengan cara yang kreatif, menarik, dan memancing rasa
ingin tahu anak. Saya tidak mengatakan bahwa pemberian Bahasa Inggris lantas berarti
bahwa kita tidak erlu lagi mempelajari budaya dan nilai-nilai lokal. Itu adalah dua hal yang
terpisah.

Bila tujuan dari Kurikulum 2013 adalah untuk mempersiapkan generasi bangsa menjadi
bangsa siap yang siap bersaing secara global, maka kebijakan untuk mencabut Bahasa Inggris
di tingkat SD, atau memasukkan IPA sebagai ekstrakurikuler pilihan dan pramuka sebagai
ekstrakurikuler WAJIB, hal ini patut dikaji dan dipikirkan kembali masak-masak (ngomongngomong, saya tidak mengerti bagaimana pramuka bisa mendongkrak generasi penerus untuk
bisa bersaing secara global.). Apalagi baru-baru ini ada hasil tes PISA yang secara blakblakkan menunjukkan bahwa murid Indonesia adalah murid terbodoh (sedunia?). sebagai
orang Indonesia, saya merasa sakit hati membaca berita itu.
Kesimpulannya: belajar Bahasa Inggris sejak SD tidak berarti bahwa kecintaan kita terhadap
Indonesia dan segala keluhurannya luntur. Kecintaan, atau rasa nasionalisme kita, barulah
luntur bila pemerintah tidak melakukan apa-apa untuk menyejahterakan rakyatnya.

Read more: http://baltyra.com/2014/02/26/belajar-bahasa-inggris-tidaknasionalis/#ixzz4A2Vi1Iag

Anda mungkin juga menyukai